• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Jumlah Bibit per Titik Tanam dan Umur Bibit Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah Dalam Sistem Intensifikasi Padi (SRI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Jumlah Bibit per Titik Tanam dan Umur Bibit Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah Dalam Sistem Intensifikasi Padi (SRI."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Jumlah Bibit per Titik Tanam dan Umur Bibit Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah

Dalam Sistem Intensifikasi Padi (SRI) (Influence of amount seedling per hill and age plant to growth and result rice in System Rice Intensification (SRI))

Zulhendi 1)

ABSTRACT

Applying of SRI in the form amount of seed per hill, age move earlier field,

space plant and usage irrigate by sinergy can improve growth and result of rice per

hectare. There are relation between amount of seed per hill and seed age in SRI

method at Crop Grow Ratio and wide of leaf per clump. Amount 2 seed or 3 seed per

hill to give is same influence of goodness at Leaf area indek, shoot and root ratio and

indek harvest. That way old age seed 2 week also can give good influence at Leaf

area indek, amount of panicle per clump, indek harvest and grain yield per hectare

arange 4,2 t ha-1 - 9,05 t ha-1.

PENDAHULUAN

Teknologi budidaya “The System of Rice Intensification” (SRI), di beberapa

negara, seperti Bangladesh, Thailand, dan Cina, sudah diujicoba dan dikembangkan

dalam rangka mendapatkan hasil terbaik dengan pemakaian input yang relatif lebih

sedikit. Demikian pula di Indonesia sistem ini juga pernah diuji cobakan. Teknologi

tersebut pada dasarnya berkaitan dengan peningkatan produksi padi melalui

(2)

perbaikan jarak tanam, jumlah bibit per titik tanam, umur pindah lapang, dan input air

irigasi.

Budidaya padi menurut metode SRI, merupakan satu metode untuk

meningkatkan produktivitas padi beririgasi yang meliputi perubahan pengelolaan

penanaman, tanah, air, dan nutrisi bila dibandingkan dengan cara konvensional

(Uphoff, 2002). Menurut Kasim (2004), budidaya metode SRI dapat menghindari

stagnasi bibit, menghemat waktu, mengurangi kebutuhan benih, meningkatkan

jumlah anakan, menghemat pemakaian air, dan produksi lebih tinggi.

Pemakaian bibit per titik tanam berpengaruh terhadap pertumbuhan karena

secara langsung berhadapan dengan kompetisi antar tanaman dalam satu rumpun.

Jumlah bibit per titik tanam yang lebih sedikit akan memberikan ruang pada tanaman

untuk menyebar dan memperdalam perakaran (Berkelaar, 2001).

Menurut Uphoff (2002), bahwa metode SRI bibit ditanam secara tunggal

sehingga tidak terdapat kompetisi diantara akar tanaman yang dapat menghambat

pertumbuhan. Menurut Barkelaar (2001), bahwa bibit ditransplantasi satu-satu agar

tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran, sehingga

tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya atau

nutrisi dalam tanah. Hasil uji coba sistem SRI di Indonesia dengan 1 bibit dapat

menghasilkan 6,9 – 9,7 t ha-1 dan pada tingkat petani 5,0 – 9,3 t ha-1 (Gani, Kadir,

Jatiharti, Wardhana dan Las, 2002), sedangkan menurut Stoop, Uphoff dan Kassam

(2003), di negara lain seperti Cina, Madagaskar, dan Filipina dengan menggunakan

(3)

Umur bibit pindah lapang sangat berpengaruh terhadap produksi padi.

Semakin cepat bibit pindah lapang akan semakin memadai periode bibit beradaptasi

dengan lingkungan baru, sehingga semakin memadai periode untuk perkembangan

anakan dan akar. Pemindahan bibit lebih awal ini juga akan memberikan periode

lebih panjang kepada bibit untuk memaksimalkan pembentukan phyllochrons

sebelum inisiasi malai (Berkelaar, 2001; Defeng, Shihua, Yuping dan Xiaqing, 2002).

Di Cina, lebih disukai menanam bibit umur 15 hari atau yang lebih muda dari pada

itu, dan mampu menghasilkan jumlah anakan produktif maksimal 60 batang

(Qingquan, 2002; Hui dan Jun, 2003). Menurut Kasim (2004), jumlah anakan dapat

mencapai 40 - 80 batang. Sedangkan di Indonesia kebiasaan petani menanam bibit

berumur 3 minggu, dengan jumlah anakan produktif maksimal 25 batang (Utomo dan

Nazaruddin, 2000; Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan 2004; ).

Umur pindah bibit lebih muda yakni 8-15 hari setelah semai, memberikan

kesempatan kepada bibit untuk beradaptasi dan dengan lebih awalnya bibit dipindahkan

akan memberikan waktu yang lebih panjang kepada bibit untuk membentuk anakan atau

phyllochrons lebih banyak, seperti terlihat pada Tabel 1 berikut ini (Berkelaar, 2001;

Defeng et al., 2002).

Tabel 1. Pertambahan jumlah batang yang dihasilkan tanaman padi dalam ukuran phyllochrons.

Komponen Phyllochrons

I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII

Batang baru

1 0 0 1 1 2 3 5 8 1

2

20 31

Total batang

1 1 1 2 3 5 8 13 21 3

3

(4)

Menurut Uphoff (2002), bahwa metode SRI bibit ditanam secara tunggal

sehingga tidak terdapat kompetisi diantara akar tanaman yang dapat menghambat

pertumbuhan. Menurut Barkelaar (2001), bahwa bibit ditransplantasi satu-satu agar

tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran, sehingga

tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya atau

nutrisi dalam tanah.

Menurut Gani et al., (2002) metode SRI dengan prinsip tanam satu bibit per titik

tanam atau per rumpun masih dapat dikembangkan dengan menanam dua sampai tiga bibit

per titik tanam atau per rumpun sehingga dapat memberikan hasil terbaik.

Menurut Kasim (2004), berdasarkan hasil penelitian dengan penerapan SRI

dibandingkan dengan cara konvensional yang biasa dilakukan oleh masyarakat selama ini

didapatkan bahwa jumlah anakan 40 – 80 batang, jauh lebih banyak dari anakan dengan

cara konvensional yang hanya 15 – 30 batang dan produksi 7,8 t ha-1, sementara rata-rata

produksi padi Sumatera Barat hanya 4,5 t ha-1. Menurut Joelibarison (1998) dalam

Berkelaar (2001), tingginya hasil SRI dibandingkan dengan konvensional, didukung oleh

tingginya komponen hasil.

Metode SRI berikutnya adalah penggunaan jarak tanam yang lebih renggang

sangat dianjurkan. Untuk itu jarak tanam yang umum digunakan adalah (25 cm x 25 cm)

atau lebih renggang dari pada itu seperti, (33 cm x 33 cm), (40 cm x 40 cm) atau bahkan

(50 cm x 50 cm), dengan jarak tanam yang lebih renggang ini memberikan kesempatan

kepada akar untuk tumbuh dan menyebar lebih luas sehingga akan memberikan

(5)

Pengelolaan budidaya padi menggunakan metode SRI juga dapat menghemat

penggunaan air sampai 50% (Kasim, 2004). Air yang tergenang membuat sawah

menjadi hypoxic (kekurangan oksigen) bagi akar dan tidak ideal untuk pertumbuhan.

Untuk itu perlu adanya periode kering 3-4 hari (Bauman, et al., 2002), agar tanaman

memperoleh aerase yang baik. Pemberian air hendaklah diberikan sesuai dengan

kebutuhan tanaman saja dalam rentang kapasitas lapang (Hakim, Nyakpa, Lubis,

Nugroho, Saul, Diha, Hong, dan Bailley, 1986).

Pemberian air pada stadia vegetatif tidak tergenang, air hanya diberikan untuk

menjaga agar tanah lembab. Penggenangan yang terus menerus disamping pemborosan

dalam penggunaan air juga memberikan dampak kurang baik untuk pertumbuhan dan

perkembangan padi. Menurut Berkelaar (2001), air yang menggenang membuat sawah

menjadi hypoxic (kekurangan oksigen) bagi akar dan tidak ideal untuk pertumbuhan. Akar

padi akan mengalami penurunan bila sawah digenangi air, hingga mencapai ¾ total akar

saat tanaman mencapai masa berbunga. Saat itu akar akan mengalami die back (akar

hidup tapi bagian atas mati). Keadaan ini disebut juga senescence, yang merupakan proses

alami, tapi menunjukan tanaman sulit bernafas, sehingga menghambat fungsi dan

pertumbuhan tanaman. Disamping itu pada sawah tergenang air, di akar akan terbentuk

kantung udara (aerenchyma) yang berfungsi untuk menyalurkan oksigen, namun kantung

(6)

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini berbentuk percobaan lapangan di lokasi Kebun Percobaan Fakultas

Pertanian Universitas Andalas, Limau Manis Padang, Sumatera Barat. Penelitian

berlangsung selama empat bulan yang dimulai bulan Juni 2005.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi benih padi varitas Cisokan,

pupuk Urea, SP-36, dan KCl, insektisida Ripcord, dan fungisida Dithene M-45, sebagai

pembasmi hama dan penyakit.

Alat yang dibutuhkan pada penelitian ini meliputi meteran timbangan, timbangan

mikro, cangkul, insektisida, pestisida, alat semprot, oven, leaf area meter, multitester, dan

termometer..

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok

(RAK), disusun secara faktorial yang terdiri dari dua faktor. Adapun kombinasi

perlakuannya sebagai berikut :

1. Faktor A adalah jumlah bibit per titik tanam terdiri dari :

A1 = 1 bibit per titik tanam

A2 = 2 bibit per titik tanam

A3 = 3 bibit per titik tanam

2. Faktor B adalah umur bibit terdiri dari :

B0 = benih langsung tanam (0 minggu).

B1 = bibit umur 1 minggu.

B2 = bibit umur 2 minggu.

Setiap satuan percobaan ditempatkan di atas petakan sawah berukuran (2 m x

1,5 m), dengan jarak tanam (25 cm x 25 cm), sehingga didapat 48 satuan titik tanam

(7)

Pengamatan dilakukan terhadap variabel, a) karakteristik pertumbuhan

berupa luas total helaian daun per rumpun, Indek luas daun rata-rata (ILD), Laju asimilasi

bersih rata-rata (LAB), Laju tumbuh tanaman Rata-rata ( LTT ), jumlah anakan, Rasio

akar dan brangkasan atas, dan b) komponen hasil berupa jumlah malai per rumpun,

panjang malai, jumlah gabah per malai, berat 1000 butir gabah, hasil per hektar, dan

Indek panen. Data dianalisa secara statistik menggunakan sidik ragam (uji F).

Apabila hasil sidik ragam berpengaruh maka pengujian dilanjutkan dengan analisa

nilai tengah perlakuan menggunakan DNMRT 0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Laju pertumbuhan tanaman dengan metode SRI menunjukkan adanya

peningkatan dibandingkan dengan penanaman secara konvensional. Pada budidaya

padi secara konvensional jumlah anakan yang terbentuk berkisar 15 – 30 batang per

rumpun (Kasim, 2004). Dibandingkan dengan hasil penelitian ini dengan

menerapkan metode SRI pada umur tanaman 6 minggu setelah pindah lapangan

(MSPL) jumlah anakan berkisar 36 - 62 batang per rumpun. Peningkatan jumlah

anakan per rumpun, tentu juga akan meningkatkan total luas daun dimana Total luas

daun per rumpun ditentukan secara interaktif oleh jumlah bibit dan umur bibit. Total

luas daun terbesar pada perlakuan 2 bibit dengan umur 2 minggu. Perlakuan ini

mempunyai kemampuan tumbuh lebih kuat. Sewaktu pemindahan ke lapangan daya

adaptasi pada lingkungan baru tumbuhnya sangat baik. Bibit sudah mempunyai

perakaran dan daun yang dapat digunakan untuk menunjang kelanjutan

(8)

Indek luas daun yang berkorelasi dengan jumlah anakan dan total luas daun

sejalan dengan peningkatan kedua komponen tersebut juga mengalami perubahan.

Pada awal-awal pertumbuhan pertambahan ILD berjalan sangat lambat akan tetapi

setelah tanaman berumur 4 MSPL ILD terus meningkat tajam. Pengukuran pertama

pada periode umur 2-3 MSPL indek luas daun rata-rata 0,09 dan pengukuran yang

terakhir pada umur 56 MSPL rataratanya naik menjadi 2,97 dengan kisaran 1,46

-4,12. Bibit yang berumur 2 minggu memiliki ILD cukup besar diikuti oleh 1 minggu

dan 0 minggu. Besarnya ILD pada 2 minggu didukung oleh pertambahan jumlah

anakan dimana hal ini akan menjadi faktor utama meningkatkan total luas daun dan

dengan demikian juga akan meningkatkan ILD daun (Ismunadji dan Manurung,

1988). Kemampuan bibit pindah lapang umur 2 minggu lebih kuat dengan telah

keluarnya akar dan daun untuk menunjang pertumbuhan selanjutnya.

Pada umur tanaman 5-6 MSPL, saat ini nilai ILD makin bertambah besar.

Indek luas daun terus meningkat mengakibatkan daun sudah saling menutup. Laju

fotosintesis dan respirasi mulai seimbang sehingga hasil asimilat dari masing masing

perlakuan yang diberikan sudah tidak nyata lagi. Nilai LAB-pun semakin turun

dibandingkan dengan periode awal pengamatan. Sesuai dengan pendapat Gardner,

(1991), LAB rendah apabila terdapat naungan dan penuaan daun hal tersebut akan

mengakibatkan berkurangnya laju fotosintesis, akan tetapi respirasi tetap

berlangsung. LAB paling tinggi nilainya pada saat tanaman sebagian besar daunnya

terkena cahaya matahari langsung. Sejalan dengan perkembangan tanaman dan

(9)

menyebabkan menurunnya LAB selama masa pertumbuhan selanjutnya. Nilai-nilai

tersebut akan berpengaruh terhadap Laju tumbuh tanaman (LTT).

Pada periode 5-6 MSPL nilai LTT tertinggi adalah 1 bibit per titik tanam

dengan umur 2 minggu. Hal ini menunjukan bahwa pemakaian 1 bibit per titik tanam

diikuti dengan penggunaan umur bibit 2 minggu memiliki nilai LTT yang lebih besar

dari yang lainnya. Peningkatan ini didukung pula oleh peningkatan LAB dan total

luas daun.

Penggunaan 1 bibit per titik tanam pada awalnya memang menunjukan

pertumbuhan yang lamban akan tetapi pada minggu-minggu selanjutnya mulai

berkembang dengan pesat dan bahkan dapat melampaui 2 dan 3 bibit per titik tanam.

Pemakaian bibit 2 atau 3 per titik tanam sudah mulai terjadi persaingan antar

tanaman, sedangkan dengan 1 bibit per titik tanam persaingan ini dapat dikurangi,

sehingga perkembangan anakan tetap berjalan dengan baik. Peningkatan

pertumbuhan dengan jumlah 1 bibit per titik tanam berkembang cepat dengan

semakin pesatnya pertambahan jumlah anakan per rumpun. Pada umur 6 MSPL

jumlah anakan secara statistik sudah menunjukan perbedaan yang tidak nyata lagi.

Hal ini juga satu pertanda bahwa 1 bibit per titik tanam memberikan anakan yang

sama banyak dengan 2 atau 3 bibit per titik tanam.

Penggunaan umur bibit 2 minggu memiliki nilai LTT yang lebih besar dari

yang lainnya. Peningkatan ini didukung pula oleh peningkatan LAB dan total luas

daun, dengan demikian tentunya akan berpengaruuh terhadap hasil tanaman. Hasil

tanaman akan ditentukan oleh laju petumbuhan yang baik yang kemudian didukung

(10)

Uumur bibit 2 minggu memberikan hasil yang tertinggi sebanyak 8,56 t ha-1,

diikuti oleh bibit berumur 1 minggu dan 0 minggu atau ditugal langsung di lapangan

masing-masing 7,26 t ha-1 dan 4,98 t ha-1 ( Tabel 2 ). Besarnya hasil ini sejalan

dengan laju pertumbuhan tanaman yang lebih baik pada umur 2 minggu dibandingkan

dengan umur lainnya. Pertumbuhan yang baik ini dapat dilihat dari total luas daun

per rumpun yang besar, ILD, LAB dan LTT pada perlakuan umur bibit 2 minggu ini

juga cukup besar. Demikian pula dengan komponen hasil seperti jumlah malai per

rumpun, jumlah gabah per malai dan indek panen semuanya menunjukan hasil

[image:10.612.120.522.392.531.2]

terbesar pada bibit umur 2 minggu.

Tabel 2. Haasil per hektar pada berbagai jumlah bibit per titik tanam dan umur bibit.

Jumlah bibit Umur bibit Pengaruh tunggal jumlah bibit 0 Minggu 1 Minggu 2 Minggu

…………... ton ha-1 …….…...

1 Bibit 5,71 7,63 9,05 7,46 2 Bibit 4,22 7,07 7,94 6,41 3 Bibit 5,02 7,07 8,68 6,93 Pengaruh tunggal

umur bibit 4,98 a 7,26 b 8,56 c

Keterangan : Berdasarkan Sidik Ragam hanya umur bibit yang teruji. Angka-angka pada baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda menurut DNMRT 0,05

Tingginya hasil pada pemakaian bibit umur 2 minggu didukung oleh kondisi

bibit yang sudah cukup kuat untuk dapat dipindahkan ke lapangan. Bibit sudah

mempunyai 2 daun dan perakarannyapun sudah mulai keluar. Adaptasi bibit dengan

lingkungan sangat besar, sehingga bagian-bagian dari tanaman itu sendiri seperti akar,

(11)

sehingga pada saat dipindahkan ke lapangan, bibit tersebut tidak ketinggalan fase

anakan yang berlipat ganda (eksponensial). Dimana dari anakan inilah nantinya akan

menghasilkan jumlah malai dan gabah. Sejalan dengan pendapat Barkelaar (2001),

sebaiknya bibit ditransplantasi/pindah lapang lebih awal yaitu pada umur 1-2 minggu

agar tanaman tidak ketinggalan fase berlipat (eksponensial), karena bila bibit pindah

lapang melewati fase ini maka akar bibit mengalami trauma saat terkena sinar

matahari dan mengering saat ditanam ditempat yang tidak ada kontak dengan udara

dan hasil bulu akar keluar dari akar pertama akan hilang atau rusak jika terlambat

ditransplantasi.

Jika dilihat dari pengaruh tunggal jumlah bibit per titik tanam walaupun

secara statistik tidak berpengaruh. Akan tetapi secara tabulasi tampak penggunaan

jumlah 1 bibit per titik tanam memberikan hasil sebesar 7,46 t ha-1, diikuti oleh 3 bibit

per titik tanam 6,93 t ha-1 dan 2 bibit 6,41 t ha-1. Hasil berkisar antara 4,12 – 9,05 t ha

-1. Hasil ini apabila dibandingkan dengan hasil yang dicapai di Madagaskar sebesar 1

—15 t ha-1, memang masih sangat rendah (Bakelaar, 2001). Hasil penelitian ini

hampir sama dengan yang didapatkan oleh Gani et al., (2002), pada musim hujan

hasil rata-rata 6,8 ton ha-1, dan musim kemarau mencapai 9,5 t ha-1.

Pada Tabel 2 dapat dilihat hasil tertinggi (walaupun tidak terjadi interaktif

antara jumlah bibit per titik tanam dengan umur bibit) pada 1 bibit per titik tanam,

disebabkan oleh kurangnya kompetisi akar tanaman dalam satu rumpun dalam

mengambil unsur hara dan cahaya sehingga pertumbuhan tanaman padi lebih baik,

seperti yang telah dikemukakan diatas. Menurut Wang Shao-hua, Wexcing, Dong,

(12)

perubahan proses fisiologis yang lebih baik yakni meningkatnya kemampuan akar,

kandungan gula terlarut, nitrogen non protein, prolin dan bahan kering pada organ

vegetatif, persentase partisi asimilat yang disimpan, persentase luas daun yang efektif,

jumlah malai per unit luas, dan bobot seludang serta persentase anakan produktif.

Penerapan budidaya dengan menggunakan SRI, yakni dengan menggunakan 1

bibit per titik tanam dengan umur 10-14 hari, bertujuan agar tidak terjadi persaingan

diantara akar tanaman yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Bibit yang

dipindahkan dan ditanam satu-satu memiliki ruang untuk menyebar dan meperdalam

perakaran sehingga tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh akar,

cahaya atau nutrisi dalam tanah. Sistem perakaran akan menjadi sangat berbeda jika

ditanam satu-satu, dimana akar tumbuh kuat menyebar (Barkelaar, 2001).

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan terhadap

pengaruh jumlah bibit per titik tanam dan umur bibit dengan menerapkan sistem SRI

dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan antara jumlah bibit per titik tanam dan umur bibit dalam

metode SRI (The System of Rice Intensification) pada pertumbuhan, luas total

daun per rumpun dan LTT.

2. Pengaruh tunggal umur bibit menunjukan umur bibit 2 minggu memberikan

pengaruh terbaik pada pertumbuhan ILD, jumlah malai per rumpun, hasil per

(13)

3. Pengaruh tunggal jumlah bibit per titik tanam menunjukan jumlah 2 bibit dan

3 bibit memberikan pengaruh yang sama baik pada pertumbuhan ILD, ratio

akar dan brangkasan atas dan Indek panen.

DAFTAR PUSTAKA

Berkelaar, D. 2001. Sistem intensifikasi padi (the system of rice intensification-SRI) : Sedikit dapat memberi lebih banyak. 7 hal terjemahan. ECHO, Inc. 17391 Durrance Rd. North Ft. Myers FL. 33917 USA.

Defeng, Z., Shihua, C., Yuping, Z., and Xiqing, L. 2002. Tillering patterns and the contribution of tillers to grain yield with hybrid rice and wide spacing. China National Rice Resseach Institute, Hangzau.

Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan. 2004. Pedoman umum pengembangan padi varietas unggul tipe baru (VUTB). Jakarta 2004.

Gani, A., T.S. Kadir, A. Jatiharti, I.P. Wardhana, and I. Las. 2002. The system of rice intensification in Indonesia. Research Institute for Rice, Agency for Agricultural Reseach and Development. Bogor.

Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.R. Saul, M.A. Diha, Go Ban Hong dan H.H. Baillley. 1986. Dasar dasar ilmu tanah. Universitas Lampung.

Kasim, M. 2004. Manajemen penggunaan air: meminimalkan penggunaan air untuk meningkatkan produksi padi sawah melalui sistem intensifikasi padi (The System of rice intensification-SRI). Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Unand. Padang 2004.

Qingquan, Y. 2002. The system of rice intensification and its use with hybrid rice varietas in China. Hunan Agricultural University Changsha, Hunan.

(14)

Uphoff, N. 2002. Presentation for c on raising agricultural productivity in the tropics: Biophysical challenges for technology and policy: The system of rice intensification developed in Madagaskar.

Utomo, M., dan Nazaruddin. 2000. Bertanam padi sawah tanpa olah tanah. PT Penebar Swadaya. Jakarta..

(15)

Gambar

Tabel 2.  Haasil per hektar pada berbagai jumlah bibit per titik tanam dan umur                bibit.

Referensi

Dokumen terkait

Sekolah melaksanakan rehabilitasi ruang kelas rusak berat beserta perabotnya dan/atau pembangunan ruang perpustakaan beserta perabotnya secara swakelola sesuai peraturan

Di negara ini, kemelut politik selama beberapa hari membabitkan perubahan kerajaan dilihat sedikit sebanyak menjejaskan penumpuan dalam menangani penularan COVID-19.. Jelas

Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap penggunaan OAT pada penderita TB Paru di Indonesia ditinjau

Variabel Definisi Konsep Definisi Operasional Dimensi Indikator Kepercayaan merk (X2) Kepercayaan merk didefinisikan sebagai persepsi akan kehandalan dari sudut

persentase tanggapan siswa terhadap aspek kemenarikan e-book interaktif, maka dapat dikatakan bahwa e-book interaktif berbasis representasi kimia pada materi ikatan

Media yang dikembangkan pada penelitian ini yaitu multimedia interaktif dilengkapi dengan simulasi berupa animasi yang bertujuan untuk memvisualisasikan konsep

Kedua (2b), siswa diminta untuk menginferensi apa yang ber- pengaruh pada ¿T b larutan elektrolit. Pada soal siswa diminta untuk memprediksikan larutan elektrolit

Adapun karakter terpuji yang diharapkan dapat ditanamkan pada siswa SMP PGRI Gurah Kab Kediri dalam kegiatan keagamaan sholat dhuha ini yaitu: karakter religious, dalam kegiatan