PEMAKAIAN GAYA BAHASA DAN DIKSI TOKOH
MASYARAKAT DALAM SURAT KABAR KOMPAS
(SUATU TINJAUAN PRAGMASEMANTIK)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Fransiska Budi Fitriana 101224019
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2015
i
PEMAKAIAN GAYA BAHASA DAN DIKSI TOKOH
MASYARAKAT DALAM SURAT KABAR KOMPAS
(SUATU TINJAUAN PRAGMASEMANTIK)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Fransiska Budi Fitriana 101224019
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2015
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada Allah, kedua orangtuaku (bapak dan ibu), kakak-kakakku dan adikku, serta para sahabatku.
v MOTTO
Pintar dengan belajar dan cerdas dengan mengajar
Tuhan, bukalah telingaku, mulutku, dan mata hatiku untuk mewartakan karya dan kabar gembira-Mu
Hanya dekat Allah saja aku tenang dari pada-Nyalah keselamatanku. Hanya Dialah Gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah (Mazmur: 62: 2-3)
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah dalam bentuk skripsi yang saya susun ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 2 Februari 2015 Penulis,
vii
ABSTRAK
Fitriana, Fransiska Budi. 2015. Pemakaian Gaya Bahasa dan Diksi Tokoh
Masyarakat dalam Surat Kabar Kompas (Suatu Tinjauan Pragmasemantik). Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa
Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif yang mengkaji tentang tindak tutur tokoh masyarakat dalam berita politik dan hokum surat kabar Kompas. Penelitian dilakukan dengan menggunakan tinjauan pragmasemantik. Tinjauan pragmasemantik adalah tinjauan yang menggabungkan atara teori pragmatik dan teori semantik, khususnya teori tetang tuturan dan konteksnya serta teori makna dan perubahan makna. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tuturan para tokoh masyarakat yang terdapat dalam berita politik dan hukum di harian Kompas. Data yang diambil adalah berupa kata-kata (kalimat langsung) dan konteksnya edisi Februari – April 2014. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik baca dan catat.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan dua hasil berdasarkan rumusan masalah. Pertama, bagaimana pemakaian gaya bahasa tokoh masyarkat dalam berita politik dan hukum pada harian Kompas (a) ditemukan dua belas gaya bahasa yaitu, simile, metafora, personifikasi, antitesis, hiperbola, litotes, ironi, zeugma, metonimia, sinekdoke, kilatan (alusi) dan eufemisme, (b) gaya bahasa memiliki cara untuk menempatkan posisi di dalam kalimat yaitu, melalui kesamaan makna, dekatan makna, dan penerapan makna, (c) maksud pemakaian gaya bahasa pada umumnya untuk mengefektifkan tuturan, menegaskan suatu kritikan atau perintah, dan menyatakan penjelasan tentang suatu hal, membandingkan suatu hal, menyindir secara halus, dan saling menyerang antara politikus.
Kesimpulan kedua adalah mengenai bagaimana pemakaian diksi tokoh masyarakat dalam berita politik dan hukum pada harian Kompas (a) ditemukan sepuluh jenis diksi yaitu, makna denotatif, makna konotatif, kata umum, kata khusus, kata bersinonim, kata berantonim, kata konkret, kata abstrak, kata berasa, dan kata lugas. Tokoh masyarakat sering menggunakan diksi makna konotatif dan kata abstrak, (b) beberapa makna yang ditemukan dalam diksi tersebut yaitu, makna denotatif, makna konotatif, makna emotif, makna referensial, makna konseptual, makna ideasional, dan makna umum, (c) diksi digunakan untuk maksud memberi kritikan, menyampaikan ide, menyampaikan penjelasan dengan rincian, memberi kesaksian/keterangan, mengungkapkan perasaan, memengaruhi, memperjelas pernyataan, dan mempertegas maupun mengaburkan makna.
Ada dua saran yang ingin disampaikan peneliti yaitu, penelitian yang ditinjau secara pragmasemantik ini dapat diperdalam dan dikembangkan lebih lanjut yaitu mengenai keefektifan pemakaian gaya bahasa dan diksi. Penelitian ini juga dapat dikembangkan dengan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan penutur menggunakan gaya bahasa dan diksi.
viii
ABSTRACT
Fitriana, Fransiska Budi. 2015. The Use of Language Styles and Dictions of the
Public Figures in Kompas Daily Newspaper (A Pragma-Semantics Review). Thesis. Yogyakarta: Indonesian Language Literature Study
Program, Teachers‟ Training Faculty, Sanata Dharma University Yogyakarta.
This research was a descriptive qualitative research that examined the public figures‟ speech act in political and law news, Kompas. This research was conducted using pragma-semantics review. Pragma-semantics review is a review that combines the theory of pragmatic and the theory of semantics, especially the theory on speech and the contexts, and the theory of meaning and the meaning changing. The data used in this research were the public figures‟ speech written in political and law news, Kompas. The data taken were in the forms of direct sentences and the contexts. The data collected from Kompas issued February – April 2014. The data were collected using reading and note-taking techniques.
Based on the research conducted, there were two conclusions made based on the research problems. First, how the public figures used the speech in political and law news, Kompas (a) there were twelve language styles. They were simile, metaphor, personification, antithesis, hyperbole, litotes, irony, zeugma, metonymy, synecdoche, allusion, and euphemism, (b) language styles had positions in the sentences through the similarity of meaning, proximity of meaning, and application of meaning, (c) the language styles were used to make the speech effective, affirm a criticism or a command, state the explanation of a thing, compare things, insinuate subtly, and attack each other.
Second, how the public figures used the dictions in political and law news,
Kompas (a) there were ten kinds of dictions, i.e. denotative meaning, connotative meaning, general meaning, specific meaning, synonyms, antonyms, concrete meaning, abstract meaning, and clear words. Public figures often used dictions with connotative meaning and abstract words, (b) several meanings found in the dictions were denotative meaning, connotative meaning, emotive meaning, referential meaning, conceptual meaning, ideational meaning, and general meaning, (c) dictions were used to give criticism, deliver ideas, convey explanation in details, clarify statement, and reinforce or obscure meaning.
The researcher would like to give two suggestions. This pragma-semantics research could be developed, focusing on the affectivity of the use of language styles and dictions. This research could also be developed by analyzing the factors that make the speakers use language styles and dictions.
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Fransiska Budi Fitriana Nomor Mahasiswa : 101224019
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
“PEMAKAIAN GAYA BAHASA DAN DIKSI TOKOH MASYARAKAT DALAM SURAT KABAR KOMPAS
(SUATU TINJAUAN PRAGMASEMANTIK)”
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 2 Februari 2015 Yang menyatakan,
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih karunia dan penyertaan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemakaian Gaya Bahasa dan Diksi Tokoh Masyarakat dalam Surat Kabar Kompas: Suatu Tinjauan Pragmasemantik” dengan lancar. Tujuan penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa selama proses penyelesaian skripsi ini banyak pihak yang telah membantu, sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan lancar. Sehubungan dengan hal tersebut, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang selama ini telah memberikan bantuan, bimbingan, nasihat, motivasi, doa, semangat, dan kerja sama yang tidak ternilai harganya dari awal sampai akhir penulisan skripsi ini. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rohandi, Ph.D. selaku Dekan FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 2. Dr. Yuliana Setiyaningsih selaku Kaprodi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan dosen pembimbing yang memberikan arahan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis dalam proses menyelesaikan skripsi.
3. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. selaku dosen pembimbing pertama, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bimbingan, arahan, motivasi, waktu, pikiran, kesabaran, dan tenaga selama membimbing penulis.
4. Seluruh Dosen PBSI yang sudah membimbing dan memberikan banyak ilmu pengetahuan dan wawasan kepada penulis selama belajar di Prodi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI).
5. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yang telah menyediakan buku-buku sebagai penunjang penulis dalam menyelesaikan skripsi.
xi
6. Karyawan sekretariat PBSI yang telah membantu penulis dalam memberikan informasi dan pelayanan administrasi yang baik kepada penulis.
7. Kedua orang tuaku terkasih Bapak Yohanes Ngatimin dan Ibu Agnes Suprapti yang senantiasa memberikan doa, dukungan, semangat, motivasi, nasihat, serta kasih yang tiada hentinya kepada penulis.
8. Kedua saudariku tercinta Lucia Niken dan Anna Budi Aprilanita serta Mas Pery yang selalu memberikan dukungan, doa, kasih, nasihat, semangat, dan motivasi yang luar biasa kepada penulis.
9. Alm. Anselmus Ari Prasetyo sebagai pemberi motivasi yang luar biasa kepada penulis untuk menyelesaikan studi di PBSI.
10. Teman-teman tercinta secara khusus kepada Alfonsia Novita Momat, S.Pd., Anastasia Tatiana Fabi, S.Pd., Brigita Familia, Ester Lestari, S.Pd., Elisabeth Iga, S.Pd., Wilvridus Yolesa, Sebastianus Seno Kurniawan, S.Pd., Asri Agusulystianingrum, S.Pd., dan seluruh teman-teman PBSI angkatan 2010 pada umumnya. Terima kasih atas cinta dan dukungan kalian.
11. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Yogyakarta, 2 Februari 2015 Penulis,
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR BAGAN ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 6
1.5 Manfaat Penelitian ... 6
1.6 Batasan Istilah ... 7
xiii
2.1 Penelitian Terdahulu ... 10
2.2 Kajian Teori ... 13
2.2.1 Gaya Bahasa ... 13
2.2.2 Jenis-jenis Gaya Bahasa ... 14
2.2.3 Prinsip-prinsip Gaya Bahasa... 25
2.2.4 Diksi (Pilihan Kata) ... 27
2.2.5 Berita... 38
2.2.6 Berita Politik ... 41
2.2.7 Pragmatik ... 42
2.2.8 Tindak Tutur ... 45
2.2.9 Semantik ... 50
2.2.10 Makna dan Gaya Bahasa ... 51
2.2.11 Jenis Makna dalam Pilihan Kata/Diksi ... 54
2.2.12 Pragmasemantik ... 57
2.3 Kerangka Berpikir ... 61
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 62
3.1 Jenis Penelitian ... 62
3.2 Sumber Data dan Data Penelitian ... 63
3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 64
3.4 Instrumen Penelitian ... 65
3.5 Teknik Analisis Data ... 66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 68
4.1 Deskripsi Data ... 68
4.2 Analisis Data ... 69
xiv
4.2.1.1 Gaya Bahasa Personifikasi ... 69
4.2.1.2 Gaya Bahasa Metafora (Kiasan) ... 72
4.2.1.3 Gaya Bahasa Perumpamaan (Simile) ... 77
4.2.1.4 Gaya Bahasa Antitesis ... 80
4.2.1.5 Gaya Bahasa Hiperbola ... 84
4.2.1.6 Gaya Bahasa Litotes... 88
4.2.1.7 Gaya Bahasa Ironi ... 90
4.2.1.8 Gaya Bahasa Zeugma... 91
4.2.1.9 Gaya Bahasa Metonimia ... 93
4.2.1.10 Gaya Bahasa Sinekdoke ... 95
4.2.1.11 Gaya Bahasa Alusi ... 99
4.2.1.12 Gaya Bahasa Eufemisme ... 100
4.2.2 Analisis Diksi ... 103 4.2.2.1 Makna Denotatif ... 104 4.2.2.2 Makna Konotatif ... 107 4.2.2.3 Kata Bersinonim ... 110 4.2.2.4 Kata Berantonim ... 112 4.2.2.5 Kata Konkret ... 115 4.2.2.6 Kata Abstrak ... 118 4.2.2.7 Kata Umum ... 121 4.2.2.8 Kata Khusus ... 124 4.2.2.9 Kata Berasa ... 124 4.2.2.10 Kata Lugas ... 126 4.3 Pembahasan ... 130
xv
4.3.2 Pembahasan Diksi (Pilihan Kata) ... 133
BAB VPENUTUP ... 139 5.1 Kesimpulan ... 139 5.2 Saran ... 141 DAFTAR PUSTAKA ... 142 LAMPIRAN ... 144 BIODATA PENULIS ... 321
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Format Tabel Penelitian Gaya Bahasa ... 66 Tabel 1.2 Format Tabel Penelitian Diksi ... 66
xvii
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Klasifikasi Gaya Bahasa Kosasih ... 23 Bagan 1.2 Kerangka Berpikir ... 61
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabulasi dan analisis data penelitian
Tabel 1.1 Tabulasi dan Analisis Data Diksi ... 144
Tabel 1.2 Tabulasi dan Analisis Data Gaya Bahasa ... 172
Lampiran 2. Triangulasi Diksi Bahasa dan Gaya Bahasa Tabel 2.1 Triangulasi Diksi ... 215
Tabel 2.2 Triangulasi Gaya Bahasa ... 257
Lampiran 3. Gambar Berita Politik Hukum, Kompas Gambar I. Berita Satu Bara Di Balik Kemitraan ... 311
Gambar II. Berita Menjaga Dada Tetap Merah Putih ... 312
Gambar III. Berita HUT Gerindra Tanpa Prabowo ... 313
Gambar IV. Berita Pemimpin Harus Bersikap Patriotik ... 314
Gambar V. Berita Pulau Surga Tak Semua Indah ... 315
Gambar VI. Nasdem Targetkan Minimal 77 Kursi ... 316
Gambar VII. Ketua DPD RI Singgung Soal Pemilu ... 317
Gambar VIII. Akil Akui Minta Imbalan ... 318
Gambar IX. Demokrasi dan Ekonomi Alami Kemajuan ... 319
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta budaya dapat cepat tersebar luas karena adanya sarana-sarana yang dapat menyebarluaskannya. Salah satu sarana yang sangat penting dalam penyebarluasan tersebut adalah bahasa. Menurut Keraf (1991:2) bahasa adalah alat komunikasi antar-anggota masyarakat, berupa lambang bunyi ujaran, yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa sebagai alat komunikasi dapat digunakan untuk menyampaikan gagasan atau ide yang dimiliki manusia. Bahasa merupakan saluran perumusan maksud, melahirkan perasaan, dan memungkinkan untuk menciptakan kerja sama dengan orang lain (Sumadiria, 2011:8).
Sebagai alat komunikasi, bahasa memerlukan peranan suatu media. Peran media adalah sebagai sarana penyebarluasan. Salah satu media yang saat ini sering digunakan untuk penyebarluasan suatu informasi adalah surat kabar. Surat kabar memberikan beragam informasi, di antaranya adalah berita politik, ekonomi, budaya, pendidikan, sampai berita kriminal. Surat kabar tidak hanya memberikan informasi mengenai beberapa hal tersebut. Kita juga dapat mengetahui dan belajar mengenai bahasa melaui media surat kabar.
Surat kabar selalu menyajikan suatu peristiwa yang sedang hangat terjadi dan menyorot objek-objek tertentu seperti tokoh-tokoh masyarakat. Salah satu peristiwa yang sangat diminati oleh masyarakat adalah berita politik. Melalui surat kabar, para tokoh masyarakat sering mengungkapkan pendapat atau gagasannya. Sebagai tokoh masyarakat, tentu tindak tanduknya disorot oleh publik, tidak terkecuali bahasa yang digunakan. Tindak tanduk tersebut, selain menjadi sorotan juga menjadi contoh bagi masyarakat. Saat ini banyak sekali tokoh masyarakat yang kurang memperhatikan cara berbahasanya, terutama kesantunan dalam berbahasa. Pemakaian bahasa yang kurang memerhatikan kesantunan tersebut dapat merugikan dirinya sendiri juga mitra tuturnya. Seperti yang diungkapkan Pranowo (2009) pemakaian bahasa yang mengandung nilai rasa kurang baik, dapat menyakiti mitra tutur, pendengar atau pembacanya.
Walaupun terdapat tokoh masyarakat yang menggunakan bahasa yang kurang santun saat mengkritik, ada juga tokoh masyarakat yang masih memerhatikan kesantunan. Mengunakan bahasa yang santun tentunya menimbulkan berbagai dampak positif, baik untuk orang lain maupun dirinya sendiri. Dampak positif untuk orang lain adalah, orang lain tidak tersinggung atau marah. Sedangkan dampak positif untuk diri sendiri adalah dikenal menjadi pribadi yang baik. Hal ini didukung oleh pernyataan Pranowo (2009:3) bahwa ungkapan kepribadian seseorang yang perlu dikembangkan adalah ungkapan kepribadian yang baik, benar, dan santun, sehingga mencerminkan budi halus dan pekerti luhur seseorang.
Usaha untuk meningkatkan kesantunan dalam berbahasa juga banyak dipengaruhi oleh faktor kebahasaan/verbal. Faktor tersebut adalah pemilihan kata
atau diksi dan gaya bahasa yang digunakan. Menurut Pranowo (2009:16-18) santun tidaknya pemakaian bahasa setidaknya dapat dilihat dari dua hal, yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Pemilihan kata yang dimaksud adalah ketepatan dalam pemilihan dan penggunaan kata untuk mengungkapkan makna dan maksud dengan memerhatikan konteks tertentu. Selain itu, pemakaian suatu gaya bahasa saat bertutur juga berfungsi untuk memperhalus suatu tuturan.
Dalam upaya memperhalus tuturan, tokoh masyarakat juga menggunakan pemilihan kata (diksi) dan gaya bahasa dalam berkomunikasi. Diksi merupakan ketepatan pemilihan kata dalam berkomunikasi, selain itu diksi juga mempersoalkan apakah kata yang dipilih itu dapat diterima atau tidak merusak suasana yang ada. Penguasaan kosa kata sangat diperlukan dalam berkomunikasi, begitu pula dengan tokoh masyarakat. Seorang tokoh masyarakat juga memerlukan perbendaharaan kosa kata yang luas. Seseorang yang memiliki perbendaharaan kosa kata yang luas tentunya akan berusaha untuk menetapkan secara cermat kata mana yang harus dipakainya dalam konteks tertentu. Sebaliknya, seseorang yang miskin kosa kata akan sulit menemukan kata yang tepat. Hal itu disebabkan karena pertama, ia tidak tahu bahwa ada kata lain yang lebih tepat, dan kedua, ia tidak tahu bahwa ada perbedaan antara kata-kata yang bersinonim itu (Keraf, 1984:24). Oleh sebab itu, seorang tokoh masyarakat memerlukan perbendaharaan kosa kata yang luas pada dirinya. Hal itu diperlukan karena mengingat kedudukannya yang penting di tengah masyarakat dan menjadi sorotan bagi masyarakat luas.
Tindak tutur para tokoh masyarakat juga sering terdapat dalam berita di surat kabar. Tuturan mereka dalam surat kabar juga dapat mencerminkan kepribadian dan
perbendaharaan kosa kata yang mereka miliki. Seorang tokoh masyarakat yang memiliki perbendaharaan kosa kata yang luas tentunya akan memilih secara tepat setiap kata yang akan mereka ungkapkan.
Selain pemilihan kata, saat berkomunikasi juga sering menggunakan gaya bahasa. Gaya bahasa merupakan cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pemakai bahasa. Pemakain gaya bahasa yang baik memiliki syarat yaitu, gaya bahasa harus mengandung tiga unsur:
kejujuran, sopan-santun, dan menarik (Keraf, 1984:113).
Pemakaian gaya bahasa tidak hanya digunakan masyarakat secara umum. Tokoh masyarakat juga sering menggunakan gaya bahasa untuk menyampaikan maksud atau gagasannya. Melalui gaya bahasa yang mereka gunakan, kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan mereka.
Oleh sebab itu, penelitian yang berjudul “Pemakaian Gaya Bahasa dan Diksi Tokoh Masyarakat dalam Surat Kabar Kompas (Suatu Tinjauan Pragmasemantik)” berupaya untuk meneliti diksi dan gaya bahasa yang digunakan tokoh masyarakat yang tercatat dalam media massa, khususnya media massa cetak, yaitu surat kabar
Kompas.
Kompas dipilih sebagai objek penelitian dengan beberapa pertimbangan. Pertimbangan tersebut adalah cakupan surat kabar yang sangat luas, ditinjau dari segi pemasaran yang mencakup seluruh Indonesia. Selain itu, surat kabar Kompas tentunya memiliki jumlah pembaca yang besar dengan cakupan pemasaran yang luas tersebut.
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan dan pandangan mengenai pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai bagaimana pemakaian diksi dan gaya bahasa yang digunakan para tokoh masyarakat saat berkomunikasi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka disusunlah dua rumusan masalah. Rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana pemakaian gaya bahasa tokoh masyarakat dalam surat kabar Kompas edisi Februari – April 2014 yang ditinjau berdasarkan tinjauan pragmasemantik? 2. Bagaimana pemakaian diksi tokoh masyarakat dalam surat kabar Kompas edisi
Februari – April 2014 yang ditinjau berdasarkan tinjauan pragmasemantik?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan, penelitian ini bertujuan menemukan gaya bahasa dan diksi para tokoh masyarakat dalam surat kabar Kompas yang ditinjau secara pragmasemantik. Secara terinci, tujuannya sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan pemakaian jenis-jenis gaya bahasa para tokoh masyarakat ketika berkomunikasi dalam surat kabar Kompas edisi Februari-April 2014 berdasarkan tinjauan pragmasemantik.
2. Mendeskripsikan pemakaian jenis-jenis diksi para tokoh masyarakat ketika berkomunikasi dalam surat kabar Kompas edisi Februari-April 2014 berdasarkan tinjauan pragmasemantik.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan Surat Kabar Harian Kompas edisi Februari – April 2014. Bagian surat kabar yang diteliti adalah berita politik dan hukum surat kabar harian Kompas. Permasalahan yang dapat dikaji dari wacana ini sangat banyak. Namun, penulis hanya akan memberikan perhatian khusus pada pemakaian jenis-jenis gaya bahasa dan diksi yang digunakan oleh tokoh masyarakat, pengubahan makna yang terjadi di dalam gaya bahasa, makna yang terkandung di dalam diksi, serta maksud yang terkandung di dalam gaya bahasa dan diksi.
Analisis mengenai gaya bahasa akan menggunakan teori prinsip-prinsip gaya bahasa dari Gorys Keraf dan teori jenis-jenis gaya bahasa dari Tarigan. Selain itu, penelitian ini juga mengacu pada teori jenis-jenis diksi dari Kunjana Rahardi. Jenis gaya bahasa dan diksi tersebut akan ditinjau secara pragmatik dengan menggunakan teori Yule dan Nandar dan ditinjau secara semantik dari teori Pateda.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian terhadap pemakaian diksi dan gaya bahasa dalam surat kabar
Kompas dapat memberi manfaat sebagai berikut:
1. Bagi Mahasiswa
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan, informasi, bagi mahasiswa mengenai diksi dan gaya bahasa.
2. Bagi Peneliti Lain
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi peniliti lain untuk meneliti diksi dan gaya bahasa.
3. Bagi Kalangan Pendidik Bahasa dan Sastra Indonesia
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan bahan pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya materi yang berkaitan dengan media massa cetak seperti koran.
1.6 Batasan Istilah
1. Surat kabar
Surat kabar ialah penerbitan yang berupa lembaran yang berisi berita-berita, karangan-karangan, dan iklan yang dicetak secara tetap atau periodik dan di jual umum (Assegaf, 1982:140).
2. Berita
Berita adalah sebuah laporan atau pemberitahuan mengenai terjadinya sebuah peristiwa atau keadaan yang bersifat umum dan baru saja terjadi yang disampaikan oleh wartawan di media massa (Djuraid, 2009:9).
3. Berita politik
Berita politik adalah berita mengenai berbagai macam aktifitas politik yang dilakukan para pelaku politik di partai politik, lembaga legislatif, pemerintahan, dan masyarakat secara umum (Djuraid, 2009:50)
4. Gaya bahasa
Gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu dengan benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Pemakaian suatu gaya
bahasa dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu (Dale via Keraf, 1984:5)
5. Diksi
Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi (Gorys Keraf, 1984:25).
6. Pragmatik
Pragmatik merupakan studi mengenai hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakaian bentuk-bentuk itu. Ilmu pragmatik mengkaji bahasa dengan konteks yang melingkupi pemakaian bahasa tersebut (Yule, 2006:5).
7. Sematik
Semantik merupakan ilmu bahasa yang mempelajari makna di dalam bahasa (Pateda, 2010:15)
8. Pragmasemantik
Pragmasemantik merupakan suatu kajian yang menggabungkan antara ilmu semantik dan ilmu pragmatik. Kajian pertama kali dengan menggunakan ilmu semantik, yaitu menganalisis makna bahasa secara internal. Selanjutnya, dilakukan
kajian secara pragmatik, yaitu kajian bahasa yang dikaitkan dengan penutur dan konteksnya.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Berikut ini merupakan beberapa penelitian yang dianggap relevan dengan topik penelitian tentang diksi dan gaya bahasa. Relevansi tersebut terletak pada fokus penelitian yaitu gaya bahasa dan diksi. Terdapat tiga penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan penelitian ini.
Penelitian pertama dilakukan oleh Intan Paramita (2007) dengan judul penelitian “Struktur, Diksi, Majas, dan Karakteristik Feature Pendidikan, Studi Kasus Surat Kabar Kompas dan Kedaulatan Rakyat Bulan Maret – Agustus 2006”. Penelitian ini difokuskan untuk mendeskripsikan majas dan diksi pada feature pendidikan di Kompas dan Kedaulatan Rakyat Bulan Maret – April 2006. Berdasarkan penelitian ini, peneliti menemukan (a) diksi yang diperoleh dalam penelitian ini secara keseluruhan sudah tepat dan banyak menggunakan pilihan kata bidang pendidikan, sayangnya ada beberapa kata yang tidak diberi penjelasan lebih lanjut, (b) ditemukan tiga belas gaya bahasa yang diperoleh dalam penelitian ini, mencakup personifikasi, pararelisme, anafora, antitesis, hiperbola, metafora, asindenton, simile, perifrasis, klimaks, retoris, metonimia, dam ironi. Gaya bahasa yang sering ditemukan adalah paralelisme dan perifrasis, (c) Stuktur umum dalam feature pendidikan yang diteliti ini, mencakup judul, intro, dan penutup.
Penelitian Kedua dilakukan oleh Nur Wijayanti (2008) dengan judul penelitian “Diksi dan Gaya Bahasa Pada Kolom “Dari Redaksi” dan “Liputan” Majalah Sekolah
Eksperana SMP Bentara Wacana Muntilan”. Penelitian ini difokuskan pada
mendeskripsikan diksi dan gaya bahasa yang dipergunakan dalam kolom “Dari Redaksi” dan “Liputan” majalah sekolah Eksperana SMP Bentara Wacana Muntilan. Berdasarkan penelitian ini, peneliti menemukan pemakaian diksi (kata umum dan kata khusus serta kata baku dan nonbaku) dan penggunaan pemakaian gaya bahasa seperti simile, personifikasi, hiperbola, litotes, metafora, paradoks, sinekdoke, dan metonimia.
Penelitian ketiga dilakukan oleh Darius Hendro (2012) dengan judul penelitian “Analisis Diksi dan Gaya Bahasa Dalam Kolom Redaksi Yth Harian Kompas Edisi 1-30 April 2011”. Penelitian ini difokuskan pada kemunculan diksi dan gaya bahasa yang digunakan oleh penulis opini dalam SKH Kompas. Berdasarkan penelitian ini, peneliti menemukan penggunaan diksi berupa kata umum, kata khusus, kata baku, kata nonbaku, kata populer, kata kajian, kata abstrak, kata konkret, kata asli, dan kata serapan. Selain itu ditemukan adanya sepuluh jenis gaya bahasa yang digunakan dalam redaksi YTH, yaitu personifikasi, litotes, ironi, alegori, metonimia, hiperbola, metafora, paradoks, sinekdoke, dan simile. Gaya bahasa yang sering digunakan adalah gaya bahasa personifikasi.
Berdasarkan ketiga penelitian tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan. (a) Terdapat pemakaian gaya bahasa dan diksi pada setiap objek penelitian yang dilakukan. (b) Diksi dan gaya bahasa yang ditemukan pada setiap penilitian berbeda.
Di atas telah diuraikan beberapa penelitian yang dianggap relevan dengan penelitian ini yaitu dari segi fokus penelitian yaitu gaya bahasa dan diksi. Penelitian ini melanjutkan dan memperdalam teori diksi dan gaya bahasa, khususnya yang digunakan oleh tokoh masyarakat di dalam harian Kompas. Penelitian gaya bahasa dan diksi yang digunakan tokoh masyarakat ini akan ditinjau secara pragmasemantik. Tinjauan pragmasemantik merupakan studi yang menggabungkan ilmu pragmatik dan semantik. Tentunya, penelitian ini memiliki perbedaan dari penelitian-penelitian sebelumnya. Perbedaan tersebut terletak pada objek yang diteliti. Tuturan tokoh masyarakat, khususnya politikus menjadi objek yang diteliti dalam penelitian. Selain perbedaan, penelitian ini memiliki kelebihan yaitu mencoba menganalisis tuturan politikus yang mengandung gaya bahasa dan diksi dengan menggunakan tinjauan pragmasemantik. Penelitian ini akan mengelompokan pemakaian gaya bahasa dan diksi yang digunakan tokoh masyarakat. Selanjutnya, tuturan yang mengandung dua unsur tersebut akan ditinjau secara pragmasemantik. Tinjauan secara pragmasemantik digunakan untuk menganalisis makna dan maksud penutur. Gaya bahasa serta diksi yang digunakan tokoh masyarakat akan dianalisis makna dan maksudnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengidentifikasi apakah gaya bahasa dan diksi yang digunakan dapat mengefektifkan komunikasi atau memberikan pengaruh lain terhadap komunikasi atau tidak.
2.2 Kajian Teori 2.2.1 Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu dengan benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Pemakaian suatu gaya bahasa dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu (Dale via Keraf, 1984:5). Lebih lanjut Slametmuljana (via Pradopo, 2010:93) menjelaskan bahwa gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Pemakaian gaya bahasa dalam komunikasi memungkinkan kita untuk dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakannya. Pranowo (2009:90) mengungkapkan bahwa gaya bahasa dapat mengoptimalkan pemakaian bahasa dengan cara tertentu. Gaya bahasa merupakan faktor verbal yang dapat menentukan kesantunan berbahasa. Gaya bahasa sebagai penanda kesantunan sering digunakan dalam berkomunikasi. Beberapa gaya bahasa yang sering ditemukan dalam komunikasi, yaitu (a) gaya bahasa metafora, (b) gaya bahasa personifikasi, (c) peribahasa, dan (d) majas perumpamaan
Gaya bahasa sering disebut dengan majas. Menurut Kosasih (2002:40) majas adalah bahasa kias, bahasa yang dipergunakan untuk menciptakan efek tertentu. Majas sering pula disebut dengan gaya bahasa. Majas atau figurative language adalah bahasa yang dipergunakan secara imajinatif, bukan dalam pengertian yang benar-benar (Warrier via Tarigan, 1986:179). Bahasa berkias atau bukan pengertian yang sebenarnya dapat meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Gaya
bahasa juga merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan dan memengaruhi penyimak dan pembaca (Tarigan, 1986:179).
2.2.2 Jenis-jenis Gaya Bahasa
Tarigan (1986:5) mengelompokkan gaya bahasa ke dalam empat kelompok yaitu pertama, perbandingan yang terdiri atas gaya bahasa perumpamaan, gaya bahasa metafora, gaya bahasa personifikasi, gaya bahasa sindiran/alegori, dan gaya bahasa antitesis. Kedua, pertentangan yang terdiri atas gaya bahasa hiperbola, gaya bahasa litotes, gaya bahasa oksimoron, gaya bahasa ironi, gaya bahasa paronomasia, gaya bahasa paralipsis, dan gaya bahasa zeugma. Kelompok ketiga adalah pertautan yang terdiri atas gaya bahasa metonimia, gaya bahasa sinekdoke, gaya bahasa alusi, gaya bahasa eufemisme, gaya bahasa elipsis, gaya bahasa inversi, dan gradasi. Kelompok terakhir yaitu perulangan yang terdiri atas gaya bahasa aliterasi, antanaklasis, kiasmus, dan repetisi. Berikut ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai jenis-jenis gaya bahasa tersebut.
(a) Gaya Bahasa Perumpamaan / Simile
Perumpamaan sering disebut dengan simile. Kata simile berasal dari bahasa latin yang bermakna „seperti‟. Perumpamaan merupakan perbandingan atara dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja dianggap sama. Gaya bahasa perbandingan sering ditandai dengan kata-kata seperti, serupa, ibarat, baik, sebagai, umpama, laksana, dan penaka.
Contoh:
Ibarat mengejar bayangan Bak api dengan asap
Penaka ombak merindukan pantai Serupa perahu tidak berawak
(b) Gaya Bahasa Metafora / Kiasan
Gaya bahasa metafora dapat menolong seorang pembicara atau penulis melukiskan suatu gambaran yang jelas melalui komparasi atau kontras. Metafora berasal dari bahasa Yunani methaphora yang berarti „memindahkan‟. Metafora membuat perbandingan antara dua hal atau benda untuk menciptakan suatu kesan mental yang hidup walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit dengan kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, dan lain-lain. Gaya bahasa metafora merupakan gaya bahasa yang membandingkan suatu hal dengan hal yang lain tanpa menggunakan kata-kata pembanding. Menurut Poerwadarminta (via tarigan 1985:15) metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan.
Contoh:
Kapten kesebelasan itu mendapat kartu merah Gadis itu menjadi buah mulut orang kampung
Pendidikan jelas memelekkan mata hati ke arah kemajuan Fitnahnya menaikkan darah kami
(c) Gaya Bahasa Personifikasi / Penginsanan
Personifikasi atau penginsanan merupakan gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak. Sejalan dengan hal ini Pradopo (2010:75) menyatakan bahwa bahasa kias ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya
seperti manusia. Personofikasi berasal dari bahasa Latin persona (orang, pelaku, aktor, atau topeng yang dipakai dalam drama). Ketika kita menggunakan personifikasi, kita memberikan ciri-ciri atau kualitas, kualitas pribadi orang kepada benda-benda yang tidak bernyawa ataupun kepada gagasan.
Contoh:
Mentari mencubit wajahku
Bunga ros menjaga diri dengan duri
Pengalamannya mengajak kita tahan menderita Penelitiannya melahirkan gagasan baru
(d) Gaya Bahasa Sindiran / Alegori
Alegori adalah gaya bahasa berupa cerita yang diceritakan dalam lambang-lambang. Alegori kerap kali mengandung sifat-sifat moral dan spiritual manusia. Biasanya alegori berupa cerita-cerita panjang dan rumit dengan maksud atau makna terselubung. Alegori berasal dari bahasa Yunani allegorein yang berarti berbicara secara kiasan.
Contoh:
Fabel dan parabel cerita Kancil
(e) Gaya bahasa Antitesis
Antitesis berarti lawan yang tepat atau pertentangan yang benar-benar. Antitesis adalah sejenis gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara dua antonim (yaitu dua kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan).
Contoh:
Pada saat kami berduka atas kematian ayahku, mereka menyambutnya dengan kegembiraan tiada tara.
Gadis yang secantik si Ida diperistri si Dedi yang jelek itu.
Segala fitnah tentangnya itu dibalasnya dengan budi bahasa yang baik. Di satu pihak orangtua itu gembira atas perkawinan putranya, tetapi dipihak lain mereka waswas akan masa depannya.
Kelima gaya bahasa yang telah dijelaskan di atas termasuk dalam majas perbandingan. Setelah penjelasan mengenai gaya bahasa tersebut, selanjutnya akan dijelaskan gaya bahasa yang termasuk dalam majas pertentangan.
(f) Gaya Bahasa Hiperbola
Hiperbola adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan jumlahnya, ukuran atau sifatnya. Hal ini dimaksudkan untuk memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya.
Contoh:
Sempurna sekali, tiada kekurangan suatu apa pun buat pengganti baik atau
cantik.
Saya terkejut setengah mati menyaksikan penampilan yang menegakkan
bulu roma dan menghentikan detak jantung seperti itu
(g) Gaya Bahasa Litotes
Litotes merupakan gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikecil-kecilkan, dikurangi dari kenyataan yang sebenarnya yang dimaksudkan untuk merendahkan diri. Litotes berasal dari bahasa Yunani litos yang berarti sederhana.
Contoh:
Pancasila bukanlah merupakan falsafah negara yang rapuh yang dapat digoyahkan begitu saja.
Anak itu sama sekali tidak bodoh
(h) Gaya Bahasa Ironi
Ironi ialah gaya bahasa yang menyatakan makna yang bertentangan dan memiliki maksud berolok-olok. Maksud tersebut dapat dicapai dengan mengemukakan tiga hal, sebagai berikut.
(1) Makna yang berlawanan dengan makna yang sebenarnya
(2) Ketaksesuaian antara suasana yang diketengahkan dan kenyataan yang mendasarinya
(3) Ketidak sesuaian antara harapan dan kenyataan Contoh:
Bukan main rajinmu, sudah lima hari kamu bolos sekolah.
Aduh, bersihnya kamar ini, putung rokok dan sobekan kertas bertebaran di lantai.
Saya senang atas kehematannya, uang tabungan habis buat berfoya-foya. O, kamu baru bangun, baru pukul sembilan pagi sekarang ini.
(i) Gaya Bahasa Oksimoron
Oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung penegakan atau pendirian suatu hubungan sintaksis antara dua antonim.
Contoh:
Olahraga mendaki gunung memang menarik perhatian, walaupun sangat berbahaya.
Bahan-bahan nuklir dapat dipakai untuk kesejahteraan umat manusia, tetapi juga dapat memusnahkan.
Bahasa memang dapat dipakai sebagai alat pemersatu suatu bangsa, tetapi juga dapat juga sebagai alat pemecah belah
(j) Gaya bahasa Paronomasia
Paronomasia adalah gaya bahasa yang berisi penjajaran kata-kata yang berbunyi sama, tetapi bermakna lain (kata-kata yang sama bunyinya, tetapi maknanya lain).
Contoh:
Oh, adindaku sayang, akan kutanam bunga tanjung di pantai tanjung hatimu. Kami menerima bantuan ini sebagai bantuan yang sangat berharga sebab, dengan ini kami dapat melanjutkan perjalanan kami yang masih jauh.
(k) Gaya Bahasa Paralipsis
Paralipsis adalah gaya bahasa yang mengandung suatu formula yang dipergunakan sebagai sarana menerangkan bahwa seseorang tidak mengatakan apa yang tersirat dalam kalimat itu sendiri.
Contoh:
Semoga Tuhan mendengarkan doa kita (maaf) bukan maksud saya menolaknya.
Pak guru sering memuji anak itu, (maaf) saya maksud memarahinya.
(l) Gaya bahasa Zeugma
Zeugma adalah gaya bahasa yang mengordinasikan atau mengabungkan dua kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan, contoh: kata konkret dan kata abstrak.
Contoh:
Anak itu memang rajin dan malas di sekolah. Paman saya nyata sekali bersifat sosial dan egois
Gutu kami selalu bertindak objektif dan subjektif menghadapi siswa.
Setelah penjelasan ketujuh jenis gaya bahasa yang temasuk dalam kelompok pertentangan, selanjutnya akan dijelaskan jenis-jenis gaya bahasa yang termasuk
dalam majas pertautan. Gaya bahasa yang termasuk dalam majas pertautan terdiri atas tujuh gaya bahasa. Berikut ini merupakan penjelasannya.
(m) Gaya Bahasa Metonimia
Metonimia adalah gaya bahasa yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal, sebagai penggantinya.
Contoh:
Kadang-kadang pena lebih tajam dari pada pedang.
Saya tidak dapat membaca sekarang, karena kontak lensa saya jatuh dan pecah.
(n) Gaya Bahasa Sinekdoke
Menurut Moelyono (dalam Tarigan, 1985:124) sinekdoke adalah majas yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya. Dengan kata lain, gaya bahasa sinekdoke merupakan gaya bahasa yang menggunakan bagian tertentu untuk menyatakan keseluruhan bagian.
Contoh:
Pasanglah telinga baik-baik menghadapi masalah ini!
Dari kejauhan terlihat berpuluh-puluh layar di pelabuhan itu.
(o) Gaya Bahasa Eufemisme
Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar yang merugikan atau yang tidak menyenangkan.
Contoh:
Tuna aksara pengganti buta huruf
(p) Gaya Bahasa Elipsis
Elipsis adalah gaya bahasa yang melakukan penghilangan kata atau kata-kata yang memenuhi bentuk atau kalimat berdasarkan tata bahasa. Dengan kata lain, elipsis adalah gaya bahasa yang menghilangkan salah satu unsur penting dalam struktur kontruksi sintaksis lengkap.
Contoh:
Dia dan istrinya ke Jakarta minggu yang lalu. (penghilangan predikat: pergi, berangkat)
Bayar lunas sekarang. (penghilangan subjek, saya, aku, dia).
(q) Gaya Bahasa Alusi atau Kilatan
Alusi atau kilatan adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh berdasarkan praanggapan adanya pengetahuan bersama yang dimiliki oleh penutur dan mitra tutur.
Contoh:
Saya ngeri membayangkan kembali peristiwa Westerling di Sulawesi Selatan.
Tugu ini mengenangkan kembali kita kepada peristiwa Bandung Selatan.
(r) Gaya Bahasa Gradasi
Gradasi adalah gaya bahasa yang mengandung suatu rangkaian atau urutan (paling sedikit tiga) kata atau istilah yang secara sintaksis bersamaan yang mempunyai satu atau beberapa ciri-ciri semantik secara umum dan di antaranya paling sedikit satu ciri diulang-ulang dengan perubahan yang bersifat kuantitatif.
Contoh:
Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu bahwa
tahan uji, dan tahan uji menimbulkan harapan dan pengharapan tidak
mengecewakan.
Di atas telah dijelaskan jenis-jenis gaya bahasa dari majas pertautan. Penjelasn selanjutnya adalah jenis-jenis gaya bahasa yang tergolong dalam majas perulangan. Berikut ini merupakan penjelasan gaya bahasa tersebut.
(s) Gaya Bahasa Aliterasi
Aliterasi merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata yang permulaannya sama bunyinya.
Contoh:
Dara damba aku Datang dari danau (t) Gaya Bahasa Antanaklasis
Gaya bahasa antanaklasis merupakan bahasa kias yang mengandung ulangan kata yang sama dengan makna yang berbeda.
Contoh:
Saya selalu membawa buah tangan untuk buah hati saya.
(u) Gaya Bahasa Kiasmus
Gaya bahasa kiasmus berisikan perulangan atau repetisi dan sekaligus pula merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat.
Contoh:
Yang kaya merasa dirinya miskin, sedangkan yang miskin merasa dirinya
(v) Gaya Bahasa Repetisi
Repetisi adalah gaya bahasa yang mengandung pengulangan berkali-kali kata atau kelompok kata yang sama.
Contoh:
Selamat datang pahlawanku, selamat datang kekasihku, selamat datang pujaanku, selamat datang bunga bangsa.
Pengklasifikasian gaya bahasa yang hampir sama dengan Tarigan juga dilakukan oleh Kosasih (2002:40). Namun, terdapat beberapa perbedaan dalam klasifikasi. Pengklasifikasian itu dapat terlihat dalam bagan berikut ini
Bagan 1.1 Klasifikasi Gaya Bahasa Kosasih JENIS MAJAS A. Majas Perbandingan Personifikasi Simile Metafora Alegori B. Majas Pertautan Metonimia Sinekdoke Alusi Elipsis Inversi C. Majas Pertentangan Hiperbola Litotes Ironi Paradoks antitesis D. Majas Perulangan Aliterasi Antanaklasis Repetisi Pararelisme Kiasmus
Berbeda halnya dengan Keraf (1984:112-128) yang mengklasifikasikan gaya bahasa menjadi beberapa kelas. Pengklasifikasian itu didasarkan pada pilihan kata, nada, dan struktur kalimat. Pertama, berdasarkan pilihan kata, merupakan gaya bahasa yang mempersoalkan kata mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat serta tepat tidaknya ketika digunakan dalam masyarakat. Kelas gaya bahasa ini dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu gaya bahasa resmi (baku) dan gaya bahasa tak resmi (tidak baku) serta gaya bahasa percakapan.
Kedua, kelas bahasa berdasarkan nada. Gaya bahasa didasarkan pada sugesti yang dipancarkan dari rangkaian kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Kelas ini terbagi menjadi gaya bahasa sederhana seperti memberi instruksi, pelajaran, dan menyampaikan fakta. Gaya bahasa mulia dan bertenaga, gaya bahasa ini dipergunakan untuk menggerakkan sesuatu, sehingga sanggup menggerakkan emosi. Gaya menengah yaitu gaya bahasa yang dapat menimbulkan suasana damai dan senang.
Ketiga, kelas gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat. Gaya bahasa ini terbagi menjadi klimaks, yaitu gaya bahasa yang bersifat periodik. Gaya bahasa yang mengandung urutan pikiran yang semakin meningkat kepentingannya. Gaya bahasa antiklimaks, yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk menegur, gagasannya diurutkan dari dari yang terpenting ke yang kurang penting. Gaya bahasa pararelisme yaitu gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Gaya bahasa antitesis, yaitu gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan menggunakan kata yang
berlawanan. Gaya bahasa repetisi, yaitu perulangan bunyi, suku kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan.
2.2.3 Prinsip-prinsip Gaya Bahasa
Penggunaan gaya bahasa dalam komunikasi juga memiliki beberapa syarat, salah satunya adalah mengandung sopan-santun. (Keraf, 1981:113). Jadi, pemakaian gaya bahasa dalam komunikasi dapat membuat bahasa menjadi lebih santun dengan adanya syarat tersebut. Gaya bahasa sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pranowo (2009:92-95) dalam teorinya mengenai kesantunan menegaskan bahwa pemakaian gaya bahasa merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan tuturan menjadi santun.
Pemakaian gaya bahasa juga memiliki syarat-syarat agar terasa santun. Syarat-syarat tersebut untuk membedakan baik buruknya pemakaian dari suatu gaya bahasa yang digunakan. Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur, yaitu kejujuran, sopan-santun, dan menarik (Keraf,1984:113). Berikut ini diuraikan ketiga syarat gaya bahasa yang baik tersebut.
1. Kejujuran
Kejujuran merupakan suatu pengorbanan, karena kadang-kadang ia meminta kita melaksanakan sesuatu yang tidak menyenangkan bagi diri sendiri. Kejujuran dalam bahasa berarti kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Pemakaian kata-kata yang kabur dan tidak terarah, serta penggunaaan kalimat yang berbelit-belit, adalah jalan yang dapat mengundang ketidakjujuran. Dalam pembicaraan yang berbelit-belit, seolah pembicara ingin
menyembunyikan pikirannya di balik rangkaian kata-kata yang kabur tersebut. Selain itu, pemakaian bahasa yang berbelit-belit menandakan bahwa pembicara atau penulis tidak tahu apa yang akan dikatakannya. Ia mencoba menyembunyikan kekurangan di balik kata-kata hampa.
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain. Sebab itu, bahasa harus digunakan secara tepat, yaitu dengan memperhatikan sendi kejujuran.
2. Sopan-santun
Sopan-santun merupakan tindakan memberi penghargaan atau menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca. Rasa hormat dalam bahasa ditunjukan melalui kejelasan dan kesingkatan dalam penyampaian kata-kata.
Kejelasan dalam penyampaian kata-kata berarati tidak membuat pembaca atau pendengar membuang-buang waktu untuk mendengar atau mebaca sesuatu secara panjang lebar. Perhatikan kaidah pengukur kejelasan berbahasa di bawah ini.
a) Kejelasan dalam struktur gramatikal kata dan kalimat
b) Kejelasan dalam korespondensi dengan fakta yang diungkapkan melalui kata-kata atau kalimat tersebut.
c) Kejelasan dalam pengurutan ide secara logis.
d) Kejelasan dalam penggunaaan kiasan dan perbandingan.
Kesingkatan dapat dicapai melalui usaha untuk mempergunakan kata-kata secara efisien, menghindari penggunaan dua kata atau lebih yang bersinonim, menghindari tautologi (pengulangan gagasan), dan mengadakan repetisi (ulangan) yang tidak perlu.
3. Menarik
Pemekaian gaya bahasa haruslah menarik. Sebuah gaya bahasa yang menarik dapat diukur melalui beberapa komponen berikut: variasi, humor yang sehat,
pengertian yang baik, tenaga hidup, dan penuh daya khayal (imajinasi). Penggunaan
variasi akan menghindari monoton dalam nada, struktur dan pilihan kata. Humor yang sehat berarti gaya bahasa tersebut mengandung tenaga untuk menciptakan rasa gembira dan nikmat. Vitalitas dan daya khayal adalah pembawaan yang berangsur-angsur dikembangkan melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman.
2.2.4 Diksi (Pilihan Kata)
Menurut Pranowo (2009:90-94) faktor kebahasaan adalah segala unsur yang berkaitan dengan bahasa, baik bahasa verbal maupun bahasa non verbal. Bahasa verbal merupakan bahasa yang berupa kata-kata, sedangkan bahasa non verbal adalah bahasa yang diungkapkan melalui gerak tubuh. Dalam berkomunikasi, kata-kata yang ada di dalam pikiran manusia harus dipilih dengan tepat. Pemilihan kata tersebut sering disebut dengan diksi. Diksi merupakan salah satu unsur kebahasaan yang dapat digunakan sebagai penanda kesantunan berbahasa. Keraf (1984:24) memberikan tiga kesimpulan mengenai diksi. Pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.
Kedua, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat
menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Ketiga, pilihan kata yang tepat hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu. Jadi pilihan kata atau diksi harus mempertimbangkan dimensi psikologi dan dimensi sosiologis masyarakat. Diksi tidak bisa digunakan hanya dengan memerhatikan faktor-faktor teknis kebahasaan.
Pemakaian diksi atau pemilihan kata secara tepat dapat menyebabkan bahasa menjadi santun. Berikut ini merupakan contoh pemakaian diksi.
(1) Saya menyesalkan berita perihal „Subsidi Pupuk‟ di majalah Tempo edisi
23-24 September 2012 tidak memuat isi wawancara dengan saya sesuai dengan yang saya sampaikan...(Tempo, Edisi 1-7Oktober 2012, Hal 6)
(2) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan ini meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil, Senin subuh pekan lalu.(Tempo edisi 1-7 Oktober 2012, Hal 10)
Pemilihan kata menyesalkan dan meninggal memiliki kadar yang lebih santun jika dibandingkan dengan kata kecewa dan mati. Argumentasi yang dapat dikemukakan berkaitan dengan kata-kata berkadar lebih santun tersebut adalah (a) nilai rasa kata bagi mitra tutur akan terasa lebih halus, (b) Persepsi mitra tutur merasa bahwa dirinya diposisikan dalam posisi terhormat, (c) penutur memiliki maksud untuk menghormati mitra tutur, (d) dengan berbahasa santun sebenarnya yang lebih terhormat adalah penutur karena segala yang diungkapkan sudah dihayati sebelum dikomunikasikan. Selain hal itu, terdapat pula penanda bahasa Indonesia verbal sebagai suatu tindakan kesantunan berbahasa yaitu, (a) perkataan tolong pada waktu menyuruh orang lain, (b) ucapan terima kasih setelah orang lain melakukan tindakan yang diinginkan penutur, (c) penyebutan kata bapak, ibu, daripada kata Anda, (d)
penyebutan kata beliau daripada kata dia untuk orang yang lebih dihormati, dan (e) penggunaan kata maaf untuk ucapan yang dimungkinkan dapat merugikan mitra tutur.
Ketepatan dalam memilih kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti yang dirasakan penulis atau pembicara. Pemilihan kata yang tepat berkaitan dengan makna kata dan kosa kata seseorang. Ketepatan dalam memilih kata akan memberikan dampak positif, yaitu terhindar dari kesalahpahaman. Reaksi dari pendengar atau pembaca merupakan penanda apakah kata yang dipilih sudah tepat atau belum (Keraf, 1991:87-88). Lebih lanjut mengenai pilihan kata, seorang ahli linguistik Rahardi (2009:63-92) memaparkan tentang peranti pilihan kata. Peranti pilihan kata tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.
1) Makna Denotatif
Makna denotatif merupakan makna yang menunjuk pada yang sebenarnya, bukan makna yang sifatnya kiasan dan bukan makna yang sifatnya kontekstual tetapi lebih cenderung konseptual. Denotasi tidak mengandung tambahan makna atau perasaan tambahan sedikitpun. Peranti makna denotatif juga sering digunakan dalam berita-berita media massa dan karya ilmiah. Peranti ini terdapat pada karya yang menunjuk pada fakta, bersifat objektif, dan sesuai data. Berikut merupakan contoh pemakaian peranti makna denotatif yang diberikan oleh Rahardi (2009:64).
- Kursi-kursi paling depan di kelasku ditempati oleh anak anak perempuan. - Orang yang sudah dewasa dan matangkan selalu berperilaku dengan
2) Makna Konotatif
Makna konotatif memiliki pengertian yang berbeda dengan makna denotatif. Makna konotatif selalu memiliki sifat asosiatif. Asosiatif berarti pemaknaan sebuah bentuk kebahasaan harus dikaitkan dengan asosiasi-asosiasi tertentu yang dimungkinkan hadir di dalam proses pemaknaan itu. Makna konotatif sering disebut makna kontekstual karena pemaknaan selalu berkaitan dengan konteks. Suatu kebahasaan akan diartikan berbeda atau tidak sama karena hadir dalam konteks atau situasi yang berbeda. Rahardi (2009:64) memberikan contoh kalimat yang menggunakan peranti makan konotatif sebagai berikut.
- Pemilu legislatif yang lazimnya digunakan untuk memperebutkan
kursi-kursi parlemen baru saja berlangsung.
- Mahasiswa veteran itu baru saja datang kepada dosen senior itu untuk meminta kebijaksanaan bagi nilai ujian akhirnya.
3) Kata Bersinonim
Menurut Rahardi (2009:65) kata bersinonim dapat dipahami sebagai persamaan makna kata. Bentuk yang bersinonim menunjuk pada kata-kata yang mungkin berbeda bentuknya, berbeda ejaannya, berbeda pengucapannya, tetapi memiliki makna yang sejajar, memiliki makna yang sepadan, atau memiliki makna yang serupa. Berikut ini merupakan contoh kata bersinonim kata „melihat‟, „menatap‟,‟
menonton‟, „melirik‟, „menyaksikan‟, „mengawasi‟. Contoh kata bersinonim lain
adalah „mati‟, „tewas‟, „gugur‟, „wafat‟, „meninggal‟, „tutup usia‟, kata-kata itu menunjuk pada makna hilangnya nyawa makhluk hidup.
4) Kata berantonim
Sebuah bentuk kebahasaan akan dapat dikatakan berantonimi kalau bentuk-bentuk kebahasaan itu memiliki relasi antarmakna yang wujud logisnya berbeda atau bertentangan antara satu dengan yang lain seperti, „benci‟ dan „cinta‟, „panas‟ dan „dingin‟, „pandai‟ dan bodoh‟. Terdapat tiga jenis antonimi yaitu antonimi jenis kembar, antonimi bersifat jamak, dan antonimi yang bersifat gradual.
5) Kata Bernilai Rasa
Seperti yang diungkapkan Sumadiria (2011:31) bahwa tidak hanya kecap yang memiliki rasa manis, asin, atau rasa sedang, bahasa pun memiliki cita rasa. Cita rasa suatu kata atau kalimat, akan banyak ditentukan oleh tingkat kepiawaian dan pengalaman si penutur atau penulisnya. Suatu pilihan kata yang bernilai rasa tinggi akan memiliki dampak lebih kuat dibenak khalayak dibandingkan dengan kata-kata yang bernilai rasa rendah. Secara psikologis, kata bernilai rasa tinggi menunjukkan penghormatan kepada subjek yang dibicarakan. Sebagai contoh, „lonte‟, „pelacur‟,
atau „pekerja seks komersial‟. Dua kata pertama mengandung nilai rasa yang rendah,
terkesan menghina dan tidak menunjukkan empati sama sekali. Kata bernilai rasa tinggi tidak akan menyakiti mitra tutur atau pun subjek yang sedang dibicarakan.
6) Kata Umum
Kata umum merupakan kata yang memiliki lingkup makna yang jauh lebih luas dibandingkan dengan kata khusus. Semakin umum sebuah kata, maka semakin tidak akuratlah kata itu jika untuk menggambarkan sebuah konsep. (Rahardi, 2009:68). Sejalan dengan hal tersebut, Soedjito (dalam Sumadiria, 2011:32) menyatakan bahwa
kata-kata umum adalah kata-kata yang luas ruang lingkupnya. Bentuk kata yang semakin umum, akan makin kabur gambarannya dalam angan-angan. Kata umum masih membutuhkan penjabaran lebih lanjut untuk menggambarkan sebuah konsep. Sebagai contoh kata „melihat‟ yang dapat dijabarkan lebih khusus menjadi „menonton‟, „melirik‟, „mengamati‟. Contoh lainnya „buah‟, „buah mangga‟, „buah
pisang‟, „buah apel‟, dan „buah manggis‟. Namun, adakalanya kata-kata umum
diperlukan untuk menjabarkan sebuah konsep. Pemakaian kata umum haruslah diperlukan kecermatan dan kecerdasan di dalam mempergunakan kata-kata untuk mewakili sebuah konsep.
7) Kata Khusus
Kata-kata khusus adalah kata-kata yang sempit ruang lingkupnya. Kata yang semakin khusus akan memperjelas maksud dan maknanya. Kata-kata khusus akan dapat menegaskan pesan, memusatkan perhatian, dan pengertian (Sumadiria, 2011:33). Lebih lanjut, menurut Rahardi (2009:69) kata-kata khusus tentu saja tidak harus selalu digunakan untuk menggambarkan konsep kebahasaan. Berikut, Sumadiria memberikan contoh penggunaan kata khusus:
Para korban banjir yang terdiri dari 67 pria lanjut usia, 79 wanita dewasa, 112 remaja putra dan putri, dan 15 balita, masing-masing memperoleh selembar selimut tipis, sepotong kaus oblong, sekaleng biskuit, lima bungkus mie instan, dan dua butir jeruk pontianak, dari gubernur yang sengaja mengunjungi mereka. Kamis kemarin di aula dan halaman kantor desa yang dijadikan barak pengungsian.
8) Kata Lugas
Kata lugas itu berarti kata-kata yang yang bersifat tembak langsung (to the
Kata-kata lugas memiliki ciri-ciri yang cenderung ringkas, tidak merupakan frasa panjang, dan tidak mendayu-dayu (Rahardi, 2009:33).
Seperti contoh kalimat berikut :
Dia menolak memberikan kesaksian pada pihak Komisi Pemberantasan Korupsi terkait kasus tersebut.
9) Kata Konkret
Kata-kata konkret adalah kata-kata yang menunjuk pada objek yang dapat dipilih, didengar, dirasakan, diraba, atau dicium. Kata konkret sesungguhnya adalah kata yang dapat diindra dengan alat-alat indra manusia (Rahardi, 2009:67). Contoh kata konkret adalah buku, pensil, kamus, meja, bunga, cat, dan lain-lain.
10) Kata Abstrak
Kata abstrak adalah kata-kata yang menunjuk kepada konsep atau sifat gagasan. Kata-kata abstrak sering digunakan untuk mengugkapkan gagasan atau ide-ide yang cenderung lebih kompleks dan rumit. Pada umumnya kata-kata abstrak ini wujudnya adalah kata-kata berimbuhan atau berafiks, contoh: pendidikan, pembodohan, kemiskinan, dan kekayaan (Rahardi, 2009:68)
Selain beberapa diksi yang diungkapkan di atas, Soejito (1988:39-47) menggolongkan bahasa Indonesia berdasarkan kelas kata (diksi). Pembagian tersebut akan diuraikan di bawah ini.
1) Kata Abstrak dan Kata Konkret (berdasarkan acuan/rujukan, referen)
Kata abstrak adalah kata yang mempunyai rujukan berupa konsep/pengertian, sedangkan kata konkret adalah kata yang mempunyai rujukan berupa objek yang
dapat diserap oleh panca indra. Sebuah karangan sebaiknya menggunakan kata konkret agar mudah dipahami.
Contoh
Kata abstrak: kemakmuran, kerajinan, kemajuan Kata konkret: rumah, bekerja, belajar, membaca
2) Kata Umum dan Kata Khusus (berdasarkan ruang lingkupnya)
Kata umum adalah kata yang luas ruang lingkupnya dan dapat mencakup banyak hal, sedangkan kata khusus ialah kata yang sempit/terbatas batasan ruang lingkupnya. Kata umum kurang sanggup memberikan gambaran yang jelas, makin umum sebuah kata maka makin kabur pula gambarannnya dalam angan-angan/pikiran, bahkan dapat menimbulkan perbedaan tafsiran. Sebaliknya, kata khusus yang tertentu makna pemakaiannya lebih nyata dalam pikiran.
Contoh:
Kata umum: Darto menggendong adiknya sambil membawa sepatu dan buku. Kata khusus: Darto menggendong adiknya sambil mengempit sepatu dan buku
3) Kata Populer dan Kata Kajian (berdasarkan domain dan ranah)
Kata populer adalah kata yang dikenal dan dipakai oleh semua lapisan masyarakat dalam komunikasi sehari-hari, sedangkan kata kajian ialah kata yang dikenal dan dipakai oleh ilmuan/kaum terpelajar dalam karya-karya ilmiah.
Contoh:
Populer: Isi kaleng ini 20 liter.
4) Kata Baku dan Kata Nonbaku (berdasarkan kaidah dan ragam bahasa)
Kata baku ialah kata yang mengikuti kaidah/ragam bahasa yang telah ditentukan/dilazimkan. Kata nonbaku adalah kata yang tidak mengikuti kaidah/ragam bahasa yang telah ditentukan atau dilazimkan.
Contoh:
Kata baku: kemarin, kaidah, lubang, Februari Kata nonbaku: kamaren, kaedah, Pebruari
5) Kata Asli dan Kata Serapan (berdasarkan asal/sumber)
Kata asli adalah kata yang berasal dari bahasa Indonesia. Bahasa serapan adalah bahasa yang diserap dari bahasa asing atau bahasa daerah. Di dalam perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia terdapat kata serapan yang sudah lama diserap menjadi bahasa Indonesia, sehingga tidak terasa lagi asingnya, misalnya: bahasa, pribadi, karena, jiwa, serta, wibawa dan contoh kata serapan yang masih baru: sahih, tunawisma, strategi, dan lain-lain.
Selain pengklasifikasian diksi di atas. Berikut ini merupakan ahli jurnalistik dan kebahasaan yang menggolongkan diksi menjadi tujuh. Ketujuh diksi tersebut adalah kata bersinonim, kata bernilai rasa, kata konkret, kata abstrak, kata umum, kata khusus, dan kata lugas. Berikut akan di jabarkan mengenai ketujuh diksi tersebut. Pengklasifikasian ini dilakukan oleh Sumadiria (2006:29-33).
1) Kata Bersinonim
Kata bersinonim berarti kata yang sejenis, sepadan, sejajar, serumpun, dan memiliki arti yang sama. Kesamaan tersebut membut kata-kata bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada pula yang tidak. Contoh kata bersinonim: melihat, menatap, menonton, menyaksikan.
2) Kata Bernilai Rasa
Kata bernilai rasa merupakan kata-kata yang memiliki sebuah rasa. Tingkat cita rasa suatu kata atau kalimat akan ditentukan oleh tingkat kepiawaian dan pengalaman si penutur atau penulis dalam memilih kata-kata yang akan disampaikan. Kata-kata yang memiliki nilai rasa yang tinggi akan memiliki dampak yang lebih tinggi dibanding dengan kata-kata yang memiliki nilai rasa yang rendah. Secara psikologis, pemakaian nilai rasa yang tinggi menunjukkan penghormatan bagi subjek yang sedang dibicarakan. Contoh kata bernilai rasa: kata pelacur dirasa memiliki nilai rasa yang lebih rendah dibanding pekerja seks komersial, kata beranak dirasa lebih rendah nilai rasa bahasanya dibanding kata melahirkan.
3) Kata Konkret
Kata konkret adalah kata yang menunjuk pada suatu objek yang dapat dilihat, dipegang, diraba, dirasakan, atau dicium. Kata konkret lebih mudah dipahami dibandingkan dengan kata abstrak. Pemakaian kata konkret dapat mengefektifkan komunikasi, sebab dapat merangsang panca indra.
Contoh:
Para korban banjir itu sudah tujuh hari tinggal di barak pengungsian. Setiap pagi, masing-masing mendapat jatah satu bungkus mie instan, sepiring nasi, dua kerat tempe, dan satu gelas susu.
4) Kata Abstrak
Kata abstrak adalah kata yang menunjuk pada suatu sifat, konsep, atau gagasan. Kata-kata abstrak sering dipakai untuk mengungkapkan gagasan atau ide-ide yang rumit (Soedjito via Tarigan, 1986:32). Kata abstrak susah dipahami maksud dan