• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTISARI. Kata kunci : Organisasi, Kelembagaan, Kapasitas Kelembagaan, Perlindungan Perempuan dan Anak.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INTISARI. Kata kunci : Organisasi, Kelembagaan, Kapasitas Kelembagaan, Perlindungan Perempuan dan Anak."

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

xv

INTISARI

Sebagai respon terhadap tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mendirikan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Rekso Dyah Utami untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Statistik menunjukkan jumlah kasus yang ditangani P2TPA Rekso Dyah Utami terhadap jumlah kasus keseluruhan di Daerah Istimewa Yogyakarta masih sedikit. Disini Peneliti berupaya menelaah keadaan ini dengan menggunakan konsep kapasitas sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kapasitas kelembagaan P2TPA Rekso Dyah Utami dan mengidentifikasi faktor penghambatnya. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang menghasilkan deskripsi tertulis dari analisis terhadap kata-kata lisan atau tertulis maupun perilaku dari entitas yang diamati. Sumber data berupa data primer dan data sekunder yang dikumpulkan melalui wawancara maupun telusur dokumen. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kapasitas P2TPA Rekso Dyah Utami dalam menyelenggarakan perlindungan terhadap perempuan dan anak masih lemah. Berdasarkan hasil analisis, lemahnya kapasitas P2TPA Rekso Dyah Utami terutama disebabkan oleh lemahnya dukungan masyarakat, lemahnya dukungan ekonomi daerah, serta tata kelembagaan pemerintahan yang tidak mendukung. Rekomendasi yang diberikan adalah intensifikasi sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, advokasi terhadap peningkatan alokasi anggaran, serta membangun adaptabilitas organisasi dengan menganalisis kebutuhan masyarakat secara periodik.

Kata kunci : Organisasi, Kelembagaan, Kapasitas Kelembagaan, Perlindungan Perempuan dan Anak.

(2)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga menurut definisi diatas dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap seorang individu, dalam konteks kenegaraan individu adalah warga negara sehingga perlu mendapat perlindungan dari negara.

Angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dari tahun 2001 sampai tahun 2009 terus mengalami kenaikan. Hal ini dibuktikan dengan data jumlah Kekerasan terhadap Perempuan yang termuat dalam Catatan Tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2010.

(3)

2

Gambar 1.1. Angka Kekerasan Terhadap Perempuan Indonesia

Sumber : Catatan Tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2010, Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

Kerangka hukum perlindungan perempuan dan anak dimulai dari diterbitkannya Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Menghadapi penerbitan sejumlah undang-undang ini pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta merespon dengan Keputusan Gubernur DIY Nomor 199 Tahun 2004 tentang Pembentukan Forum Penanganan Korban Kekerasan bagi Perempuan dan Anak (FPK2PA) di Provinsi DIY dan Keputusan Gubernur DIY Nomor 132/Kep/2005 tentang Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) “Rekso Dyah Utami” atau RDU yang berfungsi sebagai tempat Pos pengaduan/konsultasi, pendampingan, advokasi, rujukan, shelter dan pasca shelter (Profil perlindungan perempuan dan anak DIY 2010).

Pembentukan ini juga dilandasi oleh kondisi dimana Yogyakarta walaupun tidak menempati posisi daerah dengan jumlah korban kekerasan terhadap perempuan yang tertinggi,

3,169 5,163 7,787 14,020 20,391 22,521 25,522 143,586 105,103 0 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 140,000 160,000 2001 2002 2003 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Angka Kekerasan terhadap Perempuan

(4)

3

namun dari tahun ke tahun Yogyakarta selalu berada di posisi dengan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang cukup tinggi.

Tabel 1.1. Data Kasus Kekerasan Yang Ditangani FPK2PA DIY

No. Tahun Jumlah

1 2004 332 2 2005 572 3 2006 1.116 4 2007 1.287 5 2008 594* 6 2009 1.345

Sumber: profil perlindungan perempuan dan anak diy 2010

* Ket: hanya 17 lembaga dari keseluruhan anggota yang melaporkan kasus yang ditanganinya.

Balai Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) Yogyakarta dalam Profil Perlindungan Perempuan dan Anak DIY 2010 menyatakan kebijakan perlindungan perempuan dan anak di Provinsi DI Yogyakarta secara garis besar dibagi kedalam 3 pokok bahasan yaitu: 1. Upaya penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, dilaksanakan melalui

pembentukan Forum Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak (FPK2PA) dan Pos Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Rekso Dyah Utami.

2. Upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, dilaksanakan melalui pembentukan Forum Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak (FPK2PA), sosialisasi untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta produk hukum dalam rangka pencegahankekerasan terhadap perempuan dan anak.

3. Upaya pemberdayaan korban kekerasan perempuan dan anak, dilaksanakan melalui pemberdayaan perempuan dan anak korban kekerasan melalui peningkatan kemampuan produktif-ekonomi.

(5)

4

Pembentukan RDU merupakan kebijakan yang diambil pemerintah DI Yogyakarta dalam merespon permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayahnya. Kebijakan yang berbentuk penyelenggaraan pelayanan publik ini selain dimaksudkan sebagai solusi akan permasalahan publik juga sebagai bentuk pemenuhan kewajiban negara dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Hal ini selaras dengan definisi pelayanan publik atau pelayanan umum yang termuat dalam KepMen Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 tahun 2003 yaitu :

Segala bentuk pelayanan yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Isu perlindungan perempuan dan anak tidak hanya menarik perhatian pemerintah namun juga menggugah masyarakat yang menaruh perhatian pada isu perlindungan perempuan dan anak. Kepedulian ini diikuti dengan bermunculannya organisasi

non-pemerintah/non-governmental organization (NGO) berupa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang memiliki tujuan untuk memberikan pertolongan serta perlindungan terhadap korban kekerasan perempuan dan anak di Yogyakarta. Beberapa contoh LSM yang berkecimpung dalam isu ini antara lain Rifka Annisa, LBH APIK, Yayasan Cut Nya’ Dien, Indriya-Nati, dan yang lainnya.

Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi DIY sayangnya tidak dibarengi dengan institusi publik yang unggul dalam penanganan kasusnya. RDU sebagai institusi publik bentukan pemerintah provinsi DIY yang diserahi tugas pelayanan perlindungan

(6)

5

perempuan dan anak ternyata tidak menunjukkan kontribusi yang sifnifikan dalam penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak Provinsi DIY.

Tabel 1.2. Perbandingan Jumlah Kasus P2TPA Rekso Dyah Utami dengan DIY No. Tahun Jumlah KtPA Kasus ditangani RDU

1 2004 332 14 2 2005 572 109 3 2006 1.116 113 4 2007 1.287 118 5 2008 594* 120 6 2009 1.345 135

Sumber: profil perlindungan perempuan dan anak diy 2010, data diolah * Ket: hanya 17 lembaga dari keseluruhan anggota yang melaporkan kasus yang ditanganinya.

Ketertinggalan RDU dalam menjaring kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak nampak dari jumlah kasus yang ditangani dari tahun ke tahun. Keadaan ini memunculkan ketertarikan untuk mendalami proses perlindungan perempuan dan anak melalui RDU dan melakukan identifikasi terhadap hambatan yang muncul selama proses pelayanan yang menyebabkan rendahnya kemampuan RDU dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Yogyakarta. Pemahaman ini diharapkan mampu menjadi masukan dalam meningkatkan peran RDU dalam upaya melakukan perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan.

Ketertarikan ini didukung oleh karakteristik RDU sebagai pelayanan publik di ranah perlindungan perempuan dan anak. Berbeda dengan pelayanan publik pada umumnya, dimana pemenuhan kebutuhan dasar merupakan hal yang disadari dan dituntut oleh masyarakat, dalam ranah perlindungan perempuan dan anak konsep perlindungan itu sendiri masih disangsikan kebutuhannya oleh masyarakat. Hal ini memberi perbedaan RDU dari unit pelayanan publik lain seperti sekolah, rumah sakit, dan yang lainnya. Ketika unit pelayanan publik lain selalu didatangi

(7)

6

oleh masyarakat yang membutuhkan barang atau jasa, RDU memiliki tantangan tersendiri dalam memenuhi “kebutuhan” masyarakat.

Penelitian-penelitian lain yang sejenis topik penelitian ini salah satunya yaitu Penelitian Wiwik Sartini dari jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul Pelayanan Rekso Dyah Utami terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga. Salah satu temuan penelitian ini adalah hambatan yang dialami RDU dalam melaksanakan perannya kepada korban kekerasan dalam rumah tangga yaitu :

1. Kurangnya kesadaran korban untuk melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya. 2. Korban masih enggan untuk menceritakan perihal tindak kekerasan yang dialaminya. 3. Tidak lengkapnya data korban.

4. Adanya rasa kuatir korban jika suami ditahan maka siapa yang akan menghidupi keluarganya.

5. Korban dibayangi dengan keharusan untuk mengeluarkan biaya yang cukup besar. 6. Kurangnya kesigapan petugas.

Hambatan-hambatan ini dirasa masih kurang mendeskripsikan hambatan dan tantangan yang dialami RDU sebagai lembaga permindungan perempuan dan anak. Hal ini dikarenakan hambatan-hambatan tersebut hanya dilihat dari sudut pandang korban kekerasan terhadap perempuan. Hambatan-hambatan yang dialami RDU sendiri belum terpetakan dengan jelas sehingga belum mampu mendeskripsikan hambatan dan tantangan perlindungan perempuan dan anak di Yogyakarta.

Penelitian sejenis lain dilaksanakan oleh Anggin Nuzula Rahma dari jurusan Ilmu Sosiatri Fakultas Ilmu Ssosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini berjudul

(8)

7

Pemberdayaan Ekonomi pada Perempuan Korban Kekerasan: Studi Pada Pusat Pelayanan Terpadu Rekso Dyah Utami Yogyakarta. Salah satu temuannya adalah identifikasi faktor yang menyebabkan gagalnya kegiatan Pemberdayaan Ekonomi oleh RDU. Kegagalan kegiatan pemberdayaan ekonomi oleh RDU disebabkan oleh faktor yang berasal dari klien dan faktor yang berasal dari aparat. Faktor yang berasal dari klien antara lain ketidak seriusan klien dalam mengikuti pemberian keterampilan, banyaknya konflik yang terjadi di dalam shelter, sulitnya membangun budaya kewirausahaan pada diri klien karena sikap malas dan rendah diri klien, dan kurangnya pendampingan psikologis dan sosial yang seringkali menimbulkan sikap-sikap yang menghambat pelaksansaan program. Faktor-faktor yang berasal dari aparat yaitu keterbatasan sumber daya dan modal, dalam pelaksanaan program tidak dilakukan manajemen kualitas, dan kurang pahamnya aparat terhadap prosedur pelaksanaan pemberdayaan kegiatan ekonomi. Faktor-faktor penghambat ini sudah mampu menberikan gambaran yang cukup mengenai hambatan pelaksanaan program, namun perlu kita tekankan bahwa hambatan ini berada dalam konteks program pemberdayaan ekonomi RDU, dengan kata lain merupakan bagian dari pelaksanaan pelayanan perlindungan RDU pada umumnya.

Berdasarkan review penelitian sebelumnya diatas, Peneliti tertarik untuk mendalami RDU dari konsep kapasitas. Selain karena konsep kapasitas membawa kebaruan pada penelitian ini, Peneliti juga ingin melihat fenomena pelayanan RDU dalam payung konstruksi kebijakan yang mampu mencakup seluruh faktor yang mempengaruhi dalam satu kerangka analisis. Untuk memenuhi keinginan ini, Peneliti menggunakan konsep kapasitas. Kapasitas menurut Hilderbrand dan Grindle (dalam Grindle 1997: 34) merupakan kemampuan untuk mengerjakan tugas-tugas yang tepat dalam mewujudkan pembangunan yang efektif, efisien, dan berkelanjutan.

(9)

8

Sebagaimana sejarah pembangunan di negara berkembang, pendekatan yang digunakan negara dalam merumuskan agenda pembangunan dipengaruhi oleh pendekatan pasar (market

oriented) dalam rangka pemerataan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah mengangkat pendekatan

ekonomi dalam program pembangunan yang ditunjukkan melalui stabilisasi kondisi makro-ekonomi, liberalisasi, perdagangan domestik dan internasional, deregulasi pasar, privatisasi sektor publik, serta pengetatan anggaran pada birokrasi. Di lain pihak lemahnya kontrol dan maraknya korupsi di tubuh birokrasi telah melemahkan kepercayaan sipil terhadap pemerintah.

Pembangunan dalam sebuah negara seringkali dilakukan melalui intervensi negara di berbagai sektor, tidak jarang dengan cara memaksa. Yang disayangkan adalah ketika pemerintah mengklaim pemeran utama dalam memandu proses pembangunan, kecenderungannya mereka justru menunjukkan kapasitas yang lemah untuk merencanakan dan mewujudkan hal tersebut (Grindle dalam Grindle 1997: 2).

Dalam rentang waktu tertentu, inisiatif dalam reformasi tidak menaruh perhatian terhadap pentingnya memiliki pemerintahan yang capable untuk menjamin pendekatan tersebut berjalan efektif dan pemenuhan akan kebutuhan dasar masyarakat terjamin. Setelah satu dekade berjalan, kebutuhan akan penguatan organisasi melalui penguatan kapasitas agar birokrasi mampu berjalan efektif, efisien, dan responsif semakin kuat dirasakan. Kebutuhan akan perbaikan kapasitas dari sektor publik memunculkan tren pembangunan kapasitas dimulai sejak 1990 (Hilderbrand dan Grindle dalam Grindle 1997: 32).

Namun laporan berbagai badan internasional menunjukkan bahwa investasi dalam pembangunan kapasitas yang mereka lakukan selama ini tidak menujukkan suatu perbaikan efektivitas dalam kinerja organisasi maupun kinerja individu didalamnya. Keadaan ini dianalisis oleh Hilderbrand dan Grindle (dalam Grindle 1997: 32) sebagai kesalahan prosedur dalam

(10)

9

pembangunan kapasitas. Pembangunan kapasitas tersebut fokus pada kegiatan pengorganisasian dan pelatihan, dengan asumsi bahwa hambatan performa organisasi dapat langsung diselesaikan dengan membangun sumber daya manusia yang kapabel. Namun mereka luput mengidentifikasi bahwa performa sumber daya manusia pun tidak berada dalam ruang vakum, bahwa kemampuan karyawan dalam melaksanakan tugas yang dipertanggung jawabkan kepada mereka juga sangat dipengaruhi oleh konteks yang lebih luas dimana mereka bekerja. Oleh karena itu merupakan kebutuhan yang tidak kalah penting untuk mengidentifikasi kapasitas sebuah lembaga untuk mengetahui titik kelemahannya dan titik kekuatannya untuk membantu merumuskan perbaikan kapasitas yang lebih tepat sasaran.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan pokok masalah yaitu “Bagaimana kapasitas Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Rekso Dyah Utami Yogyakarta dan apa saja kelemahannya ?”

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kapasitas Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Rekso Dyah Utami (RDU) dalam melaksanakan fungsinya dan faktor-faktor penghambatnya.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta mengenai kapasitas pelayanan perlindungan perempuan dan anak yang dilaksanakannya.

Gambar

Gambar 1.1. Angka Kekerasan Terhadap Perempuan Indonesia
Tabel 1.1. Data Kasus Kekerasan Yang Ditangani FPK2PA DIY
Tabel 1.2. Perbandingan Jumlah Kasus P2TPA Rekso Dyah Utami dengan DIY  No.  Tahun   Jumlah KtPA  Kasus ditangani RDU

Referensi

Dokumen terkait

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32/Kpts‐II/2003 tanggal 5 Februari 2003 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam atau Hutan Tanaman

Sumber informasi yang berasal dari kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

Ketiga, kawasan konservasi sebagai kawasan terlindungi untuk mencapai tujuan konservasi yang spesifik dirumuskan dalam United Nations Convention on Biological

(2) Tarif layanan Badan Layanan Umum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung pada Kementerian Agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

penjumlahan dari index bahaya semua zat kimia non- karsinogen harus kurang dari satu agar resiko dapat diterima (Watts, 1998). Perkiraan Hazard index

 Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan tidak ada respon pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan.  Volume cairan rumatan

There are six steps in conducting this research. First is selecting the topic. The topic chosen is children response to Cinderella and Snow White. This research utilizes

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pencemaran saluran drainase di lingkungan permukiman sekitar Kawasan Pasar Kahayan terjadi akibat limbah