• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PEMBIBITAN DAN PENYEDIAAN SAPI BAKALAN DALAM UPAYA MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI DI PULAU TIMOR, NUSA TENGGARA TIMUR (KASUS DESA TOBU)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN PEMBIBITAN DAN PENYEDIAAN SAPI BAKALAN DALAM UPAYA MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI DI PULAU TIMOR, NUSA TENGGARA TIMUR (KASUS DESA TOBU)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PEMBIBITAN DAN PENYEDIAAN SAPI BAKALAN DALAM UPAYA MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING

SAPI DI PULAU TIMOR, NUSA TENGGARA TIMUR (KASUS DESA TOBU)

(Assessment of Cow Calf Operation and Supply of Feeder Cattle in Supporting Beef Self-Sufficiency Program in Timor Island, a Case of

Tobu Village)

SOPHIA RATNAWATY danA.POHAN

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur, Jl. Timor Raya Km. 32 Naibonat PO Box1022 Kupang, NTT 85362

ABSTRACT

Movement of agricultural sector development in Indonesia needs to be done more quickly, accurately, efficiently and effectively to balance the rate of increase in demand for agricultural products and to improve farmers' welfare. One of the government efforts is the attempt to meet demand for beef from domestic production through Beef Self-sufficiency Program (PSDS). Success of the PSDS can be accelerated through the implementation of technology that has been generated by the Indonesian Agency for Agricultural Research and Development and can be implemented in cattle centers through maximally exploiting the existence of BPTP in every province. Cattle is one of the leading farm commodities that need the greatest attention in East Nusa Tenggara (NTT). The study on cow calf operation and provision of feeder cattle in NTT is needed to support government programs in an effort to accelerate the improvement of livestock populations, especially in the village of Tobu. Through the introduction of technology package that has been assembled and applied to various areas on the island of Timor, such as improvement of feed for pregnant cows, post weaning calves and feedlot cattle through the provision of forage in a foraging area (HPT) to anticipate the dry season, with composition of the forage 60%, legume 40%,. The result showed that the improvement of raising management and applied of simple technology and farmer group approach and technology-based intervention, was able to give good production performance with daily body weight gain was 0.35 – 0.45 kg when fed with legume herbaceous C. ternatea and C.pascuorum. Application of technology, introduction of cattle barn in a group of 7.8 month of fattening gave USD 1.8925 million advantage with the R/C of 1.6. From 20 female observed in communal barn at three farmer group 14, 3%

estrus; 28.6% pregnant and 23.8% gave birth, with birth weight ranged from 12.5 to 13.5 kg/head. Group approach can expand the effectiveness and efficiency of its operations and building solidarity among farmer without changing the business objectives for restoring the national cattle population as the primary basis of the development of ruminant production, while government support was still limited. The existence of communal barns is suitable in increasing Bali cattle population, since there are limited grazing capacity during the dry season and more land is converted to farm crops area.

Key Words: Assessment, Cow Calf Operation, Feeder Cattle, Beef Self Sufficiency, Timor Island

ABSTRAK

Gerakan pembangunan sektor pertanian di Indonesia perlu dilakukan dengan lebih cepat, tepat, efisien dan efektif untuk mengimbangi laju peningkatan permintaan akan produk pertanian serta untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Salah satu upaya pemerintah adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan akan daging sapi dari hasil produksi dalam negeri melalui program Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS).

Keberhasilan PSDS dapat dipercepat melalui implementasi teknologi yang telah cukup banyak dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian dan dapat diimplementasikan di daerah sentra sapi dengan secara maksimal memanfaatkan keberadaan BPTP di setiap provinsi. Ternak sapi merupakan salah satu komoditas unggulan peternakan yang perlu mendapat perhatian terbesar di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kajian tentang perbibitan dan penyediaan sapi bakalan di NTT diharapkan dapat mendukung program pemerintah dalam upaya

(2)

mempercepat peningkatan populasi ternak khususnya di Desa Tobu. Melalui introduksi paket teknologi yang telah dirakit dan diaplikasikan pada berbagai wilayah di Pulau Timor seperti perbaikan pakan untuk sapi induk bunting, pedet lepas sapih dan sapi penggemukan melalui penyediaan hijauan pakan ternak dalam kebun hijauan pakan ternak (HPT) untuk antisipasi musim kemarau dengan komposisi pemberian pakan 60%

rumput dan 40% leguminosa herba. Hasil kajian diperoleh bahwa dengan perbaikan pemeliharaan dan sentuhan teknologi sederha serta dengan pendekatan kelompoktani dan berbasis intervensi teknologi, ternyata mampu memberikan penampilan produksi yang baik dengan diperoleh inidikasi peningkatan bobot badan harian pada sapi penggemukan sebesar 0,35 – 0,45 kg bila diberi pakan leguminosa herba C. ternatea dan C.pascuorum; penerapan teknologi introduksi penggemukan sapi dalam kandang kelompok masa pemeliharaan 7,8 bulan memberikan keuntungan Rp 1.892.500 dengan nilai R/C sebesar 1,6; dari 20 ekor betina yang diamati dalam kandang komunal pada tiga poktan 14,3% berahi; 28,6% bunting dan 23,8%

beranak, dengan bobot lahir berkisar dari 12,5 – 13,5 kg/ekor. Pendekatan kelompok dapat memperbesar efektifitas dan efisiensi usaha serta membangun kebersamaan antar petani pemelihara ternak tanpa mengubah tujuan usaha karena perbaikan usaha peternakan rakyat sebagai basis utama pengembangan produksi ternak ruminansia besar, sementara dukungan pemerintah masih terbatas, padahal keberadaan kandang komunal mempunyai harapan yang baik bagi peningkatan populasi ternak sapi Bali, mengingat kapasitas tampung padang penggembalaan yang terbatas pada musim kemarau serta semakin sempit karena dikonversi untuk usahatani tanaman pangan.

Kata Kunci: Kajian, Pembibitan, Sapi Bakalan, Swasembada Daging Sapi, Pulau Timor

PENDAHULUAN

Pemerintah melalui Depertemen Pertanian telah meluncurkan rencana aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005 – 2010 yang menetapkan lima komoditas pangan strategis yakni: padi, jagung, kedelai, tebu dan daging sapi (INOUNU, 2006). Oleh karena itu, sapi merupakan salah satu komoditas unggulan peternakan yang perlu mendapat perhatian terbesar di Nusa Tenggara Timur.

Dilihat dari aspek sosial budaya, ternak sapi mempunyai potensi dalam pemenuhan pangan, kegiatan adat istiadat dan status sosial.

Populasi ternak sapi di NTT pada tahun 2008 sebesar 566.464 ekor, terdapat peningkatan populasi dalam rentang tahun 2004 – 2008 yaitu sebesar 2,41% (NTT DALAM ANGKA, 2009). Hal ini menunjukan perkembangan yang positif walaupun belum optimal karena angka kematian yang masih cukup tinggi akibat pola pemeliharaan yang masih ekstensif.

Masalah dan kendala yang dihadapi dalam upaya mempercepat populasi ternak sapi di NTT adalah: a) Angka kematian anak > 30%;

b) Jarak beranak > 15 bulan; c) Persentase kelahiran < 60%; d) Kekurangan pejantan berkualitas; e) Kekurangan pakan saat kemarau; f) Pemotongan betina produktif >

80%; g) Pemasaran sapi. Kondisi ini harus dicarikan solusinya, terlebih untuk mendukung keberhasilan program swasembada daging sapi

Oleh karena itu, dalam menghadapi swasembada daging sapi tahun 2014 diperlukan peningkatan populasi sapi potong secara nasional dengan cara meningkatkan jumlah kelahiran pedet dan calon induk sapi dalam jumlah besar. Untuk mendukung peningkatan populasi tersebut terutama pada usaha peternakan rakyat diperlukan suatu teknologi tepat guna spesifik lokasi sesuai dengan agroekosistem dan kebutuhan pengguna yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Tantangan terbesar adalah bagaimana mempercepat inovasi yang dihasilkan, cepat sampai dan tepat, serta berdayaguna dan berhasilguna dalam menjawab dan memecahkan permasalahan yang dihadapi, sementara teknologi hasil penelitian telah banyak dihasilkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, namun belum semuanya diadopsi petani, bahkan proses transfer teknologi berjalan sangat lamban.

Oleh karena itu, melalui kajian perbibitan dan penyediaan sapi bakalan di NTT diharapkan dapat mendukung program pemerintah dalam upaya mempercepat peningkatan populasi ternak khususnya di Pulau Timor yang memiliki populasi sapi terbesar yaitu 137,298 ekor (2006). Melalui introduksi paket teknologi yang telah dirakit dan di aplikasikan pada berbagai wilayah di

(3)

sapi induk bunting, pedet lepas sapih dan sapi penggemukan melalui penyediaan hijauan pakan ternak dalam kebun untuk antisipasi musim kemarau dengan komposisi pemberian pakan 60% rumput dan 40% leguminosa.

Berdasarkan uraian di atas maka telah dilaksanakan kajian pembibitan dan penyediaan sapi bakalan dalam upaya mendukung swasembada daging sapi di Pulau Timor khususnya di Desa Tobu yang meliputi teknologi penggemukan ternak sapi melalui perbaikan komposisi pakan (rumput dan leguminousa herba), perbaikan manajemen pemeliharaan sapi betina melalui pendekatan kandang kelompok sehingga memudahkan dalam menyeleksi sapi betina bunting, yang bertujuan untuk menghasilkan sapi bibit yang dapat meningkatkan kelahiran dan memperoleh sapi bakalan yang mempunyai bobot lahir normal diatas rata-rata, dan diharapkan tersedianya sapi bibit yang dapat meningkatkan kelahiran dan sapi bakalan yang mempunyai bobot lahir > 12 kg.

MATERI DAN METODE Materi pengkajian

Pengkajian perbibitan dan penyediaan sapi bakalan dilaksanakan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Kecamatan Tobu, Desa Tobu dari bulan Januari – Desember 2009.

Dilaksanakan pada 3 kelompoktani (poktan) yang telah menerima introduksi teknologi berupa perbaikan sistem pemeliharaan ternak sapi dalam kelompok. Pengkajian menggunakan ternak sapi milik petani dan bantuan Dinas Peternakan Kabupaten TTS, terdiri dari 36 ekor ternak sapi jantan (penggemukan) dan 20 ekor sapi betina (pembibitan), untuk pembibitan setiap kandang komunal dilengkapi dengan 1 ekor ternak sebagai pejantan.

Metode pengkajian

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan intervensi teknologi berbasis komunitas petani atau kelompoktani dalam bentuk pengkajian partisipatif. Pengumpulan

data dilakukan dengan monitoring setiap bulan dan dilakukan pengamatan dan pengukuran pada obyek yang di kaji.

Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder dan data primer. Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan langsung dan pengukuran pada obyek yang dikaji, dengan parameter yang diamati meliputi: 1) sapi penggemukan: jumlah ternak sapi yang digemukan (ekor/periode) dan ternak sapi yang dijual, pertambahan bobot badan (PBB kg/ekor/hari), jumlah konsumsi pakan (kg/ekor/hari); 2) sapi pembibitan: waktu berahi, kawin, dan partus serta dilakukan penimbangan setiap bulan terhadap induk bunting dan bobot lahir anak.

Metode analisis

Analisis data yang digunakan dalam pengkajian adalah: (1) analisis deskriptif dan (2) analisis ekonomi yaitu analisis kelayakan usaha penggemukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Usaha Ternak Sapi Penggemukan Menggunakan Leguminosa Herba. Selama kurun waktu setahun kajian ini dilaksanakan, jumlah ternak jantan yang digemukan pada tiga poktan adalah sebanyak 28 ekor dan yang telah terjual sebanyak 23 ekor. Pada Tabel 1 disajikan jumlah ternak sapi penggemukan yang dipelihara dalam kandang kelompok pada tiga poktan di Desa Tobu dari bulan Januari sampai dengan Agustus 2009.

Tabel 1. Jumlah ternak sapi jantan yang digemukan pada tiga kelompok tani di Desa Tobu

Jumlah ternak (Ekor) Kelompok tani

Januari 2009 Agustus 2009

Monit 7 5

Bukit Harapan 10 5

Mawar 11 4

Total 28 14

Sumber: DATA PRIMER, (2009)

(4)

Data dari Tabel 1 di atas memperlihatkan jumlah ternak sapi yang digemukan sebanyak 28 ekor tersebar pada tiga poktan, lama waktu penggemukan selama 7 bulan. Jumlah ternak sapi yang digemukan periode bulan Januari sebanyak 28 ekor dan periode bulan Agustus sebanyak 14 ekor. Kondisi ini dapat terjadi karena pada bulan Agustus ketersediaan pakan di kebun terbatas, tidak mencukupi bila menggemukan sapi dalam jumlah yang sama seperti pada periode penggemukan bulan Januari dimana ketersediaan pakan masih melimpah.

Terjualnya sapi penggemukan tersebut disebabkan selain telah memenuhi standar bobot jual (minimal berat 250 kg) juga hal lain adalah tercapainya kesepakatan harga antara petani dan pembeli. Dalam hal ini telah terjadi peningkatan posisi tawar petani, dimana petani memiliki posisi tawar yang tinggi dalam menentukan harga walaupun telah ada harga patokan penjualan berat badan hidup ternak sapi, namun kasus di Desa Tobu, petani tidak menggunakan standar tersebut, karena menurut petani rugi apalagi bila diperhitungkan dengan biaya pakan yang dikeluarkan selama pemeliharaan. Sehingga yang terjadi adalah pembeli yang datang menawar sapi dan harga berdasarkan kesepakatan anggota.

Hasil kajian RATNAWATY et al (2007) di lokasi Primatani di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dilaporkan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah ternak sapi yang digemukan dalam kandang kelompok sebesar 1,17%, introduksi teknologi penggemukan sapi dalam kandang kelompok mampu mempersingkat waktu penggemukan menjadi 8,5 bulan dari masa pemeliharaan petani selama 36 bulan serta keuntungan yang diperoleh pada teknologi penggemukan sapi dalam kandang kelompok sebesar Rp 1.071.300 dengan nilai R/C sebesar 1,36 sebagai penambahan pendapatan petani dalam usahataninya.

Penggemukan sapi potong akan bermanfaat bagi petani sebagai penghasil bibit ternak sapi terseleksi dan memenuhi standar bibit nasional dengan harga jual yang lebih tinggi dibanding dengan petani disekitarnya, disamping itu perbaikan pakan berkualitas pada sapi penggemukan dalam kelompoktani akan

penggemukan, pertambahan bobot badan (PBB) harian lebih tinggi, sehingga pendapatan petani lebih besar.

Dalam kajian ini telah dilakukan uji coba pemberian leguminosa herba pada sapi penggemukan, jenis leguminosa yang diberikan adalah Clitoria ternatea dan Centrosema pascuorum, jumlah pemberian adalah 10% dari bobot badan dengan komposisi 60% rumput alam dan 40%

leguminosa herba.

Uji coba pemberian leguminosa herba dilakukan selama 30 hari, hal ini dilakukan karena keterbatasan leguminosa herba dimana pemberiannya dalam bentuk segar (cut and carry), oleh karena itu, pemberian leguminosa herba ini tidak menggambarkan pola konsumsi sapi jantan karena singkatnya waktu pemberian leguminosa tersebut, sebagai gambaran saja bahwa pemberian leguminosa herba pada saat dimana ketersediaan rumput alam mulai berkurang baik kualitas maupun kuantitasnya, akan bermanfaat dalam mempertahankan bobot badan bahkan dapat meningkatkan bobot badan harian ternak sapi.

Data dari Tabel 2 memperlihatkan bahwa pemberian leguminosa herba dapat mempertahankan bahkan meningkatkan bobot badan ternak sapi dari 0,12 kg/ekor/hari menjadi 0,36 – 0,45 kg/ekor/hari masing masing untuk C. ternatea dan C. pascuorum.

Hal ini mengindikasikan bahwa leguminosa herba bila diberikan pada saat dimana ketersediaan rumput alam mulai berkurang baik kualitas maupun kuantitasnya (seperti dalam kajian ini diberikan selama bulan Agustus) dapat memberikan performan yang baik bagi ternak sapi penggemukan dimana terjadi indikasi kenaikan bobot badan harian.

Ini berarti bahwa kekurangan protein yang terkandung pada rumput alam dapat digantikan oleh leguminosa herba, karena kandungan protein kasar C. ternatea dalam bentuk hay sebesar 21,32% (ANONIMUS, 2008).

Dilaporkan oleh BAMUALIM et al (1994) bahwa umumnya kandungan protein rumput alam pada periode bulan Juni – November mengalami penurunan, sampai dibawah 7%, dimana merupakan ambang minimal yang dibutuhkan seekor ternak sapi dalam memenuhi kebutuhan hidup pokoknya.

(5)

Tabel 2. Rata-rata pertambahan bobot badan sapi jantan yang diberi leguminosa herba selama 30 hari uji coba pakan di Desa Tobu, Kecamatan Tobu, Kabupaten TTS

Perlakuan Keragaan

Kontrol Clitoria ternatea Centrosema pascuorum

Bobot badan awal (kg) 204,8 206,5 204,0

Bobot badan akhir (kg) 208,5 217,5 218,0

Pertambahan bobot badan/PBB (kg) 3,7 11,0 13,5 Pertambahan bobot badan harian/PBBH (kg) 0,12 0,36 0,45

Sumber: DATA PRIMER DIOLAH, (2009)

Oleh karena itu, pemberian leguminosa herba dianjurkan pada saat dimana kandungan protein rumput alam yang tersedia di lapang berkurang kualitasnya dengan harapan agar sumbangan protein diperoleh dari leguminosa herba, sehingga pada pengkajian ini pemberian leguminosa herba di Desa Tobu dilaksanakan selama bulan Juli sampai Agustus, dan terbukti dapat meningkatkan PBB harian sapi penggemukan.

Pada Tabel 3 berikut disajikan jumlah ternak sapi yang telah dijual selama periode penggemukan pada tiga kelompoktani di Desa Tobu.

Data dari Tabel 3. menunjukkan bahwa sekitar 43% petani yang menjual ternak sapinya di bawah bobot badan 250 kg, hal ini disebabkan karena kebutuhan mendesak, sedangkan 57% petani menjual ternak sapinya sesuai standar BB. Namun umumnya petani yang tergabung dalam kelompoktani di Desa Tobu telah menyadari bahwa mereka akan menjual ternaknya bila telah mencapai bobot badan standar dan harga baik, jika performan petani seperti ini berlangsung seterusnya maka posisi tawar petani akan semakin tinggi karena yang menentukan harga adalah petani sendiri.

Pada masa penggemukan tahun 2009, masa pemeliharaan selama 7,8 bulan dengan berat badan akhir sebesar 269,85 kg dan harga jual rata-rata sebesar Rp 5.025.000. Dibandingkan dengan masa penggemukan pada tahun 2008 (Prima Tani), maka masa penggemukan lebih pendek dibanding tahun 2008 (8,5 bulan) dan harga jual lebih tinggi dibandingkan dengan

tahun 2008 (Rp 4.015.800).

Untuk mengetahui untung ruginya penggemukan sapi pada tahun 2009 dapat diperhitungkan dengan asumsi:

1. Kandang yang digunakan adalah kandang yang dibuat tahun 2007 dengan nilai Rp. 2.500.000 pada umur ekonomi selama 5 tahun.

2. Penyusutan yang dihitung setiap periode 7,8 bulan adalah Rp. 325.000, sehingga rata-rata petani Rp. 32.500

3. Pakan tersedia dan petani tidak mendapat upah sebagai tenaga kerja

4. Data dari Tabel 4 ditunjukkan bahwa pada penerapan teknologi introduksi penggemukan sapi dalam kandang kelompok masa pemeliharaan 7,8 bulan (tahun 2009) memberikan keuntungan Rp 1.892.500 dengan nilai R/C sebesar 1,6.

Keuntungan ini lebih besar dari penggemukan tahun 2008 (Rp 1.071.300) dengan masa penggemukan lebih pendek.

Nilai R/C lebih dari 1 ini menunjukkan bahwa pemeliharaan sapi menguntungkan walaupun masih cukup rendah keuntungan yang diperoleh petani. Nilai R/C tahun 2009 lebih tinggi dibanding tahun 2008 (1,36) dengan masa penggemukan yang lebih pendek dan harga jual lebih tinggi.

Hal ini disebabkan karena anjuran teknologi sudah diterapkan lebih baik oleh petani walaupun masih belum optimal sehingga memberikan keuntungan yang lebih besar, selain itu juga posisi tawar petani terhadap nilai jual sapinya juga lebih kuat.

(6)

Tabel 3. Jumlah ternak sapi penggemukan yang telah dijual pada tiga kelompoktani di Desa Tobu tahun 2009 Kelompoktani/petani Harga (Rp) Bobot badan jual (Kg) Waktu jual Monit

Jemi Loasana 5.500.000 289 12 Sep 2009

Hendrik Oematan 4.000.000 219 12 Sep 2009

Rizal Loasana 5.000.000 253 12 Sep 2009

Vinsen Kase 4.200.000 236 12 Sep 2009

Hendrik Sunbanu 4.000.000 220 12 Sep 2009

Aminadap Oematan 4.500.000 237 12 Sep 2009

Trianus Loasana 5.500.000 271 12 Sep 2009

Mawar

Marten Seko 5.000.000 288 7 Sep 2009

Rizal Nomeni 4.500.000 250 12 Sep 2009

Okto Tafui 4.400.000 248 7 Sep 2009

Thimotius Tafui 4.300.000 229 19 Ags 2009

Mihel Haekase 5.500.000 308 7 Sep 2009

Martinyo Nitsae 5.000.000 293 12 Sep 2009

Melianus Sunbanu 5.300.000 279 19 Ags 2009

Simon Totu 5.700.000 295 19 Ags 2009

Abraham Tameon 4.600.000 261 12 Sep 2009

Yunus Taneo 6.000.000 353 7 Sep 2009

Abraham Tameon 4.500.000 245 12 Sep 2009

Bukit Harapan

Musa ON. Lake 6.000.000 310 29 Sep 2009

Marten Sebe 7.000.000 313 5 Agst 2009

Sumber: DATA PRIMER, (2009)

Usaha ternak sapi pembibitan melalui perbaikan pemeliharaan ternak sapi betina dalam kandang komunal

Salah satu faktor penyebab rendahnya perkembangan populasi sapi adalah manajemen perkawinan yang tidak tepat disebabkan karena pola pemeliharaan yang ekstensif sehingga dalam kajian ini juga telah dilakukan perbaikan pemeliharaan sapi betina melalui pemeliharaan kandang komunal. Pada Tabel 5 disajikan pengamatan birahi dari sapi

betina yang dipelihara dalam kandang komunal pada tiga kelompoktani di desa Tobu. Data dari Tabel 5 ditunjukkan jumlah sapi betina di dalam kandang komunal sebanyak 21 ekor, dengan distribusi 14,3% berahi; 28,6% bunting dan 23,8% beranak. Pola pemeliharaan sapi betina adalah semi intensif dimana pagi dilepas sekitar kandang komunal dan malamnya di kandangkan dan diikat dalam kandang individu serta dilepas satu ekor pejantan. Betina yang telah menunjukkan tanda birahi dikawinkan, bila birahi pagi hari, maka

(7)

Tabel 4. Perhitungan ekonomis penggemukan sapi di Desa Tobu

No Uraian Penggemukan tahun 2008

(Rp) (8,5 bulan)

Penggemukan tahun 2009 (Rp) (7,8 bulan) I Biaya produksi

Penyusutan kandang 29.500 32.500

Bakalan 200 kg 2.900.000 3.000.000

Obat-obatan 15.000 100.000

Total biaya 2.944.500 3.132.500

II Produksi sapi 301,5 kg 269,85 kg

III Nilai produksi 4.015.800 5.025.000

IV Keuntungan 1.071.300 1.892.500

V R/C rasio 1,36 1,6

paling lambat sapi betina tersebut dikawinkan malam hari dan bila birahi sore atau malam hari maka dikawinkan pada pagi esok harinya.

Pengamatan ini dilakukan sendiri oleh petani pemilik sapi yang sebelumnya diberi petunjuk oleh petugas. Untuk poktan Debora telah dilakukan pemberian leguminosa herba ditambah jerami, king grass dan batang pisang untuk pemenuhan kebutuhan air minum pada sapi betina. Keragaan sapi betina dan anak disajikan pada Tabel 6.

Data dari Tabel 6 ditunjukkan bahwa bobot lahir anak berkisar antara 12,5 – 13,5 kg/ekor, terjadi penurunan bobot badan terutama untuk betina laktasi berkisar antara -0,7 – 1,3 kg/ekor, ini mengindikasikan bahwa betina laktasi masih memerlukan tambahan pakan berkualitas untuk memenuhi kebutuhan induk dan pedet yang disusui, karena umumnya kelahiran sapi Bali terkonsentrasi pada bulan Juli sampai Oktober setiap tahunnya. Pada kondisi bulan-bulan tersebut jumlah ketersediaan pakan di padang penggembalaan sangat terbatas

sehingga jumlah konsumsi pakan oleh induk mengalami kekurangan akibatnya produksi air susu berkurang. Oleh sebab itu, upaya untuk mengatur pola kelahiran anak agar terjadi kelahiran antara bulan Maret sampai dengan Juni perlu dilakukan agar memberi dampak positif terhadap angka kematian dan bobot lahir anak.

POHAN dan RATNAWATY (2005) melaporkan bahwa rata-rata bobot lahir pedet di Desa Usapinonot, Kecamatan Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara sebesar 12 kg pada kelahiran bulan Mei, sedangkan bulan Desember sebesar 10 kg.

Sebenarnya teknologi perbaikan pemeliharaan sapi betina ini sederhana dan mudah dilaksanakan oleh petani karena tidak berbeda dengan pemeliharaan penggemukan sapi jantan, hanya saja kendala yang utama di Desa Tobu adalah belum terbiasa mengkandangkan sapi betina dalam kandang komunal, juga memerlukan perhatian tambahan yaitu mengamati sapi betina kapan birahi, kawin dan beranak, serta hasil yang

Tabel 5. Performan sapi betina yang dipelihara secara semi-intensif dalam kandang komunal di Desa Tobu Kondisi sapi betina (ekor)

Kelompoktani

Jumlah Betina Birahi Bunting Beranak Keterangan

Debora 11 2 5 2

Bukit Harapan 4 0 0 0

Monit 6 1 1 3

Birahi, bunting dan beranak dalam bulan Maret – September 2009

Sumber: DATA PRIMER, (2009)

(8)

Tabel 6. Keragaan bobot badan sapi betina induk, muda dan anak di tiga kelompok tani Pertambahan bobot badan menurut umur fisiologis (kg/ekor)

Pedet (anak sapi) (umur/bulan) Poktan

Betina laktasi

Betina bunting

Betina muda

Bobot lahir

5 6 8

Keterangan

Debora - 1,3 0,03 0,4 13,5 1,1 0 1,1

Monit - 0,7 0,4 0 12,5 0 0,8 0

Bukit Harapan 0 0 0,1 0 0 0 0

Pengamatan dari bulan Juli sampai

Desember 2009 Sumber: DATA PRIMER, (2009)

diperoleh dari pemeliharaan sapi betina ini lebih lama dibandingkan dengan sapi penggemukan yang hanya 6 – 8 bulan sudah bisa dijual dan mendapatkan uang tunai.

Namun bila semua petani sadar akan pentingnya perbaikan pemeliharaan sapi betina yang merupakan “pabrik” nya ternak sapi maka tujuan berupa penyediaan sapi bibit dan sapi bakalan melalui perbaikan pemeliharaan dapat terwujud serta masalah yang selalu muncul yaitu angka kematian anak sapi yang tinggi dapat dikurangi melalui perbaikan manajemen pemeliharaan sehingga bermuara pada peningkatan populasi ternak sapi.

KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Lama waktu penggemukan sapi potong ditingkat petani di Desa Tobu 6 – 8 bulan 2. Terjadi peningkatan bobot badan harian

pada sapi penggemukan sebesar 0,35 – 0,45 kg bila diberi pakan leguminosa herba C. ternatea dan C. pascuorum

3. Pada penerapan teknologi introduksi penggemukan sapi dalam kandang kelompok masa pemeliharaan 7,8 bulan memberikan keuntungan Rp. 1.892.500 dengan nilai R/C sebesar 1,6.

4. Dari 20 ekor betina yang diamati dalam kandang komunal pada tiga poktan 14,3%

berahi; 28,6% bunting dan 23,8% beranak, dengan bobot lahir berkisar dari 12,5 – 13,5 kg/ekor

5. Kandang komunal diperlukan dalam menunjang pengembangan ternak sapi pada masa mendatang, mengingat kapasitas tampung padang penggembalaan yang terbatas pada musim kemarau serta semakin sempit karena dikonversi untuk usahatani tanaman pangan.

6. Pendekatan kelompok dapat memperbesar efektifitas dan efisiensi usaha serta membangun kebersamaan antarpetani pemelihara ternak tanpa mengubah tujuan usaha.

7. Perbaikan usaha peternakan rakyat sebagai basis utama pengembangan produksi ternak ruminansia besar

8. Dukungan pemerintah masih terbatas, sementara keberadaan kandang komunal mempunyai harapan yang baik bagi peningkatan populasi ternak sapi Bali.

DAFTAR PUSTAKA

ANONIMUS. 2009. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka. Badan Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur

ANONIMUS. 2008. Analisis kandungan nutrisi pakan leguminosa herba. Laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, Kupang

ANONIMUS. 2006. Kabupaten Kupang Dalam Angka. Badan Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur

BAMUALIM,A. 1994. Usaha peternakan sapi di Nusa Tenggara Timur. Pros. Seminar Pengolahan dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Peternakan dan Aplikasi Paket Teknologi Pertanian. Noelbaki, Kupang, 1 – 3 Februari

(9)

INOUNU, I., ENY MARTINDAH dan R. A. SAPTATI. 2006. Peranan Iptek dalam Mendukung Kebijakan Program Kecukupan Daging Sapi 2010. Pros. Seminar Nasional Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Bidang Tanaman Pangan, Perkebunan dan Peternakan dalam Sistem Usahatani Lahan Kering. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor. Hlm. 11 – 19.

POHAN, A. dan RATNAWATY, S. 2005. Pengkajian Usaha Ternak Sapi melalui Perbaikan Manajemen Pemeliharaan di Kabupaten TTU.

Laporan Hasil Pengkajian BPTP NTT Tahun 2006.

RATNAWATY,S.,D.A.BUDIANTO,P.TH.FERNANDEZ

andM.KOTE. 2007. Teknologi penggemukan sapi dengan pendekatan kandang kelompok di Desa Tobu. Laporan Hasil Kegiatan PRIMATANI Tahun 2007 – 2008.

Referensi

Dokumen terkait

Hal yang ingin diketahui dari demplot tersebut pada aspek ekonomi adalah bagaimana status kelayakan finansial budi daya sutera alam melalui pemanfaatan limbah pakan, dan seberapa

Penelitian ini berisikan analisa pengaruh Pelatihan, Lama Usaha dan Tingkat Pendidikan Mitra terhadap Kinerja Usaha Mitra Binaan PKBL PT Jasa Marga.Indikator pengukuran Kinerja

Kegiatan pengabdian masyarakat ini dilakukan di Desa Tahunan, Kecamatan Sale, Rembang. Keberadaan kelompok kesenian yang ada di desa tersebut masih membutuhkan

Demikian sambutan yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, semoga kita senantiasa berada dalam bimbingan dan lindungan Allah SWT, sekali lagi saya ucapkan selamat dan terima

Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria massif  Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria massif 

VII, Nomor 35, 15 Nubuwwah 1392 HS/November 2013 10 ini, dan semua yang terjadi ini telah diberitahukan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as dan beliau tampilkan di hadapan kita dan untuk

MARKET BRIEF BAN (TIRE) ITPC BUSAN35 TABEL 3.2 STANDAR BAN BERDASARKAN ROLLING RESISTANCE COEFFICIENTDAN WET GRIP Selain menggunkan standar ban yang berdasarkan

Bagian Tata Usaha mempunyai tugas melaksanakan penyiapan penyusunan rencana, program, dan anggaran, pemantauan dan evaluasi serta pelaporan, dan pengelolaan urusan