KONSEP METODE PENDIDIKAN AKHLAK IBNU MISKAWAIH DAN RELEVANSINYA TERHADAP
PENDIDIKAN AKHLAK DI SDN PETIR 3
SKRIPSI
Diajukan Kepada Jurusan Pendidikan Agama Islam Untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh : ASEP QUSYAIRI
1113011000041
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2020 M / 1441 H
i ABSTRAK
Asep Qusyairi (NIM: 1113011000041) Konsep Metode Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih Dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Akhlak Di Sdn Petir 3 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep pendidikan akhlak ibnu miskwaih dan relevansinya terhadap pendidikan karakter di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualtitatif, yaitu data yang diperoleh (berupa kata- kata, gambar dan perilaku) tidak dituangkan dalam bentuk bilangan atau angka melainkan tetap dalam bentuk kualitatif, sifatnya menganalisa dan memberi pemaparan mengenai situasi yang diteliti dalam bentuk naratif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan/library research yakni mengumpulkan, menelaah dan mengkaji data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan obyek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat kepustakaan. Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti. Dalam hal ini kitab Tahzib al Akhlaq. Sedangkan data sekunder merupakan data-data yang mendukung data primer, yaitu buku-buku dan literatur yang relevan dengan penelitian ini. Data sekunder yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah buku, jurnal dan sumber literatur lainnya yang mengkaji tentang akhlak terkait konsep pendidikan akhlak ibnu akhlak. Teknik analisis data menggunakan teknik content analysis dalam bentuk deskriptif. Hasil penelitian ini yakni konsep pendidikan ibnu miskawaih masih relavan terhadap pendidikan karakter di Indonesia. Karena konsep yang beliau bawa dalam kitabnya, menekankan pembangunan pendidikan moral. Hal itu tentu sesuai dengan apa yang di inginkan oleh masyarakat Indonesia yang nilai moral masih jauh tertinggal oleh Negara lain.
Terutama dalam moral akhlak islami.
ii ABSTRACT
Asep Qusyairi (NIM: 1113011000041) The Concept of Ibn Miskawaih Moral Education Method and Its Relevance to Moral Education in Sdn Petir 3
This study aims to determine the concept of Ibn Miskwaih's moral education and its relevance to character education in Indonesia. This study uses a qualitative approach, ie the data obtained (in the form of words, pictures and behavior) is not set forth in the form of numbers or numbers but remains in a qualitative form, the nature of analyzing and giving exposure to the situation under study in narrative form. The type of research used is library research / library research that is collecting, studying and reviewing data or scientific papers that aim at the object of research or collection of data that are library. Primary data sources are data obtained directly from the object under study. In this case the book of Tahzib al Akhlaq.
While secondary data is data that supports primary data, namely books and literature relevant to this study. Secondary data used by researchers in this study are books, journals and other sources of literature that examines morals related to the concept of Ibn Moral Moral Education. Data analysis techniques using content analysis techniques in descriptive form. The results of this study are Ibnu Miskawaih's concept of education is still relevant to character education in Indonesia. Because the concept he brought in his book, emphasizes the building of moral education. That is certainly in accordance with what is desired by the people of Indonesia whose moral values are still far behind by other countries. Especially in Islamic moral morals.
iii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahiim.
Assalamua’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh ..
Segala Puji bagi Allah atas limpahan rahmat-Nya, atas segala nikmat yang telah diberikan, baik nikmat islam, iman dan sehat wal afiat. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah diberikan keistimewaan oleh Allah SWT yakni Jawami’ulkalim (ungkapan yang singkat namun maknanya padat).
Penulis bersyukur atas rahmat dan berkah-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan judul “Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Karakter di Indonesia.” Skripsi ini disusun untuk melengkapi dan memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd). Penelitian ini terselesaikan tentunya tidak dengan hasil kerja penulis pribadi, melainkan mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Ibu Sururin, M.Ag beserta Staf dan Jajarannya.
3. Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Drs. Abdul Haris, M.Ag selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.
4. Terima kasih pula kepada Drs. Rusdi Jamil, M.Ag Selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam.
5. Bapak Drs. Achmad Gholib, M.Ag. selaku dosen pembimbing penulisan Skripsi yang telah meluangkan waktu dan tenaganya sehingga skripsi selesaikan. Semoga Allah swt membalas segala amal baik beliau dengan sebaik-baiknya balasan.
6. Bapak. Dr Dimyati, M.Ag., selaku dosen pembimbing akademik.
iv
7. Segenap para Dosen jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan banyak ilmu dan membantu baik prihal akademik maupun hal lainnya.
8. Kedua Orang tua, Almarhum Ayahanda saya H. Ali dan Ibunda Hj.
Kosriyah yang tanpa henti memberikan Do’a, dukungan dan bimbingannya kepada penulis dan semoga ibunda saya selalu diberikan kesehatan.
9. Kepada para sahabat seperjuangan kelas PAI-B dan juga keluarga besar PAI angkatan 2013 yang telah memberikan banyak kesan baik selama berkecimpung di dunia perkuliahan. Semoga Allah membalas segala amal baik kalian.
10. Keluarga Besar SDN Petir 3 yang telah memberikan masukan, dukungan dan motivasi kepada penulis, semoga selalu diberikan kesehatan dan selalu dalam lindungan Allah Swt.
11. Sahabat-sahabat Keluarga Besar MAPK 2013 terutama Ahmad Milki, Ajrine Rahma, Ahmad Ulan Fahri serta Forum AL-MADANY (Alumni MA Annida Al-Islamy) yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, semoga selalu dalam lindungan Allah Swt.
Dan kepada semua pihak, teman-teman yang lain dimanapun kalian berada yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini semoga dimanapun kalian berada senantiasa diberikan kesehatan dan dilancarkan segala urusan. Penulis meminta maaf karena pasti terdapat kekurangan dalam penulisan ini, Olehkarenanya, saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak senantiasa penulis harapkan demi terciptanya penelitian yang lebih baik lagi.
Wassalamu ‘alaikum …
Jakarta, 1 Jnui 2020 Penulis
Asep Qusyairi
v DAFTAR ISI
HALAMAN
ABSTRAK i
ABSTRACT ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
LAMPIRAN vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi Masalah 6
C. Pembatasan Masalah 6
D. Rumusan Masalah 7
E. Tujuan Penelitian 7
F. Manfaat Penelitian 7
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Pendidikan Akhlak 8
B. Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih 21
C. Metode Mujahadah dan Riyadhoh 33
D. Model Pendidikan Akhlak 36
E. Hasil Penelitian Yang Relevan 44
vi
HALAMAN BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian 46
B. Objek dan Subjek Penelitian 47
C. Teknik Pengumpulan Data 48
D. Teknik Analisis Data 48
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Metode Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih 50 B. Metode Pendidikan Akhlak di SDN Petir 3 Kota Tangerang 54 C. Relevansi Konsep Metode Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih
Terhadap Pendidikan Akhlak di SDN Petir 3 Kota Tangerang 57 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 64
B. Saran 66
DAFTAR PUSTAKA 69
LAMPIRAN 72
vii LAMPIRAN-LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Surat Bimbingan Skripsi LAMPIRAN 2 Surat Izin Penelitian
LAMPIRAN 3 Surat Keterangan Penelitian LAMPIRAN 4 Surat Uji Referensi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Masalah terbesar yang sedang dihadapi bangsa Indonesia adalah semakin merosotnya moral bangsa. Perilaku yang tidak bermoral dapat disaksikan setiap saat melalui media elektronik, mulai dari kasus korupsi, pencurian, pemerkosaan, pembunuhan, judi, minuman keras, obat-obatan terlarang, seks bebas, kekerasan dalam rumah tangga, tauran pelajar, gang motor dan lain-lain.
Kemerosotan moral yang demikian itu lebih menghawatirkan lagi, karena bukan hanya terjadi di kalangan orang dewasa dalam berbagai jabatan, kedudukan dan profesinya, melainkan juga telah menimpa para pelajar, pemuda yang di harapkan dapat melanjutkan perjuangan membela kebenaran, keadilan dan perdamaian masa depan.
Tingkah laku menyimpang yang ditunjukkan oleh sebagian generasi muda harapan masa depan itu, sekalipun jumlahnya mungkin hanya seperkian persen dari jumlah pelajar secara keseluruhan, tetapi tetap sangat disayangkan. karena fenomena tersebut dapat mencoreng citra bangsa Indonesia yang dulu terbiasa santun dalam berperilaku, ramah tamah, musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah, mempunyai kearifan lokal yang kaya dengan pluralitas, serta bersikap toleran dan gotong royong.
Pelajar sebagai seorang remaja memiliki peranan sangat penting dan keberadaannya tidak bisa kita pisahkan dari masyarakat. Hal ini dapat diasumsikan bahwa permasalahan remaja dengan berperilaku negatif merupakan bagian dari permasalahan sosial yang merugikan masyarakat. Pada masa usia seperti mereka inilah terjadi kerawanan, sehingga memerlukan perhatian khusus.
Kerawanan yang sering terjadi pada masa remaja ini disebabkan bergejolaknya keinginan dan dorongan-dorongan yang kadang dapat
menjerumuskan mereka kepada perilaku negatif. Karena masa remaja adalah masa timbulnya berbagai macam kebutuhan dan emosi serta tumbuhnya kekuatan dan kemampuan fisik lebih jelas dan daya pikir menjadi matang.
Semua perilaku negatif masyarakat Indonesia baik yang terjadi di kalangan pelajar dan mahasiswa maupun kalangan yang lainnya, jelas menunjukkan rapuhnya moral bangsa Indonesia yang salah satunya disebabkan oleh tidak optimalnya pengembangan pendidikan akhlak di lembaga pendidikan. Padahal negara dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Apabila gejala dan fakta realitas tersebut tidak disikapi secara profesional dan bijak, bangsa ini menjadi bangsa yang gagal karena generasi mudanya telah teracuni narkoba, miras, sex bebas dan tawuran, sedangkankan generasi tuanya telah terkontaminasi oleh budaya koruptif dan selingkuh, yang merupakan eksistensi dari kehidupan matrealisme, permisivisme dan glamorisme.1
Membuat peserta didik berkarakter adalah tugas pendidikan, yang esensinya adalah membangun manusia seutuhnya, yaitu manusia yang baik dan berkarakter.2
Lembaga pendidikan formal atau sekolah dikonsepsikan untuk mengemban fungsi reproduksi, penyadaran, dan mediasi secara simultan. Fungsi-fungsi sekolah itu diawadahi melalui proses pendidikan dan pembelajaran sebagai inti bisnisnya.
1 Anas Salahudin dan Irwanto, Pendidikan Karakter, Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya, (Bandung: Pustaka setia, 2013), h. 16.
2 Ibid., h. 43
Pada proses pendidikan dan pembelajaran itulah terjadi aktivitas kemanusiaan dan pemanusiaan sejati.3
Menurut ajaran Islam, hakikat pendidikan adalah mengembalikan nilai-nilai ilahiah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan Al-Qur’an dan Hadits sehingga menjadi manusia yang berakhlak mulia.4 Hal tersebut sangat sesuai dengan firman Allah SWT. Yang menjelaskan:
ِباَبْلَ ْلْا وُلوُأ َرَّكَذَتَيِل َو ِهِتاَيآ او ُرَّبَّدَيِل ٌك َراَبُم َكْيَلِإ ُهاَنْل َزْنَأ ٌباَتِك Artinya: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Q.S Shadd:29)
Salah satu misi utama agama Islam adalah menyempurnakan akhlak manusia. al-akhlak al-karimah yang diajarkan Islam merupakan orientasi yang harus dipegang oleh setiap muslim. Seseorang yang hendak memperoleh kebahagiaan sejati (al-sa’âdah al-haqîqiyyah), hendaknya menjadikan akhlak sebagai landasan dalam berperilaku. Sebaliknya orang yang tidak memperdulikan pembinaan akhlak adalah orang yang tidak memiliki arti tujuan hidup.
Membicarakan akhlak merupakan hal yang sangat penting dan sangat mendasar. Akhlak yang baik adalah semulia-mulianya sesuatu, sebaik-baiknya manusia. Dengan Akhlak yang baik, manusia menjadi lebih tinggi derajatnya ketimbang derajat binatang.5 Begitu pentingnya akhlak bagi kehidupan manusia sehingga jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya baik, maka sejahteralah lahir dan batinnya, apabila akhlaknya rusak maka rusaklah lahir dan batinnya.
Di era modern seperti sekarang ini, sedikitnya terdapat tiga fungsi akhlak dalam kehidupan manusia. Pertama, ia dapat dijadikan sebagai panduan dalam
3 Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 1
4 Ibid., h. 49
5 Ibnu Maskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. I, h. 25
memilih apa yang boleh diubah, dan apa pula yang harus dipertahankan. Kedua, dapat dijadikan sebagai obat penawar dalam menghadapi berbagai ideologi kontemporer (seperti materalisme, nihilisme, hedonisme, radikalisme, marxisme, sekulerisme dan lain-lain).6
Dan ketiga, akhlak sebagai filter terhadap arus globalisasi, dimana globalisasi telah menyebarkan arus informasi yang begitu banyak dan beragam.
Arus informasi tersebut tidak hanya berupa pengetahuan tetapi juga berbagai nilai, dan nilai-nilai yang sepintas lalu terasa baru dan asing. Apakah nilai-nilai tersebut positif atau negatif tergantung pada nilai-nilai budaya dan tradisi yang berlaku didalam masyarakat.7
Dalam menghadapi globalisasi tersebut sebaiknya kita tidak boleh bersikap apriori menolak apa saja yang datang bersama arus globalisasi itu, misalnya dengan dalih semua itu adalah budaya dan nilai-nilai Barat yang bersifat negatif.
Sebaliknya kita harus bersikap selektif dan berusaha memfilter nilai-nilai dan menanamkan nilai-nilai (akhlak) pada peserta didik agar dapat mempersiapkan mereka dalam menghadapi tantangan globalisasi yang mereka hadapi dan alami.
Dalam rangka penanaman nilai-nilai (akhlak) tersebut pendidikan menjadi kunci utama, tentu saja penanaman nilai-nilai tersebut tidak akan dapat diwujudkan bila ia hanya mengandalkan pendidikan formal semata, setiap sektor pendidikan lain baik formal, informal maupun non formal harus difungsikan secara integral.
Disamping itu pendidikan harus diarahkan secara seimbang antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik
Penanaman nilai-nilai (akhlak) dan budi pekerti, bukanlah masalah yang baru muncul saat ini. Dalam sejarah pemikiran Islam, ditemukan beberapa tokoh yang menyibukkan diri dalam bidang ini.
6 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta:
Kanasils, 1987), h. 15
7 Shindhunata, Menggagas Pendidikan Baru Pendidikan Demokratisasi, Otonomi, Civil Society Globalisasi, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2000), h. 106 – 107
Kajian tentang akhlak (etika) dikalangan umat islam pada masa permulaan Islam hanya terbatas pada upaya memahami akhlak dari Qur’an dan Sunnah.
Selanjutnya, kajian akhlak ini berkembang menjadi lebih luas seiring dengan perkembangan zaman, terutama setelah era penerjemah literatur filsafat Yunani, bermunculan tokoh-tokoh yang berkonsentrasi mengkaji khasanah klasik Yunani termasuk teori-teori mereka mengenai akhlak dan berbagai corak pemikiran.
Di antara segelintir filsuf muslim yang konsen dibidang ini antara lain al- Farabi, al-Kindi, dan Ibnu Miskawaih dikawasan timur dunia Islam, serta Ibnu Majah dan Ibnu Thufail dibelahan Barat.
Usaha dan kontribusi yang dicurahkan para filsuf yang berkecimpung dalam filsafat akhlak dan berbegai macam corak pemikiran ini bukan sekedar taklid
“mengekor” dari pendahulu mereka dari kalangan filsuf Yunani, akan tetepi mereka melakukan upaya pembaruan dan memiliki otentisitas tersendiri dalam cara berpikir. Hal ini tampak jelas ketika kita mendalami karya-karya mereka, terutama kitab Tahzîb al-Akhlâq wa tathîr al-a’râq karya Ibnu Miskawaih.
Penulis memilih pemikiran Ibnu Miskawaih dalam kitabnya tersebut, karena membicarakan tentang akhlak dan dirasa relavan dan dapat dijadikan acuan untuk memperbaiki pendidikan etika pada zaman yang serba modern ini, karena pemikiran Ibnu Miskawaih dalam kitabnya tersebut mengemukakan teori jalan tengah. Doktrin jalan tengah yang dikemukakan Ibnu Miskwaih tidak hanya memiliki nuansa dinamis akan tetapi juga fleksibel. Maka dari itu doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pendidikan akhlak itu sendiri. Jadi, dengan doktrin jalan tengah manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.
Selain itu alasan penulis memilih Ibnu Miskawaih dan pemikirannya dalam skripsi ini karena Ibnu Miskawaih adalah seorang tokoh filsof pertama yang menulis tentang teori etika sekaligus menulis buku tentang akhlak. Ibnu Miskawaih juga mendapat julukan sebagai bapak akhlak karena pemikirannya yang cemerlang
tentang akhlak. Ibnu Miskwaih juga memiliki kelebihan dibidang filsafat akhlak, karena sejak masa mudanya ia telah mempelajari akhlak Persia dan Yunani.
Oleh karena itu, penulis memberi judul skripsi ini dengan judul “Konsep Metode Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih Dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Akhlak Di Sdn Petir 3”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis mencoba akan memaparkan masalah yang terjadi. Berikut indentifikasinya :
1. Merosotnya pendidikan akhlak di Indonesia
2. Banyak yang mengetahui tentang konsep metode pendidikan akhlak yang di bawa para ilmuan muslim dan namun dalam implementasinya hingga saat ini masih kurang khususnya konsep pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih 3. Masihkan ada relavansi metode pendidikan akhlak yang dikemukakan oleh
Ibn Miskwaih terhadap metode pendidikan yang ada pada saat ini, terutama di tingkat sekolah dasar, khususnya di Sekolah Dasar Negeri Petir 3, Kota Tangerang
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang penulis paparkan diatas, maka penulis membatasi masalah ini pada metode pendidikan akhlak Ibn Miskawaih dan Relevansi metode tersebut terhadap model pendidikan akhlak di SD Negeri Petir 3, Kota Tangerang.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah yang telah dijelaskan sebelumnya. Maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana metode pendidikan Akhlak menurut Ibnu Miskawaih ?
2. Bagaimana relevansi konsep metode pendidikan akhlak Ibnu Miskwaih dengan model pendidikan akhlak di SDN Petir 3, Kota Tangerang ?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai penulis pada penelitian ini adalah:
1. Mengetahui metode pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih
2. Mengetahui relevansi metode pendidikan Ibnu Miskawaih dengan model pendidikan karakter di SDN Petir 3, Kota Tangerang.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan penulis pada penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis, sebagai informasi dan menambah pengetahuan serta wawasan yang bermanfaat mengenai metode pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih dan relevansinya terhadap model pendidikan akhlak di Indonesia, khususnya di SDN Petir 3, Kota Tangerang. Guna dalam rangka untuk mengembangkan berbagai konsep pendidikan islam di era modern ini.
2. Bagi almamater, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menambah nuansa karya ilmiah di lingkungan kampus.
3. Hasil penelitian ini dapat menjadikan rujukan bagi guru dan siswa serta masyarakat pada umumnya.
8 BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Pendidikan Akhlak
1. Pengertian Pendidikan Munurut Bahasa
Pengertian menurut bahasa Arab, Pendidikan mempunyai beberapa makna dan arti. Berikut akan dijelaskan beberapa makna dalam bahasa Arab Di antaranya:
a. At-Tarbiyah
Kata tarbiyah berasal dari kata rabba, yarubbu, rabban8 yang memiliki rarti mengasuh, memimpin, mengasuh (anak). Penjelasan diatas berdasarkan kata Al-Tarbiyah ini lebih lanjut dapat dikemukakan sebagai berikut. rabba, yarubbu tarbiyatan mengandung arti memperbaiki (ashlaha), menguasai urusan, memelihara dan merawat, memperindah, memberi makna, mengasuh, memiliki, mengatur, dan menjaga kelestarian maupun eksistensinya. Dengan menggunakan kata yang ketiga ini, maka tarbiyah ini pun memiliki arti usaha memelihara, mengasuh, merawat, memperbaiki dan mengatur kehidupan peserta didik, agar dapat survive lebih baik dalam kehidupannya.9 Dengan demikian, pada kata Al-Tarbiyah tersebut mengandung cakupan tujuan pendidikan, yaitu menumbuhkan dan mengembangkan potensi; dan proses pendidikan, yaitu memelihara, mengasuh, merawat, memperbaiki dan mengaturnya.
Karena demikian pengertian Al-Tarbiyah ini, ada sebagian pakar pendidikan, seperti Naquib al-Attas yang tidak sependapat dengan pakar pendidikan lainnya yang menggunakan kata Al-Tarbiyah dengan arti pendidikan. Menurutnya kata Al-Tarbiyah terlalu luas arti dan
8 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : PT Mahmud Yunus Wa Dzuriyyah, 2007), h.136
9 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media,2010), h.11
jangkauannya. Kata tersebut tidak hanya menjangkau manusia melainkan juga menjaga alam jagat raya sebagaimana tersebut. Benda-benda alam selain manusia, menurutnya tidak dapat dididik, karena benda-benda alam selain manusia itu tidak memiliki persyaratan potensional seperti akal, panca indera, hati nurani, insting, dan fitrah yang memungkinkan untuk di didik. Yang memiliki potensi-potensi akal, panca indera, hati nurani insting dan fitrah itu hanya manusia. Untuk itu Naquib al-Attas lebih memiliki kata al-ta'dib (sebagaimana nanti akan dijelaskan) untuk arti penidikan., dan bukan kata Al-Tarbiyah.10
b. At-Ta’lim
Menurut Mahmud Yunus dengan singkat mengartikan bahwa al- Ta'lim adalah hal yang berkaitan dengan mengajar dan melatih.11 Sementara itu Muhammad Rasyid Ridha mengartiakn al-Ta'lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.12 Sedangkan H.M Quraisy Shihab, ketika mengartikan kata yu’allimu sebagaimana terdapat pada surah al- Jumu'ah (62) ayat 2, dengan arti mengajar yang intinya tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisika.13 Kata al-Ta'lim di dalam al-Quran menunjukan sebuah proses pengajaran, yaitu menyampaikan sesuatu berupa ilmu pengetahuan, hikmah, kandungan kitab suci, wahyu, sesuatu yang belum diketahui manusia, keterampilan membuat alat pelindung, ilmu laduni (yang langsung dari tuhan), nama-nama atau simbol-simbol dan rumus-rumus yang berkaitan dengan alam jagat raya, dan bahkan ilmu yang terlarang seperti sihir. Ilmu-ilmu baik yang disampaikan melalui proses at-Talim
10 Abudddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media,2012), h.11
11 Mahmud Yunus, h.278
12 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, h.19
13 Abudddin Nata, h.11
tersebut dilakukan oleh Allah Ta'ala, malaikat, dan para Nabi. Sedangkan ilmu pengetahuan yang berbahaya diajarkan oleh setan.
Al-Ta’lim dalam arti pendidikan sesungguhnya merupakan kata yang paling lebih dahulu digunakan dari pada kata al-Tarbiyah. Kegiatan pendidikan dan pengajaran yang pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad dirumah al-Arqom (daar al Arqom) di Mekah, dapat disebut sebagai majlis al-Ta'lim. Demikian pula kegiatan pendidikan Islam di Indonesia yang dilaksanakan oleh para dai di rumah, mushala, masjid, surau, langgar, atau tempat tertentu. pada mulanya merupakan kegiatan al- Ta’lim.
Dengan memberikan data maupun informasi tersebut, maka dengan jelas, kata Al-Ta’lim termasuk kata yang paling tua dan banyak digunakan dalam kegiatan non formal dengan tekanan utama pada pemberian wawasan, pengetahuan atau informasi yang bersifat kognitif. Atas dasar ini pula, maka arti Al-Ta’lim lebih pas diartikanpengajaran daripada diartikan pendidikan. Namun, karena pengajaran merupakan bagian dari kegiatan pendidikan, maka pengajaran juga termasuk pendidikan.
c. At-Ta’dib
Kata At-Ta’dib berasal dari kata addaba, yuaddibu, ta'diban yang berarti pendidikan. At-Ta’dib berasal dari kata adab yang berarti beradab.
Bersopan santun, tata krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika.14 Kata At-Ta’dib dalam arti pendidikan, sebagaimana penjelasan diatas, ialah kata yang dipilih oleh Naquib al Attas. Dalam hubungan ini, ia menjelaskan bahwa kata At-Ta’dib sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat- tempat yang tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuatan dan keagungan
14 Mahmud Yunus, h.37
Tuhan. Melalui kata At-Ta’dib ini, al Ataas ingin menjadikan pendidikan sebagai sarana transformasi nilai-nilai akhlak mulia yang bersumber dalam ajaran Agama yang bersumber pada diri manusia, sehingga menjadi dasar bagi terjadinya proses Islamisasi ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan ini menurutnya perlu dilakukan dalam rangka membendung pengaruh materialisme, sekularisme, dan dikotomisme ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh barat.15
d. At-Tahdzib
Kata At-Tahdzib secara harfiah berarti pendidikan akhlak, atau menyucikan diri dari perbuatan akhlak yang buruk, dan berarti pula terdidik atau terpelihara dengan baik, dan berarti pula yang beradab dan sopan santun.16 Dari pengertian tersebut, tampak bahwa secara keseluruhan kata At-Tahdzib terkait dengan perbaikan mental spiritual, moral dan akhlak, yaitu memperbaiki mental seseorang yang tidak sejalan dengan ajaran atau norma kehidupan menjadi sejalan dengan ajaran atau norma;
memeperbaiki perilakunya agar menjadi baik dan terhormat, serta memperbaiki akhlak dan budi pekertinya agar menjadi berakhlak mulia.
Berbagai kegiatan tersebut termasuk bidang kegiatan pendidikan. Itulah sebabnya, kata At-Tahdzib juga berarti pendidikan.
e. Al-Wa'dz atau al-Mau'idzoh
Al- Wa'dz berasal dari kata wa'adza yang berarti mengajar, kata hati, suara hati nurani, memperingatkan atau mengingatkan, mendesak dan memperingatkan. 17 Inti Al- Wa'dz atau al-Mau'idzoh adalah pendidikan dengan cara memberikan penyadaran dan pencerahan batin, agar timbul kesadaran untuk menjadi orang yang baik.
15 Abudddin Nata, h.14
16 Mahmud Yunus, h.480
17 Mahmud Yunus, h.502
f. Ar-Riyadhah
Ar-Riyadhah berasal dari kata raudha, yang mengandung arti penjinakan, latihan, melatih. 18 Dalam pendidikan, kata Ar- Riyadhah diartikan mendidik jiwa anak dan akhlak mulia.Kata Ar- Riyadhah selanjutnya banyak digunakan dikalangan para ahli tasawuf dan diartikan agak berbeda dengan arti yang digunakan para ahli pendidikan dikalangan para ahli tasawuf Ar-Riyadhah diartikan latihan spiritual rohaniah dengan cara khalwat dan uzlah (menyepi dan menyendiri) disertai perasaan batin yang takwa.
g. At-Tadzkiyah
Al-Tazkiyah berasal dari kata zakka, yuzakki, tazkiyyatan yang berarti pemurnian atau pensucian.19 Al-Tazkiyah atau yuzakki telah digunakan oleh para ahli dalam hubungannya dengan mensucikan atau pembersihan jiwa seseorang dari sifat-sifat yang buruk (al-Takhali), dan mengisinya dengan akhlak yang baik (al-Tahali), sehingga melahirkan manusia yang memiliki keahlian dan akhlak yang terpuji. Dalam hubungan ini, Ibnu Sina dan al Ghazali menggunakan istilah Al-TazkiyahAlannafs (menyucikan diri) dalam arti membersihkan rohani dari sifat-sifat yang tercela.20 Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa kata Al-Tazkiyah ternyata juga digunakan untuk arti pendidikan yang bersifat pembinaan mental spiritual dan akhlak mulia.
h. At-Talqin
Kata al-Talqin berasal dari laqqana yulaqqinu talqinan yang berarti pengajaran atau mengajarkan perkataan.21 Abuddin Nata menyebutkan bahwa kata tersebut sering dijumpai dalam hadits sebagai berikut: "ajarilah
18 Mahmud Yunus, h.149
19 Mahmud Yunus, h.156
20 Abudddin Nata, h.20
21 Mahmud Yunus, h.400
(orang yang hampir neminggal dunia) kalimat laa ila haillallah (tiada tuhan selain Allah )."Perintah mengajarkan kalimat tauhid ( lailaha illallah ) sebagaimana tersebut selalu dipraktikkan umat Islam pada setiap kali menyaksikan keluarga, teman, tetangga atau lainya yang sesama muslim, pada saat mereka menjelang datangnya ajal atau sakaratul maut.
Dari penjelasan tersebut terlihat, bahwa kata al-Talqin digunakan pula untuk arti pendidikan dan pengajaran.22
i. At-Tadris
Kata al-Tadris berasal dari kata darrasa yudarrisu tadrisan, yang dapat berarti pengajaran atau mengajarkan. 23 Selain itu, kata al- Tadris berarti Baqa' atsaruha wa baqa' al Atsar yaqtadli inmihauhu fi nafsihi, yang artinya: sesuatu yang pengaruhnya membekas, menghendaki adanya perubahan pada diri seseorang. Intinya, kata al-Tadris berarti pengajaran, yakni menyampaikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik yang selanjutnya memberi pengaruh dan menimbulkan perubahan pada dirinya.24 Kata al-Tadris, termasuk yang sudah banyak digunakan para ahli pendidikan, bahkan pada perguruan tinggi Islam. kata al-Tadris digunakan untuk nomenklatur jurusan atau program studi yang mempelajari ilmu-ilmu umum, seperti matematika, biologi, ilmu pengetahuan sosial, ilmu budaya dan dasar, dan fisika.
j. At-Tafaqquh
Kata al-Tafaqquh berasal dari kata tafaqqoha yatafaqqohu tafaqquhan, yang berarti mengerti dan memahami.25 Kata al-Tafaqquh selanjutnya lebih digunakan untuk menunjukan pada kegiatan pendidikan dan pengajaran ilmu agama Islam. masyarakat yang mendalami ilmu agama di pesantren- pesantren di Indonesia misalnya, sering menyebut sedang melakukan al-
22 Abudddin Nata, h.20
23 Mahmud Yunus, h.126
24 Abudddin Nata, h.21
25 Mahmud Yunus, h.321
Tafaqquhfi al ddin, yakni mendalami ilmu agama, sehingga ahli ilmu agama yang mumpuni yang selanjutnya disebut ulama, kiai, ajengan, buya, syaikh, dan sebagianya.
k. At-Tabyin
Kata al-Tabyin berasal dari kata bayyana yubayyinu tabyinan, yang mengandung arti mengemukakan, mempertunjukan, berarti pula menyatakan atau menerangkan.26 Di kalangan para ahli, belum ada yang menggunakan Al-Tabyin sebagai salah satu arti pendidikan. Namun dengan alasan tersebut Abuddin Nata berkeyakinan untuk memasukkan kata Al- Tabyin sebagai salah satu arti pendidikan. Di dalam dalam al Quran, kosakata at-Tabyin dengan derifasinya disebutkan sebanyak 75 kali, Di antaranya:“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepada manusia supaya mereka bertakwa”(QS. al Baqarah [2] : 187)
Dari penjelasan ayat tersebut terlihat, bahwa pada umumnya, kata al- Tabyin diartikan menerangkan atau menjelaskan tentang ayat-ayat Allah Ta'ala sebagaimana terdapat di dalam al Quran dan kitab-kitab lainnya yang diwahyukan Tuhan. Penerangan dan penjelasan tersebut dilakukan oleh para nabi atas perintah Tuhan. Dengan demikian para nabi bertugas sebagai al Mubayyin, yaitu orang yang menjelaskan atau orang yang menerangkan.
l. At-Tadzkirah
Kata al-Tadzkirah berasal dari kata dzakkaraa yudzakkiru tadzkirotan, yang berarti peringatan, mengingatkan kembali.27 Selain itu, juga berarti sesuatu yang perlu diperingatkan yang sifatnya lebih umum dari pada indikasi (addilalah) atau tanda-tanda ( al imarah ). Dari beberapa arti kata altadzkirah tersebut ternyata ada arti yang berhubungan dengan
26 Mahmud Yunus, h.75
27 Mahmud Yunus, h.134
kegiatan pendidikan dan pengajaran, yaitu mengingatkan kembali atau memberikan peringatan, karena didalam kegiatan pendidikan dan pengajaran terdapat kegiatan yang bertujuan mengingatkan peserta didik agar memahami sesuatu atau mengingatkan agar tidak terjerumus kedalam perbuatan yang keji.
m. Al-Irsyad
Kata al-Irsyad dapat mengandung arti menunjukan, bimbingan, melakukan sesuatu, menunjukan jalan.28 Dari pengertian al-Irsyad ini, terdapat pengertian yang berhubungan dengan pengajaran dan pendidikan, yaitu bimbingan, pengarahan, pemberian informasi, pemberitahuan, nasihat, dan bimbingan spiritual. Dengan demikian kata al-Irsyad layak dipertimbangkan untuk dimasukkan kedalam arti kata pendidikan dan pengajaran.29
2. Pengertian Pendidikan Menurut Istilah30
Secara istilah atau terminologi pada dasarnya merupakan kesepakatan yang dibuat oleh para ahli dalam bidangnya masing-masing terhadap pengertian tentang sesuatu dalam hal ini pendidikan. Dengan demikian dalam istilah tersebut terdapat visi, misi, tujuan yang diinginkan oleh yang merumuskannya, sesuai dengan latar belakang pendidikan, keahlian, kecenderungan, kepentingan, kesenangan dan sebagainya. Berikut pengertian menurut para ahli;
Menurut Ahmad Fuad al Ahwaniy : “Pendidikan adalah pranata yang bersifat sosial yang tumbuh dari pandangan hidup tiap masyarakat. Pendidikan senantiasa sejalan dengan pandangan falsafah
28 Mahmud Yunus, h.141
29 Abudddin Nata, h.25-26
30 Abudddin Nata, h.28-31
hidup masyarakat tersebut, atau pendidikan itu pada hakikatnya mengaktualisasikan falsafah dalam kehidupan nyata.”
Menurut Ali Khalil Abul Ainain : “Pendidikan adalah program yang bersifat kemasyarakatan, oleh karena itu, setiap falsafah yang dianut oleh suatu masyarakat berbeda dengan falsafah yang dianut masyarakat lain sesuai dengan karakternya, serta kekuatan peradaban yang memengaruhinya yang dihubungkan dengan upaya menegakkan spiritual dan falsafah yang dipilih dan disetujui untuk memperoleh kenyamanan hidupnya. Makna dari ungkapan tersebut ialah bahwa tujuan pendidikan diambil dari tujuan masyarakat, dan perumusan operasionalnya ditujukan untuk mencapai tujuan tersebut, dan disekitar tujuan pendidikan tersebut terdapat atmosfer falsafah hidupnya. Dari keadaan yang demikian itu, maka falsafah pendidikan yang terdapat dalam suatu masyarakat lainnya, yang disebabkan perbedaan sudut pandang masyarakat, serta pandangan hidup yang berhubungan dengan sudut pandang tersebut.
Menurut Muhammad Athiyah al Abrasyi : “Pendidikan Islam tidak seluruhnya bersifat keagamaan, akhlak, dan spiritual, namun tujuan ini merupakan landasan bagi tercapainya tujuan yang bermanfaat. Dalam asas pendidikan Islam tidak terdapat pandangan yang bersifat materialistis, namun pendidikan Islam memandang materi, atau usaha mencari rezeki sebagai masalah temporer dalam kehidupan, dan bukan ditujukan untuk mendapatkan materi semata-mata, melainkan untuk mendapatkan manfaat yang seimbang. Di dalam pemikiraan al Farabi, Ibnu Sina, Ikhwanul as Shafa terdapat pemikiran, bahwa kesempurnaan seseorang tidak akan tercapai, kecuali dengan mensinergikan antara agama dan ilmu.”
Menurut rumusan Konferensi Pendidikan Islam sedunia yang ke-2, pada tahun 1980 di Islamabad: “Pendidikan harus ditujukan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan personalitas manusia secara menyeluruh, dengan cara melatih jiwa, akal, perasaan, dan fisik manusia. Dengan
demikain pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia pada seluruh aspeknya ; spiritual, intelektual, daya imajinasi, fisik, keilmuan dan bahasa, baik secara individual maupun kelompok serta dorongan seluruh aspek tersebut untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. tujuan akhir pendidikan diarahkan pada upaya merealisasikan pengabdian manusia kepada Allah ta’ala, baik pada tingkat individual, maupun masyarakat dan kemanusiaan secara luas.”
Pendidikan adalah sesuatu yang dapat mengembangkan potensi masyarakat, mampu menumbuhkan kemauan, serta membangkitkan nafsu generasi bangsa untuk menggali berbagai potensi, dan mengembangkannya secara optimal bagi kepentingan pembangunan masyarakat secara utuh dan menyeluruh. Pada dasarnya islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan pijakan yang jelas tentang tujuan dan hakikat pendidikan, yakni memberdayakan potensi fitrah manusia yang condong kepada nilai- nilai kebenaran dan kebajikan agar ia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba Allah.31
Pendidikan merupakan kewajiban setiap warga yang merupakan cerminan akan maju atau mundurnya suatu bangsa, karena pendidikan merupakan proses untuk mengubah dan mengembangkan pengetahuan dan bukan sekedar mewarisi kebudayaan dari generasi ke generasi. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah, termasuk disini adalah tanggung jawab untuk meningkatkan kecerdasan anak bangsa.32
Dari pengertian-pengertian yang telah disebutkan di atas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang dilakukan manusia secara sadar dalam rangka untuk mengolah bakat serta
31 Nurhidayat, “Peran dan tantangan pendidikan agama islam di era global”, jurnal pendidikan agama islam, Vol. 12, No. 1, juni 2015, hal. 62
32 Sa’diah. Khalimatus, “Kualitas pembeljaran al-qur’an dengan metode tartila”, jurnal pendidikan agama islam, Vol. 2, nomor 2, November 2013
potensi-potensi yang dimilikinya agar dapat terbentuk kepribadian manusia yang baik, serta menjadikan manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas dan kewajibannya sebagai manusia.
3. Pengertian Akhlak
Secara bahasa (etimologi) Akhlak berasal dari bahasa Arab (bentuk dari isim mashdar = infinitif) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan yang berarti perangai, ta’biat, kebiasaan, dan peradaban yang baik.33
Namun ada pendapat bahwa kata akhlaqa dari bentuk infinitif ini kurang tepat karena isim masshdar dari akhlaqa adalah iklaqan bukan akhlaqan. Sehingga muncul pendapat baru yang menyatakan bahwa akhlak tergolong dalam isim jamid (bentuk isim yang tidak memiliki asal kata).
Jadi, kata akhlak tidak berasal dari kata lain melainkan kata yang sudah ada.34
Menurut Quraish Shihab walaupun kata akhlak terambil dari bahasa Arab tetapi kata tersebut tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an, yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal yaitu Khuluq yang tercantung dalam surat al-Qalam ayat 4:
( ٍمْيِظَع ٍقُلُخ ىَلَعَل َكَّنِإ َو ٤
)
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (Q.S Al-Qalam: 4)35
Prof. Dr. Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak ialah kebiasaan kehendak.36 Ini berarti bahwa kehendak itu bisa dibiasakan akan sesuatu
33 Achmad Gholib, 2017, Pendidikan Akhlak dalam Tatanan Masyarakat Islami, Jakarta:Berkah FC, hlm.,1
34 Achmad Gholib, 2017, Pendidikan Akhlak dalam Tatanan Masyarakat Islami, Jakarta:Berkah FC, hlm.,1-3
35 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2004), Cet, hlm. 451.
36 Ahmad Amin, Kitab Akhlak, (Cairo: Dar Al-Kutubiyah), hlm. 15.
maka kebiasaannya itu disebut akhlak. Contohnya, bila dibiasakan memberi, maka kebiasaan itu ialah akhlak dermawan. Di dalam Ensiklopedi Pendidikan dikatakan bahwa akhlak ialah budi pekerti, watak, kesusilaan (kesadaran etik dan moral) yaitu kelakukan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap Khaliknya dan terhadap sesama manusia.37
Dilihat dari sudut istilah (terminologi), pengertian akhlak menurut para ahli adalah sebagai berikut:
a. Ibn Miskawaih dalam bukunya Tahdzib Al-Akhlaq, beliau mendefinisikan akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa terlebih dahulu melalui pemikiran dan pertimbangan.38
b. Abdul Hamid mengatakan akhlak ialah ilmu tentang keutamaan yang harus dilakukan dengan cara mengikutinya sehingga jiwanya terisi dengan kebaikan dan tentang keburukan yang harus dihindarinya sehingga jiwanya kosong (bersih) dari segala bentuk keburukan.39
c. Ibrahim Anis mengatakan akhlak ialah ilmu yang objeknya membahas nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia, dapat disifatkan dengan baik dan buruknya.40
d. Farid Ma’ruf mendefinisikan akhlak sebagai kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu.41
37 Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1981), hlm.
9.
38 Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 151.
39 Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qru’an, (Jakarta: Amzah, 2007), h.
3.
40 Ibid.,
41 Ibid., h. 4.
Dikutip oleh Asmaran, di dalam kitab Al-Mu’jam al-Wasit disebutkan definisi akhlak sebagai berikut:
خلا ةجاح ريغ نم رش وأ ريخ نم لامعلْا اهنع ردصت ةخسار سفنلل لاح ةرابع قل
ةيؤر و ركف ىلإ
“Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”.42
Imam Ghazali mengemukakan dalam kitab Ihya Ulumuddin sebagai berikut:
ةلوهسب لاعفلاار دصت اهنع ةخسار سفنلا ةئيه نع ةرابع قلخلا ةيورو ركف ىلا ةجاح ريغ نم رسيو
“Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan dan fikiran terlebih dahulu”.43
Jadi pada hakikatnya Khulq (budi pekerti) atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran.
4. Pengertian Pendidikan Akhlak
Setelah dijelaskan secara terpisah mengenai pengertian pendidikan dan pengertian akhlak, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk memberikan bimbingan, baik jasmani maupun rohani, melalui penamaan
42 Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), Cet ke II, h. 5
43 Ibid.,
nilai-nilai islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif, yang nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan kebiasaan bertingkah laku, berfikir dan berbudi pekerti luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia, di mana dapat menghasilakan perbuatan atau pengalaman dengan mudah tanpa harus direnungkan dan disengaja atau tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran.44
B. Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih 1. Riwayat Singkat Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih adalah salah seorang filosof muslim yang paling banyak mengkaji dan mengungkapkan persoalan-persoalan akhlak. Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khazin Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Ya’qub Ibnu Miskawaih. la dilahirkan di Kota Ray (Iran) pada tahun 932 M2 dan meninggal di Asfahan pada tanggal 9 Shafar 412 H atau 16 Februari 1030 M. Informasi meninggalnya Ibnu Miskawaih tidak bayak diketahui karena kelangkaan berita yang ditulis oleh para sejarawan, di samping Ibnu Miskawaih sendiri tidak pernah menuliskan otobiografinya.45
Sebelum menganut agama Islam, Ibnu Miskawaih adalah seorang pemeluk agama Majusi. Namun setelah masuk Islam, ia merupakan salah seorang sarjana yang taat dalam menjalankan ajaran agamanya. Banyak penulis berpendapat bahwa Ibnu Miskawaih adalah seorang Syi'i. Pendapat tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah Dinasti Buwaihi (salah satu kerajaan beraliran Syi'ah yang menggantikan posisi Daulah Abbasiyah di Irak sekitar abad ke 10 -12 M).
Dari segi latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara pasti.
Namun demikian, dapat diprediksikan bahwa ia menempuh pendidikan
44 Ali Abdul Halim Mahmud, Tarbiyah al-Khuluqiyyah, (Gema Insani: Jakarta, 2004) hlm.
121
45 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar : Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta : Kanasils, 1987), h. 15
seperti anak-anak seusianya. Ahmad Amin mendeskripsikan bahwa pendidikan anak pada masa Abbasiyyah saat itu pada umumnya anak-anak mulai belajar membaca, menulis, mempelajari al-Qur'an, dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (nahwu) dan Arud (ilmu membaca dan membuat sya'ir). Pelajaran-pelajaran tersebut diselenggarakan di surau-surau dan di rumah-rumah bagi keluarga yang mampu mendatangkan guru privat bagi anak-anak mereka. Setelah ilmu-ilmu dasar itu diberikan, dilanjutkan dengan mata pelajaran ilmu fikih, hadits, sejarah Arab Persi khususnya dan India, serta ilmu matematika. Selain itu, diberikan pula pelajaran ilmu-ilmu praktis seperti musik, main catur, dan furusiah (ilmu militer).46
Aktivitas intelektual Ibnu Miskawaih dimulai dengan belajar sejarah kepada Abu Bakr Ahmad Ibnu Kamil al Qadhi. Selajutnya ia belajar filsafat kepada Ibnu al Khammar, seorang komentator atas karya-karya Ariestoteles. Disamping itu, ia juga belajar kimia dari Abi al-Tayyibah al- Razi, seorang ahli kimia terkenal di zamanya. Karena keahliannya dalam berbagai ilmu, Iqbal mengelompokannya sebagai seorang pemikir, moralis, dan sejarawan Parsi paling terkenal.47
Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Abbasiyyah yang berada dibawah kekuasaan Bani Buwaihi yang beraliran Syi'ah dan berasal dari keturunan Persi. Karena begitu besar pengaruhnya terhadap pemerintahan Abbasiyyah sejak kekuasaan dipegang oleh Al-Mustakfi dari Bani Abbas, maka Ahmad bin Buwaih diangkat sebagai perdana menteri (Amir al-Umara') dengan gelar Muizz al-Daulah pada tahun 945 M.48
Zaman keemasan Bani Buwaihi adalah pada masa "Adhud al- Daulah"
yang berkuasa pada tahun 367-372 H.49 Pada masa inilah Ibnu Miskawaih
46 M. Yusuf Musa, Falsafat al-akhlak fi al-Islam, terjemahan, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1963), h. 71
47 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Bandung : Mizan, 1999), h. 56
48 Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al- Misriyayyah, 1974), Juz 11, 66 – 69
49 M.M. Syarief, Para Filosof of Muslim, (Bandung : Mizan, 1998), h.84
mendapat kepercayaan untuk menjadi bendaharawan Adhud Al-Daulah, dan pada masa ini pula Ibnu Miskawaih terkenal sebagai seorang filosof, dokter, penyair dan ahli bahasa.50 Selain itu Ibnu Miskawaih juga banyak bergaul dengan para ilmuwan semasanya seperti Abu Hayyan al-Tauhidi, Yahya Ibnu A'di dan Ibnu Sina. Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemasyhurannya melebihi pendahulunya, Al- Thabari (w. 3190 H / 923M ).51
Dari berbagai disiplin ilmu yang dikuasainya, Ibnu Miskawaih memberikan perhatian besar kepada masalah akhlak sehingga ia dikenal sebagai seorang pemikir muslim dalam bidang ini. Sebagai bukti atas kebesarannya itu, ia telah menulis banyak buku Di antaranya; Tahzib al- Akhlaq (tentang moralitas), Thaharah al-hubs (penyucian jiwa), al-Fauz al- Akbar (kiat memperoleh kebahagiaan dalam hidup), al Fauz al-:Shaqir (lanjutan dari al-Fauz al-Akbar), Kitab al Sa 'adah (Buku tentang kebahagiaan), Adab al Dunya wa al-Din (moralitas dunia dan agama), dan lain-lain.52
2. Pemikiran Pendidikan
Pemikiran Ibnu Miskawaih dalam hal pendidikan tidak bisa dilepaskan dari konsepnya tentang manusia dan akhlak. Berikut akan dikemukakan tentang dasar pemikiran (tingkatan daya dan akhlak) dan konsep pendidikan ( tujuan, materi, metode, lingkungan pendidikan dan kode etik pendidik dan peserta didik) menurut Ibnu Miskawaih.
a. Tingkatan Daya
Pandangan Ibnu Miskawaih terhadap manusia tidak jauh berbeda dengan pandangan para filosof lainnya. Menurutnya di dalam diri
50 Philip K, Hitti, History of The Arabic, terj. Arab oleh Edward Jurji, dkk., (Beirut : Dar al- Fikr, 1952), h. 566 – 567
51 B.H. Shiddiqui, Maskawaih on The Purpose of Historiography dalam The Muslim World, (USA, The Hartford Seminary Foundation, 1971), h. 21
52 Hasyimsyah, h. 58
manusia mempunyai 3 (tiga) macam daya, yaitu (1) daya bernafsu (al- nafs albahimiyyat) sebagai daya paling rendah, (2) Daya berani (al-nafs al-sabu’iyyat) sebagai daya pertengahan dan (3) daya berpikir (al-nafs al-nathiqah) sebagai daya tertinggi.53 Ketiga unsur tersebut merupakan unsur ruhani pada manusia yang asal mula kejadiannya itu berbeda antara satu dengan yang lainnya.Sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, Bahwasanya Ibnu Miskawaih memahami unsur ruhani berupa daya bernafsu (al-nafs al-bahimiyyat) dan daya berani (al-nafs al-sabu’iyyat) berasal dari unsur materi sedangkan daya berpikir (al- nafs al-nathiqah) berasal dari ruh Tuhan. Oleh karena itu unsur yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan sedangkan unsur (al-nafs al-nathiqah) yang berasal dari ruh Tuhan tidak akan mengalami kehancuran sedikitpun.54
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa al- bahimiyyat/alsyahwiyyat (bernafsu) dan jiwa al-ghadabiyat/al- sabu’iyyat (berani) dengan jasad pada hakikatnya saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Kuat atau lemahnya, sehat atau sakitnya tubuh berpengaruh terhadap kuat atau lemahnya, sehat atau sakitnya kedua macam jiwa tersebut. Kedua macam jiwa ini dalam melaksanakan fungsinya tidak akan sempurna kalau tidak menggunakan alat bendawi atau badani yang terdapat dalam tubuh manusia. Oleh karena itu Ibnu Miskawaih melihat bahwa manusia terdiri dari unsur jasad dan ruhani yang saling berhubungan.55
b. Konsep Akhlaq
Paradigma pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang ahklak memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Pemikiran akhlak Ibnu
53 Ibnu Maskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq, (Beirut : Mansyurah Dar al- Maktabah al-Hayat, 1398 H), cet.II, h. 62
54 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. raja Grafindo Persada, 2000), h. 7
55 Abuddin Nata, h. 7 -8
Miskawaih banyak dipengaruhi oleh para filosof Yunani, seperti Aristoteles, plato, dan Galen dengan meramu pemikiran-pemikiran tersebut dengan ajaran-ajaran Islam. Disamping itu, Ibnu Miskawaih juga banyak dipengaruhi filosof Muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi dan al-Razi serta lainnya. Oleh karena itu, corak pemikiran Ibnu Miskawaih dapat dikategorikan ke dalam tipologi etika filosofi (etika rasional), yaitu pemikiran etika yang banyak dipengaruhi oleh para filosof, terutama para filosof Yunani.56
Karakteristik pemikiran Ibnu Miskawaih di dalam pendidikan akhlak secara umum dimulai dari pembahasan tentang akhlak (karakter/watak). Menurutnya watak itu ada yang bersifat alami dan ada watak yang diperoleh melalui kebiasaan atau latihan. Kedua watak tersebut menurut Ibnu Miskawaih bahwa watak itu pada hakekatnya tidak alami, walaupun kita diciptakan dengan menerima watak, akan tetapi watak tersebut dapat diusahakan melalui pendidikan dan pengajaran. Dalam pembahasannya tentang watak tersebut Ibnu Miskawaih tidak mengambil diskursus dari ayat-ayat al-Qur‘an atau Al- Sunnah. Menurutnya, akhlak dalam Islam dibangun atas pondasi kebaikan dan keburukan. Kebaikan dan keburukan tadi berada pada fitrah yang selamat dan akal yang lurus, sehingga segala sesuatu yang dianggap baik oleh fitrah dan akal yang lurus, ia termasuk bagian dari akhlak yang baik, dan sebaliknya yang dianggap jelek, ia termasuk akhlak yang buruk.
Ibnu Miskawaih juga menegaskan bahwa pendidikan akhlak didasarkan pada doktrin jalan tengah.57 Menurutnya jalan tengah diartikan dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia atau posisi tengah antara dua ekstrem baik dan buruk yang ada dalam jiwa
56 Abuddin Nata, h. 7 -8
57 Majid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995), h. 22
manusia. Menurutnya, posisi tengah jiwa bahimiyah adalah iffah, yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Selanjutnya posisi tengah jiwa al-ghadlabiyah adalah al-saja ‘ah yaitu keberanian yang dipertimbangkan untung dan ruginya. Sedangkan posisi tengah jiwa nathiqah adalah al-hikmah yaitu, kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan atau keseimbangan.
Keempat keutamaan (al fadhilah akhlak al-iffah, al-saja 'ah, al hikmah dan al-adalah adalah merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia.
Adapun lawannya ada empat pula yaitu al-jah,l as-syarh, al-jubn dan al-jur.58 Setiap keutamaan tersebut memiliki dua sisi ekstrem. Yang tengah bersifat terpuji dan yang ekstrem bersifat tercela. Oleh sebab itu manusia harus senantiasa berada pada jalan tengah, supaya ia tidak jatuh dan selamat dari kehinaan. Akan tetapi sayang sekali doktrin jalan tengah yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih tersebut sama sekali tidak mengutip ayat al-Qur'an atau al-Hadits sebagai sumber ajaran Islam.59 Selanjutnya pemikiran Ibnu Miskawaih tentang konsep/aspek pendidikan akhlak dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Tujuan Pendidikan Akhlaq
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik.60 sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan yang sejati dan sempurna. Dalam Muhammad Yusuf Musa, Abuddin Nata bahwa persoalan al-sa’adat merupakan persoalan utama dan mendasar bagi kehidupan umat manusia dan sekaligus bagi pendidikan akhlak. Menurut M. Abdul Hak Ansari, alsa’adat merupakan konsep komprehensif yang di dalamnya terkandung
58 Ibnu Maskawaih, h. 38-39
59 Abuddin Nata, h. 9
60 Abuddin Nata, h. 11
unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity), keberhasilan (success), kesempurnaan (perfection), kesenangan (blessedness), dan kecantikan (beautitude).61
Oleh karena itu tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh Ibnu Miskawaih adalah bersifat menyeluruh, yakni mencapai kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.
2) Muatan Materi
Di samping konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Miskawaih, untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam konteks pendidikan akhlak, maka perlu mendeskripsikan komponen-komponen sebagai jembatan yang harus dilalui. Komponen yang dimaksud dalam hal ini ialah materi pendidikan sebagai perantara menuju tujuan. Materi pendidikan yang disampaikan harus berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai agar berkesinambungan. Ada tiga hal penting atau pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya, yaitu: hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, hal-hal yang wajib bagi jiwa dan hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia. Oleh karenanya, Ibnu Miskawaih berbeda dengan al-Ghazali yang mengkategorikan dan mengklasifikasikan ilmu dengan dua macam, yaitu ilmu agama dan ilmu non-agama serta hukum mempelajarinya. Adapun materi yang wajib bagi kebutuhan manusia menurut Ibnu Miskawaih ialah seperti salat dan puasa. Sedangkan materi pendidikan akhlak yang wajib dipelajari bagi keperluan jiwa ialah seperti pembahasan tentang akidah yang benar, meng-Esakan Allah dengan segala kebesaran-Nya serta memotivasi untuk senang terhadap ilmu.
61 Abuddin Nata, h. 11-12
Selanjutnya, materi yang terkait dengan keperluan manusia terhadap manusia lain ialah seperti ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasehati, peperangan dan sebagainya.
Ketiganya merupakan sesuatu yang tidak boleh tidak harus dimiliki oleh manusia demi keberlangsungan hidupnya dan mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kemudian, karena materi-materi tersebut selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Tuhan, maka apapun materi yang terdapat dalam suatu ilmu yang ada, asalkan semuanya tidak lepas dari tujuan pengabdian kepada Tuhan, Ibnu Miskawaih tampaknya akan menyetujuinya.
Dan juga Ibnu Miskawaih menganjurkan agar mempelajari buku-buku yang khusus berbicara tentang akhlak supaya mendapat motivasi yang kuat untuk beradab. Pendapat Ibnu Miskawaih di atas nampaknya lebih jauh mempunyai maksud agar setiap guru/pendidik, apapun materi bidang ilmu yang diasuhnya harus diarahkan untuk terciptanya akhlak yang mulia bagi diri sendiri dan murid-muridnya.62
3) Kode etik Pendidik dan Peserta Didik
Menurut Ibnu Miskawaih, pendidik mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk meluruskan peserta didik melalui ilmu rasional agar mereka dapat mencapai kebahagiaan intelektual dan untuk mengarahkan peserta didik pada disiplin-disiplin praktis dan aktifitas intelektual agar dapat mencapai kebahagiaan praktis.63 Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa pandangan Ibnu Miskawaih tentang pendidik sesuai dengan pandangannya tentang daya jiwa yang ada dalam diri manusia dan pendidik mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mengembangkan ilmu yang bersifat
62 Maghfiroh., Muliatul, “Pendidikan Akhlak menurut kitab Tahzib Al-Akhlak karya Ibnu Miskwaih”, Tadris, Vol. 11 nomor 2, Desember 2016, hal. 210.
63 Ibn Miskawaih, h. 61-62
rasional dan praktis tersebut, sehingga etika filsafat Ibnu Miskawaih dapat dikategorikan pada filsafat etika praktis dan teoritis.
Pandangan Ibnu Miskawaih tentang pendidik diklasifikasikan menjadi dua, yaitu orang tua dan guru. Sementara itu, guru menurutnya ada dua, yaitu guru ideal mua'lim al-hakim dan guru biasa dengan persyaratan masing-masing. Adapun pandangan Ibnu Miskawaih tentang kewajiban peserta didik adalah mencintai guru yang melebihi cintanya terhadap orang tua. Bahkan kecintaan peserta didik terhadap gurunya disamakan dengan cinta terhadap Tuhannya. Oleh karena itu, dalam interaksi edukatif antara guru dan murid harus didasarkan pada perasaan cinta kasih. Dengan adanya dasar semacam ini proses pembelajaran diharapkan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
4) Metode Pendidikan
Metode yang dikemukakan Ibnu Miskawaih dalam upaya mencapai akhlak yang baik adalah pertama; kemauan yang bersungguh-sungguh. Adanya kemauan secara bersungguh-sungguh untuk berlatih secara terus menerus dan menahan diri (al-‘adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya adalah sesuai dengan keutamaan jiwa.64
Latihan ini bertujuan untuk menahan kemauan jiwa al- syahwaniyyat dan alghadabiyyat. Latihan yang dilakukan antara lain adalah dengan makan dan minum yang tidak berlebihan yang membawa pada kerusakan tubuh. Sedangkan yang kedua; yakni menjadikan pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya, yaitu pengetahuan dan pengalaman berkenaan dengan hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan
64 Ibn Miskawaih, h. 65
keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seseorang tidak akan hanyut kepada perbuatan yang tidak baik, karena ia bercermin kepada perbuatan buruk dan akibat buruk yang dialami orang lain.65 5) Materi Pendidikan Akhlaq
Secara garis besar Ibnu Miskawaih mengklasifikasikan materi pendidikan akhlak ke dalam tiga jenis, Di antaranya yaitu (1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, (2) hal-hal yang wajib bagi jiwa manusia dan (3) hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia. Pembagian semacam ini tidak terlepas dari pembagian Ibnu Miskawaih tentang daya jiwa manusia.66 Dari ketiga pokok materi tersebut, maka akan diperoleh ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama; ilmu-ilmu tentang pemikiran (al-‘ulum al-fikriyah), kedua; ilmu yang berkaitan dengan indera (al-‘ulum al-bissiyat).
6) Lingkungan Pendidikan
Kebahagiaan tidak akan dapat dicapai oleh manusia tanpa bantuan orang lain, kebahagiaan bisa dicapai jika manusia bekerjasama, saling tolong menolong dan saling melengkapi.
Kondisi tersebut akan tercipta jika sesame manusia saling mencintai.
Menurut Ibnu Miskawaih sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitan dengannya; baik saudara, anak atau orang yang masih ada hubungan dengan saudara atau anak, kerabat, keturunan, rekan, tetangga, kawan atau kekasih.67 Salah satu tabiat manusia adalah memelihara diri.
65 Abuddin Nata, h. 23-25
66 Ibn Miskawaih, h. 116
67 Ibn Miskawaih, h. 44