11 A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Internet Dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik a. Pengertian Internet
Internet merupakan sekumpulan jaringan yang menghubungkan situs akademik, pemerintah, komersial, organisasi maupun perorangan. Dalam definisi ini tampak bahwa internet mencakup juga terhadap jaringan yang biasa disebut juga dengan LAN (local area network) dan WAN (wide area network) (Abdul Wahib dan Mohamad Labib, 2005:31).
Internet yang telah didefinisikan oleh The US Supreme Court sebagai “International network of interconnected computers” artinya jaringan internasional dari komputer yang saling berhubungan (Abdul Wahib dan Mohamad Labib, 2005:31).
Agus Raharjo mendefinisikan internet sebagai jaringan komputer antar negara atau antar benua yang berbasis protokol transmission control protocol (TCP/IP) (Agus Raharjo, 2002: 59).
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa internet merupakan sekumpulan jaringan dari berbagai jaringan yang menghubungkan antara situs yang satu dengan situs yang lain melalui berbagai perangkat elektronik yang memenuhi kualifikasi tertentu. Dalam hubungan antara jaringan ini internet digunakan sebagai media komunikasi, perdagangan, sosial, pendidikan, dan lain sebagainya tanpa batas-batas negara atau wilayah.
Internet telah menghadirkan realitas kehidupan baru kepada umat manusia. Internet telah mengubah jarak dan waktu menjadi tidak terbatas dengan medium internet orang dapat melakukan berbagai aktifitas yang dalam dunia nyata (real) sulit dilakukan, karena terpisah oleh jarak, menjadi lebih mudah. Suatu realitas yang berjarak berkilo-kilo meter dari tempat kita berada, dengan medium internet dapat dihadirkan di depan kita. Kita dapat melakukan transaksi bisnis, berbincang, belanja, belajar, dan berbagai aktivitas lain layaknya dalam kehidupan nyata. Seiring dengan populernya Internet sebagai ”the network of the network”, masyarakat pengguna (internet global community) seakan-akan mendapati suatu dunia baru yang dinamakan cyber space.
b. Kejahatan Internet
Pada perkembangannya ternyata internet membawa sisi negatif, dengan membuka peluang munculnya tindakan-tindakan anti sosial yang selama ini dianggap tidak mungkin terjadi atau tidak terpikirkan akan terjadi.
Kejahatan yang lahir sebagai dampak negatif dari perkembangan aplikasi internet ini sering disebut dengan cyber crime. Berdasarkan pengertian ini tampak bahwa cyber crime mencakup semua jenis kejahatan beserta modus operandinya yang dilakukan sebagai dampak negatif aplikasi internet. Dalam definisi ini tidak menyebutkan secara spesifik dan karakterisitik cyber crime. Definisi ini mencakup segala kejahatan yang dalam modus operandinya menggunakan fasilitas internet.
The Encyclopedia Britannica defines Cyber crime as any crime that is committed by means of special knowledge or expert use of computer technology. United Nation Manual on prevention
& Control of computer crime and Oxford Reference Online gives list of cyber crimes committed over internet. Cyber crime includes a wide variety of criminal offenses and activities Because of lack of
physical evidences investigating a cyber crime becomes very difficult. Scope of this definition becomes wider with a frequent companion or substitute term "computer-related crime". Cyber crimes are harmful acts committed from or against a computer or network. Cyber Crimes differ from most terrestrial crimes in four ways (Pradeep Tomar, Balwant Rai and Latika Kharb. 2008. “New Vision Of Computer Forensic Science : Need Of Cyber Crime Law”. The Internet Journal of Law, Healthcare and Ethics.
diakses pada tanggal 2 September 2009).
Menurut National Criminal Intelligence Service (NCIS) Inggris, manifestasi dari tindak kejahatan cyber crime muncul dalam berbagai macam atau varian seperti berikut ini (Sutarman, 2007: 76-80):
1) Recreational Hackers. Kejahatan ini dilakukan oleh netter tingkat pemula untuk sekedar mencoba kekuranghandalan sistem sekuritas suatu perusahaan.
2) Crackers atau criminal minded hackers, pelaku kejahatan ini biasanya memiliki motivasi untuk mendapatkan keuntungan finansial, sabotase dan pengrusakan data. Tipe kejahatan ini dapat dilakukan dengan bantuan orang dalam, biasanya staf yang sakit hati atau datang dari kompetitor dalam bisnis sejenis.
3) Political hackers. Aktifis politis atau lebih populer dengan sebutan hacktivist melakukan perusakan terhadap ratusan situs web untuk mengkampanyekan programnya, bahkan tidak jarang dipergunakan untuk menempel pesan untuk mendiskreditkan lawannya. Usaha tersebut pernah dilakukan secara aktif dan efisien untuk kampanye anti-indonesia dalam masalah Timor Timur yang dipelopori oleh Ramos Horta.
4) Denial of Servis Attack. Serangan denial of service attack atau oleh FBI (Federal Bureau of Investigation) dikenal dengan istilah ”unprecedented” tujuannya adalah untuk memacetkan sistem dengan mengganggu akses dari pengguna yang
legitimated. Taktik yang digunakan adalah dengan membanjiri situs web dengan data yang tidak penting. Pemilik situs akan banyak menderita kerugian karena untuk mengendalikan atau mengontrol kembali situs web memakan waktu lama.
5) Insider atau internal hackers. Kejahatan ini bisa dilakukan oleh orang dalam perusahaan sendiri. Modusnya dengan menggunakan karyawan yang kecewa atau bermasalah dengan perusahaan.
6) Viruses. Program pengganggu (malicious) dengan penyebaran virus dewasa ini dapat menular melalui aplikasi internet.
Sebelumnya pola penularan virus hanya melalui flopy disc.
Virus dapat bersembunyi dalam file dan ter-down load oleh user bahkan bisa menyebar melalui kiriman file.
7) Piracy. Pembajakan software merupakan trend dewasa ini.
Pihak produsen software dapat kehilangan karena karyanya dapat dibajak melalui download dari internet dan dikopi kedalam CD-room yang selanjutnya diperbanyak secara ilegal tanpa seijin pemiliknya (penciptanya).
8) Froud. Ini adalah sejenis manipulasi informasi keuangan dengan tujuan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai contoh harga saham yang menyesatkan melalui rumor, situs lelang fiktif dan sebagainya.
9) Gambling. Perjudian didunia cyber yang bersekala global. Dari kegiatan ini dapat diputar kembali di negara yang merupakan tax heaven, seperti cyman island merupakan surga bagi money laundering, bahkan termasuk Indonesia sering dijadikan negara tujuan money laundering.
10) Pornography and paeddophilia. Dunia cyber selain mendatangkan berbagai kemudahan dengan mengatasi kendala ruang dan waktu, juga telah menghadirkan dunia pornografy.
Melalui news group, chat rooms mengeksploitasi anak dibawah umur.
11) Cyber-stalking. Adalah segala bentuk kiriman email yang tidak dikehendaki user.
12) Hate sites. Situs ini sering digunakan untuk saling menyerang dan melontarkan kata-kata tidak sopan dan vulgar yang dikelola oleh para ekstrimis. Penyerangan terhadap lawan sering menggunakan isu rasial, perang program dan promosi kebijakan atau suatu pandangan.
13) Criminal communications. National Criminal Intelligence Service (NCIS) telah mendeteksi bahwa internet telah dijadikan sebagai alat yang handal dan modern untuk melakukan komunikasi antar gengster, anggota sindikat obat bius dan komunikasi antar holigan di dunia sepak bola.
c. Penerapan Asas-Asas Yurisdiksi Dalam Ruang Cyber
Hukum Pidana di Indonesia mengenal empat asas berlakunya Undang-Undang Pidana menurut tempat yaitu (Lamintang, 1997: 89-114):
1) Asas teritorial atau territorialitetits-beginsel atau juga disebut lands-beginsel yaitu Undang-undang Pidana Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang bersalah telah melakukan tindak pidana di dalam wilayah Indonesia.
Asas teritorial ini terdapat dalam ketentuan undang- undang seperti diatur dalam Pasal 2 dan 3 KUHP.
Pasal 2 KUHP menyatakan:
”Ketentuan-ketentuan pidana menurut Undang-undang Indonesia itu dapat diberlakukan terhadap setiap orang yang bersalah telah melakukan suatu tindak pidana di dalam negara Indonesia”.
Pasal 3 KUHP menyatakan:
”Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air Indonesia”.
Asas teritorial seperti yang terdapat di dalam ketentuan undang-undang yaitu seperti yang telah diatur dalam Pasal 3 KUHP itu ternyata telah diperluas lagi dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1976 tentang Perubahan Dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam KUHP Bertalian Dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, Dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan seperti yang diatur dalam Pasal 1 (mengenai penambahan ketentuan dalam Pasal 3 KUHP) yang menyatakan bahwa:
”Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar Wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.
Berlakunya asas ini didasarkan pada asas kedaulatan suatu negara, sehingga setiap orang baik yang secara tetap maupun untuk sementara berada dalam wilayah negara tersebut, harus menaati dan menundukkan diri pada segala perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut.
2) Asas personal atau asas nasional aktif atau juga disebut actieve persoonlijkheidsstelsel yaitu Undang-undang Pidana Indonesia tetap diberlakukan terhadap warga negara dimana pun mereka itu berada, bahkan juga seandainya mereka itu berada diluar negeri (Pasal 5 dan 7 KUHP).
Pasal 5 KUHP menyatakan bahwa:
(1) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan:
ke-1. salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451.
ke-2. salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.
(2) penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika tertuduh menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.
Pasal 7 KUHP menyatakan bahwa:
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang diluar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku Kedua.
3) Asas Perlindungan atau asas nasional pasif atau juga disebut passief nationaliteits-beginsel yaitu berlakunya Undang- undang Pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang tanpa memandang kebangsaan orang-orang tersebut yang berada di luar negeri dimana tindak pidana yang dilakukannya membahayakan kepentingan-kepentingan nasional yang perlu mendapat perlindungan (Pasal 4 dan 8 KUHP).
Pasal 4 KUHP menyatakan bahwa:
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia:
ke-1. salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107,108,dan 131;
ke-2. suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia;
ke-3. pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan
sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu;
ke-4. salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf I, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
Pasal 8 KUHP menyatakan bahwa:
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua, dan Bab IX Buku Ketiga, begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal Indonesia, maupun dalam Ordonansi Perkapalan.
4) Asas persamaan atau asas universal atau juga disebut universaliteits-beginsel yaitu setiap negara mempunyai kewajiban untuk turut serta dalam usaha memelihara keamanan dan ketertiban dunia dengan negara-negara lain (Pasal 4 ke-2 dan 4 serta Pasal 438, 444, 445 dan 446 KUHP).
Pasal 4 angka 2 dan 4 KUHP dinyatakan bahwa:
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia.
ke-2. suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia.
ke-4. salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf I, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
Dalam hukum internasional dikenal tiga jenis yurisdiksi yang dimiliki suatu negara berkenaan dengan penetapan dan pengawasan terhadap setiap peristiwa, setiap orang, dan setiap benda. Ketiga ruang lingkup tersebut terdiri dari (Didik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom,2005: 34):
1) Juridiction to precible atau legislative juricdiction atau prespective jurisdiction yaitu yurisdiksi suatu negara untuk membuat peraturan perundang-undangan nasional untuk mengatur suatu obyek hukum yang ada atau terjadi baik di dalam dan/atau di luar batas negara. Yurisdiksi legislatif ini muncul apabila suatu negara menghadapi suatu objek hukum yang ternyata belum ada pengaturannya di dalam hukum nasional negara yang bersangkutan. Karena adanya kepentingan dari suatu negara atas obyek hukum tersebut, maka negara itu membuat peraturan perundang-undangannya dimaksudkan untuk menjangkau obyek hukum tersebut.
2) Executive jurisdiction yaitu yurisdiksi suatu negara untuk melaksanakan atau menerapkan hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya atas suatu obyek hukum yang ada atau terjadi baik di dalam atau di luar batas-batas wilayahnya.
3) Enforcement jurisdiction atau jurisdiction to adjudicate yaitu yurisdiksi suatu negara untuk mengadili (memaksakan penerapan hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya) terhadap pihak yang melakukan peristiwa hukum tersebut di atas yang merupakan pelanggaran atas hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya.
d. Tinjauan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
1. Pengertian Informasi Elektronik
Berpedoman pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik disebutkan:
”Informasi Elektronik adalah suatu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronik data interchange (EDI), surat elektronik (electronik mail), telegram, teleks, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”.
2. Pengertian Transaksi Elektronik
Pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik disebutkan:
”Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”.
Sesuai definisi diatas transaksi elektronik merupakan perbuatan hukum yang dilakukan melalui media elektronik.
Perbuatan hukum disini meliputi banyak aktifitas baik dalam ekonomi bisnis ataupun lainnya.
3. Asas Dan Tujuan
Pada Bab II Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik disebutkan tentang asas dan tujuan Undang-undang ini.
Dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa:
”Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, itikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi”.
Dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa:
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:
a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. meningkatkan efektifitas dan efesiensi pelayanan publik;
d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggungjawab;dan
e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggaran Teknologi Informasi.
2. Tinjaun Umum Tentang Tindak Pidana Hacking a. Pengertian Tindak pidana
Tindak pidana atau dalam bahasa Belanda sering digunakan dengan istilah strafbaar feit dan istilah delict yang memiliki makna sama. Dalam bahasa Indonesia, delict diterjemahkan dengan delik saja, sedangkan terjemahan dari strafbaar feit memiliki beberapa arti dimana antara satu pendapat dan pendapat yang lain berbeda- beda dan belum diperoleh kata sepakat antar para sarjana.
Menurut Simons dalam bukunya Moeljatno, “Strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab”.
Sedangkan Van Hamel berpendapat dalam bukunya Moeljatno, bahwa “Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke
gedraging) yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan” (Moeljatno, 1993:56).
Menurut Pompe, strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai:
Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum (Lamintang, 1997:182).
Berdasarkan beberapa pengertian tindak pidana diatas, dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.
Untuk lebih jelasnya, Lamintang menjabarkan unsur-unsur tersebut sebagai berikut (Lamintang, 1997: 193-194):
Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Yang termasuk unsur-unsur subjektif antara lain:
1) Kesengajaan atau kelalaian;
2) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
5) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan dimana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Yang termasuk unsur-unsur objektif antara lain:
1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
2) Kualitas dari si pelaku;
3) Kausalitas, yaitu hubungan antara pelaku dengan tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
b. Pembagian Tindak Pidana
Ditinjau dari berbagai segi, hukum pidana dapat dibagi menjadi berbagai klasifikasi, sebagai berikut :
1) Hukum pidana obyektif dan hukum pidana subyektif
b) Hukum pidana obyektif ( Ius Poenale) adalah hukum pidana yang memuat keharusan atau larangan dengan disertai ancaman hukuman.
c) Hukum pidana subyektif ( Ius Punindi) adalah hak negara menghukum seseorang berdasarkan hukum obyektif.
2) Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil
a) Hukum pidana materiil memuat aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana, syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana, khususnya mengenai orang yang melakukan perbuatan pidana dan ketentuan mengenai pidananya.
b) Hukum pidana formil yaitu hukum pidana yang mengatur bagaimana negara dengan melalui alat-alat perlengkapannya, melaksanakan haknya untuk menegakkan pidana atau dengan kata lain hukum pidana formil memuat aturan-aturan bagaimana mempertahankan berlakunya hukum pidana materiil.
3) Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus
a) Hukum pidana umum adalah hukum yang memuat aturan- aturan yang berlaku bagi setiap orang. Misalnya KUHP, Undang-Undang Lalu Lintas.
b) Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang memuat aturan-aturan yang berlaku bagi golongan-golongan orang- orang tertentu atau berkaitan dengan jenis perbuatan tertentu. Misalnya Hukum Pidana Militer yang berlaku bagi anggota militer atau yang dipersamakan.
4) Hukum pidana yang dikodifikasikan dan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan
a) Hukum pidana yang dikodifikasikan adalah hukum pidana yang tersusun dalam suatu buku Undang-Undang secara sistematis dan tuntas. Misalnya KUHP.
b) Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan adalah hukum pidana yang berupa peraturan-peraturan yang tersebar dalam berbagai perundang-undangan. Misalnya Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
c. Perbarengan Tindak Pidana (Concursus)
Pada dasarnya yang dimaksud dengan perbarengan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim. Pada pengulangan juga terdapat lebih dari suatu tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang. Perbedaan pokoknya ialah bahwa pada pengulangan tindak pidana yang dilakukan pertama atau lebih awal telah diputus oleh hakim dengan mempidana pada pelaku, bahkan telah menjalaninya baik sebagian atau seluruhnya. Sedangkan pada
perbarengan syarat seperti pada pengulangan tidaklah diperlukan (Adami Chazawi, 2002: 109-141).
Mengenai sistem penjatuhan pidana pada perbarengan berkaitan langsung dengan macam atau bentuk-bentuk perbarengan, undang-undang membedakan 3 (tiga) bentuk perbarengan, yaitu:
1) Perbarengan peraturan atau concursus idialis (Pasal 63 KUHP), yaitu jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanyalah satu diantara aturan- aturan itu, dan jika berbeda-beda, dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. Hal ini disebut sistem hisapan (absorbtie stelsel);
2) Perbuatan berlanjut atau voorgezette handeling (Pasal 64 KUHP), yaitu jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing berupa kejahatan atau pelanggaran ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok paling berat. Hal ini disebut sistem hisapan (sama dengan perbarengan peraturan);
3) Perbarengan perbuatan atau concursus realis, yang dibedakan lagi menjadi:
a) Perbarengan antara beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis (Pasal 65 KUHP) dengan menggunakan sistem hisapan yang diperberat (verscherpte absorstie stelsel), yaitu dijatuhi satu pidana saja dan maksimum pidana yang dijatuhkan itu ialah jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap tindak pidana itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiganya.
b) Perbarengan antara beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis (Paasal 66 KUHP) dengan menggunakan sistem kumulasi terbatas (het gematigde cumulatie dtelsel) artinya masing-masing kejahatan itu diterapkan, yaitu pelaku tindak pidana dijatuhi pidana sendiri-sendiri sesuai kejahatan-kejahatan yang dibuatnya, tetapi jumlahnya tidak boleh lebih berat dari maksimum pidana terberat ditambah sepertiganya.
c) Perbarengan perbuatan antara: (1) kejahatan dengan pelanggaran, dan (2) pelanggaran dengan pelanggaran (Pasal 70 KUHP) dengan menggunakan sistem kumulasi murni (het zuivere cumulatie stelsel) artinya semua kejahatan maupun pelanggaran itu diterapkan sendiri- sendiri dengan menjatuhkan pidana pada pelaku sesuai dengan ancaman pidana pada kejahatan maupun pelanggaran itu tanpa adanya pengurangan ataupun penambahan batas tertentu.
d. Waktu Dan Tempat Tindak Pidana / Tempus Dan Locus Delicti
Mengenai waktu dan tempat tindak pidana ini adalah menjadi hal sangat penting dalam hal proses peradilan pidana sejak penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan, yaitu menyangkut kewenangan relatif tentang Pengadilan Negeri mana yang berhak mengadili suatu tindak pidana. Dalam praktik hukum pidana perihal waktu dan tempat tindak pidana juga penting bagi tersangka atau terdakwa dan penasehat hukumnya dalam hal menyiapkan dan atau melakukan pembelaannya dengan sebaik- baiknya khususnya mengenai alibi (Adami Chazawi, 2002: 133- 136).
1) Tempus Delicti / Waktu Tindak Pidana
Tempus delicti dapat diartikan sebagai waktu terjadinya suatu tindak pidana. Dalam hubungan dengan berbagai kepentingan umum dalam KUHP, mengenai waktu tindak pidana ini penting dalam hal yakni:
a) Kepastian mengenai waktu dilakukannya suatu tindak pidana itu adalah penting berkenaan dengan berlakunya Pasal 1 ayat (1) dan (2) KUHP. Perihal adanya perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, yaitu untuk menentukan apakah tindak pidana itu dilakukan sebelum atau sesudah adanya perubahan perundang- undangan.
Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa:
”Suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) di atas maka hal tersebut merupakan wujud dari asas legalitas dimana asas legalitas berarti tidak ada perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah mengatur sebelumnya.
Tujuan asas legalitas yaitu:
(1) Untuk mencegah penjatuhan pidana secara sewenang- wenang;
(2) Untuk mencapai kepastian hukum;
(3) Hukum pidana bersumber pada hukum tertulis (Pasal 5 ayat (3) b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951).
Akibat dari asas legalitas:
(1) Perundang-undangan pidana tidak boleh berlaku surut;
(2) Tidak boleh digunakan penafsiran analogis dalam hukum pidana.
Pasal 1 ayat (2) KUHP menyatakan bahwa:
”Bilamana ada perubahan peraturan dalam perundang- undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan”.
b) Mengenai berlaku tidaknya ketentuan perihal penjatuhan pidana atau tindakan terhadap orang yang belum dewasa karena belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
c) Mengenai hal yang berhubungan dengan ketentuan daluwarsa bagi hak negara untuk melakukan penuntutan pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 78 dan 79 KUHP.
Pasal 78 menyatakan bahwa:
(1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa 1. mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang
dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;
2. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
3. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
4. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
(2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa diatas dikurang sepertiga.
2) Locus Delicti / Tempat Tindak Pidana
Locus delicti dapat diartikan sebagai tempat terjadinya suatu tindak pidana. Kepastian mengenai tempat dilakukannya suatu tindak pidana itu adalah penting yaitu:
a) Dalam hal yang berhubungan dengan kompetensi relatif.
Pasal 83 ayat (1) KUHAP yang memuat prinsip dasar tentang kompetensi relatif, yaitu Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili segala perkara tindak pidana yang dilakukan di daerah hukumnya.
b) Dalam hal hubungan dengan ketentuan Pasal 2 sampai Pasal 8 KUHP yang memuat asas teritorial, asas nasional aktif, asas nasional pasif, dan asas universal tentang berlakunya hukum pidana Indonesia, maka tempat tindak pidana penting pula dalam hal menentukan terhadap tindak pidana itu apakah berlaku hukum pidana Indonesia ataukah tidak.
Di dalam ajaran-ajaran mengenai locus delicti orang telah berusaha untuk menentukan suatu tempat tertentu yang harus dianggap sebagai tempat dilakukannya suatu tindak pidana. Locus delicti adalah semua tempat, baik itu tempat dimana seorang pelaku itu telah melakukan sendiri perbuatannya yang dilarang oleh undang-undang maupun tempat di mana alat yang dipergunakan itu telah menimbulkan akibat yaitu apabila tindak pidana yang telah dilakukannya meliputi beberapa peristiwa yang telah terjadi dibeberapa tempat.
Menurut Van Hamel bahwa yang harus dianggap sebagai locus delicti itu adalah (Lamintang1997:232):
a) tempat di mana seorang pelaku itu telah melakukan sendiri perbuatannya (de paat van de lichamelijke daad);
b) tempat di mana alat yang telah dipergunakan oleh seorang pelaku itu bekerja (de plaats van de uitwerking van het instrument);
c) tempat dimana akibat langsung dari suatu tindakan itu telah timbul (de plaat van het onmiddelijk gevolg);
d) tempat di mana akibat konstitutif itu telah timbul (de plaats van het constitutif gevolg).
e. Pengertian Hacking
Peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengenal istilah hacking. Secara harafiah ”hacking” berasal dari kata ”hack”
dari bahasa Inggris yang berarti mencincang atau membacok.
Namun dalam kejahatan internet hacking dapat diartikan sebagai penyusupan atau perusakan suatu sistem komputer.
Dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat disimpulkan bahwa hacking merupakan perbuatan setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apa pun.
Hacking merupakan aktivitas penyusupan ke dalam sebuah sistem komputer ataupun jaringan dengan tujuan untuk menyalahgunakan ataupun merusak sistem yang ada. Definisi dari kata “menyalahgunakan” memiliki arti yang sangat luas, dan dapat diartikan sebagai pencurian data rahasia, serta penggunaan email yang tidak semestinya seperti spamming ataupun mencari celah jaringan yang memungkinkan untuk dimasuki.
Now, many crimes are driven by personal profit or malice.
These types of crimes were frequently committed by juveniles, disgruntled employees, and professional hackers as a means of showing off their skills. Disgruntled employees are widely thought to pose the biggest threat to company computer systems). Teenage hackers remain a problem as well. Courts have had a hard time finding appropriate punishments for teenage hackers. In recent years, more of these crimes have been committed for financial gain(Katherine T. Kleindienst, Theresa M. Coughlin and Jill K.
Pasquarell. 2009. “Computer Crime”. The Internet Journal of Law, Healthcare and Ethics. diakses pada tanggal 2 September 2009).
Oleh kongres PBB X di Wina, Hacking ditetapkan sebagai first crime. Ini disebabkan karena kejahatan tersebut merupakan suatu yang istimewa karena mempunyai kelebihan tertentu dibanding kejahatan cyber yang lain.
Kelebihan dari kejahatan ini antara lain yaitu, pertama, orang yang dapat melakukan kejahatan jenis ini sudah barang tentu dapat melakukan kejahatan cyber crime yang lain. Kedua, secara teknis imbas dari aktivitas hacking kualitas yang dihasilkan lebih serius dibandingkan dengan bentuk cyber crime yang lain. Untuk menyebarkan gambar porno atau cyber phornography tidak perlu memiliki kemampuan hacking, cukup kemampuan minimal tentang internet.
Hacking biasanya merupakan aktivitas awal (perbuatan awal) sebelum seseorang melakukan suatu tindak pidana tertentu misalnya, mencari dan menyadap sistem komputer, menyadap password. Setelah diperoleh ”kunci masuk” maka pelaku dapat melakukan tindakan yang merupakan perwujudan dari niat, yang dilakukan dapat berupa memasuki atau melewati sistem, melakukan pencurian (mencuri isi website yang ada di internet, semisal dalam website BCA (www.bca.com) dengan mencuri nomor credit card dan sebagainya), pembocoran rahasia negara, pembocoran rahasia perusahaan, perusakan sistem (cracking).
f. Pengertian Hacker dan Cracker
Setiap orang yang melakukan tindak pidana hacking disebut juga hacker. Hacker adalah orang yang memasuki atau mengakses jaringan komputer secara tidak sah (tanpa ijin) dengan suatu alat dan program tertentu bertujuan untuk merusak, merubah data dengan menambah atau mengurangi (Sutarman, 2007: 68-70).
Patut dipahami bahwa hacker dapat digolongkan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu white hat hacker dan black hat hacker, sebagaimana diungkap oleh Imam Sjahputra dalam buku karya Drs. H. Sutarman, M.H.. Dengan mengacu pada tulisan Steven Furnell, Imam Syahputra menyatakan bahwa:
Kelompok “putih” atau white hat hacker cenderung memiliki misi seperti “Robin Hood”. Mereka berusaha untuk menghambat atau memperbaiki suatu sistem komputer yang telah dirusak. Itu sebabnya, kaum ini sering disebut sebagai Cyber Warior atau Samurai. Sedangkan untuk para hacker, hactivis, malware writer dan cracker digolongkan sebagai black hat hacker.
Mereka ini lebih pada bersifat merusak dan mengganggu orang lain (Sutarman, 2007: 69).
Orang-orang yang biasa melakukan kejahatan maya pada umumnya dikenal sebagai cracker dan hacker. Dengan demikian, pelaku cyber crime dapat digolongkan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu cracker dan hacker.
Cracker adalah seorang yang melakukan tindakan kejahatan dengan memasuki serta mengganggu hingga merusak sistem orang lain. Sedangkan tindakan seorang hacker tidak sampai merusak sistem orang lain, yang dilakukan biasanya hanya sekedar mengintip informasi tentunya secara diam-diam, tanpa melakukan perubahan apapun terhadap sistem yang dia masuki.
Hacker dalam melakukan aksinya ada beberapa tahapan yang dilalui yaitu sebagai berikut:
1) mencari sistem yang hendak dimasuki;
2) menyusup dan menyadap password;
3) menjelajahi sistem komputer;
4) membuat backdoor dan menghilangkan jejak.
g. Konstruksi Hacking Sebagai Crime
Hacking merupakan salah satu kegiatan yang bersifat negatif tersebut. Meskipun pada awalnya hacking memiliki tujuan mulia, yaitu untuk memperbaiki sistem keamanan yang telah dibangun dan memperkuatnya, tetapi dalam perkembangannya hacking digunakan untuk keperluan-keperluan lainya yang bersifat merugikan. Hal ini tak lepas dari penggunaan internet yang semakin meluas sehingga penyalahgunaan kemampuan hacking juga mengikuti luasnya pemanfaatan internet.
Dapat diketahui bahwa tahap-tahap seseorang dalam melakukan hacking yaitu sebagai berikut:
1) mencari sistem yang hendak dimasuki;
2) menyusup dan menyadap password;
3) menjelajahi sistem komputer;
4) membuat backdoor dan menghilangkan jejak.
Tidak setiap tahap dari hacking dapat disebut sebagai kejahatan. Tahap pertama dari hacking tidak dapat disebut sebagai kejahatan karena belum dapat dikatakan ada bahaya serius yang mengancam. Tahap kedua sampai keempat, dapat disebut sebagai kejahatan. Tahap kedua merupakan tahap yang paling ringan karena dalam tahap ini hanya bersifat masuk atau menyusup dan belum ada tindakan destruktif. Tahap ketiga dan keempat sudah mengandung unsur destruktif sehingga akibat yang ditimbulkan lebih buruk dibandingkan dengan tahap kedua.
Tahap kedua sampai keempat merupakan kejahatan, hal ini disebabkan beberapa hal, yaitu:
1) memasuki ruang privat pada situs orang lain bukanlah perbuatan terpuji. Sebuah situs dalam proses komunikasi dengan pihak lain (pihak yang mengakses) sudah menyaksikan tempat publik itu. Bagaimana ruang publik itu dikelola dan disajikan, merupakan urusan pengelola disitus. Pihak pengakses dapat memberikan saran ataupun kritik terhadap apa yang disajikan itu pada tempat atau alamat yang disediakan oleh pengelola situs. Menggangu privasi orang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi orang lain sehingga menyusup, apalagi dilakukan secara diam-diam betul-betul merupakan tindakan yang tidak didasarkan pada moral yang baik. Jika situs yang disusupi itu adalah milik sebuah instansi pemerintah yang vital, sepeti militer yang menyimpan data-data penting atau rahasia bahkan sangat rahasia mengenai negara, maka masuk atau menyusup kedalam situ situ tanpa izin merupakan tindakan mata-mata. Dalam konstruksi hukum pidana, tindakan menyusup ini dapat dikategorikan sebagai tindakan memata- matai.
2) Menjelajahi daerah atau ruang milik orang lain tanpa izin merupakan kejahatan karena mengganggu privasi pemilik daerah itu. Jika penjelajahan itu dilakukan dan disertai dengan tindakan destrtuktif, misalnya mengubah tampilan atau frontpge dari suatu situs sudah merupakan perbuatan mengacaukan ketertiban umum. Tindakan merusak milik orang lain dalam konstruksi hukum pidana sudah merupakan tindak pidana. Meskipun tindakan itu membawa akibat dalam pelayanan publik di dunia maya, tetapi kerugian yang timbul dirasakan oleh orang-orang yang ada di dunia nyata.
Tindakan cracker yang berusaha untuk mendapatkan akses yang lebih tinggi merupakan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan pengambilalihan kekuasaan (kudeta) terhadap kekuasaan yang hanya dimiliki oleh administrator sistem.
Dengan menjadi superuser berarti cracker menjadi penguasa jaringan komputer atau situs yang dimasukinya itu.
3) meninggalkan tempat yang telah dimasuki apalagi disertai dengan tindakan menghapus log file atau data-data penting lai dalam usaha meninggalkan jejak menunjukan tindakan yang dilakukan cracker merupakan tindakan yang tidak bertanggungjawab. Tidak ada kejahatan yang menyatakan dirinya bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya. Secara etis tindakan tidak bertanggung jawab ini bertentangan dengan tuntutan moral yang menekankan kejujuran dan pertanggungjawaban.
Agar dapat disebut atau dikategorikan sebagai kejahatan, maka harus mmenuhi beberapa karakteristik dari tindak pidana, yaitu:
1) Bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum (a public wrong).
Dilihat dari kriteria ini, maka tindakan hacking yang dilakukan oleh cracker sangat bertentangan dan merugikan kepentingan umum bahkan kepentungan pribadi. Seorang cracker yang menyerang situs yang menyediakan pelayanan publik atau menyediakan data-data yang diperuntukan bagi publik sudah barang tentu merugikan pengakses situs-situs, dalam hal ini tidak hanya pemerintah atau perusahaan yang dirugikan (sebagai penyelanggara pelayanan umum) tetapi juga merugikan kepentingan pengakses. Demikian juga dengan situs yang dikelola secara pribadi, jika di-hack maka akan
mengganggu kepentingan dari pemilik situs-situs secara pribadi.
2) Bertentangan dengan moral masyarakat (a moral wrong)
Tidaklah mudah untuk menentukan dasar moral apa yang dipakai sebagai pertimbangan dalam memutuskan suatu perbuatan sebagai kejahatan atau tidak. Dalam hal ini dasar moral yang dipakai tentunya dapat diambil dari kehidupan masyarakat sekitar atau dimana perbuatan itu ada atau terjadi (yang berarti kehidupan dalam alam nyata) dan ketentuan- ketentuan moral yang dipakai atau digunakan dalam kehidupan para netizen (dalam hal ini moral dalam kehidupan para netizen). Para netizen umumnya mengakui bahwa meng-hack sebuah situs merupakan tindakan yang tidak baik apalagi jika hacking itu dilakukan terhadap situs-situs pendidikan, penelitian dan pelayanan umum.
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi pada masa globalisasi sekarang ini, maka internet sebagai teknologi terkini membawa berbagai macam manfaat dalam berbagai segi kehidupan manusia. Dengan menggunakan internet maka berbagai kegiatan dengan mudah dapat dilakukan, baik itu baik itu kegiatan ekonomi, bisnis, pemerintahan, sosisal, budaya dan masih banyak lagi.
Namun dengan perkembangan internet yang kian maju dalam berbagai aspek kehidupan, muncul pula dampak negatif dari adanya
hacking
Yurisdiksi
publik privat
Cyber crime / kejahatan internet
Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Elektronik
-cracking -carding -spamming -viruses -piracy -dll.
internet tersebut. Muncul kejahatan internet atau cyber crime atau dapat disebut juga kejahatan mayantara.
Hacking sebagai salah satu cybercrime, menjadi suatu kejahatan yang berbahaya. Dengan hacking, maka seseorang dapat melakukan kejahatan internet lainya. Dengan kata lain, hacking merupakan kejahatan yang mengawali kejahatan-kejahatan internet lainnya.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik telah membawa cyber crime dalam ranah hukum pidana menjadi semakin jelas. Termasuk didalamnya hacking. Bagaimana suatu kejahatan hacking dirumuskan dan diatur sedemikian rupa sehingga kejahatan ini menjadi suatu tindak pidana dan pelakunya dapat dipidana.
Hacking merupakan salah satu kejahatan besar yang dalam operandinya sering melintasi wilayah teritori suatu negara seperti halnya kejahatan money loundering. Maka dalam hal ini harus ada peraturan yang pasti mengenai pengaturan Yurisdiksi yang merupakan salah satu kendala pemberantasan kejahatan cyber crime khususnya hacking.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis mencoba untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana hacking menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta penentuan yuridiksi dalam tindak pidana hacking.