IMPLEMENTASI TRI HITA KARANA
DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI BALI
DALAM MENJAGA EKSISTENSI BALI
SEBAGAI PULAU TAMAN
Oleh:
Anak Agung Gede Sugianthara
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR PERTAMANAN
FAKULTAS PERTANIAN
2015
RINGKASAN
Tri Hita Karana (THK) merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat Bali, warisan
nenek moyang (para leluhur) yang berbasis Hinduitis. THK sudah menjadi pegangan dan
pandangan hidup masyarakat Bali sejak dulu kala. Istilah Tri Hita Karana berasal dari
bahasa Sansekerta, Tri berati tiga, Hita berarti kebahagiaan/kesejahtraan, dan Karana berati
penyebab. Jadi Tri Hita Karana berarti tiga hal/unsur penyebab kebahagiaan/kesejahtraan
yang terdiri dari unsur Prahyangan merupakan hubungan yang selaras dan serasi antara
manusia dan Tuhan, Pawongan merupakan hubungan yang selaras dan serasi antar sesama
manusia, dan unsur Palemahan merupakan hubungan yang selaras dan serasi antara manusia
dan alam lingkungannya.
Pengelolaan lingkungan merupakan aspek yang sangat penting dalam nilai-nilai THK
khususnya pada unsur palemahan. Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan
dengan asas tanggung jawab, asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Bali sebagai sebuah Pulau Taman karena memang tersusun oleh banyak taman, baik yang bersifat alami seperti: taman pantai, taman danau, taman pegunungan, taman tebing, dan taman lembah, maupun taman buatan seperti: taman situs budaya peninggalan kerajaan (seperti: Taman Ujung, Taman Tirta Gangga, Taman Kertha Gosa, Taman Tirta Empul, Gunung Kawi, Goa Gajah, Taman Ayun, dan ribuan Pura Taman/Pura Beji yang ada di setiap desa pekraman serta taman keluarga yang ada di setiap pekarangan di Bali.
Implementasi THK dalam pengelolaan lingkungan hidup di Bali belum sepenuhnya
terlaksana dengan baik. Oleh karena itu masih perlu disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat lewat berbagai media yang ada. Demikian pula tingkat kesadaran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan masih perlu ditingkatkan dalam rangka menjaga eksistensi Bali sebagai Pulau Taman.
PRAKATA
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat waranugraha-Nya yang tak terhingga, sehingga tulisan ini dapat diselesaikan pada waktunya. Tulisan ini memuat konsep dan pemikiran-pemikiran yang mengarah pada
implementasi kearifan lokal “Tri Hita Karana” (THK) dalam pengelolaan lingkungan hidup
di Bali. Dengan harapan agar semua lapisan masyarakat lebih sadar betapa tingginya
nilai-nilai filosofi THK dalam rangka mengelola lingkungan hidup sehingga lingkungan menjadi
lebih indah dan lestari.
Tulisan ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak baik moril maupun materiil. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak atas segala sumbangsihnya sehingga tulisan ini dapat dipersembahkan.
Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh kerena itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk penyempurnaannya. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan kecil ini ada manfaatnya.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
RINGKASAN ... ii
PRAKATA ... iii
DAFTAR ISI ...………... iv
I. PENDAHULUAN ………... 1
1.1 Latar Belakang………... 1
1.2 Rumusan Masalah ………... 1
II. PEMBAHASAN ………... 3
2.1 Pengertian dan Aspek Filosofi THK... 3
2.2 Pengelolaan lingkungan... 3
2.3 Bali Pulau Taman... 6
III. SIMPULAN DAN SARAN …..………... 8
3.1 Simpulan ... 8
3.2 Saran ... 8
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Bali sebagai sebuah Pulau Taman karena memang tersusun oleh banyak taman, baik yang bersifat alami seperti: taman pantai, taman danau, taman pegunungan, taman tebing, dan taman lembah, maupun taman buatan seperti: taman situs budaya peninggalan kerajaan (seperti: Taman Ujung, Taman Tirta Gangga, Taman Kertha Gosa, Taman Tirta Empul, Gunung Kawi, Goa Gajah, Taman Ayun, dan ribuan Pura Taman/Pura Beji yang ada di setiap desa pekraman serta taman keluarga yang ada di setiap pekarangan di Bali.
Gambaran tentang kondisi dimasa yang akan datang bahwa keberadaan sumber daya air, tanah, dan lahan menjadi semakin terbatas, dalam arti semakin menurunnya daya dukung lingkungan sebagai akibat semakin bertambahnya penduduk, adanya pergeseran pola hidup, dan dampak dari kegiatan pembangunan. Adanya fenomena yang menunjukkan bahwa manusia memanfaatkan sumber daya alam dengan mengeksfluitasi dan memanfaatkan sumber daya dengan cara yang tidak bijaksana, menyebabkan kondisi sumber daya menjadi rawan dan menjadi ancaman bagi kehidupan manusia, seperti bencana banjir, tanah longsor, erosi, polusi dan sebagainya. Oleh karena itu keberadaan sumber daya manusia menjadi penentu terhadap kondisi lingkungan hidupnya, baik secara individu maupun secara kolektif
melalui suatu sitem kelembagaan seperti banjar, desa pekraman, subak, dan sebagainya.
Untuk itulah perlu adanya tuntutan tentang keseimbangan hidup yang bersumber dari
kearifan lokal yang disebut Tri Hita Karana (THK).
Dalam filosofi THK yang artinya tiga penyebab kebahagiaan, Wiana (2004)
menyebutkan, bahwa hakekat THK adalah sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan
dengan mengabdi kepada sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkunagan. Ajaran tentang keseimbangan hidup sangat penting artinya dalam kehidupan manusia, baik untuk menata kehidupan sekarang maupun untuk menata kehidupan yang akan datang. Ajaran keseimbangan hidup menuntun manusia agar memperoleh kehidupan yang aman, nyaman, dan sejahtera.
Setia (2006) dalam uraiannya tentang THK menjelaskan, bahwa umat Hindu telah
melaksanakan ajaran THK, tetapi apa yang telah dilaksanakan belum sesuai benar dengan
konsepnya. Atau sudah melaksanakan tetapi hanya sebagian kecil saja, sementara yang
dilanggar justru lebih banyak. Pelanggaran yang paling parah adalah pada unsur palemahan
-nya yaitu yang me-nyangkut hubungan manusia dengan alam lingkungan-nya. 1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini antara lain adalah:
2. Sejauh mana kesadaran masyarakat Bali dalam pengelolaan lingkungannya?
3. Apakah Bali akan mampu mempertahankan eksistensinya sebagai pulau taman dimasa
II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Aspek Filosofi THK
Tri Hita Karana (THK) merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat Bali, warisan
nenek moyang (para leluhur) yang berbasis Hinduitis. THK sudah menjadi pegangan dan
pandangan hidup masyarakat Bali sejak dulu kala, namun belum diketahui secara pasti kapan dan di mana dimulainya. Data sejarah menunjukkan: kebudayaan pertanian sudah dikenal di Bali pd tahun caka 522 (Goris, ?), diperkuat oleh Prasasti Sukawana (caka 800) dan Prasasti
Trunyan (caka 813), pada saat itu subak yang berfalsafah THK sudah dikenal di Bali.
Aspek filosofis THK bersumber pd 4 (empat) pemikiran filsafat, yaitu: aspek
Teosentris, Kosmosentris, Antroposentris, dan Logosentris. Teosentris merupakan teori pemikiran filsafat bahwa segala sesuatu bersumber dari Tuhan. Tuhan sebagai pencipta alam
semesta beserta isinya. Antroposentris merupakan teori pemikiran filsafat bahwa manusia
sebagai titik pusatnya, karena manusia lengkap memiliki tri pramana (sabda, bayu, dan idep)
yang merupakan kelebihan dari makhluk hidup lainnya, yaitu memiliki kemampuan berpikir.
Pada teori pemikiran filsafat Kosmosentris bahwa alamlah yang menjadi titik pusat
segalanya, sedangkan Logosentris merupakan teori pemikiran filsafat bahwa istilah atau
pernyataan/ungkapan yang menjadi sumbernya. Dalam hal ini Logosentris menjiwai istilah
atau kata harmoni dalam THK yang dijadikan interpretasi filsafat hidup orang Bali yang
senantiasa berproses, berubah, inovatif, dan konstruktif. Jadi keempat fase pemikiran
tersebut diramu menjadi filsafat hidup THK sebagai suatu konsep harmoni, yang
menyangkut keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan (Parhyangan), keseimbbangan
hubungan antar sesama manusia (Pawongan), dan keseimbangan hubungan antara manusia
dengan alam lingkungannya (Palemahan). Dalam konsep ini manusialah menjadi titik sentral
sekaligus subjek dalam implementasi THK dalam kehidupan sehari-hari.
2.2 Pengelolaan lingkungan
kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu, yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab, asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, seperti yang telah diatur dalam Regveda IV.26.2 yang berbunyi:
Aham bhumimadadamaryayaha; Vrstim dasuse martyaya Ahamapo anayam vavssana mama; Devaso amu ketamayan
Artinya: Aku memberikan bumi kepada orang-orang baik dan hujan serta udara untuk umat manusia, wahai para bijaksana, datanglah kepada Ku dengan keinginan yang penuh.
Menyadari akan hal tersebut, maka masyarakat Bali seharusnya lebih bijaksana dalam mengelola lingkungan hidupnya mulai dari lingkup yang paling kecil yaitu lingkungan
keluarga, banjar, desa pakraman sampai ke tingkat daerah Provinsi Bali. Di masing-masing
desa pakraman sesungguhnya dalam rangka implementasi falsafah THK sudah diperkuat atau
dibentengi dengan landasan hukum atau tata aturan baik berupa pasuara, pararem, maupun
awig-awig. Hanya saja sejauh mana kesadaran masyarakat mematuhi tata aturan tersebut masih perlu dipertanyakan dan dikaji lebih lanjut.
Contoh yang paling sederhana adalah masalah sampah. Sampah merupakan masalah sederhana, tetapi bila tidak ditangi dengan baik dan tanpa didukung oleh kesadaran yang tinggi oleh semua lapisan masyarakat maka akan menjadi masalah yang sangat besar dan komplek. Sampah plastik semakin merajalela sebagai polutan pencemaran lingkungan. Banyak usaha yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah, misalnya melalui program Bali
clean and green, himbauan pemilahan sampah plastik dan sampah organik, kerjasama dengan perusahan pendaur ulang sampah plastik, himbauan kepada para pedagang, toko, dan pasar swalayan untuk mengurangi penggunaan tas plastik, ternyata belum ampuh untuk memerangi pencemaran sampah plastik tersebut. Muncul pertanyaan apanya yang salah? Penulis punya pemikiran sepanjang sumber sampah plastik (produksi plastik) tidak dikurangi, pemakaian plastik untuk berbagai kepentingan tidak dikurangi, pembuatan dan penegakan aturan yang lebih tegas (tidak hanya sebatas himbauan belaka), niscaya permasalahan sampah plastik akan dapat ditanggulangi dengan baik. Rasanya cukup layak bila kita mau meniru keberhasilan negara tetangga kita seperti Singapura dan Thailan dalam hal pengelolaan kebersihan lingkungan. Malu rasanya sebagai warga masyarakat pula Bali yang berbasis pariwisata lingkungannya tercemar, jorok dan kotor.
memperbaiki kondisi lingkungan sosial dan alam Bali, sangat mendesak dilakukan formulasi
dan revitalisasi nilai-nilai THK dalam kehidupan pribadi dan sosial. Hal ini penting
dilakukan mengingat arus globalisasi sangat kencang melanda Bali, yang menyuburkan bangkitnya paham hedomisme, premanisme, dan cuekisme. Untuk menanggulangi hal itu,
nilai-nilai kearifan lokal THK perlu diperkenalkan kembali kepada masyarakat, khususnya
generasi muda. Cara yang paling efektif dapat ditempuh adalah dengan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum pendidikan sains.
2.2 Bali Pulau Taman
Terkait keindahan alam, keunikan adat istiadat dan seni budayanya Bali telah menyandang berbagai julukan. Ada yang bersifat pujian seperti: Bali Pulau Dewata, Pulau
Sorga, Pulau Seribu Pura, Small but complete (kecil tetapi lengkap) , Pulau Wali, Pulau
Banten, Pulau Taman, Pulau Kahyangan, Pulau Dewa Dewi, Bali Bangsul, Nusaning Nusa, Pulau Seni, Pulau Bali Dwipa, Pulau Bali Rajya, Pulau Bali Pulina, Dwa-patan, Pulau
Ayam, Pulau Tari, Sorga Dunia Terakhir (The Last Paradise of the World), Pulau Damai,
Pulau Upacara, Jagat Bali, Gumi Bali, Gumin Iraga, Bali Mula, Bali Majapahit, Bali Tui,
Pulau Canang, Pulau Subak, Pulau Cantik (Beautiful Land), Pulau Impian, Bali Museum
hidup, Bagia Lila Cita Dwipa, Agraning Giri Agra, Bali Balut, Nusa Kambangan, dan masih banyak julukan dalam bahasa asing (Belanda) seperti: Baratena, Boly, Balle, Ilha, Javaminor, Het Eiland der Demonen, Het Eiland der Duizend Tempels, Jong Holland, dan Poli yang berasal dari bahasa Cina (Suada, 2014).
Kembali kepada semua julukan tersebut, yang paling erat kaitannya dengan bidang kajian Taman Tradisional Bali adalah Bali Pulau Taman. Bali dinobatkan sebagi sebuah pulau taman telah didukung oleh bukti-bukti autentik sebagai berikut:
1. Alam Bali merupakan Kumpulan Taman Alami.
pegungunan di bagian tengah sedikit ke utara pulau Bali berjajar dari arah timur ke barat seperti: Pucak Lempuyang, Gunung Agung, Gunung Abang, Gunung Batur, Pucak Panulisan, Pucak Mangu, dan Gunung Batukaru serta beberapa perbukitan lainnya yang pada masing-masing pucaknya dibangun tempat suci (pura) sebagai tempat pemujaan Tuhan dengan berbagai manipestasinya. Demikian pula taman Danau Batur, danau Beratan, danau Buyan, dan danau Tamblingan memiliki daya tarik tersendiri untuk dinikmati keindahan alamnya. Tidak kalah menariknya keindahan alam yang ada di taman Air Terjun Gitgit (Buleleng), Air Terjun Nungnung (Petang, Badung), dan Air Terjun Pagenungan (Gianyar). Masing-masing taman alami tersebut memiliki keunikan fisiografi dan diperkaya oleh kekhasan flora dan faunanya.
2. Taman Situs Budaya Peninggalan Kerajaan.
Cukup banyak taman-taman di Bali yang sampai sekarang menjadi obyek wisata adalah merupakan taman peninggalan kerajaan yang sangat jaya dimasa lalu. Beberapa diantaranya yang cukup terkenal seperti: Taman Ujung, Taman Tirtha Gangga di Karangasem merupakan peninggalan Kerajaan Sri Kresna Kepakisan di Kabupaten Karangsasem; Taman Kerha Gosa merupakan peninggalan Kerajaan Gelgel di Kabupaten Kelungkung; Taman Goa Gajah peninggalan kerajaan Bedahulu, Taman Tirtha Empul, dan Taman Gunung Kawi di Kabupaten Gianyar; dan Taman Ayun merupakan peninggalan Kerajaan Mengwi di Kabupaten Badung.
3. Pura Taman dan Pura Beji.
Pura Taman dan atau Pura Beji adalah merupakan taman-taman yang sangat
disakralkan disetiap Desa Pakraman di Bali yang jumlahnya ribuan. Disamping
disakralkan sebagai pura atau tempat suci sebagai permandian atau penyucian saran
upacara dan pralingga/pratima Betara-Betari dan Dewa-Dewi sebagai prabawa Tuhan
yang maha Esa (Ida sang Hyang Widhi Wasa) dari masing-masing Pura pada setiap Desa
pakraman, juga memiliki makna untuk pelestarian sumber mata air yang ada dan memiliki
nilai estetis sebagai sebuah taman yang lengkap dengan hardscape dan solfscape-nya
bahkan sudah mendapat sentuhan magis-religius karena selalu ada Palinggih sebagai
tempat berstananya Dewa Wisnu dan Dewi Gangga dengan tanaman bunga-bungaan yang
4. Taman Buatan sebagi Bentuk Kreativitas Seni Budaya.
Mulai dari lingkup yang terkecil yaitu pada setiap pekarangan keluarga di Bali selalu ada tamannya, walaupun sangat beragam keberadaannya tergantung dari luas sempitnya
lahan pekarangan dan space (ruang kosong) diantara bangunan yang ada. Pada setiap
pekarangan di Bali masih kental mencerminkan pelaksanaan filosofi Tri Hita Karana dan
konsep Tri Mandala-nya. Setiap pekarangan dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu Utama
Mandala sebagi tempat Parhyangan (Sanggah atau Merajan), Madya Mandala sebagi tempat membangun rumah sebagai tempat tidur, beristirahat, dan beraktivitas sehari-hari,
dan yang ketiga yaitu Nista Mandala sebagai tempat memelihara hewan ternak, budidaya
tanaman, dan tempat pembuangan sampah dan kotoran.
III. SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Implementasi THK dalam pengelolaan lingkungan hidup di Bali belum sepenuhnya
terlaksana dengan baik. Oleh karena itu masih perlu disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat lewat berbagai media yang ada.
2. Tingkat kesadaran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan masih perlu ditingkatkan
karena belum seluruh masyarakat sadar akan pentingnya pelestarian lingkungan baik secara individu maupun kelompok.
3. Eksistensi Bali sebagai Pulau Taman akan tetap eksis sepanjang nilai-nilai Tri Hita
Karana dapat diimplementasikan dengan baik dan kesadaran masyarakat terhadap kelestarian, keindahan, dan kenyaman lingkungan semakin meningkat.
3.2 Saran
1. Disarankan kepada pihak pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkait agar lebih
menggalakkan penyebaran informasi atau mensosialisasikan nilai-nilai Tri Hita Karana
kepada seluruh lapisan masyarakat, utamanya kepada para generasi muda penerus bangsa, agar tingkat kesadarannya semakin meningkat sebagai gerasi muda yang arif dan bijaksana untuk menjaga kelestarian, keindahan, dan kenyamanan lingkungan.
2. Disarankan pula kepada pemerintah dan pihak yang berwenang agar menegakkan
DAFTAR PUSTAKA
Setia, Putu. 2006. Tri Hita Karana. https//id.wikipedia.org/wiki/Tri Hita Karana. (diakses:
19/10/2015.
Suada, I Nyoman. 2014. Bali dalam Persepektif Sejarah dan Tradisi dalam Relevansinya
dengan Era Global Menuju Keajegan Bali yang Harmonis. Yayasan Surya Dewata Bali. Denpasar.
Suja, I Wayan. 2010. Kearifan Lokal Sains Asli Bali. Paramita. Surabaya.
Tim Taman Gumi Banten. 2002. Taman Gumi Banten. LPM Universitas Udayana.
Denpasar.