• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI TRI HITA KARANA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI BALI DALAM MENJAGA EKSISTENSI BALI SEBAGAI PULAU TAMAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI TRI HITA KARANA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI BALI DALAM MENJAGA EKSISTENSI BALI SEBAGAI PULAU TAMAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI TRI HITA KARANA

DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI BALI

DALAM MENJAGA EKSISTENSI BALI

SEBAGAI PULAU TAMAN

Oleh:

Anak Agung Gede Sugianthara

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR PERTAMANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

2015

RINGKASAN

Tri Hita Karana (THK) merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat Bali, warisan

nenek moyang (para leluhur) yang berbasis Hinduitis. THK sudah menjadi pegangan dan pandangan hidup masyarakat Bali sejak dulu kala. Istilah Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sansekerta, Tri berati tiga, Hita berarti kebahagiaan/kesejahtraan, dan Karana berati penyebab. Jadi Tri Hita Karana berarti tiga hal/unsur penyebab kebahagiaan/kesejahtraan yang terdiri dari unsur Prahyangan merupakan hubungan yang selaras dan serasi antara manusia dan Tuhan, Pawongan merupakan hubungan yang selaras dan serasi antar sesama manusia, dan unsur Palemahan merupakan hubungan yang selaras dan serasi antara manusia dan alam lingkungannya.

Pengelolaan lingkungan merupakan aspek yang sangat penting dalam nilai-nilai THK khususnya pada unsur palemahan. Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab, asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Bali sebagai sebuah Pulau Taman karena memang tersusun oleh banyak taman, baik yang bersifat alami seperti: taman pantai, taman danau, taman pegunungan, taman tebing, dan taman lembah, maupun taman buatan seperti: taman situs budaya peninggalan kerajaan (seperti: Taman Ujung, Taman Tirta Gangga, Taman Kertha Gosa, Taman Tirta Empul, Gunung Kawi, Goa Gajah, Taman Ayun, dan ribuan Pura Taman/Pura Beji yang ada di setiap desa pekraman serta taman keluarga yang ada di setiap pekarangan di Bali.

Implementasi THK dalam pengelolaan lingkungan hidup di Bali belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Oleh karena itu masih perlu disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat lewat berbagai media yang ada. Demikian pula tingkat kesadaran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan masih perlu ditingkatkan dalam rangka menjaga eksistensi Bali sebagai Pulau Taman.

(3)

PRAKATA

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat waranugraha-Nya yang tak terhingga, sehingga tulisan ini dapat diselesaikan pada waktunya. Tulisan ini memuat konsep dan pemikiran-pemikiran yang mengarah pada implementasi kearifan lokal “Tri Hita Karana” (THK) dalam pengelolaan lingkungan hidup di Bali. Dengan harapan agar semua lapisan masyarakat lebih sadar betapa tingginya nilai-nilai filosofi THK dalam rangka mengelola lingkungan hidup sehingga lingkungan menjadi lebih indah dan lestari.

Tulisan ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak baik moril maupun materiil. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak atas segala sumbangsihnya sehingga tulisan ini dapat dipersembahkan.

Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh kerena itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk penyempurnaannya. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan kecil ini ada manfaatnya.

Denpasar, 2 Januari 2015 Penulis

(4)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ... i RINGKASAN ... ii PRAKATA ... iii DAFTAR ISI ...………... iv I. PENDAHULUAN ………... 1 1.1 Latar Belakang………... 1 1.2 Rumusan Masalah ………... 1 II. PEMBAHASAN ………... 3

2.1 Pengertian dan Aspek Filosofi THK... 3

2.2 Pengelolaan lingkungan... 3

2.3 Bali Pulau Taman... 6

III. SIMPULAN DAN SARAN …..………... 8

3.1 Simpulan ... 8

3.2 Saran ... 8 DAFTAR PUSTAKA

(5)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bali sebagai sebuah Pulau Taman karena memang tersusun oleh banyak taman, baik yang bersifat alami seperti: taman pantai, taman danau, taman pegunungan, taman tebing, dan taman lembah, maupun taman buatan seperti: taman situs budaya peninggalan kerajaan (seperti: Taman Ujung, Taman Tirta Gangga, Taman Kertha Gosa, Taman Tirta Empul, Gunung Kawi, Goa Gajah, Taman Ayun, dan ribuan Pura Taman/Pura Beji yang ada di setiap desa pekraman serta taman keluarga yang ada di setiap pekarangan di Bali.

Gambaran tentang kondisi dimasa yang akan datang bahwa keberadaan sumber daya air, tanah, dan lahan menjadi semakin terbatas, dalam arti semakin menurunnya daya dukung lingkungan sebagai akibat semakin bertambahnya penduduk, adanya pergeseran pola hidup, dan dampak dari kegiatan pembangunan. Adanya fenomena yang menunjukkan bahwa manusia memanfaatkan sumber daya alam dengan mengeksfluitasi dan memanfaatkan sumber daya dengan cara yang tidak bijaksana, menyebabkan kondisi sumber daya menjadi rawan dan menjadi ancaman bagi kehidupan manusia, seperti bencana banjir, tanah longsor, erosi, polusi dan sebagainya. Oleh karena itu keberadaan sumber daya manusia menjadi penentu terhadap kondisi lingkungan hidupnya, baik secara individu maupun secara kolektif melalui suatu sitem kelembagaan seperti banjar, desa pekraman, subak, dan sebagainya. Untuk itulah perlu adanya tuntutan tentang keseimbangan hidup yang bersumber dari kearifan lokal yang disebut Tri Hita Karana (THK).

Dalam filosofi THK yang artinya tiga penyebab kebahagiaan, Wiana (2004) menyebutkan, bahwa hakekat THK adalah sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengabdi kepada sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkunagan. Ajaran tentang keseimbangan hidup sangat penting artinya dalam kehidupan manusia, baik untuk menata kehidupan sekarang maupun untuk menata kehidupan yang akan datang. Ajaran keseimbangan hidup menuntun manusia agar memperoleh kehidupan yang aman, nyaman, dan sejahtera.

Setia (2006) dalam uraiannya tentang THK menjelaskan, bahwa umat Hindu telah melaksanakan ajaran THK, tetapi apa yang telah dilaksanakan belum sesuai benar dengan konsepnya. Atau sudah melaksanakan tetapi hanya sebagian kecil saja, sementara yang dilanggar justru lebih banyak. Pelanggaran yang paling parah adalah pada unsur palemahan-nya yaitu yang mepalemahan-nyangkut hubungan manusia dengan alam lingkunganpalemahan-nya.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini antara lain adalah:

(6)

2. Sejauh mana kesadaran masyarakat Bali dalam pengelolaan lingkungannya?

3. Apakah Bali akan mampu mempertahankan eksistensinya sebagai pulau taman dimasa yang akan datang?

(7)

II. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Aspek Filosofi THK

Tri Hita Karana (THK) merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat Bali, warisan nenek moyang (para leluhur) yang berbasis Hinduitis. THK sudah menjadi pegangan dan pandangan hidup masyarakat Bali sejak dulu kala, namun belum diketahui secara pasti kapan dan di mana dimulainya. Data sejarah menunjukkan: kebudayaan pertanian sudah dikenal di Bali pd tahun caka 522 (Goris, ?), diperkuat oleh Prasasti Sukawana (caka 800) dan Prasasti Trunyan (caka 813), pada saat itu subak yang berfalsafah THK sudah dikenal di Bali.

Aspek filosofis THK bersumber pd 4 (empat) pemikiran filsafat, yaitu: aspek

Teosentris, Kosmosentris, Antroposentris, dan Logosentris. Teosentris merupakan teori

pemikiran filsafat bahwa segala sesuatu bersumber dari Tuhan. Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya. Antroposentris merupakan teori pemikiran filsafat bahwa manusia sebagai titik pusatnya, karena manusia lengkap memiliki tri pramana (sabda, bayu, dan idep) yang merupakan kelebihan dari makhluk hidup lainnya, yaitu memiliki kemampuan berpikir. Pada teori pemikiran filsafat Kosmosentris bahwa alamlah yang menjadi titik pusat segalanya, sedangkan Logosentris merupakan teori pemikiran filsafat bahwa istilah atau pernyataan/ungkapan yang menjadi sumbernya. Dalam hal ini Logosentris menjiwai istilah atau kata harmoni dalam THK yang dijadikan interpretasi filsafat hidup orang Bali yang senantiasa berproses, berubah, inovatif, dan konstruktif. Jadi keempat fase pemikiran tersebut diramu menjadi filsafat hidup THK sebagai suatu konsep harmoni, yang menyangkut keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan (Parhyangan), keseimbbangan hubungan antar sesama manusia (Pawongan), dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya (Palemahan). Dalam konsep ini manusialah menjadi titik sentral sekaligus subjek dalam implementasi THK dalam kehidupan sehari-hari.

2.2 Pengelolaan lingkungan

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, pada Bab I disebutkan bahwa yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Selanjutnya dijelaskan pula tentang pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga

(8)

kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu, yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab, asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, seperti yang telah diatur dalam Regveda IV.26.2 yang berbunyi:

Aham bhumimadadamaryayaha; Vrstim dasuse martyaya Ahamapo anayam vavssana mama; Devaso amu ketamayan

Artinya: Aku memberikan bumi kepada orang-orang baik dan hujan serta udara untuk umat manusia, wahai para bijaksana, datanglah kepada Ku dengan keinginan yang penuh.

Menyadari akan hal tersebut, maka masyarakat Bali seharusnya lebih bijaksana dalam mengelola lingkungan hidupnya mulai dari lingkup yang paling kecil yaitu lingkungan keluarga, banjar, desa pakraman sampai ke tingkat daerah Provinsi Bali. Di masing-masing desa pakraman sesungguhnya dalam rangka implementasi falsafah THK sudah diperkuat atau dibentengi dengan landasan hukum atau tata aturan baik berupa pasuara, pararem, maupun

awig-awig. Hanya saja sejauh mana kesadaran masyarakat mematuhi tata aturan tersebut

masih perlu dipertanyakan dan dikaji lebih lanjut.

Contoh yang paling sederhana adalah masalah sampah. Sampah merupakan masalah sederhana, tetapi bila tidak ditangi dengan baik dan tanpa didukung oleh kesadaran yang tinggi oleh semua lapisan masyarakat maka akan menjadi masalah yang sangat besar dan komplek. Sampah plastik semakin merajalela sebagai polutan pencemaran lingkungan. Banyak usaha yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah, misalnya melalui program Bali

clean and green, himbauan pemilahan sampah plastik dan sampah organik, kerjasama

dengan perusahan pendaur ulang sampah plastik, himbauan kepada para pedagang, toko, dan pasar swalayan untuk mengurangi penggunaan tas plastik, ternyata belum ampuh untuk memerangi pencemaran sampah plastik tersebut. Muncul pertanyaan apanya yang salah? Penulis punya pemikiran sepanjang sumber sampah plastik (produksi plastik) tidak dikurangi, pemakaian plastik untuk berbagai kepentingan tidak dikurangi, pembuatan dan penegakan aturan yang lebih tegas (tidak hanya sebatas himbauan belaka), niscaya permasalahan sampah plastik akan dapat ditanggulangi dengan baik. Rasanya cukup layak bila kita mau meniru keberhasilan negara tetangga kita seperti Singapura dan Thailan dalam hal pengelolaan kebersihan lingkungan. Malu rasanya sebagai warga masyarakat pula Bali yang berbasis pariwisata lingkungannya tercemar, jorok dan kotor.

Jurus yang lain yang tidak kalah pentingnya adalah membangun tingkat kesadaran seluruh lapisan masyarakat akan kebersihan, kerindangan, dan keindahan lingkungan. Tetapi melakukan perubahan yang bersifat psikologis, tradisi, dan kebiasaan-kebiasaan buruk memerlukan waktu dan komitmen yang cukup tinggi. Tindakan ini akan lebih berhasil bila dikolaborasikan lewat jalur pendidikan. Seperti yang diusulkan oleh Suja (2010), untuk

(9)

memperbaiki kondisi lingkungan sosial dan alam Bali, sangat mendesak dilakukan formulasi dan revitalisasi nilai-nilai THK dalam kehidupan pribadi dan sosial. Hal ini penting dilakukan mengingat arus globalisasi sangat kencang melanda Bali, yang menyuburkan bangkitnya paham hedomisme, premanisme, dan cuekisme. Untuk menanggulangi hal itu, nilai-nilai kearifan lokal THK perlu diperkenalkan kembali kepada masyarakat, khususnya generasi muda. Cara yang paling efektif dapat ditempuh adalah dengan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum pendidikan sains.

2.2 Bali Pulau Taman

Terkait keindahan alam, keunikan adat istiadat dan seni budayanya Bali telah menyandang berbagai julukan. Ada yang bersifat pujian seperti: Bali Pulau Dewata, Pulau Sorga, Pulau Seribu Pura, Small but complete (kecil tetapi lengkap) , Pulau Wali, Pulau Banten, Pulau Taman, Pulau Kahyangan, Pulau Dewa Dewi, Bali Bangsul, Nusaning Nusa, Pulau Seni, Pulau Bali Dwipa, Pulau Bali Rajya, Pulau Bali Pulina, Dwa-patan, Pulau Ayam, Pulau Tari, Sorga Dunia Terakhir (The Last Paradise of the World), Pulau Damai, Pulau Upacara, Jagat Bali, Gumi Bali, Gumin Iraga, Bali Mula, Bali Majapahit, Bali Tui, Pulau Canang, Pulau Subak, Pulau Cantik (Beautiful Land), Pulau Impian, Bali Museum hidup, Bagia Lila Cita Dwipa, Agraning Giri Agra, Bali Balut, Nusa Kambangan, dan masih banyak julukan dalam bahasa asing (Belanda) seperti: Baratena, Boly, Balle, Ilha, Javaminor, Het Eiland der Demonen, Het Eiland der Duizend Tempels, Jong Holland, dan Poli yang berasal dari bahasa Cina (Suada, 2014).

Kembali kepada semua julukan tersebut, yang paling erat kaitannya dengan bidang kajian Taman Tradisional Bali adalah Bali Pulau Taman. Bali dinobatkan sebagi sebuah pulau taman telah didukung oleh bukti-bukti autentik sebagai berikut:

1. Alam Bali merupakan Kumpulan Taman Alami.

Alam Bali memiliki daya tarik tersendiri, karena alam Bali terdiri dari taman pantai dan taman pegunungannya yang begitu indah. Pantai Kuta, Pandawa, Nusa Dua, dan Pantai Sanur masing-masing memberikan kesan tersendiri walaupun sama-sama memiliki keindahan dengan pasir putihnya. Pantai Suwung, Benoa, dan Pesanggaran memiliki daya tarik tersendiri pula karena keindahan taman mangropnya. Demikian pula halnya pada taman pantai yang lainnya seperti Pantai Purnama, Pantai Saba, Pantai Masceti, Pantai Goa Lawah, Pantai Sengkidu, Pantai Candi Dasa, Pantai Tulamben, Pantai Lovina, Pantai Rambut Siwi, Pantai Tanah Lot, Pantai Gangga, dan yang lainnya semuanya memiliki daya tarik masing-masing. Demikian pula taman pegunungannya yang merupakan barisan

(10)

pegungunan di bagian tengah sedikit ke utara pulau Bali berjajar dari arah timur ke barat seperti: Pucak Lempuyang, Gunung Agung, Gunung Abang, Gunung Batur, Pucak Panulisan, Pucak Mangu, dan Gunung Batukaru serta beberapa perbukitan lainnya yang pada masing-masing pucaknya dibangun tempat suci (pura) sebagai tempat pemujaan Tuhan dengan berbagai manipestasinya. Demikian pula taman Danau Batur, danau Beratan, danau Buyan, dan danau Tamblingan memiliki daya tarik tersendiri untuk dinikmati keindahan alamnya. Tidak kalah menariknya keindahan alam yang ada di taman Air Terjun Gitgit (Buleleng), Air Terjun Nungnung (Petang, Badung), dan Air Terjun Pagenungan (Gianyar). Masing-masing taman alami tersebut memiliki keunikan fisiografi dan diperkaya oleh kekhasan flora dan faunanya.

2. Taman Situs Budaya Peninggalan Kerajaan.

Cukup banyak taman-taman di Bali yang sampai sekarang menjadi obyek wisata adalah merupakan taman peninggalan kerajaan yang sangat jaya dimasa lalu. Beberapa diantaranya yang cukup terkenal seperti: Taman Ujung, Taman Tirtha Gangga di Karangasem merupakan peninggalan Kerajaan Sri Kresna Kepakisan di Kabupaten Karangsasem; Taman Kerha Gosa merupakan peninggalan Kerajaan Gelgel di Kabupaten Kelungkung; Taman Goa Gajah peninggalan kerajaan Bedahulu, Taman Tirtha Empul, dan Taman Gunung Kawi di Kabupaten Gianyar; dan Taman Ayun merupakan peninggalan Kerajaan Mengwi di Kabupaten Badung.

3. Pura Taman dan Pura Beji.

Pura Taman dan atau Pura Beji adalah merupakan taman-taman yang sangat disakralkan disetiap Desa Pakraman di Bali yang jumlahnya ribuan. Disamping disakralkan sebagai pura atau tempat suci sebagai permandian atau penyucian saran upacara dan pralingga/pratima Betara-Betari dan Dewa-Dewi sebagai prabawa Tuhan yang maha Esa (Ida sang Hyang Widhi Wasa) dari masing-masing Pura pada setiap Desa

pakraman, juga memiliki makna untuk pelestarian sumber mata air yang ada dan memiliki

nilai estetis sebagai sebuah taman yang lengkap dengan hardscape dan solfscape-nya bahkan sudah mendapat sentuhan magis-religius karena selalu ada Palinggih sebagai tempat berstananya Dewa Wisnu dan Dewi Gangga dengan tanaman bunga-bungaan yang beraneka warna serta dilengkapi dengan ornamen seni rupa Still Bali-nya.

(11)

4. Taman Buatan sebagi Bentuk Kreativitas Seni Budaya.

Mulai dari lingkup yang terkecil yaitu pada setiap pekarangan keluarga di Bali selalu ada tamannya, walaupun sangat beragam keberadaannya tergantung dari luas sempitnya lahan pekarangan dan space (ruang kosong) diantara bangunan yang ada. Pada setiap pekarangan di Bali masih kental mencerminkan pelaksanaan filosofi Tri Hita Karana dan konsep Tri Mandala-nya. Setiap pekarangan dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu Utama

Mandala sebagi tempat Parhyangan (Sanggah atau Merajan), Madya Mandala sebagi

tempat membangun rumah sebagai tempat tidur, beristirahat, dan beraktivitas sehari-hari, dan yang ketiga yaitu Nista Mandala sebagai tempat memelihara hewan ternak, budidaya tanaman, dan tempat pembuangan sampah dan kotoran.

Dalam hal ini Bali sebagai sebuah pulau taman yang dimaksud adalah taman yang sarat dengan kearifan lokal, mengedepankan nilai-nilai tradisional Bali yang adiluhur, menyatu dengan alam lingkunan flora dan fauna lokal Bali, serta dominan menggunakan material lokal Bali. Belakangan berkembang lagi dimana Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Unud dalam program jangka panjangnya berinisiatif membangun Taman Gumi Banten di Bali sehingga memperkaya identitas Bali sebagai sebuah pulau taman (Tim Taman Gumi Banten LPM Unud, 2002).

(12)

III. SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan

Dari uraian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1. Implementasi THK dalam pengelolaan lingkungan hidup di Bali belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Oleh karena itu masih perlu disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat lewat berbagai media yang ada.

2. Tingkat kesadaran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan masih perlu ditingkatkan karena belum seluruh masyarakat sadar akan pentingnya pelestarian lingkungan baik secara individu maupun kelompok.

3. Eksistensi Bali sebagai Pulau Taman akan tetap eksis sepanjang nilai-nilai Tri Hita

Karana dapat diimplementasikan dengan baik dan kesadaran masyarakat terhadap

kelestarian, keindahan, dan kenyaman lingkungan semakin meningkat.

3.2 Saran

1. Disarankan kepada pihak pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkait agar lebih menggalakkan penyebaran informasi atau mensosialisasikan nilai-nilai Tri Hita Karana kepada seluruh lapisan masyarakat, utamanya kepada para generasi muda penerus bangsa, agar tingkat kesadarannya semakin meningkat sebagai gerasi muda yang arif dan bijaksana untuk menjaga kelestarian, keindahan, dan kenyamanan lingkungan.

2. Disarankan pula kepada pemerintah dan pihak yang berwenang agar menegakkan peraturan perundang-undangan termasuk awig-awig yangn ada secara tegas dan konsekuen agar masalah pencemaran lingungan dapat diminimalisir.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Setia, Putu. 2006. Tri Hita Karana. https//id.wikipedia.org/wiki/Tri Hita Karana. (diakses: 19/10/2015.

Suada, I Nyoman. 2014. Bali dalam Persepektif Sejarah dan Tradisi dalam Relevansinya

dengan Era Global Menuju Keajegan Bali yang Harmonis. Yayasan Surya Dewata

Bali. Denpasar.

Suja, I Wayan. 2010. Kearifan Lokal Sains Asli Bali. Paramita. Surabaya.

Tim Taman Gumi Banten. 2002. Taman Gumi Banten. LPM Universitas Udayana. Denpasar.

Wiana, I Ketut. 2004. Pelestarian Lingkungan Hidup Menurut Konsep Hindu. Jurnal Widya Darma Sastra. Singaraja.

(14)

Referensi

Dokumen terkait

Kerjasama subyek dengan siswa-siswa yang lain dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor dari subyek ( intern) maupun faktor dari luar ( ekstern ), (2) siswa autis dalam

alba tergolong panjang serat dengan ukuran sedang, tebal dinding tipis dan diameter lumen serat sempit umumnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kertas dan bahan

Dari berbagai macam permasalahan LKS mengenai standar akuntansi yang harus diterapkan dalam LKS yang dalam realitanya tidak banyak diterapkan, penulis hanya akan

Minyak bekas juga mempunyai mempunyai kandungan trigliserida yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan asam lemak dan gliserol melalui reaksi

KPR Subsidi adalah suatu kredit yang diperuntukan kepada masyarakat berpenghasilan menengah kebawah dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan atau perbaikan rumah

Semakin meningkatnya konsentrasi jamur entomopatogen dan semakin banyak konidia yang menempel pada tubuh serangga, maka semakin cepat proses infeksi yang membuat

Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang terakhir diubah dengan Peraturan Presiden No. Surat Penetapan Penyedia

Sebab setelah dikenakan pajak, produsen akan berusaha mengalihkan (sebagian) beban pajak tersebut kepada konsumen, yaitu dengan jalan menawarkan harga jual yang lebih tinggi6.