• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM ASY-SYAFI I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM ASY-SYAFI I"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM ASY-SYAFI’I

A. BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH 1. Silsilah Imam Abu Hanifah

Nama lengkap Abu Hanifah ialah Abu Hanifah al-Nu‟man bin Tsabit Ibn Zutha al-Taimy. Lebih dikenal denagn sebutan Abu Hanifah. Ia berasal dari Arsi, lahir di Kufah tahun 80 H / 699 M dan wafat di Baghdad tahun 150 H /767 M. ia menjalani hidup di dua lingkungan sosial politik yakni di masa akhir dinasti Umayah dan masa awal dinasti Abbasiyah.23

Abu Hanifah adalah putra Tsabit bin Zuthi seorang keturunan Persia, ayah Abu Hanifah seorang pedagang besar, bahkan ayahnya pernah berjumpa dengan Ali bin Abi Thalib24. Karenanya Abu Hanifah sebelum memusatkan perhatiannya kepada ilmu, turut berdagang di pasar menjual kain sutra. Disamping berniaga, beliau tekun juga menghafal al-Qur‟an dan amat gemar membacanya. Daya intelektual Imam Abu Hanifah menarik perhatian orang-orang yang mengenalnya, oleh karena itu asy- Sya‟bi menganjurkan supaya Abu Hanifah mencurahkan perhatiannya pada ilmu, dengan anjuran seperti itu Imam Abu Hanifah mulai terjun ke lapangan ilmu, tetapi walaupun begitu, beliau tidak melepas perniagaanya sebagai pedagang sama sekali.

Kufah di masa itu suatu kota besar, tempat tumbuhnya rupa-rupa ilmu, tempat berkembangnya kebudayaan, masalah-masalah politik, dasar- dasar aqidah di kufah tumbuhnya, dan juga beberapa golongan yang ikut mewarnai, yaitu golongan Syiah, Khawarij, Mu‟tazilah, sehingga lahirlah ahli-ahli ijtihad terkenal.

23 Huzaimah Tahido Yangdo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 95

24 M. Hasbi Asshidiqi. Pokok-Pokok Pegangan Ilmu Mazhab. Cet. Ke-I, (Semarang: PT.

Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 442

22

(2)

Di kufah kala itu terdapat tiga halaqoh ulama;

1. Halaqoh untuk mengkaji bidang aqidah 2. Halaqoh untuk mengkaji bidang hadis 3. Halaqoh untuk mengkaji bidang fiqih25

Imam Abu Hanifah berkonsentrasi dalam bidang fiqih, sungguhpun demikian Imam Abu Hanifah tidak menjauhi lapangan lapangan lain.

Beliau menguasai bidang qiroat, bidang arobiah dan ilmu kalam. Beliau turut berdiskusi dalam bidang kalam dan menghadapi partai-partai keagamaan yang tumbuh pada masa itu. Pada akhirnya beliau menghadapi fiqih dan menggunakan daya akalnya untuk fiqih dan perkembangannya.

Untuk mendalami ilmu yang digelutinya, yakni ilmu fiqih, Imam Abu Hanifah mendatangi para Tabi‟in yang berguru pada sahabat-sahabat besar dan sahabat-sahabat terkemuka, di antaranya yaitu; Umar Bin Khatab, Ali Bin Abi Talib, Ibnu Masud, dan Ibnu Abbas.

Walaupun beliau sibuk dalam belajar dan mendalami ilmu syari‟at, tetapi beliau tetap tidak melepaskan kegiatan rutinitasnya, yaitu sebagai pedagang dalam kehidupan sehari-harinya. Abu Hanifah adalah seorang yang berkecukupan dalam kehidupan sehari-harinya, beliau tidak tamak, tidak takut kehabisan harta, sangat memelihara amanah orang yang di titipkan Padanya, murah hati dan baik dalam segala hal. Beliau juga terkenal jujur dalam bermuamalah dan menghindari tawar menawar. Ja‟far bin Robi berkata; saya tinggal bersama Abu Hanifah selama lima puluh tahun, dan saya tidak melihat orang yang lebih lama diamnya dari padanya, apabila ia ditanya tentang fiqih maka ia terbuka dan mengalir seperti lembah,, dan saya mendengar pembicaraannya bergema dan keras ia seorang Imam dan tokoh dalam qiyas26

Abu Hanifah memiliki sifat-sifat yang menundukan kepuncak ilmu di antara para ulama. Beliau mempunyai sifat yang sama dengan sifat-sifat yang harus ada pada seseorang alim al‟alamah yaitu sifatnya adalah:

25 M. Hasbi Asshidiqi. Pokok-Pokok Pegangan Ilmu.,, h. 442

26 Hudhori Bik. Tarikh Tasyri al-Islam, alih bahasa, Mohammad Zuhri, (Darul Ihya, Indonesia), h. 409

(3)

a. Abu Hanifah memiliki perawakan sedang, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, kulitnya kecoklat-coklatan, memiliki postur tubuh yang bagus, suaranya bagus dan enek didengar.

b. Seorang yang teguh pendiriannya, yang tidak dapat diombang ambing pengaruh-pengaruh luar.

c. Berani mengatakn salah pada yang salah, walau yang disalahkan itu seorang yang berpengaruh besar, dengan kata lain konsekwensi hukum.

d. Mempunyai jiwa merdeka, tidak mudah larut dalam pribadi orang lain.

e. Suka meneliti segala yang dihadapi, tak berhenti pada dasarnya sajah tetapii terus mendalami isinya, karena beliau selalu mencari ilat-ilat hukumnya.

f. Mempunyai daya tangkap yang luar biasa untuk memecahkan hujjah lawan27

2. Pengalaman Imam Abu Hanifah dalam belajar

Pengaruh dan pengalaman yang dialami oleh Imam Abu Hanifah memberi kesan dalam perkembangan ilmu dan pengaruhnya pada perluasan fikiran. Kehidupan Imam Abu Hanifah dan pengalaman- pengalamannya menuju pada pembukaan fiqih Iraq, yaitu fiqih yang disesuaikan situasi, kondisi, dan keadaan di Negara Iraq.

Karena Imam Abu Hanifah seorang pedagang maka beliau banyak bergaul dengan masyarakat ramai, sehingga Abu Hanifah sangat pandai mempergunakan istihsan yang dipakai di waktu tak dapat digunakn qias dan urf, beliau langsung menghubungi masyarakat dan mempelajari muamalah mereka.

Salah satu pengalamannya juga, Abu Hanifah banyak melawat, kurang lebih lima puluh lima kali beliau berhaji. Dalam pelawatannya

27 Hasbi Assidiqy, Pokok-Pokok Peganagn Imam Mazhab, Cet. Ke-I, (Semarang: PT.

Pustaka Karya Putra. 1997), h. 448

(4)

sering berjumpa dengan Imam Malik di Madinah dan menjumpai al- Auza‟i, dan berdiskusi dengan mereka.28

Untuk mempertahankan Islam, Imam Abu Hanifah sering bermusyawaroh dalam bidang aq‟aid dan fiqih di setiap tempat yang di kunjunginya, antara lain; Makkah, Madinah maupun kota-kota lainya, ketika Imam Abu Hanifah pindah kekota Basrah, beliau sering berdebat dengan tokoh-tokoh fiqih dengan perdebatan dan diskusi-diskusi itu Imam Abu Hanifah dapat menyelam lebih dalam dan jauh jalan-jalan qiyas yang belum di sadarinya dan fatwa-fatwa sahabat yang belum di ketahuinya.

Imam Abu Hanifah dalam memberikan kuliahnya tidak menempuh jalan dikte ataupun ceramah, melainkan beliau mengemukakan masalah- masalah pada murid-muridnya lalu dibahas bersama-sama. Cara seperti ini dapat menambahkan ilmu dan wawasan bagi kedua belah pihak. Dengan metode musyawaroh dan diskusi, Imam Abu Hanifah mengharapkan agar murid-muridnya ahli debat bukan ahli catat. Setiap murid-muridnya yang sudah dianggap mampu untuk berdiri sendiri, Imam Abu Hanifah menganjurkan agar mendirikan majlis, dan beliau selalu menasehati setiap murid yang akan mendapat pekerjaan yang dianggap penting.

Dalam pengalamannya, Imam Abu Hanifah pernah ditunjuk oleh Imam Hubairoh (salah satu wali Iraq) untuk menjadi hakim pada masa kekuasaan Daulah Ammawiyah, namun tawaran yang diberikan oleh Hubairoh ditolaknya, sehingga Imam Abu Hanifah dipenjara dan di siksanya29. Tawaran semacam itu pula dialami oleh Imam Abu Hanifah pada masa Abbasiyah, namun sama tawaran itu ditolaknya, sehingga Abu Hanifah dipenjara sampai meninggal pada tahun 150 H (767 M).

Ada yang mengartikan bahwa penolakan itu menurut kabar yang tersiar dari Imam Abu Hanifah sendiri, ialah karena ketidaksetujuan dengan politik yang dilakukan oleh penguasa negara pada waktu itu. Akan tetapi ada pula yang mengatakan kepercayaan beliau seperti sementara

28 Hasbi Assidiqy. Pokok-Pokok Peganagn Imam.,, h. 450

29 Hudhori Bik. Tarikh Tasyri al-Islam.., h. 408

(5)

orang lain juga, bahwa pemangkuan jabatan dalam pemerintahan akan mendorong pada kecacatan dan akan merugikan agama dan kehormatan.30

3. Imam Abu Hanifah di bidang Politik, Sosial dan Kebudayaan a. Politik

Imam Abu Hanifah mengalami masa kejayaan Bani Umayah, dan masa kejatuhannya. Beliau hidup dalam masa pertumbuhan cita- cita Abbasiyah yang mula-mula tumbuh di tengah-tengah pengawasan ketat mata-mata bani umayah. Imam Abu Hanifah mengalami semua itu dan terpengaruh jiwanya.

Imam Abu Hanifah cenderung pada keturunan Ali dan jihat Fatimah. Pada masa itu Imam Abu Hanifah tidak ke medan pertempuran secara fisik, ia mencukupinya dengan ifta dan sebagainya. Abu Hanifah juga tetap menempatkan Abu Bakar dan Umar di tempat teratas, namun Imam Abu Hanifah tidak mendahulukan Utsman atas Ali, walaupun tidak mencela Utsman.31

Pendapat Imam Abu Hanifah bahwasanya Ali berada di pihak yang benar dalam segala pertempuran, maka dengan sendirinya Imam Abu Hanifah tidak simpati kepada khalifah Ammawiyah.

Di ketika Yazid bin Umar Ibn Hubairoh menjadi gubernur Iraq, dia meminta Abu Hanifah mengendalikan pengadilan, atau menjadi bendaharawan negara, penawaran ini hanya untuk menguji sampai dimana partisipasi Imam Abu Hanifah kepada pemerintah Bani Umayah. Abu Hanifah menolak demikian pula al-Mansyur menyuruh Abu Hanifah jadi hakim, ia tetap menolak. Kemudian Imam Abu Hanifah dapat meloloskan diri dari penjara dengan pertolongan tukang cambuknya. Ia melarikan diri ke Makah pada tahun 130 H dan bermukim di sana. Barulah pada tahun 136 H di masa al-Mansyur, Imam Abu Hanifah kembali ke kuffah.32

30 Subhi Mahmasni, Filsaftut Tasyri Fil Islam, alih bahasa, Ahmad Sudjono, Cet. Ke- I (Bandung: PT. al-Ma‟arif, 1976), h. 456

31 Hasbi Asshidiqi, Pokok-Pokok Pegangan Imam.,, h. 456

32 Hasbi Asshidiqi, Pokok-Pokok Pegangan Imam.,, h. 445

(6)

Pada mulanya Imam Abu Hanifah menghadapi Bani Abbas penuh dengan kegembiraan, beliau sangat simpati terhadap pemerintahan Bani Abbas, karena pemerintahan ini dibangun berdasarkan kepada wasiat salah seorang cucu Ali bin Abi Thalib, namun setelah adanya persengketaan antara khalifah-khalifah Bani Abas dengan keturunan Ali, Imam Abu Hanifah mulai berpaling dari Bani Abbas. Imam Abu Hanifah mengkritik khalifah abbasiyah terhadap tindakan-tindakan mereka terhadap keturunan Ali.

Abu Hanifah juga mengkritik keras putusan-putusan hakim dan fatwa-fatwa ulama pemerintah. Karena itu Abu Hanifah di penjara dan di cambuk, akhirnya Abu Hanifah wafat sebagai akibat dari penderitaan-penderitaan dalam tahanan rumah.33

b. Sosial

Dalam kehidupan bermasyarakat Imam Abu Hanifah terkenal dengan sabar dan pemaaf. Selama itu juga beliau memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Walid bin Qosim berkata: “Abu Hanifah adalah seorang yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap para sahabatnya selalu bertanya kondisi mereka, ketika beliau mengetahui ada diantara mereka yang mempunyai kebutuhan, maka beliau selalu memberikan bantuan. Kalau ada diantara mereka atau sanak saudara mereka yang sakit maka beliau membesuknya, kalau ada diantara mereka atau sanak saudara mereka yang meninggal maka beliau selalu mengiringi jenazahnya. Beliau selalu memberikan bantuan pada para sahabatnya atau sanak sudaranya yang ditimpa musibah, beliau memiliki watak pemurah dan tidak ada seseorangpun yang mengutarakan kebutuhannya yang tidak pernah dipenuhi oleh beliau”.

Beliau mempunyai tetangga kafir dan pemabuk, yang selalu begadang dan selalu berteriak-teriak ketika terkena musibah. Pada suatu saat ditangkap oleh polisi dan di penjara. Seiring dengan Abu Hanifah mengetahuinya lalu beliau mendatangi hakim guna untuk

33 Hasbi Asshidiqi, Pokok-Pokok Pegangan Imam.,, h. 445-446

(7)

melepaskan pemuda itu dari penjara. Tidak lama kemudian pemuda itu dibebaskan.

Abu Hanifah mengeluarkan 10 dinar dan mengeluarkanya pada pemuda itu. Seraya berkata: “cukuplah dengan harta ini, kekurangan pemasukanmu di waktu berada dalam penjara, kalau dalam suatu hari nanti kamu butuh sesuatu, sampaikanlah padaku. Jangan sampai ada jarak antara kamu dengan kami dan bergabunglah bersama istrimu untuk membahagiakannya atas kedatanganmu”.

c. Kebudayaan

Kejeniusan daya intelektual yang dimiliki oleh Imam Abu Hanifah mampu menggali ilmu sebanyak-banyaknya. Beliau memiliki kelebihan di bidang teori, analogi dan logika sehingga beliau dikatakan tokoh rasionalis.

Dalam disiplin ilmu syari‟at, bahasa, sastra serta filsafat, beliau bagaikan lautan yang tak terbendung dan tidak ada mengungguli, sehingga beliau mampu mengimbangi perkembangan budaya yang berkembang di kuffah. Pada waktu itu perkembangan budaya di kuffah berkembang sangat pesat dan kuffahpun menjadi pusat kebudayaan Islam.

Seiring dengan perkembangan budaya beliau memberikan kontribusi pemikiran dari segala bidang ilmu terutama ilmu ushul dan ilmu fiqih. Pemikiran yang dilahirkan oleh pemikiran Imam Abu Hanifah menimbulkan terbentuknya Madzhab Hanafi.

4. Pemikiran Fiqih Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah adalah seorang faqih yang cukup besar dan luas pengaruhnya dalam pemikiran hukum Islam. Sebagaimana diceritakan oleh Muhammad Abu Zahroh, bahwa Abu Hanifah adalah seorang faqih dan ulama yang lebih banyak menggunakan ra‟yu, atau setidak-tidaknya

(8)

lebih cenderung rasional dalam pemikiran ijtihadnya34. Kecenderungan rasionalis dalam fiqihnya Imam Abu Hanifah banyak di pengaruhi sosio- kultural dan kebudayaan yang berkembang di Iraq, karena pada waku itu Iraq sebagai kota tempat berkembangnya cabang-canbang ilmu, sehingga banyak diskusi-diskusi keilmuan yang dilakukan oleh para ulama termasuk Imam Abu Hanifah.

Toha Jabir Riadl al-Ulwani, membagi pemikiran Imam Abu Hanifah menjadi dua bagian, yaitu:

a. Pemikiran pokok (primer)

Sebagaimana pernyataan Iamam Abu Hanifah sendiri;

هت دجواذا للها بتكب ت ذخا نيا وسر ةنسب ت دخا هىف دجا لمامف ,

ا ل ص لله لى ا لله

عل ملسو هي للها باتك فى دجا لم اذافراثلااو

نسلاو ة ع للها ىلص للها لوسر هيل

ملسو

تذخا نم هب احصا لوقب سن

ة لذ وق نم جرخالا ىىتتا اذاف ممرهي لوق ى ا م

شلا ميما ربا ى ارملاا نب ءا

بى ا نباو نسلح تجا نا ىلع نبا ديعسو نيرهس

ى امك د

تجا ى اود

“saya berpegang pada kitab allah apabila menemukannya, jika saya tidak menemukannya saya berpegang pada sunah, saya berpegang pada atsar, jika saya tidak menemukan dalam kitab dan sunah saya berpegang pada pendapat para sahabat dan mengambil mana yang saya sukai dan meninggalkan yang lain, saya tidak keluar dari pendapat mereka kepada yang lainnya, maka jika persoalan sampai pada Ibrahim al-Sya‟bini, al-Hasan, Ibnu Sirin, Said Ibnu Musayyab, maka saya harus berijtihad sebagaimana mereka telah berijtihad.35

Kutipan di atas menunjukan bahwa Imam Abu Hanifah dalam melakukan istinbath hukum berpegang kepada sumber dalail yang sistematis namun dalam penggunaan qiyas sepanjang dapat diterapkan jika memenuhi persyaratan. Jika qiyas tidak mungkin dilakukan terhadap kasus-kasus yang dihadapi maka pilihan alternatifnya adalah menggunakan istihsan.

34 Romli SA, Muqoronah Madzahib Fil Ushul, Cet. Ke-I. (Jakarta: Gaya Media Pertama, 1999), h.47

35 Romli SA, Muqoronah Madzahib Fil Ushulh, h. 48

(9)

Melalui pernyataannya itu sudah jelas bahwa ia dalam mengistinbatkan hukum tunduk pada al-Qur‟an dan as-Sunnah, membandingkan pendapat sahabat dan memilih pendapat yang memuaskannya. Adapaun tentang tabi‟in, ia berpandapat bahwa dirinya berhak menyapakati mereka atau menyelisihinya menurut hasil ijtihadnya, sebab ia sama dengan mereka, ia memiliki pendapat dan ijtihad seperti mereka, dia adalah orang yang memiliki kemampuan, karena itu dia berhak meneliti dan berpendapat sesuai dengan ijtihadnya. Kemudian jika tidak menemukan dari ketiga sumber itu, barulah ia melakukan ijtihad sesuai metode ijtihad yang ia yakini kebenarannya.

Hasby asy-Syiddieqi, menguraikan dasar-dasar pegangan Imam Hanafi, dan dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar pegangan Madzhab Hanafi adalah:

1) Kitab Allah (al-Qur‟an)

Suatu hal yang menjadi permasalahn al-Kitab dalam pandangan Madzhab Hanafi adalah apakah yang dinamakan al- Qur‟an itu hanya maknanya atau lafaznya sajah atau kedua- duanya. Menurut As-Sarkasi, al-Qur‟an dalam pandangan Hanafi hanya maknanya sajah, bukan lafazh dan makna. Adapun menurut al-Badzdawi, Abu Hanifah menetapkan al-Qur‟an adalah lafazh dan maknanya.

Jika diambil pendapat as-Sarkhasi, Abu Hanifah membolehkan kita shalat dengan membaca terjemahan al- Fatihah dan dapat dipandang bahwa terjemhan al-Qur‟an sama dengan al-Qur‟an itu sendiri.

Perbedaan pendapat itu disebabkan oleh tidak adanya pendapat yang jelas dari Abu Hanifah. Akan tetapi, “ia membolehkan membaca terjemahan al-Qur‟an dalam shalat, baik kita membaca ataupun tidak. pendapat tersebut dibantah Abu Yusuf dan Muhammad al-Hasan, yang tidak membolehkan

(10)

hal tersebut, kecuali apabila tidak sanggup membaca al-Qur‟an dengan lafazh Arabnya”.36

Ulama Mazhab Hanafi berpandangan bahwa pesan al- Qur‟an tidak semuanya qath‟i dalalah. Ada beberapa hal yang memerlukan interpretasi terhadap hukum yang ditunjukan oleh al-Qur‟an tersebut, terutama ayat-ayat yang menerangkan muamalah umum manusia.

Dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan muamalah tersebut, porsi penggunaan akal dalam mencari hukum suatu masalh lebih besar. Hal itu telah dibuktikan, baik oleh Imam Hanafi, maupun oleh murid-muridnya, dan arena ini juga Mazhab Hanafi dijuluki mazhab yang paling umari dan mazhab liberalis dan rasyonalis.37

Dalam memahami al-Qur‟an, ulama Mazhab Hanafi tidak hanya melakuakan interpretasi terhadap ayat-ayat yang masih mujmal, tetapi mereka juga melakukan penelaahan terhadap

„amm dan khas ayat al-Qur‟an tersebut. Dan inilah yang tampaknya menjadi ciri khas ulama-ulama Irak yang dipelopori oleh Imam Hanafi dan ulama-ulama Hijaz yang semazhab dengan mereka.

Menurut ulama Hanafiah, hukum khas mencapai yang makhsus adalah qathi‟ tanpa perlu adanya bayan, khasasul Qur‟an, qhati‟ di dalamnya, dan segala nash yang mengubah hukumnya dipandang nasikh, dan nasikh harus sama kuatnya dari segala tsubut-nya. Pendapat ulama Hanafiah tersebut merupakan hasil takhrij dari hukum-hukum furu yang ditetapkan oleh Abu Hanifah sendiri.

Ammul Qur‟an sama dengan khas, qath‟i dalalahnya selama ia bukan muawwal. Ammul Qur‟an mempunyai dua

36 Hasbi Ash-Shiddieqi, Poko-Poko Pegangan Imam Mazhab Dalam Membina Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 137.

37 Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), h. 159.

(11)

sifat, qath‟iyyu al-dalalah dan yang kedua qath‟iyyu al-subut.

Oleh karena itu, hadis-hadis ahad tak dapat menentangnya.

Hadis-hadis ahad meskipun di khas, dhanni wurud-nya.

Hal inilah yang menjadikan salah satu titik yang membedakan fuqaha ra‟yi dan fuqaha hadis. Fuqaha ra‟yi mengumumkan al-Qur‟an, tidak mengkhususkan dengan Hadis ahad. Fuqaha Hadis, sebagai mana yang dikemukakan oleh asy- Syafi‟i dalam ar-Risalah dan al-Umm, mengkhususkan amm al- Qur‟an dengan Hadis Ahad.

Ayat-ayat al-Qur‟an yang berpautan dengan hukum, selain diteliti dari segi amm dan khas nya juga harus ada usaha bayan, karena sifatnya mujmal atau agak tersembunyi maknanya, memerlukan tafsir, takwil, atau sifat-sifatnya mutlaq memerlukan taqyid. Oleh karena itu, ulama Hanafiah berpendapat bahwa as-Sunah bisa menjadi bayan bagi al- Qur‟an.38

Bayan al-Qur‟an menurut Hanafi terbagi tiga bagian:

a) Bayan taqrir, seperti sabda nabi, “berpuasalah kamu setelah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah melihatnya”

b) Bayan tafsir, seperti hadis yang menerangkan kaifiat shalat, kaifiat haji, zakat, cara memotong tangan pencuri dan menerangkan hukum-hukum yang berkenaan dengan riba.

c) Bayan tabdin atau yang disebut juga bayan naskh. al- Qur‟an boleh dinsakhkan dengan as-Sunah dengan syarat bahwa as-Sunah tersebut adalah mutawatir atau musyhurah dan mustafidhah

2) Sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang sahih serta telah masyhur diantara para ulama yang ahlu

38 Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h. 160-161

(12)

Dasar kedua yang digunakan oleh Mazhab Imam Hanafi adalah as-Sunah. Martabat as-Sunah terletak dibawah al-Qur‟an.

Imam Abu Yusuf berkata, “aku belum pernah melihat seorang yang lebih alim tentang menafsirkan hadis daripada Abu Hanifah. Ia adalah seorang yang mengerti tentang penyakit- penyakit hadis dan men-tadil dan men-tarjih hadis.39

Tentang dasar yang kedua ini, Mazhab Hanafi sepakat mengamalkan as-Sunah yang mutawatir, mashur, dan shahih, hanya sajah, Imam Hanafi sebgai mana ulama Hanafiah, agak ketat menetapkan syarat-syarat yang dipergunakan untuk menerima Hadis ahad.

Abu hanifah menolak Hadis ahad apabila berlawanan dengan ma‟na al-Qur‟an, baik ma‟na yang ditarik dari nash, atau yang diambil dari ilat hukum. Ali Hasan Abd. al-Qadir mengatakan “musuh-musuh Abu Hanifah (orang yang tidak senang dengan Abu Hanifah) menuduhnya tidak memberikan perhatian yang besar terhadap hadis. Ia memperioritaskan ra‟yu.

Abu Shalih al-Fura menuturkan, “aku mendengar Ibn Asbath berkata,” Abu Hanifah menolak 400 Hadis atau lebih.”

Abu Hanifah menerima hadis ahad, jika tidak berlawanan dengan qiyas. Tapi jika berlawanan Hadis ahad denagn qiyas yang ilatnya mustanbath dari suatu ashal yang dhani, walaupun dari ashal yang qath‟i, atau diistinbahkan dari ashal yang qath‟i, tetapi penerapan kepada furu adalah dhanni, maka Hadis ahad didahulukan atas qiyas.40

3) Fatwa-fatwa dari Sahabat dan 4) Ijma

39 Moenawar Cholil, Empat Biografi Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h.

57.

40 Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h. 161-162.

(13)

Imam Abu Hanifah sangat menghargai pendapat para sahabat. Dia menerima, mengambil, serta mengharuskan umat Islam mengikutinya. Jika ada suatu masalah berbeda pendapat sahabat, maka ia mengambil salah satunya. Dan jika tidak ada pendapat-pendapat sahabat pada suatu masalah, ia berijtihad dan tidak mengikuti pendapat tabiin. Menurut Abu Hanifah, ijma sahabt ialah: “kesepakatan para mujtahidin dari umat Islam di suatu masa sesudah Nabi, atas suatu urusan.”

Ta‟rif itulah yang disepakati ulama Ahlu al-Ushul. Ulama Hanafiah menetapkan bahwa ijma itu dijadikan sebgai hujah.

Mereka menerima ijma qauli dan ijma sukuti. Mereka menetapkan bahwa tidak boleh ada hukum baru terhadap suatu urusan yang telah disepakati oleh para ulama, karena membuat hukum baru adalah menyalahi ijma. Paling tidak, ada tiga alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanafiah dalam menerima ijma‟

sebagai hujjah:

a) Para sahabat berijtihad dalam menghadapi masalah yang timbul. Umar bin Khaththab dalam nrnghadapi suatu masalah, sering memanggil para sahabat untuk diajak bermusyawarah dan bertukar pikiran. Apabila dalam musyawarah tersebut diambil kesepakatan, maka Umar pun melaksanakannya.

b) Para Imam selalu menyesuaikan pahamnya dengan paham yang telah diambil oleh ulama-ulama di negerinya, agar tidak dipandang ganjil, dan tidak dipandang menyalahi umum. Dan difatwakan oleh ulama-ulama Kufah.

c) Hadis-hadis yang menunjukan keharusan menghargai ijma seperti:

نسح للهادنعوىفانسح نوملسلدامأرام

“sesuatu yang dianggap baik oleh kaum muslimin, dianggap baik pula di sisi Allah.”

(14)

Dengan demikian, jelas bahwa ulama Hanafiah menetapkan bahwa ijma merupakan salah satu hujah dalam agama, yang merupakan hujah qath‟iyyah. Mereka tidak membedakan antara macam-macam ijma. Oleh karena itu, apapun bentuk kesepakatan yang datangnya dari kesepakatan para ulama/masyarakat, itu berkat atas penerapan suatu hukum dan sekaligus menjadi hujah hukum. 41

5) Al-Qiyas

Qiyas adalah “penjelasan dan penetapn suatu hukum tertentu yang tidak ada nashnya dengan melihat masalah lain yang jelas hukumnya dalam kitabullah atau as-Sunah atau ijma‟

karena kesamaan ilatnya”. Yang menjadi pegangan dalam menjalankan qiyas adalah bahwa segalanya hukum syara‟

ditetapkan untuk menghasilkan kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun diakhirat. Hukum-hukum itu mengandung pengertian-pengertian dan hikmah-hikmah yang menghasilkan kemaslahatan, baik yang diperintahkan maupun yang dilarang, atau yang dibolehkan ataupun yang dimakruhkan. Semuanya demi kemaslahatn umat.

Walaupun demikian, tidak berarti bahwa semua masalah yang baru timbul dan tidak ada hukumnya dalam al-Qur‟an dan As-Sunah serta ijma‟, boleh diqiyaskan begitu sajah, atas dalih kemaslahatan umum. Ada bebrapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi tatakala hendak mengqiyaskan suatu permaslahan kepada hukum lama, diantara rukun yang harus dipenuhi dalam qiyas adalah:

a) Ashal, yaitu sesuatu yang dinaskan hukumnya yang menjadi tempat mengqiyaskan, dalam istilah ushul fiqih disebut al-ashlu atau al-maqis alaih atau al- musyabbah bihh;

41 Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h. 163.

(15)

b) Cabang (al-far‟u), yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya. Dalam istilah ushul fiqih disebut al-far‟u, almaqis atau al-musyabbah;

c) Hukum ashal, yaitu hukum syara yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pada cabang;

d) Illat hukum, yaitu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan atau yang munasabab dengan ada dan tidak adanya hukum dan illat inilah yang akan menjadi titik tolak serta pijakan dalam melaksanakan qiyas.42

6) Al-Istihsan

Istihsan yang diartikan sebagai “kontruksi yang menguntungakn” (favourable construction), atau juga sering dikatakan sebagai pilihan hukum (juristic preference) dijadikan hujjah oleh fuqaha Mazhab Hanafi (Abdullah Ahmed An- Na‟im, 1994: 50). Daripada menggunakan dan mengikuti qiyas secara kaku, seorang fuqaha Hanafi lebih suka memilih (yahtasin) jalan keluar yang lain, yaitu meninggalkan qiyas yang tersembunyi atau halus (qiyas khafi), sebuah divergensi qiyas yang jelas (jail) dan bersifat exsternal dengan model pengambilan keputusan dari dalam diri yang terkondisi.43

7) Al-„urf

„Urf (adat kebiasaan), dalam batas-batas tertentu diterima sebagai sumber syariah oleh Mazhab Hanafi. Menurut Mazhab Hanafi, „urf dapat melampui qiyas, namun tidak dapat melampui nas al-Qur‟an dan as-Sunnah. Sahal Ibn Muzahim berkata,

“pendirian Abu Hanifah adalah mengambil yang terpercaya dan lari dari keburukan serta memerhatikan muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Ia melakukan segala urusan atas qiyas. Apabila tidak baik dilakukan qiyas, ia

42 Nazar Bakri, Fiqh Dan Ushul Fiqh, (Bandung: Rajawali Press, 1993), h. 47.

43 Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h. 165.

(16)

melakukannya atas istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan istihsan, kembalilah ia kepada „urf manusia” (Abdullah Ahmad an-Na‟im, 1994: 53)

Dari berbagai uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik metode Abu Hanifah adalah:

a) Abu Hanifah menggunakan qiyas atau istihsan yang tidaka ada nash. Abu Hanifah hanya mengambil yang lebih tepat daiantara qiyas dan istihsan

b) Apabila tidak dapat dijalnkan qiyas atau istihsan, Abu Hanifah mengambil „urf, apabila tidak ada nash al-Qur‟an, as-Sunnah, ijma, dan istihsan, baik istihsan qiyasi maupun istihsan istisna‟i (atsar, istihsan, ijma, dan istihsan darurat).

b. Pemikiran Skunder

Dalam ini Abu Hanifah berpijak pada : 1) Bahwa dalam „am adalah qot‟i

2) Pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat khusus

3) Banyaknya yang meriwayatkan bukan berarti yang lebih kuat 4) Adanya penolakan mafhum syarat dan sifat

5) Berpegang pada perbuatan rowi, bukan riwayatnya, jika perbuatanya menyalahi riwayatnya

6) Mendahulukan qiyas atas hadis ahad yang dipertentangkan 7) Menggunakan istihsan dan meninggalkan qiyas jika diperlukan44

Imam Abu Hanifah dalam pemikiran fiqihnya banyak mengambil fiqih Makkah dan Madinah, dan meriwayatkannya hadis Rasulullah. Selain itu juga Imam Abu Hanifah banyak mempersoalkan cabang-cabang dari satu pokok, banyak mempergunakan qiyas, membuat masalah-masalah yang belum terjadi untuk diberikan hukum

44 Jaih Mubaroq, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam. Cet. Ke-III, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), h. 75

(17)

atau yang dinamakan hukum taqdiri. Usaha Imam Abu Hanifah mengembangkan fiqih taqdiri.

Atas dasar inilah Imam Abu Hanifah melakukan istinbath hukum dan cara ini menjadi dasar penggunaan dalam menentukan dan membina hukum Islam.

5. Karya Imam Abu Hanifah

Abu Hanifah Nu‟man ibn Tsabit Al-kufi, adalah pendiri Mazhab Hanafi salah satu mazhab ahlu sunnah yang empat. Dia sering menggunakan ijtihad dan dalil akalnya. Tidak pernah diketahui bahwa dia mengarang buku fiqih. Akan tetapi, dia sering berdiskusi dengan murid- muridnya, mendiktekan pendapat-pendapatnya kepada mereka. Pada akhirnya karangn murid-muridnyalah yang dijadikan rujukan utama dalam mazhab fiqih yang di dirikannya.45

Jalan yang ditempuh oleh Imam Abu Hanifah dalam menyikapi al- Qur‟an adalah sama dengan jalan para Imam madzhab yang lain. Jika mereka berbeda pendapat tentang sesuatu yang berkenaan dengan al- Qur‟an, maka perselisihan itu hanyalah terbatas pada kandungan maknanya, dan cara pengambilan hukumnya. Adapaun dalam hal penerimaan Hadis, Imam Abu Hanifah sangat berhati-hati. Dia meneliti semua rijal Hadis sampai yakin betul bahwa Hadis itu shahih.

Disamping itu, Imam Abu Hanifah juga mempelajari fiqih dengan teori-teori kajiannya dari Hammad bin Abu Sulaiman salah seorang ulama fiqih dari aliran rasionalis di kufah. Dia belajar dengan Hammad dalam tempo yang tidak kurang dari delapan belas tahun, sampai gurunya itu meninggal tahun 120 H. namun sebagaimana Abu Zahran katakana, dia tidak mengkhususkan diri untuk belajar di seluruh waktunya. Sebagai pedagang pada waktu-waktu tertentu dia mengurus dagangannya, dan diwaktu-waktu lain dia belajar.46

45 Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dama Sejarah Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), h. 45

46 Dede Rosadah, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 110

(18)

Kemudia dia juga belajar dengan para ulama lain lewat dialog- dialog dan tukar pandangan, baik pada saat menunaikan ibadah haji, ataupun dalam kesempatan-kesempatan lainnya. Dan bahkan pada tahun 130 H, Imam Abu Hanifah sempat mukim dikota makkah untuk beberapa tahun, dan mempelajari hadis-hadis nabi, serta ilmu-ilmu keagamaan lainya dari tokoh-tokoh yang sampai ia jumpai.

Akan tetapai, pengalaman-pengalaman dia dari luar kufah hanya sekedar memperkaya koleksi hadis-hadisnya, sementara metodologi kajian fiqihnya lebih mencerminkan aliran madrasah ra‟yu yang dia pelajari dari Hammad, dengan al-Qur‟an dan al-Sunah sebagai sumber hukum kesatu dan kedua. Kemudian kalau keduanya tidak secara tegas menyatakan ketentuan-ketentuan hukum persoalan yang sedang di kajinya, dia mempelajarinya dari perkataan sahabat, baik dalam bentuk ijma‟ maupun fatwa. Kalau ketiganya tidak menyatakn secara eksplisit ketentuan hukum persoalan-persoalannya itu dia mengkajinya denagn akal lweat qiyas dan istihsan, atau melihat tradisi-tradisi yang berkembang dalam masyrakat yang ditaatinya secara bersama-sama.

Dengan kemampuannya merumuskan pedoman serta kaidah-kaidah dalam ijtihadnya ini, Imam Abu Hanifah dinilai oleh para ulama fiqih sebagai seorang mujtahid mustaqil, yang mampu melakukan kajian-kajian fiqih secara mandiri, dan tercipta madzhab fiqih yang dinisbatkan pada dirinya. Imam Abu Hanifah tidak menulis kitab secara langsung.47

Dalam sejarah tidak ditemukan satu kitabpun dalam bidang fiqih yang telah diterbitkan atau ditulis oleh Imam Abu Hanifah sendiri, hal ini wajar, karena dimasa Imam Abu Hanifah belum berkembang usaha pembukuan. Diwaktu usaha pembukuan telah mulai berkembang beliau telah berusia lanjut, murid-muridnyalah yang membukukan pendapatnya.

Salah satu murid terbesarnya adalah Muhammad Ibnu Hasan.

Kitab-kitab yang diusahakan oleh Muhammad Ibnu Hasan ialah hasil catatan-catatannya dari Abu Yusuf dari Imam Abu Hanifah.

47 Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembngan.,, h. 77

(19)

Akan tetapi walaupun Imam Abu Hanifah tidak mempunyai kitab yang tidak dikatakan hasil karyanya sendiri, namun sebagian para ulama mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah mempunyai kitab musnad yang mengandung hadis yang diriwayatkan olehnya.48

Muhammad Ibnu Zahrah menjelaskan, bahwa Imam Abu Hanifah tidak menulis kitab secara langsung kecuali beberapa rislah kecil yang dinisbatkan kepadanya, seperti risalah yang diberi nama al-Fiqih al-Akbar, al-asghar dan al-„alim wal muta‟allim,Risalah ila Utsman al-biti (w. 132 H) Risalah ar-Ra‟du ala al-Qodariah.49

Kita hanya menerima fiqih Hanafi melalui murid-muridnya dan sahabat-sahabatnya yang berjumlah tiga puluh enam. Dua puluh delapan orang menjadi hakim, enam orang menjadi mufti dan dua orang lagi yakni Abu Yusuf dan Zufar merupakan tenaga pokok mazhab hanafi.50 Mereka berdua ini merupakan pembentuk kader-kader hakim dan kader-kader mufti. Kemudian ilmu-ilmu Imam Abu Hanifah dan tokoh-tokoh itu, dikembangkan oleh Ibnu Hasan.

Masalah-masalah fiqih yang terdapat dalam mazhab hanafi dibedakan menjadi tiga:

1. Al-Ushul

2. An-Nawadir dan 3. Al-Fatawa

Al-Ushul, adalah masalah-masalah termasuk Zhahir al-Riwayah, yaitu pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan sahabatnya, seperti Abu Yusuf, Muhammad ibn Hasan Al-Syaibani, dan Zufar.

Muhammad ibn Hasan al-Syaibani telah mengumpulkan pendapat- pendapat tersebut yang kemudian disususn dalam kitab yang bernilai tinggi, Zhahir al-Riwayah. Kitab-kitab yang ternasuk zhahir Riwayah ada enam buah, yaitu,

1) Al-Mabsuth atau al-Ashl,

48 Hasbi Asshidiqi, Pokok-Pokok Pegangan Imam.,, h. 456

49 Jaih Mubaroq, Sejarah Dan Perkembangan.,, h. 75

50 Jaih Mubaroq. Sejarah Dan Perkembangan.,, h. 457

(20)

2) Al-Jami‟ al-Kabir, 3) Al-Jami‟ al-Shaghir, 4) Al-Atsar al-Kabir, 5) Al-Atsar al-Shaghir, dan 6) Al-Ziyadat.

Dinamakan kitab zhahir Riwayah karena kitab ini diriwayatkan oleh Muhammad bin Hasan dengan riwayat yang tsiqoh dan mutawatir.

Tentang keenam kitab ini pada masa permulaan abad ke-empat hijrah telah disusun dan di himpun menjadi satu oleh Abdul Fadhil Muhammad bin Ahmad al-Marwazi yang terkenal dengan nama al-Halim al-syahid dalam satu kitab yang diberi nama al-Kafi. Kitab ini dikomentari atau debri syarah oleh Syam al-Din al-Syarkhasi dan dikenal dengan nama al- Mabsuth (30 jilid)51

An-nawadir adalah kitab yang berisikan pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan sahabatnya yang tidak termasuk zhahir ar-riwayah. Kitab-kitab yang termasuk an-nawadir yang terkenal adalah

1) Al-Kaisaniyyat, 2) Al-Ruqayyat, 3) Al-Haruniyyat, 4) Al-Jurjaniyyat,

Murid dari murid Abu Hanifah yang menyusun kitab fiqih, seperti Ala‟Ad-Din, Abi Bakr ibn Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi (w. 587 H) yang menyusun kitab Bada‟i ash-Shana‟i dan fi tartib asy-Syara‟i

Al-Fatwa adalah pendapat-pendapat para pengikut Abu Hanifah yang tidak diriwayatkan dari Abu Hanifah seperti kitab an-Nawazil karya Abi al-Laits as-Samarkandi. Kitab-kitab Fatwa Hanafiah yang terkenal adalah:

1) Al-Fatwa Al-khaniyyat oleh Kadri Khan, 2) Al-Fatwa Al-Hindiyyah,

3) Al-Fatwa Al-Khairiyyah,

51 Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h. 227.

(21)

4) Al-Fatwa Al-Bazziyah, 5) Al-Fatwa Al-hamidiyyah52

Kitab-kitab ushul Al-Fiqih dalam aliran Hanafi adalah 1) Ushul Al-Fiqih karya Abu Zaid Ad-Duyusi (w. 430 H) 2) Ushul Al-Fiqih karya Fakhr Al-Islam Al-Bazdawi (w. 430 H) 3) Al-Manar karya an-Nasafi (w. 790 H) dan syarahnya Misykat al-

Anwar

Selain kitab fiqih dan ushul al-fiqih, ulama Hanafiah juga membangun kaidah-kaidah fiqih yang kemudian disusun dam suatu kitab tersendiri. Diantara kiatab qawaid al-fiqih aliran Hanafi adalah:

1) Ushul Al-Karkhi karya Al-Karkhi (260-340 H).

2) Ta‟sis An-Nazhar karya Abu Zaid Ad-Dabusi (w. 430 H).

3) Al-Asybab wa An-Nazha‟ir karya Ibn Nujaim (w. 970 H).

4) Majami‟ Al-Haqa‟iq karya Ibn Sa‟id Al-Khadimi (w. 1176 H).

5) Majallah Al-Ahkam Al-„Adliyyah (turki utsmani, (w.1292 H) 6) Al-Fawa‟id Al-Bahiyah fi Al-Qawa‟id wa Al-Fawa‟id karya Ibn

Hamzah (w. 1305 H).

7) Qawa‟id Al-Fiqih, karya Mujaddidi.53

B. BIOGRAFI IMAM ASY-SYAFI’I 1. Silsilah Imam asy-Syafi‟i

Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy- Syafi'i al-Quraisy. yang merupakan pendiri madzhab Syafi'i. Beliau termasuk golongan suku Quraisy, seorang Hasyimi yang merupakan keluarga jauh Nabi SAW. Imam Syafi‟i dilahirkan pada bulan rojab di Ghaza pada tahun 150 H/767 M. yang letaknya di dekat pantai lautan putih (laut mati) sebelah tengah Palestina (syam).

Adapun silsilah Imam Syafi‟i dari jalur ayahnya ialah bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi‟i bin Saib bin Abu Yazid bin Hasyim bin Abdul Mutalib bin Abdul Manaf.

52 Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h. 228.

53 Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h. 229.

(22)

Adapun silsilah dari jalur ibunya, ialah binti Fatimah binti Abdullah bin Al-hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (paman Nabi SAW).54 Ia ditinggal mati oleh ayahnya ketika masih kanak-kanak dan dibesarkan oleh ibunya dalam kemiskinan.55

Beliau menghafal al-Qur‟an di Makkah. Di samping mempunyai pengetahuan luas tentang syair-syair Arab. Beliau belajar Hadis dan fiqih dari Muslim Abu Khalid dan Sufyan ibn Uyainah. Beliau telah hafal Muwatta pada usia 12 tahun.

Ketika usia 20th, ia menemui Imam Malik ibn anas di madinah dan membaca langsung kitab Imam Malik yaitu al-Muwatta dengan ingatannya dan ini sangat dihargai oleh sang Imam. Beliau tinggal bersama Imam Malik sampai pada akhir hayat Imam tersebut, tahun 204H/795M.

Dan pada usia 30 tahun, Imam Syafi‟i menikah dengan seorang wanita dari yaman bernama Hamidah binti Nafi‟ seorang putri dari keturunan Khalifah Utsman bin Affan (sahabat dan khalifah yang kedua).

Dari pernikahanya, ia mendapat tiga orang anak; 1 orang anak lak-laki dan 2 orang anak perempuan. Anak yang laki-laki bernama Muhammad bin Syafi‟i yang menjadi qadhi di jazirah Arab (w. 240 H).56

2. Pendidikan Imam Asy-Syafi‟i

Imam Syafi‟i berasal dari keturunan bangsawan yang paling tinggi di masanya. Walaupun hidup dalam keadaan sangat sederhana, namun kedudukannya sebagai putra bangsawan, menyebabkan ia terpelihara dari perang-perangi buruk, tidak mau merendahkan diri dari berjiwa besar. Ia bergaul rapat dalam masyarakat dan merasakan penderitaan-penderitaan mereka.

54 Dari sisi nasab, bertemu dengan nasab Rasulullah. Karena itu pula, beliau sering dijuluki dengan “al-Imam al-Muththalib al-Hasyimi al-Qurasyi”. Lihat dalam bulletin an-nur liat juga dalam www.alsofwah.or.id

55 Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Basrie Pers, 1991), h. 27.

56 Siradjuddin Abbas, Sejarah Dan Keagungan Imam Syafi‟i, Cet. Ke-V, (Jakarta: Pustaka Tarbiah, , 1991), h. 26.

(23)

Meski dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam satu keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri apalagi malas.

Sebaliknya, beliau bahkan giat mempelajari Hadis dari ulama-ulama Hadis yang banyak terdapat di makkah. Pada usianya yang masih kecil, beliau juga telah hafal al-Qur‟an.57 Kemudian beliau dengan tekad yang bulat pergi dari kota makkah menuju kesuatu dusun bangsa Bawdy Banu Hudzail untuk mempelajari bahasa Arab yang asli dan fasih. Di dusun itulah beliau dengan rajin mempelajari bahasa Arab dan kesusastraannya serta syi‟ir-syi‟irnya kepada para pemuka orang di dusun itu.

Beliau di kota Makkah belajar ilmu fiqih kepada Imam Muslim bin Khalid Az-Zanniy, seorang guru besar dan mufti di kota Makkah pada masa itu. Agak lama beliu belajar kepada guru itu, sehingga mendapat ijazah dan diberi hak boleh mengajar dan memberi fatwa tentang hukum- hukum yang bersangkutan dengan keagamaan. Tentang ilmu Hadis, beliau belajar kepada Imam Sufyan bin Uyainah, seorang alim besr ahli Hadis di kota Makkah di masa itu. Dan tentang ilmu al-Qur‟an, beliau kepada Imam Isma‟il bin Qasthtautin, seorang alim besar ahli Qur‟an di kota mekah di masa itu, selanjutnya kepada para ulama lainya lagi di masjid al-Haram, beliau belajar berbagi ilmu pengetahuan, sehingga baru berusia 15 tahun, beliau menduduki kursi mufti di kota Makkah.58

Setelah Imam Syafi‟i berada di kota Madinah, maka beliau belajar kepada Imam Malik, dan setiap hari beliau datang kerumah Imam Malik untuk belajar dan membacakan Kitab al-Muwaththa‟ dihadapannya, dan karena Imam Syafi‟i sebelumnya sudah hafal kitab tersebut, maka sebentar sajah selsailah Kitab al-Muwaththa‟ itu dibacakan didepan gurunya. Akhirnya Imam Syafi‟i diminta oleh gurunya agar beliau bertempat tinggal serumah dengan Imam Malik, dan selama delapan bulan beliau tinggal dengan gurunya dan jika Imam Malik telah membacakan al-Muaththa‟ kepada banyak orang, maka diserahkan kepada Imam Syafi‟i untuk mendiktekan kepada mereka, dan mereka

57 Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 27.

58 Munawar chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab. Cet. Ke-IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 152-153

(24)

menulisnya sehingga Imam Syafi‟i memperoleh kesempatan untuk memperlancar pelajarannya. Dan dengan demikian maka orang banyak mengenal kepada Imam Syafi‟i.59 Imam Syafi‟i mengadakan mudarasah dengan Imam Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan oleh Imam Malik. Diwaktu Imam Malik meninggal tahun 179 H, Imam Syafi‟i telah mencapai usia dewasa dan matang.60

Ketika Imam Syafi‟i di Iraq, beliau bertemu dengan Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, selama di Iraq beliau tetap bertempat tinggal di rumah Imam Muhammad bin Hasan sebagai tamu agung. Dan selama beliau ada di Iraq. Beliau dapat pula menambah pengetahuan tentang cara-cara Qadhy (hakim) memeriksa perkara dan memutuskan urusan. Beliau tinggal di Iraq hampir dua tahun lamanya.61

Diantara hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam Syafi‟i adalah tentang metode pemahaman al-Qur‟an dan Sunnah atau metode istinbath (ushul fiqih). Meskipun para Imam mujtahid sebelumnya dalam berijtihad terkait dengan kaidah-kaidahnya, namun belum ada kaidah-kaidah yang tersusun dalam sebuah buku sebagai satun disiplin ilmu yang dapat di pedomani oleh para peminat hukum Islam.

dalam kondisi demikian Imam Syafi‟i tampil berperan menyusun sebuah buku ushul fiqih. Idenya didukung pula dengan adanya permintaan dari seorang ahli hadis yang bernama Abdurrahman bin Mahdi di Baghdad agar Imam Syafi‟i menyusun metode istinbath.62

Imam Muhammad Abu Zahrah (ahli hukum Islam berkebngsaan Mesir) menyatakan buku itu (al-Risalah) disusun ketika Imam Syafi‟i berada di Baghdad, sedangkan Abdurrahman bin Mahdi ketika itu berada di Makkah. Imam Syafi‟i memberi judul bukunya dengan “al-Kitab”

(kitab atau buku) atau “kitabi” (kitabku), kemudian lebih dikenal dengan al-Risalah yang berarti sepucuk surat. Dinamakan demikian, karena buku

59 Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai.,, h. 163-164

60TM. Hasbi Ash Shidieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 1997), h. 481

61 Munawar Chalil, Biografi Empat Serangkai.,, h. 169

62 Jaih Mubarak, Modifikasi hukum Islam Studi Tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 29

(25)

itu merupakan surat Imam Syafi‟i kepada Abdurrahman bin Mahdi. Kitab al-Risalah yang pertama ialah susun dikenal dengan al-Risalah al- Qadimah (risalah lama).63

Dinamakan demikian, karena di dalamnya termuat buah pikiran Imam Syafi‟i sebelum pindah ke mesir. Setelah sampai di mesir isinya diisusun kembali dalam rangka penyempurnaan bahkan ada yang diubahnya, sehingga kemudian dikenal dengan sebutan al-Risalah al- Jadidah (risalah baru). Jumhur ulama ushul fiqih sepakat menyatakan bahwa kitab al-Risalah karya Imam Syafi‟i ini merupakan kitab pertama yang memuat masalah-masalah ushul fiqih secara lebih sempurna dan sistematis. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai penyusun pertama ushul fiqih sebagai satu disiplin ilmu.64

3. Situsai Politik dan Sosial Keagamaan

Imam Syafi‟i lahir dimasa dinasti abbasiyah. Seluruh kehidupannya berlangsung pada saat penguasa bani abbas memerintah wilayah-wilayah negeri Islam. saat itu adalah saat dimana masyarakat Islam sedang berada dipuncak keemasannya. Kekuasaan bani abbas semakin terbentang luas dan kehidupan umat Islam semakin maju dan jaya. Masa itu memiliki berbagai macam keistimewaan yang memiliki pengaruh besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kebangkitan pemikiran Islam. Transformasi ilmu dari filsafat yunani dan sastra persia serta ilmu bangsa India ke masyarakat muslim juga sedang semarak.

Mengingat pentingnya pembahasan ini, maka penulis akan memberikan gambaran singkat tentang kondisi pemikiran dan sosial kemasyarakatan pada masa itu.65

Kota-kota di negeri Islam saat itu sedikit demi sedikit mulai dimasuki unsur-unsur yang beraneka ragam, mulai dari Persia, Romawi, India dan Nabath. Dahulu, kota Baghdad adalah pusat pemerintahan

63Syaikh Amad Farid, Min A‟lam As-Salaf, terj Masaturi Irham, dengan judul Biografi Ulama Salaf”, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2006), h. 361

64Syaikh Amad Farid, Biografi Ulama Salaf.,, h. 362.

65 Abdul Syukur dan Ahmad Rifai. Asy-Syafi‟i Biografi dan Pemikiranya Dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih, (Jakarta: PT. Lintera Basritama, 2005), h. 84

(26)

sekaligus pusat peradaban Islam. Kota tersebut dipenuhi oleh masyarakat yang terdiri dari berbagai jenis bangsa. Kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia berduyun-duyun berdatangan ke Baghdad dari berbagai pelosok negeri Islam. Tentunya, kedatagan mereka sekaligus membawa kebudayaan bangsanya dalam jiwa dan perasaanya yang dalam. Dengan kondisi masyarakat yang beragam ini tentunya akan banyak timbul aneka problema sosial. Oleh karena itu, di masyarakat Baghdad banyak muncul fenomena-fenomena yang beraneka ragam yang disebabkan oleh interaksi sosial antara sesama anggota masyarakatnya dimana masing- masing ras mempunyai kehususan ras-ras tersebut. Setiap permasalahan yang timbul dari interaksi antar masyarakat tersebut tentunya akan di ambil ketentuan hukum dari syariat. Sebab, syariat Islam adalah syariat yang bersifat umum.66

Syariat tersebut akan memberi muatan hukum bagi setiap permasalahan yang terjadi. Baik permasalahan itu masuk dalam kategori permasalahan ringan ataupun berat. Pengamatan terhadap permasalahan yang terjadi akan memperluas cakrawala pemikiran seorang ahli fiqih sehingga ia dapat menemukan penyelesaian (solusi hukum) bagi masalah-masalah yang terjadi. Selain itu, seorang ahli fikih akan dapat memperluas medan pembahasan dengan menghadirkan permasalahan yang mungkin terjadi, kemudian memberikan kaidah-kaidah umum untuk masalah furu‟ yang berbeda.67

4. Pemikiran Fiqih Imam Syafi‟i

Pemikiran fiqih Imam Syafi‟i, secara garis besar dapat dilihat dari kitab al-Umm, yang menguraikan sebagai berikut:68

عاجملإا ةيتاثلا ّثم تتبث اذإ ةنسلاو باتكلا ى ولأا تىش تاقبط ُمْلِعْلا لوقي نأ ةيتاثلاو ةنس لاو باتك هيف سيل اميف باحصأ ضعب

سر و للها ل

66 A. Syukur dan Ahmad Rifai. Asy-Syafi‟i Biografi dan Pemikiranya.,, h. 85

67 A. Syukur dan Ahmad Rifai. Asy-Syafi‟i Biografi dan Pemikiranya.,, h. 86

68 Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h. 173

(27)

بينلا باحصأ فلاتخا ةعبارلاو مىنم ةفلامخ هل ملعت لاو لاوق م.ص ةنسلاو باتكلا رهي ئيش ى إ راصي لاو سايقلا ةسمالخاو كلذ في م.ص لعأ نم ملعلا ذخؤي اّنّإو نادوجوم اهمو ى

Ilmu itu bertingkat secara berurutan; pertama-tama adalah al- Quran dan as-Sunnah apabila telah tetap, kemudian kedua, ijma ketika tidak ada dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah; ketiga sahabat Nabi SAW (fatwa sahabi) dan kami tidak tau dalam fatwa tersebut tidak ada ikhtilaf di antara mereka, keempat, ikhtilaf sahabt Nabi SAW, kelima, qiyas yang tidak diqiyaskan selain kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah karena hal itu telah ada dalam kedua sumber, sesungguhnya mengambil ilmu dari yang teratas”

Selanjutnya istidlal Imam Syafi‟i, semuanya terangkum dalam kitab al-Risalah sekaligus merupakan buku metodologinya yang pertama, terutama ushul fiqihnya.

Thaha Jabir, dalam bukunya, Adab al-Ikhtilaf Fi al-Islam, menjelaskan metode istinbath al-Ahkam Imam Syafi‟i sebagai berikut,

“pertama (ashal), yakni al-Qur‟an dan al-Hadis, dan apabila tidak ditemukan dalam keduanya, Qiyas berlaku kepadanya, dan apabila hadis itu sampai sanadnya kepada Rasulullah SAW, itulah yang dituju ijma sebab lebih baik daripada hadis ahad. Jika zhahir hadis mencakup beberapa pengertian, zhahir dari pernyataan yang menyerupainya harus lebih diutamakan. Kemudian, tatakala beberapa hadis saling mendukung, untuk menentukan tingkat kesahihanya ditinjau dari segi sanad-sanad hadis tersebut. Satu hadis yang dipandang hadis munqathi misalnya bukan hanya yang bersumber dari ibnu Musayyab. Selanjutnya, bahwa ashal (dalam artian lawan dari furu‟ pada lapangan qiyas) itu tidak bisa diqiyaskan denagn ashal yang lain. Juga bahwa tidak ada kata “kenapa”

dan “bagaimana” untuk ashal. Kata “kenapa” hanya dipakai untuk furu‟.

Dengan demikian, jika qiyasnya benar dan berdasar pada “ashal” yang benar, benarlah dengan argumen tersebut.69

Dari kutipan di atas, tampaknya al-Qur‟an, hadis, ijma, dan qiyas menjadi factor utama dalam landasan mazhab Imam Syafi‟i. Sementara

69 Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h.174

(28)

metode lainya seperti: istinbath, istihsan, sadu dzariah dan lainya hanyalah merupakan satu metode dalam merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya al-Qur‟an dan al-Hadis.

Untuk memperjelas tentang metode istinbath hukum Imam Syafi‟i, Mustofa Muhammad asy-Syak‟ah, dalam kitabnya Islamu Bila Madzahib menjelaskan sebagai berikut:70

a. Imam asy-Syafi‟i mendasari al-Quran, as-Sunnah, Ijma, dan Qiyas.

Itulah unsur-unsur dasar yang saling terkait dan disebutkanya dalam kitab yang ditulisnya. Keterkaitan unsur-unsur tersebut merupakan hal yang baru dalam pemahaman para ahlu fiqih pada umumnya. Dan salah seorang ahlu fiqih, al-Karabisi menyatakan,

“sebelumnya kami tidak pernah tau apa yang dimaksud kitabullah, as-Sunnah, dan ijma, hingga datang Syafi‟i, sehingga datang Syafi‟i yang memaparkanya secara rinci”.

b. Fiqih Syafi‟i merupakan campuran antara fiqih ahlu ar-Ra‟yi dengan fiqih ahlu al-Hadis. Kedua metode tersebut memiliki cara tersendiri dalam mengambil istinbath. Ahlu ar-Ra‟yu adalah para cendikiawan yang memiliki pandangan yang luas. Akan tetapai, kemampuan mereka untuk menerima atsar dan as-Sunnah sangat terbatas. Sementara itu ahlu al-Hadis sangat gigih dalam mengumpulkan hadis, atsar dan beberapa hal yang lainya yang berkaitan dengan perbuatan para sahabat. Namun, mereka bukan ahlu munaqasyah dan istinbath. Jadi, ahlu fiqih hendaknya menggunakan ra‟yi dan hadis sekaligus. Dan Syafi‟i adalah seorang ahlu dalam metode tersebut. Kecerdasanya yang sangat tinggi menjadikanya seorang yang ahlu dalam ra‟yi dan munaqasyah. Pada saat yang sama, ia juga seorang yang alim dalam ilmu hadis lainya sehingga oleh para ulama lainya ia dijuluki

“penolong as-Sunah”.

c. Dalam pandangan Syafi‟i pendekatah ahlu al-Hadis lebih jelas dalam masalah ushul. Oleh karena itu, ia menggunakan al-Qur‟an

70 Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h.175-178

(29)

sebagai sumber hukum dan poko-poko syariat. Setelah itu, ia merujuk kepada hadis, jika dalam penggunaan hadis telah dianggap cukup dalam menetapkan hukum, ia tidak menggunakan ra‟yi.

Prinsip yang digunakan adalah seperti yang diucapkanya, “apapun pendapat yang telah aku kemukakan, bila kemudian ada hadis yang berlawanan dengan penapatku itu, pernyataan rasulullah itulah pendapatku”.

d. Fiqih Syafi‟i menggunakan ijma‟ sebagai dasar penetapan hukum.

Hal ini karena pernyataan secara syar‟i mengarahkanya untuk menjadikanya sebagai hujjah yang wajib untuk diamalkan. Lalu, ia membuat rumusan untuk pengaturan syarat penggunaanya. Syafi‟i menempatkan ijma pada urutan ketiga setelah al-Qur‟an dan as- Sunnah (sekalipun hadis ahad atau satu sanad).

e. Syafi‟i juga menggunakan qiyas sebagai dasar mazhab. Dapat dikatakan bahwa Syafi‟i adalah orang pertama yang menguraikan masalh qiyas secara terinci. Pada waktu itu para ahlu fiqih belum membuat pembahasan antara ra‟yu yang shahih dan ra‟yu yang tidak shahih. Syafi‟i kemudian memaparkan kaidah ra‟yu yang dianggapnya shahih dan istinbath yang tidak shahih. Ia jelaskan pula perbedaan besar antara bermacam-macam istinbath dan qiyas, menurut kadar yang ditentukanya dalam kaidah itu.

f. Syafi‟i menolak penggunaan kaidah istihsan, sebagai mana dinyatakan dalam kitabnya, ibtahalul istihsan, metode ini adalah metode yang biasa digunakan Abu Hanifah. Menurut Syafi‟i, dalam penerapan metode ini, seorang ahlu fiqih setelah merujuk kepada al-Quran, as-Sunnah, Ijma, dan Qiyas, ia menetapkan hukum yang dipandangnya baik, bukan hanya berpegang pada dalil al-Qur‟an dan as-Sunnah. Lebih lanjut, Imam Syafi‟menyatakan, bila ijtihad digunakan dengan metode istihsan, tanpa sepenuhnya bersandar pada pokok syariat atau nash dan as-Sunnah, ijtihad yang menggunakan metode ini, batil pula hukumnya.”

(30)

5. Guru dan Murid Imam asy-Safi‟i

Sama halnya dengan Mazhab Hanafi dan Maliki, pengembangan Mazhab Syafi‟i tidak terlepas dari ketiga faktor, faktor murid, politik dan karya ilmiah. Secara silsilah, masa Imam Syafi‟i merupakan masa

“kulminasi” para fuqaha, muhaddis, mu‟arikh dan para ulama dibidang lainya. Oleh karena itu, Imam Syafi‟i dikenal sebagai “mazhab moderat”

(penggabung antara ahl ra‟yu dan ahl hadis).71

Secara silsilah, guru-guru Imam Syafi‟i dapat dipilah menjadi empat kelompok, sebagai mana sirojudin abbas menghimpunnya, sebagai berikut:

a. Di makah Imam Syafi‟i berguru kepada 1. Sufyan Ibn „Uyainah

2. Muslim Ibn Khalid al-Zunji 3. Sa‟id Ibn Salim al-Qadah

4. Daud ibn „Abd ar-Rahman al-„Athar, dan

5. „Abd ar-Rahman ibn „Abd al-„Aziz Ibn Abi Daud 6. Abdul Hamid bin Abdul Aziz

b. Guru-guru Imam Syafi‟i dari kalangan ulama madinah adalah 1. Malik Ibn Anas (Imam mazhab maliki)

2. Ibrahim Ibn Sa‟d al-Anshari

3. „Abd al-„Aziz Muhammad ad-Durawardi 4. Ibrahim Ibn Abi Yahya al-Aslami

5. Muhammad Ibn Sa‟id Ibn Abi Faudaik, dan 6. „Abdullah Ibn Nafi‟.

c. Ulama yaman yang dijadikan guru oleh Imam asy-syafi‟i adalah 1. Mutharraf Ibn Mazim

2. Hisyam Ibn Yusuf

3. „Umar Ibn Abi Salamah (pembangun Mazhab Auza‟i) 4. Yahya Ibn Hasan (pembangun Mazhab Laits)

71 Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h. 235

(31)

d. Guru-guru Imam asy-syafi‟i dari kalangan ulama irak, adalah 1. Waki‟ bin Jarrah

2. Muhammad bin Usamah 3. Ismail bin Ulyah

4. Abdul Wahab bin Abdul Madjid 5. Muhammad bin Hasan

6. Qadhi bin Yusuf

Pengembang Mazhab Syafi‟i dari murid-murid Imam Syafi‟i, dapat dibagai menjdi dua; murid-murid Imam Syafi,i yang mengembangkan Mazhab Syafi‟i di Baghdad dan di Mesir. Yang mengembangkan mazhab di Baghdad yaitu:

1. Abu Ali al-Hasan ash-Shabah al-Za‟farani (w. 260 H);

2. Husein bin „Ali al-Kurabisyi (w. 240 H);

3. Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hanbali) (w. 240 H);

4. Abu Tsaur al-Kalabi (w. 240 H);

5. Ishak bin Rahuyah (w. 277 H);

6. Al-Rabi‟ bin Sulaiman al-Muradi (w. 270 H);

7. Abdullah bin Zubair al-Humaidi (w. 219 H);

8. Ibn Hanbal al-Buthi 9. Al-Muzani,

10. Abu „Ubaid al-Qasim Ibn Salam al-Luqawi72

Murid-murid Imam Syafi‟i yang berada di mesir, terutama para murid yang mendengar dan menuliskanya ajaran dan membantu Imam Syafi‟i dalam menyusun kitab , diantaranya:

1. Al-Buaithi (w. 232 H) 2. Yahya al-Muzani (w. 264 H)

3. Ar-Rabi bin Sulaiman al-Ziji (w. 256 H) 4. Harmalah bin Yahya at-Tujibi (w.243 H) 5. Yunus bin Abdil A‟ala (w. 264 H)

6. Muhamad bin Abdullah bin Abdul Hakam (w. 268 H)

72 Siradjuddin Abbas, Sejarah Dan Keagungan Mazhab Syafi‟i. Cet. Ke-V (Jakarta:

Pustaka Tarbiyah, 1991), h. 138-139

(32)

7. Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Hakam (w. 268 H) 8. Abu Bakar al-Humaidi (w. 129 H)

9. Abdul Aziz bin Umar (w. 234 H)

10. Abu Utsman, Muhammad bin Syafi‟i (anak kandung Imam Syafi‟i) (w. 232 H)

11. Abu Hanifah al-Aswani (w. 271 H)73

Secara garis besar, dalam menguasai fiqih madinah, Imam Syafi‟i berguru langsung kepada Imam Malik sedangkan dalam menguasai fiqih irak, ia berguru kepada Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani yang merupakan pelanjut fiqih hanafi. Disamping itu Imam Syafi‟i mempelajari fiqih al-Auza‟i dari „Umar ibn Abi Salamah dan mempelajari fiqih al-Laits kepada Yahya Ibn Hasan.74 Dengan modal penguasaan terhadap dua aliran ini, Imam Syafi‟i benar-benar menguasai kelemahan dan kekuatan mazhab sebelumnya. Konsekuensinya, rasa hormat dan kagum terhadap Imam Syafi‟i tidak bisa terhindari oleh para murid dan pengikutnya. Oleh karena itu, hampir sebgaian mazhab sunni bermazhab Syafi‟i.

6. Karya-Karya Imam Syafi‟i

Karya para Imam mazhab pada dasarnya ditulis dengan tangan dan disalin dari satu naskah ke naskah yang lain karna belum ada percetakan.

Begitu pula, karya Imam Syafi‟i, yang menurut Imam Abu Muhamad bin Husein bin Muhammad al-Marudzi (salah seorang murid Imam Syafi‟i), Imam Syafi‟i telah mengarang 113 kitab dalam ushul, tafsir, fiqih, adab dan lain-lain.75

No Nama Kitab Pengarang

Fiqih, Ushul Fiqih Dan Kaidah Fiqih 1. Al-Umm, yang meliputi kitab:

a. Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi

Asy-Syafi‟i Ushul Fiqih

73 Siradjuddin Abbas, Sejarah Dan Keagungan Mazhab.,, h. 141

74 Hasbi ash-Shiddieqi, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab Dalam Membina Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 241

75 Siradjuddin Abbas, Sejarah Dan Keagungan Mazhab.,, h. 140

(33)

Laila

b. Khilaf Ali wa Ibn Mas‟ud c. Ikhtilaf Malik wa Asy-Syafi‟i d. Jama‟il al-Ilmi

e. Syiyas al-„Auzai f. Ikhtilaf al-Hadis g. Ibthalul Ikhtihsan

h. Ar-rad ala Muhammad Ibn Hasan i. Bayan Faraid Allah

j. Sifat Nahy Rasulullah

2. Al-Risalah Sda Sda

3. Al-Imla Sda Sda

4. Al-Hujjah Sda Sda

5. Al-Buaithi Sda Sda

6. Al-Qiyas Sda Sda

7. Al-Musnad Sda Sda

8. Al-Amali Sda Sda

9. Al-Qassamah Sda Sda

10. Al-Jizyah Sda Sda

11. Mukhtar Al-Muzani Sda Sda

12. Ahkamul Qur‟an Sda Sda

13. Mukhtasar Al-Buaithi Sda Sda

14. Harmalah Sda Sda

15. Jami‟i Muzani Al-Kabir Sda Sda

16. Jami‟i Muzani Ash-Shagir Sda Sda

17. Istikbalul Qiblatain Sda Sda

18. Qital Ahli Bagyi Sda Sda

19. Al-Watsaiq al-Muzani

(w. 264 H) Sda

20. Masalah Al-Mu‟tabarah Sda Sda

21. Al-Muharrah Fin Nazhar Ath-Thabari

(34)

(w. 305 H)

22. Al-Ifshah Sda Fiqih

23. Sarah Mukhtasar Abi Hurairah

(w. 245 H) Sda

24. Talkhisah Ibnul Qashi

(w. 335 H) Ushul fiqih

25. Al-Miftah Sda Sda

26. Adabul Qadhi Sda Fiqih

27. Al-Mawaqit Sda Sda

28. Al-Waqi‟at Sda Sda

29. Adabul Qadha Sda Sda

30. Al-Wakalah al-Jarjani

(w. 392 H) Sda

31. Al-Majmu‟ Muhamili

(w. 360 H) Ushul fiqih

32. Al-Muqra Sda Fiqih

33. Al-Lubab Sda Ushul fiqih

34. Al-Muhadzab

Abu Ishaq asy- Syirazi (w. 476 H)

Fiqih

35. Tanbih Sda Sda

36. Al-Luma‟ Sda Ushul

fiqih/fiqih

37. At-Tabshirah Sda Fiqih

38 Al-Mulkhishi Sda Sda

39. Al-Ma‟na Sda Ushul fiqih

40. Al-Hawi al-Mawardi

(w. 450 H) Fiqih

41. Al-Iqna Sda Sda

42. Al-Ahkam

As-Sulthoniyah Sda Sda

(35)

43. Al-Nihayah al-Haramain

(w. 505 H) Sda

44. Al-Khulashah al-Ghazali

(w. 505 H) Fiqih

45. Al-Wajiz Sda Sda

46. Al-Wasith Sda Sda

47. Al-Basith Sda Sda

48. Al-Gayah Wa At-Tagrib Abu Syuja

(w. 593 H) Sda

49. Fathul Aziz Ar-Rafi‟i

(w. 676 H) Sda

50. Al-Muharrar Sda Sda

51. Minhajut Thalibin an-Nawawi Sda

52. Ar-Raudah Sda Sda

53. Al-Umdah Sda Ushul Fiqih

54. Tanqih Sda Fiqih

55. Manasik Sda Fiqih

56. Al-Fatawi Sda Fiqih

57. Al-Majmu Sda Ushul Fiqih

58. Al-Irsyad Ibnu Makri Sda

59. Ar-Raudah Sda

60. Al-Amali

Izudin bin Abdisalam (w. 660 H)

Fiqih

61. Qawaid Al-Ahkam Fi Mashalih Al-

Anam Sda Qaidah Fiqih

62. Al-Qawaidul Kubra Sda Sda

63. Fatawi Al-Mishriyah Sda Fiqih

64. Al-Asyab Wa An-Naza‟ir Ibnu Wakil

(w. 716 H) Qaidah Fiqih

65. Takmilah Al-Majmu Taqiyudin Ushul Fiqih

(36)

Subki (w. 756 H)

66. Sarah Kitabul Minhaj Sda Fiqih/ushul

Fiqih

67. Tahbirul Mazhab Sda Sda

68. Ibtihaj Fi Sarhil Minhaj Sda Sda

69. Nurul Mishbah Fi Shalati Tarawih Sda Fiqih

70. Al-Asyab Wa An-Nazha‟ir

Taj ad-Din as- Subki (w. 771

H)

Qaidah Fiqih

71. Fathul Aziz zarkasy

(w. 794 H) Fiqih

72. Takmilah Sarah Minhaj Sda Ushul Fiqih

73. Khadimur Rafi‟ Sda Sda

74. Khabaya Zawaya Sda Sda

75. Al-Dibaji Fi Taudhihil Minhaj Sda Sda

76. Sarah Tanbih Sda fiqih

77. Al-Asyabahwa An-Nazha‟ir

Ibn al- Mulaqqin (w.

804 H)

Qaidah fiqih

78. Kifayatul Akhyar

Taqiyudin al- Husaini (w. 829 H)

Fiqih

79. Matan Zubad Ibnu Ruslan

(w. 844 H) Fiqih 80. Al-Mahalli Sarah Minhaj j. al-Mahalli

(w.864 H) Sda

81. Fathul Qarib Sarah Al-Gayah Wa Taqrib

Qasim al- Ghazi (w.892

H)

Sda

82. Al-Asbah Wa An-Naza‟ir Jalal ad-Din

as-Suyuthi Qaidah Fiqih

Referensi

Dokumen terkait

Respons Bibit Manggis (Garcinia Mangostana L.) Terhadap Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskular, Aplikasi Pupuk Fosfat, dan Penaungan Pada Tanah Ultisol di Padang,

Berdasarkan analisis penilaian pada aspek-aspek yang berkaitan dengan kemampuan mengonstruksi teks laporan hasil observasi oleh siswa kelas X SMA Negeri 7 Medan

Laporan penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Jumlah Peserta Sistem Ujian Online Program Studi Non Pendidikan Dasar di UPBJJ- UT

Adanya kecenderungan kekurangan zat besi, vitamin C dan tembaga yang kurang pada remaja akibat tidak memperhatikan pola makan dan kurangnya pengetahuan akan

Untuk semua lagu wajib, pola alat nya seperti yang ada di partitur, harus sesuai dan jangan ada improvisassi, KECUALI untuk lagu wajib pilihan boleh diubah... boleh

Kαθώς πλησιάζει η κρίσιμη νύχτα της ψηφοφορίας στη Bουλή για την τύχη της κυβέρνησης Nβα, στις 4 προς 5 Aυγούστου, ο Kωνσταντίνος και ο

Oleh karena itu kebijakakan yang berkaitan dengan alutsista Arhanud yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi dalam membangun kemampuan satuan Arhanud dalam

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi bubuk batang kecombrang bagian dalam (K) tidak berpengaruh nyata terhadap total mikroba, sedangkan lama