• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENYOROTI BUDAYA PATRIARKI DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENYOROTI BUDAYA PATRIARKI DI INDONESIA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MENYOROTI BUDAYA PATRIARKI DI INDONESIA

Oleh:

Ade Irma Sakina

1

dan Dessy Hasanah Siti A.

2

1. Mahasiswa Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran) 2. Departemen Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran

Email:

(sakinaade@gmail.com dan dessyhasanenoch@gmail.com)

Abstrak

Sampai saat ini budaya patriarki masih langgeng berkembang di tatanan masyarakat Indonesia. Budaya ini dapat ditemukan dalam berbagai aspek dan ruang lingkup, seperti ekonomi, pendidikan, politik, hingga hukum sekalipun. Akibatnya, muncul berbagai masalah sosial yang membelenggu kebebasan perempuan dan melanggar hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh perempuan. Meskipun Indonesia adalah negara hukum, namun kenyataannya payung hukum sendiri belum mampu mengakomodasi berbagai permasalahan sosial tersebut. Penyebabnya masih klasik, karena ranah perempuan masih dianggap terlalu domestik. Sehingga penegakan hukum pun masih cukup lemah dan tidak adil gender. Oleh karena itu, peran pekerja sosial sangat dibutuhkan pada situasi ini agar penyelesaian masalah bisa cepat dilakukan. Artikel ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan mengumpulkan data melalui studi pustaka, yaitu buku dan jurnal. Hasilnya menunjukkan keterkaitan antara budaya patriarki dan berbagai permasalahan sosial serta realitas sosial yang terjadi di masyarakat Indonesia.

Kata kunci: Patriarki, Gender, Perempuan, Penegakan Hukum

Abstract

Uptonow, patriarchy culture still exist in Indonesian society. This culture can be found in any aspects, such as economy, education, politic, even law. As a result, many social problems come up that restrain women’s freedom and violate women’sright. Although Indonesia is a law country, but in the fact the law itself can not accommodate any of those socia lproblems. It becauses the women’s problems are considered just the domestic ones. This makes law enforcement still in undercontrol and gender injustice. So that is why, the role of social workers is really needed, in order to help solving the problems.This article is using qualitative research method and collecting datas through literarure review, such as book and journal. The result shows a link between patriarchy cultureand any of social problems also social reality that happens in Indonesian society.

(2)

Pendahuluan

Menurut Alfian Rokhmansyah(2013) di bukunya yang berjudul Pengantar Gender dan Feminisme, patriarki berasal dari kata patriarkat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya. Sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi hingga ke berbagai aspek kegiatan manusia. Laki-laki memiliki peran sebagai kontrol utama di dalam masyarakat, sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, politik, dan psikologi, bahkan termasuk di dalamnya institusi pernikahan. Hal ini menyebabkan perempuan diletakkan pada posisi subordinat atau inferior. Pembatasan-pembatasan peran perempuan oleh budaya patriarki membuat perempuan menjadi terbelenggu dan mendapatkan perlakuan diskriminasi. Ketidaksetaraan antara peran laki-laki dan perempuan ini menjadi salah satu hambatan struktural yang menyebabkan individu dalam masyarakat tidak memiliki akses yang sama. Selain itu, produk dari kebijakan pemerintah yang selama ini tidak sensitif terhadap kebutuhan perempuan telah membuat perempuan sering kali menjadi korban dari kebijakan tersebut. Lemahnya perlindungan hukum terhadap kaum perempuan, secara tidak langsung juga telah menempatkan

posisiperempuan menjadi

termarjinalisasikan.Aspek historis dan budaya menempatkan perempuan sebagai pihak yang ditundukkan melalui hubungan kekuasaan bersifat patriarkat, baik secara personal maupun melalui pengaturan negara.45

Sejak masa lampau, budaya masyarakat di dunia telah menempatkan laki-laki pada hierarki teratas, sedangkan perempuan menjadi kelas nomor dua. Ini terlihat padapraktekmasyarakat Hindu

45

http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66158/pot ongan/S2-2013-306599-chapter1.pdf

misalnya, pada zaman Vedic 1500 SM, perempuan tidak mendapat harta warisan dari suami atau keluarga yang meninggal. Dalam tradisi masyarakat Buddha pada tahun 1500 SM, perempuan dinikahkan sebelum mencapai usia puberitas. Mereka tidak memperoleh pendidikan, sehingga sebagian besar menjadi buta huruf. Dalam hukum agama Yahudi, wanita dianggap inferior, najis, dan sumber polusi. Dengan alasan tersebut, perempuan dilarang menghadiri upacara keagamaan, dan hanya diperbolehkan berada di rumah peribadatan. Begitu pula di Indonesia, pada era penjajahan Belanda maupun Jepang, perempuan dijadikan sebagai budak seks bagi tentara-tentara asing yang sedang bertugas di Indonesia. Serta terdapat peraturan yang melarang perempuan mengenyam pendidikan, kecuali mereka berasal dari kalangan priyayi atau bangsawan. (ConventionWatch, 2007)

Praktik budaya patriarki masih berlangsung hingga saat ini, ditengah berbagai gerakan feminis dan aktivis perempuan yang gencar menyuarakan serta menegakkan hak perempuan. Praktik ini terlihat pada aktivitas domestik, ekonomi, politik, dan budaya. Sehingga hasil dari praktik tersebut menyebabkan berbagai masalah sosial di Indonesia—seperti merujuk pada definisi masalah sosial dari buku karangan Soetomo, masalah sosial adalah suatu kondisi yang tidak diingingkan terjadi oleh sebagai besar dari warga masyarakat— yaitu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pelecehan seksual, angka pernikahan dini, dan stigma mengenai perceraian. Dilihat melalui pendekatan masalahnya, dampak dari budaya patriarki di Indonesia masuk ke dalam system blame approach, yaitu permasalahan yang diakibatkan oleh sistem yang berjalan tidak sesuai dengan keinginan atau harapan. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pelecehan seksual, angka pernikahan dini, dan stigma mengenai perceraian terjadi karena sistem budaya yang memiliki kecenderungan untuk memperbolehkan itu terjadi serta sistem

(3)

penegakan hukum yang berlaku di Indonesia juga membiarkan kasus diatas terjadi secara terus menerus.

Artikel ini menjelaskan tentang bagaimana pengaruh budaya patriarkiyang dialami perempuan di Indonesia pada masalah sosial tersebut serta peran pekerja sosial didalamnya.. Data yang tersajididapatkan melalui studi pustaka dari berbagai buku dan jurnal.

Contoh Masalah Sosial Akibat Belenggu Budaya Patriarki

1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Seperti yang dilansir dari kompasiana.com, Komnas Perempuan mendokumentasikan 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang tahun 2016, dengan rincian sebanyak 245.548 kasus diperoleh dari 358 Pengadilan Agama dan 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengadaan layanan.Data ini tersebar ke 34 provinsi di Indonesia.

Berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak lepas dari masih ajegnya budaya patriarki yang masih melekat sebagai pola pikir hingga menjadi faktor penyebab. Termasuk juga memberi legitimasi pada tindakan kekerasan yang dilakukan laki-laki kepada pasangannya. Budaya patriarki yang memberikan pengaruh bahwa laki-laki itu lebih kuat dan berkuasa daripada perempuan, sehingga istri memiliki keterbatasan dalam menentukan pilihan atau keinginan dan memiliki kecenderungan untuk menuruti semua keinginan suami, bahkan keinginan yang buruk sekalipun. Terdapat sebuah realitas sosial yang kerap terjadi di masyarakat apabila kekerasan

“boleh saja” dilakukan apabila istri tidak menuruti keinginan suami.

46 Jauhariyah, W. (2017, Juli 14). Jurnal Perempuan Online. Retrieved from Akar Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan:

Dominasi dari pihak laki-laki sangat terlihat pada bagian ini karena budaya patriarki tadi yang menciptakan sebuah konstruksi sosial bahwa perempuan adalah pihak yang lemah dan bisa disakiti, baik hati atau fisiknya. Dalam relasinya dengan laki-laki, pemaknaan sosial dari perbedaan biologis tersebut menyebabkan memantapnya mitos, streotipe, aturan, praktik yang merendahkan perempuan dan memudahkan terjadinya kekerasan. Kekerasan dapat berlangsung dalam keluarga dan relasi personal, bisa pula di tempat kerja atau melalui praktik-praktik budaya. 46Laporan kasus KDRT pun tidak semuanya terungkap karena sebagian besar korban tidak berani untuk membuka suara kepada pihak berwajib, serta penyebab lain yang terjadi adalah sebagian besar pihak perempuan merupakan ibu rumah tangga dan tidak memiliki penghasilan, sehingga apabila ia melaporkan suaminya ke pihak berwajib maka ada kekhawatiran jika ia dan anak-anaknya akan kehilangan seseorang untuk memberikan nafkah.

Potret budaya bangsa Indonesia yang masih patriarki sangat tidak menguntungkan posisi perempuan korban kekerasan. Seringkali perempuan korban kekerasan disalahkan (atau ikut disalahkan) atas kekerasan yang dilakukan pelaku (laki-laki). Misalnya, isteri korban KDRT oleh suaminya disalahkan dengan anggapan bahwa KDRT yang dilakukan suami korban adalah akibat perlakuannya yang salah kepada suaminya. Stigma korban terkait perlakuan (atau pelayanan) kepada suami ini telah menempatkan korban seolah seburuk pelaku kejahatan itu sendiri. (Kania:2015)

2. Kasus Pelecehan Seksual

Komnas Perempuan mengeluarkan Catatan Tahunan (Catahu) tahun 2016 dengan temuan terdapat 16.217 kasus pelecehan seksual yang berhasil didokumentasikan.

http://www.jurnalperempuan.org/blog2/-akar-kekerasan-seksual-terhadap-perempuan

(4)

Budaya patriarki memposisikan laki-laki sebagai pihak yang gagah dan cenderung memiliki keleluasaan untuk melakukan apapun terhadap perempuan. Ini yang menyebabkan tingginya angka pelecehan seksual di Indonesia. Budaya ini juga memberikan konstruksi dan pola pikir apabila laki-laki berkaitan erat dengan ego maskulinitas sementara femininitas sendiri diabaikan dan dianggap sebagai sesuatu yang lemah. Masyarakat seperti membiarkan jika ada laki-laki bersiul dan menggoda kaum perempuan yang melintas di jalan, tindakan mereka seolah-olah menjadi hal yang lumrah dan wajar sebab sebagai laki-laki, mereka harus berani menghadapi perempuan, laki-laki dianggap sebagai kaum penggoda sementara kaum hawa adalah objek atau makhluk yang pantas digoda dan tubuh perempuan dijadikan sebab dari tindakan kekerasan itu sendiri.

Terdapat pula yang disebut dengan victimblaming, atau suatu kondisi dimana pihak korban yang justru menjadi objek atau sasaran kesalahan dari sebuah kejadian. Pada kasus pelecehan seksual, perempuan justru menjadi pihak yang disalahkan, entah itu berkaitan dengan cara berpakaian, tingkah laku, waktu kejadian pelecehan, atau justifikasi yang tidak menempatkan laki-laki sebagai pelakuf. Dasar dari justifikasi tersebut adalah merupakan sesuatu yang normal untuk laki-laki melakukan pelecehan seksual karena mereka memiliki libido atau syahwat yang tinggi, letak permasalahannya justru terdapat di perempuan yang “menurut moralitas masyarakat” tidak bisa menjaga dirinya dengan baik atau terhormat. Para korban pun akhirnya diberi label oleh lingkungan sosial dengan label yang jelek atau bahkan hina.

3. Angka Pernikahan Dini

Menurut data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, angka pernikahan dini di Indonesia peringkat kedua di kawasan Asia Tenggara. Menurut data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, angka pernikahan dini di Indonesia peringkat kedua di kawasan Asia Tenggara.

Ada sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia di bawah umur 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 3 juta orang di tahun 2030. Dari banyak kasus yang berhasil dihimpun oleh Komnas Perempuan, hampir 50% pernikahan dini dilakukan antara perempuan berusia dibawah 18 tahun dengan laki-laki berusia diatas 30 tahun dan terjadi dibawah tekanan atau paksaan.

Terdapat pengaruh dari budaya patriarki dan konstruksi sosial yang dibentuk oleh masyarakat mengenai pernikahan dini, seperti perempuan adalah penerima nafkah dan hanya berkecimpung di sektor domestik. Implikasinya adalah kebebasan mereka benar-benar dibatasi dengan status seorang istri, seperti misalnya mereka tidak diberi kesempatan untuk meneruskan pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi atau mengembangkan bakat serta kemampuan yang mereka miliki. Sebagian besar dari mereka berstatus sebagai ibu rumah tangga dan cenderung tidak produktif sama sekali. Pekerjaan mereka hanya berkutat di mencuci, memasak, menyapu, dan membersihkan rumah. Di buku Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam karangan E.Linda Yuliani dijelaskan bahwa budaya patriarki yang masih terjadi di masyarakat membuat posisi perempuan menjadi terpojok dalam kasus pernikahan dini. Mereka tidak memiliki kebebasan untuk melakukan penolakan karena di beberapa adat, perempuan yang menolak untuk dinikahi adalah perempuan yang hina dan tidak tahu diri. Maka, meskipun realitas sosial yang terjadi bahwa banyak dari mereka yang belum siap secara mental untuk menikah, namun sayangnya fakta tersebut masih diabaikan.

4. Stigma Mengenai Perceraian

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tiga tahun merilis data bahwa angka perceraian di Indonesia menjadi yang tertinggi di Asia Pasifik dengan jumlah terlapor sebanyak 212.400 kasus perceraian dan 75% pihak penggugat datang dari pihak perempuan.

(5)

Perceraian merupakan hal paling tidak diimpikan oleh setiap pasangan suami-istri, terlebih bagi kaum perempuan. Budaya patriarki memberi kesan negatif kepada janda daripada duda. Kaum janda seringkali ditempatkan sebagai wanita pada posisi yang rendah, lemah, tidak berdaya dan membutuhkan belas kasih, sehingga dalam kondisi sosial budaya seringkali terjadiketidakadilan dan diskriminasi, termasuk pada stigma. Perempuan menjadi objek yang disalahkan atas terjadinya sebuah perceraian. Beberapa persepsi muncul pada kasus perceraian, bahwa kesalahan terdapat pada perempuan yang tidak mau bersabar sedikit menjaga keutuhan rumah tangganya. Padahal persoalan perceraian tidak lepas dari kedua belah pihak. Bukan hal yang asing lagi apabila terdapat celotehan, seperti “pantas ia diceraikan oleh suaminya, ia terlalu cerewet” atau “Oh ia cerai dengan suaminya. Pantas itu terjadi karena suaminya sudah tidak tahan dengan istrinya yang sangat pendiam”. Padahal menyandang status sebagai seorang janda bukan perkara mudah bagi seorang perempuan, sebab status tersebut memunculkan trauma yang berkepanjangan, bahkan banyak perempuan disalahkan atas kondisi yang demikian.

Kritik Feminis dan Gender

Setiap manusia dilahirkan dengan hak yang sama, baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, seharunya mereka memiliki akses yang sama dalam hal memperoleh pekerjaan, penddidikan, mengambil keputusan, bergabung dalam politik, dan lain sebagainya. Akan tetapi, terjadi ketimpangan gender akibat dari masih kentalnya pandangan dalam budaya masyarakat kita terhadap laki-laki dan perempuan. Hakikat keadilan dan kesetaraangender memang tidak bisa dilepaskan dari konteks yang selama ini dipahami oleh masyarakat tentang peranan

47Irianto, S. (2006). Perempuan & Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam realitas sosial mereka.

Pensubordinasian terhadap perempuan dianggap telah menjadi sesuatu yang struktural dan digambarkan sebagai sebuah budaya patriarki. Di negara Indonesia sendiri, memperlihatkan mengenai kedudukan seorang laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Sejarah nasional pun menguak sebuah fakta dimana kaum perempuan tidak diperbolehkan

untuk menempuh pendidikan (kecuali

perempuan tersebut berasal dari kalangan priyayi atau bangsawan), apalagi memiliki sebuah profesi diluar rumah atau ikut berpartisipasi dalam birokrasi. Maka, muncul gerakan dari seorang bangswan kelahiran Jepara, R.A Kartini yang memperjuangkan emansipasi perempuan di bidang pendidikan.

Sebagaimana yang telah digambakan sejarah bahwa perempuan adalah kaum yang termarginalkan, paradigma terus terhegomoni hingga sekarang sehingga perempuan selalu dianggap kaum lemah dan tidak berdaya. Inilah faktanya bahwa seberapa kuat gerakan feminisme di Indonesia namun budaya patriarki yang sudah dipegang erat oleh

masyarakat Indonesia susah untuk

dihilangkan. Walaupun perempuan saat ini sudah dapat menempuh pendidikan dengan bebas namun kembali lagi jika sudah berumah

tangga harus dapat membagi peran,

sebenarnya bias gender seperti ini muncul karena kontruksi masyarakat itu sendiri.

Telaah Kritis Hukum Indonesia mengenai Perempuan.

Stagnansi sistem hukum Indonesia tidak berpihak pada kepentingan dan perlindungan perempuan. Implementasi UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) belum sesuai dengan filosofi lahirnya UU tersebut.47 Hal tersebut nampak dalam kasus kriminalisasi perempuan korban

(6)

KDRT. Situasi ini merupakan indikasi lemahnya pemahaman institusi penegak hukum terhadap hak-hak korban dan kurangnya analisa gender dalam penggunaan UU PKDRT. Berdasarkan data dari Kalyanamitra, Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan, aparat Penegak Hukum (APH) belum mengutamakan kepentingan korban. Sehingga akses keadilan bagi korban terhambat bahkan korban kehilangan hak-haknya untuk mendapatkan perlindungan sebagaimana tertera dalam Pasal 10 UU PKDRT. Kondisi tersebut berimplikasi pada tingkat kekerasan terhadap korban. 12 persen dari kasus yang melaporkan secara pidana mengalami kekerasan berlapis, diikuti dengan impunitas terhadap pelaku.Kendala lain yang menghambat perempuan korban mencari keadilan diantaranya pemahaman APH terkait jumlah saksi dalam UU PKDRT dan pemahaman definisi korban; sulitnya menerobos birokrasi penegakan hukum; penolakan APH terhadap laporan korban dengan wilayah hukum berbeda; Aparat Penegak Hukum masih banyak yang menolak untuk mengeluarkan Penetapan Perlindungan sementara terhadap korban; Belum ada putusan hakim yang menjatuhkan sanksi terberat sebagaimana diatur dalam pasal 50 UU PKDRT. 48Kendala ini menambah beban bagi korban, karena membebankan korban dengan keterbatasannya harus menghadirkan saksi, alat bukti lain, membayar visum, mencari perlindungan secara mandiri, membuktikan dirinya sebagai korban.

Bahkan pada awalnya Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidaklah dianggap sebagai pelanggaran hak asasi perempuan. Letaknya pada ranah domestik menjadikan KDRT sebagai jenis kejahatan

48 Kalyanamitra.or.id. (2016, Januari 19). Lemahnya

Penegakan Hukum Kasus-kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Meningkatnya Kriminalisasi dan Reviktimisasi Perempuan. Retrieved from Kalyanamitra

Online:

http://www.kalyanamitra.or.id/2012/01/lemahnya- penegakan-hukum-kasus-kasus-kekerasan-terhadap- perempuan-dan-meningkatnya-kriminalisasi-dan-reviktimisasi-perempuan/

yang sering tidak tersentuh hukum. Ketika ada pelaporan KDRT kepada pihak yang berwajib, maka biasanya cukup dijawab dengan cara kekeluargaan. Sebelum keluarnya UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), korban tidak mendapat perlindungan hukum yang memadai.

Pada tataran lain, kelemahan dalam proses penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian menyangkut laporan korban, dimana korban tidak langsung melapor atau kurangnya bukti terhadap kasus. Akibat lemahnya bukti atau keterlambatan laporan kepada pihak kepolisian, menyebabkan korban pelecehan seksual pun kehilangan hak untuk menuntut balas pada pelaku.Banyak kasus yang dilaporkan sebagai perkosaan oleh korban dianggap oleh kepolisian tidak memenuhi unsur-unsur perkosaan dalam KUHP yakni “unsur paksaan” yang harus dibuktikan secara fisik. Padahal dalam pengalaman perempuan, paksaan tidak mesti secara fisik, cukup dengan adanya tekanan yang dilakukan oleh seorang yang memiliki pengaruh atau pihak yang dominan dalam relasi yang tidak setara membuat korban tidak berdaya. Paksaan secara psikis seperti ini justru sangat membekas dan menimbulkan trauma yang mendalam di diri korban.49Selain itu, menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak, setiap tahun rata-rata hanya 5% dari seluruh kasus hukum terkait kekerasan seksual pada anak yang mendapat hukuman maksimal sesuai UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yakni 15 tahun penjara.50

Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjelaskan adanya

49sejuk.org. (2014, Januari 24). Tegakkan Hukum terhadap Kasus-kasus Kekerasan Seksual! Retrieved

from Sejuk Website: http://sejuk.org/2014/01/24/tuntut-penegakan-hukum-kasus-kasus-kekerasan-seksual/

50mediaIndonesia.org. (2016, Mei 14). Proses Hukum Kejahatan Seksual Lemah. Retrieved from Media

Indonesia Web site:

http://mediaindonesia.com/news/read/45278/proses-hukum-kejahatan-seksual-lemah/2016-05-14

(7)

pengakuan terhadap prinsip persamaan bagi seluruh warga negara tanpa kecuali. Prinsip persamaan ini menghapuskan diskriminasi, karenanya setiap warga negara mempunyai hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa memandang agama, suku, jenis kelamin, kedudukan, dan golongan.Ini artinya secara yuridis, dalam tataran internasional maupun nasional, Instrumen hukum dan peraturan perundang-undangan Indonesia mengakui tentang adanya prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Namun, dalam tataran implementasi penyelenggaraan bernegara, diskriminasi dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan masih tetap ada. Bahkan mereka kerap tertinggal dan termarjinalkan dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, maupun dalam bidang politik.

Peraturan perundang-undangan harus diikuti dengan adanya penegakan hukum yang sensitif gender serta yang tidak kalah pentingannya adalah perubahan budaya patriarki yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Untuk mengubah nilai budaya tertentu bukanlah hal yang mudah, bahkan tidak dapat dilakukan dengan paksaan hukum. Cara yang lebih tepat adalah dengan merevitalisasi nilai budaya itu sendiri dan merefleksikan pengakuan terhadap hak-hak perempuan sehingga dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat pada umumnya.

Peran Pekerja Sosial.

Menurut Soejono Soekanto (1999), peran merupakan sebuah konsep yang dapat dilakukan individu dalam sebuah masyarakat sebagai sebuah organisasi. Peran juga meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Dalam menghadapi berbagai isu yang merupakan dampak dari budaya patriarki, pekerja sosial memiliki beberapa peran, yaitu:

1. Advokator

Pekerja sosial membantu memberikan perlindungan hukum kepada klien. Cara yang dilakukan adalah dengan mendampingi korban pada tingkat penyidikan, pemeriksaan, dan

penuntutan di pengadilan serta memberikan bimbingan secara objektif. Pekerja sosial juga melakukan kerja sama atau negoisasi dengan pihak lain agar kasus yang menimpa para klien dapat diusut dengan seadil mungkin.

2. Negotiator

Pekerja sosial menjadi wakil dari kliendalam menyuarakan hak nya dan berdiskusi dengan pihak-pihak lain yang dapat memberikan bantuan, misalkan pekerja sosial menjadi wakil di dalam diskusi tentang penanganan kasus KDRT dengan lembaga KOMNAS PEREMPUAN. Di dalam diskusi tersebut, pekerja sosial menjelaskan kondisi korban dengan jelas dan apa saja kerugian yang mereka alami.

3. Koordinator

Pekerja sosial menjadi koordinator di dalam proses memberikan bantuan atau pelayanan terhadap klien. Dalam hal ini juga, pekerja sosial memberikan arahan kepada berbagai pihak untuk bekerja sama dalam

memperjuangkan kepentingan

korban.Misalkan, pekerja sosial membentuk sebuah tim yang memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya pernikahan dini, maka pekerja sosial tersebut membagi peran serta tugas kepada setiap individu di dalam tim, mulai dari yang berperan untuk melakukan proses identifikasi s.d selesai.

4. Perantara

Pekerja sosial menghubungkan klien dengan pihak yang berpotensi untuk memberikan bantuan atau layanan. Pekerja sosial juga yang mempertemukan kedua pihak tersebut untuk mengidentifikasi masalah apa yang terjadi dan bersama-sama mencari penyelesaiannya.

5. Enabler (pemungkin)

Pekerja sosial membantu klien dalam mengidentifikasi permasalahannya dengan jelas, serta kembali menemukan potensi yang mereka miliki setelah semua permasalahaan atau kejadian traumatik yang terjadi. Misalkan, pekerja sosial memfasilitasi klien korban KDRT untuk kembali menemukan semangat hidup melalui kegiatan atau aktivitas yang menyenangkan.

(8)

6. Konselor

Pekerja sosial memberikan bimbingan psikologis kepada klien dengan melakukan active listening dan memfasilitasi klien dalam membicarakan mengenai masalahnya. Lalu, pekerja sosial juga memberikan empati kepada klien melalui pemberian dukungan secara moriil. Misalkan, pekerja sosial mendengarkan cerita dari perempuan yang menjadi bulan-bulanan masyarakat karena baru bercerai dengan suaminya dengan seksama dan sabar.

Kesimpulan dan Penutup

Data dalam artikel ini memperlihatkan bahwa banyak masalah sosial yang memiliki akar penyebab yang sama, yakni langgengnya budaya patriarki. Perjuangan melawan budaya patriarki yang menjadikan perempuan sebagai objek yang lemah telah dilakukan sekitar satu abad yang lalu oleh Raden Ajeng Kartini, hingga sekarang tentunya telah terjadi banyak perubahan secara substansi, struktur, maupun kultur mengenai perjuangan perempuan. Meskipun tidak mudah untuk mengubah kebijakan yang bias gender dengan konstruksi yang lebih adil gender dan ramah perempuan, namun hal itu harus tetap diupayakan. Perjuangan tersebut harus harus diikuti secara simultan dengan advokasi untuk mendukung terjadinya perubahan sikap dan prilaku secara struktural maupun kultural yang adil gender.

Substansi bias gender tidak akan mungkin berubah menjadi adil gender, apabila secara struktural penyelenggara negara tidak sensitif terhadap gender dan masalah mengenai perempuan itu sendiri dan masyarakat masih melanggengkan konstruksi sosial yang tidak adil gender di masyarakatnya. Perjuangan perempuan dalam mengakhiri sistem yang tidak adil (ketidakadilan gender) bukan hanya sekadar perjuangan perempuan melawan laki-laki, melainkan perjuangan melawan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat serta budaya patriarki yang memiliki stigma negatif. Serta tentunya sebagai pihak profesional, pekerja sosial memiliki kewenangan dalam membantu mengatasi berbagai hal yang terjadi akibat dari pengaruh

budaya patriarki tersebut melalui cara-cara yang tersistematis dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Bridges, K. M. (2013). Factors Contributing to Juvenile Delinquency. Journal of Criminal Law and Criminology. Burfeind, J., & Bartusch, D. J. (2006). The

Study of Juvenile Delinquency. In J. Burfeind, & D. J. Bartusch, Juvenile Delinquency: An Integrated Approach (2nd ed., pp. 10-11). London: Jones and Bartlett Publisher International.

Carroll, A., Houghton, S., Durkin, K., & Hattie, J. A. (2009). Adolescent Reputations and Risk. New York: Springer.

CB Magazine. (2014, July 21). Alumni SMAN 5 dan SMAN 20 Bandung Tawuran. Retrieved Maret 24, 2017, from cb-magazine.blogspot.co.id: http://cb-magazine.blogspot.co.id/2014/07/alum ni-sman-5-dan-sman-20-bandung.html

Curtis, A. C. (2015). Defining Adolescence. Journal of Adolescence and Family Heatlh, 7(2).

detikNews. (2013, Februari 19). Duh, Pelajar di Jabar Tertinggi Pengguna Narkoba. Retrieved Maret 24, 2017, from news.detik.com:

(9)

http://news.detik.com/jawabarat/2173 861/duh-pelajar-di-jabar-tertinggi-pengguna-narkoba

Doel, M. (2006). Using Groupwork. Madison Ave New York: Routledge.

Ferguson, E. A. (1963). Social Work an Introduction. Philadelphia & New York: Skidmore College J. B Lippincott Company.

Hardina, D., ., Middleton, J., Montana, S., & Simpson, R. (2007). An Empowering Approach to Managing Social Service Organizations. New York: Springer Publishing Company.

Kim, H.-S., & Kim, H.-S. (2008). Juvenile Delinquency and Youth Crime. New York: Nova Science Publisher.

Kompas.com. (2016, Desember 29). Ini 11 Jenis Kejahatan yang Menonjol Selama 2016. Retrieved Maret 24, 2017, from megapolitan.kompas.com: http://megapolitan.kompas.com/read/2 016/12/29/17470511/ini.11.jenis.kejah atan.yang.menonjol.selama.2016

Lall, M., & Sharma, S. (2009). Personal Growth & Traning & Development. New Delhi: Excel Books.

Midgley, J. (1995). Social Development - The Developmental Perspective In Social

Welfare. London: SAGE Publication Inc.

Payne, M. (2014). Modern Social Work Theory. Chicago, Illionis: Lyceum Book, Inc.

Poulin, J. (2005). Strenghts-Based Generalist Practice: A Collaborative Approach second edition. Belmont USA: Thompson Books/Cole.

Pujileksono, S. (2016). Perundang-undangan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Perspektif Pemenuhan Keadilan & Kesejahteraaan Sosial Masyarakat. Malang-Jawa Timur: Setara Press.

Rumini, S. (1997). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UPP IKIP Yogyakarta.

Selignman, M. E., & Csikszentmihalyi, M. (2000). Positive Psychology. American Psychologist, 55 no 1.

Shoemaker, D. J. (2013). JUVENILE DELINQUENCY. The Journal of Academic Social Science Studies, 578-588.

Shulman, L. (1991). Interactional Social Work Practice: toward an empirical theory. Itasca Illinois: Peacock publisher, inc.

Siegel, L. J., & Welsh, B. C. (2013). Juvenile Delinquency: The Core (4th ed.). New York: Cengage Learning.

(10)

Supriadi, Y. (2015, Agustus 14). Sepuluh Ribu Anak Kini Berhadapan Dengan Hukum. Retrieved Maret 24, 2017, from www.pikiran-rakyat.com:

http://www.pikiran-

rakyat.com/bandung- raya/2015/08/04/337054/sepuluh-ribu-anak-kini-berhadapan-dengan-hukum

Suryanto, A. (n.d.). Juvenile Delinquency in Indonesia. Retrieved April 7, 2017, from drianyanto.wordpress.com: https://drianyanto.wordpress.com/201 1/03/21/juvenile-delinquency-in-indonesia/

Zamrozik, A. (2009). Social Policy In The Post-Welfare State. australia.

Zastrow, C. (1987). Social Work with Groups. Chicago: Nelson-Hall Publisher .

Zastrow, C. (1995). The Practice of Social Work fifth edition. Pasific Grove California: Brooks/Cole Publishing Company.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

ADHI: Progres Proyek LRT Mencapai 56,1% TLKM: Penegasan Peringkat Baa1 oleh Moody's WEGE: Membidik Pertumbuhan Order Book 37,4% WSKT: Terus Mengamati Situasi Pasar.. Domestic

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori menurut Mottaghipur dan Bickerton (2005, dalam Nazara,2006), psikoedukasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan pada

Pengobatan TBC yang Gagal di Poli Paru BP4/ Rumah Sakit Paru Surabaya bulan Agustus 2011 ....

Penelitian dilakukan pada satu periode produksi dengan materi dan peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah DOD hibrida pedaging berjumlah 100 ekor, pakan starter

C Part X is soluble in grease molecules and part Y is soluble in water molecules Bahagian X adalah larut dalam molekul gris dan bahagian Y adalah larut dalam molekul air. D Part

Merupakan asas dalam perjanjian yang berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat mereka yang

[r]