• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengendalian. 4. Strategi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengendalian. 4. Strategi"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

4. Strategi

Pengendalian

ada Bab 3 telah disampaikan lima prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam merumuskan strategi pengendalian emisi dari sektor transportasi jalan, agar dihasilkan strategi yang efektif. Prinsip kelima secara khusus menegaskan pentingnya menyusun strategi yang menyentuh akar persoalan dan memerhatikan keadaaan nyata yang ditemui di masing-masing kota.

Penjelasan mengenai prinsip kelima pada bagian akhir Bab 3 tersebut telah menyinggung secara umum titik-titik intervensi untuk mengendalikan emisi dari sektor transportasi jalan. Intervensi yang dimaksud yakni untuk mengendalikan emisi per km dari tiap kendaraan bermotor dan total panjang perjalanan kendaraan bermotor. Intervensi tersebut secara skematis dapat dikelompokkan menjadi empat elemen sebagaimana yang ditampilkan dalam Gambar 4.1.

(2)

Kemudian mengacu pada keempat elemen yang saling terkait tersebut dapat dikembangkan beragam strategi pengendalian. Tentunya disesuaikan dengan keadaan nyata masing-masing kota, seperti antara lain faktor geografi, demografi, adat istiadat, kebudayaan, tingkat pendidikan masyarakat, perkembangan ekonomi, dan tingkat kesadaran masyarakat akan hak dan kewajibannya.

Gambar 4.1: Elemen pengendalian emisi sektor transportasi jalan

Penjelasan mengenai masing-masing elemen disajikan dalam Bab 4 ini. Elemen manajemen kebutuhan transportasi yang kewenangan sepenuhnya berada di tangan pemerintah kota diuraikan secara lebih rinci disertai ilustrasi maupun foto. Seluruh informasi pada Bab 4 ini diharapkan dapat memberi gambaran dan menjadi inspirasi bagi pemerintah kota dalam merancang strategi bagi kotanya.

Sebelum lebih lanjut menyimak pembahasan dalam Bab 4, satu hal yang perlu disadari adalah keterbatasan dana sejatinya tidak menjadi penghalang bagi

pemerintah kota dalam melakukan pengendalian emisi dari sektor transportasi jalan. Justru keterbatasan tersebut hendaknya menjadi pendorong bagi pemerintah kota untuk melahirkan strategi inovatif yang sesuai dengan karakteristik kotanya.

Bahan bakar bersih Manajemen kebutuhan transportasi Teknologikendaraan bermotor (ambang batasemisi)

Pengujian & perawatan kendaraan bermotor

(3)

Kunci suksesnya ada di komitmen pemerintah kota untuk mewujudkan udara yang baik dan sehat bagi seluruh warganya. Mari kita mulai pembahasan pada Bab 4 dengan belajar bagaimana komitmen dan inovasi berperan penting dari pengalaman Curitiba, sebuah kota di Brazil, sebagaimana dirangkum dalam Kotak 4.1.

Kotak 4.1: Jaime Lerner, inovator pembangunan kota berkelanjutan

Di Kota Curitiba, yang kini dihuni sekitar 1.8 juta penduduk (Wikipedia 2008), nama Jaime Lerner sangat kondang. Ia tak cuma dikenang sebagai salah seorang Walikota Curitiba, ibukota Parana City, sebuah kota di negeri Samba itu. Tapi, di tangan Lernerlah, pengembangan Kota Curitiba berhasil dikerjakan dengan apik.

Padahal, sebelum diangkat menjadi walikota, Lerner adalah seorang demonstran. Pada 1961, saat masih menjadi mahasiswa, Lerner bersama mahasiswa lain, pernah mendemo kebijakan walikota Curitiba

saat itu. Sebab, sang walikota berencana mengubah pusat kota dengan membangun jalan besar dengan cara memperlebar jalan. “Proyek itu akhirnya hanya akan membunuh sejarah dan karakter kota,” kata Lerner.

Mengapa Lerner nekat menentang rencana gubernurnya? Rupanya, ia punya pemikiran sendiri tentang pengembangan sebuah kota. Menurut Lerner, untuk mengembangkan sebuah kota, dibutuhkan suatu konsep yang dinamis. “Bukan konsep statis yang hanya merencanakan peruntukan wilayah dan hirarki jalan,” ujarnya.

Di benak Lerner, konsep pengembangan kota yang dipikirkannya adalah sebuah rechargeable city. Maksudnya, kota yang mampu meminimalkan pemborosan dan memaksimalkan penghematan. Dengan konsep ini, asumsi yang menganggap bahwa manusia memiliki sumber daya yang

(4)

tak terbatas, harus mulai ditinggalkan. Selain itu, harus pula mulai

dikembangkan sebuah pemikiran untuk menjadikan kota punya komitmen terhadap lingkungan.

Upaya penentangan Lerner itu berbuah hasil. Walikota menyerah dan akhirnya mengadakan sayembara perancangan master plan Curitiba. Akhirnya didapatkanlah beberapa buah rancangan yang dianggap optimal guna pengembangan kota. Dan, Lerner termasuk salah seorang anggota tim arsitek yang memenangkan sayembara tersebut.

Tapi, tidak serta-merta konsep itu dijadikan sebagai rancangan akhir pengembangan. Warga kota pun masih diajak diskusi untuk memperoleh hasil yang paling baik.

Sepuluh tahun setelah melakukan aksi demonstrasi menentang rencana pengembangan kota, Lerner pun akhirnya ditunjuk pemerintah

militer Brazil menjadi walikota Curitiba. Maka, dapatlah ia sebuah kesempatan untuk mewujudkan konsep pengembangan kota yang sudah lama mengendap di otaknya. Dan, karena ia sadar akan kondisi perekonomian Brazil yang sedang megap-megap, Lerner harus memikirkan sesuatu yang sederhana, murah, serta melibatkan masyarakat Brazil.

Sumber foto: Lina Faria

(5)

Sistem Bus Rapid Transit (BRT) yang kini diadopsi banyak negara adalah buah inovasi di masa pemerintahannya. Jauh sebelum kendaraan bermotor terlanjur menguasai kehidupan di kota, Lerner sudah memikirkan angkutan massal untuk kotanya. Angkutan umum massal setara dengan kualitas pelayanan metro (kereta api bawah tanah) akhirnya dapat dimiliki Curitiba dengan biaya yang hanya seperseratus biaya membangun metro. Majalah Reade’s Digest menempatkan Curitiba sebagai kota terbaik di Brazil. Dalam 30 tahun terakhir ekonominya tumbuh sebesar 7,1 persen, lebih tinggi dari laju pertumbuhan ekonomi nasional Brazil. Dalam

presentasinya tentang Sustainable City yang bisa disaksikan di http://www. ted.com, Lerner membuka rahasia sukses inovasinya: “Creativity starts when you cut a zero from your budget. If you cut two, much better” - Kreatifitas muncul ketika kita coret satu angka nol dari budget. Bila dua yang dicoret, justru makin baik.

Sumber: Kompilasi dari Rabinovitch dan Leitman (1996), TED (2007)

4.1 Elemen ke-1: bahan bakar yang lebih bersih

Bahan bakar yang lebih bersih akan menghasilkan emisi yang lebih rendah disamping merupakan prasyarat agar kendaraan bermotor dengan teknologi rendah emisi dapat beroperasi.

Bahan bakar minyak merupakan bahan bakar yang digunakan mayoritas kendaraan bermotor di Indonesia. Mulai tahun 2005, KNLH memantau kualitas bensin dan solar yang didistribusikan di Indonesia sebagai bagian dari Program Langit Biru untuk memastikan kualitas yang beredar sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Dukungan dari pemerintah kota sangat diharapkan dalam melakukan pemantauan tersebut.

(6)

Indonesia telah memasuki era bensin bebas timbel. Hal ini sesuai dengan spesifikasi bahan bakar yang dibutuhkan teknologi kendaraan bemotor berbahan bakar bensin yang setara dengan EURO 2. Sementara kandungan belerang dalam solar di

Indonesia masih tinggi. Dalam hal ini pemerintah kota dapat pro aktif menyampaikan permintaan kepada produsen agar pasokan solar ke daerahnya mempunyai

kandungan belerang yang sesuai, yakni maksimal 500 ppm.

Di samping mengawasi kualitas BBM yang dipasok produsen ke wilayahnya, pemerintah kota juga perlu memantau kemungkinan pencampuran BBM dengan bahan berbahaya di SPBU, pengecer maupun konsumen. Selain itu pemerintah kota juga dapat menggali peluang untuk memanfaatkan bahan bakar alternatif yang menghasilkan emisi per km lebih rendah seperti bahan bakar gas maupun bahan bakar nabati.

4.2 Elemen ke-2: teknologi kendaraan bermotor yang lebih

bersih

Teknologi kendaraan bermotor yang lebih bersih, yang sesuai dengan ambang batas emisi gas buang bertujuan mengendalikan besarnya emisi per km yang dihasilkan kendaraan bermotor.

Yang dapat dilakukan untuk merealisasikan ‘Bahan Bakar yang Bersih’:

• Pemerintah kota dapat meminta hasil pemantauan kualitas bensin dan solar yang didistribusikan di Indonesia kepada KNLH. Pemantauan dilakukan setiap tahun oleh KNLH.

• Pemerintah kota dapat proaktif meminta pasokan BBM dengan kualitas yang lebih baik kepada produsen BBM.

• Pemerintah kota perlu memantau kemungkinan pencampuran BBM dengan bahan aditif oleh distributor lokal.

• Pemerintah kota dapat menggali potensi pemakaian bahan bakar alternatif yang lebih bersih.

(7)

Ambang batas emisi gas buang berasosiasi dengan teknologi kendaraan bermotor. Semakin ketat ambang batas yang berlaku berarti teknologi kendaraan bermotor tersebut semakin rendah emisi. Ada dua jenis ambang batas emisi gas buang yang berlaku secara nasional, yakni ambang batas emisi gas buang bagi kendaraan bermotor tipe baru yang ditetapkan dalam Permen LH No. 4/2009 dan ambang batas gas buang kendaraan bermotor lama dalam Permen LH No. 5/2006.

Seluruh kendaraan bermotor yang masuk ke pasar Indonesia saat ini sudah diwajibkan lulus uji tipe, yang salah satu parameternya ambang batas emisi gas buang yang mengacu pada Permen LH No. 4/2009. Untuk kategori kendaraan bermotor roda empat, ambang batas yang ditetapkan dalam Permen LH No. 4/2009 tersebut telah setara dengan standar EURO 2. Secara teoritis kendaraan bermotor dengan teknologi yang setara dengan EURO 2, emisi per km nya 90% lebih rendah dibanding teknologi kendaraan pra-EURO (KNLH, 2008b).

Permen LH No. 4/2009 ditetapkan sesuai dengan teknologi terbaik yang mungkin diterapkan di Indonesia (best practicable technology) dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan bakar yang sesuai spesifikasi dan kesiapan industri otomotif dalam negeri. Permen LH No. 4/2009 diharapkan dapat mendorong proses alih teknologi ke kendaraan bermotor rendah emisi di Indonesia.

Proses alih teknologi kendaraan bermotor tersebut dapat dipercepat dengan memperketat ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama. Ambang batas tersebut ditetapkan berdasarkan suatu asumsi tingkat teknologi serta tingkat perawatan yang diinginkan serta ketersediaan bahan bakar yang sesuai spesifikasi.

Yang dapat dilakukan untuk merealisasikan ‘Teknologi Kendaraan Bermotor yang Bersih’:

Gubernur dapat menetapkan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama yang lebih ketat dari pada ketetapan nasional.

(8)

selain harus melakukan perawatan secara rutin dan memasang alat yang dapat menurunkan emisi seperti catalytic converter.

Bila diperlukan, suatu kota dapat menetapkan emisi gas buang kendaraan bermotor lama yang lebih ketat daripada ketentuan nasional. Tapi perlu disadari bahwa ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama tidak akan ada artinya tanpa ada kewajiban uji emisi gas buang bagi kendaraan bermotor lama secara berkala.

4.3 Elemen ke-3: pengujian dan perawatan emisi kendaraan

bermotor

Uji emisi gas buang bagi kendaraan bermotor lama bertujuan mendorong pemilik agar melakukan perawatan secara rutin terhadap kendaraan bermotornya.

Secara nasional setiap kendaraan bermotor yang beroperasi di jalan sudah

diwajibkan untuk memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang dalam UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pengawasan penaatannya bagi kendaraan bermotor lama dilakukan melalui kewajiban uji berkala. Tapi secara nasional kewajiban uji berkala baru berlaku bagi mobil penumpang umum, bus dan mobil barang.

Pemerintah kota disarankan melakukan evaluasi terhadap efektivitas pelaksanaan kewajiban uji berkala tersebut di kotanya masing-masing. Salah satu caranya adalah

Yang dapat dilakukan untuk menerapkan ‘Pengujian dan Perawatan Kendaraan Bermotor’:

• Pemerintah kota diharapkan mengevaluasi efektivitas kebijakan wajib uji emisi bagi kendaraan angkutan penumpang umum dan angkutan barang. • Pemerintah kota dapat menetapkan kebijakan wajib uji emisi bagi

(9)

dengan melakukan pemeriksaan tanda lulus uji maupun pengukuran emisi gas buang secara acak di jalan sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 42/1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan.

Sementara itu perlu dipikirkan cara untuk memantau penaatan sepeda motor dan mobil pribadi yang jumlahnya terus meningkat terhadap persyaratan ambang batas emisi gas buang. Sebagai langkah awal dapat dilakukan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan. Kemudian pemerintah kota dapat berinisiatif merumuskan peraturan dan sistem uji emisi gas buang berkala bagi sepeda motor ataupun mobil pribadi bila ternyata diperlukan. Seperti yang dilakukan Pemerintah DKI Jakarta dengan Perda No. 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Pasal 19 yang mewajibkan uji emisi bagi kendaraan bermotor pribadi yang terdaftar di wilayah DKI Jakarta sekurang-kurangnya setiap enam bulan sekali.

Walaupun demikian, pemerintah kota disarankan untuk melakukan kajian mendalam sebelum menerapkan kewajiban uji emisi gas buang bagi kendaraan bermotor pribadi. Terutama perlu dipertimbangkan bahwa uji emisi merupakan kebijakan yang bersifat atur dan awasi (command and control). Keberhasilannya ditentukan oleh kemampuan merancang sistem yang efektif dan handal serta penegakan hukumnya. Padahal tradisi legal di Indonesia secara umum masih sangat lemah.

Secara umum ada dua sistem uji emisi, yakni sentralisasi dan desentralisasi. Pengujian pada sistem sentralisasi dilakukan pada pusat pengujian emisi kendaraan bermotor yang jumlahnya terbatas sebagaimana yang saat ini berlaku bagi angkutan penumpang umum dan angkutan barang. Sementara pada pengujian pada sistem desentralisasi dilakukan di bengkel sekaligus dengan perawatan seperti yang saat ini telah berlaku di DKI Jakarta.

Deskripsi lebih lanjut dari kedua sistem uji emisi tersebut disajikan pada Tabel 4.1. Uraian lebih lengkap tentang uji emisi gas buang kendaraan bermotor dapat dilihat dalam Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Emisi dan Perawatan Kendaraan Bermotor yang dikeluarkan oleh KNLH pada tahun 2007.

(10)

Parameter Sentralisasi Desentralisasi

Tempat pengujian Sedikit dan terbatas. Bisa dibuat sebanyak-banyaknya.

Biaya investasi

Tinggi, pemerintah atau investor harus menyediakan lahan yang luas, teknisi, dan peralatan yang banyak.

Rendah, cukup dengan sertifikasi bengkel yang memiliki alat uji emisi .

Teknisi Cukup menyiapkan teknisi pemeriksa. Harus menyiapkan teknisi pemeriksa dan perbaikan mesin.

Peralatan teknis Sederhana, hanya mengenai isu pengujian.

Komplek, mengenai isu pengujian dan perawatan/ perbaikan mesin kendaraan.

Peralatan uji Dengan mudah dibuat seragam. Berbagai merek dan model alat uji. Kalibrasi Harus dilakukan lembaga independen yang terakreditasi.

Sistem informasi Mudah, hanya sedikit tempat uji dan peralatan seragam.

Rumit , banyak tempat uji dan banyak jenis uji yang harus diakses.

Perawatan kendaraan

Harus ke bengkel di luar sistem, menjadi tidak efisien bagi pemilik kendaraan, bila emisi melebihi ambang batas harus berulangkali ke tempat uji dan bengkel.

Bisa di bengkel uji yang satu atap dengan perawatan sehingga efisien bagi pemilik kendaraan, cukup datang di satu tempat maka pengujian emisi dan perbaikannya bisa diselesaikan.

Tanda lulus uji Harus disediakan oleh pemerintah atau dibuat oleh swasta dengan legalisasi dari pemerintah.

Kelembagaan

Harus dibangun dengan melibatkan semua stakeholder dan untuk pelaksanaan dapat ditunjuk satu atau beberapa instansi atau menunjuk lembaga independen.

Operasional/ pelaksanaan

Pemerintah perlu terjun dan membiayai langsung dalam pelaksanaan kecuali dikontrakkan kepada pihak swasta (mandiri).

Pemerintah tidak perlu terjun langsung, hanya mengawasi saja.

Pengawasan Mudah, hanya sedikit tempat uji yang diawasi.

Sulit, banyak tempat uji dan perawatan yang harus diawasi.

Penegakan hukum Harus dilakukan oleh pemerintah melalui uji petik yang intensif dengan sanksi yang tegas. Tabel 4.1: Alternatif sistem uji emisi gas buang kendaraan bermotor lama

(11)

4.4 Elemen ke-4: manajemen kebutuhan transportasi

Perencanaan transportasi pada intinya bertujuan untuk melayani kebutuhan transportasi sebesar-besarnya secara efisien, baik dari aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan.

Pendekatan konvensional dalam perencanaan transportasi dan masih banyak dianut, terfokus pada upaya menyediakan prasana jalan untuk memenuhi kebutuhan transportasi. Ilmu transportasi konvensional pada umumnya mengenal Manual Kapasitas Jalan Indonesia (atau Highway Capacity Manual), yang membandingkan satuan mobil penumpang terhadap kapasitas jalan sebagai ukuran pelayanan. Setiap kali arus mulai terhambat, maka jalan baru dibangun.

Sejalan dengan waktu, pendekatan ini terbukti bukan cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan transportasi di kawasan perkotaan. Lahan yang sangat terbatas di kawasan perkotaan menyebabkan upaya penyediaan jalan selalu tertinggal dibandingkan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor. Belum lagi dampak turunan dari meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor, termasuk ancaman pencemaran udara. Kesadaran ini melahirkan pendekatan baru dalam perencanaan transportasi yang dikenal sebagai manajemen kebutuhan transportasi (transport demand management).

Pendekatan manajemen kebutuhan transportasi merekayasa agar kebutuhan transportasi tidak melebihi sumber daya yang dapat mendukungnya dengan berpegang pada hirarki pengguna jalan sebagaimana ditampilkan dalam Kotak 4.2. Penerapan manajemen kebutuhan transportasi diharapkan dapat mengurangi total volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan mendorong perpindahan orang dari kendaraan bermotor pribadi ke moda transportasi yang lebih berkelanjutan seperti angkutan umum dan kendaraan tidak bermotor. Pendekatan ini juga bertujuan menciptakan pendapatan baru bagi pemerintah yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan angkutan umum serta fasilitas pejalan kaki dan kendaraan tidak bermotor melalui kebijakan retribusi (pricing policy) (Breithaupt, 2008).

(12)

Berkurangnya total volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan pendekatan manajemen kebutuhan transportasi berarti menurunkan total panjang perjalanan kendaraan bermotor. Manajemen kebutuhan transportasi merupakan

satu-satunya elemen yang dapat menurunkan panjang perjalanan kendaraan bermotor. Ketiga elemen intervensi yang telah diuraikan sebelumnya semuanya bertujuan menurunkan emisi per km kendaraan bermotor.

Kotak 4.2: Hierarki pengguna jalan

Ditinjau dari segi keekonomisan, kesetaraan sosial dan dampak lingkungan yang ditimbulkannya, maka pejalan kaki berada di puncak hirarki pengguna jalan pada piramida di samping. Artinya pejalan kaki perlu mendapat prioritas utama karena berjalan kaki merupakan jenis transportasi paling hemat, bebas polusi dan bisa dilakukan oleh siapa saja, bahkan anak-anak.

Pengguna mobil dan sepeda motor berada di urutan paling bawah, karena moda ini menggunakan bahan bakar yang harus dibeli, membutuhkan ruang jalan yang cukup besar, menimbulkan pencemaran udara dan digunakan hanya untuk kepentingan pribadi.

(13)

Menurunnya panjang perjalanan kendaraan bermotor dipastikan akan mendukung keberhasilan ketiga elemen intervensi tersebut dalam menurunkan beban pence-mar dari sektor transportasi jalan, tapi tidak demikian bila sebaliknya. Hal ini karena sekalipun emisi per km kendaraan bermotor dapat ditekan, tapi panjang perjalanan kendaraan bermotor dibiarkan terus bertambah seperti kecenderungan dewasa ini, maka beban pencemar tetap akan meningkat.

Selain itu tersedianya alternatif selain kendaraan bermotor pribadi yang memadai, akan menjadi jalan keluar bagi pemilik kendaraan bermotor pribadi yang emisi gas buangnya sudah tidak dapat memenuhi ambang batas. Sehingga tingkat penaatan terhadap ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama akan meningkat. Oleh karena itu strategi manajemen kebutuhan transportasi mutlak perlu dikembangkan turunannya sesuai karakteristik lokal oleh pemerintah kota.

Rekayasa terkait dengan manajemen kebutuhan transportasi dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan dampak yang ditimbulkannya terhadap individu sebagaimana ditampilkan pada Gambar 4.2, yaitu:

Dampak tarik, yaitu segala rekayasa yang menarik individu untuk

beralih ke angkutan umum atau kendaraan tidak bermotor

Dampak dorong, yaitu segala rekayasa yang membatasi penggunaan kendaraan bermotor pribadi

Dampak tarik dan dorong, yaitu segala rekayasa yang menarik individu

untuk beralih ke angkutan umum atau kendaraan tidak bermotor dan sekaligus membatasi penggunaan kendaraan bermotor

(14)

Dampak Dorong Dampak Tarik dan Dorong Dampak Tarik - Zona bebas kendaraan bermotor - Pembatasan ruang parkir. - Penerapan kawasan pembatasan penumpang (misalnya sistem 3 in1) - Penerapan sistem pembatasan dengan plat nomor

- Road pricing (tarif penggunaan jalan tertentu)

- Hari bebas kendaraan bermotor

- Jam bebas kendaraan bermotor

- Pengambilan ruas jalan untuk jalur khusus bus atau sepeda

- Pelebaran trotoar di sisi jalan

- Pengaturan lalu lintas yang memberi perioritas bagi angkutan umum massal dan kendaraan tidak bermotor

- Pendidikan publik

- Penataan ruang berorientasi transit

- Peningkatan kualitas pelayanan angkutan umum - Fasilitas pejalan kaki dan jalur sepeda yang terintegrasi dengan titik transit angkutan umum massal

- Fasilitas parkir dan melaju (park and ride)

Gambar 4.2: Konsep manajemen kebutuhan transportasi dan beberapa contohnya

Tarik

(15)

Berikut diuraikan lebih rinci untuk rekayasa manajemen kebutuhan transportasi tersebut beserta contoh penerapannya.

A. Penataan ruang berorientasi transit

Penataan ruang suatu kota dapat dikembangkan atas simpul-simpul yang terhubung dengan pelayanan angkutan umum massal. Lalu di tiap simpul diterapkan tata guna lahan campuran (mix-use) dengan kepadatan penduduk (densitas) tinggi. Pola penataan ruang seperti ini dikenal dengan istilah Transit Oriented Development (TOD) atau penataan ruang berorientasi transit. Pola ini diharapkan dapat melepaskan kota dari ketergantungan terhadap kendaraan bermotor pribadi. Gambar 4.3 menampilkan ilustrasi perbandingan antara kota dengan penataan ruang tersebar den pola yang beorientasi transit.

Yang dapat dilakukan untuk menerapkan “Manajemen Kebutuhan Transportasi”:

• Penataan ruang berorientasi transit

• Peningkatan kualitas pelayanan angkutan umum berorientasi transit • Revitalisasi fasilitas pejalan kaki dan kendaraan tidak bermotor • Pembatasan penggunaan kendaraan bermotor pribadi

• Fasilitas parkir dan melaju (park and ride)

Gambar 4.3: Perbandingan pola penataan ruang

1. Pola tersebar, densitas rendah 2. Pola berorientasi transit, terkonsentrasi di sepanjang koridor

(16)

Tata guna lahan campuran berarti fungsi jasa komersial/retail, perkantoran dan permukiman berada dalam jarak yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki maupun kendaraan tidak bermotor (radius 0,4 – 0,8 km). Sedangkan kepadatan penduduk tinggi memungkinkan angkutan umum massal beroperasi secara optimal. Sehingga kebutuhan pergerakan manusia dapat dipenuhi dengan moda angkutan umum massal hingga titik transit terdekat, lalu dikombinasikan dengan berjalan kaki dan kendaraan tidak bermotor, seperti becak dan sepeda, hingga mencapai tempat tujuan.

Beberapa kota di Asia seperti Singapura, Hongkong, Tokyo, dan Seoul dapat menjadi contoh sukses aplikasi penataan ruang berorientasi transit. Disamping itu pemusatan penduduk pada simpul-simpul tersebut memungkinkan kota untuk memiliki ruang terbuka hijau yang memadai.

Tidak ada kata terlambat untuk mulai membenahi penataan ruang suatu kota ke arah yang berorientasi transit. Sekalipun bagi kota yang sudah terlanjur tergantung pada kendaraan bermotor pribadi, seperti yang dapat dipelajari dari pengalaman Kota Seoul dalam Kotak 4.3.

Kotak 4.3: Seoul, tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai perubahan

Catatan perjalanan pembangunan kota mega Seoul, dengan penduduk dan luas area yang hampir sama dengan Jakarta, memberikan pelajaran yang berharga bagi para perencana kota dan ahli transportasi di dunia. Hingga tahun 2003, untuk mengatasi permasalahan jumlah perjalanan sebesar 30 juta per hari, Pemerintah Kota Seoul terus membangun jalan, overpass, underpass, dan jalan layang bebas hambatan di dalam kota hingga mencapai 8.000 km. Meskipun beberapa koridor telah memiliki jalan 2 x 6 lajur, upaya ini tidak membuahkan hasil karena kemacetan yang bertambah parah. Polusi udara kota pun meningkat dan indikator kesehatan masyarakat cenderung menurun.

(17)

Gambar Sungai Cheong Gye Chong setelah jalan layang sepanjang 5,8 km di atasnya, yang dibangun semenjak tahun 1968, diruntuhkan.

Sumber foto: Aniko Atilla

Wali Kota Lee Myung Bak mereformasi cara berpikir transportasi dengan mengurangi jumlah jalan yang ada di tengah kota. Alih-alih membangun jalan, yang dilakukan adalah meruntuhkan 5,8 km jalan layang bebas hambatan di tengah kota dan mengubahnya menjadi sungai (Cheong Gye Chong Restoration Project).

Tidak berhenti di sini, Lee Myung Bak juga menutup salah satu simpang jalan terbesar dan mengubahnya menjadi ruang terbuka hijau, meruntuhkan beberapa fly over, dan mengurangi jumlah tempat parkir.

Pada saat yang bersamaan, angkutan umum perkotaan berupa subway dan bus ditingkatkan kualitasnya. Seoul memiliki jaringan subway 536 km yang mampu mengangkut penumpang sebanyak 4,5 juta orang per hari.

Tindakan yang counter-intuitive ini memaksa para pengendara kendaraan pribadi untuk pindah ke angkutan umum di tengah kota. Sebagai akibat

(18)

hingga 9 persen, indikator lingkungan, seperti kualitas udara, kebisingan, heat island (suhu daratan), dan kualitas air, juga membaik.

Di samping itu, konsumsi BBM juga menurun dan memberikan

penghematan pada tahun 2005 sebesar 5 persen. Masyarakat merasakan perubahan tingkat kerekatan sosial yang semakin baik dan Kota Seoul menjadi lebih manusiawi.

Atas langkah-langkahnya ini Lee Myung Bak dianggap sebagai salah satu ikon transportasi dan disetarakan dengan para reformis transportasi dunia lainnya, seperti Enrique Penalosa (Wali Kota Bogota), Jaime Lerner (Wali Kota Curitiba), dan Ken Livingston (Wali Kota London). Tidak hanya itu, Lee Myung Bak akhirnya terpilih menjadi Presiden Korea Selatan saat ini karena dianggap mempunyai visi ke depan dalam pembangunan daerah.

Sumber: Susantono (2008)

Perhatikan pula Gambar 4.4 yang memperlihatkan konsep penataan ruang kota

berorientasi transit. Konsep ini sangat mungkin dikembangkan di kota-kota di Indonesia, terutama bagi kota-kota baru. Rancangan tersebut ditujukan bagi kota dengan populasi satu juta jiwa, tapi bisa dimodifikasi untuk kota berpenduduk sekitar 300 ribu hingga 3 juta jiwa.

Bila populasi mencapai 3 juta jiwa, maka waktu tempuh maksimal diperkirakan mencapai satu jam. Bila lebih dari besaran populasi tersebut, disarankan untuk mengembangkannya menjadi beberapa kota saudara (sister cities) yang masing-masing berpenduduk

sebesar 1 juta jiwa. Lalu antara pusat kota dihubungkan oleh angkutan umum massal berkecepatan tinggi.

(19)

Desain kota

Tiap kecamatan terdiri dari beberapa kelurahan berpola radial. Tiga kelurahan terjauh dari pusat kota dialokasikan sebagai area infrastuktur kota, industri berat, parkir dll.

Desain tiap kecamatan

Sebuah kota dirancang dalam 6 cluster berpola melingkar. Tiap cluster terdiri dari beberapa kelurahan yang membentuk sebuah kecamatan. Seluruh kelurahan terhubung dengan sistem angkutan umum massal yang terintegrasi. Antar kecamatan dipisahkan dengan ruang terbuka hijau.

Desain tiap kelurahan

Tiap pusat kelurahan dilalui jalur angkutan umum massal. Diameter tiap kelurahan sekitar 760 m (kurang dari 1 km), sehingga angkutan umum massal dan seluruh tempat di kelurahan tersebut dapat dijangkau dengan berjalan kaki atau pun bersepeda.

Populasi : 1.000.000 jiwa Luas : 250 km2 Kawasan terbangun : 20% Ruang terbuka hijau : 80% Jumlah kecamatan : 6

Ruang terbuka hijau

Desain kota Desain tiap kecamatan

Desain tiap kelurahan Desain tiap blok

Jumlah kelurahan : 100 Populasi kelurahan : 12.000 jiwa Diameter kelurahan : 760 m Koefisien lantai bangunan 1,5 Waktu tempuh maks : 35 menit

(20)

B. Peningkatan kualitas pelayanan angkutan umum berorientasi transit

Angkutan umum memberikan alternatif moda transportasi bagi pengguna kendaraan bermotor pribadi. Semakin baik pelayanan angkutan umum, maka akan semakin kuat daya tariknya untuk mengalihkan pengguna kendaraan bermotor pribadi ke angkutan umum. Kualitas pelayanan angkutan umum tersebut ditentukan setidaknya oleh lima parameter berikut:

• Keselamatan dan keamanan penumpang

• Kemudahan mendapatkan layanan yang dinilai dari waktu tunggu untuk mendapatkan layanan dan jarak mencapai halte

• Lama perjalanan dari tempat asal ke tujuan dibandingkan dengan menggunakan kendaraan bermotor pribadi

• Biaya perjalanan dibandingkan dengan menggunakan kendaraan bermotor pribadi dan pengeluaran rumah tangga

• Kenyamanan sistem angkutan umum secara keseluruhan yang antara lain meliputi kebersihan armada dan halte, ketersediaan tempat duduk (load factor), ketersediaan pengatur suhu ruangan dan lain-lain. Pemerintah kota perlu mengembangan sistem angkutan umum sebagai bentuk pelayanan umum bagi masyarakat. Segenap upaya perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan sistem angkutan umum, baik dari aspek teknis maupun manajemen.

Dari aspek teknis, sistem angkutan umum massal perlu dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pergerakan penduduk yang tinggi di kota metropolitan dan kota besar Indonesia. Sistem angkutan umum massal yang memiliki ciri kapasitas dan kecepatan tinggi, yang biasanya beroperasi pada jalur prioritas untuk menjamin kualitas pelayanan. Kotak 4.4 merangkum beberapa opsi sistem angkutan umum massal berdasarkan teknologinya.

(21)

Kotak 4.4: Sistem angkutan umum massal

Setidaknya ada empat jenis sistem angkutan umum massal berdasarkan fitur teknologi modanya, yakni:

Berbasis bus (bus rapid transit) yang beroperasi pada bidang jalan dengan jalur khusus dan prioritas;

Rel ringan (light rapid transit) atau biasa dikenal dengan

monorel. Rel dapat berbentuk rel layang (elevated light rail) maupun terletak di atas sebidang tanah.

Metro atau subway yang umumnya beroperasi pada rel bawah tanah, tapi ada kalanya juga menggunakan rel layang.

• Kereta api penglaju yang beroperasi pada rel di bidang jalan dengan jarak menengah seperti KRL Jabodetabek.

Pemilihan sistem di atas bagi suatu kota sangat ditentukan oleh kebutuhan dan kemampuan kota. Kebutuhan dapat dihitung dari jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan penduduk. Sedangkan kemampuan biasanya ditentukan oleh anggaran pemerintah yang tersedia untuk pembangunan infrastruktur dan daya beli masyarakat.

Apabila diperlukan maka investasi swasta harus diupayakan, regulasi bagi operator harus ditetapkan dan prioritas pergerakan berupa jalur khusus dan akses khusus di pemberhentian diberikan bagi angkutan umum massal. Penjelasan mengenai pilihan angkutan massal yang cocok untuk kota Anda, bisa disimak dalam GTZ Sourcebook, ”Module 3a: Mass Transit Options” atau “Modul 3a: Opsi Angkutan Massal” (Wright dan Fjellstrom 2003). Publikasi bisa didapatkan di http://www.sutp.org

Sementara itu terobosan untuk meningkatkan kualitas pelayanan pada aspek manajemen perlu dirumuskan dengan memerhatikan kepentingan para pemangku

(22)

• Sistem tiket yang inovatif untuk mencegah kebocoran, mencatat jumlah penumpang agar kapasitas pelayanan dapat dievaluasi serta

mempersingkat waktu antrian dan memberi insentif bagi penumpang (seperti tiket terusan dan abonemen).

• Sistem penggajian awak angkutan yang berbasis kinerja agar termotivasi untuk ikut serta meningkatkan kualitas layanan dengan memberi

pendapatan tetap dan bonus

• Sistem subsidi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pengguna maupun operator dengan cara yang inovatif agar jaringan angkutan umum menjangkau seluruh penjuru kota dan dapat diakses aneka lapisan masyarakat.

• Pembayaran operator angkutan umum berdasarkan sistem kilometer pelayanan seperti yang sudah dicoba diterapkan dalam pengelolaan Bus Trans Jakarta.

C. Revitalisasi fasilitas pejalan kaki dan kendaraan tidak bermotor

Berbeda dengan kendaraan bermotor pribadi yang dapat melayani pergerakan dari titik asal ke titik tujuan, maka bila dengan angkutan umum masih ada bagian dari pergerakan yang harus dilakukan dengan berjalan kaki atau sepeda. Oleh karena itu fasilitas bagi pejalan kaki dan pengendara sepeda juga perlu dikembangkan sebagai bagian yang terintegrasi dengan peningkatan kualitas pelayanan angkutan umum.

Selama ini pembangunan fasilitas kendaraan tidak bermotor memang sering kali terabaikan dalam perencanaan pembangunan kota di Indonesia. Seakan jalan hanya untuk gerak kendaraan bermotor, padahal di dalam UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, jalan sebenarnya diperuntukkan bagi gerak kendaraan, orang dan hewan. Pemahaman ini perlu diangkat, sehingga hak pengguna jalan lainnya juga dapat terpenuhi.

Pada awalnya isu kesetaraan hak warga negara akan ruang jalan, baik bagi mereka yang mampu memiliki kendaraan bermotor maupun yang tidak, inilah

(23)

yang mendorong perencanaan dan pembangunan fasilitas kendaraan tidak bermotor yang sangat baik di Eropa dan beberapa negara maju lainnya.

Keberadaan fasilitas ini menjamin pergerakan penduduk sekalipun tidak memiliki kendaraan bermotor.

Baru akhir-akhir ini banyak kota di negara berkembang tergerak untuk menyediakan fasilitas kendaraan tidak bermotor. Tujuannya disamping untuk mengurangi

penggunaan kendaraan bermotor, juga untuk menambah daya tarik kota (terutama kawasan wisata). Beberapa di antaranya adalah:

• Singapura, mengembangkan fasilitas kendaraan tidak bermotor yang terintegrasi dengan sistem angkutan umum massal agar pengguna angkutan umum dapat melakukan pergerakan dengan aman dan nyaman. Fasilitas kendaraan tidak bermotor juga dirancang untuk menghubungkan ruang-ruang publik dan ruang terbuka hijau (urban park connectors).

• Bogota, Kolombia, mengembangkan jalur khusus sepeda dan fasilitas parkir sepeda pada halte Bus Rapid Transit agar penggunanya dapat bersepeda dari titik asal pergerakan.

D. Pembatasan penggunaan kendaraan bermotor pribadi

Kebijakan untuk meningkatkan kualitas layanan angkutan umum serta

perbaikan fasilitas pejalan kaki dan kendaraan tidak bermotor, tidak serta merta akan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Hal ini disebabkan karena daya adaptif warga masyarakat berbeda-beda. Warga yang sudah sangat terbiasa menggunakan kendaraan bermotor pribadi cenderung menemui kesulitan untuk beralih moda atau menggunakan fasilitas kendaraan tidak bermotor.

Untuk itu, pemerintah juga perlu menerapkan kebijakan pembatasan lalu lintas, terutama pada area yang layanan angkutan umum dan fasilitas kendaraan tidak bermotornya sudah relatif baik. Menurut ilmu transportasi, hal ini ibarat gaya tarik dan gaya dorong. Pelayanan angkutan umum yang baik adalah gaya tarik

(24)

sedangkan gaya dorong adalah kebijakan yang ‘memaksa warga dengan halus’ agar beralih moda dari kendaraan bermotor pribadinya.

Pada dasarnya pembatasan lalu lintas dapat dilakukan dengan beberapa skema sebagai berikut ini:

(i) Pembatasan fisik

• Zona bebas kendaraan bermotor • Pembatasan ruang parkir

Penerapan kawasan pembatasan penumpang (sistem 3 in1) • Penerapan sistem pembatasan dengan plat nomor.

(ii) Instrumen ekonomi

Road pricing (tarif penggunaan jalan tertentu). • Penerapan tarif parkir tinggi pada zona tertentu (iii) Pembatasan non-permanen

• Hari/jam bebas kendaraan bermotor • Hari/jam bebas kendaraan bermotor

Skema kebijakan di atas memiliki tingkat kesuksesan (efektifitas) berbeda-beda. Efektifitas kebijakan di atas sangat ditentukan oleh kapasitas penegakan dan juga sosialisasi sebelum kebijakan tersebut diterapkan. Pilihan di atas tidak berlaku eksklusif, malah sangat dianjurkan untuk mengkombinasikan skema-skema di atas sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing kota.

Kebijakan zona bebas kendaraan bermotor dapat pula diterapkan untuk kawasan wisata dan sebagai upaya revitalisasi kawasan bersejarah. Dalam pelaksanaan pembatasan non-permanen, dapat juga digunakan sebagai wadah untuk kampanye penggunaan kendaraan tidak bermotor kepada masyarakat. Perlu diingat, bahwa kebijakan di atas adalah kebijakan pelengkap dari kebijakan perbaikan layanan angkutan umum dan fasilitas kendaraan tidak bermotor.

(25)

E. Fasilitas parkir dan melaju (park and ride)

Park and ride adalah fasilitas parkir yang biasanya tersedia di halte atau terminal sarana angkutan umum massal sehingga memungkinkan penglaju berpindah moda dari kendaraan pribadi (mobil dan sepeda motor) dan meneruskan perjalanan menggunakan angkutan umum massal dari titik tersebut.

Strategi perjalanan ini umum digunakan oleh pekerja yang bertempat tinggal di pinggir kota yang bekerja di pusat kota. Kendaraan diparkir pada terminal-terminal ujung jaringan angkutan umum massal pada pagi hari, lalu digunakan kembali pada sore hari.

Tujuan dari penyediaan fasilitas ini adalah memudahkan pengguna kendaraan bermotor pribadi yang ingin menggunakan angkutan umum massal sehingga mengurangi beban kemacetan lalu lintas di pusat kota.Kemacetan berkurang karena jumlah kendaraan yang masuk ke pusat kota juga berkurang akibat di parkir di pinggir kota.

Di Jakarta, strategi ini sudah digunakan sepanjang jaringan rel KA Jabodetabek, terutama di Bogor dan Depok, dan juga tersedia fasilitas yang sama untuk Bus Trans Jakarta di Ragunan dan Kalideres. Di negara maju, efektifitas park and ride juga didukung oleh penerapan tarif parkir yang jauh lebih tinggi di pusat kota, sehingga banyak pengguna kendaraan bermotor yang memilih parkir di pinggir kota dan menggunakan angkutan umum massal menuju pusat kota.

F. Contoh penerapan manajemen kebutuhan transportasi di beberapa kota

Beberapa contoh penerapan manajemen kebutuhan transportasi sebenarnya dapat ditemui di beberapa kota di Indonesia. Bahkan bila dicermati, mungkin juga dapat ditemukan di kota Anda. Berikut kami kumpulkan beberapa contoh penerapan mulai dari kota-kota di Indonesia, negara tetangga, hingga menyeberang benua lain.

(26)

Jakarta

Menerapkan 3 in1 sejak 1991, pada Jl. Sudirman - Thamrin • Menerapkan zona bebas kendaraan bermotor dalam rangka

revitalisasi kawasan Taman Fatahilah pada tahun 2006

• Meningkatkan kualitas angkutan umum dengan mengembangkan sistem BRT Trans Jakarta

Menyediakan fasilitas park and ride di beberapa titik transit angkutan umum massal

• Menyelenggarakan Hari Bebas Kendaraan Bermotor setiap hari Minggu (Perda No. 2/2005)

Gambar 4.5: Bus Trans Jakarta mendapat prioritas, sehingga tidak ikut terjebak dalam kemacetan

(27)

Yogyakarta

• Meningkatkan kualitas angkutan umum dengan mengembangkan sistem BRT Trans Jogja. Jaringan Trans Jogja juga menguhubungkan Bandara Adi Sucipto dengan obyek wisata.

• Menjadikan Bandara Adi Sucipto terpadu dengan sarana angkutan umum massal berbasis jalan (Trans Jogja) dan rel. Kereta api penglaju Prambanan Ekspress yang melayani rute Kutoarjo-Yogyakarta-Surakarta berhenti di Stasiun Maguwo (Bandara Adi Sucipto) yang resmi

beroperasi sejak 26 Agustus 2008.

• Menerapkan zona pembatasan kendaraan pribadi sepanjang Malioboro • Gerakan bersepeda untuk bersekolah dan bekerja (Sego Segawe) yang digagas oleh Walikota Yogyakarta diluncurkan pada tanggal 13 Oktober 2008.

Gambar 4.6: Hari Bebas Kendaraan Bermotor di ruas Jl. Sudirman-Thamrin

(28)

Gambar 4.8: Bus Trans Jogja menghubungkan pusat kota, bandara dan obyek wisata

Gambar 4.7: Peluncuran Sego Segawe di Yogyakarta dihadiri ribuan pesepeda

Sumber foto: http://segosegawe.jogjakota.go.id/

(29)

Surakarta

Jalur lambat khusus sepeda di sepanjang jalan protokol Slamet Riyadi

Singapura

• Memperbaiki kualitas layanan angkutan umum yang terintegrasi dan menjangkau seluruh kota dengan investasi besar. Jaringannya terdiri dari sistem metro, Light Rapit Transit, dan bus.

• Pembangunan fasilitas pejalan kaki dan pesepeda.

• Menetapkan zona parkir dengan tarif tinggi, terutama di pusat kota (Central Business District atau CBD).

• Menerapkan zona pembatasan kendaraan pribadi yang kemudian ditingkatkan menjadi Electronic Road Pricing.

London, Inggris

• Memiliki sistem angkutan umum massal yang pertama di dunia. Metropolitan Railway yang kini termasuk dalam sistem metro Kota London telah

beroperasi sejak tahun 1863 (Schwandl, 2008).

Gambar 4.9: Jalur lambat khusus untuk sepeda dan pejalan kaki di Jl. Slamet Riyadi

(30)

• London menerapkan system Electronic Road Pricing yang dikenal dengan Congestion Charging sejak tahun 2005. Pada tahun 2007, area Congestion Charging diperluas dan tarif dinaikkan 40%.

• Tarif parkir maksimal tidak ditetapkan oleh pemerintah kota.

Eropa pada umumnya

Kota-kota di Eropa pada umumnya sudah ‘dewasa’ (mature) sebelum

ditemukannya kendaraan bermotor, sehingga jaringan jalan cenderung terbatas untuk pejalan kaki dan sepeda. Sering pula terdapat tram atau kereta ringan. Tarif parkir pada umumnya sangat tinggi dan berbanding lurus dengan harga lahan setempat.

Gambar 4.10: Pusat kota di Eropa yang sebagian besar bebas dari kendaraan bermotor

Bogota, Kolombia

Enrique Penalosa, Walikota Bogota periode tahun 1998-2000, menolak tawaran dana sebesar USD 10 milyar untuk proyek pembangunan jalan layang dan bebas hambatan dari JICA, karena sadar tidak mungkin mengandalkan mobil pribadi untuk memenuhi kebutuhan transportasi kota dengan. Beliau memilih untuk melakukan

Sumber foto: Penalosa (2007) Sumber foto: Penalosa (2007)

(31)

perubahan mendasar terhadap sistem transportasi kota Bogota dengan melakukan hal berikut:

• Memperbaiki kualitas layanan angkutan umum dengan mengembangkan sistem BRT Trans Milenio

• Membangunan fasilitas pejalan kaki dan sekitar 270 km jalur khusus sepeda (cicloruta). Jalur ini dibangun sejak tahun 2000 hingga Januari 2005

(Montezuma, 2005).

• Membatasi penggunaan kendaraan pribadi dengan sistem plat nomor (plico y placa).

Sementara itu untuk meningkatkan kesadaran publik, Pemerintah Kota Bogota menyelenggarakan Hari Bebas Kendaraan Bermotor untuk pertama kalinya pada tahun 2000. Seluruh ruas jalan di Kota Bogota ditutup selama 13 jam bagi kendaraan bermotor pribadi. Acara ini sukses memvisualiasikan visi kehidupan tanpa kendaraan bermotor di Bogota, terlihat dari hasil jejak pendapat setelah acara bahwa 88% warga kota menginginkannya dilakukan kembali. Untuk keberhasilan acara tersebut, Penalosa mendapat anugerah Stockholm Challenge Award. Kini lebih dari 110 km ruas jalan kota ditutup bagi kendaraan bermotor pribadi setiap minggu selama 7 jam.

Gambar 4.11: Jalur khusus pejalan kaki dan pesepeda di Bogota

(32)

Gambar 4.12: Fasilitas parkir sepeda di Bogota Sumber foto: Penalosa (2007)

Bogota juga melakukan sebuah referendum terhadap rencana pemerintah untuk membatasi penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Hasilnya memperlihatkan 51% warga kota setuju untuk melarang penggunaan kendaraan bermotor pribadi setiap hari pada jam sibuk pagi dan sore hari masing-masing selama 3 jam mulai tahun 2015.

Gambar

Gambar 4.1: Elemen pengendalian emisi sektor transportasi jalan
Tabel 4.1: Alternatif sistem uji emisi gas buang kendaraan bermotor lama
Gambar 4.2: Konsep manajemen kebutuhan transportasi dan beberapa  contohnya
Gambar Sungai Cheong Gye Chong setelah jalan layang sepanjang 5,8  km di atasnya, yang dibangun semenjak tahun 1968, diruntuhkan.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Sub Bagian Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan mempunyai fungsi

Enkripsi SAFER K-64... Dekripsi

Hal ini menunjukkan bahwa ukuran perusahaan, laba/rugi operasi, opini auditor dan reputasi auditor yang mengalami peningkatan maka akan meningkatkan audit delay laporan

Dibandingkan dengan teknik calendering, teknik ini memiliki kelebihan yakni waktu produksi yang lebih singkat dan mampu menghasilkan mie bermutu tinggi dengan dengan komposisi 100

Setelah mengamati respon-respon yang diberikan para responden yang merupakan mahasiswa Melayu dan kemudian dikaitkan dengan tipe-tipe orientasi politik individu,

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas tentang proses pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) di kelas VII A SMP N 3 Sentolo, yang

Perkalian matrik ini digunakan untuk operasional transformasi dari obyek 2D dan untuk komposisi (menggabungkan) tranformasi..

Apabila surat kuasa yang bersangkutan dilimpahkan seluruhnya kepada orang lain yang telah ditujukan oleh yang diberi kuasa, maka untuk selanjutnya penerimaan kuasa