• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sabtu, 07 Januari 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sabtu, 07 Januari 2012"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Sabtu, 07 Januari 2012

Dilema etik keperawatan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini menghadapi pasien yang dalam kondisi antara hidup dan mati kadang menimbulkan dilema. Meminta petimbangan keluarga pasien, seringkali tidak menyelesaikan masalah justru menimbulkan masalah baru.

Pasien-pasien sakit berat yang mengandalkan bantuan ventilator dan alat-alat

penunjang hidup lainnya, seringkali membingungkan dokter yang merawatnya. Dari sisi medis, pasien tidak ada harapan hidup karena hampir semua organ vital tubuhnya sudah rusak. Namun di sisi lain, mencabut semua alat bantu hidup dianggap sebagai tindakan pembunuhan´ yang tentunya bisa berbuntut peluang penuntutan oleh keluarga pasien. Di luar itu, biaya perawatan ICU yang tidak murah semakin membengkak dan bisa jadi keluarga pasien pun tak sanggup menanggungnya.

Situasi tersebut seringkali dialami oleh dokter yang bertugas di ICU. End-of life decisions, atau keputusan untuk mengakhiri hidup pasien-pasien yang tidak ada harapan hidup, dilihat dari pertimbangan etis dan medis. Pasien kritis yang memiliki harapan hidup wajib masuk ICU. Namun hanya ada empat kemungkinan bagi pasien yang masuk ICU: sembuh (getting better), meninggal, mengalami mati batang otak (brain stem death), atau dalam kondisi tidak ada harapan hidup dan sepenuhnya bergantung dengan bantuan ventilator.

Pasien jenis terakhir inilah yang terkadang menjadi dilema bagi dokter. Dari sisi penilaian medis, pemberian ventilator tidak akan bermanfaat, hanya memperpanjang proses kematian. Masalahnya di Indonesiabelum banyak dokter yang berani melakukan end-of-life decision. Padahal, sudah ada fatwa IDI yang membolehkan hal itu. Ada beberapa pilihan yang bisa dilakukan dokter terhadap pasien tanpa harapan hidup, yakni with-holding atau with-drawing life supports, yakni penundaan atau penghentian alat bantuan hidup.

Kedua tindakan ini bisa dilakukan pada pasien yang dalam kondisi vegetatif (sindroma aplika atau mati sosial). Kondisi vegetatif bisa dijelaskan secara medis

(2)

bila terdapat kerusakan otak berat yang ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsive, tetapi pasien memiliki EEG aktif dan beberapa refleks yang utuh.Pada pasien bisa saja terdapat daur antara sadar dan tidur. Ini harus dibedakan dari mati serebral yang EEG-nya tenang atau dari mati batang otak (MBO), di mana tidak ada refleks saraf otak dan nafas spontan. Meski sebagian masyarakat masih sulit menerima, namun pasien yang sudah mati batang otak, dari sisi medis dinyatakan sudah meninggal.

Normalnya, ventilator secara otomatis akan dilepaskan dari pasien dan jantung akan berhenti tidak lama kemudian. Namun secara legal maupun moral, sebenarnya tidak ada perbedaan di antara kedua tindakan tersebut.Tindakan ini berbeda dengan eutanasia yang diartikan sebagai tindakan aktif dan langsung untuk mengakhiri kehidupan. Sebagian besar negara termasuk Indonesia melarang tindakan eutanasia.

1.3 Rumusan Masalah

1. Apakah euthanasia itu?

2. Bagaimana hubungan mati batang otak dengan euthanasia?

3. Apa dasar hukum yang melandasi diperbolehkannya tindakan euthanasia di Indonesia?

4. Mengapa euthanasia menyebabkan dilemma bagi para dokter klinisi? 5. Mengapa euthanasia menjadi pro dan kontra di Indonesia?

1.4 Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain :

1. Untuk mengetahui pengertian euthanasia dan keterkaitannya dengan kejadian mati batang otak

2. Untuk mengetahui landasan hukum yang memperkuat tindakan euthanasia

3. Untuk memahami berbagai dilema yang terjadi pada kasus pasien mati batang otak euthanasia terhadap para klinisi di Indonesia.

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

Istilah “eutanasia” berasal dari bahasa Yunani: “eu” (baik) dan “thanatos” (kematian), sehingga dari segi asalnya berarti “kematian yang baik” atau “mati dengan baik”. Istilah lain

yang hampir semakna dengan itu dalam bahasa arab adalah qatl

ar-rahmah (pembunuhan dengan kasih sayang) atau taisir al-maut (memudahkan kematian).

Eutanasia sendiri sering diartikan sebagai tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.

Kemudian jika jauh merujuk ke belakang. Menurut Philo (50-20 SM) eutanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita” (dikutip dari 5). Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan

(4)

peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter.

Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan eutanasia dalam tiga arti, yaitu:

1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.

2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan pemberikan obat penenang.

3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

Dari pengertian pengertian di atas maka eutanasia mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien. 3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan.

4. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya. 5. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.

Jadi sebenarnya secara harafiah, eutanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.

2.2 Jenis-jenis Eutanasia

Mengikuti J. Wunderli yang membedakan tiga arti etunasia: 1. Eutanasia

Tidak semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebetulnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan seorang pasien dipergunakan.

2. Eutanasia tidak langsung

Usaha untuk memperingan kematian dengan efek sampingan bahwa pasien barangkali meninggal dengan lebih cepat. Di sini termasuk pemberian segala macam obat narkotika, hipnotika, dan analgetika yang barangkali de facto dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja.

(5)

Proses kematian diperingan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung. Dalam eutanasia aktif masih perlu dibedakan apakah pasien menginginkannya, tidak menginginkannya, atau tidak berada dalam keadaan di mana keinginannya dapat di ketahui.

2.3 Beberapa Aspek Dalam Eutanasia 1. Aspek Hukum

Undang-undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa

melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut.

Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.

2. Aspek Hak Asasi

Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.

3. Aspek Ilmu Pengetahuan

Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun

(6)

pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.

4. Aspek Agama

Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.

2.4 Praktek Eutanasia di Negara YangMelegalkannya

Di beberapa tempat sudah pernah diadakan jajak pendapat bahkan referendum untuk mengetahui pendapat masyarakat dalam hal eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Tetapi kalaupun mayoritas masyarakat menyetujui, dengan itu masalahnya belum selesai, karena menurut hukum di hampir semua negara eutanasia tergolong tindakan kriminal menurut ukuran “Kitab Hukum Pidana”. Yang menarik adalah, selama beberapa tahun terakhir ini, di bidang hukum terjadi terobosan. Beberapa negara sudah memodifikasi hukumnya agar

(7)

eutanasia atau bunuh diri berbantuan diperbolehkan dan lebih banyak negara lagi sedang mengadakan percobaan ke arah itu.

Belanda adalah negara pertama yang memungkinkan eutanasia. Tetapi perlu ditekankan, dalam “Kitab Hukum Pidana” Belanda secara formal eutanasia masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. Hanya saja, kalau beberapa syarat dipenuhi, dokter yang melakukan tidak akan dituntut di pengadilan. Tindakannya akan dianggap sebagai force majeure atau “keadaan terpaksa”, di mana hukum tidak bisa dipenuhi. Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya

Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan eutanasia dan bunuh diri berbantuan, meski

reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory

menerima UU yang disebut Right of the terminally ill bill (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.

Saat ini satu-satunya tempat di mana hukum secara eksplisit mengizinkan pasien terminal mengakhiri hidupnya adalah negara bagian AS, Oregon. Tahun 1997 Oregon melegalisasikan kemungkinan ini dengan memberlakukan The death with dignity act (UU tentang kematian yang pantas).

Belum jelas entah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999 (The New England Journal of Medicine, 24-2-2000).[16]

Sebuah fakta eutanasia di AS yang telah dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian. Kevorkian yang dijuluki Doctor Death itu “menolong” pasien yang masih diragukan statusnya, sehingga menjadi tanda tanya apakah yang dilakukannya itu benar-benar “menolong” pasien atau malahan membunuhnya. Dari 69 pasien yang kematiannya “dibantu” oleh dr. Kevorkian antara 1990–1998, hanya 25% yang didiagnosis sebagai terminally-ill

(8)

berdasarkan hasil otopsi. Sebanyak 72% dari pasien itu diduga kuat semakin menurun kondisi kesehatannya, justru karena dorongan keinginannya untuk mati. Hal yang juga patut diperhatikan ialah 71% dari pasien yang “dibantu” oleh dr. Kevorkian ternyata adalah wanita, suatu fakta yang bertentangan dengan data epidemiologis di berbagai kawasan dunia yang justru menunjukkan bahwa kaum wanita yang ingin mati karena penyakitnya jauh lebih sedikit dibanding kaum laki-laki. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Doctor Death itu sekarang menjadi perdebatan dari segi etika, sosial, dan hukum kedokteran, pantaskah dokter menentukan “status” dan kemudian langsung “menolong” pasien yang berkeinginan mati tersebut. Perlukah suatu badan atau dewan yang berwenang menentukan atau memutuskan bahwa seseorang telah sampai pada tahap terminally-ill dan untuk itu layak “ditolong” dengan euthanasia?

Di Indonesia seruan akan legalisasi eutanasia belum terdengar lantang. Mungkin, Menteri Negara Urusan HAM kita belum pernah mendapat permintaan untuk menaruh perhatian kepada “hak untuk mati”. Tetapi tidak mungkin diragukan, perawatan pasien terminal juga merupakan suatu masalah medis yang mahapenting di Tanah Air kita.

(9)

BAB III

TINJAUAN KASUS

2.1 Kasus pertama

Pasien Tn. M, umur 60 tahun dengan diagnose dokter suspek syok kardiogenik, dirawat di icu RSUD “PB” baru beberapa jam, kesadaran koma, terpasang ventilator, obat-obatan sudah maksimal untuk mempertahankan fungsi jantung dan organ vital lainnya. Urine tidak keluar sejak pasien masuk icu. Keluarga menginginkan dicabut semua alat bantu yang ada pada pasien. Penjelasan sudah diberikan kepada keluarga, dokter meminta kesempatan kepada keluarga untuk mencoba menyelamatkan nyawa pasien, tetapi keluarga tetap pada pendiriannya. Keluarga menandatangani surat penolakan untuk diteruskannya perawatan di icu dan surat penolakan dilakukannya tindakan. Akhirnya ventilator dimatikan oleh anak pasien dan semua alat dicabut dari pasien dengan disaksikan oleh keluarga, dokter dan perawat icu dan pasien meninggal dunia.

2.2 Kasus Kedua

Kasus ini benar-benar terjadi disuatu kota di Indonesia. Seorang pasien (72 tahun) sudah tidak bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian lagi, jatuh sakit. Hidupnya tergantung

dari para saudara yang tidak bisa menolong banyak.

Suatu hari dia jatuh pingsan dan dibawa ke suatu rumah sakit dan dimasukkan ke High Care Unit. Pasien diberikan oksigen. Pemeriksaan laboratorium menujukkan bahwa kedua ginjalnya sudah tidak berfungsi, sehingga harus dipasang kateter. Setelah dilakukan observasi beberapa jam, sang dokter menganjurkan memasukkan ke ICU karena perlu diberi bantuan pernafasan melalui ventilator. Dokter jaga meminta persetujuan anggota keluarganya. Saudaranya memutuskan untuk menolak menandatangani surat penolakan. Mengapa ? karena

(10)

atas pertimbangan manfaat dan finansial walaupun dirawat di ICU, belum tentu pasien tersebut akan bisa disembuhkan dan bisa normal kembali seperti sedia kala. Apakah keputusan untuk menolak ini salah ? Penolakan ini tentu sudah diperhitungkan dan dipikirkan matang-matang.

Suatu hari dirawat diruang HCU dengan obat-obat saja sudah menelan biaya beberapa juta. Bagaimana jika harus diteruskan di ICU ? pembiayannya akan tidak bisa terbayar dan bagaimna pemecahannya kelak ? Apakah saudara itu dapat dipersalahkan karena tega tidak mau menolong saudaranya dengan memasukkan ke ICU ? masalah yang dipertimbangkan : apakah bisa terbayar biaya-biaya ICU dan obat-obatannya yang mahal itu yang setiap hari harus dikeluarkan? Brapa lama pasien itu harus dirawat ? Apakah masih bisa dikembalikan kesehatanya seperti semula, sedangkan umurnya sudah 72 tahun ? seandainya bisa tertolong bagaimana selanjutnnya ? bukan kah fungsi ginjalnya sudah tidak bekerja ? ini berarti ia harus dilakukan dialisis seminggu dua kali yang perkalinya kurang lebih berjumlah beberapa ratus ribu rupiah. Bagaimana bissa membiayainya terus-menerus, sedangkan saudaranya juga orang bekerja dan mana mungkin membiayai cuci darah disamping mengongkosi rumah tangganya sendiri ?Apa salah jika ia menolak saudaranya dirawat di ICU ? dan jika ia harus berbaring terus di tempat tidur, buang air harus ditolong, siapa yang bias mengurusnya dan bagaimana membiayainya ? Rumusan dilema etik dilema keluarga yang tidak setuju dengan pemasangan ventilator dilema pasien yang ingin dimasukkan ke ICU dilema keluarga tentang

biaya ICU dan obat-obatan yang mahal

dilema dokter tentang pemasangan ventilator dilema keluarga tentang masa depan pasien. Suatu hari dia jatuh pingsan dan dibawa ke suatu rumah sakit dan dimasukkan ke High Care Unit. Pasien diberikan oksigen. kedua ginjalnya sudah tidak berfungsi, sehingga harus dipasang kateter. Sang dokter menganjurkan memasukkan ke ICU karena perlu diberi bantuan pernafasan melalui ventilator.

Dokter jaga meminta persetujuan anggota keluarganya. ANALISIS: Pada kasus ini seorang dokter ingin melakukan yang terbaik buat pasiennya dan tidak ingin lebih memperburuk keadaan pasien dimana memasukkan pasien ke HCU dan memberikan bantuan oksigen serta memberikan informasi tentang apa yang yang sebaiknya dilakukan pasien. Menurut JOHNSON SIEGLER saudaranya memutuskan untuk menolak menandatangani surat

(11)

umurnya sudah 72 tahun ? seandainya bisa tertolong bagaimana selanjutnnya ? bukan kah fungsi ginjalnya sudah tidak bekerja ? ini berarti ia harus dilakukan dialisis seminggu dua kali yang perkalinya kurang lebih berjumlah beberapa ratus ribu rupiah.

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien-pasien sakit berat yang mengandalkan bantuan ventilator dan alat-alat penunjang hidup lainnya, seringkali membingungkan dokter yang merawatnya. Dari sisi

(12)

medis, pasien tidak ada harapan hidup karena hampir semua organ vital tubuhnya sudah rusak. Namun di sisi lain, mencabut semua alat bantu hidup dianggap sebagai tindakan “pembunuhan” yang tentunya bisa berbuntut peluang penuntutan oleh keluarga pasien. Di luar itu, biaya perawatan ICU yang tidak murah semakin membengkak dan bisa jadi keluarga pasien pun tak sanggup menanggungnya.

Situasi tersebut seringkali dialami oleh dokter dan perawat yang bertugas di ICU.

End-of life decisions, atau keputusan untuk mengakhiri hidup pasien-pasien yang tidak ada

harapan hidup,dilihat dari pertimbanganetis dan medis, menjadi pembuka acara Simposium Nasional ketiga yang diselenggarakan Perhimpunan Kedokteran Emergensi Indonesia (PDEI). Acara berlangsung 26-27 Agutsus 2006 lalu di Hotel Milenium, Jakarta.

Dijelaskan oleh Dr. Sun Sunatrio SpAn-KIC, semua pasien kritis yang memiliki harapan hidup wajib masuk ICU. Namun hanya ada empat kemungkinan bagi pasien yang masuk ICU: sembuh (getting better), meninggal, mengalami mati batang otak (brain stem

death), atau dalam kondisi tidak ada harapan hidup dan sepenuhnya bergantung dengan

bantuan ventilator. “Pasien jenis terakhir inilah yang terkadang menjadi dilema bagi dokter. Dari sisi penilaian medis, pemberian ventilator tidak akan bermanfaat, hanya memperpanjang proses kematian. Apa yang akan Anda lakukan sebagai dokter?” Sunatrio bertanya pada peserta simposium.

Masalahnya di Indonesia, tambah dokter dari Departemen Anastesiologi FKUI/RSCM ini, belum banyak dokter yang berani melakukan end-of-life decision. Padahal, sudah ada fatwa IDI yang membolehkan hal itu. Ada beberapa pilihan yang bisa dilakukan dokter terhadap pasien tanpa harapan hidup, yakni with-holding atau with-drawing life supports, yakni penundaan atau penghentian alat bantuan hidup.

Kedua tindakan ini bisa dilakukan pada pasien yang dalam kondisi vegetatif (sindroma aplika atau mati sosial). Kondisi vegetatif bisa dijelaskan secara medis bila terdapat kerusakan otak berat yang ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsive, tetapi pasien memiliki EEG aktif dan beberapa refleks yang utuh. Pada pasien bisa saja terdapat daur antara sadar dan tidur. “Ini harus dibedakan dari mati serebral yang EEG-nya tenang atau dari mati batang otak (MBO), di mana tidak ada refleks saraf otak dan napas spontan,” ujar Sunatrio.

(13)

Meski sebagian masyarakat masih sulit menerima, namun pasien yang sudah mati batang otak, dari sisi medis dinyatakan sudah meninggal. Normalnya, ventilator secara otomatis akan dilepaskan dari pasien dan jantung akan berhenti tidak lama kemudian.

With-holding diartikan sebagai tindakan untuk tidak memberikan terapi baru walau

ada indikasi penyakit baru,namun tindakan yang sudah terlanjur diberikan tidak dihentikan. Sedangkan with-drawing adalah menghentikan semua terapi yang sudah diberikan kepada pasien sejak awal namun terbukti tidak bermanfaat. “Jadi with-drawing lebih bersifat aktif dibandingkan with-holding yang cenderung pasif dalam mengakhiri hidup pasien.

With-drawing juga lebih cepat menghasilkan kematian secara cepat dan pasti.”

Namun secara legal maupun moral, sebenarnya tidak ada perbedaan di antara kedua tindakan tersebut. Tindakan ini berbeda dengan eutanasia yang diartikan sebagai tindakan aktif dan langsung untuk mengakhiri kehidupan. Sebagian besar negara termasuk Indonesia melarang tindakan eutanasia. “With-holding maupun with-drawing dapat diterima dan dibenarkan bilamana penanganan medis hanya memperpanjang proses kematian,” jelas Sunatrio lagi.

Yang tergolong life support yang bisa dihentikan adalah perawatan ICU, CPR, alat pengontrol irama jantung, intubasi trakeal, ventilator, obat-obat vasoaktif, total nutrisi parenteral, organ buatan, transfusi darah, serta monitoring secara intensif. Di Indonesia, untuk pemberian antibiotik, nutrisi, dan cairan dasar bahkan termasuk life support yang dihentikan.

Sunatrio sendiri lebih menganjurkan tindakan with-drawing daripada with-holding. Alasannya, jika tindakan with-drawing tidak dilakukan, maka ruang ICU akan dipenuhi oleh pasien yang sebenarnya tidak ada harapan hidup. Dan jika hal ini dibiarkan justru akan melanggar empat prinsip-prinsip etik.

Keempat pelanggaran etik uang dimaksud adalah dari sisi manfaat buat pasien. Selain itu melanggar kewajiban untuk tidak menyiksa pasien dan melanggar hak pasien. “Siapapun tidak ingin hidup seperti sayuran,” jelas Sunatrio. Dan terakhir dari sisi keadilan, maka akan melanggar hak pasien lain. Artinya, pasien yang lebih memiliki harapan hidup seharusnya

(14)

lebih diprioritaskan. Dari segi finansial juga seharusnya biaya untuk perawatan yang sia-sia bisa dialokasikan ke hal lain yang lebih berguna.

Sayangnya masih banyak dokter yang tidak berani melakukan tindakan with-drawing maupun with-holding. Mungkin karena memberi kesan sengaja membunuh. “Padahal yang dituju bukan mengakhiri nyawa pasien namun menghentikan prosedur sulit yang sia-sia,” jelas Sunatrio yang merupakan pelopor tindakan with-drawing. Ia mengaku sudah melakukan tindakan ini sejak 1986.

Di Indonesia sendiri sudah ada aturan untuk melakukan tindakan with-holding dan

with-drawing. Antara lain fatwa IDI tahun 1988 yang disempurnakan tahun 1990 tentang

penentuan mati dan eutanasia pasif. Dalam waktu dekat bahkan akan keluar SK Menteri Kesehatan tentang mati dan with-holding/with-drawing. Keputusan ini merupakan hasil diskusi dengan IDSAI, PKGDI, Perdici, dan Organisasi Profesi Medis Klinis. Selain itu ada SK Direktur RSCM tahun 2006 tentang penentuan mati dan with-holding/with-drawing life

support.

Menurut ketentuan baik fatwa IDI maupun SK Direktur RSCM,

with-drawing/with-holding adalah keputusan medis dan etis oleh sebuah tim yang terdiri dari tiga orang dokter

yang kompeten. Sebelum keputusan penghentian/penundaan bantuan hidup dilaksanakan, tim dokter wajib menjelaskan kepada keluarga pasien tentang keadaan pasien dan keputusan tim dokter. Dalam hal tidak dijumpai adanya keluarga pasien, maka harus diperoleh persetujuan dari pimpinan Rumah Sakit atau Komite Medis Rumah Sakit.

Dipaparkan oleh Prof. Dr. Sjamsuhidayat SpB, KBD, persoalan End-of-life decisions sempat diteliti dalam studi di enam negara di Eropa, yang dimuat dalamThe Lancet, tahun 2003 lalu. Menurut pelaku studi, perkembangan ilmu kedokteran yang sangat pesat menghasilkan kemungkinan perbaikan yang berarti pada pasien sakit serius dan bisa memperpanjang usia hidup. Namun belakangan ditemukan, bahwa memperpanjang hidup pasien tidak selalu menjadi tujuan pengobatan yang diharapkan.

Studi ini menyimpulkan, kebanyakan keputusan medis dalam hal mengakhiri hidup pasien, paling sering dilakukan pada pasien yang memang tidak ada harapan hidup

(15)

(sekarat/dying) di semua negara peserta studi. Dalam membuat keputusan, pasien dan keluarganya kebanyakan dilibatkan.

Kesimpulan lain, keputusan medis yang dibuat untuk pasien-pasien kritis pada akhirnya akan melibatkan pertimbangan dari sisi medis, etikal, psikologis, dan aspek sosial. Petimbangan-pertimbangan ini, ditambah latar belakang hukum di masing-masing negara, pada akhirnya menghasilkan keputusan medis tentang end of life decisions, yang bisa melibatkan dokter, pasien dan keluarganya.

BAB VI

KESIMPULAN

Bagi seorang dokter maupun perawat, masalah eutanasia merupakan suatu dilema yang menempatkannya pada posisi yang serba sulit. Di satu pihak, ilmu dan teknologi kedokteran telah sedemikian maju sehingga mampu mempertahankan hidup seseorang (walaupun yang istilahnya hidup secara vegetatif); sedangkan di pihak lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga sudah sangat berubah.

Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkanpada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju (sehingga mampu mempertahankan hiduup vegetatif tadi) di pihak lain.

Masalah eutanasia tidak akanpernah pergi. Sebab di era modern ini yang bentuk kehidupannya sudah jauh dari kata “alamiah”. Menuntut agar manusia dibiarkan mati secara “alamiah” nampak ilusoris. Dalam konteks eutanasia vis a vis dengan kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran. Masalah baru dalam etika kedokteran akan terus timbul seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran itu sendiri, tetapi menjadi patut disayangkan dan kemudian harus terus direnungkan secara mendalam. Bahwa sejauh ini solusi etis sangat jarang ditawarkan.

Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali para dokter dan tenaga medis lain harus barhadapan dengan kasus-kasus yang dikatakan sebagai eutanasia itu, dan di situlah tuntunan serta rambu-rambu etika, moral, dan hukum sangat dibutuhkan. Dan rambu-rambu itu harus

(16)

dibuat dengan berpegang pada keempat aspek eutanasia yang sudah saya paparkan sebelumnya, yakni aspek hukum, hak asazi, ilmu pengetahuan dan agama.

DAFTAR PUSTAKA

Andrew C. Varga, The Main Issues in Bioethics, New York 1984, hal. 268.

Bertens, K, Eutanasia: Perdebatan Yang Berkepanjangan, Kompas, 28 September 2000.

Laodesyamri. www.id.SHVoong.com tanggal 07 Maret 2011

Simposium “Dilema di Balik Eksekusi Mati”

Edisi Oktober 2006 (Vol.6 No.3)

Suseno Magnis, Franz. Dalam majalah Higina dan kemudian digunakan lagi oleh beliau dalam buku nya: Berfilsafat Dari Konteks, Gramedia, hal. 174.

Referensi

Dokumen terkait

(2002), hasil uji in vitro bawang putih terhadap beberapa bakteri yang sensitif telah menunjukkan hasil yang signifikan, salah satu bakteri yang juga diujikan salah satunya

Karya tulis ilmiah berupa Skripsi ini dengan judul “Pengaruh Hot Dipping Baja Karbon SS400 Dalam Timah (Pb) Terhadap Laju Korosi Air Laut” telah dipertahankan di hadapan

Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan penawaran adalah kemampuan keuangan saat penawaran, beban kerja saat penawaran, kemampuan perusahaan

Perlu kami informasikan bahwa nama yang tercantum sudah ditentukan oleh BPSDMPK dan PMP Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan merupakan usulan dari Dinas Pendidikan

 Perkembangan Islam yang amat pantas di seluruh dunia amatlah membinmbangkan masyarakat Eropah yang majoritinya Kristian..  Pelbagai usaha telah dilakukan untuk menyekat

Confidelity Confidelity   (kerahasiaan) yaitu layanan agar isi pesan yang dikirimkan tetap rahasia dan   (kerahasiaan) yaitu layanan agar isi pesan yang dikirimkan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang “Gambaran pengetahuan Wanita Usia Subur tentang deteksi dini kanker serviks dengan metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA ) di

untuk teknis 2 ,anda tidak perlu kamera jika penokohannya fiktif, seperti jika anda membuat tokoh kartun (saya sertakan dibonus2 saya, dengan bonus dari saya anda bisa