• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Pedikulosis Kapitis dan Hubungan Tingkat Infestasi dengan Karakteristik Santri Putri Pesantren X, Jakarta Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prevalensi Pedikulosis Kapitis dan Hubungan Tingkat Infestasi dengan Karakteristik Santri Putri Pesantren X, Jakarta Timur"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Prevalensi Pedikulosis Kapitis dan Hubungan Tingkat Infestasi dengan

Karakteristik Santri Putri Pesantren X, Jakarta Timur

Adinda Meidisa Akhmad, Sri Linuwih Menaldi

1. Program Studi Sarjana Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2. Departemen Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

E-mail: dindameidisa@gmail.com

Abstrak

Pedikulosis kapitis adalah penyakit di rambut dan kulit kepala. Penyakit ini menimbulkan gatal sehingga dapat mengganggu aktivitas dan menurunkan kepercayaan diri. Pada infestasi berat juga dapat terjadi infeksi sekunder. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi pedikulosis kapitis, serta hubungan tingkat infestasi dengan karakteristik individu. Penelitian menggunakan desain cross sectional dengan santri putri Pesantren X, Jakarta Timur sebagai respondennya. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 22 Januari 2011 dengan melakukan pemeriksaan fisik pada 63 santri putri. Data diolah dengan program SPSS versi 11.5 dan dianalisis dengan uji chi square dan Kolmogorov-Smirnov. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh santri terinfestasi pedikulosis kapitis dan mengeluh gatal. Santri yang terinfestasi ringan sebanyak 77,78% dan yang terinfestasi berat sebanyak 22,22%. Uji chi square dan Kolmogorov-Smirnov tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara tingkat infestasi pedikulosis dengan karakteristik santri, yaitu tingkat pendidikan, usia, jenis rambut, panjang rambut, dan frekuensi keramas. Disimpulkan, prevalensi pedikulosis di pesantren X, Jakarta Timur tergolong tinggi, serta tingkat infestasinya tidak berhubungan dengan karakteristik santri.

The Prevalence of Pediculosis Capitis and the Association between the Level of Infestation and the Characteristics of Female Students

in X Boarding School, East Jakarta Abstract

Pediculosis capitis is a disease of the hair and scalp. The disease can cause itching that can interfere with the activity and also lowers self-esteem. In severe infestations, secondary infection can occur. The study was conducted to determine the prevalence of pediculosis capitis, infestation level and its association with individual characteristics. The study used a cross sectional design with the female students of X Boarding School, East Jakarta as respondents. The data collection was conducted on January 22nd, 2011 by performing physical examination to 63 female students. The data was processed with SPSS 11.5 version and analyzed using chi square test and the Kolmogorov-Smirnov. The results showed that all students with pediculosis capitis and complain of itch. Students that were infested lightly were 77,78% and 22,22% werre heavily infested. Chi square test and the Kolmogorov-Smirnov test showed no significant differences characteristics of the students, the level of education, age, hair type, hair length, and frequency of hair washing. In conclusion, the prevalence of pediculosis in X Boarding School, East Jakarta was high, and the level of infestation was not associated with the characteristics of the students.

Keywords: Prevalence of pediculosis capitis, boarding school, female students, the level of infetation, the characteristics of students

(2)

Pendahuluan

Pedikulosis kapitis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit berupa tuma kepala

Pediculus humanus var. capitis. Infestasi tuma ini hanya melalui penularan dari orang lain

yang sudah terinfestasi P. h. capitis sebelumnya.1 Prevalensi kejadian pedikulosis kapitis di

dunia cukup bervariasi, dari 1,92% penduduk Spanyol hingga 81,5% penduduk Argentina.2 Dari penelitian yang telah dilakukan di Indonesia, 71,3% putri yang tinggal di asrama di Yogyakarta terinfestasi pedikulosis kapitis.3 Penelitian di Malaysia membagi tingkatan manifestasi dari pedikulosis kapitis, yaitu prevalensi P. h. capitis mencapai 35%, dengan 18,2% adalah infestasi ringan dan 16,8% adalah infestasi berat.4

Infestasi ringan P. h. capitis bisa saja tidak menimbulkan gejala atau menimbulkan rasa gatal. Infestasi yang lebih berat dari ektoparasit ini dapat berdampak pada timbulnya rasa gatal berlebihan serta menyebabkan luka lecet pada kulit kepala akibat garukan. Selain itu, infestasi berat juga dapat menyebabkan rambut menggumpal. Akibatnya, kualitas tidur menurun, aktivitas sehari-hari terganggu, serta dapat menimbulkan gangguan psikologis seperti kurangnya rasa percaya diri.1,4

Untuk mengisap darah manusia, tuma akan menggigit kulit kepala responden dan mengeluarkan ekskretan berupa liur yang menimbulkan rasa gatal. Rasa gatal akan menimbulkan keinginan untuk menggaruk, sehingga menyebabkan luka di kulit kepala. Luka ini dapat menjadi jalan bagi organisme lain untuk menginfeksi, sehingga menimbulkan dampak yang sistemik.1,4 Pedikulosis kapitis sering diabaikan oleh masyarakat karena tidak memberikan dampak yang berbahaya secara signifikan.4

Infestasi P. h. capitis hanya disebabkan oleh penularan, misalnya jika menggunakan sisir, topi, handuk, atau bantal milik responden yang terinfestasi P. h. capitis.5 Kebiasaan pinjam meminjam barang tersebut merupakan penyebab berpindahnya tuma dari satu responden ke responden lainnya karena tuma tidak dapat terbang. Barang-barang pinjaman merupakan media yang baik untuk penularan, terlebih lagi jika barang-barang tersebut jarang dibersihkan sehingga menjadi habitat yang baik untuk tuma.6 Meskipun hanya dapat ditularkan melalui kontak langsung, berbagai penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat beberapa

(3)

faktor risiko berupa karakteristik dan kebiasaan dari responden yang memicu peningkatan dari kejadian pedikulosis kapitis. Responden berjenis kelamin perempuan atau responden yang tinggal di pemukiman padat cenderung mempunyai kemungkinan lebih tinggi untuk terinfestasi P. h. capitis.2,7 Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan mengenai faktor-faktor berupa karakteristik dan kebiasaan individu yang berhubungan dengan terjadinya infestasi P.

h. capitis sehingga dapat mengurangi kemungkinan timbulnya dampak dari infestasi yang

berat serta dapat mencegah infestasi secara keseluruhan. Dengan demikian, dapat dilakukan usaha pencegahan agar terhindar dari infestasi penyakit tersebut.

Tinjauan Teoritis

P. h. capitis termasuk golongan filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Phthiraptera, subordo Anoplura, family Pediculidae dan species Pediculus humanus.5 Pedikulosis kapitis adalah penyakit yang disebabkan oleh infestasi P. h. capitis. P. h. capitis adalah tuma kepala yang hidup parasit pada hospes manusia, sehingga disebut juga Pediculus humanus var. capitis. Tuma ini berbeda dengan kutu yang menginfestasi badan, yaitu Pediculus humanus var.

corporis ataupun kutu pada kemaluan, yaitu Pthirus pubis.8

Ukuran tuma berkisar 3-4 mm, dengan ukuran betina relatif lebih besar dibandingkan dengan yang jantan.Tuma mempunyai tiga pasang kaki tetapi tidak memiliki sayap. Di bagian kepala terdapat sepasang mata, sepasang antena, serta alat penusuk. Tuma berwarna abu-abu dan berubah menjadi kemerahan setelah mengisap darah.5,9 Tuma dewasa hidup di kulit kepala, sedangkan telurnya melekat pada helai rambut. Telur tuma berwarna putih dan mengkilat, sedangkan telur yang mati berwarna abu-abu. Semakin menjauhi pangkal rambut, telur semakin matang.10,11

P. h. capitis adalah parasit obligat karena selama hidupnya bergantung kepada hospes untuk

mengisap darah. Tuma hanya dapat bertahan hidup di luar habitatnya hingga dua hari, sedangkan telurnya dapat bertahan hidup hingga 10 hari. Siklus hidup P. h. capitis dimulai dari stadium telur yang melekat pada helai rambut dengan perekat kitin. Telur dihasilkan oleh tuma betina setelah melakukan kopulasi dengan tuma jantan. Sebelum melakukan kopulasi, tuma dewasa harus menghisap darah terlebih dahulu.5 Kemudian, telur tuma akan menetas menjadi nimfa dalam waktu 8-10 hari. Setelah menetas, nimfa harus segera mengisap darah agar tidak mati. Nimfa akan menjadi dewasa dalam waktu 2-3 minggu.12,13 Tuma betina hanya dapat bertahan hidup selama sebulan dan pada jangka waktu tersebut menghasilkan

(4)

7-10 telur. Tuma betina meletakkan telur-telurnya pada malam hari. Telur-telur tuma tersebut membutuhkan kondisi yang optimum agar dapat menetas, yaitu pada suhu sekitar 30o C dan kelembaban hingga 70%.5

Tuma dapat bermigrasi hingga 23 cm/menit dan juga dapat melekat pada rambut dengan menggunakan cakarnya. Siklus hidup tuma berkisar selama 30 hari. Tuma menghisap darah setiap 4-6 jam sekali dan bersamaan dengan itu mengeluarkan salivanya. Saliva tersebut, juga feses yang dihasilkannya, merupakan penyebab timbulnya reaksi inflamasi yang berujung pada pruritus.2,5,14

Infestasi tuma dapat melalui kontak fisik atau melalui perantara barang yang digunakan bersama-sama.5 Tuma dari kepala hospes pertama dapat hidup di barang-barang yang digunakan hospes tersebut, lalu berpindah ke hospes kedua saat ia menggunakan barang-barang hospes pertama. Untuk bertahan hidup, tuma akan menghisap darah hospesnya dan bersamaan dengan itu tuma juga akan mengeluarkan ekskretan yang dapat menyebabkan gatal, iritasi, dan papul merah. Krusta hemorrhagic muncul di tempat tuma tersebut mengisap darah. Rasa gatal biasanya lebih dominan dirasakan pada bagian oksipital dan temporal kepala, sehingga lecet juga banyak ditemukan di daerah tersebut. Gejala-gejala ini akan muncul beberapa minggu setelah infestasi pertama. Infeksi sekunder juga dapat terjadi akibat garukan, sehingga menimbulkan pus, krusta, impetigo, pioderma, serta dapat berujung pada infestasi yang lebih berat seperti plica polonica, dengan ciri khas rambut yang menggumpal dan berbau busuk akibat pus dan eksudat dari infeksi. Selain itu, juga dapat ditemukan penonjolan pada daerah kelenjar getah bening, seperti di daerah tengkuk, akibat keterlibatan mikroorganisme lain yang menginfeksi.12,16 Awalnya, telur tuma diletakkan pada daerah proksimal helaian rambut yang dekat dengan kulit kepala karena telur membutuhkan kelembaban dan kehangatan untuk inkubasi. Kemudian, telur akan semakin ke arah distal menjauhi kulit kepala seiring dengan bertambah panjangnya rambut. Telur tuma yang melekat semakin jauh dari kulit kepala menunjukkan telur yang lebih matang.5

Diagnosis dapat ditegakkan jika ditemukan tuma dewasa atau nimfa pada kulit kepala dan/atau telur tuma yang melekat pada helai rambut. Tuma dapat dilihat hanya dengan mata telanjang, tetapi tuma akan lebih mudah diidentifikasi dengan pemeriksaan menggunakan Wood's lamp atau menyisir rambut dengan sisir bergigi rapat.11,16

(5)

Upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah menghindari kontak dengan pasien yang terinfestasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, maksudnya adalah dengan menghindari kontak fisik langsung rambut dengan rambut, sedangkan secara tidak langsung adalah dengan tidak membiasakan budaya pinjam-meminjam barang-barang yang dapat menjadi perantara berpindahnya tuma, seperti sisir, handuk, dan kerudung.5 Upaya pencegahan lainnya adalah dengan membersihkan sisir dengan air panas, lalu dikeringkan dengan pengering berudara hangat. Handuk dan kerudung dicuci dengan air hangat dan disetrika untuk membunuh tuma dan telurnya.9 Pencegahan penting sekali dilakukan kepada pasien yang sudah sembuh agar tidak terjadi infestasi untuk kedua kalinya karena biasanya tuma sudah resisten terhadap pengobatan yang sudah pernah dilakukan sebelumnya.8,17

Pedikulosis kapitis dapat diobati dengan chemical pediculicide seperti lotion ivermectin 0.8%, lotion malathion 0.5% atau 1%, cream permethrin 1%, cream gama benzene heksaklorida 1%, atau pyrethrins 0.17% atau 0.33%. Untuk pemakaiannya, cuci rambut hingga bersih lalu oleskan cream atau lotion tersebut dan dibiarkan hingga 12 jam. Setelah itu rambut dicuci lagi hingga bersih. Pengobatan tersebut efektif hanya untuk membasmi tuma dewasa dan nimfa, tidak untuk menghilangkan telur. Untuk itu, pengobatan tersebut juga harus disertai dengan penyisiran rambut dengan serit untuk menghilangkan telur tuma dari helaian rambut. Pengobatan ini dilakukan setiap 7-10 hari agar tuma dapat hilang secara total. Jangka waktu ini disesuaikan dengan lama waktu telur untuk menetas.8,17 Untuk obat oral, ivermectin (Stromectol) dosis 200 mcg/kg efektif untuk membunuh P. h. capitis dewasa dan nimfa, tetapi tidak dapat memusnahkan telur. Sedangkan untuk membunuh nimfa yang baru saja menetas, perlu ditambahkan dosis kedua setelah 10 hari pengobatan pertama.18 Pada responden yang sudah menderita infeksi sekunder berat, sebaiknya rambut dicukur habis. Cara ini sangat efektif dan mudah dilakukan untuk mengatasi Pedikulosis kapitis. Responden juga tetap harus diobati dengan chemical pediculicide serta ditambah antibiotika sistemik dan topikal.9 Selain itu, semua pakaian dan sprei tempat tidur juga harus dicuci dengan air hangat serta dikeringkan dengan pengering berudara hangat. Seluruh anggota keluarga juga harus diberikan perlakuan yang sama untuk menghindari terjadinya reinfestasi.19

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya infestasi P. h. capitis. Salah satu faktornya adalah tingkat pendidikan. Penelitian yang dilakukan di Iran menyatakan bahwa 9,2% pelajar terinfestasi P. h. capitis, yang mencakup 3% siswa SMP dan 3,2% siswa SMA.20 Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak mempengaruhi tingkat infestasi P. h.

(6)

capitis. Penelitian lain yang dilakukan di asrama Yogyakarta juga menunjukkan hal yang

sama. Persentase kejadian Pedikulosis kapitis pada tingkat pengetahuan yang rendah (71,4%), sedang (70,6%), dan tinggi (71,4%) tidak jauh berbeda.3 Pendapat lain menyatakan prevalensi yang tinggi pada anak yang lebih muda disebabkan oleh tingginya interaksi antaranak usia sekolah, sehingga transmisi tuma lebih mudah terjadi.21

Dari penelitian yang dilakukan oleh Rizqi Restiana dan Siti Aminah, didapatkan bahwa ada perbedaan hubungan yang berarti antara usia dengan kejadian Pedikulosis kapitis. Penelitian yang dilakukan pada rentang usia 11-15 tahun ini memberikan hasil bahwa semakin meningkatnya usia akan menurunkan tingkat kejadian Pedikulosis kapitis.3 Namun, penelitian lain memberikan hasil berbeda. Penelitian yang dilakukan di Mexico menyatakan bahwa tingkat kejadian Pedikulosis kapitis di bawah usia 9 tahun tidak jauh berbeda dengan tingkat kejadian pada usia di atas 9 tahun.22 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa P. h. capitis

dapat menginfestasi seluruh tingkatan usia.

Penelitian di asrama Yogyakarta memberikan hasil bahwa terdapat hubungan antara jenis rambut dengan kejadian Pedikulosis kapitis. Hasil penelitian menunjukkan tipe rambut keriting memiliki presentase tingkat kejadian yang lebih tinggi dibandingkan dengan tipe rambut lurus dan bergelombang. Hal ini diduga karena kutu lebih mudah bersembunyi pada rambut dengan tipe keriting.3 Namun, penelitian lain memberikan pernyataan yang sebaliknya. Penelitian yang dilakukan pada Amerika Utara menunjukkan bahwa infestasi P. h.

capitis lebih sering terjadi pada orang berkulit putih dibandingkan orang berkulit hitam. Hal

ini disebabkan karena tuma tidak dapat melekat erat pada jenis rambut keriting pada orang berkulit hitam.16

Panjang rambut berhubungan dengan jumlah telur tuma yang melekat pada helai rambut. Selain itu, semakin ke ujung rambut semakin matang telur dan semakin mendekati waktu untuk menetas. Penelitian yang dilakukan pada anak sekolah di daerah pedesaan Mexico menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan hubungan antara panjang rambut dengan kejadian Pedikulosis kapitis.22 Hal ini berbeda dengan penelitian lain yang dilakukan di Yogyakarta

yang menunjukkan bahwa ada perbedaan hubungan antara keduanya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin panjang rambut semakin tinggi angka kejadian Pedikulosis kapitis.3 Hal ini juga mendukung pernyataan bahwa anak putri mempunyai faktor risiko yang

lebih tinggi untuk terinfestasi P. h. capitis akibat panjang rambut yang relatif lebih panjang jika dibandingkan dengan anak laki-laki.21

(7)

Frekuensi keramas yang dimaksud di sini adalah seberapa seringnya seseorang berkeramas, yang pada penelitian ini dihitung dalam jangka waktu seminggu, dan hubungannya dengan tingkat kejadian Pedikulosis kapitis. Jan Krueger menyatakan bahwa mencuci rambut hanya dapat membuat tuma menjadi bersih, tidak menghilangkannya.23 Pendapat lainnya dari

Nonprescription Drug Manufacturers Association menyatakan bahwa telur-telur tuma

melekat sangat erat di helaian rambut, sehingga mencuci rambut atau menyisir rambut seperti biasa tidak dapat menyingkirkannya.24 Bertolak belakang dari pernyataan tersebut, penelitian yang dilakukan di Mexico memberikan hasil bahwa frekuensi keramas yang tinggi berhubungan dengan tingkat kejadian Pedikulosis kapitis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa 13,6% pelajar terinfestasi P. h. capitis yang mencakup 20,5% pelajar yang mencuci rambut sehari sekali dan 64,7% pelajar yang mencuci rambut lebih dari sekali dalam sehari. Jadi, semakin sering seseorang mencuci rambutnya semakin tinggi risikonya terinfestasi P. h. capitis.22

Pesantren sering disebut pondok pesantren, dengan kata “pondok” yang berarti asrama, dan kata “pesantren” yang berarti tempat belajar para santri putri. Santri putri adalah orang yang belajar mendalami pengetahuan Islam.22 Pesantren adalah lembaga untuk mempertahankan nilai-nilai keislaman dengan didasari oleh pendidikan. Pesantren adalah tempat untuk mengembangkan dan menyebarkan agama islam dengan cara menghasilkan kader-kader ulama yang berkualitas.24

Pesantren X terletak di wilayah Jakarta Timur dengan luas tanah 12.500 m2 dan luas bangunan 7.050 m2. Pesantren ini merupakan pusat pendidikan berbasis agama yang terdiri atas tingkat Tsanawiyah yang setara dengan pendidikan SMP dan Aliyah yang setara dengan pendidikan SMA. Beberapa fasilitas tersedia pada pesantren ini, yaitu asrama putra yang terdiri atas 6 kamar, asrama putri yang terdiri atas 2 rumah, 1 masjid, 1 perpustakaan, 1 aula, 2 bangunan sekolah, 1 lapangan utama, 1 wartel, 1 lapangan bawah, 1 poskestren, 1 laboratorium komputer, 1 kantin, dan 1 toko buku. Pesantren X memiliki jumlah total 340 santri putri laki-laki dan putri pada tingkat pendidikan Tsanawiyah dan Aliyah. Pada saat penelitian dilaksanakan, didapatkan 63 santri putri untuk berpartisipasi. Responden penelitian ini terdiri dari 29 (46%) santri putri Tsanawiyah dan 34 (54%) santri putri Aliyah. Sebaran usia dari responden penelitian dibagi menjadi 16 (25,4%) santri putri berusia 12-13 tahun, 14 (22,2%) santri putri berusia 14-15 tahun, 33 (52,4%) santri putri berusia 16-18 tahun.

(8)

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional karena peneliti ingin mengetahui hubungan pedikulosis kapitis dengan berbagai karakteristik dan kebiasaan responden tanpa diberikan intervensi. Penelitian yang dilakukan pada tanggal 22 Januari 2011, bertempat di Pesantren X, Jakarta Timur. Pemilihan tempat didasarkan oleh kehomogenan responden serta perkiraan bahwa terdapat keberagaman karakteristik dan kebiasaan responden yang diteliti pada penelitian. Populasi target pada penelitian ini adalah santri putri Pesantren X, Jakarta Timur. Sedangkan populasi terjangkaunya adalah santri putri Tsanawiyah dan Aliyah di Pesantren X, Jakarta Timur yang berada di lokasi saat penelitian dilaksanakan. Sampel penelitian diambil dengan menggunakan total population, yaitu 63 santri putri Tsanawiyah dan Aliyah di Pesantren X, Jakarta Timur yang berada di lokasi saat dilakukan pengambilan data.

Data diperoleh melalui pemeriksaan fisik pada rambut dan kulit kepala responden serta kuesioner yang diisi oleh responden. R responden diberikan penjelasan mengenai penelitian yang akan dilakukan, kemudian peneliti meminta persetujuan responden untuk berpartisipasi dalam penelitian yang akan dilakukan. Responden berhak untuk menolak ikut dalam penelitian. Peneliti membimbing responden untuk mengisi kuesioner. Setelah itu, peneliti melakukan pemeriksaan fisik dengan cara melihat keadaan rambut dan kulit kepala responden. Peneliti menyisir rambut responden dengan serit pada bagian oksiput serta temporal bagian kiri dan kanan untuk menemukan tuma dewasa dan nimfa. Peneliti juga mengambil sampel rambut dari responden untuk melihat telur tuma yang menempel pada helaian rambut tersebut. Rambut yang diambil adalah rambut dengan helaian terpanjang. Selain itu, peneliti juga melihat keadaan kulit kepala responden apabila ada luka lecet. Formulir pemeriksaan fisik diisi langsung oleh peneliti dan digunakan dalam pengolahan data. Pada penelitian ini, variabel independennya adalah karakteristik responden, yaitu karakteristik demografi dan karakteristik rambut, serta kebiasaan responden, yaitu frekuensi keramas dari responden. Sedangkan variabel dependennya adalah tingkat infestasi, yaitu infestasi ringan dan berat. Gaya hidup dan keadaan lingkungan merupakan variabel perancu yang harus dikontrol di penelitian ini.

(9)

Data selanjutnya diolah dan dianalisis menggunakan program komputer SPSS 11.5 for

Windows. Uji statistik dimulai dengan uji normalitas data pada tiap-tiap variabel untuk

mengetahui normalitas distribusi frekuensi masing-masing variabel data. Setelah itu, dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui korelasi antara variabel-variabel bebas dan variabel terikat dengan menggunakan uji chi square atau Kolmogorov Smirnov jika syarat uji

chi square tidak terpenuhi.

Hasil

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua santri putri terinfestasi pedikulosis kapitis (prevalensi 100%). Semua santri putri mempunyai keluhan gatal dan sebanyak 14 (22,2%) santri putri yang mengalami infestasi berat karena terdapat luka lecet.

Tabel 1 menunjukkan penyebaran tingkat infestasi pedikulosis kapitis berdasarkan karakteristik demografi santri putri, yaitu tingkat pendidikan dan usia. Dari uji chi square pada faktor tingkat pendidikan didapatkan bahwa data dari hasil penelitian tidak berbeda bermakna. Begitu juga dengan faktor usia, digunakan uji Kolmogorov-Smirnov dan didapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna.

Tabel 1. Sebaran Pedikulosis Kapitis Berdasarkan Karakteristik Demografi Santri Putri

Karakteristik Demografi

Infestasi Berat

Infestasi

Ringan Uji Statistik

Pendidikan

Tsanawiyah 7 22 chi square

Aliyah 7 27 0,736 Jumlah 14 49 Usia 11-15 tahun 7 23 Kolmogorov-Smirnov 16-18 tahun 7 26 1 Jumlah 14 49

Tabel 2 menunjukkan penyebaran tingkat infestasi P. h. capitis berdasarkan karakteristik rambut santri putri, yaitu jenis rambut dan panjang rambut. Dari uji Kolmogorov-Smirnov pada faktor jenis rambut didapatkan hasil bahwa yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna. Begitu juga dengan faktor panjang rambut yang menunjukkan hasil data yang tidak berbeda bermakna pada uji Kolmogorov-Smirnov.

(10)

Tabel 2. Sebaran Pedikulosis Kapitis Berdasarkan Karakteristik Rambut Santri Putri

Karakteristik Rambut Infestasi Berat

Infestasi

Ringan Uji Statistik

Jenis rambut

Lurus 8 30 Kolmogorov-Smirnov

Ikal dan keriting 6 19 1

Jumlah 14 49

Panjang rambut

Panjang 12 48 Kolmogorov-Smirnov

Pendek 2 1 0,979

Jumlah 14 49

Tabel 3 menunjukkan penyebaran tingkat infestasi P. h. capitis berdasarkan frekuensi keramas santri putri dalam jangka waktu seminggu. Uji Kolmogorov-Smirnov pada faktor ini tidak menunjukkan perbedaan bermakna.

Tabel 3. Sebaran Pedikulosis Kapitis Berdasarkan Karakteristik Frekuensi Keramas Santri Putri

Frekuensi Keramas Infestasi Berat

Infestasi

Ringan Uji Statistik

Setiap hari 1 6 Kolmogorov-Smirnov

Dua kali dan tiga kali

seminggu 13 43 1

Jumlah 14 49

Pembahasan

Pedikulosis kapitis memang bukan penyakit yang berbahaya, tetapi masyarakat perlu mendapatkan pengetahuan mengenai pedikulosis kapitis beserta faktor-faktor yang berhubungan agar tidak terjadi penularan yang berlanjut yang dapat berujung pada penurunan daya kerja seseorang akibat gatal yang dirasakan penderita.4 Prevalensi pedikulosis kapitis di pesantren cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena lingkungan yang padat, sehingga memungkinkan tuma untuk menyebar di dalam populasi tersebut.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa prevalensi pedikulosis kapitis di pesantren X, Jakarta Timur adalah 100%. Tingginya prevalensi pedikulosis kapitis ini disebabkan karena ketidakacuhan mereka terhadap penyakit ini. Hal ini terbukti pada saat pemeriksaan fisik rambut dan kulit kepala, para santri putri mempunyai pengetahuan mengenai penyakit ini. Mereka tahu bahwa penyakit ini dapat ditularkan dari kebiasaan pinjam-meminjam barang di

(11)

antara mereka. Sudah ada usaha dari mereka untuk mengobati penyakit ini, yaitu dengan memberantas tuma dengan obat tuma saat kembali ke rumah masing-masing di waktu liburan. Namun, saat mereka kembali bersekolah di pesantren ter’sebut, tuma akan kembali menginfestasi para santri putri. Proses pengobatan ini juga semakin dipersulit karena mereka diharuskan untuk tidur di kasur yang sama secara bersama-sama.

Pada penelitian di Eropa2, ditemukan bahwa pedikulosis kapitis lebih sering terjadi di daerah perkampungan dengan responden berumur sekitar 8-12 tahun. Terdapat hasil penelitian lain yang mendukung yaitu dari penelitian yang dilakukan oleh Rizqi Restiana3, dilaporkan bahwa di salah satu pesantren yang berlokasi di Yogyakarta, prevalensi pedikulosis kapitis mencapai 71,3%. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa pedikulosis kapitis perlu diberi perhatian lebih lanjut dan mencari faktor-faktor yang mempengaruhi infestasinya untuk menekan prevalensi pedikulosis kapitis di daerah berpemukiman padat.

Tatalaksana utama untuk menghilangkan gejala pasien pedikulosis kapitis adalah dengan mengatasi rasa gatalnya. Gatal yang sangat mengganggu aktivitas terjadi pada infestasi berat

P. h. capitis.1,12 Data yang dihasilkan dari penelitian adalah hanya 22,22% dari seluruh santri putri yang mengalami luka lecet. Angka ini menunjukkan prevalensi santri putri yang terinfestasi berat lebih sedikit dibandingkan santri putri yang terinfestasi ringan.

Uji statistik chi square pada tingkat pendidikan memberikan nilai p= 0,736, yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan santri putri dan tingkat infestasi P. h. capitis. Meskipun berada pada tingkat pendidikan yang berbeda, setiap santri putri memiliki pengetahuan yang sama mengenai pedikulosis kapitis karena masing-masing pernah mengalaminya. Selain itu, para santri putri dengan tingkat pendidikan yang berbeda hidup bersama-sama dalam satu lingkungan, sehingga tingkat pengeahuannya mengenai tuma kepala tidak jauh berbeda. Oleh karena itu, tingkat pendidikan tidak mempengaruhi tingkat infestasi P. h. capitis.

Hasil uji Kolmogorov Smirnov pada faktor usia menunjukkan bahwa secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia dan tingkat infestasi P. h. capitis.Hal ini dapat dilihat dari nilai p= 1. Usia yang lebih tua tidak menunjukkan tingkat kedewasaan yang lebih tinggi ataupun pengetahuan yang lebih luas karena para santri putri tetap saja terinfestasi P. h.

(12)

Jenis rambut lurus, ikal, dan keriting tidak mempengaruhi tingkat infestasi P. h. capitis. Namun demikian, tekstur rambut yang lembut lebih disukai oleh tuma daripada yang keras. Penelitian yang dilakukan oleh Witkowski25 menunjukkan bahwa infestasi P. h. capitis pada orang kulit hitam lebih rendah dibandingkan orang kulit putih. Schold26 menyatakan bahwa orang kulit hitam memiliki rambut keriting dengan tekstur yang lebih keras, berbeda dengan orang kulit putih yang memiliki rambut lurus dan ikal dengan tekstur yang lebih lembut. Oleh karena itu, infestasi pedikulosis lebih tinggi pada orang kulit putih dengan tekstur rambut yang lebih halus. Namun, penelitian yang hanya melibatkan orang kulit hitam pun akan memberikan hasil infestasi yang tinggi, karena tuma terpaksa menyesuaikan diri dengan tekstur rambut yang kasar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis rambut tidak mempengaruhi tingkat infestasi karena secara umum tekstur rambut orang Indonesia serupa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik tidak ditemukan hubungan antara panjang rambut dan tingkat infestasi P. h. capitis. Hal ini disebabkan karena rambut hanya sebagai tempat melekatnya telur tuma. Jadi, semakin panjang rambut, semakin banyak telur yang dapat melekat. Namun, tingkat kemungkinan seseorang untuk terinfestasi P. h. capitis lebih berat ataupun lebih ringan tidak ditentukan oleh panjang rambutnya karena telur yang melekat pada helaian rambut tidak dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas serta menimbulkan rasa gatal pada hospes. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa laki-laki dan putri, yang identik dengan perbedaan panjang rambut, mempunyai kemungkinan yang sama untuk terinfestasi berat P. h. capitis.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi keramas dengan tingkat infestasi Pedikulosis kapitis. Nilai p = 1 yang berarti prevalensi Pedikulosis kapitis tidak berhubungan dengan frekuensi keramas. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sesering apapun para santri putri mencuci rambutnya, tetap saja mereka tidak dapat terhindar dari infestasi Pedikulosis kapitis, baik infestasi berat ataupun ringan. Hal ini dapat dimengerti karena keramas tidak dapat membunuh tuma atau menghilangkan telurnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat infestasi P. h. capitis tidak berhubungan dengan semua faktor yang diuji. Tingkat infestasi dipengaruhi oleh banyaknya tuma, sehingga responden akan merasakan gatal yang berlebihan akibat hipersensitivitas terhadap air liur dan

(13)

feses tuma. Rasa gatal tersebut akan mengakibatkan responden menggaruk hingga lecet dan memungkinkan terjadi infeksi. Tingkat pendidikan, usia, jenis rambut, panjang rambut, dan frekuensi keramas tidak mempengaruhi tingkat infestasi P. h. capitis.

Kesimpulan

Prevalensi Pedikulosis kapitis di pesantren X, Jakarta Timur adalah 100%, yaitu seluruh santri putri Tsanawiyah dan Aliyah. Setiap santri putri tersebut mengeluh gatal di kulit kepala dan 22,22% terinfestasi berat P. h. capitis. Selain itu, semua karakteristik santri putri, yaitu tingkat pendidikan, usia, jenis rambut, panjang rambut, serta frekuensi keramas tidak berhubungan dengan tingkat infestasi pedikulosis kapitis.

Saran

Prevalensi pedikulosis kapitis pada pesantren X harus diturunkan dengan memberantas tuma secara serentak dan disertai dengan pemberian penyuluhan secara berkelanjutan dan berkala. Selain itu, penelitian lebih lanjut perlu diadakan untuk mengetahui faktor-faktor risiko lainnya yang mempengaruhi terjadinya pedikulosis kapitis.

Daftar Referensi

1. Davarpanah MA, Mehrabani D, Khademolhosseini F, Mokhtari A, Bakhtiari H, Neirami R. The prevalence of Pediculus capitis among school children in Fars Province, Southern Iran. Iranian J Parasitol. 2009; 4: 48-53.

2. Buczek A, Gosik DM, Widomska D, Kawa IM. Pediculosis capitis among schoolchildren in urban and rural areas of Eastern Poland. European Journal of Epidemiology. 2004; 19:491-95.

3. Restiana R, Aminah S. Hubungan berbagai faktor resiko terhadap angka kejadian pedikulosis kapitis di asrama. [dissertation]. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah; 2010.

4. Bachok N, Nordin RB, Awang CW, Ibrahim NA, Naing L.Prevalence and associated factors of head lice infestation among primary schoolchildrean in Kelantan, Malaysia. Universiti Sains Malaysia. 2006; 37:536-43.

5. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel D, editors. Dermatology in general medicine. 7th ed. United States of America: The McGraw-Hill

Companies, Inc; 2008. p. 2033-37.

(14)

7. El Enin AA, Osman A. The prevalence of pediculosis capitis in primary school children in Assuit Governorate (a socioeconomic study). The Egyptian Journal of Hospital Medicine. 2007; 29: 732-37.

8. Allen LV. Basics of compounding for Pediculosis capitis. International Journal of Pharmaceutical Compounding. 2003; 7: 366-369.

9. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 6th ed. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p. 119-138.

10. Goroll AH, Mulley AG. Primary care medicine: Office evaluation and management of the adult patient. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.

11. Frankel DH. Field guide to clinical dermatology. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.

12. Riswandi SF. Efek Penyuluhan terhadap penanggulangan penyakit pedikulosis kapitis di dua pondok pesantren. [dissertation]; 1996.

13. Borton D, Brinsko V, Gilmore GK, Hendler CB, Kenneley IL, Lopez C, et al. Lippincott’s guide to Infectious Disease. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010.

14. Diaz GJM, Mancini AJ. Head lice: Diagnosis and therapy. CNE Series. [report]; 2010. 15. CDC. Lice_LifeCycle [Internet]. 2011 [Diperbarui 2009 Juli 20; sitasi pada 2012 Januari

17]. Tersedia dari: http://dpd.cdc.gov.DPDX/images/ParasiteImages/G-L/HeadLice/Lice_LifeCycle.gif.

16. Elewski BE. Clinical diagnosis of common scalp disorders. The Society for Investigative Dermatology. 2005; 10:190-3.

17. Rubeiz N, Kibbi AG. Pediculosis capitis: Treatment and Medication. [serial on the

Internet]. 2009 Mei; [cited: 2011 Januari 11]. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/785248-treatment.

18. Flinders DC. Schweinitz PD. Pediculosis capitis and Scabies. American Family Physician. 2004; 69: 341-348.

19. Brainerd E. From Eradication to Resistance: Five Continuing Concerns about Pediculosis

capitis. The Journal of School Health. 1998; 68: 146-150.

20. Amirkhani MA, Alavian SM, Maesoumi H, Aminaie T, Dahsti M, Ardalan G, et al. A nationwide survey of prevalence of pediculosis in children and adolescents in Iran. Iranian Red Crescent Medical Journal. 2011; 30(3): 167-70.

21. Rukke BA, Birkemoe T, Soleng A, Lindstedt HH, Ottesen P. Head lice prevalence among households iin Norway: Importance of spatial variables and individual and household characteristics. Cambridge University Press. 2011; 138: 1296-304

22. Saide PM, Ruz NP, Buenfil JCR, Herrera RH, Ruiz PG, Pilger D. Prevalence of pediculosis capitis in children from a rural school in Yucatan, Mexico. Rev. Inst. Med. Trop. Sao Paulo. 2011; 53(6):325-7

(15)

23. Nawawi. Sejarah dan Perkmbangan Pesantren. Jurnal Studi Islam dan Budaya. 2006; 4: 4-19.

24. Parsons J. Peran Pesantren dan Cita-Cita Santri Putri: Sebuah Pembandingan di Antara Dua Pondok Pesantren di Jawa. [dissertation]; 2004.

25. Witkowski JA, Parish LC. Phthiriasis capitis. Int J Dermatol 1979;18:559.

26. Schold LL, Holloway, Farouk WD, The epidemiology of human pediculosis in Ethiopia. Special publication US Navy, Disease vector ecology control centre; 1979.

Gambar

Tabel  1  menunjukkan  penyebaran  tingkat  infestasi  pedikulosis  kapitis  berdasarkan  karakteristik  demografi  santri  putri,  yaitu  tingkat  pendidikan  dan  usia
Tabel 2. Sebaran Pedikulosis Kapitis Berdasarkan Karakteristik Rambut Santri Putri

Referensi

Dokumen terkait

memberikan pendidikan hemodialisa, tempat riset di bidang hemodialisa yang profesional, manusiawi.. dan bermutu tinggi, dengan

Pada instalasi perpipaan pompa sentrifugal, kecepatan aliran di dalam pipa harus sesuai dengan kecepatan aliran yang diizinkan berdasarkan fluida kerjanya.. Kecepatan aliran

Desa Pejarakan, Kec. Dinas Kalibukbuk, Ds. Dinas Dauh Margi. 18 Singaraja, Kec. Basri Abdillah/ PP. Dinas Sekeling, Ds. Dinas Sekeling, Ds. Anyelir 26C Denpasar, Tanjung Bungkak

[r]

Yang diatas adalah bentuk sederhana dari kunci dasar C mayor, dan apabila dipindahkan atau digeser ke kolom bar / greep yang lain dengan bentuk yang sama maka akan

Penelitian ini bertujuan untuk mengatasi perilaku siswa yang seriing membolos di SMK Wisudha Karya pada Siswa kelas XI TKR Tahun pelajaran 2015/2016

Board dengan ketebalan___ mm yang terdiri dari inti insulasi termoset yang kuat bebas CFC/HCFC dan memiliki nilai Potensi Perusak Lapisan Ozon (ODP) nol dengan komposit foil pada

Assets growth menunjukkan rasio pertumbuhan aset dimana aset merupakan aktiva yang digunakan untuk aktivitas pertumbuhan perusahaan maka akan semakin besar dana yang