• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PELATIHAN LARI INTERVAL 4 X 50 METER DI PANTAI

BERPASIR LEBIH MENINGKATKAN KECEPATAN

LARI 100 METER DARI PADA PELATIHAN LARI

INTERVAL 4 X 50 METER DI LAPANGAN

PADA SISWA KELAS X SMK N

KAKULUK MESAK NTT

BENEDIKTUS NAHAK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

(2)

i

TESIS

PELATIHAN LARI INTERVAL 4 X 50 METER DI PANTAI

BERPASIR LEBIH MENINGKATKAN KECEPATAN

LARI 100 METER DARI PADA PELATIHAN LARI

INTERVAL 4 X 50 METER DI LAPANGAN

PADA SISWA KELAS X SMK N

KAKULUK MESAK NTT

BENEDIKTUS NAHAK NIM. 1290361029

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

(3)

ii

PELATIHAN LARI INTERVAL 4 X 50 METER DI PANTAI

BERPASIR LEBIH MENINGKATKAN KECEPATAN

LARI 100 METER DARI PADA PELATIHAN LARI

INTERVAL 4 X 50 METER DI LAPANGAN

PADA SISWA KELAS X SMK N

KAKULUK MESAK NTT

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Fisiologi Olahraga Program Pascasarjana Universitas Udayana

BENEDIKTUS NAHAK NIM :1290361029

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Tesis ini telah disetujui pada tanggal : 27 Juni 2014

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. dr. J.Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And. AIFO. Drs. Oktovianus Fufu,M.Pd

NIP.1944 0201 196409 1 001 NIP. 19601005 198803 1004

Mengetahui

Ketua Program Studi Direktur

Magister Fisiologi Olahraga Program Pascasarjana

Universitas Udayana Universitas Udayana

Dr.dr.Susy Purnawati, M.K.K, AIFO Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19680929 1999032001 NIP. 19590215 198510 2 001

(5)

iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Usulan Penelitian Tesis Ini Telah Disetujui dan Dinilai Oleh Panitia Penguji Pada Program Studi Fisiologi Olahraga Pasca Sarjana Universitas Udayana Pada Tanggal: 27 Juni 2014.

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana :

No : 1749 / UN.14.4 / HK /2014 Tanggal : 16 Juni 2014

Panitia Penguji Usulan Penelitian Tesis adalah :

Ketua : Prof. Dr. dr. J.Alex Pangkahila, M.Sc, Sp. And Sekertaris : Drs. Oktovianus Fufu,M.Pd

Anggota :

1. Prof. Dr. dr. N. T. Suryadhi, MPH,Ph.D 2. Dr. dr. Susy Purnawati, M. K.K, AIFO 3. Dr. Ir. I Ketut Wijaya, M. Erg

(6)

v

SURAT PERNYATAN BEBAS PLAGIAT

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Benediktus Nahak NIM : 1290361029 Program Studi : Fisiologi Olahraga

Judu Tesis : Pelatihan Lari Interval 4 x 50 meter di Pantai Berpasir Lebih Meningkatkan Kecepatan Lari 100 Meter Dari Pada Lari Interval 4 x 50 Meter di Lapangan Pada Siswa Kelas X SMK N Kakulukmesak NTT.

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat.

Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia menerima sanksi

Sesuai peraturan Mendiknas R.I No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang- Undangan yang

Berlaku.

Denpasar, 1 Juni 2014

Yang membuat pernyataan

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas Anugerah dan BerkatNya yang berlimpah kepada penulis, dari awal hingga akhir sehingga dapat diselesaikannya penelitian ini dalam rangka terpenuhinya salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Fisiologi Olahraga, pada Program studi Fisiologi Olahraga Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Penelitian ini berjudul : Pelatihan Lari Inetrval 4 x 50 meter di pantai berpasir lebih meningkatkan kecepatan lari 100 meter dari pada pelatihan lari interval 4 x 50 meter di lapangan pada siswa kelas X SMK N Kakulukmesak NTT.

Penulis sadar bahwa untuk menyelesaikan penyusunan tesis ini membutuhkan waktu yang cukup lama dengan berbagai kesulitan yang dihadapi, Namun semuanya telah dilalui dan dilewati dengan sabar, tekun dan tabah. Penyusunan tesis ini tidak terlepas dari petunjuk, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak.

1. Prof. Dr. dr. J Alex Pangkahila, M.Sc. Sp.And, AIFO sebagai Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan, petunjuk dan bimbingan dalam menyelesaikan tesis ini.

2. Drs. Oktovianus Fufu, M.Pd sebagai Pembimbing II yang juga telah banyak memberikan arahan, petunjuk dan bimbingan dalam menyelesaikan tesis ini.

3. Dr.dr. Susy Purnawati, M.K.K, AIFO sebagai ketua Program Studi Magister Fisiologi Olahraga, yang telah banyak memberikan arahan, petunjuk, bimbingan dan perbaikan dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Para Dosen penguji Prof. Dr. dr. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp. And, AIFO, Prof. Dr. dr. N.T. Suryadhi MPH, Ph.D, Dr. dr. Susy Purnawati, M.K.K, AIFO, Dr. Ir. I Ketut Wijaya, M.Erg dan Drs. Oktovianus Fufu, M.Pd, yang telah memberikan masukan, perbaikan dan penilaian, dalam penyusunan tesis ini.

(8)

vii

5. Semua Staf Doden dan Pegawai Tata Usaha Program Studi Magister Fisiologi Olahraga, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Bali yang juga telah banyak memberikan bantuan dalam menyelesaikan tesis ini.

6. Rektor Universitas PGRI NTT bapak Samuel Haning S.H, M.H, yang telah memberikan banyak bantuan dan kemudahan dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Bapak Kepala Sekolah SMK N Kakuluk Mesak yang telah bersedia memberikan sekolahnya untuk dijadikan sebagai tempat penelitian.

8. Guru Olahraga SMK N Kakuluk Mesak, yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian.

9. Isteriku tercinta dan anak – anakku tersayang, yang setia mendampingi, mendukung, memotivasi dan mendoakan saya dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

10. Pihak lain yang tidak sempat penulis menyebutkan namanya satu demi satu, namun telah memberikan banyak dukungan dan bantuannya dalam menyelesaikan tesis ini. Penulis sadar bahwa tesis ini masih jauh ini dari kesempurnaan, sehingga saran dan masukan sangat diharapkan untuk menyempurnakan tesis ini. Akhirnya semoga tesis ini bermamfaat dan bernilai tambah bagi dunia pendidikan, terutama bagi dunia olahraga prestasi, dalam pelatihan peningkatan kecepatan lari 100 meter.

Denpasar, Juni 2014 Penulis

(9)

viii

PELATIHAN LARI INTERVAL 4 X 50 METER DI PANTAI BERPASIR LEBIH MENINGKATKAN KECEPATAN LARI 100 METER DARI

PADA PELATIHAN LARI INTERVAL 4 X 50 METER DI LAPANGAN PADA SISWA KELAS X

SMK N KAKULUK MESAK NTT. ABSTRAK

Kecepatan adalah merupakan salah satu komponen biomotorik yang dominan dalam perlombaan lari 100 ,meter. Lari 100 meter merupakan bagian dari cabang olahraga atletik yang memiliki durasi singkat, intensitas yang tinggi dan mengembangkan sistem anaerobik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kecepatan lari 100 meter, karena itu penelitian ini merupakan studi experimental dan dilakukan di SMK N Kakulukmesak Kabupaten Belu NTT, selama 6 bulan dari bulan Maret – bulan Mei tahun 2014, dengan frekuensi latihan 3 kali seminggu. Penelitian ini menggunakan dua jenis pelatihan, dan dibagi dalam dua kelompok perlakuan, yaitu kelomopk satu pelatihan lari interval 4 x 50 meter di pantai berpasir 4 repetisi 3 set dan kelompok dua pelatihan lari interval 4 x 50 meter di lapangan 4 repetisi 3 set, yang dilaksanakan pada sore hari pukul 15.30 sampai 17.00 wita di lapangan SMK N Kakulukmesak dan Pantai Atapupu, Kabupaten Belu - NTT. Sampel penelitian ini berjumlah 20 orang, yang dipilih secara acak sederhana dari populasi sebanyak 53 orang yang memenuhi persyaratan inklusi dan eksklusi. Jumlah sampel untuk masing – masing kelompok sebanyak 10 orang.

Kecepatan lari 100 meter diukur menggunakan stophwatch, sedangkan data kecepatan lari 100 meter sebelum dan sesudah pelatihan pada ke dua kelompok, diuji dengan analisis statistik parametrik. Dengan uji paired t- tes didapatkan perbedaan rerata kecepatan lari 100 meter sesudah pelatihan pada masing – masing kelompok dengan nilai p < 0,05. Rerata kecepatan lari 100 meter sebelum pelatihan pada kelompok satu adalah 16,06 detik dan sesudah pelatihan 13,01 detik. Berarti peningkatan kecepatan 3.05 detik, atau sebesar = 19.02 %. Sedangkan rerata kecepatan lari 100 meter kelompok dua sebelum pelatihan 16,02 detik dan sesudah pelatihan 13,95 detik, peningkatan kecepatan sebesar 12.91 %. Hal ini menunjukan bahwa rerata kecepatan lari 100 meter sebelum dan sesudah pelatihan pada masing – masing kelompok ada perbedaan yang signifikan, dengan nilai p < 0.05.

Dengan demikian pelatihan kelompok satu lari interval 4 x 50 meter di pantai berpasir dan pelatihan lari interval 4 x 50 meter di lapangan, sesudah pelatihan sama - sama meningkatkan kecepatan lari 100 meter pada siswa kelas X SMK N Kakulukmesak. Namun dalam analisis data pada paired sample tes, kecepatan pelatihan kelompok satu di pantai berpasir lebih cepat = 0.94 detik dari pada pelatihan kelompok dua di lapangan.

(10)

ix

THE TRAINING OF INTERVAL RUNNING 4 X 50 METERS ON SANDY BEACH IS MORE INCREASE THE SPEED OF 100 METERS RUN THAN THE TRAINING OF

4 X 50 METERS RUN IN THE YARD OF 10TH GRADE STUDENTS SMK N IN KAKLUKMESAK

ABSTRACT

The speed is one of the biomotoric components which dominant in the run race 100 meters. 100 meters run is part of athletics which has a short duration, high intensity and anaerobic systems develop. The purpose of this study was to determine the increasing of 100 meter run speed, therefore this research is an experimental study was conducted in SMK N Kakulukmesak Belu regency NTT, for 6 months from March - May 2014, with the frequency of exercise 3 times a week. This study uses two types of training, and were divided into two treatment groups, ie group one is the training of interval run 4 x 50 meter on the sandy beach 4 reps 3 sets and group two is the interval run 4 x 50 meter in the yard 4 reps 3 sets, implemented in the afternoon at 15.30 to 17.00 pm in the yard of SMK N Kakulukmesak and Atapupu Beach, Belu regency - NTT. Sample was 20 people, chosen simple randomly from a population of 53 people who meet the requirements of inclusion and exclusion. The number of samples for each group is 10 people.

The speed of 100 meter run was measured using stopwatch, while the 100-meter dash speed data before and after training in both groups, were tested with parametric statistical analysis. With a paired t-test of mean difference tests obtained the 100 meter dash speed after training on each group with p <0.05. The mean speed of 100 meters before training in the group one is 16.06 seconds and 13.01 seconds after training. Means increased speed of 3:05 seconds, or at = 19:02%. While the average running speed of 100 meters in group two before training is 16.02 seconds and after training is 13.95 seconds, the increasing of speed is 12.91%. This shows that the average speed of 100 meters before and after training on each group there is a significant difference, with value p<0.05.

Thus the training of group 1 is interval run 4 x 50 meter on the sandy beach and interval training run 4 x 50 meters in the yard, after training is equal to increase the speed of the 100 meter in 10th grade student of SMK N Kakulukmesak. However, in the analysis of data on the paired sample test, the speed training of group one on the sandy beach is faster = 0.94 seconds than the training of group two in the yard.

(11)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN PLAGIAT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 4 1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Lari Cepat 100 Meter ... 6

2.2 Teknik Gerakan Lari Cepat ... 7

2.3 Pelatihan ... 9

2.3.1 Pelatihan fisik ... 10

2.3.2 Pelatihan teknik ... 14

2.3.3 Pelatihan taktik ... 15

2.3.4 Pelatihan mental ... 15

2.4 Prinsip- Prinsip Pelatihan ... 16

2.5 Prosedur Pelatihan Fisik ... 18

2.6 Pelatihan Kecepatan Lari ... 21

2.7 Metode Pelatihan Interval ... 24

(12)

xi

2.8.1 Faktor internal ... 26

2.8.2 Faktor eksternal ... 28

2.8.3 Metabolisma energi ... 30

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Berpikir ... 33

3.2 Konsep Penelitian ... 34

3.3 Hipotesis Penelitian ... 35

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ... 36

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

4.3 Populasi dan Sampel ... 37

4.3.1 Populasi ... 37

4.3.2 Sampel ... 37

4.3.3 Besar sampel ... 38

4.3.4 Teknik pengambilan sampel ... 39

4.4 Variabel Penelitian ... 40

4.5 Defenisi Operasional Variabel ... 40

4.6 Instrumen Penelitian ... 43

4.7 Prosedur Penelitian ... 44

4.7.1 Tahap persiapan ... 44

4.7.2 Tahap penelitian pendahuluan ... 45

4.7.3 Tahap penelitian dan penentuan sampel ... 45

4.7.4 Tahap pelaksanaan penelitian ... 46

4.8 Analisis Data ... 47

4.9 Alur Penelitian ... 48

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 49

5.2 Lingkungan Penelitian ... 50

5.3 Uji Normalitas Data dan Homogenitas Waktu Tempuh Lari 100 Meter . 50 5.4 Hasil Analisis Uji Beda Rerata Kecepatan Lari 100 Meter Antara Sebelum dan Sesudah Pelatihan ... 51

5.5 Hasil Analisis Uji Beda Rerata Kecepatan Waktu Tempuh Lari 100 Meter Kelompok Berpasangan, Sebelum dan Sesudah Pelatihan ... 52

(13)

xii BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 53

6.2 Karakteristik Lingkungan Penelitian ... 54

6.3 Pengaruh/ Efek Lari Interval 4 x 50 Meter di Pantai Berpasir dan 4 x 50 Meter di Lapangan Terhadap Kecepatan Lari 100 Meter ... 54

6.4 Kelemahan Penelitian ... 59

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 60

7.2 Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Persentase penggunaan energi aerobik dan anaerobik ... 11 Tabel 5.1 Karekteristik fisik siswa SMK N Kakulukmesak ... 49 Tabel 5.2 Karekteristik suhu dan kelembaban udara ... 50 Tabel 5.3 Hasil uji normalitas dan homogenitas data waktu tempuh lari 100 meter,

Sebelum dan sesudah pelatihan ... 51 Tabel 5.4 Hasil uji t- paired rerata kecepatan waktu tempuh sebelum dan sesudah

pelatihan Antar ke dua kelompok (t-test)... 51 Tabel 5.5 Hasil uji beda rerata waktu tempuh lari cepat 100 meter sebelum dan

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.2 Konsep penelitian... 34

Gambar 4.1 Rancangan penelitian ... 36

Gambar 4.2 Disain pelatihan lari interval 4 x 50 meter di pantai berpasir ... 41

Gambar 4.3 Disain pelatihan lari interval 4 x 50 meter di pantai berpasir ... 42

(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian... 65

Lampiran 2. Surat Persetujuan Ikut Serta dalam Penelitian ... 66

Lampiran 3. Surat Keterangan Kepala Sekolah... 67

Lampiran 4. Progran Pelatihan di Pantai Berpasir dan di Lapangan ... 68

Lampiran 5. Norma Penilaian Tes Lari 2,4 km ( Cooper )... 69

Lampiran 6. Daftar Nama Subjek Penelitian ... 70

Lampiran 7. Suhu dan Kelembaban Relatif Udara ... 71

Lampiran 8. Data Tes Awal Kelompok 1 ... 72

Lampiran 9. Data Tes Awal Kelompok 2 ... 73

Lampiran 10. Data Deskriftif Statistik Umur BB, TB, IMT, dan Kebugaran Fisik, Suhu dan Kelembaban... 74

Lampiran 11. Uji Tes Normalitas Data ... 75

Lampiran 12. Uji Beda Rerata Kelompok Berpasangan (t-test) ... 76

Lampiran 13. Uji Beda Rerata Kelompok Tidak Berpasangan (t- test independent) ... 77

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Para ilmuwan dibidang olahraga masih berupaya terus menerus untuk menerapkan teori dan metode baru yang berguna dalam perkembangan dunia olahraga. Pembina, pelatih dan atlit terus berlatih untuk mendapatkan teknik dan taktik pelatihan yang baik, demi meraih prestasi dalam berbagai cabang olahraga. Cabang olahraga lari juga menjadi perhatian bagi pembina, pelatih dan atlit dalam pembinaan dan pelatihan olahraga prestasi.

Lari jarak pendek yang sering dilombakan baik di tingkat daerah, nasional maupun internasional adalah lari 100 meter dan 200 meter. Dari kedua jenis lari jarak pendek ini, nomor lari cepat 100 meter merupakan nomor yang menarik dan digemari karena kecepatannya dalam menempuh jarak yang pendek. Meraih prestasi yang tinggi dalam nomor lari 100 meter merupakan impian dan kebanggaan seorang atlit, namun untuk menciptakan atlit berprestasi dalam nomor lari cepat 100 meter membutuhkan proses pelatihan yang terprogram, teratur, terus-menerus/kontinu, didukung struktur tubuh yang ideal dengan ukuran tungkai kaki yang panjang dan stamina yang baik, serta mampu berlari menggunakan kekuatan penuh sejauh jarak tempuh 100 meter dan dapat menghasilkan kecepatan maksimal dengan prestasi yang gemilang. Prestasi olahraga dapat dicapai melalui pembinaan pelatihan secara baik dan benar yang bertujuan untuk meningkatkan kondisi fisik dan kemampuan yang nantinya akan mencapai kondisi fisik secara khusus, sesuai dengan cabang olahraga yang digelutinya ( Bompa, 1994 ).

Prestasi olahraga dapat diperoleh melalui pembinaan, dan ditunjang oleh berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan cabang olahraga itu sendiri. Ilmu yang menunjang teori dan metodologi pelatihan meliputi fisiologi, biomekanika, statistik, psikologi, tes dan pengukuran, kesehatan, olahraga, ilmu gisi, sejarah dan sosiologi ( Harsono 1993 ).

(18)

faktor pendukung lain yang ikut menentukan kecepatan lari 100 meter adalah komponen biomotorik yaitu : 1. daya tahan, 2. kekuatan, 3. daya ledak, 4. kecepatan, 5. kelentukan, 6. keseimbangan, 7. waktu reaksi, 8. kelincahan, 9. ketepatan, 10. koordinasi (Sajoto, 2002 and Nala, 2002). Antara kesepuluh komponen biomotorik ini, komponen yang harus mendapat perhatian lebih adalah komponen kecepatan. Karena tujuan akhir dari pelatihan yang dilakukan dalam penelitian ini, adalah untuk meningkatkan kecepatan lari maksimal dengan waktu tempuh yang sesingkat-singkatnya, pada lari cepat 100 meter.

Proses pelatihan yang sudah dirancang secara baik dan teratur, harus memperhatikan keterlibatan latihan fisik, teknik dan mental (Soetopo, 2007). Pelatihan fisik merupakan unsur yang pertama dan terpenting yang diperlukan dalam pelatihan olahraga untuk mencapai prestasi yang tertinggi. Tujuan dari pelatihan fisik dimaksud adalah untuk memberi tekanan kepada tubuh secara sistimatis sehingga kapasitasnya meningkat. Dengan demikian atlit tersebut mampu melaksanakan aktifitas yang direncanakan secara baik. Berkaitan dengan pelatihan fisik diatas, perlu diketahui dan ditentukan komponen biomotorik yang dominan dan dibutuhkan pada setiap cabang olahraga yang akan dilatih (Nala, 2002).

Kecepatan merupakan salah satu komponen biomotorik yang paling dominan dibutuhkan dalam perlombaan lari cepat 100 meter. Kecepatan yang dimaksud adalah kecepatan lari. Kecepatan adalah kemampuan untuk melakukan suatu aktifitas berulang yang sama serta berkesinambungan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya (Nala, 2002).

Pelatihan untuk meningkatkan kecepatan lari dapat dilakukan dengan beberapa metode atau cara pelatihan. Salah satu metode yang efektif untuk meningkatkan kecepatan lari adalah metode pelatihan interval (Nala, 1992). Pelatihan interval adalah pemberian beban pada tubuh dalam waktu singkat tetapi teratur dan berulang - ulang, diselingi interval. misalnya jalan atau jogging (Nala, 1992) atau interval yang diberikan pada saat antar sesi, antar sirkuit atau antar sesi per unit latihan (Sukadiyanto, 1997). Selanjutnya (Sukadiyanto, 1997) menegaskan

(19)

pemberian waktu interval dan recoveri merupakan faktor penting agar latihan kekuatan dapat diadaptasi oleh otot. Waktu recoveri dan interval tergantung dari kekuatan yang dilatih, otot - otot yang terlibat, kemampuan olahragawan, irama dan durasi latihan.

Secara fisiologis pelatihan interval merangsang perbaikan pengambilan oksigen maksimal (VO2 max) akibat adanya peningkatan densitas atau jumlah mitokondria dalam sel otot (Nala, 1992). Ada pula keuntungan lain dari pelatihan interval adalah seorang atlit belajar tentang tempo, menetapkan panjang langkah atau kecepatan melangkah per satuan waktu, serta pelatihan itu sendiri secara tidak langsung telah menerapkan ketrampilan kompetitif atau bersaing (Mamas, 2005). Seorang pelatih harus benar-benar menguasai dan memahami secara baik mengenai bentuk dan takaran yang tepat untuk melatih jenis cabang olahraga yang dilatih. Bila dalam menetapkan suatu pelatihan tanpa memperhatikan jenis pelatihan yang akan dipergunakan, walaupun takarannya telah benar hasilnya tidaklah maksimal (Nala, 1992).

Bentuk pelatihan yang berbeda dan disesuaikan dengan kebutuhan komponen biomotorik pada cabang olahraga yang dilatih, serta takaran yang disesuaikan dengan kemampuan individu diharapkan dapat menghasilkan pelatihan yang efektif. Metode pelatihan yang diterapkan dalam penelitian ini menggunakan metode pelatihan lari interval. Pelatihan yang berlangsung selama 6-8 minggu akan memberikan efek yang cukup berarti bagi atlit yaitu akan mengalami peningkatan kecepatan 10-20%, karena itu evaluasi efektivitas pelatihan dilakukan setelah 6-8 minggu pelatihan tersebut (Pate, dkk.,1994). Volume pelatihan untuk meningkatkan kecepatan lari dapat dilakukan dengan jumlah set sebanyak 3-4 kali, dengan frekuensi pelatihan tiga kali seminggu (Nala, 2011).

Penelitian di pantai berpasir lebih meningkatkan kecepatan lari karena kondisi pasir yang tidak rata, sehingga ada tekanan kaki kebawah / ada beban saat berlari, maka ketika atlit tersebut berlari pada kondisi lapangan yang rata dankeras, tidak ada beban sehingga kecepatan

(20)

lari akan bertambah. Alasan/pertimbangan peneliti memilih atlit disekolah SMK N Kakulukmesak sebagai subjek penelitian, karena sejak tahun 2003 mereka belum pernah meraih prestasi di nomor lari cepat 100 meter antar SMA/SMK di Kabupaten Belu. Penelitian ini dilakukan terhadap siswa kelas X usia 16-17 tahun, yang sebelumnya didahului dengan penelitian pendahuluan pada bulan Desember tahun 1013.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Apakah pelatihan lari interval 4 x 50 meter di pantai berpasir, 4 repetisi 3 set dapat meningkatkan kecepatan lari 100 meter ?

2. Apakah pelatihan lari interval 4 x 50 meter di lapangan, 4 repetisi 3 set dapat meniningkatkan kecepatan lari 100 meter ?

3. Apakah pelatihan lari interval 4 x 50 meter di pantai berpasir 4 repetisi 3 set lebih meningkatkan kecepatan lari 100 meter, daripada latihan interval 4 x 50 meter di lapangan pada siswa kelas X SMK N Kakulukmesak ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari pada penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pelatihan lari interval 4 x 50 meter di pantai berpasir, 4 repetisi 3 set dapat meningkatkan kecepatan lari 100 meter.

2. Untuk mengetahui pelatihan lari interval 4 x 50 meter di lapangan, dapat meningkatkan kecepatan lari 100 meter.

3. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kecepatan lari 100 meter, pelatihan lari interval 4 x 50 meter di pantai berpasir 4 repetisi 3 set dan peningkatan kecepatan lari 100 meter, pelatihan lari interval 4 x 50 meter di lapangan pada siswa kelas X SMK N Kakulukmesak.

(21)

1.4 Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis dapat memperoleh konsep ilmiah, tentang metode pelatihan lari interval dalam meningkatkan kecepatan lari 100 meter

b. Secara praktis dapat dipergunakan sebagai pedoman oleh pembina, pelatih, guru olahraga dan atlit untuk melakukan pelatihan dilapangan guna meningkatkan kecepatan lari 100 meter.

(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Lari Cepat 100 Meter

Sprint atau lari cepat 100 meter adalah merupakan salah satu nomor lari jarak pendek yang sering diperlombakan baik ditingkat daerah, Nasional maupun tingkat Internasional Didalam perlombaan seorang atlit/pelari cepat 100 meter harus benar-benar mengarahkan kekuatan untuk berlari dengan kecepatan penuh menempuh jarak 100 meter. Pelaksanaan lari cepat 100 meter ini harus membutuhkan kecepatan yang tinggi (Suherman, 2008).

Lari cepat sprint 100 meter merupakan jenis lari dimana sejak start hingga finish haruslah dilakukan dengan kecepatan maksimal dan kekuatan penuh sehingga menciptakan hasil/ catatan waktu yang singkat dan cepat. Kelangsungan gerak lari cepat/sprint dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu start, gerakan lari cepatdan gerakan finish (Anonim, 2009). Gerakan lari terdapat dalam setiap nomor lomba mulai dari nomor lari jarak pendek sampai dengan nomor lari jarak jauh. Dalam lomba lari cepat /sprint seorang atlit berlari/berlomba dengan persediaan energi yang tersimpan atau kapasitas anaerobik. Sprint/lari cepat yang baik membutuhkan reaksi yang cepat, kecepatan yang baik, lari yang efisien dan kecepatan dorongan badan ketika start, serta berusaha untuk mempertahankan kecepatan puncak. Seorang atlit/pelari cepat harus berusaha untuk berlari pada kecepatan puncak sepanjang lintasan lari (Anonim, 2009).

Untuk dapat mengembangkan kapasitas anaerobik, harus jelas intensitas latihan yang diberikan kepada atlit, terutama unsur kecepatanya. Penggunaan energi tidak dapat ditentukan dari jarak tempuh saja, namun harus memperhatikan pula intensitasnya yakni kecepatannya. Semakin tinggi intensitas latihan, semakin besar kontribusi sumber energi anaerobik. Cadangan kecepatan adalah salah satu faktor yang membatasi pengembangan daya tahan.

(23)

Semakin tinggi cadangan kecepatannya, maka potensi untuk mengembangkan daya tahan anaerobik semakin besar (Bompa, 1994).

2.2 Teknik Gerakan Lari Cepat

Teknik dasar lari cepat/sprint merupakan hal mendasar yang harus dipelajari dan dikuasai oleh seorang pelari jarak pendek. Beberapa teknik dasar lari cepat yang harus dipelajari dan dikuasai oleh seorang atlit lari cepat/sprint (Anonim, 2011) adalah:

1. Berlari cepat dengan tubuh bagian atas sedikit condong kedepan, kedua lengan dibengkokan dengan sudut siku-siku sebesar 90o dan diayun searah dengan gerakan lari. 2. Kedua tangan dan otot-otot bagian depan tetap dalam keadaan rileks.

3. Tungkai kaki ditolakan dengan kuat sampai lurus, dan pengangkatan paha depan diusahakan sampai posisi sejajar dengan tanah.

4. Pinggang tetap dalam ketinggian yang sama selama berlari.

5. Badan dicondongkan dengan serentak kedepan untuk mengantarkan bagian dada menyentuh pita finish ketika mencapai garis finis.

Reaksi dan dorongan badan, lari akselerasi, transisi/ perubahan, kecepatan maksimum, pemeliharaan kecepatan dan gerakan finish adalah merupakan tahapan- tahapan gerakan lari cepat 100 meter yang harus di pelajari dan dikuasai oleh seorang pelari (Anonim, 2011) Selain tahapan-tahapan gerakan diatas, seorang pelari jarak pendek harus memiliki kemahiran dan pemahaman yang mendalam tentang 3 macam gerakan yang paling penting dan mendasar dalam perlombaan lari cepat 100 meter.

Ketiga macam gerakan dasar tersebut adalah : a. Gerakan start

Hal-hal penting yang harus dikuasai seoarang atlit dalm sikap start (Anonim, 2011) : 1. Letak tangan lebih lebar sedikit dati bahu, jari-jari dan ibu jari membentuk huruf V

(24)

2. Kepala sedemikian rupa sehingga leher tidak tegang, mata memandang kelintasan kira-kira 2 meter atau pandangan diantar kedua lengan menghadap garis start.

3. Tubuh rileks/tidak kaku.

4. Pikiran dipusatkan pada aba-aba berikutnya.

5. Jarak letak kaki terhadap garis start tergantung dari bentuk sikap yang digunakan. Start yang umumnya digunakan pada lari jarak pendekadalah start jongkok. Start jongkok terdri dari 3 macam, yaitu bunch start/start pendek, mediunstart/start menengah dan longstart/start panjang. Dalam perlombaan lari, pelari akan memilih jenis start mana yang cocok untuk digunakan. Namun kebanyakan atlit/pelari lebih memilih bunchstart/start pendek karena lebih efisien dan efektif dalam upaya untuk kecepatan dorongan badan kedepan. Cara melakukannya adalah meletakan kaki belakang terpisah kira-kira 25-30 cm dari kaki depan dan ujung kaki belakang ditempatkan sejajar/segaris dengan tumit kaki depan dengan jarak kira-kira satu kepalan tangan. Kaki depan kira-kira 45 cm dan kaki belakang 70 cm jaraknya dengan garis start, tergantung dari panjang tungkai masing-masing atlit (Anonim, 2011).

b. Gerakan lari cepat/ sprint.

Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam perlombaan lari cepat (Soebroto, 1976) antara lain:

1. Gerakan lari cepat harus dilakukan dengan seluruh tenaga dan gerakannya harus tetap rileks.

2. Harus menggunakan ujung kaki sebagai tumpuan.

3. Tumit hanya sedikit saja menyentuh tanah saat kaki akan menolak

4. Berat badan harus selalu berada didepan kaki pada waktu menapak. Sehingga badan harus selalu condong kedepan.

(25)

5. Kaki bertolak kuat sampai tertendang lurus, lutut diangkat setinggi pinggul, tungkai bawah diayunkan kedepan agar didapatkan langkah yang panjang.

6. Usahakan badan tetap rileks dan condong kedepan dengan sudut terhadap lantai antara 25-30o.

7. Lengan bergantung disamping tubuh secara rileks.

8. Siku ditekuk kurang lebih 900 dengan genggaman tangan agak kendor, ayunan tangan kemuka dan belakang secara wajar. Ayunan lengan semakin cepat berimbang dengan gerakan kaki yang semakin cepat pula.

c. Gerakan Finish

Cara/ teknik yang harus dilakukan pelari saat mencapai garis finish ada 3 macam (Anonim, 2005) :

a. Lari terus tanpa merubah arah dan kecepatan.

b. Dada dicondongkan ke depan, kedua tangan diayun kebelakang.

c. Dada diputar dengan ayunan tangan kedepan atas, sehingga bahu sebelah maju kedepan yang lasim disebut the string.

Jarak 20 meter dengan finish adalah merupakan perjuangan terakhir untuk mencapai kemenangan dalam perlombaan lari. Maka yang perlu diperhatikan adalah kecepatan langkah, tidak menoleh/menengok lawan, melompat dan memperlambat langkah sebelum melewati garis finish (Prasetyo, 2011).

2.3 Pelatihan

Pelatihan merupakan suatu proses yang sistimatis. Dari pelatihan/bekerja berulang-ulang dengan penambahan beban pelatihan dan pekerjaan secara progresif (Harsono, 1993). Pada dasarnya semua pelatihan merupakan suatu aktifitas atau suatu kinerja dari atlit yang dilakukan secara sistimatis dalam durasi yang panjang, progresif dan berjenjang secara individual (Bompa, 1994). Pelatihan adalah kegiatan yang dilakukan dalam jangka waktu

(26)

lama serta sistimatis dan progresif sesuai dengan tingkat kemampuan individu dan bertujuan untuk meningkatkan fungsional tubuh sehingga dapat melakukan kegiatan olahraga secara optimal (Soetopo, 2007).

Pelatihan didefenisikan sebagai suatu gerakan fisik/aktifitas mental yang berulang-ulang (repetitif) dalam jangka waktu (durasi lama) dengan pembebanan yang dapat ditingkatkan secara progresif dan individual serta secara fisiologis merupakan suatu proses pembentukan reflek bersyarat, proses belajar gerak serta proses menghafalkan gerakan (Nala, 2002). Secara garis besar ada 4 aspek pelatihan yang diperlukan dalam meningkatkan penampilan/ perform seorang atlit, Pelatihan tersebut menyangkut pelatihan fisik, pelatihan teknik, pelatihan taktik dan pelatihan mental (Soetopo, 2007).

2.3.1 Pelatihan fisik

Prinsip dasar dalam program pelatihan adalah, untuk mengetahui sistem energi utama yang digunakan untuk melakukan suatu aktifitas dan penggunakan prinsip beban lebih dalam menyusun suatu program pelatihan yang akan mengembangkan lebih banyak sistem energi tertentu (Fox, dkk.,1988). Sistem energi yang dikenal tergantung pada jumlah dan penggunaan waktu, yaitu bila waktunya pendek menggunakan energi yang berasal dari ATP-PC maupun asam laktat, dan menggunakan sistem energi anaerobik. Sebaliknya bila penggunaan energi dalam waktu yang panjang dengan kekuatan yang kecil akan lebih dominan menggunakan sistem aerobik (Sukarman, 1998). Berdasarkan uraian diatas agar pelatihan dapat berjalan secara efektif dan efisien dalam hal mempersiapkan sistem energinya, maka perlu diketahui energi mana yang lebih dominan digunakan dalam cabang olahraga tersebut.

Persentase penggunaan energi yang dominan pada cabang olahraga atletik (Sukarman, 1998) disajikan sebagai berikut:

(27)

Tabel 2.1 Persentase Penggunaan Energi Aerobik dan Anaerobik

Jarak Lari Waktu Aerobik % Anaerobik %

100 m 10 detik 10 90

400 m 45 detik 25 75

1500 m 3 mnt, 35 detik 55 45

5000 m 13 mnt, 30 detik 85 15

Sumber : Sukarman 1998

Dari tabel diatas untuk lari 100 meter persentase penggunaan energi secara aerobik adalah 10%, sedangkan persentase anaerobik adalah 90 %. Penggunaan energi untuk kedua nomor tersebut sangat jauh berbeda. Maka dalam menyusun program pelatihan dapat diarahkan secara anaerobik. Tetapi bila pelatihan menggunakan lari jarak 1500 meter dengan interval istirahat, maka berdasarkantabel di atas pengaturan energi yang dibutuhkam adalah energi aerobik.

Pelatihan fisik harus diupayakan secara sistematis dan terencana untuk meningkatkan fungsional tubuh agar dapat mencapai kondisi fisik yang prima. Jika pembinaan fisik dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip dasarnya maka pelatihan akan memberikan pengaruh yang baik berupa peningkatan kualitas fisik. Perubahan-perubahan yang terjadi seperti perubahan pada sistem kardiorespirasi (cardio respiratory system), perubahan pada serabut otot, perubahan tekanan darah (cardio vaskuler), perubahan aklimasi terhadap panas dan perubahan jaringan ikat (Fox, dkk.,1988).

Pengaruh pelatihan fisik yang teratur dan kontinu secara fungsional terhadap komponen-komponen fisik sebagai berikut:

a. Perubahan pada sistem kerja jantung.

Dengan pelatihan jantung menjadi efisien, dapat mengedarkan darah dengan jumlah denyut nadi yang lebih sedikit, kontraksi jantung menjadi lebih kuat, mengosongkan dirinya lebih sempurna pada saat kerutan (systole), isi sekuncup, serta cardiac output bertambah besar (Fox, dkk.,1988). Pelatihan fisik dapat mempengaruhi fungsi jantung, terutama pengangkutan

(28)

O2 didalam tubuh, yang melibatkan berbagai sistem secara terpadu memperlancar pengangkutan O2 kebagian tubuh yang aktif dan mengurangi pengiriman O2 kebagian tubuh yang kurang aktif (Fox, dkk., 1988).

Perubahan-perubahan pada jantung antara lain : 1. Perubahan ukuran jantung.

Ukuran jantung membesar akibat dari pelatihan. Dengan teknik ekokardiografi dapat diungkap bahwa pembesaran ukuran jantung atlit disebabkan oleh membesarnya rongga ventrikel, sedangkan tebal dindingnya tetap. Hal ini menunjukan bahwa volume darah didalamnya saat diastole lebih banyak sehingga volume sekuncup juga meningkat (Fox, dkk., 1988).

2. Penurunan denyut jantung.

Subjek yang terlatih umumnya memiliki denyut jantung istirahat yang lebih rendah dari pada yang tidak terlatih (bradyacardia) yang disebabkan karena pada subjek yang terlatih terjadi peningkatan rangsangan parasimpatis dan terjadi penurunan rangsangan simpatis.

3. Peningkatan volume sekuncup, yang disebabkan oleh peningkatan kontraktil otot jantung dan perubahan kontraksi ion kalsium cairan ekstrasel yang dapat mempengaruhi elemen kontraksi otot jantung (Fox, dkk., 1988).

4. Peningkatan volume darah dan haemoglobin.

Akibat pelatihan yang teratur, volume darah yang mengalir bertambah, juga haemoglobinya, namun tidak merubah konsentrasi haemoglobin (Fox,dkk.,1988). khusus pada pelatihan sub maksimal terjadi peningkatan volume oksigen maksimum (VO2 maks). Peningkatan ini dalam pelatihan sub maksimal berkisar antara 5-20% selama 8-12 minggu, yang disebabkan karena pengiriman O2 ke otot yang aktif, lebih

(29)

b. Perubahan fungsi pernapasan.

Pelatihan yang teratur dapat meningkatkan volume pernapasan, ventilasi permenit, efisiensi ventilatorik dan kapasitas difusi (Fox, 1988). Pengaruh pelatihan terhadap sistem pernapasan otot-otot disekitar paru-paru akan terlatih melakukan kerja lebih banyak, sehingga bagi atlit yang terlatih bila melakukan suatu aktifitas akan mempunyai kemampuan menghisap O2 lebih banyak dalam periode waktu yang lebih lama, dan mampu

menghembuskan sisa-sisa pembakaran/ CO2 lebih banyak.

c. Perubahan serabut otot.

Akibat pelatihan otot yang berulang-ulang akan membuat serabut otot menjadi lebih aktif sehingga otot skeletal bertambah besar. Pelatihan fisik akan mempengaruhi proporsi kedua jenis otot cepat (fast twitch fiber) dan serabut otot lambat (slow twitch fiber) secara berbeda dalam terjadi hipertropi. Pelatihan anaerobik lebih nyata pengaruhnya pada serabut otot cepat, sedangkan pelatihan aerobik lebih nyata pada serabut otot lambat (Fox, dkk., 1988).

Perubahan kemampuan tubuh yang beradaptasi dari hasil pelatihan fisik seperti yang dikemukakan diatas akan mempengaruhi kemampuan terhadap komponen kesegaran fisik, yaitu daya tahan dan kecepatan, dimana unsur –unsur kesegaran jasmani seorang atlit/pelari cepat 100 meter sangat ditentukan oleh kedua komponen kesegaran jasmani tersebut. Pelatihan fisik diartikan sebagai suatu proses mempersiapkan atlit secara sistematis, dengan pemberian beban fisik dan mental secara teratur meningkat dan berulang-ulang yang bertujuan untuk mencapai mutu prestasi yang maksimal (Straus, 1984). Pelatihan fisik yang dituangkan dalam suatu program pelatihan yang dilakukan secara teratur, sistematis dan

(30)

berkesinambungan akan meningkatkan kemampuan fisik secara nyata, tidak nampak bila dilakukan secara tidak teratur (Fox, dkk., 1988).

Pelatihan fisik merupakan faktor utama dan terpenting, sebagai unsur yang diperlukan dalam pelatihan, untuk mencapai prestasi yang tertinggi serta dalam setiap pengaturan program pelatihan fisik harus dikembangkan secara bertahap yaitu pelatihan fisik umum, pelatihan fisik khusus dan pelatihan komponen biomotorik (Soetopo, 2007). Sebelum melakukan pelatihan fisik harus dilakukan pemanasan yang merupakan syarat umum dan harus menjadi bagian dari pelatihan. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan fisik dan mental untuk mencapai tujuan pelatihan berikutnya (Bompa, 1994).

Caranya adalah dengan kalistenik, peregangan dan pelemasan bagian tubuh secara umum yang berhubungan dengan aktifitas saraf otot untuk mengantisipasi gerakan berikutnya (Sajoto, 2002). Pelatihan fisik yang akan diterapkan dalam penelitian ini adalah jenis pelatihan interval dengan beban yang akan disesuaikan dengan kemampuan subjek. Pelatihan ini terdiri dari 3 bagian yaitu latihan pendahuluan/pemanasan, latihan inti dan latihan penenangan/pendinginan.

2.3.2 Pelatihan teknik

Pelatihan teknik adalah gerakan yang dibutuhkan untuk mempermahir / menguasai gerakan-gerakan guna memenangkan suatu kompetisi/perlombaan. Pelatihan teknik merupakan pelatihan khusus untuk membentuk dan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan motorik atau perkembangan neuromuscular. Kesempurnaan teknik dasar dari setiap gerakan sangat penting oleh karena akan menentukan gerak keseluruhan. Sehingga setiap gerakan-gerakan dasar dari bentuk teknik yang diperlukan pada cabang olahraga yang bersangkutan, harus dapat dilatih dan dikuasai secara sempurna (Nossek, 1982).

Penguasaan teknik sprint diartikan sebagai kemampuan atlet dalam mengetahui atau memahami teknik lari sprint dan dapat menggunakan teknik lari sprint dengan baik. Aplikasi

(31)

teknik merupakan penerapan penggunakan teknik lari sprint yang dilakukan oleh atlet di dalam perlombaan, mereka akan berusaha untuk mengeluarkan semua kemampuan yang dimiliki untuk mencapai penampilan terbaik dan prestasi maksimal. Setiap atlet memiliki kemampuan yang berbeda dengan cara yang berbeda pula dalam menerapkan atau mengaplikasikan teknik sprint dalam perlombaan. Atlet yang tangkas memiliki teknik yang baik dan konsisten dan juga tahu kapan dan bagaimana menggunakan teknik, guna menghasilkan prestasi yang baik (Anonim, 2011)

2.3.3 Pelatihan taktik.

Pelatihan taktik merupakan cara-cara yang diperlukan untuk memenangkan suatu pertandingan secara sportif sesuai dengan peraturan yang berlaku (Suharno, 1993). Tujuan pelatihan teknik adalah untuk mengembangkan kemampuan interpretasi atau daya tafsir pada atlet. Teknik gerakan yang sudah dikuasai dengan baik dan harus dituangkan dan diorganisir dalam setiap tahap pelatihan (Nossek, 1982).

2.3.4 Pelatihan mental

Pelatihan mental atlet sangat penting karena betapapun sempurnanya perkembangan fisik, teknik dan taktik apabila mentalnya tidak turut dikembangkan, prestasi maksimal tidak mungkin akan tercapai. Pelatihan mental menekankan pada perkembangan kedewasaan atlet serta penekanan emosi serta implusif, misalnya: semangat bertanding, sikap pantang menyerah, keseimbangan emosi walaupun berada pada keadaan tertekan, sportivitas, percaya diri dan kejujuran (Nossek, 1982).

Dari beberapa diatas dapat disimpulkan bahwa pelatihan adalah gerakan fisik atau aktivitas mental yang dilakukan secara sistematis dan berulang-ulang dalam jangka waktu lama, dengan pembebanan yang meningkat secara progresif dan individual yang bertujuan untuk memperbaiki sistem saraf, fungsi fisiologis dan psikologis tubuh agar pada saat melakukan aktifitas olahraga, dapat mencapai penampilan yang optimal (Nala, 2011).

(32)

2.4 Prinsip-Prinsip Pelatihan

Prinsip pelatihan adalah suatu petunjuk dan peraturan yang sistematis, dengan pemberian beban yang ditingkatkan secara progresif, yang harus ditaati dan dilaksanakan agar tercapai tujuan pelatihan (Nala, 2011). Prinsip-prinsip dasar pelatihan terdiri dari 7 (Nala, 2011) yaitu :

a. Prinsip aktif dan bersungguh-sungguh

Prinsip ini bertujuan untuk mencapai hasil yang maksimal dalam suatu pelatihan, sehingga atlit dituntut untuk selalu bertindak aktif dan mengikuti pelatihan dengan bersungguh-sungguh tanpa ada paksaan.

b. Prinsip pengembangan multilateral

Pelatihan dasar-dasar kebugaran badan dan komponen biomotorik hendaknya dibekali dahulu sebelum pelatihan yang mengarah kepada spesifikasi olahraga yang digeluti. Selain itu dikembangkan pula seluruh organ dan sistem yang ada dalam tubuh, yang menyangkut proses fisiologis yaitu perubahan yang ditunjukan oleh bertambahnya satu kekuatan dan daya tahan statis dan daya tahan dinamis. Tiga kecepatan transmisi syneptic dan neutron muskoler. Demikianlah maka latihan otot akan menyebabkan otot menjadi lebih kuat, lebih tahan, dan lebih cepat

c. Prinsip spesialisasi dalam pelatihan

Spesialisasi merupakan proses yang komplek yang didasarkan pada pengembangan menyeluruh (Soetopo, 2007). Setelah pelatihan pengembangan multilateral dilatih dilanjutkan dengan pengembangan khusus atau spesialisasi dengan cabang olahraga yang dipilih oleh anak atau atlit bersangkutan (Nala, 2011). Pelatihan spesialisasi baru dimulai setelah disesuaikan dengan umur yang cocok untuk cabang olahraga yang dipilih oleh anak atau atlit bersangkutan, untuk melatih cabang olagraga atletik, spesialisasi umur yang dilatih antara 13-14 tahun (Bompa, 1994).

(33)

d. Prinsip pelatihan individualisasi.

Setiap orang mempunyai kemampuan, potensi, karakter belajar dan spesifikasi dalam olahraga yang berbeda satu sama lainnya, sehingga cara pelatihan pun berbeda (Nala, 2011).

e. Prinsip variasi.

Pelatihan yang yang bersifat monoton yang dilakukan secara terus menerus akan cukup membosankan. Untuk menghindari hal tersebut maka dalam pelaksanaan pelatihan perlu dibuatkan variasi pelatihan, tentunya mempunyai tujuan yang sama yaitu tetap mengacu pada tujuan pelatihan dan tidak keluar dari program program pelatihan yang ditetapkan, sehingga atlit tetap bergairah dan semangat dalam berlatih (Nala, 2011). Variasi ini akan dapat dilakukan melalui serangkaian pelatihan, modalitas, peralatan, repetisi dan set yang berbeda sehingga dapat mengembangkan pola gerak, pola teknik, ataupun biomotorik. Oleh karena itu seorang pelatih harus merencanakan program pelatihan secara matang sehingga dapat mengatasi pelatihan yang monoton dan membosankan (Soetopo, 2007). f. Prinsip mempergunakan model proses pelatihan

Model yang dimaksud dalam prinsip ini adalah imitasi, suatu simulasi dari kenyataan yang dibuat dari elemen atau unsur spesifik dari fenomena yang diamatai mendekati keadaan sebenarnya (Nala, 2011).

g. Prinsip beban berlebih.

Prinsip beban berlebih sering disarankan oleh para ahli dan merupakan prinsip merupakan prinsip dasar pelatihan. Prinsip ini menjelaskan bahwa kemajuan prestasi seseorang,merupakan akibat langsung dari jumlah dan kualitas kerja yang dicapainya dalam pelatihan (Soetopo, 2007).

Beban pelatihan dimulai dengan beban awal yang ringan, kemudian ditingkatkan secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan atlit bersangkutan. Makin lama semakin

(34)

berat atau dapat diwali dengan gerakan sederhana kemudian ditingkatkan menjadi gerakan yang semakin rumit (Nala, 2011).

2.5 Prosedur Pelatihan Fisik.

Prosedur pelatihan fisik terdiri dari tiga bagian yaitu: bagian pendahulaun, bagian inti dan bagian pendinginan (Fox, dkk., 1988).

1. Bagian Pendahuluan (Pemanasan atau Warming-Up)

Suatu aktifitas fisik seperti olahraga sangat perlu dilakukan pemanasan yang cukup memadai, karena ketika beristirahat sistem tubuh berada dalam keadaan tidak aktif. Untuk itu perlu diadakan adaptasi selama beberapa menit, baik fisik, maupun fisiologis dari sifat pasif kesifat aktif. Selama pemanasan akan terjadi peningkatan intensitas secara progresif, menaikan kapasitas organ tubuh serta fungsi saraf, diikuti pula oleh proses metabolik yang lebih cepat akibatnya aliran darah meningkat, suhu tubuh naik sehingga merangsang pusat pernapasan untuk meningkatkan pasokan oksigen ke sel otot dan organ tubuh lainnya (Nala, 2011).

Pemanasan yang umum dilakukan dalam olahraga adalah pemanasan aktif, yaitu dengan aktivitas fisik, bukan pemanasan pasif seperti: mandi uap, menggunakan selimut panas, sinar inframerah, dengan bahan kimia yang efeknya sangat terbatas pada organ tubuh,karena cara-cara ini tidak setinggi gerak badan / aktifitas fisik dan tidak ada kontraksi otot (Bompa, 1994). Lama pemanasan untuk menggerakan seluruh otot tubuh berkisar antara 20-30 menit atau 10-20 menit (Bompa, 1994). Ada pula dengan memakai patokan frekuensi denyut nadi, yaitu bila frekuensi denyut nadi telah meningkat 20-40 denyut diatas denyut nadi istirahat (Powers and Howle, 1990).

Bentuk pemanasan yang dilakukan selama pelatihan sangat bergantung dari cabang olahraga yang dilakukan, bentuk pemanasan ada 3 tiga macam antara lain : 1) peregangan yang merupakan aktifitas otot pertama kali dilakukan; 2) kalistenik dengan

(35)

cara menggerakan sekelompok otot yang secara aktif berulangulang dengan tujuan untuk meningkatkan suhu dan aliran darah pada otot yang bersangkutan; 3) aktivitas spesifik yaitu aktivitas yang disesuaikan dengan olahraga yang dilatih (Nala, 2011). Tujuan dari pemanasan adalah untuk mempersiapkan sistem organ tubuh supaya dapat bekerja dalam tingkat efisiensi yang tinggi sewaktu berlatih atau bertanding (Powers, 1990). Selain itu pemanasan aktivitas dapat menyebabkan suhu tubuh, tertutama suhu otot skeletal akan meningkat dengan cepat, jumlah dan oksigen yang mengalir menuju otot juga akan meningkat (Nala, 2002).

Pemanasan yang diberikan dalam penelitian ini, dilakukan dengan berlari mengelilingi lapangan selama 5 menit, bertujuan untuk meningkatkan suhu tubuh dan aliran darah ke seluruh otot, kemudian dilanjutkan dengan peregangan yang meliputi peregangan otot leher, lengan, pinggang dan otot tungkai.

2. Pelatihan Inti

Pelatihan meningkatkan komponen biomotorik kecepatan dapat ditempuh dengan metode progresif yang diawali dengan intensitas, volume, dan frekuensi yang rendahkemudian secara bertahap bebannya ditingkatkan. serta sejak awal sudah dilatih dengan kemampuan maksimum yang biasa digunakan untuk atlit (Nala, 2002). Intensitas pelatihan merupakan ukuran atau tingkat kerja yang dapat dilakukan dalam suatu waktu (Nala, 2002).

Metode pelatihan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode pelatihan lari interval, yaitu lari cepat diselingi jalan dengan intensitas pelatihan yang disesuaikan untuk pemula yaitu intensitas atau kemampuan submaksimum (100% dari kemampuan maksimum). Sedangkan volume pelatihan adalah jarak tempuh pelatihan sejauh 100 meter.

(36)

Takaran pelatihan ini dipilih berdasarkan pertimbangan kecepatan lari 100 meter, sehingga jika dilatih dengan jarak yang melebihi jarak sasaran maka subjek akan terbiasa serta lebih ringan untuk menempuh jarak 100 meter. Metode palatihan lari interval pada penelitian ini terdiri dari kelompok satu yang melaksanakan lari interval 4 x 50 meter di pantai berpasir dan kelompok dua yang melakukan lari interval 4 x 50 meter di lapangan, yaitu dengan lari secepat-cepatnya sejauh 4 x 50 meter diselingi dengan jalan sebanyak 4 x 50 meter. Pelatihan untuk ke dua kelompok ini dilakukan dengan jumlah repetisi dan jumlah set yang sama yaitu dilakukan sebanyak 4 repetisi 3 set, dengan frekuensi pelatihan adalah tiga kali seminggu (Senin, Rabu, Jumat) selama enam minggu.

3. Pelatihan pendinginan/colling down

Pendinginan dilakukan untuk mengembalikan kondisi tubuh ke keadaan semula. Tujuan utama dari pendinginan adalah menarik kembali secapatnya darah yang berkumpul diotot skeletal yang telah aktif sebelumnya keperedaran sentral. Selain itu berfungi pula untuk membersihkan darah dari sisa hasil metabolisme berupa tumpukan asam laktat yang berada di dalam otot dan darah (Nala, 2002).

Pendinginan membantu mempercepat pemulihan dari kelelahan serta dengan aktivitas ringan ini akan merangsang kerja pompa otot, sehingga mencegah penumpukan darah pada anggota tubuh terutama di daerah tungkai (Fox, 1988). Bentuk pelatihan pendinginan yang biasa dilakukan adalah dengan istirahat aktif, yaitu selesai melakukan aktivitas atau berolahraga tidak langsung duduk tapi melakukan gerakan-gerakan ringan, seperti jalan-jalan atau menggerak-gerakkan otot tubuh mulai dari anggota gerak atas dan dilanjutkan anggota gerak bawah secara ringan (Nala, 2002). Lamanya pendinginan berkisar antara 10-20 menit (Powers dan Howley, 1990).

Pelatihan pendinginan yang dilakukan dalam penelitian ini, dimulai dari gerakan- gerakan ringan dari kepala, leher, bahu, lengan, pinggang, dan anggota gerak bawah.

(37)

Selanjutnya melakukan olah nafas yaitu menarik nafas panjang dan perlahan serta menghembuskan nafas panjang perlahan.

2.6 Pelatihan Kecepatan Lari

Kecepatan adalah elemen penting pada hampir semua cabang olahraga (Brantly, 2001). Kecepatan lari merupakan faktor yang paling penting dalam upaya mencapai prestasi puncak cabang olahraga lari cepat (Bernhard, 1993). Kecepatan lari yang dimaksudkan disini adalah kecepatan berlari menempuh lintasan tertentu dalam waktu tertentu. Kecepatan ini dinyatakan dengan rumus (Alonso dan Finin, 1992) :

Keterangan :

Vx = Kecepatan lari (m/dt)

Sx = Jarak/lintasan yang ditempuh (m)

t = Waktu yang dibutuhkan untuk menempuh lintasan tersebut (dt)

Kecepatan diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk bergerak dari satu tempat ketempat yang lain dalam waktu sesingkat mungkin (Corbin, 1990). Selanjutnya dikatakan bahwa kecepatan merupakan suatu gerakan tungkai pada seorang pelari atau gerakan lengan pada seorang pemain golf (Anonim, 2009). Lari cepat merupakan perpindahan tubuh dari satu titik ke titik lainnya yang dilakukan dengan gerakan berulang dan berkesinambungan, oleh anggota gerak bawah (Nala, 2002). Kecepatan berlari sprint adalah kemampuan alami untuk mencapai percepatan lari yang sangat tinggi, dan untuk menempuh jarak pendek (Anonim,2009).

Dalam perlombaan atletik dikatakan kecepatan berlari adalah suatu kemampuan menempuh jarak tertentu dengan waktu yang sesingkat-singkatnya atau cepat (Jarver, 1999).

(38)

Kecepatan terdiri dari tiga bagian yaitu waktu reaksi, frekuansi setiap satuan waktu dan kecepatan untuk menempuh jarak (Bompa, 1994). Pelatihan kecepatan mengikuti prinsip-prinsip seperti pengulangan, intensitas tinggi dengan irama yang meningkat, metode hambatan, metode permainan (Bompa, 1994). Metode pelatihan lari pada prinsipnya otot-otot tungkai harus berkontraksi berulang-ulang dengan secepat-cepatnya (Jarver, 1999). Prinsip-prinsip pelatihan kecepatan lari adalah memperbaiki kemampuan tubuh dalam mentransfer darah dan oksigen, meningkatkan kemampuan otot yang sedang berlari agar secara efektif menggunakan oksigen yang tersedia, meningkatkan VO2 max, menggeser ambang laktat

untuk dapat menyesuaiklan kecepatan lari, memperbaiki kecepatan, menjadikan aktvitas berlari lebih sedikit (Daniels, 2000).

Pelatihan meningkatkan komponen biomotorik kecepatan dapat ditempuh dengan metode progresif yang diawali dengan intensitas, volume dan frekuensi yang rendah kemudian bebannya ditingkatkan secara bertahap sampai mencapai maksimum, sedangkan metode maksimum dalam pelatihan sejak awal sudah memakai intensitas, volume dan frekuensi pelatihan dengan takaran maksimum (Nala, 2002). Jika menginginkan kecepatan yang meningkat, dapat melakukan dengan metode lari yang cepat dengan metode interval yang dilakukan dengan situasi kelompok yang mempunyai kemampuan yang hampir sama (Brown, 1997).

Ada tiga hal penting yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kecepatan lari (Jansen dan Fisher, 1979) diantaranya :

1) Meningkatkan tenaga dan otot-otot ekstensor anggota gerak bawah dengan gerakan-gerakan lari, yang dilakukan secara berulang-ulang untuk meningkatkan tahanan dengan aturan tertentu dan bertahap sehingga lebih banyak tenaga dinamis yang ditimbulkan. 2) Peningkatan kondisi neoromuskuler melalui pelatihan lari yang dilakukan secara

(39)

3) Mengoreksi kesalahan-kesalahan dalam mekanika gerak lari.

Bentuk pelatihan kecepatan (Nossek, 1982) dapat dilakukan dengan cara : 1. Pengulangan menempuh jarak tertentu dengan kecepatan maksimal

2. Peningkatan kecepatan dari waktu ke waktu dengan jarak yang sama 3. Jarak tertentu ditempuh dengan kecepatan maksimal

4. Intensitas pelatihan antara submaksimal dan maksimal 5. Pelatihan kecepatan dengan frekuensi 3 kali perminggu

Program pelatihan yang dilakukan untuk meningkatkan kecepatan pelari (Fox, dkk; 1983) dapat dilakukan dengan cara :

1. Intensitas maksimal dari kemampuan

2. Frekuensi pelatihan antara 3-5 kali perminggu.

Pengembangan kecepatan (Bompa, 1994) dapat dilakukan dengan metode sebagai berikut:

Metode pengulangan :

1) Intensitas tinggi dengan irama yang menigkat 2) Metode hambatan (rintangan)

3) Metode permainan

4) Metode kecepatan dengan penggunaan rintangan (speed barrier).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian ini diterapkan pada subjek yang memiliki kemampuan hampir sama yaitu siswa kelas X berumur 16-17 tahun dan mereka bukan atlit. Mereka yang akan dipilih sebagai subjek penelitian adalah yang memiliki kebugaran fisik sama yaitu kategori sedang, dengan demikian diasumsikan subjek memiliki kemampuan yang sama dan dapat mengikuti pelatihan yang akan diberikan sesuai dengan kemampuannya.

(40)

2.7. Metode Pelatihan Interval

Pelatihan interval yakni pemberian beban pada tubuh dalam waktu singkat tetapi teraturdan berulang-ulang diselingi dengan pemulihan yang mamadai seperti lari diselingi dengan jalan (Nala, 2011). Pelatihan interval adalah suatu bentuk pelatihan yang diselingi oleh interval berupa masa istirahat (Suherman, 2008). Sistim organ dalam tubuh yang paling berpengaruh dan sangat berperan dalam pelatihan interval adalah sistim kardiorespirasi (Fox, 1988). Konsumsi oksigen dan fentilasi paru meningkat sekitar 20 kali pada aktivitas fisik pelatihan dengan intensitas maksimal (Guyton and Hall, 2007).

Beberapa faktor yang harus dipenuhi dalam menyusun pelatihan interval (Harsono, 1993) antara lain : lama pelatihan, beban pelatihan, ulangan pelatihan, masa istirahat setiap repetisi pelatihan. Lamanya pelatihan dapat diartikan dalam jarak lari yang harus ditempuh, beban pelatihan dengan waktu menempuh jarak tersebut, ulangan pelatihan diartikan sebagai berapa kali jarak yang harus ditempuh. Sedangkan yang dimaksud dengan masa istirahat interval adalah masa istirahat diantara setiap ulangan lari yang dilakukan dengan istirahat aktif yaitu dengan cara jalan (Harsono, 1993). Selanjutnya (Nala, 2011) mengemukakan ada beberapa persyaratan agar pelatihan bisa berhasil diantara lama kerja interval lebihdari 60 detik, intensitas latihan 85-100% dari kemampuan maksimum, repetisi, set, interval dan disesuaikan dengan kemampuan. frekuensi latihan tiga kali seminggu (Senin, Rabu, Jumat).

Manfaat yang biasa didapat dari pelatihan interval antara lain memberikan pengaruh yang baik bagi jantung dan otot, menghasilkan sesuatu yang dikenal dengan istilah after trainingburn yaitu kondisi dimana setiap otot tetap melakukan pembakaran lemak, gula dan sedikit protein meskipun aktifitas sudah berhenti (Anonim, 2005).

Suatu penurunan kadar laktat akan sangat cepat terjadi apabila pada setiap pulih asal diisi dengan jalan atau lari perlahan dibandingkan dengan istirahat dengan duduk diam, dengan demikian pelatihan terasa lebih ringan (Fox, dkk., 1988). Selain itu dengan pelatihan

(41)

interval suatu jarak yang panjang dapat ditempuh dengan kecepatan lebih tinggi tetapi terasa lebih ringan dibanding dengan pelatihan yang terus menerus tanpa istirahat. Hal ini disebabkan karena pada pelatihan interval setelah melakukan suatu aktivitas dengan intensitas maksimal akan selalu diikuti oleh suatu periode asal yaitu jalan atau lari perlahan (Brown, 1997).

Beberapa hasil penelitian mengenai pengaruh pelatihan interval dari berbagai cabang olahraga antara lain :

1. Penelitian eksperimental laboratories yang dilakuakn oleh Boleng (2003) tentang pengaruh latihan interval terhadap pemulihan glikogen otot menyimpulkan, pemulihan glokogen otot pada latihan interval lebih meningkat dibandingkan dengan kelompok kontrol.

2. Penelitian mengenai pengaruh latihan interval dan continyu terhadap perubahan VO2 max

dan denyut nadi istirahat yang dilakukan oleh Nasution (2000) bentuk pelatihan interval lebih baik dibanding pelatihan kontinu terhadap VO2 max.

3. Sedangkan hasil penelitian pelatihan interval lari dengan 5 model pelatihan yang dilakukan oleh Gelatang (2009) melaporkan ke-5 model pelatihan lari interval tersebut dapat menurunkan waktu tempuh lari 800 meter.

4. Selanjutnya Juliasih (2010) melaporkan, hasil penelitian pelatihan lari 8 x 100 meter lebih baik dari pelatihan lari 4 x 200 meter dalam meningkatkan kecepatan lari 100 meter siswa SMK Negeri 5 Denpasar.

5. Hasil penelitian Ardana G.A.A mengatakan pelatihan lari cepat 100 meter interval aktif lebih baik dibanding dengan lari cepat lari cepat 100 meter dan dan 800 meter pelari pemula putra SMK Negeri I Denpasar.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas membuktikan bahwa bentuk pelatihan interval sangat efektif dipergunakan pada pelatihan beberapa cabang olahraga seperti cabang

(42)

olahraga yang membutuhkan kecepatan. Pertimbangan iniyang mendasari penulis merancang pelatihan lari interval terhadap peningkatan kecepatan lari jarak pendek 100 meter.

2.8 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Lari

Kecepatan lari dipengaruhi oleh berbagai faktor anatar lain faktor keturunan, jenis kelamin, berat badan, panjang tungkai, waktu reaksi, kemauan untuk mengatasi tahanan luar, teknik, konsentrasi serta kekuatan otot (Bompa, 1994). Kecepatan ditentukan dengan jenis otot atau banyaknya otot cepat atau otot lambat, koordinasi otot dan saraf, biomekanika atau teknik gerakan serta kekuatan otot (Pate, dkk., 1988). Atlet jarak pendek mempunyai komposisi serabut otot cepat (fast twitch fiber) lebih besar dibandingkan dengan serabut otot lambat (slow twitch fiber) sehingga kcepatan gerakan lebih tinggi (Anonim, 2009).

Hal ini disebabkan oleh kemampuan otot cepat berkontraksi lebih cepat dari otot lambat (Pate, dkk.,1988). Pendapat-pendapat diatas menjelaskan bahwa secara garis besar kecepatan dipengaruhi faktor internal dan eksternal yang diuraikan sebagai berikut :

2.8.1 Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh atlet sendiri diantaranya : 1. Umur.

Hampir semua komponen biomotorik dipengaruhi oleh umur. Biasanya kecepatan lebih rendah pada usia anak-anak dan meningkat diusia remaja dan mencapai puncaknya pada usia 25 tahun.

Pelatihan olahraga atletik termasuk lari cepat jarak 100 meter mulai dilatih dari umur 10-12 tahun, dan pelatihan spesialisasi pada umur 13-14 tahun, sehingga puncak prestasinya pada umur umur 18-23 tahun (Bompa, 1994). Umur yang dipilih sebagai subjek dalam penelitian ini adalah yang berumur 16-17 tahun.

(43)

2. Genetik

Pengaruh genetik terhadap kecepatan, kekuatan dan daya tahan pada umumnya berhubungan dengan komposisi serabut otot yang terdiri dari serabut otot putih dan merah. Atlit yang memiliki lebih banyak serabut otot putih mampu untuk melakukan kegiatan yang bersifat anaerobik, seperti pelari jarak pendek sedangkan yang lebih banyak memiliki serabut otot merah lebih tepat melakukan kegiatan yang bersifat aerobik, seperti pelari jarak jauh. Dengan demikian faktor genetik juga mempengaruhi terhadap kecepatan lari. Tetapi dilapangan hal ini sulit diterapkan, hanya untuk diketahui saja bahwa di dalam tubuh manusia ada jenis otot yang namanya otot cepat dan otot lambat, yang fungsinya masing-masing berbeda (Nala, 2011).

3. Jenis kelamin

Perbedaan kekuatan otot antara pria dan wanita disebabkan oleh adanya perbedaan proporsi dan besar otot dalam tubuh. Pada umur yang sama setelah wanita mengalami menstruasi ada peningkatan jaringan lemak sehingga wanita yang aktif relatif sedikit. Perbedaan nilai kekuatan otot tidak sama setiap kelompok otot. Pada otot ekstensor dan fleksor panggul nilai kekuatan otot wanita 80% dari pada laki-laki kekuatan alat tubuh bagian atas hanya 50% dari laki, sedangkan organ tubuh bagian bawah berkisar antara 30% lebih lemah dari laki-laki (Astrand and Rodhal, 1986). Dengan demikian jelas bahwa jenis kelamin mempengaruhi kecepatan lari. Jenis kelamin yang dipilih sebagai subjek dalam penelitian ini adalah berjenis kelamin laki-laki.

4. Berat badan

Berat badan sangat mempengaruhi kecepatan lari. Tubuh yang lebih berat dengan kekuatan otot yang sama akan menghasilkan kecepatan lari yang lebih rendah. Hal ini disebabkan kerena berat badan merupakan gaya berat yang dipengaruhi oleh percepatan gravitasi. Makin tinggi gaya berat maka gaya otot yang dibutuhkan untuk mengangkat

(44)

atau memindahkan berat badan semakin besar. Sehingga dengan gaya otot yang sama pada berat badan yang lebih kecil akan lebih mudah tubuh diangkat atau dipindahkan dan kecepatan tubuh bergerak akan semakin tinggi (Kosen, 1980).

5. Tinggi badan

Tinggi badan berhubungan erat dengan panjang tungkai, sehingga makin panjang tungkai seseorang langkahnya akan semakin panjang dan mempengaruhi kecepatan lari (Wahyudi, 2000).

6. Panjang anggota gerak bawah

Panjang tungkai merupakan faktor penunjang kecepatan lari, karena panjang tungkai mempengaruhi panjang langkah dan frekuensi langkah. Dikatakan bahwa kecepatan pada nomor lari cepat tergantung pada frekuensi langkah dan panjang langkah (Jarver, 1999). 7. Kebugaran fisik

Kebugaran fisik sangat diperlukan oleh setiap individu untuk dapat melakukan aktivitas dengan baik (Hairy, 1988). Kebugaran fisik merupakan kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari tanpa merasa lelah berlebihan dan masih memiliki cadangan tenaga untuk menikmati waktu luang dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya mendadak (Nala, 2011). Kebugaran fisik berhubungan erat dengan kapasitas aerobik seseorang, semakin baik kapasitas aerobik seseorang maka semakin baik pula kebugaran jasmaninya (Sukarman, 1998). Subjek yang dipilih dalam penelitian ini adalah mereka yang memiliki kebugaran fisik kategori sedang, memiliki kemampuan fisik yang hampir sama untuk melakukan pelatihan yang diterapkan.

2.8.2 Faktor eksternal

Faktor eksternal sangat mempengaruhi penampilan fisik atlit. Faktor tersebut menyangkut suhu dan kelembaban lingkungan, arah dan kecepatan angin, juga ketinggian tempat.

(45)

1. Suhu dan kelembaban relatif udara.

Suhu lingkungan yang terlalu ekstrim (dingin atau panas) akan mempengaruhi kecepatan atlet. Pelatihan yang dilakukan pada suhu yang sangat panas dapat menyebabkan atlet dapat mengalamai dehidrasi. Sebaliknya pelatihan yang dilakukan pada suhu dingin akan menyebabkan kram, (Pate, dkk., 1988). Oleh karena itu penelitian sebaiknya dilakukan pada tempat yang nyaman dengan mempertimbangkan tempat dan waktu penelitian. Penyesuaian terhadap cuaca lingkungan pada penelitian ini, tidak menjadi masalah karena siswa biasa beraktivitas dengan temperatur lingkungan dan kelembaban relatif udara yang tidak jauh berbeda dari tempat pengambilan data.

2. Arah dan kecepatan angin

Salah satu syarat pertandingan atletik adalah arah dan kecepatan angin harus diukur sebelum kejuaraan dimulai. Kecepatan angin yang terlalu tinggi akan menghambat gerakan berlari sehingga dapat menguragi kecepatan. Arah angin diukur dengan bendera angin/kantong angin sedangkan kecepatannya dengan anemometer (Gabriel, 2003 and Kanginan, 2000). Dalam penelitian ini arah dan kecepatan angin berada dalam batas toleransi, diharapkan pengaruhnya dapat ditekan sekecil-kecilnya dan tempat pengambilan data berada pada kondisi yang sama atau disatu tempat.

3. Ketinggian tempat

Ketinggian suatu tempat akan mempengaruhi kinerja atlet, oleh karena semakin tinggi suatu tempat akan semakin rendah oksigen. Kondisi ini akan memerlukan adaptasi yang lebih baik dari atlet yang sedang berlatih (Pate, dkk., 1988). Selain faktor lingkungan di atas, asupan makanan juga dapat mempengaruhi kecepatan. Ketersediaan nutrisi didalam tubuh akan mempengaruhi kinerja otot. Hasil penelitian Sumosarjono (1999) menyatakan bahwa para atlet lari sebaiknya makan-makanan yang terakhir 3-4 jam sebelum lomba.

Gambar

Gambar 3.2 Konsep Penelitian           Faktor Pelatihan
Gambar 4.1 Rancangan penelitian  Keterangan :
Gambar  4.4   Alur Penelitian.
Tabel 4.1 Program pelatihan lari interval 4 x 50 meter di pantai berpasir, dan 4 x 50 meter di  lapangan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Prinsip dari sistem tanam jajar legowo adalah meningkatkan populasi tanaman mengatur jarak tanam sehingga pertanaman akan memiliki barisan tanaman yang diselingi

Tabel 2 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji BNT (0,05) ternyata secara faktor tunggal pengaruh Phosfat dan sulfur berpengaruh nyata akibat pemberian pemupukan

- Herba sambiloto menurunkan jumlah neutrofil dalam darah tikus putih yang telah diinduksikan bakteri Staphylococcus aureus.. - Herba sambiloto meningkatkan kadar TNF-α

Hasil penelitian menunjukkan: (1) Pendapatan kepala keluarga rendah memotivasi ibu rumah tangga bekerja karena 51,61% responden menyatakan pendapatan kepala keluarga

Pengaruh Pemberian Abu Janjang Kelapa Sawit dan Pupuk KCl terhadap Pertumbuhan dan Produksi Melon (Cucumis melo L) pada Medium Gambut.. Peat Soil of Indonesia: Location,

Orang tua mahasiswi yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi, dan mempunyai pekerjaan yang baik serta pendapatannya tinggi, maka perilaku konsumsi mahasiswa

Sumber : Data Primer 2011 Fase acceptance pasti dilalui oleh pasien yang menjadi responden karena pada pasien ini telah dilakukan terapi oleh dokter, baik

koleraSI antara setmp pasaran saham ASEAN dengan lat kehga-hga pasaran negara-negara utama yang terpilih tersebut menunJukkan hdak signifikan secara stahstik pada