• Tidak ada hasil yang ditemukan

Matriks 6.1 Kondisi Komunitas Perumahan Dwi Ratna dan Pinggir Sungai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Matriks 6.1 Kondisi Komunitas Perumahan Dwi Ratna dan Pinggir Sungai"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

VI. PEMBELAJARAN PRAKTEK PENGEMBANGAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT DI KOMUNITAS PINGGIRAN

SUNGAI KAPUAS DI KECAMATAN PONTIANAK SELATAN

6.1 Pendahuluan

Perlunya dilakukan pembelajaran pengelolaan sampah berbasis masyarakat pada komunitas di pinggiran sungai karena penulis menganggap bahwa setiap komunitas memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara mandiri. Proses pembelajaran ini akan lebih membantu penulis mengetahui masalah yang dihadapi oleh komunitas karena penulis berusaha merintis membuka akses kepada pemerintah, pengusaha, dan LSM kepada komunitas.

Proses pengenalan komunitas dan memahami permasalahan di tingkat komunitas akan lebih mudah dipahami jika penulis terjun langsung melakukan pembelajaran pengembangan masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan cara proses transplantasi pengelolaan sampah berbasis masyarakat dari Kompleks Perumahan Dwi Ratna ke komunitas pinggir sungai. Penulis bisa memahami secara detail permasalahan dan kendala di tingkat komunitas. Kondisi kedua komunitas untuk melaksanakan proses transplantasi adalah sebagai berikut:

Matriks 6.1 Kondisi Komunitas Perumahan Dwi Ratna dan Pinggir Sungai No Tipe Dwi Ratna Komunitas Pinggir

Sungai

Ket 1. Kepemimpinan Ketua RT yang

mempelopori pengelolaan sampah

Ada ketua RT yang peduli terhadap kemajuan masyarakat dan Ibu Fa yang sangat tertarik dengan masalah sampah

Cocok

2. Kebersamaan Gotong royong Gotong royong Cocok 3. Keterbukaan

terhadap teknologi

Komposting Komposting Cocok

4. Masalah yang dihadapi

Pelayanan pengangkutan sampah yang tidak pernah masuk gang

Pelayanan pengangkutan sampah yang tidak pernah masuk gang

Cocok

(2)

6. Partisipasi Komunitas bersedia mengelola sampah Komunitas bersedia mengelola sampah Cocok 7. Lahan pengelola sampah Di lingkungan komunitas Di lingkungan komunitas Cocok 8. Karekteristik Buang sampah

sembarangan di jalan

Buang sampah

sembarangan di sungai

Beda karakter 9. Wilayah Di daratan Di pinggir sungai Beda

letak geografi s 10. Kondisi sosial Di lingkungan sekitar

rumah yang banyak sampah

Di lingkungan bawah rumah banyak sampah

Beda lingkun gan

Perbedaan kondisi kedua komunitas tetap dapat dilakukan tranplantasi proses pembelajaran dari komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna kepada komunitas pinggir sungai karena pengelolaan sampah yang akan dilakukan proses pembelajaran pengelolaan sampah pada sampah rumah tangga. Sampah rumah tangga yang dapat menjadi nilai ekonomi bagi komunitas yang mengelola sampah rumah tangga.

Proses transplantasi pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat dari Kompleks Perumahan Dwi Ratna kepada komunitas pinggir sungai dilakukan dengan cara:

• Memanggil ketua RT dari Kompleks Perumahan Dwi Ratna ke forum diskusi dengan warga komunitas pinggir sungai untuk menceritakan historis pengelolaan sampah berbasis masyarakat bisa terlaksana di kompleks perumahan tersebut dan penghasilan dari membuat kerajinan sampah tersebut.

• Mempraktekkan pengelolaan sampah yang telah dilakukan oleh komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna kepada warga komunitas pinggir sungai dengan cara pembuatan pupuk kompos dan memperlihatkan hasil kerajinan tangan yang dibuat dari sampah.

• Mancari donator yang akan menyediakan sarana tempat sampah untuk pengelolaan sampah.

(3)

6.2 Kondisi Sosial Kemasyarakatan Sebelum Adanya Proses Pembelajaran

6.2.1 Pelaksanaan Pengelolaan Sampah

Pewadahan sampah merupakan cara penampungan sampah sementara di sumber baik individu maupun komunal. Pewadahan sampah yang dilakukan oleh komunitas di RT 02 RW 07 yaitu:

1. Bagi tidak peduli lingkungan

Masyarakat golongan ini tidak memiliki tempat sampah dirumah mereka. Cara pewadahan dilakukan dengan membungkus sampah dalam plastik dan dibuang langsung kesungai dari rumah. Hal ini dilakukan karena rumah penduduk yang berada ditepi sungai dan disekitar wilayah mereka tidak memiliki tempat sampah. Oleh karena itu sungai sebagai tempat pembuangan sampah sampah.

2. Bagi yang peduli sampah

Masyarakat golongan ini memiliki tempat sampah yang disediakan agar sampah tersebut dibakar.

Komunitas RT 02 RW 07 tidak memiliki tempat sampah komunal karena tidak ada yang mengangkut sampah tersebut ke TPS. TPS yang disediakan oleh pemerintah sangat jauh dari tempat tinggal komunitas sehingga mereka tidak mau melakukan pengumpulan sampah secara komunal.

Masyarakat pernah mengadakan tempat sampah sementara pada tanah kosong tetapi karena tidak ada yang mau membakar sampah tersebut sehingga menimbulkan bau. Oleh karena itu warga yang dekat tempat sampah tersebut melarang masyarakat membuang sampah di tempat itu. Cara pengumpulan sampah yang dilakukan pada tingkat individu yang langsung dengan pembakaran atau pembuangan sampah ke sungai.

RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut merupakan bagian Kampung Kamboja yang berada dipinggiran/bantaran Sungai Kapuas dengan jalan yang disebut gertak yaitu gang kecil. Dari dulu masyarakat Kampung Kamboja tidak

(4)

memiliki tempat sampah dan membuangnya ke sungai. Sampah yang digunakan pada zaman dahulu adalah sampah yang mudah terurai yaitu pembungkus menggunakan daun sehingga tidak mencemari sungai. Berdasarkan hasil wawancara Ibu RT 02/RW 07 mengemukakan bahwa “Dahulu kami minum dari air sungai ini karena airnya masih jernih dan tidak seperti sekarang hitam. Dulu sampah yang dibuang kesungai pembungkus yang dari daun-daun, sekarang sampah yang dihasilkan dari plastik”.

Hal ini didukung hasil penelitian Bustomi (2006) di Bandung bahwa permasalahan sampah yang dihadapi dilihat dari aspek budaya, secara kultural, pada masyarakat Bandung terjadi perubahan pola konsumsi. Ini bisa dilihat dari bahan pembungkus makanan yang tadinya lebih banyak menggunakan daun sehingga sampahnya bersifat organik jadi menggunakan plastik atau styrofoam. Berdasarkan uraian diatas bahwa perubahan gaya hidup, tidak ikuti dengan perubahan budaya buang sampah oleh masyarakat sehingga sampah menjadi masalah bagi masyarakat dipinggiran sungai yang masih menggunakan sungai sebagai sumber kehidupan mereka untuk mencuci dan mandi tetapi masyarakat juga ikut yang mengotori sungai tersebut.

Perubahan gaya hidup yang dialami oleh masyarakat dengan kebiasaan membuang sampah menimbulkan berbagai variasi pengelolaan sampah yang di lakukan oleh masyarakat dengan kesadaran membuang sampah yang berbeda yaitu:

1. Pengelolaan sampah dengan memungut, membakar dan pengkomposan. Di komunitas ini memiliki dua ibu rumah tangga yang memungut sampah di sekitar rumahnya. Sampah tersebut berasal dari sampah Sungai Kapuas yang terbawa air pasang masuk di bawah rumah mereka. Disamping itu juga dilakukan pengkomposan sederhana dengan meletakkan sampah sayur-sayuran di pot bunga dan membakar sampah plastik. Ibu rumah tangga yang melaksanakan hal tersebut adalah Ibu Fa dan Ibu As. Kegiatan sehari-hari Ibu Fa mengurus suaminya yang sakit stroke ditempat tidur. Pada saat ada waktu luang Ibu Fa memungut sampah di sekitar rumahnya. Berikut ini adalah hasil wawancara Ibu Fa mengatakan bahwa:

(5)

“Saya biasa memunguti sampah yang berada dibawah rumah pada saat air surut dan menjemurnya lebih dahulu dan pada saat sore di bakar dibelakang rumah. Pada saat membakar sampah saya menaburkan belerang agar sampah tersebut tidak menimbulkan penyakit. Sampah yang dibawah kolong menyebabkan banyak nyamuk. Saya juga menimbun sampah sayur-sayuran di sekitar tanaman dan hasilnya tanaman menjadi subur. Hal ini telah saya lakukan sejak dulu. Banyak artikel yang saya baca dari Kompas yang saya simpan dan radio Belanda yang memberikan informasi banjir yang terjadi karena masalah sampah ”.

Hal ini menunjukkan bahwa tumbuhnya kesadaran masyarakat melalui media massa dengan mengimformasikan bencana yang disebabkan oleh sampah. Hal ini sesuai dengan laporan Sijbesma Wijk (1979) yang mengemukakan bahwa :

“Mass media audio and audiovisual media such as radio, television, film and slide shows, flannel board presentations, and printed media such as newspapers, magazines, posters, bulletin boards, and handbills), are very suitable for the diffusion of knowledge on larger scale, for they can reach many people in a short time at relatively low cost. Radio, especially, semmed an ideal medium for reaching illiterate audience. For a wile mass media were considered to be answer to the problem of disseminating agricultural, health and family planning knowledge in developing countries”.

Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu As mengemukakan bahwa:

“Saya setiap hari pagi-pagi memunguti sampah yang ada disekitar rumah, menjemur sampah tersebut dan membakarnya pada saat siang hari. Karena anak saya berjualan didepan rumah, sampah sayur-sayuran dibuang ke pot bunga dan dibiarkan. Nantinya sampah tersebut akan menjadi pupuk.”

Ibu As adalah pensiunan pegawai negeri di Rumah Sakit Sudarso, dengan pendidikan kesehatan. Ibu As memiliki kesadaran untuk mengelolaan sampah dan tidak membuang sampah di sungai. Hal ini menunjukkan bahwa jika ada pengetahuan masyarakat tentang permasalahan yang ditimbulkan dari sampah, maka masyarakat dapat merubah sikap dan perilaku dalam membuang sampah.

(6)

2. Pengelolaan sampah dengan membuang sampah ke sungai

Masyarakat yang tidak memiliki tempat sampah dirumah dan membuang sampah tersebut ke sungai. Membuang sampah ke sungai lebih praktis dilakukan daripada membuang sampah ke darat untuk dibakar di lahan yang masih kosong. Keadaan ini terjadi untuk daerah yang berada di pinggiran sungai yang tidak memiliki lahan untuk melakukan pembakaran. Hal ini sudah terjadi turun temurun bahwa masyarakat membuang sampah langsung ke sungai. Masyarakat tidak menyadari bahwa sampah yang dibuang akan mencemari sungai. Mereka berpendapat bahwa sungai yang penuh sampah adalah hasil dari sampah hulu dan hilir sungai dan kontribusi sampah yang mereka buang ke sungai tidak menjadi masalah bagi sungai karena jumlah yang relative sedikit dengan luas sungai yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran masyarakat, jika semua orang membuang sampah ke sungai akan menambah banyak sampah disungai. Mereka melihat masalah secara parsial dalam penumpukan sampah yang ada ditepi sungai. 3. Pengelolaan sampah dengan membakar

Sebagian kecil masyarakat yang dekat dengan darat melakukan pembakaran sampah.

6.2.2 Modal Sosial di Komunitas

Modal sosial dewasa ini juga semakin diakui sebagai faktor penting yang menentukan keberhasilan pembangunan suatu negara. Modal sosial dilahirkan dari bawah (bottom-up), tidak hirarkis dan berdasarkan pada interaksi yang saling menguntungkan. Di dalam setiap komunitas terdapat modal sosial. Modal sosial yang dimiliki komunitas adalah sebagai berikut:

a. Kepercayaan

Kepercayaan masyarakat terhadap Pak RT yang memimpin kegiatan komunitas tersebut dan Ibu Fa yang mengadakan pengelolaan sampah di

(7)

lingkungan mereka karena sudah bertahun-tahun Ibu Fa peduli terhadap sampah di sekitar rumahnya.

b. Norma-norma

Norma-norma yang berlaku dengan adanya kepercayaan terhadap ketua RT adalah masyarakat akan mengikuti keputusan ketua RT jika ada kegiatan yang akan dilakukan di RT setempat. Pengadaan pengelolaan sampah di RT setempat sangat tergantung kepada keputusan ketua RT dan kesediaan Ibu Fa yang membentuk kelompok sampah untuk menggerakkan masyarakat.

c. Jaringan

Adanya hubungan ketua RT dengan pemerintah untuk mengurus surat menyurat dari masyarakat, partai politik dan program pemerintah. Hubungan ini dapat digunakan untuk menggalang kerjasama dengan pemerintah dalam mengelola sampah di komunitasnya.

Dalam pengembangan modal sosial dan komunitas terdapat tujuh pendekatan yang khas atau unik yang dapat digunakan untuk pengembangan pengelolaan sampah, yaitu:

1. Kepemimpinan Komunitas (community leader)

Tokoh masyarakat yang berpengaruh untuk menggerakkan masyarakat dalam penanganan sampah di RT 02 RW 07 adalah ketua RT sebagai penggerak masyarakat yang dipercayai masyarakat untuk mengambil keputusan bersama di RT tersebut, Ketua Generasi Muda Kampung Kamboja sebagai pelaksana penggerak penanganan sampah beserta anggotanya yaitu seluruh pemuda Kampung Kamboja dan Ibu Fa sebagai ketua kelompok pengelola sampah. 2. Dana Komunitas

Dana komunitas merupakan segala bentuk dana yang dapat dihimpun oleh dan dari masyarakat. Pengumpulan dana komunitas dapat dilakukan oleh ketua RT untuk kegiatan bersama di RT setempat. Pemungutan uang tersebut dilakukan dengan mendatangi rumah-rumah warga. Kegiatan ini dilakukan pada saat pesta meriam Idul Fitri, kerja bakti, 17 agustusan dan lain-lain. Pemungutan iuran penanganan sampah menurut ketua GMKK hanya dapat

(8)

dilakukan ketua RT karena ketua RT dipercaya oleh masyarakat. Sedangkan pengelola keuangan tersebut dapat dilakukan oleh pengurus GMKK.

3. Sumberdaya Material

Sumberdaya material merupakan kelengkapan sarana organisasi di komunitas. Salah satu warga di RT 02 RW 07 membeli barang bekas dari masyarakat seperti kertas, plastik dan besi-besi. Penjulan barang bekas yang dilakukan oleh komunitas masih berbentuk koran dan baskom yang pecah.

4. Pengetahuan Komunitas

Pengetahuan masyarakat dalam penanganan sampah dengan sistem pungut, bakar dan membuang sampah ke TPS yang akan diangkut ke TPA.

5. Proses Pengambilan Keputusan

Proses pengambilan keputusan merupakan suatu proses dimana masyarakat sebagai anggota komunitas berhak menyampaikan aspirasi yang menyangkut kepentingan bersama. Pengambilan keputusan yang dilakukan di RT 02 RW 07 dilakukan dengan musyawarah. Musyawarah ini dilakukan dengan yang mengundang masyarakat ke rumah ketua RT. Setelah dilakukan musyawarah maka hasil tersebut disebarluaskan kepada masyarakat melalui wakil-wakil yang datang pada saat rapat.

6. Teknologi Komunitas

Teknologi komunitas merupakan teknologi tepat guna yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat. Teknologi itu digunakan untuk kegiatan produksi sehingga memungkinkan mereka bekerja secara berkelompok. Komunitas RT 02 RW 07 tidak memiliki teknologi yang dapat digunakan untuk penanganan sampah. Tetapi komunitas memiliki lahan yang dapat digunakan untuk pengelolaan sampah.

7. Organisasi komunitas

Organisasi komunitas merupakan perkumpulan orang dalam masyarakat yang mengelola kegiatan tertentu. Organisasi yang dimiliki komunitas adalah pengajian, posyandu, GMKK dan pengurus RT. Organisasi ini dapat digunakan sebagai alat untuk menggerakkan masyarakat dalam pengelolaan sampah di lingkungan mereka.

(9)

Dengan adanya kekuatan modal sosial diatas maka proses pelembagaan yang dibangun adalah melalui mengenal pengolahan sampah berbasis masyarakat - mengakui pengelolaan tersebut akan menguntungkan komunitas - menghargai kelompok pengelolaan sampah - mentaati untuk melakukan ketentuan yang menjadi kesepakatan bersama - menerima semua peraturan yang telah berlaku dengan sukarela. Hal ini akan menjadi norma-norma dalam kehidupan sehari-hari.

6.2.3 Ketidakberdayaan Komunitas dalam Pengelolaan Sampah

Ketidakberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah di RT 02 RW 07 adalah sebagai berikut:

1. Kekuasaan terhadap defenisi kebutuhan

Komunitas belum mampu untuk menyelesaikan masalah sampah yang ada dilingkungan mereka. Hal ini terbukti dengan adanya Program Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman Kumuh/P2KLP (Neighborhood Upgrading

and Shelter Sector Project/NUSSP). Salah satu upaya untuk mengembangkan

kapasitas masyarakat lokal dalam pelaksanaan NUSSP melalui pengukuhan kelembagaan masyarakat dengan membentuk Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) disetiap kelurahan untuk mewakili aspirasi masyarakat. BKM yang mengelola kegiatan tanpa melalui pemerintah sehingga pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh masyarakat sendiri. Di dalam BKM terdapat Unit Pengelola Sosial (UPS) untuk melakukan pemantauan kegiatan yang bersifat sosial dengan tugas sebagai berikut:

a. Mempersiapkan usulan investasi untuk pengembangan kelurahan secara integrasi.

b. Mengkoordinasi kegiatan pengembangan termasuk kegiatan NUSSP di tingkat kelurahan.

c. Memantau kinerja kegiatan pengembangan sosial termasuk kegiatan NUSSP di tingkat kelurahan.

(10)

Unit pengelolan sosial mendapatkan pelatihan dari NUSSP untuk melaksanakan tugasnya. Unit pengelola sosial ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena ketidakmampuan petugas UPS untuk menjalankan tugas di masyarakat. Ketidakmampuan ini membuat masyarakat sulit melihat kebutuhan yang harus dilakukan di komunitas setempat terutama masalah sampah. Kegiatan perbaikan infrastruktur yang dibiayai oleh dana NUSSP di lingkungan permukiman kumuh pada tujuh komponen kegiatan yaitu jalan setapak, jalan lingkungan, drainase mikro, sanitasi, air bersih, lampu penerangan jalan dan persampahan berupa bak sampah RT, konstruksi batu bata, tong sampah komposter (plastik – bekas pakai), bak sampah RT komunal, konstruksi batu bata, gerobak sampah, becak sampah, motor sampah, tempat Pembuangan Sementara (TPS) konstruksi batu bata.

Pada tingkat RT terdapat Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang terdiri dari kelompok masyarakat di lingkungannya. KSM dibentuk oleh BKM agar memberikan usulan atas pengelolaan lingkungan yang dibantu oleh NUSSP. Pada kenyataan masyarakat tidak bisa mengelola bantuan tersebut untuk menangani masalah pengelolaan sampah yang selama ini menjadi permasalahan masyarakat.

Hal ini sesuai dengan kata Ife (2003) yang mengatakan bahwa orang diberi kekuasaan untuk mendefinisikan kebutuhan mereka karena mereka juga memerlukan pengetahuan dan keahlian yang relevan, proses pemberdayaan ini memerlukan pendidikan dan penerimaan informasi. Komunitas menyadari bahwa sampah yang mereka buang akan kembali kebawah rumah mereka lagi karena mereka percaya kepada aliran Sungai Kapuas yang selalu berputar disekitar mereka. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara Bu Fa mengemukakan bahwa

“Sungai Kapuas ini memiliki aliran air yang berputar disekitar sini, sampah yang ada pasti akan kembali ketepi sungai lagi kalo dibuang kesungai”.

(11)

Mereka mengetahui bahwa adanya real need yang mereka rasakan sebagai kesenjangan antara kesenjangan membuang sampah disungai dengan membuang sampah ditempat sampah yang akan mengurangi jumlah sampah yang ada disungai. Komunitas menyadari mereka memerlukan tempat sampah tetapi mereka tidak berdaya untuk mengelola sampah tersebut.

2. Kelompok yang kurang beruntung lainnya

Letak geografis komunitas berada di gang yang hanya bisa dilewati satu motor membuat mereka kurang beruntung. Sehingga komunitas ini jauh dari jangkauan pengangkutan sampah. Kurang beruntungnya komunitas karena: a. Tempat persinggahan sampah yang berasal dari hilir dan hulu sungai

sehingga menepi dibawah kolong rumah mereka. Membuat daerah sekitar mereka kotor dengan sampah yang berada dibawah rumah mereka.

b. Belum mendapatkan pelayanan pengangkutan sampah karena letak komunitas mereka yang harus masuk gang dan mereka berada di gang kecil yang hanya bisa dilewati satu motor. Sehingga komunitas ini jauh dari jangkauan pengangkutan sampah.

6.3 Inisiatif Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan melakukan perubahan bentuk perilaku yang didasarkan pada kebutuhan atas kondisi lingkungan yang bersih yang pada akhirnya dapat menumbuhkan dan mengembangkan peranserta dalam bidang kebersihan dan dapat memberikan insentif ekonomi kepada masyarakat. Mengetahui ketidakberdayaan masyarakat dalam mengelola sampah sehingga penulis melakukan focus discussion group bersama-sama Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu mengenai cara penanganan sampah berbasis masyarakat dengan memberikan pandangan dalam pengelolaan sampah yang bernilai uang yaitu pengelolaan sampah dengan komposting dan kerajinan sampah. Komunitas menanggapi dengan antusias topik tersebut karena bernilai uang mengingat banyak pengangguran dikomunitas ini. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan menantu ketua RT yaitu Bagus penanganan sampah ini

(12)

bernilai uang, akan membuka peluang kerja. Diskusi dilakukan di rumah ketua RT. Hasil diskusi yang dilakukan oleh Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu mengemukakan bahwa :

• Perlunya pengurus pengelolaan sampah yang diberi gaji dan pengurus yang professional.

• Adanya penetapan lokasi tempat sampah sebagai tempat pengolahan sampah.

• Diadakannya komposting diseluruh Kampung Kamboja yang terdiri dari tujuh RT.

• Dimana setiap RT memiliki pengurus pengelola sampah. Hal ini dilakukan untuk mengatasi jika RT ini yang mengelola sampah dengan komposting, masyarakat lain di Kampung Kamboja tidak membuang sampahnya di RT disini.

• Kampung Kamboja merupakan perkampungan yang terdiri dari keluarga besar sehingga jika salah satu RT tidak mengadakan komposting akan menimbulkan pertengkaran antara sesama saudara karena saudara tidak boleh membuang sampah di RT sini. Oleh karena itu seluruh Kampung Kamboja harus ikut melaksanakan pengelolaan sampah.

• Pengadaan tempat sampah.

• Ada sangsi kepada pengurus jika gagal melakukan tugasnya dalam melakukan pengkomposan dari sampah. Kegagalan mengelola sampah akan menimbulkan sampah yang bertumpuk dan menghasilkan bau.

• Harus adanya komitmen bersama di masyarakat untuk melakukan pemilahan sampah dengan merembukkan secara bersama-sama warga Kampung Kamboja.

• Dalam pengelolaan sampah masyarakat hanya mengetahui dengan cara membakar dan mengangkut sampah dari masyarakat ke TPA yang dilakukan oleh pemerintah.

• Memaparkan proposal pengelolaan sampah di masyarakat.

• Ketua RT perlu melakukan musyawarah bersama masyarakat sehingga menghasilkan kesepakatan.

• Masyarakat perlu diajarkan cara membuat kompos dan membuat membuat kerajinan dari sampah.

Menurut Purba (2001) menyatakan terkait dengan kesinambungan lingkungan sosial maka setidak-tidaknya terdapat enam komponen atau ruang lingkup lingkungan sosial yang perlu diperhatikan (disinambungkan). Keenam komponen tersebut ialah adanya pengelompokkan sosial (social grouping), media sosial (social media), pranata sosial (social institution), pengendalian sosial (social

(13)

Berdasarkan hasil FGD diatas kriteria penanganan sampah yang berbasis masyarakat menurut masyarakat dibandingkan dengan pendapat Purba (2001) maka ditambahkan oleh penulis menurut masyarakat dalam pengelolaan penanganan sampah berbasis di komunitas perlunya kesepakatan pemimpin untuk melakukan pengelolaan sampah. Menurut penulis komponen pokok lingkungan sosial yang terpenting adanya kepemimpinan dari tokoh agama/tokoh adat/tokoh masyarakat/ketua RW/RT/masyarakat yang dapat mempengaruhi masyarakat lainnya sehingga dapat bersinergi dengan komponen lain dari pengelolaan lingkungan sosial. Sehingga penulis menyimpulkan adanya tujuh item yang harus berkesinambungan dalam pengelolaan lingkungan sosial di komunitas yaitu : 1. Pengelompokkan sosial

Masyarakat menyatakan perlunya pengurus pengelola sampah. 2. Media sosial

Adanya pemaparan proposal penanganan sampah di masyarakat. 3. Pratana sosial

Harus adanya komitmen bersama di masyarakat untuk melakukan pemilahan sampah dengan merembukkan secara bersama-sama warga.

4. Penataan sosial

Ada sangsi kepada pengurus pengelola sampah jika melalaikan tugasnya dalam membuat pupuk kompos dari sampah sehingga membuat sampah bertumpuk dan menghasilkan bau.

5. Pengendalian sosial

Diadakannya komposting diseluruh Kampung Kamboja yang terdiri dari tujuh RT. Dimana setiap RT memiliki pengurus pengelolaan sampah. Hal ini dilakukan agar RT yang tidak melakukan komposting tidak membuang sampah di RT yang telah melakukan komposting dengan pemilahan sampah. Komunitas RT 02 RW 07 sebagai plan project pengelolaan sampah berbasis masyarakat di Kampung Kamboja.

6. Kebutuhan sosial

Adanya pelatihan komposting dan kerajinan sampah yang dituangkan dalam proposal pengelolaan sampah agar dapat dilakukan di RT 02 RW 07.

(14)

7. Kepemimpinan

Perlunya ketua RT melakukan musyawarah bersama untuk mencapai kesepakatan dalam pembentuk kelompok sampah dan mekanisme pengelolaan sampah tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian penulis memperkuat bahwa konsep diatas sesuai dengan pernyataan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan sosial dengan menambahkan satu item kepemimpinan dalam pengelolaan lingkungan sosial. Berdasarkan hasil diskusi diatas menunjukkan bahwa masyarakat mengetahui cara membangun partisipasi dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Keberhasilan pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan partisipasi masyarakat. Masyarakat memiliki kapasitas untuk memberdayakan diri sendiri, serta mengelola lingkungan secara mandiri. Di dalam komunitas terdapat faktor penghambat dan pendorong untuk penanganan sampah di Kampung Kamboja. Faktor pendorong agar menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk membentuk kelompok dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah sebagai berikut:

1. Perlombaan Green and Clean yaitu kerjasama AP Post Pontianak dengan Pemerintah Kota Pontianak. Bagi yang memenangkan Perlombaan Green dan Clean akan mendapatkan penghargaan dari pemerintah dan akan dipublikasikan secara besar-besaran di media massa. Program ini akan memotivasi masyarakat untuk melakukan pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan penghijauan di lingkungan rumah penduduk. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan ketua RT yang mengatakan bahwa :

“Jika ada perlombaan tersebut diberitahukan kepada kami persyaratan untuk memenangkan perlombaan tersebut mungkin masyarakat disini akan termotivasi untuk melakukan pengelolaan sampah berbasis masyarakat”.

Boks 4. Perlombaan Green and Clean

Faktor pendorong adalah Perlombaan Green and Clean yaitu bagi yang memenangkan Perlombaan Green dan Clean maka daerah tersebut akan mendapatkan penghargaan dari pemerintah dan akan dipublikasikan secara besar-besaran di media massa.Hal ini dapat menjadi potensi adalah ada pemimpin yang mempunyai unsur kepentingan untuk menjadi orang terpublikasi di koran-koran dan tenar di Kota Pontianak.

(15)

2. Adanya kemauan masyarakat untuk melakukan perubahan sikap dalam membuang sampah jika diikuti oleh seluruh masyarakat.

Boks 5. Rasa Kebersamaan

3. Adanya kemauan masyarakat untuk mematuhi ketua RT jika ada arahan dari ketua RT untuk melakukan suatu kegiatan.

Boks 6. Kepatuhan kepada Ketua RT

4. Adanya area tanah yang dapat digunakan untuk meletakkan mesin komposting.

Boks 7. Memiliki Tanah Kosong

5. Adanya seorang ibu rumah tangga yang bersedia mengelola sampah dan memiliki rasa ingin tahu tentang masalah dan manfaat dari sampah seperti lamanya sampah plastik yang tidak dapat terurai yang di buat kipling dari kumpulan koran-koran tentang masalah sampah dan tanaman hias.

Faktor pendorong adalah adanya rasa kebersamaan dari masyarakat karena merupakan daerah yang memiliki kekerabatan. Hal yang menjadi motivasi adalah adanya real need untuk memiliki lingkungan yang bersih dan sampah yang sudah mengganggu aktivitas mandi masyarakat. Potensi yang dapat dikembangkan adalah adanya komitmen bersama untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah.

Faktor pendorong adalah kepatuhan terhadap keputusan yang diambil oleh Ketua RT. Hal ini dapat digunakan untuk menggerakkan masyarakat untuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Dengan adanya penghormatan terhadap Ketua RT sebagai wakil atas keputusan bersama masyarakat. Hal ini tergantung pada kemauan Ketua RT untuk mendukung pelaksanaan pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan pengumpulan dana dari masyarakat karena masyarakat percaya pengambilan dari Ketua RT.

Faktor pendorong adalah tersedianya areal tanah yang dapat dipergunakan untuk pengelolaan sampah. Tanah tersebut dapat digunakan karena pemilik tanah tersebut (Ibu Fa) yang menggunakan areal tanah tersebut untuk tanaman bunganya. Dengan dilakukannya komposting dirumahnya akan mendukung hobinya menanam tanaman hias. Selain itu Ibu Fa yang peduli terhadap permasalahan sampah. Hal ini dapat berjalan jika adanya bantuan hibah dari luar negeri maupun dalam negeri untuk pembangunan gedung komposting dan pembelian peralatan komposting.

(16)

Boks 8. Ibu Peduli Sampah

6. Masyarakat sudah merasa terganggu pada saat mandi dan mencuci dengan keberadaan sampah dipinggiran sungai.

Boks 9. Harga Minyak Tanah Mahal

7. Adanya pengajian, kelompok pemuda Generasi Melayu Kampung Kamboja, posyandu yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk memberikan penyuluhan pengelolaan sampah.

Boks 10. Ikatan Kekerabatan

8. Adanya program pemerintah yang ingin memperoleh Adipura sehingga pemerintah perhatian kepada komposting.

Boks 11. Piagam Adipura

Faktor pendorong adalah Ibu yang peduli sampah. Ibu tersebut dapat digunakan sebagai orang yang menjadi pelopor pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Ibu tersebut dapat dijadikan sebagai ketua kelompok pengelola sampah.

Faktor pendorong adalah sampah yang bertumpuk dipinggiran sungai dan sampah yang mengalir ditepi sungai tempat masyarakat mandi dan mencuci. Hal ini dapat menjadi motivasi masyarakat untuk melakukan pengelolaan sampah karena masyarakat merasa terganggu dengan sampah yang mengganggu aktivitas kegiatan mandi dan mencuci. Syarat menjadi potensi adalah tumbuhnya real need masyarakat menjadi felt need yang dilakukan melalui proses pembelajaran orang dewasa.

Faktor pendorong adalah organisasi yang terbentuk merupakan integrasi yaitu adanya ikatan kekerabatan dan suku. Adanya ikatan kekerabatan ini menumbuhkan rasa kebersamaan di kalangan ibu-ibu dan pemuda untuk melakukan kegiatan bersama. Hal ini dapat menjadi syarat menjadi potensi karena adanya seorang tokoh disalah satu organisasi tersebut yang bersedia untuk menggerakkan anggota lainnya.

Faktor pendorong adalah adanya piagam adipura dari Pemerintah Pusat. Pemerintah Kota Pontianak termotivasi ingin memperoleh adipura tersebut. Hal ini dapat menjadi syarat potensi karena pemerintah peduli terhadap pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat

(17)

9. Adanya seorang yang menang Perlombaan Green and Clean yang diadakan oleh surat kabar AP Post dan Pemerintah Kota Pontianak sebagai pemicu masyarakat untuk melakukan pengelolaan sampah berbasis masyarakat.

Boks 12. Teladan Ketua RT

10. Adanya Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan Propinsi Kalimantan Barat bersedia menganggarkan pengelolaan sampah berbasis masyarakat di pinggiran sungai jika ada yang mengajukan program sebelum awal tahun kedepan.

Boks 13. Tersedianya Dana oleh Pemda

11. Adanya tenaga teknis yang melakukan penyuluhan tentang komposting di Kecamatan Pontianak Selatan dari Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak. Boks 14. Ada Penyuluh Dari Dinas

12. Adanya program NUSSP yang memberikan bantuan dana dan pengalaman masyarakat untuk belajar menanggulangi masalah yang ada di lingkungan mereka dengan dana swadaya masyarakat dan dari NUSSP berupa bentuk fisik dalam masalah sampah.

Faktor pendorong adalah adanya contoh seorang ketua RT yang dapat mendorong masyarakat mengelola sampah. Hal ini dapat menjadi contoh bagi ketua RT lainnya bahwa Ketua RT dapat menjadi seorang pemimpin di komunitasnya. Hal ini menjadi potensi adalah ada Ketua RT yang terinspirasi dengan gaya kepemimpinan yang dimiliki pemenang Green and Clean.

Faktor pendorong adalah adanya program yang dapat dikembangkan oleh Pemda. Hal ini menjadi motivasi pegawai pemerintah karena dapat menambah kegiatan/program di instansinya. Agar pemda dapat membuat program pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan mengajukan proposal yang diajukan oleh masyarakat ke Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan.

Faktor pendorong adalah adanya jabatan fungsional di dinas urusan pangan. Untuk menambah angka kredit dalam jabatan fungsional maka petugas lapangan mau melakukan penyuluhan dilapangan. Petugas dapat menjalankan tugasnya dengan syarat komunitas meminta tenaga penyuluhan untuk daerahnya.

(18)

Boks 15. Ada Dana NUSSP

Faktor penghambat penanganan sampah berbasis masyarakat yaitu:

1. Masyarakat merasa tidak berdaya terhadap keadaan lingkungan mereka karena masalah sampah yang menyangkut berbagai kepentingan dan berbagai pihak.

Boks 16. Lingkungan Penuh Sampah

2. Masyarakat yang memiliki ketahanan tubuh untuk penyakit tertentu terhadap lingkungan yang kotor.

Boks 17. Kekebalan Tubuh Masyarakat

3. Belum terbentuknya komitmen dari pemerintah untuk pengelolaan sampah dibantaran sungai.

Boks 18. Belum adanya peraturan

Faktor pendorong adalah tersedianya dana untuk pembelian alat komposting. Adanya dukungan dana karena untuk untuk mencapai MGDs. Hal ini dapat menjadi potensi jika komunitas dapat membuat proposal usulan untuk meminta bantuan ke BKM.

Faktor penghambat adalah merasa tidak berdaya terhadap sampah yang penuh. Hal ini menjadi penghambat karena masyarakat mengetahui bahwa aliran Sungai Kapuas yang mengalir dari hulu hingga kehilir sehingga sulit untuk pengelolaannya. Penghambat ini tidak dapat diatasi karena tidak dilakukan pemberdayaan masyarakat untuk menjaga Sungai Kapuas dari hulu hingga hilir Sungai Kapuas.

Faktor penghambat adalah adanya kekebalan tubuh masyarakat terhadap pencemaran sungai yang digunakan untuk mandi dan cuci pakaian. Hal ini menjadi penghambat karena masyarakat sudah bertahun-tahun mandi dan cuci pakaian di Sugai Kapuas. Penghambat ini tidak dapat diatasi karena tidak adanya penyadaran untuk mengubah pola hidup yang bersih dan sehat.

Faktor penghambat adalah tidak ada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk pengelolaan sampah dibantaran sungai. Hal ini menjadi penghambat karena tidak tersedianya dana untuk pengelolaan sampah dipinggiran sungai dan belum tertanganinya permasalahan sampah diperkotaan. Penghambat ini tidak dapat diatasi karena tidak adanya pemimpin pemerintahan yang peduli terhadap pengelolaan sampah dibantaran sungai dan tidak adanya kolaborasi setiap stakeholder.

(19)

4. Masyarakat yang mempunyai budaya panas-panas tai ayam dalam pengelolaan sampah.

Boks 19. Bosan Terhadap Suatu Kegiatan

5. Adanya image masyarakat pinggiran sungai daerah yang rawan. Boks 20. Image Masyarakat

6. Pandangan masyarakat yang menganggap bahwa pekerjaan pengelolaan sampah adalah hina.

Boks 21. Pekerjaan Sampah adalah Hina

6.4 Pengembangan Kelembagaan Di Empat Ruang Stakeholder

Strategi pengembangan kelembagaan merupakan hal penting dalam pemberdayaan masyarakat. Untuk itu harus ada kesepakatan yang dimulai dengan penguatan kelembagaan dan alokasi dana. Pemerintah, LSM dan pengusaha sampah juga dapat turut serta untuk membangun kelembagaan dalam mengelola sampah tersebut.

Faktor penghambat adalah rasa cepat bosan terhadap suatu kegiatan. Hal ini menjadi penghambat karena tidak ada keinginan untuk hidup menjadi lebih baik. Penghambat ini tidak dapat diatasi karena tidak ada pemimpin lokal yang mendorong masyarakat agar tetap konsisten dengan pengelolaan sampah.

Faktor penghambat adalah zaman dahulu tahun 80-an banyak terjadi penembakan misterius di bantaran sungai. Hal ini menjadi penghambat karena banyak penduduk yang mati, pengangguran dan pekerjaan tidak tetap di penduduk bantaran sungai. Penghambat ini tidak dapat diatasi karena para pemuda yang tidak mau kerja dibidang sampah yang bernilai ekonomi.

Faktor penghambat adalah pandangan masyarakat pekerjaan pengelolaan sampah adalah hina. Hal ini menjadi penghambat karena masyarakat berada ditengah perkotaan sehingga memiliki gaya kota dengan gengsi yang tinggi. Penghambat ini tidak dapat diatasi karena masyarakat tidak melihat peluang bisnis yang dapat dikembangkan dari sampah.

(20)

1. Tingkat masyarakat

Tanggapan ketua RT dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat dilakukan dengan cara mengajarkan masyarakat untuk membuat pupuk kompos secara individu yang harus dipraktekkan kepada ibu-ibu. Berdasarkan hal tersebut maka penulis memanggil Pemenang I Perlombaan Green dan Clean tahun 2007 yaitu Bapak SF yang telah melakukan komposting dan membuat kerajinan sampah di komplek rumahnya untuk mempraktekkan model pengkomposan yang dilakukan di RT-nya di depan ibu-ibu. Bapak SF menceritakan pengalaman pembuatan pupuk kompos di RT-nya dengan cerita bahwa

“Saya beserta istri saya yang mengajak ibu-ibu dan bapak-bapak untuk mengolah sampah. Sampah tersebut dibuat pupuk kompos. Tempat komposter tersebut diletakkan didepan rumah masing-masing”.

Sebelum acara dimulai kami mendiskusikan bagaimana pengelolaan sampah yang dilakukan di tingkat rumah tangga, ibu-ibu hanya mengetahui pembakaran dan pembuangan sampah di sungai karena tidak memiliki tempat sampah. Ibu-ibu menyadari bahwa makna hidup sehat bagi mereka adalah hidup dengan lingkungan yang bersih. Mereka hidup dibantaran sungai dengan arus sungai yang membawa sampah ke bawah kolong rumah penduduk sehingga mereka tidak bisa memiliki lingkungan bersih. Setelah selesai diskusi tersebut, Bapak SF yang mempraktekkan pembuatan pupuk kompos menggunakan aktivator. Pembuatan pupuk kompos dengan aktivator ini adalah sebagai berikut: sampah organik di cincang halus dan dimasukkan kedalam alat komposter yang kemudian disirami aktivator tersebut. Setiap sampah yang masuk harus dicincang. Setelah itu alat komposter ditutup dan lama-kelamaan sampah tersebut menjadi pupuk. Adapun hasil diskusi yang dilakukan oleh Ibu-Ibu adalah sebagai berikut:

• Perlunya obat aktivator untuk melakukan kompos skala rumah tangga.

• Perlunya waktu yang lama untuk melakukan cincang sampah tersebut.

• Banyak kesibukan di rumah sehingga tidak ada waktu untuk mencincang sampah organik.

(21)

Setelah itu Bapak SF membawa contoh hasil kerajinan tangan dari sampah. Bapak SF menceritakan pengalaman di komunitasnya proses pembuatan kerajinan tangan tersebut kepada ibu-ibu yang mengemukakan bahwa:

“Setiap ibu rumah tangga membawa bungkusan sampah dari rumah masing-masing yang diberikan kepada istri saya. Kemudian istri saya membersihkan hasil sampah tersebut dan diantarkan kepada tukang jahit yang berada di komplek rumah. Setiap ibu-ibu menggunting sampah plastik dengan rapi sehingga bungkusan tersebut dapat dibuat kerajinan sampah.”

Beberapa hari kemudian penulis membelikan aktivator dan alat penyemprot yang diserahkan kepada ketua RT agar dibagikan aktivator tersebut untuk ibu-ibu yang ingin membuat pupuk kompos dari sampah. Berdasarkan hasil diskusi beberapa ibu-ibu yang berminat membuat pupuk kompos tersebut dan ada beberapa ibu-ibu yang tidak berkenan untuk membuat pupuk kompos di rumah masing-masing karena mengurus anak-anak dan repot untuk melakukan pencincangan sampah tersebut.

Melihat situasi tersebut, penulis mencari pemimpin dalam organisasi yang baru untuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang peduli terhadap pengelolaan sampah yaitu Ibu Fa karena semua komunitas sudah mengetahui kinerja Ibu Fa selama bertahun-tahun melakukan pemungutan sampah disekitar rumahnya untuk dibakar. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan ibu MN mengatakan bahwa saya akan mengikuti pemilahan sampah jika seluruh masyarakat melakukan hal yang sama.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat bersedia melakukan pemilahan sampah jika ada kesepakatan ibu-ibu untuk memilah sampah di rumahnya. Menurut penulis alternative yang dapat dilakukan untuk menghadapi kendala diatas adalah melakukan kelompok pengelola sampah dengan syarat masyarakat yang melakukan pemilahan sampah dan kelompok ibu-ibu pengelola sampah yang melakukan pengkomposan dalam skala besar untuk menampung sampah yang tidak diolah oleh masyarakat. Pengkomposan dilakukan dengan bahan aktivator yaitu promi yang cara penggunaannya lebih

(22)

mudah dalam skala besar tanpa dilakukan pencacahan agar menghasilkan pupuk kompos. Berdasarkan hal tersebut penulis menawarkan kepada Ibu Fa sebagai ketua kelompok pengelola sampah dan menggunakan lahan rumahnya untuk melakukan pengkomposan. Berikut hasil wawancara dengan Ibu Fa mengatakan bahwa

“Hal ini dapat saya lakukan tapi harus dibantu oleh ibu yang lain karena saya kurang banyak memiliki waktu karena mengurus suami yang sedang sakit. Dibelakang rumah saya dapat digunakan untuk pengkomposan.”

Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan sampah berbasis masyarakat dapat dilakukan jika masyarakat diajak bersama-sama menyadari bahwa adanya permasalahan sampah yang harus dikelola secara bersama. Pembuatan pupuk kompos ini harus dilakukan juga dengan pembelian alat pencacah karena hasil pengkomposan sampah menggunakan promi tidak halus sehingga perlu alat pencacah agar dapat dijual kepada masyarakat. Kemudian penulis melakukan diskusi kepada pemuda GMKK tentang pengelolaan sampah ditingkat komunitas. Hasil diskusi mengatakan bahwa pengelolaan sampah yang menggunakan komposting dan alat pencacah baru mereka ketahui. Penanganan sampah yang dapat mereka lakukan sekarang hanya sebatas menanam enceng gondok agar dibawah rumah ini tidak dipenuhi dengan sampah. Enceng gondok bisa menahan sampah masuk kebawah kolong rumah. Mereka akan mendukung pelaksanaan komposting tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara ketua GMKK mengatakan bahwa adanya sifat panas-panas tai ayam yang antusias pada awalnya saja dan akhirnya tidak akan antusias lagi sehingga sulit untuk menggerakan pemuda agar berkelanjutan dalam membuat pupuk kompos tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan yang dilakukan oleh pemuda hanya sebatas mendukung kegiatan pemilahan. Menurut pendapat salah satu pemuda GMKK mengatakan bahwa pelaksanaan pengelolaan kompos tersebut mau dikerjakan pemuda jika penghasilan sebulan sekitar Rp.600.000,-. Hal ini menunjukkan belum adanya jiwa wiraswasta untuk membuat pupuk tersebut dapat

(23)

dipasarkan dengan bantuan dana dari pemerintah dalam membuka peluang kerja baru.

Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua RT mengatakan bahwa masyarakat pada umumnya menganggap sampah adalah hina. Mereka tinggal dikota masih banyak pekerjaan yang lain dan para pemuda juga gengsi dengan pekerjaan sebagai pengelola sampah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat belum bisa melihat usaha sampah adalah prospek kedepan yang menjanjikan walaupun awalnya belum memperoleh hasil yang memuaskan. Banyak pengusaha sampah yang kaya seperti pengusaha sampah di Bandung. Berkaitan dengan kerajinan sampah yang diperkenalkan kepada ibu-ibu. Ibu-ibu masih ragu untuk melaksanakan kerajinan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu RT mengatakan bahwa

“Tidak ada yang mau beli barang tersebut karena kita berada di tengah kota yang mempunyai barang lebih bagus dari barang buatan sampah. Hal ini sulit dilakukan.”

Tersedia sumberdaya untuk membuat kerajinan sampah di masyarakat dan tukang jahit sehingga dengan adanya jaminan pemasaran barang tersebut akan meningkatkan pendapatan tukang jahit dan semangat masyarakat untuk pengelolaan sampah. Untuk masalah dana komunitas dapat dilakukan pengumpulan iuran dari komunitas. Hal ini berdasarkan hasil wawancara kepada ketua RT bahwa

“Masyarakat sudah terbiasa memberikan sumbangan untuk kegiatan Kampung Kamboja seperti pesta meriam pada saat Idul Fitri, penarikkan uang keikursertaan masyarakat untuk memeriahkan acara tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pemungutan sumbangan dari warga sebesar Rp.10.000,-. Adanya partisipasi masyarakat untuk mengumpulkan uang tersebut dapat dilakukan untuk kegiatan pengadaan kelompok penanganan sampah berbasis masyarakat untuk membeli alat pencacah yang sederhana.”

Menurut pendapat ketua GMKK menyatakan adanya kebijakan ketua RT untuk melakukan pungutan iuran untuk pengelolaan sampah maka masyarakat di kampung ini akan bergerak untuk mengumpulkan uang tersebut. Jika ketua

(24)

RT memahami perlunya penanganan sampah berbasis masyarakat dan bersedia untuk memberikan kebijakan penarikan iuran atas kegiatan tersebut, maka pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini dapat berjalan.

2. Tingkat Pemerintah Daerah

Pada tingkat pemerintah daerah penulis membuka akses masyarakat untuk dapat melakukan pengaduan atau permohonan pengelolaan sampah pada pemerintah. Selain itu penulis juga mendiskusikan pengelolaan sampah untuk daerah dipinggiran Sungai Kapuas yaitu sebagai berikut:

a. Untuk menyadari masyarakat bahwa pemda peduli terhadap masyarakat dipinggiran sungai penulis menghadap Kepala Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan untuk mendiskusikan program yang dapat dilakukan di komunitas RT 02 RW 07 tersebut. Hasil diskusi mengatakan bahwa adanya kegiatan penyuluhan yang dikoodinator oleh Kapeldalda gabungan dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan dan Dinas Kesehatan untuk masalah sampah. Penyuluhan tersebut dilakukan 24 kali setiap tahun pada 24 kelurahan. Penulis meminta kepada kepala kantor agar penyuluhan di Kelurahan Benua Melayu Laut dilaksanakan di komunitas RT 02 RW 07. Kepala kantor bersedia mengadakan penyuluhan di daerah tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala seksi pengendalian dampak lingkungan mengatakan bahwa

“Adanya ketentuan pembelian peralatan dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum sedangkan kantor tidak bisa melakukan pembelian peralatan. Anggaran yang diajukan di tolak oleh DPRD. Sedangkan Dinas Pekerjaan Umum melaksanakan pembangunan WC umum tidak melibatkan kami untuk melihat dari pengendalian lingkungannya. Semua berjalan sendiri-sendiri.”

Hal ini menunjukkan belum adanya tujuan yang jelas tentang siapa melakukan apa dan ego sektoral yang menganggap bahwa program dinas adalah milik dinas tanpa adanya koordinasi antara sesama dinas/kantor/badan/kecamatan/kelurahan.

(25)

b. Untuk mendapatkan bantuan pendampingan dari Dinas Urusan Pangan yang memiliki tenaga fungsional sebagai penyuluh dalam pembuatan kompos cair dan pupuk kompos di wilayah Kelurahan Benua Melayu Laut. Penulis menghadap kepala bagian tata umum untuk meminta tenaga penyuluh melakukan pendampingan di komunitas agar dapat membuat pupuk kompos yang berkualitas. Kepala Bagian Dinas Urusan Pangan dan tenaga penyuluh bersedia melakukan pendampingan pembuatan pupuk kompos tersebut jika masyarakat mempunyai kemauan untuk belajar membuat pupuk kompos. Petugas penyuluh dapat di sms oleh masyarakat untuk mendapatkan pelatihan pembuatan pupuk kompos di rumah mereka. c. Untuk mendapatkan dukungan penguatan masyarakat dalam pengelolaan sampah, penulis menghadap Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan mengatakan bahwa pengelolaan sampah yang berada di kota belum dapat tertangani dengan anggaran yang ada apalagi untuk pengelolaan sampah yang berada di bantaran sungai. Adanya pandangan dinas kedepan akan mengurangi jumlah TPS untuk memperindah kota dan memindahkan TPS yang berada dipinggir jalan menjadi ke gang agar kota nampak lebih indah.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat yang berada di bantaran sungai belum mendapatkan perhatian dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan karena luasnya pelayanan yang harus diberikan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan sehingga tidak dapat semua tertangani. Penulis juga menghadap kepala seksi penyuluhan, kegiatan yang dilakukan sekarang hanya sebagai penyuluhan yang dilakukan 24 kali dalam setahun sehingga setiap kelurahan hanya dilakukan satu kali penyuluhan yang merupakan gabungan dari Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan dan Dinas Kesehatan yang dapat dilakukan pada saat sore atau malam hari sesuai dengan permintaan masyarakat melalui kelurahan. Hal ini menunjukkan bahwa menumbuhkan kesadaran di tingkat komunitas dengan penyuluhan

(26)

ini belum dapat dirasakan hasil dari penyuluhan tersebut karena untuk menumbuhkan kesadaran memerlukan waktu dan proses pembelajaran dengan membutuhkan pendampingan.

d. Untuk mendapatkan bantuan pelatihan pupuk kompos, penulis menghadap kepala seksi pembangunan di Sekretariat Daerah Kota Pontianak Bagian Ekonomi Pembangunan untuk melihat eksis pemerintah terhadap penanganan sampah. Mengingat nilai adipura Kota Pontianak adalah 63,60 dengan skala nilai sedang dengan nilai komponen pemantau pemanfaatan sampah/komposting adalah 35,00 termasuk klasifikasi jelek, sehingga Pemda Kota Pontianak akan melakukan pelatihan komposting dari 29 kelurahan dengan 145 peserta. Maka penulis meminta kepala seksi untuk mendaftarkan nama salah satu komunitas RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut ikut pelatihan tersebut. Hal ini tidak dapat dilakukan karena pemilihan peserta yang ikut pelatihan merupakan rekomendasi kelurahan.

e. Untuk mendapatkan dukungan dari kelurahan agar program penanganan sampah di daerah bantaran sungai dapat dilakukan di komunitas RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut sebagai project plan maka penulis menghadap Kepala Lurah untuk diskusi tentang praktek pembuatan kompos yang pernah di komunitas tersebut. Dalam hal ini komunitas memerlukan tindak lanjut untuk memotivasi dan mendorong masyarakat. Kepala kelurahan akan mendukung komunitas tersebut dalam pengelolaan sampah tersebut.

f. Untuk mendapatkan dukungan dalam pelatihan membuat kerajinan sampah dari pemerintah, penulis menghadap kepala seksi pelatihan Propinsi Kalimantan Barat. Program pelatihan dari badan ini merupakan program dari pemerintah pusat. Dia merekomendasikan penulis untuk mengajukan proposal di Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan dan Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Barat yang mempunyai anggaran untuk pelatihan tersebut dengan mengajukan proposal melampirkan rincian

(27)

kegiatan yang akan dilaksanakan sehingga dinas dapat menindaklanjuti program tersebut. Penulis diberikan contoh pembuatan program beserta rinciannya. Menurut kepala seksi tersebut, proposal yang diajukan atas permintaan masyarakat akan ditindaklanjuti jika tidak tahun ini, akan diajukan tahun depan. Mengingat Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan memberikan bantuan tong sampah kepada pemenang Perlombaan Green and Clean bagi masyarakat yang membutuhkan. Pemda Propinsi memiliki anggaran untuk pengadaan pengelolaan sampah. 3. Tingkat Pengusaha

Untuk membuka jaringan pasar terhadap penjualan sampah, penulis mendatangi pimpinan perusahaan yaitu pengusaha sampah di Riung Bandung tentang pengelolaan sampah di Pontianak. Ternyata perusahaan ingin mengembangkan usahanya di Kota Pontianak, kontribusi yang bisa dilakukan oleh perusahaan adalah memberikan pelatihan secara gratis kepada penduduk di komunitas RT 02 RW 07 untuk memilah jenis plastik dan besi tua.

4. Tingkat LSM

Penulis mengunjungi LSM untuk mendiskusikan tentang pengelolaan sampah yang dilakukan di komunitas RT 02 RW 07 dalam hal pendampingan dan pendanaan untuk pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan hasil diskusi LSM memiliki tenaga untuk pemberdayaan di komunitas tersebut dan dana untuk melaksanakan pemberdayaan tersebut. LSM memiliki tenaga pemuda cinta lingkungan yang dapat digerakkan untuk pengelolaan sampah di bantaran sungai. Penulis yang diharapkan untuk membuat jenis program yang diperlukan untuk pemberdayaan masyarakat di bantaran sungai yang akan didukung dengan tenaga dan pendanaan.

6.5 Ikhtisar

Perbedaan pengelolaan sampah pada komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna dan Komunitas pinggir sungai sebagai berikut:

(28)

1. Pengelolaan sampah dilakukan secara swadaya oleh masyarakat dengan adanya kesepakatan bersama dari komunitas.

2. Hasil pengelolaan sampah berupa kompos dan kerajinan tangan.

3. Pembuatan pupuk kompos dan kerajinan tangan dilakukan oleh ibu-ibu. 4. Adanya kemauan seluruh komunitas untuk berpartisipasi dalam pengelolaan

sampah agar dapat menghasilkan kerajinan sampah. 5. Setiap rumah tangga memiliki alat komposter.

6. Setiap rumah tangga memberikan hasil bungkusan sampahnya agar dapat dijadikan kerajinan tangan.

7. Secara geografis komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna berada di daratan/kota

Sedangkan pengelolaan sampah yang diterapkan komunitas pinggir sungai dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Sampah dibakar dan dibuang ke sungai dan dua orang ibu yang membuang sampah organik dengan menimbun sampah tersebut ke dalam pot.

2. Tidak memiliki tempat sampah untuk komunitas.

3. Menjual sampah yang dapat menghasilkan uang seperti ember pecah, plastik dan lain-lain.

4. Secara geografis komunitas RT 02 RW 07 berada di pinggir sungai.

Persamaan pengelolaan sampah berbasis masyarakat pada kedua komunitas tersebut adalah sebagai berikut:

1. Memiliki ketua RT yang dihormati oleh warganya. 2. Memiliki tempat untuk pengolahan sampah.

3. Memiliki tukang jahit yang bisa menjahit kerajinan sampah. 4. Memiliki orang yang peduli terhadap masalah sampah. 5. Memiliki warga yang rukun dalam satu RT.

Pada pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang akan ditransfer dari Kecamatan Pontianak Utara (Kompleks Perumahan Dwi Ratna ke Kecamatan

(29)

Pontianak Selatan) ke komunitas RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut disesuaikan dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pengelolaan sampah menjadi pupuk kompos dapat dilakukan komunitas di pinggir sungai dengan kelompok pengelolan sampah sedangkan pengelolaan sampah yang dilakukan di Kompleks Perumahan Dwi Ratna dilakukan secara individu.

2. Sampah anorganik menjadi kerajinan tangan untuk komunitas di pinggir sungai harus disertai pelatihan cara pembuatan kerajinan tangan dari sampah. Sedangkan Kompleks Perumahan Dwi Ratna membuat kerajinan tangan dari kreatif dan inovasi penjahit kerajinan tangan.

3. Pembuatan pupuk kompos dan kerajinan tangan dilakukan oleh ibu-ibu untuk komuntas pinggir sungai. Sedangkan untuk Kompleks Perumahan Dwi Ratna dilakukan oleh ibu-ibu dan bapak-bapak dalam pembuatan pupuk kompos sedangkan kerajinan tangan dilakukan oleh ibu-ibu.

Oleh karena adanya perbedaan karakteristik pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat diatas maka diperlukan cara agar komunitas di RT 02 RW 07 dapat efektif melakukan pengelolaan sampah berbasis masyarakat melalui pendekatan kolaborasi antara stakeholder sehingga semua berperanserta mensukseskan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Peranserta stakeholder tersebut dapat dilakukan pada aras pemerintah, masyarakat dan aras masyarakat dan pemerintah.

Referensi

Dokumen terkait

Program baru ini akan mengurniakan Ijazah Sarjana Muda Syariah dan Undang-Undang ( Bachelor in Shariah and Law atau ringkasnya B.ShL). Program baru ini

Apabila penyakit yang diderita pasien tidak sesuai dengan disiplin dokter dimaksud, maka diberi penjelasan kepada pasien atau keluarga, dan bila

13 Husen Tampomas, Sistem Persamaan Linear, (Jakarta: Grasindo, 2003), 32.. siswa selam proses pembelajaran pada saat sebelum maupun sesudah tindakan. Peneliti mengadakan

No.. Hal ini didapat dari data awal yang diperoleh dari siklus I di kelas III B MI Darun Najah Kloposepuluh mengalami peningkatan nilai rata – rata pemahaman kelas sebesar

Peralatan berupa mesin dapat menimbulkan terjadinya kecelakaan kerja nelayan jika tidak tersedianya alat pengaman mesin, maka dengan itu upaya yang dilakukan adalah dengan

Proses belajar mengajar Bahasa Inggris pada Fakultas Ilmu Terapan dimulai dari persiapan dosen terhadap materi yang diajarkan kepada mahasiswa, kegiatan belajar

Kemampuan fisik anak dalam melakukan toilet training, antara lain : anak dapat duduk atau jongkok tenang kurang lebih 2-5 menit, anak dapat berjalan dengan baik, anak sudah

са сајта Систем за управљањем друштвеном и животном средином ( Табела 3 ) који је Итау - ББА банка створила се не односи само на процену друштвеног ризика