• Tidak ada hasil yang ditemukan

KODE SEMIOTIK ROLAND BARTHES DALAM NOVEL MENOLAK AYAH KARYA ASHADI SIREGAR. Semiotic Code Roland Barthes in Menolak Ayah by Ashadi Siregar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KODE SEMIOTIK ROLAND BARTHES DALAM NOVEL MENOLAK AYAH KARYA ASHADI SIREGAR. Semiotic Code Roland Barthes in Menolak Ayah by Ashadi Siregar"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM NOVEL MENOLAK AYAH KARYA ASHADI SIREGAR

Semiotic Code Roland Barthes in Menolak Ayah by Ashadi Siregar

Sari Herleni

Balai Bahasa Sumatera Selatan

Jalan Seniman Amri Yahya, Komplek Taman Budaya Sriwijaya Seberang Ulu I, Jakabaring, Palembang

Pos-el: [email protected]

Naskah masuk: 7 September 2020, revisi akhir: 6 November 2020, disetujui: 1 Desember 2020

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengungkap makna konotatif struktur cerita novel Menolak Ayah karya Ashadi Siregar. Penelitian ini didasarkan pada pandangan bahwa sastra dan budaya memiliki hubungan yang erat dan karya sastra memiliki simbol serta tanda budaya yang menarik untuk diinterpretasikan. Terkait dengan itu, teori semiotik Roland Bathes yang menawarkan lima kode dalam menelaah karya sastra digunakan dalam menginterpretasi makna konotatif struktur cerita novel tersebut. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa ada lima kode yang ditemukan di dalam novel tersebut, yaitu kode aksi/tindakan, kode teka-teki, kode budaya, kode konotatif, dan kode simbolik. Dalam hasil interpretasi makna konotatif struktur cerita novel tersebut ditemukan kata menolak yang berarti ‘tidak ditemukannya figur seorang ayah yang ideal dalam suku Batak oleh tokoh Tondi pada diri Pardomutua, tokoh ayah, di dalam novel tersebut’. Figur ayah dalam budaya Batak merupakan figur yang harus melindungi dan mengajarkan budaya serta nilai-nilai luhur adat Batak dalam kehidupan sehari-hari.

Kata-KataKunci: kode, novel, budaya

Abstract

This researchaims to find connotative meanings of the story structure of Menolak Ayah by Ashadi Siregar. This research was based on the view that literature and culture have a close relationship and that literary works have cultural symbols and signs which are interesting to interpret. Therefore, Roland Bathes’ semiotic theory, which offers five codes in examining literary works, was used to interpret connotative meanings of the story structure of the novel. This research findings revealed that there were five codes found in the novel, namely action code, puzzle code, cultural code, connotative code, and symbolic code. In the interpretation of the connotative meaning of the story structure of the novel, there found the word menolak which means ‘an ideal figure of father in the Batak ethnic was not found by Tondi in Pardomutua character, the father character in the novel’. Figure of a father in Batak culture is a figure who has to protect and educate culture and noble values of Batak customs in everyday life.

(2)

I. PENDAHULUAN

Masyarakat Indonesia terdiri atas tiga “lapisan” budaya, yaitu kebudayaan daerah/ lokal/suku bangsa, kebudayaan nasional, dan kebudayaan internasional/global. Dari sumber kebudayaan daerah/lokal/suku bangsa, Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa. Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia.Suku yang terkenal dari cara bicaranya yang keras ini memiliki kebiasaan martarombo, yaitu mencari hubungan saudara dari marga yang sama. Maka tak heran jika sistem kekerabatannya sangat erat.Kemudian, suku bangsa yang diketegorikan sebagai Batak adalah Angkola, Karo, Mandailing, Pak/pak/Dairi, Simalungun, dan Toba.Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Islam. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tradisional yakni: tradisi Malim (penganutnya disebut Parmalim) dan juga penganut kepercayaan animisme, walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang. Hal ini menawarkan realita bahwa sebagai salah satu bagian dari budaya Indonesia suku ini memiliki kekhasannya sendiri sehingga sangat menarik untuk dijadikan sumber inspirasi bagi sebuah karya sastra.

Sastra dan budaya memiliki hubungan yang sangat erat, suatu budaya memiliki sifat yang kompleks, luas dan abstrak sehingga dapat membuat seseorang untuk mengembangkan ide-ide pikirannya ke dalam suatu wadah sehingga menjadi sebuah karya. Sementara itu, bahasa merupakan perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi, baik melalui lisan maupun tulis.Dan karya itulah sesebut dengan

hasil-hasil pemikiran seseoranng terhadap sesuatu yang dipengaruhi oleh suatu kebudayaan.

Sebagai disiplin yang berbeda, sastra dan kebudayaan memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, manusia sebagai fakta sosial, dan manusia sebagai makhluk kultural. Perbedaannya karya sastra melakukannya secara tak langsung yaitu melalui bahasa, sedangkan kebudayaan melakukannya secara langsung dalam masyarakat yang bersangkutan.Menurut Teeuw (dalam Ratna, 2010, hlm. 4) sastra berasal dari akar kata sas (Sanskerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi.Akhiran tra berarti alat, sarana, yang selanjutnya secara leksikal sarta berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Dan jika dihubungkan dengan kebudayaan maka ada benang merah bagi keduanya. Jika kebudayaan mengolah alam melalui kemampuan akal, melalui teknologi, termasuk ekonomi dan politik, sedangkan sastra mengolah alam melalui kemampuan tulisan.Sementara itu, hubungan karya sastra dengan pengarang, latar belakang kreativitas, unsur-unsur yang terkandung dalam karya, periode, aliran, dan sebagainya, adalah pembicaraan mengenai kebudayaan.

Ashadi Siregar merupakan sastrawan yang cukup produktif di tahun 1970-an. Sampai saat ini ada dua belas novel yang ia tulis antara lain Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Terminal Cinta Terakhir, Sirkuit Kemelut dan lain-lain. Setelah 32 tahun ia tidak menulis novel, maka pada tahun 2018 ia menerbitkan novel Menolak Ayah yang menceritakan berbagai konflik dari persoalan politik sampai ke persoalan budaya. Budaya

(3)

merupakan salah satu topik yang selalu menarik untuk dibahas. Di sisi lain (Kutha, 2011,hlm. 174) mengatakan bahwa isi karya sastra adalah kebudayaan.Untuk mengetahui kebudayaan suatu masyarakat, maka harus dipahami melalui karya sastranya.

Kerangka Teori

Semiotik secara umum berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal. Ia memiliki arti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia (Ratna, 2004, hlm.97). Di sisi lain,Zoest (1993, hlm. 124--131)menawarkan istilah semiotika budaya. Semiotika budaya ini adalah tanda-tanda yang terkandung dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, yaitu manusia dengan berbagai tradisi dan adat kebiasaannya.Tanda-tanda tersebut semata-mata berfungsi dalam keterpaduan di antara komponen-komponennya.Sementara itu, pada pengkajian sastra, penerapan semiotika akan mengupayakan penelusuranrheme sebagai satuan kecil atau motif, untuk bergabung dengan ritme lainnya menjadi suatu decisign, dan akhirnya sampai pada argument. Untuk mencapai suatu wawasan total pemahaman tema suatu karya, seorang penulis dapat melakukannya dengan mengaitkan subtema menjadi tema, atau argumen menjadi supra-argumen yang akhirnya menjadi satu pemahaman amanat penulis yang mempunyai suatu pretensi kebenaran ( Zoest,1993, hlm. xiii).

Dalam perkembangannya, semiotika secara umum dibedakan menjadi tiga aliran, yaitu ;

1) Aliran semiotika komunikasi. Aliran ini mengkaji tanda dengan intensitas kualitasnyayang berkaitan dengan pengirim dan penerima, tanda yang disertai maksud, yang digunakan secara sadarsebagai signal, seperti rambu-rambu lalu lintas. Aliran ini dipelopori oleh Buyssesns dan Mounin. 2) Aliran semiotika konotatif. Aliran ini mengkaji tandan atas dasar ciri-ciri denotasi dan kemudian diperoleh makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai sistem model kedua, tanda-tanda tanpa maksud langsung, sebagai symptom. Selain dalam sastra, aliran semiotika konotatif ini juga diterapkan dalam berbagai bidang kemasyarakatan. Aliran ini dipelopori oleh Roland Barthes.

3) Aliran semiotika ekspansif. Aliran ini diperluas dalam bidang psikologi (Freud) dan sosiologi (Marxis), termasuk filsafat yang dipelopori oleh Julia Kristeva (Ratna, 2004, hlm. 103).

Barthes mengulas secara panjang lebar tentang sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun oleh bahasa sebagai sistem pertama dengan sebutan konotatif.Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang dinyatakan sebagai mitosdan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu. Tanda konotatif ini tidak hanya memiliki makna tambahan, tetapi juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya (dalam Budiman, 2004, hlm. 254).

Pengertian makna denotasi dalam pemikiran Barthes ialah makna yang mengungkapkan bahwa suatu kata menujukkan adanya satu artian kata sebagai maksudnya (ruang lingkup ekspresi sama luasnya dengan konten atau makna yang terkandung). Pada makna konotasi,

(4)

menurutnya, konten makna lebih luas daripada ekspresi atau penandanya.Barthes menyebut fenomena inimembawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentusebagai penciptaan mitos. Konotasi, dalam kerangka Barthes, identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Ideologi dipahami Barthes sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup di dalam dunia yang imajiner dan idealwalaupun realitas yang sesungguhnya tidaklah demikian. Ideologi ialah suatu bentuk (form) penanda-penanda konotasi, sedangkangayabahasa, majas atau metafora ialah elemen bentuk dari konotator-konotator. Secara singkat dapat dikatakan bahwa konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, pembaca teks dapat memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada tataran denotatif. Dalam karya sastra (sepertiprosa),ideologi mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain (dalam Budiman, 2004, hlm.259).

Struktur menurut pandangan Barthes (dalam Darma, 2019, hlm.116) adalah seni penulisan karya sastra dan seni penghayatan karya sastrasama sebagaimana pula linguistik berhadapan dengan Bahasa. Kenyataanya teori semiotik Barthes diturunkan dari empat teori bahasa menurut de Saussure, yaitu konsep langue-parole, significant-signifie, sintagmatik-paradigmatik, dan

sinkronis-diakronis.Barthes kemudian mengembangkan konsep hubungan sintagmatik dan paradigmatik dan denotasi dan konotasi (Hoed, 2008, hlm. 9--10).Selanjutnya dalam kajian tekstual khususnya karya sastra, Batrhes menggunakan analisis naratif struktural yang dikembangkannya. Menurutnya, analisis naratif struktural secara metodologis berasal dari perkembangan awal atas apa yang disebut linguistic structural yaitu memahami makna suatu karya dengan menyusun kembali makna-makna yang tersebar dengan suatu cara tertentu.

Barthes (dalam Piliang, 2003, hal 170) menawarkan lima kode dalam menafsirkan sebuah teks wacana. Pertama kode hermeneutika, adalah kode yang mengandung unit-unit tanda yang secara bersama-sama berfungsi untuk mengartikulasikan dengan berbagai cara dialektik pertanyaan-respon, yang di dalam prosesnya jawaban atau kesimpulan (cerita) ditangguhkan sehingga menimbulkan semacam enigma. Kedua kode semantik, adalah kode yang berada pada kawasan penanda, yakni penanda khusus yang memiliki konotasi.Ketiga kode simbolik, kode yang mengatur kawasan antitesis dari tanda-tanda, dimana satu ungkapan atau tanda meleburkan dirinya ke dalam berbagai substitusi, keanekaragaman penanda dan referensi, sehingga menggiring kita dari satu kemungkinan makna kekemungkinan lainnya dalam indeterminansi.Keempat kode proairetik, kode yang mengatur alur satu cerita atau narasi.Ia disebut juga kode aksi. Kelima kode kebudayaan, kode yang mengatur dan membentuk suara-suara kolektif dan anonim dari pertandaan, yang berasal dari pengalaman manusia dan tradisi yang beraneka ragam.

(5)

Penelitian yang menggunakan kelima kode semiotika Roland Barthes ini telah dilakukan antara lain oleh Sri Rahmayanti dan Acep Iwan Saidi dengan judul Kode Semiotika Roland Barthes dalam Pembacaan Rancang Panggung Musikal Laskar Pelangi” yang dimuat di jurnal Sosioteknolog vol. 18, No. 3, Desember 2019, Makna Kode Semik dan Simbolik (Semiotik Roland Barthes) dalam novel Aroma Karsa Karya Dee Lestari oleh Rokhyanto dalam jurnal ALFABETA Vol. 2, Nomor 2, Oktober 2019 dan lain-lain. Dalam penelitian ini, kelima kode yang ditawarkan oleh Roland Barthes tersebutditerapkan dalam menganalisis novel Menolak Ayah karya Ashadi Siregar. Novel yang sarat membicarakan budaya Batak di dalamnya akan sangat menarik dikaji dengan mencari kelima kode semiotik yang ditawarkan.

Metode Penelitian

Penelitian ini secara umum menggunakan metode deskriptif kualitatif.Menurut Surachmad (1990, hlm.157),metode d e s k r i p t i f a d a l a h m e t o d e y a n g membicarakan beberapa kemungkinan untuk memecahkan berbagai masalah yang aktual, dengan mengumpulkan data, menyusun data, mengklasifikasikannyadan menggeneralisasinya, serta menganalisis dan menginterpretasikannya.Dalam penelitian ini, metode deskriptif kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan kode-kode budaya yang ditemukan dalam novel, kemudian diklasifikasikan menurut jenis kode yang ditawarkan oleh Raland Barthes, masing-masing data tersebut kemudian diinterpretasikan dan diambil kesimpulan.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lima kode yang ditawarkan oleh Roland Barthes untuk menganalisis sebuah karya sastra adalah kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode kebudayaan. Berikut ini hasil analisis terhadap novel Menolak Ayah karya Ashadi Siregar dengan menggunakan teori Semiotika Roland Barthes.

a. Kode Hermeneutik

Kode Hermeneutik berfokus pada tujuan dan harapan untuk mendapatkan kebenaran atas teka-teki (pernyataan) yang mungkin muncul dari dalam teks.Bagi masyarakat Batak, garis keturunan laki-laki memiliki peran penting. Seorang ayah memiliki tanggung jawab penuh untuk mendidik dan membimbing anak laki-lakinya dalam menjalani kehidupan ini. Namun ini tidak berlaku bagi tokoh Tondi. Sejak kecil ia tidak pernah merasakan kasih sayang dan fungsi seorang ayah seperti yang diharuskan dalam masyarakat Batak.Hal ini dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini,

Bagaimana jalan yang akanditunjukkan itu? Jalan adalah garis yang dibuat dari satu titik ke titik lain. Dari satu tempat menuju suatu tempat berikut.Tetapi bisa juga tidakkemana-mana, sebabsuatuj alanyangpanjangbisajadihanyaberput ar-putardisatutempat.Setiapmanusia menempuh jalannya.Ada kalanya seorang ayah memberi tahu jalan yang harus ditempuh anaknya.Bahkan ada yang menyediakan jalan itu, menyiapkan jalan yang mulus, sehingga si anak dapat melangkah tanpa harus tersandung-sandung lagi.Begitulah, menemukan jalan dalam hidup ini adalah keberuntungan. Tapi Tondi belum pernah meraih keberuntungan itu (Siregar,2018, hlm.21).

(6)

Masyarakat Batak menjunjung tinggi prinsip bahwa dimanapun seseorang berada ia harus selalu menginggat darimana ia berasal. Dalam hal ini kampung halaman itu disebut huta. Huta adalah kampung yang didirikan satu marga dan menjadi satuan komunitas suatu klan dari marga. Huta biasanya dihuni oleh marga raja ni huta, anak boru (marga menantu) yang ikut dengan keluarga istrinya, dan pendatang. Bagi masyarakat Batak, kemanapun dan sejauh apapun mereka pergi meninggalkan kampung halaman, mereka harus menginggat dari mana mereka berasal. Dan setiap orang Batak, mereka memiliki kampungnya masing-masing.Hal ini tergambar dalam kutipan di bawah ini.

“Seberapa jauh seorang Batak pergi, tempat pulangnya adalah huta. Tapi dimanakah huta- mu?Kaulahirdizamanyangkacau. Tempatyangkitatinggaliinibukanhutakita.

Margakita tidak ber-huta di sini.Karena aku

terdampat di sini, kau tidak punya huta. Jalan yang akan kau tempuh masih panjang, aku tidak mungkin menyertai kau nanti, “suara Ompung rendah. (Siregar,2018, hlm.23). Di situkan hidupnya? Bah, ompungnya seorang datu bolon, amang-nya seorang pembesardi Jakarta. Apakah dia harus terbenam di rute Medan-Bukittinggi ini(Siregar,2018, hlm.4).

Dalam masyarakat Batak yang menganut patrilineal, seorang anak tentunya akan mendapatkan garis keturunan dari ayahnya. Namun Tondi tidak mendapatkan hal itu. Dalam masyarakat Batak, seorang ayah akan dipanggil Amandi Tondi yang artinya ayahnya Tondi atau Kakeknya Tondi namun kenyataanya tidak. Hal ini dikarenakan kakaknya tidak berada di kampung mereka.

Mereka hidup di kampung orang, sehingga hal tersebut tidak berlaku.Hal ini dapat terlihat pada kutipan di bawah ini.

“Begitu kau lahir, sebagai anak pertama seharusnya namamulah seterusnya yang dipakai untuk memanggil amangmu, Amandi Tondi.Begitu juga aku, begitu juga aku, seharusnyadipanggil Ompuni Tondi.Kenyataannya tidak.Namamu tidak melekat pada ammang dan ompungmu. Ah. Kau tidak menjadi anak atau pahompu panggoaran(Siregar,2018, hlm.23).

b. Kode Semantik

Kode Semantik ini berfokus pada tema-tema yang dapat disusun lewat proses pembacaan teks. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, konotatif dalam pandangan Barthes adalah sebuah operasi ideology, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Adapun beberapa kode konotatif yang ditemukan dalam novel ini adalah sebagai berikut,

Parbaringin adalah pendeta dalam agama masyarakat Batak, seseorang yang mengurus soal-soal kerohanian/spiritual. Di sebut parbaringin karena saat memimpin upacara selalu menyematkan tangkai pohon beringin di kain yang melilit kepalanya. Dalam suatu marga, selalu ditunjuk seorang parbaringin atau ulubalang. Kode konotatif yang ditemukan adalah bahwa orang Batak selalu menganggap bahwa mereka adalah seseorang yang harus tunduk dan patuh terhadap rajanya. Salah satu dari mereka mungkin memiliki peran sebagai pemimpin untuk mengarahkan kemana mereka melangkah. Dan bagi orang Batak, apapun akan mereka pertaruhkan bagi

(7)

raja mereka. Hal ini tergambar dalam kutipan di bawah ini,

Kau harus tahu sejarah marga kita.Orang-orang marga kita dulu selalu menjadi ulubalang bagiraja Si Singamangaraja,adapula yang ditugasisebagaiparbaringin.Begitu turun-temurun.Dari marga kita selalu ada yang menjadi ulubalang dan parbaringin demi raja Si Singamangaraja.Kita selalu mengawal raja kita, mempertaruhkan nyawa untuk keselamatan raja yang kita kawal,”kata Ompu Silangit(Siregar,2018, hlm.24).

Adat Batak tidak mengenal perceraian antara sepasang suami istri. Mereka menikah untuk selamanya. Walaupun dalam perjalanan sebuah pernikahan tidak berjalan mulus namun mereka hanya bercerai secara hukum negara namun dalam hukum adat mereka tetap sepasang suami istri. Hal ini tergambar dalam kutipan di bawah ini,

Tondi ditinggal ayahnya ketika berusia dua tahun.Ibunya tak pernah dicerai. Nasibnya sebagai perempuan, diapit tidak bersinggit, ditambat tidak bertali. Namun begitu, dia tidak pernah berfikir untuk mengurus perceraian.Tak pernah

seorang perempuan Batak melintaskan pikiran tentang parsirangan, perceraian

(Siregar,2018, hlm.41).

Fungsi ayah bagi orang Batak sebagai pengarah dan pelindung bagi kehidupan anak-anaknya sangatlah berlaku. Hal ini tidak terjadi bagi diri Tondi, sejak kecil ia tidak mengenal kasih sayang seorang ayah. Ayahnya meninggalkan ibu dan dirinya tanpa status yang jelas.Ayahnya pergi ke Jawa dan memiliki kehidupan sendiri. Bagaimana

nasib ia dan ibunya tidak pernah dipedulikan oleh ayahnya. Karena nasib yang Ia alami, Tondi akhirnya bertekad untuk tidak seperti ayahnya. Ia bertanggungjawab bagi anak-anaknya walaupun Tondi dengan ibu mereka tidak terikat pernikahan, dan bagi saudara perempuannya walaupun mereka tidak seibu. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini,

Sewaktu ditinggal masih masih jualan pisang goreng dekat jembatan kereta api. Dengan amang-nya hanya ketemu saat ompungboru meninggal dulu, sejak itu tak pernah ada lagi hubungan.Sang ayah tidak pernah memberi kabar.Surat juga tidak.Tondi bercerita datar saja, seraya menekan desakan sepperti batu tajam yang merambat di dadanya, naik ke pelipisnya.Membuat matanya perih (Siregar,2018, hlm.19).

Kemudian Tondi mengurus status adopsi. Ada kenalannya advokad, membantu seluruh prose acara di pengadilan.Maka kedua anak laki-laki itu resmi sebagai anaknya.Baginya adobsi bukan sekedar status yang diakui oleh negara, tetapi untuk memenuhi kerinduannya untuk menjadi amang, ayah bagi anak-anaknya. (Siregar,2018, hlm.400).

Dia tetap tidak mau bertemu Pardomutua. Baginya laki-laki itu sudah lenyap ditelan masa lalu.Satu generasi yang harus dianggap hilang.Dia hanya mau berbagi kasih, hanya bersama anaknya, hanya bersama saudaranya, untuk menjalani kehidupan ini.(Siregar,2018, hlm.419).

c. Kode Simbolik

Situasi komunikasi naratif berkaitan dengan sudut pandang pencerita. Dalam novel Menolak Ayah karya Ashadi Siregar ini, memliki sudut pandang orang ketiga. Dalam hal ini tokoh utama yaitu Tondi. Dalam cerita digunakan kata Ia, dia atau nama tokoh. Kata

(8)

ganti ini berfungsi untuk menceritakan tokoh utama dalam cerita tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan di bawah ini..

Dia bernama Tondinihuta.Ibunya, kakeknya, dan tetangga menyebut Tondi. Kini dia membenahi ransel dan senjatanya. Apa arti senjata ringan ini jika harus berhadapan dengan serombongan batalyon yang berkonvoi? Sewaktu dilatih beberapa hari, mereka, pasukan yang baru diajak bergabung sebagai sukarelawan, sempat diceramahi seorang sersan, bahkan setiap kompi punya persenjataan mulai dari yang ringan jenis senapan sampai senjata mesin dan montir(Siregar,2018, hlm.8).

d. Kode Proairentik

Tokoh utama dalam novel ini adalah Tondi.Aksi/tindakan tokoh di dalam novel ini memfokuskan sebagai perlengkapan utama teks novel.Setiap aksi/tindakan para tokoh dalam novel ini dapat disusun dan disistematiskan.Sebagai tokoh utama, Tondi banyak melakukan aksi atau tindakan yang menggambarkan seseorang yang pantang menyerah, keras kepala dan tidak dendam terhadap siapapun.Ia hanya menegakkan fungsi seorang laki-laki Batak yang seharusnya. Kutipan di bawah ini menggambarkan bagaimana seorang Tondi tidak berputus asa terhadap kegagalan yang dia alami. Karena gagal untuk mencapai apa yang dia inginkan dan Ia tidak mau menyusahkan ibunya, Ia berusaha untuk mencari pekerjaan lain.

Gagal mendapat ikatan dinas, berarti harus menyediakan sendiri biaya sekolah. Begitulah, diamerasasebagaiorangya nggagal,telahmengecewakanibunya. Diatahudiri,inangyang berjualan pisang goreng, jelas tidak mampu membiayainya.

Lalu dia keluar sekolah, menjadi kenek bus Sibualbuali yang menjalani trayek Siantar-Bukittinggi(Siregar,2018, hlm.19). Sikap keras kepala dari seorang Tondi tergambar dari kutipan di bawah ini, ketika kecil Ia dipaksa untuk ikut ayah kandungnya ke Jakarta namun Ia menolak. Sejak kecil Ia tidak merasakan kasih sayang dari seorang ayah. Dan ketika tiba-tiba ayahnya pulang dan semua orang membujuknya untuk ikut ayahnya, Ia bersikeras menolak. Sikap keras ini terus bertahan sampai Ia dewasa.Tondi tidak pernah meminta tolong dan mengakui ayahnya sebagai ayah kandungnya.Bagi Tondi seorang ayah hanyalah sosok laki-laki yang menikahi ibunya saja.

Beberapa orang mendekatinya, membujuknya.Tetapi Tondi tidak mempedulikan ucapan-ucapan yang bersileweran.Tondi merentakkan kaki di lantai papan.Suara berdebum keras. Beberapa lelaki merebung Tondi berusaha tetap membujuknya.“Aku tidak mau!” jerit Tondi lantang.(Siregar,2018, hlm.50). Sosok laki-laki Batak bagi Tondi adalah laki-laki yang bertanggungjawab untuk anak dan perempuannya. Perempuan bagi seorang laki-laki Batak adalah ibu, anak perempuan, saudara perempuan (walaupun tidak seibu), dan perempuan yang melahirkan anak-anak mereka walaupun tidak terikat oleh pernikahan. Tondi menampakkan sosok itu terhadap saudara perempuannya yang bukan seibu. Ketika sosok ayah mereka yang harusnya menjadi pelindung bagi anak-anaknya tidak berfungsi, Ia mengambil alih peran itu. Hal tersebut tergambar pada kutipan di bawah ini.

(9)

“Nah, kamu’kan tahu, aku orang Batak,”kata Tondi.Aku tidak ridho orang sebangsaku jadi lonte kompleks di Jakarta sini.Sudah, biar kulunasi utang-utangnya, sama anaknya sekalian.”(Siregar,2018, hlm.390).

“kalau kalian mau, kalian dapat melekatkan marga itu dinama kalian, kalian boru dari marga kita. Kalau kalian menikah, aku sebagai saudara laki-laki kalian dapat menggantikan kedudukan papa kalian, aku berkewajiban membiayai, mengurus kalian.Begitu dalam adat Batak. (Siregar,2018, hlm.417).

e. Kode Budaya

Kode budaya memfokuskan analisisnya pada berbagai sistem pengetahuan dan sistem nilai yang tersirat di dalam teks, adapun beberapa kode budaya yang ditemui dalam novel ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Tapi dia masih terlalu muda, “kata komandan battalion. “Sadia umurmu?” komandan itu beralih menggunakan

Bahasa Batak, menayakan umurnya.

(Siregar,2018, hlm.14).

Sampai sekarang dia masih menganut

agama Batak, agama purba yang

menyembah Debata Mulajadino Bolon,dan menghormati alam dan roh-roh baik. Agama Batak atau biasa disebut Parmalim dianut orang Batak sebelum agama Kristen dan Islam masuk ke daerah itu (Siregar,2018, hlm.16).

Dari kutipan di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa masyarakat Batak menggunakan bahasa Batak dalam kehidupannya sehari-hari. Kemudian masyarakat Batak merupakan penganut agama Batak yang biasa disebut parmalim. Parmalim adalah kepercayaan terhadap ugomo malim,

ugomo Batak, agama asli Batak yang sudah ada sebelum kedatanngan agama Kristen dan Islam. Orang Batak percaya bahwa tuhan mereka adalah Debata Mulajadi no Bolon (asal mula kehidupan yang agung, yang menguasai Banua Ginjang, Banua Tonga, dan Banua Toru) dan mereka juga percaya pada roh-roh baik.

Di situ dibangun rumah sederhana.Dia hanya menumpang di huta orang.Maka dia tidak punyarumahbolon.Rumahada tsemacamituhanyaberdiridihutasendiri( Siregar,2018, hlm.17).

Ompung-nya berdiri, berjalan perlahan ke ruang belakang, tempat yang biasa digunakan untuk menyiapkan makanan. Ruangan itu berada di atas tataring. Dekat tangga bagian belakang rumah.Di situ letak tataring, dapur dengan tungku untuk memasak.Tunggu berdiri atas tiga batu sungai, masing-masing sebesar buah kelapa (Siregar,2018, hlm.20).

Dari beberapa kutipan di atas, tergambar bahwa masyarakat Batak memiliki rumah adat atau rumah tradisional yang disebut rumah bolon. Rumah ini terbuat dari kayu dan beratap seng. Pada bagian dapur yang memiliki tungku untuk memasak disebut dengan tataring.

Adat.Ya,seringdidengarTondi,adatDalih

anNaToluyangmengaturhubungan antar

orang Batak.Setiap orang Batak terikat dalam kedudukan mengikuti pertalian dalam perkawinan.,(Siregar,2018, hlm.26).

Dari kutipan di atas, tergambar bahwa masyarakat Batak memiliki tatanan adat yang mereka sebut Dalihan Na Tolu yaitu struktur adat Batak, yang secara spesifik: dalam

(10)

hubungan perbesanan dalam perkawinan dari pihak yang mengambil anak perempuandan pihak yang memberikan anak perempuan: dalam arti luas: terdiri atas pihak-pihak marga sendiri, marga pemberi anak perempuan, dan marga penerima anak perempuan. Dalam interaksi, sesama marga: saling tolong; hula-hula terhadap anak boru: menyayangi dan memberi berkat ; anak boru menghormati.

Mulai dari mandi dan mencuci pancuranbertanam di sawah, memetik sayuran di ladang, menumbuk padi ke

onan, atau bahkan ke horja. Setiap

huta biasanya dikitari pagar bambu duri yang tinggi dan lebat rapat. Setiap kali keluar dari lingkaran huta. Perempuan-perempuan di kampung halamannyaberombongan. Hampir tak pernah perempuan berjalan sendirian. (Siregar,2018, hlm.32).

Horja adalah sebutan masyarakat Batak untuk pesta dengan upacara adat Batak. Dapat dilihat pada kutipan di atas.

Ompu Silangit sesungguhnya guru besar yang melampaui raja bius dan datu bolon yang pernah ada.Apakah mungkin terlolos dari tangan kematian masa perang?Mungkin, tetapi yang jelas, dia dapat membaca pustaha bermuatan ilmu Batak untuk pengobatan, meramal, dan penakluk begu(Siregar,2018, hlm.37). Dari kutipan di atas, tergambar bahwa masyarakat Batak masih percaya pada pustaha. Pustaha adalah ajaran-ajaran tradisional berisi ilmu pengobatan, nujum, dan mantra, biasanya dituliskan dalam bilah bambu dan kulit kayu. Kemudian masyarakat Batak juga masih percaya pada begu. Begu dalam masyarakat Batak adalah roh orang mati yang

masih berada di dunia sebelum menuju dunia selanjutnya. Begu yang baik mengayomi keturunannya dan akan tinggal ditempat-tempat keramat seperti pohon, aliran air, atau bukit. Begu yang jahat kekuatannya dapat disalahgunakan dengan ilmu hitam.

Ompungboru meninggal.Tondi tertekan, dadanya sesak diterpa ratapan yang seperti tidak kunjung habis.Perempuan-perempuan silih berganti mengandung, meratapi jenazah ompungboru. Ratapanyangmenceritakankebaikan-keb aikandankenanganindahsewaktudia hidup (Siregar,2018, hlm.46).

Penguburan ompungboru memang menunggu kedatangan anak laki-lakinya. Dialah terutama yang ditunggu-tunggu, sepanjang waktu perempuan-perempuan mangandung dan gondang dibunyikan, orang datang bagai tidak ada habis-habisnya dan makanan tiada henti dimasak (Siregar,2018, hlm.49).

Ketika seseorang meninggal dunia dan keluarga besar dalam keadaan berduka, biasanya masyarakat Batak melakukan ratapan sepanjang hari. Ratapan ini sebagai bentuk kesedihan atas kepergian orang yang mereka cintai. Dan dalam suasana duka tersebut, sepanjanng hari tuan rumah akan menyediakan jamuan berupa makanan dan minuman untuk para tamu yang datang.

Kendati matanya tak mampu menangkap tulisan di bambu-bambu itu, setelah tengah malam. Dia lebih suka latihan mancak babiatdaripada harus berkutat membaca dan menyalin tulisan Batak yang memusingkan kepala. Apalagi mendengarkan ajaran ugommo batak yang serba tidak jelas baginya. Ayahnya tetap penganut agama yang berasal dari nenek moyang. Tetapi orang Batak tidak

(11)

dapat menjalankan upacara agama ini sebab dilarang Belanda (Siregar,2018, hlm.38).

Dari kutipan di atas tergambar bahwa masyarakat Batak mengenal mancak babiat. Mancak babiat adalah olah raga silat tradisional yang sering juga disebut silat harimau, gerakannya meniru perkelahian harimau, konon diturunkan si Raja Lontung, leluhur marga-marga sembilan bersaudara, 7 laki-laki: sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar; 2 perempuan: Simamora dan Sihombing. Menurut kitab Tarombo yang dikisahkan turun temurun, Raja Lontung pada masa kecilnya diasuh oleh harimau.

III. SIMPULAN

Berdasarkan analisis terhadap novel Menolak Ayah dengan menggunakan analisis Semiotika Roland Barthes, ditemukan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, dalam analisis kode Simbolik, ditemukan bahwa tokoh utama adalah Tondi.Sebagai tokoh utama, dari tokoh Tondi tergambar bahwa orang Batak adalah sosok yang pantang menyerah, keras kepala dan berpegang teguh pada adat dan budaya Batak dimanapun berada.

Kedua, kode hermeneutik yang muncul dalam novel ini adalah mengapa seorang Tondi begitu menyayangi anak-anaknya karena Ia bertekad jangan sampai apa yang terjadi pada dirinya dialami oleh anak-anaknya. Seorang anak Batak wajib mendapatkan arahan dan bimbingan dari seorang ayah dalam menjalani kehidupan. Mengapa orang Batak harus menginggat dari mana Ia berasal? Agar ia selalu ingat asal usulnya. Mengapa

orang Batak tidak mendapatkan panggilan berdasarkan garis keturunannya? Karena hal itu berlaku ketika Ia berada di kampungnya sendiri. Sedangkan di kampung orang tidak berlaku seperti itu.

Ketiga, kode budaya yang ditemukan dalam novel ini meliputi: Bahasa Batak, agama Batak (parmalim), huta, rumah bolon (rumah adat), tataring (dapur dengan tungku untuk memasak, tatanan adat (Dalihan Na Tolu), Horja( upacara adat Batak), pustaha (ajaran tradisional yang berisi ilmu pengobatan dan nujum), ratapan, mancak babiat (silat tradisional).

Keempat, kode semantik dalam novel ini terdapat simbol “menolak”.Kata menolak berarti tidak mengakui. Tokoh Tondi digambarkan selalu menjalani adat dan budaya Batak dimanapun ia berada. Hal ini disebabkan dendamnya terhadap sosok ayah yang tidak pernah memberikan kasih sayang terhadap dirinya.Namun dendamnya itu, dijadikannya tekad untuk tidak menjadi seperti ayahnya.Ia selalu ingin melindungi anak-anaknya.

Kelima, kode simbolik berkaitan dengan sudut pandang pencerrita. Novel inimemiliki sudut pandang orang ketiga. Dalam cerita, digunakan kata Ia, dia, atau nama tokoh (Tondi). Ia, Dia, atau Tondi mengacu pada simbol laki-laki Batak yang memiliki tanggungjawab yang besar terhadap keluarganya.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Manneke. (2004). Semiotika dalam Tafsir Sastra, Antara Riffaterre danBarthes. Dalam Semiotika Budaya. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian pada Masyarakat, Universitas Indonesia.

(12)

Darma, Budi. (2019). Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Hoed, Benny H. (2008).Semiotik dan

Dinamika Sosial Budaya.Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI. Piliang, Yasraf Amir. (2003). Hipersemiotika

Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna..Yogyakarta: Jalasutra.

Ratna, Nyoman Kutha. (2004). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

____________________. (2010). Sastra dan Cultural Studies.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Siswanto, Wahyudi. (2013). Pengantar Teori Sastra.Malang: Aditya Media Publishing. Surachmad, Winarno. (1990). Pengantar

Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik.

Zoest, Aart van.(1993). Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang Kita Lakukan dengannya. Yayasan Sumber Agung: Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk lebih jelas dalam melihat perbandingan kedua naskah, di bawah ini disajikan tabel perbandingan naskah berdasarkan kondisi fisik naskah, pendahuluan, isi, kolofon, dan

Dengan menggunakan pemikiran dari Norberg-Schulz maka akan dikaji dan ditelusuri lebih jauh mengenai citra, ruang dan karakter yang membentuk genius loci pada

Saya tidak memungkiri, bahwa kaitan politisi beradab dengan struktur sosial sampai sekarang masih menjadi polemik: Apakah struktur itu yang membentuk politisi

Sehingga setiap orang Indoensia nantinya, akan mempunyai kesadaran tanggung jawab sebagai orang warga negara Indonesia, sebagai warga sukubangsa dan kebudayaannya,

penuh, mungkin layak untuk menumpuk muatan yang telah dimasukkan ke palet. Bagaimanapun, lapisan palet paling atas harus disusun letaknya, sehingga mereka stabil dan cukup

Cetakan dan teras merupakan bagian yang akan bekerja menerima panas dan tekanan dari logam cair yang dituang sebagai bahan produk, oleh karena itu pasir

Bingkai alat perlindungan tanpa penahan dan tidak dipasang secara kuat pada lantai kerja harus mempunyai ukuran tidak kurang dari 38 x 38 x 3 mm untuk besi siku atau diameter

Untuk menghindarkan diri dari berbagai ragam keharusan yang harus dipenuhi (jujur) dalam melaksanakan suatu perkawinan maka kedua calon penganten melarikan diri di