• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. bersangkutan. Mengikuti analisis klasik dari Kuznets (1964) dalam Tambunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA. bersangkutan. Mengikuti analisis klasik dari Kuznets (1964) dalam Tambunan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

11 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peran Sektor Pertanian

Sektor pertanian merupakan salah satu penopang perekonomian suatu negara, khususnya di negara agraris seperti Indonesia. Peranan sektor ini dapat dikatakan cukup besar bagi perkembangan perekonomian negara yang bersangkutan. Mengikuti analisis klasik dari Kuznets (1964) dalam Tambunan (2003), pertanian di LDCs dapat dilihat sebagai suatu sektor ekonomi yang sangat potensial dalam empat bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, yaitu sebagai berikut:

1) Ekspansi dari sektor-sektor ekonomi lainnya sangat tergantung pada pertumbuhan output di sektor pertanian, baik dari sisi permintaan sebagai sumber pemasokan makanan yang kontinu mengikuti pertumbuhan penduduk, maupun dari sisi penawaran sebagai sumber bahan baku bagi keperluan produksi di sektor-sektor lain seperti industri manufaktur (misalnya industri makanan dan minuman) dan perdagangan. Kuznets menyebut ini sebagai kontribusi produk.

2) Di negara-negara agraris seperti Indonesia, pertanian berperan sebagai sumber penting bagi pertumbuhan permintaan domestik bagi produk-produk dari sektor-sektor ekonomi lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi pasar. 3) Sebagai suatu sumber modal untuk investasi di sektor-sektor ekonomi

lainnya. Selain itu, menurut teori penawaran tenaga kerja (L) tak terbatas dari Arthur Lewis dan telah terbukti dalam banyak kasus, bahwa dalam proses pembangunan ekonomi terjadi transfer surplus L dari pertanian (pedesaan) ke

(2)

12 industri dan sektor-sektor perkotaan lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi faktor-faktor produksi.

4) Sebagai sumber penting bagi surplus neraca perdagangan (sumber devisa), baik lewat ekspor hasil-hasil pertanian maupun dengan peningkatan produksi pertanian dalam negeri menggantikan impor (substitusi impor). Kuznets menyebutnya kontribusi devisa.

2.2. Perkebunan

Perkebunan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 didefinisikan sebagai segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Pelaksanaan perkebunan diselenggarakan antara lain dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan negara, penyedia lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi, serta pengoptimalan sumberdaya secara berkelanjutan. Pada pasal 4 disebutkan bahwa usaha perkebunan memiliki fungsi secara ekonomi, ekologi, dan sosial budaya.

Tanaman perkebunan merupakan pendukung utama sektor pertanian dalam menghasilkan devisa. Ekspor komoditas pertanian kita yang utama adalah hasil-hasil perkebunan. Hasil-hasil-hasil komoditas perkebunan yang selama ini telah menjadi komoditas ekspor konvensional terdiri atas karet, kelapa sawit, teh, kopi dan tembakau (Badan Pusat Statistik, 2009). Masih ada beberapa jenis tanaman

(3)

13 perkebunan yang diekspor, namun porsinya relatif kecil. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kakao telah berkembang menjadi salah satu komoditas penting di dalam jajaran ekspor komoditas perkebunan. Meskipun demikian, penghasil devisa utama dari subsektor perkebunan masih dipegang oleh komoditas karet dan kopi.

Pengusahaan tanaman perkebunan di Indonesia berlangsung dualitis. Sebagian besar diselenggarakan oleh rakyat secara orang perorangan, dengan teknologi produksi dan manajemen usaha yang tradisional. Sebagian lagi diusahakan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan, baik milik pemerintah maupun swasta, dengan teknologi produksi yang modern serta manajemen usaha yang profesional. Karena tanaman perkebunan didominasi oleh perkebunan rakyat, maka kondisi perkebunan Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan perkebunan negara lain.

Pembangunan perkebunan dilaksanakan melalui empat pola pengembangan, yaitu (Dumairy, 1996):

1) Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR)

2) Pola Unit Pelayanan Pengembangan (UPP) 3) Pola Swadaya; dan

4) Pola Perusahaan Perkebunan Besar

Pola PIR dimaksudkan untuk mewujudkan keterpaduan usaha antara perkebunan rakyat sebagai plasma dan perkebunan besar sebagai inti, dalam suatu sistem pengelolaan yang menangani seluruh rangkaian kegiatan agribisnis. Pelaksanaannya dilakukan dengan memanfaatkan perkebunan besar untuk mengembangkan perkebunan rakyat pada areal bukaan baru. Pola UPP adalah

(4)

14 pola pengembangan atas asas pendekatan terkonsentrasi pada lokasi tertentu, yang menangani keseluruhan rangkaian proses agribisnis. Pelaksanaan pola ini ditempuh melalui pengembangan perkebunan rakyat oleh suatu unit organisasi proyek yang beroperasi di lokasi perkebunan yang sudah ada. Pola swadaya ditujukan untuk mengembangkan swadaya masyarakat petani/pekebun yang sudah ada di luar wilayah kerja PIR dan UPP. Sedangkan pola perkebunan besar diarahkan untuk meningkatkan peranan pengusaha untuk mengembangkan perusahaan perkebunan besar, baik berupa perusahaan negara (BUMN), perusahaan swasta nasional maupun swasta asing.

Peningkatan produksi perkebunan diupayakan terutama melalui peningkatan produktivitas lahan serta perbaikan efisiensi pengolahan. Sasaran utamanya adalah peningkatan produksi perkebunan rakyat, mengingat produktivitas per hektar dan mutu hasilnya masih rendah, padahal sebagian besar hasil perkebunan berasal dari perkebunan rakyat. Untuk menunjang kenaikan produksi perkebunan rakyat dimaksud, dibangun unit-unit pelayanan pengembangan (UPP). Unit-unit ini memberikan pembinaan dalam hal teknik agronomi, membantu pembiayaan, pemasaran, dan pengembangan fasilitas pengolahannya. Sementara itu usaha ekstensifikasi perkebunan dilaksanakan melalui pola PIR, dimana perusahaan inti bertugas membina plasma-plasmanya (pekebun-pekebun rakyat) dalam hal teknik agronomi, pengolahan, dan pemasaran hasil.

Sejalan dengan usaha-usaha tersebut, produksi beberapa tanaman perkebunan utama meningkat secara cukup berarti. Kenaikan produksi terutama disebabkan oleh meningkatnya luas areal produktif dari hasil peremajaan dan

(5)

15 perluasan, serta upaya rehabilitasi dan intensifikasi. Ekspor berbagai jenis tanaman perkebunan juga berkembang, antara lain berkat dilaksanakannya Proyek Rehabilitasi dan Peremajaan Tanaman Ekspor (PRPTE).

2.3. Konsep Keunggulan dan Daya Saing Ekspor

Daya saing ekspor memiliki pengertian kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk bertahan dalam pasar itu. Daya saing suatu komoditi dapat diukur atas dasar perbandingan pangsa pasar komoditi tersebut pada kondisi pasar yang tetap. Dalam hal ini berarti suatu produk dikatakan memiliki daya saing apabila produk tersebut mampu bertahan dalam suatu pasar meskipun dengan mengalami guncangan (Amir, 2004).

Untuk dapat melakukan perdagangan antar negara, maka suatu komoditas perlu memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Ricardo menyatakan bahwa manfaat dari perdagangan akan tetap dapat diperoleh oleh suatu negara meskipun negara tertentu tidak memiliki keunggulan apapun, selama rasio harga antarnegara masih berbeda (Hady, 2004). Jika tidak ada perdagangan, setiap negara akan memiliki keunggulan komparatif, yaitu kemampuan untuk menemukan barang-barang yang dapat diproduksi pada tingkat biaya ketidakunggulan relatif yang lebih rendah (dimulai dari awal dibukanya perdagangan) daripada barang lainnya. Barang-barang inilah yang seharusnya diekspor untuk ditukar dengan barang lainnya. Hukum keunggulan komparatif Ricardo menyatakan bahwa setiap negara memiliki keunggulan komparatif dalam sesuatu dan memperoleh manfaat dengan memperdagangkannya untuk ditukar dengan barang yang lain.

(6)

16 Menurut Porter (1998) dalam Abdmoulah dan Laabas (2010) keunggulan bersaing suatu negara sangat tergantung pada tingkat sumberdaya yang dimilikinya. Keunggulan kompetitif dapat dilihat dari sumberdaya lokal yang dimiliki suatu negara/wilayah. Keunggulan ini dapat dibuat dan dipertahankan melalui suatu proses internal yang tinggi. Perbedaan dalam struktur ekonomi nasional, nilai kebudayaan, kelembagaan dan sejarah turut serta dalam menentukan keberhasilan kompetitif.

2.4. Ekspor sebagai Sumber Devisa

Setiap negara berbeda dengan negara lainnya, baik ditinjau dari sudut sumber alam, iklim, letak geografis, penduduk, keahlian, tenaga kerja, tingkat harga, serta keadaan struktur ekonomi dan sosialnya. Perbedaan itu menimbulkan pula perbedaan barang yang dihasilkan, biaya yang diperlukan, serta mutu atau kualitasnya. Hal inilah yang kemudian mendorong suatu negara untuk menjalin hubungan dagang dengan negara lain guna memenuhi kebutuhan dalam negeri yang belum ataupun tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri.

Kelebihan produksi dalam negeri akan mendorong terjadinya ekspor. Pengertian ekspor menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 182/MPP/Kep/4/1998 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dan jasa dari daerah kepabeanan suatu negara. Adapun daerah kepabeanan sendiri didefinisikan sebagai wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi ekslusif dan landas kontinen yang didalamnya berlaku Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Pass

(7)

17 (1997) dalam Novianti dan Hendratno (2008) menyatakan bahwa ekspor penting dalam dua hal utama yaitu: a) bersama-sama dengan impor dalam menghasilkan neraca pembayaran (balance of payment) dari suatu negara; b) ekspor menghasilkan devisa yang memberikan peningkatan pendapatan nasional dan pendapatan riil. Secara matematis, ekspor dapat dituliskan sebagai fungsi berikut:

𝑋�𝑦�= 𝑄𝑡− 𝐶𝑡+ 𝑆𝑡−1 Dimana:

Xt = Jumlah ekspor komoditas tahun t Qt = Jumlah produksi domestik tahun t Ct = Jumlah konsumsi domestik tahun t St-1 = Stok tahun sebelumnya (t-1)

Pembelian barang ataupun pembayaran jasa dari luar negeri yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mengharuskan setiap negara berusaha untuk memiliki atau menguasai alat-alat pembayaran luar negeri. Alat pembayaran luar negeri, atau juga disebut sebagai Foreign Exchange Currency atau devisa dapat dianggap sebagai tagihan terhadap luar negeri yang dapat dipergunakan untuk melunasi hutang yang terjadi dengan luar negeri. Sumber devisa dapat berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Umumnya sumber devisa dari suatu negara adalah sebagai berikut (Amir, 1984):

1) Hasil-hasil dari ekspor barang maupun jasa;

2) Pinjaman yang diperoleh dari luar negeri, baik dari pemerintah suatu negara, badan-badan keuangan internasional, ataupun dari swasta;

3) Hadiah atau Grant dari negara asing;

4) Keuntungan dari penanaman modal di luar negeri; 5) Hasil-hasil dari pariwisata internasional.

(8)

18 2.5. Karet Alam

Karet adalah polimer hidrokarbon yang terbentuk dari emulsi kesusuan (dikenal sebagai latex), di getah pada beberapa jenis tumbuhan tetapi dapat juga diproduksi secara sintetis. Sumber utama barang dagang dari latex yang digunakan untuk menciptakan karet adalah pohon karet Para, Hevea brasiliensis (Euphorbiaceae). Pengambilan getah dilakukan dengan cara melukai kulit pohon sehingga pohon akan memberikan respon yang menghasilkan lateks lebih banyak (Departemen Perindustrian, 2007). Pohon tersebut menurut Undri (2004) pertama kali ditemukan di lembah Amazone oleh tim ekspedisi dari Perancis. Kemudian ekspedisi tersebut berhasil menemukan pohon karet yang dapat diambil getahnya tanpa harus menebang pohonnya, cukup dengan melukai kulit batang tanaman karet tersebut. Penemuan tersebut menyebabkan pengembangan penggunaan lateks semakin pesat, apalagi setelah ditemukannya proses vulkanisasi oleh Good Year tahun 1839, maka pengembangan perkebunan karet mulai berkembang secara komersil. Setelah percobaan berkali-kali oleh Henry Wickham, pohon tersebut berhasil dikembangkan di Asia Tenggara, dimana sekarang ini tanaman ini banyak dikembangkan. Menjelang tahun 1940, Indonesia dan Malaysia akhirnya menjadi produsen utama karet dunia. Upaya pengembangan tanaman karet secara perkebunan baru mulai pada akhir abad ke-19 (Undri, 2004). Lebih dari setengah karet yang digunakan sekarang ini adalah sintetik, tetapi beberapa juta ton karet alami masih diproduksi setiap tahun dan masih merupakan bahan penting bagi beberapa industri termasuk otomotif dan militer (Suciati, 2006).

Saat ini, karet alam merupakan komoditi perkebunan yang sangat penting peranannya di Indonesia karena merupakan salah satu komoditas ekspor andalan.

(9)

19 Indonesia bahkan pernah menjadi produsen karet alam nomor satu di dunia. Sebagian besar tanaman ini diusahakan oleh perkebunan rakyat.

Kedudukan Indonesia sebagai produsen utama karet alam dunia kini telah digeser oleh Thailand, akibat areal luas yang dimiliki tidak diiringi dengan produksi besar dan mutu yang baik. Namun demikian, karet masih merupakan penghasil devisa utama di jajaran komoditas ekspor perkebunan. Produksi karet alam Indonesia pada tahun 2007 sebesar 2,76 juta ton dimana 2,44 juta ton atau 88,4% dari produksi karet alam tersebut diekspor dengan nilai US$ 4,36 milyar, hanya 13,3% atau 355.717 ton yang digunakan untuk kebutuhan industri dalam negeri (Association of Natural Rubber Producing Countries, 2010). Pasar utama ekspor karet alam tertuju ke Amerika Serikat (40%) dan Singapura (30%). Selebihnya ke Jepang dan Eropa Barat, serta beberapa negara lain dalam porsi kecil (International Trade Statistics, 2010). Jenis yang diekspor terdiri atas lateks, karet sheets, karet crepe, dan karet SIR (Standard Indonesia Rubber). Jenis yang paling banyak diekspor adalah karet SIR. Selain getah karet yang berguna sebagai bahan baku berbagai produk industri, kayu karet juga layak ekspor. Jepang, Taiwan, dan beberapa negara Eropa mengimpor kayu karet dari Indonesia.

Karet dan barang karet dapat diklasifikasikan menurut The Harminized Commodity Descreption and Coding System (HS) dan kelompok barang lapangan industri (KBLI). Pengelompokkan tersebut sebagaimana yang dapat diperlihatkan pada Tabel 4 di bawah ini.

(10)

20 Tabel 4. Kelompok Karet dan Barang-Barang Karet

No. No. HS KBLI Uraian Barang

1. 40011-13 Karet Alam

4002 Karet Sintetis

2. 4003-4009 25192 Barang dari karet untuk industri:

- Benang karet

- Tabung, pipa, selang

3. 4010 25192 Belt conveyor

4. 4010 25192 Belt Transmission

5. 4011-13 25111-25112 Ban (Roda 4, Roda 2, Sepeda)

6. 4015 25199 Sarung tangan

7. 4016-17 25191 Lain-lain

Sumber: Departemen Perindustrian, 2009

2.5.1 Perbedaan Karet Alam dengan Karet Sintetis

Karet alam memiliki keunggulan-keunggulan jika dibandingkan dengan karet sintetis. Keunggulan-keunggulan tersebut antara lain (Nazaruddin dan Paimin, 2006):

 Memiliki daya elastik atau daya lenting yang sempurna;

 Memiliki plastisitas yang baik sehingga pengolahannya mudah;

 Mempunyai daya aus yang tinggi;

Tidak mudah panas (low heat build up); dan

Memiliki daya tahan yang tinggi terhadap keretakan (groove cracking resistance).

Meski demikian, karet sintetis juga memiliki kelebihan seperti tahan terhadap berbagai zat kimia, dan harganya yang cenderung dapat dipertahankan sehingga tetap stabil. Hal ini berbeda dengan karet alam yang mana harganya selalu mengalami fluktuasi, yang terkadang bahkan bergejolak (International Rubber Concortium Limited, 2010). Suatu kebijakan politik entah dari pihak pengusaha maupun pemerintah memiliki pengaruh yang besar terhadap usaha perkaretan alam secara luas.

(11)

21 2.5.1. Jenis-Jenis Karet Alam

Jenis karet alam yang dikenal luas adalah (Nazaruddin dan Paimin, 2006) :

Bahan olah karet (lateks kebun, sheet angin, slab tipis, dan lumb segar),

Karet konvensional (ribbed smoked sheet, white crepes, dan pale crepe, estate brown crepe, compo crepe, thin brown crepe remills, thick blanked crepe ambers, flat bark crepe, pure smoke blanket crepe, dan off crepe),

 Lateks pekat,

Karet bongkah atau block rubber,

Karet spesifikasi teknis atau crumb rubber,

Karet siap olah atau tyre rubber, dan

Karet reklim atau reclaimed rubber.

1) Bahan Olah Karet

Bahan olah karet adalah lateks kebun serta gumpalan lateks kebun yang diperoleh dari pohon karet Havea brasiliensis. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa bahan olah karet bukan produksi perkebunan besar, melainkan merupakan bokar (bahan olah karet rakyat) karena biasanya diperoleh dari petani yang mengusahakan kebun karet. Menurut pengolahannya bahan olah karet dibagi menjadi 4 macam: lateks kebun, sheet angin, slap tipis, dan lump segar.

a. Lateks kebun adalah cairan getah yang didapat dari bidang sadap pohon karet. Cairan getah ini belum mengalami penggumpalan.

b. Sheet angin adalah bahan olah karet yang dibuat dari lateks yang sudah disaring dan digumpalkan dengan asam semut, berupa karet sheet yang sudah digiling tetapi belum jadi.

(12)

22 c. Slap tipis adalah bahan olah karet yang terbuat dari lateks yang sudah

digumpalkan dengan asam semut.

d. Lump segar adalah bahan olah karet yang bukan berasal dari gumpalan lateks kebun yang terjadi secara alamiah dalam mangkuk penampung. 2) Karet Alam Konvensional

Terdapat beberapa macam karet olahan yang tergolong karet alam konvensional. Jenis itu pada dasarnya hanya terdiri dari golongan karet sheet dan crepe. Jenis karet alam olahan yang tergolong konvensional adalah sebagai berikut.

a. Ribbed smoked sheet atau RSS adalah jenis karet berupa lembaran sheet yang mendapat proses pengasapan dengan baik. RSS terdiri dari beberapa kelas, yaitu X RSS, RSS 1, RSS 2, RSS 3, RSS 4, dan RSS 5. b. White crepe dan pale crepe merupakan crep yang berwarna putih atau

muda. White crepe dan pale crepe juga ada yang tebal dan tipis.

c. Estate brown crepe merupakan crepe yang berwarna coklat. Disebut estate brown crepe karena banyak dihasilkan oleh perkebunan-perkebunan besar atau estate. Jenis ini dibuat dari bahan yang kurang baik seperti yang digunakan untuk pembuatan off crepe serta dari sisa lateks, lump atau koagulum yang berasal dari prakoagulasi, dan scrap atau lateks kebun yang sudah kering di atas bidang penyadapan. Brown crepe yang tebal disebut thick brown crepe dan yang tipis disebut thin brown crepe.

d. Combo crepe adalah jenis crepe yang dibuat dari bahan lump, scrap pohon, potongan-potongan sisa dari RSS, atau slep basah.

(13)

23 e. Thin brown crepe remills merupakan crepe cokelat yang tipis karena jenis ini merupakan jenis karet yang digiling ulang. Bahan yang digunakan sama dengan jenis brown crepe yang lain, hanya saja dalam prosesnya jenis ini mengalami penggilingan ulang untuk memperoleh ketebalan seperti yang telah ditetapkan.

f. Thick blanket crepes ambers merupakan jenis crepe blanket yang berwarna cokelat dan tebal, dan biasanya terbuat dari slab basah, sheet tanpa proses pengasapan, dan lumb serta scrap dari perkebunan atau kebun rakyat yang baik mutunya.

g. Flat bark crepe merupakan jenis karet tanah atau earth rubber, yaitu jenis crepe yang dihasilkan dari scrap karet alam yang belum diolah, termasuk scrap tanah yang berwarna hitam.

h. Pure smoked blanket crepe merupakan crepe yang diperoleh dari penggilingan karet asap yang khusus berasal dari RSS, termasuk didalamnya block sheet atau sheet bongkah atau sisa dari potongan RSS. i. Off crepe yang tidak tergolong dalam bentuk baku atau standar. Biasanya

dibuat dari contoh sisa penentuan kadar karet kering, lembaran RSS yang tidak bagus penggilingannya sebelum diasapi, busa-busa dari lateks, bekas air cucian yang banyak mengandung lateks, serta bahan-bahan lain yang tidak bagus, bukan dari proses pembekuan langsung dari bahan lateks yang masih segar.

(14)

24 3) Lateks Pekat

Lateks pekat adalah jenis karet yang berbentuk cairan pekat. Lateks pekat yang diperdagangkan di pasar ada yang dibuat melalui proses pendadihan (creamed lateks) dan melalui proses pemusingan (centrifuged lateks). Jenis ini biasanya banyak digunakan untuk pembuatan bahan-bahan karet yang tipis dan bermutu tinggi.

4) Karet Bongkah atau Block Rubber

Karet bongkah adalah jenis karet remah yang telah dikeringkan dan dikilang menjadi bandela-bandela dengan ukuran yang telah ditetapkan. Karet bongkah ada yang berwarna muda dan setiap kelasnya mempunyai kode warna tersendiri. Standar mutu jenis ini tercantum dalam SIR (Standard Indonesian Rubber) sebagaimana disajikan pada Tabel 5 berikut..

Tabel 5. Standard Indonesian Rubber (SIR)

SIR 5L SIR 5 SIR 10 SIR 20 SIR 50 Kadar kotoran maksimum 0,05% 0,05% 0,10% 0,20% 0,50% Kadar abu maksimum 0,50% 0,50% 1,75% 1,00% 1,50% Kadar zat asiri maksimum 1.0% 1,0% 1,0% 1,0% 1,0%

PRI minimum 60 60 50 40 30

Plastisitas-Po minimum 30 30 30 30 30

Limit warna (skala livibond)

maksimum 6 - - - -

Kode warna Hijau Hijau - Merah Kuning

Sumber: Thio Goan Loo, 1980 dalam Nazaruddin dan Paimin, 2006 5) Karet Spesifikasi Teknis atau Crumb Rubber

Karet spesifikasi teknis adalah karet alam yang dibuat khusus sehingga terjamin mutu teknisnya. Penetapan mutunya juga didasarkan pada sifat-sifat teknisnya. Warna atau penilaian visual yang menjadi dasar penentuan golongan mutu pada jenis karet sheet, crepe, maupun lateks pekat tidak berlaku untuk jenis yang satu ini.

(15)

25 6) Tyre Rubber

Tyre rubber adalah bentuk lain dari dari karet alam yang dihasilkan sebagai barang setengah jadi sehingga bisa langsung digunakan oleh konsumen, baik untuk pembuatan ban atau barang lain yang menggunakan bahan baku karet alam. Tyre rubber sudah dibuat di Malaysia sejak tahun 1972. Pembuatannya dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing karet alam terhadap karet sintetis. Jika dibandingkan dengan karet konvensional, tyre rubber adalah bahan pembuat yang lebih baik untuk ban atau produk karet lain. Kelebihan yang dimiliki karet jenis ini adalah memiliki daya campur yang baik sehingga mudah digabung dengan karet sintesis.

7) Karet Reklim atau Reclaimed Rubber

Karet reklim merupakan jenis karet yang diolah kembali dari barang-barang karet bekas, terutama ban-ban mobil bekas. Karena itu dapat dikatakan bahwa karet reklim adalah suatu hasil pengolahan scrap yang sudah divulkanisir.

2.5.2. Manfaat Karet

Karet banyak digunakan dalam kehidupan. Penggunaan bahan baku karet telah dikembangkan dengan basis industri. Umumnya alat-alat yang dibuat dari bahan karet sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari maupun dalam industri seperti penggunaannya pada mesin-mesin penggerak.

Barang yang dapat dibuat dari karet alam antara lain adalah ban kendaraan (mulai dari sepeda, motor, traktor, hingga pesawat terbang), sepatu karet, sabuk penggerak mesin besar dan mesin kecil, pipa karet, kabel, isolator, serta bahan-bahan pembungkus logam. Selain itu bahan-bahan karet juga banyak digunakan untuk

(16)

26 membuat perlengkapan seperti sekat. Pembuatan jembatan pun menggunakan karet sebagai penahan getarannya.

Manfaat karet sangat beragam. Pemanfaatannya melingkupi hampir seluruh dari kegiatan kehidupan manusia. Peralatan rumah tangga kebanyakan terbuat dari bahan dasar karet. Begitupun dengan peralatan kantor, seperti kursi, lem perekat barang, selang air, kasur busa, serta peralatan tulis menulis seperti karet penghapus. Tambang-tambang besar yang mengolah bijih besi dan batubara menggunakan belt yang sangat panjang dan terbuat dari karet untuk pengangkutannya. Bangunan-bangunan besar semakin banyak yang menggunakan bahan karet. Tak hanya itu, bahkan peralatan dan kendaraan perang juga banyak bagiannya yang terbuat dari bahan dasar karet.

Selain karet alam, karet sintetis juga banyak digunakan dalam pembuatan berbagai jenis barang. Hal ini dikarenakan karet sintetis memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh karet alam. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa manfaat karet bagi kehidupan manusia jauh lebih banyak lagi dibanding dengan yang telah disebutkan. Karet memiliki pengaruh besar terhadap bidang transportasi, komunikasi, industri, pendidikan, kesehatan, hiburan, dan banyak bidang kehidupan lain yang vital bagi kehidupan manusia. Manfaat secara tidak langsung pun banyak yang dapat diperoleh dari barang yang dibuat dari karet.

Hingga saat ini, pengembangan usaha perkebunan karet tidak hanya fokus pada prospek pengembangan dan produksi lateks saja, tetapi lebih terhadap nilai lain yang lebih tinggi dan mulia. Perkembangan karet sintetis dewasa ini mengakibatkan perlunya melihat manfaat lain dari karet alam. Berbeda dengan produksi karet sintetis yang menghasilkan buangan berupa gas karbon dioksida,

(17)

27 karet alam justru menghasilkan oksigen. Menurut data yang diperoleh dari IRSG, dalam sehari produksi O2 pada perkebunan karet mencapai 1000 ton (Bastari, 1998). Selain itu, biji karet juga dapat menghasilkan minyak yang berguna bagi industri, disamping kayu karet yang juga memiliki prospek cerah kedepannya.

2.6. Bentuk Kerjasama Antar Negara Produsen Karet Alam

Perdagangan multilateral yang mana saat ini mengarah ke dalam perdagangan yang lebih terbuka menawarkan peluang sekaligus tantangan bagi tiap negara untuk meningkatkan daya saing bagi produk yang dimilikinya maupun membentuk berbagai jenis kerjasama multilateral antar negara. Kepentingan Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar dari karet alam memberikan landasan yang cukup besar untuk berpartisipasi aktif menjadi salah satu anggota kerjasama dunia yang mengelola permasalahan tersebut. Berbagai organisasi multilateral telah terbentuk sejak lama yang mana hal ini mendorong para produsen untuk juga membentuk organisasi yang menangani masalah karet alam dunia.

Organisasi multilateral karet alam yang pertama kali didirikan pada tahun 1980 dengan nama International Natural Rubber Organization (INRO), yang tujuan utamanya adalah untuk menstabilkan harga karet alam. Anggota dari INRO terdiri dari negara-negara produsen karet alam (eksportir) yaitu Malaysia, Indonesia, Thailand, Sri Lanka, dan Nigeria, serta negara konsumen (importir) yaitu China, Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. INRO kemudian dibubarkan secara resmi pada tanggal 13 Oktober 1999. Sejak itu, tidak ada lagi organisasi yang berfungsi sebagai stabilitator. Alasan pembubaran INRO karena

(18)

28 pada saat itu, INRO tidak dapat mengatasi kemerosotan harga. Association of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC) yang berdiri sejak tahun 1970 dan terdiri dari negara-negara produsen karet alam, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai pengganti sebagian dari fungsi INRO tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Bubarnya INRO membawa dampak psikologi terhadap pasar. Hal ini dapat dilihat dari semakin merosotnya harga karet alam di pasar internasional. Berdasarkan pada latar belakang pemerosotan harga karet alam sejak terjadinya krisis moneter tahun 1997 dan dibubarkannya INRO, maka tiga negara produsen utama karet alam yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia sepakat mengadakan kerjasama di bidang perdagangan karet alam. Dalam upaya mengatasi merosotnya harga karet alam, pemerintah Thailand, Indonesia, dan Malaysia sepakat mendirikan perusahaan patungan karet alam yang bernama “International Rubber Consortium Limited (IRCo)”. Kesepakatan pendirian perusahaan patungan IRCo ini telah tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) yng ditandatangani oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI, Menteri Agriculture and Cooperatives Thailand, dan Menteri Primary Industries Malaysia pada tanggal 8 Agustus 2002 di Bali. IRCo berfungsi sebagai pelengkap dari skema penstabil harga yang lain, yaitu Supply Managemant Scheme (SMS) dan Agreed Export Tonnage Scheme (AETS) sebagaimana yang telah disepakati dalam “Joint Ministerial Declaration (Bali Declaration) 2001”, yaitu melaksanakan kegiatan strategic marketing yang meliputi pembelian dan penjualan karet alam (Zebua, 2008).

(19)

29 2.7. Penelitian Terdahulu

Penelitian terkait komoditas karet alam telah banyak dilakukan. Soekarno (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Keunggulan Komparatif Karet Alam Indonesia Tahun 2003-2007” menyatakan bahwa pertumbuhan daya saing karet alam Indonesia di pasar dunia semakin mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) yang mengalami peningkatan dari 28,403 pada tahun 2003 menjadi 37,388 pada tahun 2007. Peningkatan nilai RCA ini tidak terlepas dari semakin besarnya nilai ekspor karet alam Indonesia di pasar dunia. Selain itu, Soekarno juga menyatakan bahwa hal tersebut terkait dengan semakin gencarnya program revitalisasi perkebunan karet di Indonesia yang membawa harapan pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai penghasil karet alam terbesar di dunia pada tahun 2010.

Karet sintetik yang merupakan produk komplementer maupun substitusi dari karet alam semestinya memiliki peranan dalam pembentukan harga karet alam. Atas dasar pemikiran ini, maka dalam analisis yang menggunakan metode impulse response function dan variance decompotition, Zebua (2008) memakai harga karet sintetis dan nilai tukar Rupiah dalam menelusuri respon variabel dependent terhadap guncangan variabel independent sebesar satu standar deviasi. Hasil yang didapat menyatakan bahwa pengaruh dari guncangan harga karet sintetik terhadap harga karet RSS dan TSR20 pada jangka pendek memberikan dampak yang positif terhadap harga ekspor karet RSS di Indonesia, sedangkan dampak nilai tukar Rupiah adalah negatif. Hal ini mencerminkan bahwa keragaman harga ekspor karet alam Indonesia, khususnya RSS dan TSR20 dipengaruhi oleh keragamannya sendiri, sedangkan pengaruh dari harga karet

(20)

30 sintetik dan nilai tukar Rupiah hanya memberikan kontribusi yang berkisar 0-12% saja.

Penelitian yang dilakukan oleh Sunandar (2007) mengenai analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan komoditi tanaman karet alam di Kecamatan Cambai, Kota Prabumulih, Sumatera Selatan dengan menggunakan metode analisis PAM (Policy Analysis Matrix) memperoleh hasil bahwa usahatani yang dijalankan oleh petani karet alam Kecamatan Cambai mempunyai daya saing. Ini terlihat dengan indikator keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif (PCR dan DCR) yang lebih kecil dari satu (<1), serta keuntungan sosial dan juga keuntungan privat (finansial) yang positif. Hasil yang diperoleh untuk nilai PCR (Private Cost Ratio) sebesar 0,43% dan keuntungan finansial sebesar Rp 6.903,94/kg. sedangkan nilai DRC (Domestic Resource Cost Ratio) sebesar 0,77% dan keuntungan sosial sejumlah Rp 2.791,39/kg. Hasil dari nilai PCR yang lebih kecil dari DCR merupakan indikator yang memiliki arti bahwa komoditi usahatani karet alam (bokar) terhadap kebijakan pemerintah yang meningkatkan efisiensi dalam berproduksi. Dampak kebijakan yang diberlakukan pemerintah terhadap output menyebabkan nilai transfer output bernilai negatif (Rp 2.094,94/kg bokar) sehingga harga output di pasar domestik Kecamatan Cambai lebih rendah dibandingkan harga di pasar internasional. Analisis sensitivitas yang digunakan yaitu dengan menurunkan harga output sebesar 6%, kenaikan input (pupuk) sebesar 6%, dan analisis gabungan dengan faktor lain tidak berpengaruh, menunjukkan hasil bahwa perhitungan dengan menggunakan Matriks Analisis Kebijakan pada komoditi tanaman karet alam menunjukkan bahwa usahatani tersebut tetap mempunyai daya saing. Indikator daya saing

(21)

31 tersebut dilihat dari nilai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang menunjukkan nilai lebih kecil dari satu, sedangkan dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output yang dilihat dengan nilai EPC yang terjadi mengalami perubahan menjadi 1 (EPC=1).

Prabowo (2006) menggunakan model ekonometrika dinamis untuk menganalisis tren perdagangan karet alam antara Indonesia dengan negara-negara importir utama karet alam yaitu Amerika Serikat dan Jepang. Penelitian tersebut menghasilkan suatu kesimpulan bahwa pada kurun waktu 1995-2003 produksi karet alam Indonesia cenderung mengalami peningkatan yaitu dari 1.467 juta ton menjadi 1.798 juta ton atau meningkat sebesar 22,56%. Namun peningkatan tersebut kurang berarti jika dibandingkan dengan Thailand dan India yang dapat meningkatkan produksinya hingga dua kali lipat lebih besar dari Indonesia. Hal yang sama terjadi pada ekspor karet alam. Ekspor karet alam Indonesia meningkat dari 1.324 juta ton pada tahun 1995 menjadi 1.453 juta ton di tahun 2001. Meskipun demikian, nilai tersebut kontras dengan persentase ekspor terhadap ekspor dunia, dimana pangsa ekspor karet alam justru mengalami penurunan dari 31,2% terhadap ekspor dunia pada tahun 1995 menjadi 28,2% pada tahun 2001. Sebaliknya, Thailand mengalami peningkatan pangsa pasar dari 38,5% pada tahun 1995 menjadi 39,6% pada tahun 2001. Hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa ekspor dan produksi karet alam dunia masih didominasi oleh Thailand, Indonesia, dan Malaysia, serta Vietnam yang mulai diperhitungkan dalam jajaran eksportir utama karena terus mengalami peningkatan produksi dan ekspor. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa faktor dominan yang mempengaruhi permintaan impor karet alam Amerika Serikat adalah pendapatan

(22)

32 domestik brutonya dengan respon yang elastik. Hal tersebut berbeda dengan Jepang yang permintaannya terhadap karet alam tidak responsif terhadap perubahan pendapatan domestik bruto maupun perubahan harga impor karet alam. Namun, secara umum distorsi pasar akibat kebijakan perdagangan dan perubahan lingkungan ekonomi mempengaruhi volume perdagangan karet alam.

Referensi

Dokumen terkait

c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai ahir. Hidupkan kaset pada tape recorder dan edarkan bola tenis berlawanan dengan arah jarum jam. Pada saat tape dimatikan,

Tujuan dari project ini adalah merencanakan, merancang dan membuat sebuah algoritma pada platform robot hexapod dasar yang dapat berjalan dengan tingkat stabilitas

Festival yang menjadi salah satu ajang perlombaan paduan an- gklung terbesar di Bandung yang diselenggarakan oleh salah satu komunitas angklung universitas terbesar di

Selanjutnya dengan mengetahui bahwa jumlah kejadian rekrutmen di dalam populasi keong lola di Pulau Saparua adalah tiga kali, dan jumlah individu pada kelompok umur yang

Untuk data primer, peneliti mendapatkan data langsung dari responden mahasiswa yang pernah berkunjung ke Senayan City dalam tiga minggu terakhir dengan

TAT, Jakarta – Jika biasanya Bangkok dikenal sebagai surga belanja, Anda akan dibuat takjub dengan keindahan padang bunga matahari yang terhampar luas. Memberikan

Kajian pengendalian hama Penggerek umbi kentang (Phthorimaea operculella Zell) di gudang penyimpanan bibit dengan dengan jamur Beauveria bassiana dan daun Tegetes.. erecta