• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ARISAN, AKAD DAN PRINSIP-PRINSIP MUAMALAH DALAM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ARISAN, AKAD DAN PRINSIP-PRINSIP MUAMALAH DALAM ISLAM"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

17 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ARISAN, AKAD DAN PRINSIP-PRINSIP MUAMALAH DALAM ISLAM

1. Tinjauan Umum Tentang Arisan 1.1. Sejarah Arisan

Hampir seluruh penduduk di pelosok tanah air mengenal yang namanya arisan. Arisan yang berkembang di masyarakat bermacam-macam bentuknya. Ada arisan motor, arisan haji, arisan gula, arisan semen dan lain-lain. Ternyata fenomena ini tidak hanya terjadi di negeri ini, di negara Arab juga telah dikenal sejak abad ke sembilan hijriyah yang dilakukan oleh para wanita Arab dengan istilah jum‟ iyyah al-muwazhzhafin atau al-qardhu at-ta‟ awuni, hingga kini fenomena ini masih berkembang dengan pesat. Bila demikian sudah mendunia, tentunya tidak lepas dari perhatian dan penjelasan hukum syar‟ i bentuk mu‟ amalah seperti ini. Apalagi permasalah ini termasuk kontemporer dan belum ada sebelumnya di masa para Nabi. Fenomena ini demikian semarak dilakukan kaum Muslimin karena adanya kemudahan dan banyak membantu mereka (almanhaj 2017).

1.2. Pengertian Arisan

Di dalam beberapa kamus disebutkan bahwa arisan adalah pengumpulan uang atau barang, yang bernilai sama oleh beberapa orang, lalu diundi diantar mereka. Undian tersebut dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya (poerwadaminta 1976, 57).

Arisan dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah merupakan kegiatan mengumpulkan uang atau barang yang sama nilainya untuk

(2)

diundi diantara orang yang mengumpulkan untuk menentukan siapa yang memperoleh (primapena 2001, 480).

Ada beberapa unsur dalam arisan, pertama yaitu pertemuan yang diadakan secara rutin dan berkala, kemudian pengumpulan uang atau barang oleh setiap anggota dengan nilai yang sama, dan pengundian uang uang untuk menentukan siapa yang mendapat uang atau barang yang dikumpulkan tersebut, kedua yaitu pengumpulan uang atau barang oleh setiap anggota dengan nilai yang sama dalam setiap pertemuan, ketiga, penyerahan uang atau barang yang terkumpul kepada pemenang yang ditentukan melalui pengundian. Arisan sangat mirip dengan tabungan. Sebagai sistem untuk

menyimpan uang, namun kegiatan ini juga dimaksudkan untuk kegiatan pertemuan yang memiliki unsur "paksa" karena anggota diharuskan membayar dan datang setiap kali undian akan dilaksanakan.

Hakekat arisan ini adalah setiap orang dari anggotanya meminjamkan uang kepada anggota yang menerimanya dan meminjam dari orang yang sudah menerimanya kecuali orang yang pertama mendapatkan arisan maka ia menjadi orang yang berutang terus setelah mendapatkan arisan, dan orang yang terakhir mendapatkan arisan, maka ia selalu menjadi pemberi utang kepada anggotanya.

1.3. Manfaat Arisan

Arisan adalah hal yang lazim bagi semua pihak, baik dilakukan ditempat kerja, dengan keluarga, atau antara anggota organisasi lainnya, dalam pelaksanaan arisan terdapat aktivitas yang dilakukan diantaranya adalah :

(3)

1.3.1. Mempererat tali silaturahmi dan ikatan kekerabatan antara para anggota arisan

1.3.2. Mendiskusikan topik masalah tertentu, guna membantu masalah anggota arisan.

1.3.3. Menyisihkan sebagian penghasilan sebagai wujud kebersamaan antara anggota arisan.

Menurut pandangan Purwanto Menabung merupakan salah satu langkah baik yang banyak dipilih orang untuk menghindari kekurangan uang pada suatu saat. Selain itu, menabung juga penting jika seseorang ingin membeli suatu barang tetapi tidak memiliki uang yang memadai. Sebab, hanya dengan cara menabung keinginan tersebut akan dapat terpenuhi.

Arisan bisa menjadi salah satu cara belajar menabung, sebab saat kita mengikuti arisan kita akan dipaksa membayar iuran, sama artinya juga dengan paksaan menabung.

Arisan juga mempunyai manfaat seperti :

1. Dengan mengikuti arisan, keuangan bisa dikelola dengan baik. 2. Dengan mengikuti arisan, sama saja dengan menabung, Jika

menang arisan, uangnya bisa dimanfaatkan dengan baik. bisa membeli barang- barang dan alat-alat rumah tangga, membeli perhiasan emas, bahkan bisa digunakan untuk membeli rumah dan sejenisnya

3. Menjalin silaturahmi, dengan mengikuti arisan setidaknya hubungan dengan pesertanya makin terjalin akrab. Misalnya, arisan RT, menjadikan hubungan antar warga satu RT bisa lebih baik dengan begitu bila ada kegiatan sosialisasinya lebih mudah, begitupun dengan arisan dalam keluarga besar.

(4)

1.4. Metode Arisan

Sejatinya arisan merupakan perkumpulan dari sekelompok orang. Dimana mereka berinisiatif untuk tetap bertemu dan bersosialisasi. Digagaslah sebuah acara dimana mengumpulkan barang atau uang dalam jumlah tertentu yang telah disepakati bersama. Lalu jika uang atau barang tersebut sudah terkumpul, hanya akan ada satu orang yang bisa mendapatkannya melalui undian. Hal ini terus berjalan hingga semua anggota mendapatkannya.

Untuk memulai sebuah arisan itu menurut pendapat Purwanta dalam Skripsinya tentunya tidak mudah, perlu kesepakatan diantara para peserta arisan. Seperti kesepakatan kapan rentan waktu pengocokan arisan apakah itu perbulan atau dua minggu sekali. Kemudian juga disepakati besarnya uang arisan yang akan disetorkan, dengan begitu diharapkan arisan bisa berjalan sampai dengan pengocokan peserta terakhir. Memang tidak semua orang tertarik mengikuti kegiatan arisan, banyak yang berpendapat kegiatan ini tidak produktif dan membuang-buang waktu.

Undian merupakan salah satu cara dalam menentukan siapa yang akan mendapatkan kumpulan uang yang diperoleh dari kumpulan arisan tersebut. Dalam sistem undian ini pastinya tidak sesuai dangan apa yang diharapkan oleh para peserta arisan. Yaitu, jika salah satu dari anggota membutuhkan uang, pastinya anggota arisan tersebut hanya berpeluang kecil untuk mendapatkan undian tersebut. Sehingga bisa dikatakan, jika arisan menggunakan sistem cara pengundian ini berarti jauh dari unsur tolong menolong, dan lebih cendrung pada unsur menabung.

Selain menggunakan undian arisan juga biasanya melakukan pengocokan dengan cara Sesuai dengan kriteria. Cara yang

(5)

menentukan siapa kriteria anggota arisan ini berbeda dengan cara arisan dengan sistem undian. Pada sistem ini ketua arisan memberikan uang yang diperoleh dari para anggota arisan kepada anggota arisan yang membutuhkan. Prinsip ini lebih cenderung pada prinsip tolong menolong dan unsur menabung. Karena pada saat perkumpulan arisan dimulai, ketua arisan bertanya pada para angotanya siapa yang lagi dalam keadaan sangat membutuhkan uang. Jika para anggota arisan banyak yang ingin mendapatkan kumpulan uang arisan itu. Maka ketua arisan bertanya pada anggota yang menginginkan uang itu, dan menimbang siapakah yang lebih berhak mendapatkan uang arisan terlebih dahulu dengan persetujuan anggota arisan yang lain.

1.5. Macam-macam Arisan

Arisan merupakan praktek sosial ekonomi masyarakat yang merupakan salah satu bentuk kebiasaan atau tradisi masyarakat yang menjadi adat kebiasaan. Namun hal ini tidak otomatis dapat diterima tentu saja harus berdasarkan prinsip-prinsip yang sesuai dengan syari‟ ah Islam.

Hampir seluruh penduduk di plosok tanah air mengenal namanya arisan. Arisan yang berkembang di masyarakat bermacam-macam bentuknya, diantaranya adalah :

1.5.1. Arisan motor 1.5.2. Arisan haji 1.5.3. Arisan gula 1.5.4. Arisan semen 1.5.5. Arisan uang

(6)

menyetorkan dalam jangka waktu yang masing-masing telah ditentukan waktunya, dan tentunya berdasarkan jumlah yang disepakati bersama.

Arisan tidak hanya berkembang di negara ini saja, tapi sudah tersebar luas di negara-negara lainnya, hingga sekarang banyak sekali ditemukan adanya arisan-arisan sejenis yang telah disebutkan di atas. Hal ini karena faktor ekonomi masyarakat yang terbatas dan adanya keinginan untuk menabung sehingga dengan mengikuti arisan tersebut keinginan pun menjadi terlaksana.

1.6. Arisan dalam Sejarah Islam

Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak mungkin dapat dilakukan sendiri, namun harus diusahakan bersama-sama. Dalam memenuhi kebutuhan secara bersama tersebut akhirnya mendorong manusia untuk hidup berkelompok atau bermasyarakat (Syamsudin 2017).

Dalam perkembangannya masyarakat dalam memenuhi kebutuihan melakukan dengan cara membentuk suatu lembaga yang mampu sedikit meringankan atau memperlancar kehidupan perekonomian masyarakat terutama perekonomiannya. Banyak cara masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Baik secara langsung ataupun secara tidak langsung salah satu cara masyarakat memenuhi kebutuhannya sekaligus menjadikan masyarakat mendekatkan dengan masyarakat yaitu dengan cara arisan.

Pada masa sekarang ini arisan telah banyak dilaksanakan berbagai masyarakat baik dari kalangan bawah hingga kalangan atas. Arisan dilaksanakan dalam rangka memenuhi kebutuhan keuangan yaitu dengan cara menabung, begitulah masyarakat menyebutnya. Apabila mereka sedang beruntung maka akan memperoleh uang yang

(7)

sebenarnya uang mereka sendiri. Selain itu mereka juga mendekatkan hubungan kekerabatan dalam masyarakat atau kelompok pada suatu Desa.

Arisan dikenal oleh sebagian orang Arab dengan istilah jam‟ iyyah (kumpulan peserta arisan). Ini termasuk masalah kontemporer yang tengah marak ditekuni oleh banyak kaum muslimin mengingat manfaat yang mereka rasakan darinya. Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama ahli fatwa masa kini.

Ulama dunia mengartikan arisan dengan istilah jum‟ iyyah al- muwazhzhafin atau qardhu ta‟ awuni. Jum‟ iyyah al-muwazhzhafin dijelaskan para Ulama sebagai bersepakatnya sejumlah orang dengan ketentuan setiap orang membayar sejumlah uang yang sama dengan yang dibayarkan yang lainnya. Kesepakatan ini dilakukan pada akhir setiap bulan atau akhir semester (enam bulan) atau sejenisnya. Kemudian semua uang yang terkumpul dari anggota diserahkan kepada salah seorang anggota pada bulan ke dua atau setelah enam bulan sesuai dengan kesepakatan mereka. Demikian seterusnya, sehingga setiap orang dari mereka menerima jumlah ini berlangsung satu putaran dan dua putaran atau lebih tergantung pada keinginan anggota (almanhaj 2017).

Hukum arisan secara umum, termasuk muamalat yang belum pernah disinggung di dalam Al-Qur‘an dan As-Sunnah secara langsung, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal muamalah, yaitu dibolehkan. Para ulama menyebutkan hal tersebut dengan mengemukakan kaedah fikih yang berbunyi :

(8)

Artinya : “Hukum asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya)”(Suyuthi 1979, 65).

Menurut pendapat Ali Mustofa Yakub dalam bukunya mengatakan bahwa arisan sebenarnya menurut agama diperbolehkan, dengan catatan tidak ada pihak yang dirugikan dan tidak adanya sistem perjudian didalamnya. Kebolehan itu juga bisa menjadi haram, jika ada sesuatu yang menjadikan haram, yaitu hilangnya ketentuan-ketentuan diatas (Yaqub 2007,209).

Begitu juga dalam muamalat disebutkan keberadaan suatu serikat (perkumpulan) kerjasama itu dibentuk untuk menyediakan pinjaman tanpa bungan bagi para anggotanya. Begitupun dengan arisan dibentuk guna meminjamkan uang terhadap orang yang membutuhkan dengan memberikan pinjaman tanpa memberikan uang didalamnya. Tentu hal ini arisan berlandasan terhadap adanya rasa saling tolong-menolong antara peserta arisan tersebut.

Sebagaimana firman Allah SWT memerintahkan untuk saling tolong- menolong dalam surat Al-Maidah : 2.































Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (Q.S Al Maidah (5) : 2).(Depag 1989, 106).

Ayat di atas memerintahkan kita untuk saling tolong menolong di dalam kebaikan, sedang tujuan arisan itu sendiri adalah

(9)

menolong orang yang membutuhkan dengan cara iuran secara rutin dan bergiliran untuk mendapatkannya, maka termasuk dalam katagori tolong menolong yang diperintahkan Allah SWT.

Pendapat para ulama tentang arisan, diantaranya adalah pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syek Ibnu Jibrin serta mayoritas ulama-ulama senior Saudi Arabia. Syekh Ibnu Utsaimin berkata: ―Arisan hukumnya adalah boleh, tidak terlarang. Barang siapa mengira bahwa arisan termasuk kategori memberikan pinjaman dengan mengambil manfaat maka anggapan tersebut adalah keliru, sebab semua anggota arisan akan mendapatkan bagiannya sesuai dengan gilirannya masing-masing”

Ada juga yang tidak mendukung atau mengharamkan arisan. Mereka merujuk pada dalil dan pendapat Syaikh Sholih al-Fauzan, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh dan Syaikh Abdurrohman al-Barrok. Dengan dalil bahwa tiap-tiap peserta sama halnya meminjamkan sesuatu kepada yang lain dengan persyaratan adanya orang lain yang juga meminjamkan sesuatu, maka ini adalah pinjaman yang menghasilkan suatu manfaat (bagi yang meminjami), maka itu adalah riba, sebagaimana sabda Nabi :

(10)

Artinya :“Dikabarkan dari Abu Abdillah al- Hafiz dan Abu Sai‟ d bin abi amrin “Abu Abbas mengabarkan kepada kami “muhamad bin ya‟ kub mengabarkan kepada Ibrahim bin munqij “ mengabarkan aku kepada Idris bin yahya dari Fadholah bin u‟ baidi sahabat Nabi SAW. Sesungguhnya nabi berkata Setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat, maka itu termasuk riba.”(HR. al-Baihaqi ).(sunan al kubra, 205).

Arisan dapat dikatakan haram, jika di dalamnya terdapat unsur kezholiman, ghoror (ketidakpastian/spekulasi), atau riba, maka arisan semacam ini menjadi haram (Sarwah tt,155). Begitu juga ketika arisan dijadikan ajang menggunjing, ghibah, gossip, ngerumpi, maka arisan semacam ini jelas haram. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al- Qur‘an surat Al-Hujurot (49):12 yaitu :











































Artinya :“dan janganlah menggunjingkan satu sama lain, adakah seseorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha penerima Taubat lagi maha penyayang.”(Depag 1989, 517).

Membicarakan arisan berarti membicarakan didalamnya suatu perkumpulan yang mengadakan suatu perjanjian atau akad untuk

(11)

dilaksanakan, agar tercapai kepada satu tujuan yang diharapkan. Perjanjian itu terjadi dalam rangka untuk mewujudkan keadilan bersama sehingga dengan adanya perjanjian tersebut berarti sudah memulai suatu hubungan dalam suatu kegiatan yang didalamnya akan menimbulkan suatu hak-hak dan kewajiban antara para peserta arisan. Islam telah mewajibkan dikuatkannya akad-akad demi terjaminnya hak- hak dan kewajiban diantara sekian manusia. Maka Islam juga memperhatikan agar akad-akad itu dapat dikuatkan dengan tulisan dan saksi agar masing- masing orang dapat terjamin, serta dapat terhidar dari perbuatan dan kehilafan manakala terjadi perselisihan faham dan pertentangan (wahyuningsih 2017).

1.7. Pandangan Islam mengenai kegiatan arisan

Arisan merupakan kegiatan mengumpulkan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi diantara mereka untuk menentukan siapa yang memperolehnya, undian dilaksanakan dalam sebuah pertemuan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya. Dengan defenisi diatas jelaslah bahwa arisan terdiri dari dua kegiatan pokok yaitu:

1.7.1. Mengumpulkan uang atau barang yang bernilai sama

1.7.2. Mengundi diantara pengumpul tersebut guna menentukan siapa yang memperolehnya

Undian bukanlah kata yang asing dan dalam hadis disebut qur’ah. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah SAW pada istri-istrinya ketika beliau hendak bepergian.

(12)

Artinya : ”Dari ‘Aisyah ia berkata : Rasulullah SAW apabila pergi, beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya, lalu jatuhlah undian itu pada Aisyah dan Hafsah, maka kamipun bersama beliau.” (HR Muslim, no 4477)

Ketika Maryam kecil, untuk menetapkan siapa yang berhak memeliharanya, mereka mengadakan pengundian dan nabi Zakarialah yang berhak memeliharanya. Allah SWT berfirman dalam surat ali-Imran ayat 44 yang berbunyi :











































Artinya : “yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepada kamu (ya Muhammad); Padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa”. (Depag 1989, 55)

(13)

Hukum kegiatan arisan secara konsep adalah mubah. Hal ini karena didasarkan atas kesepakatan bersama, tidak mengandung unsur riba dan kedudukan semua orang setara dan memiliki hak yang sama. Secara mekanisme arisan juga mubah karena dalam pengundiannya tidak merugikan pihak tertentu (tidak ada yang menang atau kalah). Secara pelaksanaan apabila seseorang memenuhi janjinya sesuai dengan kesapakatan tersebut maka hukumnya mubah.

Biasanya sistem arisan yang diadakan di RT dan RW di tengah masyarakat adalah sistem yang telah dibenarkan dalam syari’at Islam. Selama tidak ada hal-hal yang mengandung penipuan, penghianatan, gharar, dan riba. Hukumnya halal dan akan tetap halal selama tidak ada pelanggaran dan penyelwengan dan hukumnya akan berubah mankala hal-hal tersebut diatas terjadi. Arisan marupakan cara lain untuk menabung, karena kebanyakan orang yang belum terbiasa menabung tanpa ada dorongan yang kuat. Disisi lain arisan ada unsur tolong menolong dari satu kelompok kepada anggota lainnya. Tolong menolong diperintah Allah SWT dalam Islam (Maryuni 2015).

2. Akad

2.1. Pengertian akad

Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, setiap manusia perlu membuat kesepakatan atau dengan pihak lain dalam interaksi sosialnya sebagai anggota masyarakat. Kesepakatan atau perjanjian itu tidak dapat terlaksana tanpa ada kerjasama, tolong menolong dan pertukaran kebutuhan berupa barang dan jasa (manfaat). Kesepakatan atau perjanjian untuk melakukan tukar menukar kebutuhan berupa barang

(14)

atau jasa itu dalam Hukum Islam disebut akad.

Kata “akad” berasal dari bahasa Arab ‘aqada-ya’qidu- aqdan yang secara bahasa berarti membuat ikatan, perjanjian dan kesepakatan, baik ikatan itu secara konkrit (nyata) seperti mengikat tali, maupun secara abstrak (maknawi) seperti membuat ikatan atau kesepakatan jual beli (‘aqdu al-bai’), ikatan perkawinan (‘aqdu al-zawaj), ikatan atau kesepakatan sewa –menyewa (‘aqdu al-ijarah). Dalam bahasa Indonesia kata ‘aqdan ditulis menjadi “Akad”

Makna akad secara bahasa (etimologi) ini berkembang menjadi makna istilah (terminologi) dalam hukum Islam. Makna akad menurut istilah ulama secara umum berarti : “segala sesuatu yang diniatkan atau ditekadkan didalam hati setiap orang yang melakukannya, baik niat atau tekad itu muncul dari keinginan satu pihak tanpa membutuhkan persetujuan atau keinginan pihak lain, seperti niat atau tekad untuk mewakafkan sesuatu, keinginan atau tekad untuk membebaskan hutang dari seseorang, niat atau tekad untuk menjatuhkan talak, maupun niat atau tekad itu muncul dari satu pihak dan membutuhkan persetujuan atau kesepakatan pihak lain, seperti akad jual beli, keinginan pembeli untuk membeli suatu barang atau jasa membutuhkan persetujuan atau kesepakatan penjual untuk menjual barang/jasanya pada harga yang disepakati bersama.

2.2. Rukun dan Syarat akad 2.2.1. Rukun akad

Menurut mayoritas ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, rukun akad ada tiga :

a) Al- Muta’aqidaini, dua pihak yang melakukan akad (subjek) b) Al-Ma’qud ‘alaih, yaotu yang menjadi objek dalam akad

(15)

c) Al-shighat, yaitu format akad yang terdiri dari ijab (kesediaan mengadaksan ikatan atau kesepakatan) dan qabul (kesediaan menerima ikatan atau kesepakatan).

Menurut ulama Hananfiyah, rukun akad hanya satu, yaitu shighat ijab dan qabul, yaitu ungkapan yang digunakan sebagai pernyataan dari kerelaan dan kemauan kedua pihak, baik berupa ucapan, maupun berupa perbuatan, tulisan atau isyarat (Bahar 2014, 4).

2.2.2. Syarat Akad

2.2.2.1. Aqid (orang yang berakat), pihak-pihak yang melakukan akad itu telah cakap bertindak hukum (mukallaf) atau jika objek akad itu merupakan milik orang yang belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya (Haroen 2000, 101). 2.2.2.2. Ma’qud ‘alaih (objek akad), disyaratkan :

a. Sesuatu yang disyariatkan ada dalam akad, maka tidak sah melakukan akad terhadap sesuatu yang tidak ada, seperti jual beli buah-buahan masih dalam putik. Akan tetapi para fuqahah mengecualikan ketentuan ini untuk ada salam, ijarah, hibah, dan istisna’, meskipun barangnya belum ada ketika akad, akadnya sah karena dibutuhkan manusia.

b. Objek akad adalah sesuatu yang dibolehkan syariat, suci, tidak najis atau mutanajis (benda yang becampur najis). Tidak dibenarkan melakukan akad terhadap sesuatu yang dilarang

(16)

agama (mal ghairu mutaqawwim) seperti jual beli darah, narkoba dan lain sebagainya

c. Objek akad dapat diserahterimakan dalam akad. Apabila barang tidak dapat diserah terimakan ketika akad, maka akadnya batal, seperti jual beli burung di udara

d. Objek yang diakadkan diketahui oleh kedua belah pihak yang berakat. Caranya dapat dilakukan dengan menunjukan barang atau dengan cara menjelaskan ciri-ciri atau kriteria barang. Keharusan mengetahui objek yang diakadkan ini menurut fuqaha’ adalah untuk menghindari terjadinya perselisihan antara para pihak yang berakad.

e. Bermanfaat, baik manfaat yang akan diperoleh berupa materi ataupun inmateri. Artinya, jelas kegunaan yang terkandung dari apa yang diakadkan tersebut.

2.2.2.3. Shighat akad, merupakan sesuatu yang bersumber dari dua orang yang akan melakukan akad yang menunjukan tujuan kehendak batin mereka yang mekukan akad. Sighat terdiri dari ijab dan qabul. Ijab dan qabul disyaratkan :

a. Jelas menunjukan ijab dan qabul, artinya masing-masing dari ijab dan qabul jelas menunjukan maksud dari kehendak dua orang yang berakad. b. Bersesuaian antara ijab dan qabul. Kesesuaian itu

(17)

seeorang mengatakan jual maka jawabannya adalah beli atau sejenisnya. Bila tejadi perbedaan antara ijab dan qabul, akad tidak sah.

c. Bersambung antara ijab dan qabul. Ijab dan qabul terjadi pada satu tempat yang sama jika kedua belah pihak hadir bersamaan. Atau pada suatu tempat yang diketahui oleh pihak yang tidak hadir dengan adanya ijab (Rozalinda 2016, 51).

2.3. Bentuk Shighat (ijab dan qabul) :

Ungkapan tentang kehendak akad bisa diwujudkan dengan dengan menggunaa shighat yang menunjukan keinginan untuk membentuk suatu akad. Shighat tersebut bisa berbentuk ucapan , perbuatan, isyarah, atau tulisan.

2.3.1. Lafal atau ucapan

Lafal, ucapan atau perkataan merupakan cara alamiah untuk mengungkapkan kehendak yang terkandung dalam hati, yang banyak digunakan oleh manusia karena mudah dan jelas. Bahasa dan redaksi yang digunakan adalah bahasa dan redaksi yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak yang melakukan akad yang menunjukan kerelaan sesua dengan adat kebiasaan yang telah dikenal dan berlaku dikalangan masyarakat.

2.3.2. Akad dengan perbuatan

Dalam istilah fiqh , akad semacam ini disebut akad bil mu’athah atau at-ta’ati atau al-murawadhah. Pengertian akad bil mu’athah didefenisikan oleh Wahbah Zuhaili sebagai berikut :

(18)

Artinya : Akad bil mu’athah adalah suatu akad dengan cara tukar menukar langsung dengan perbuatan yang menunjukan kerelaan tanpa melafalkan dengan ijab dan qabul.

Dari defenisi terdapat dapat dipahami bahwa akad bil mu’athah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua orang dengan perbuatan langsung tanpa menggunakan ijab dan qabul.

Para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan akad bil mu’athah :

a. Menurut mazhab Hanafi dan Hanbali, akad bil mu’athah dalam hal-hal yang telah dikenal oleh manusia hukumnya sah bauk barangna itu tidak begitu berharga (murah), seperti telur dan roti, maupun berharga (mahal), seperti rumah, tanah, mobil dan sebagainya. Dalam hal ini disyaratkan harga barang yang dijadikan objek akad telah diketahui dengan jelas. Apabila harganya tidak diketahui maka akadnya menjadi fasid (rusak). Disamping itu, syarat lainnya bahwa tindakan ta’athi bukan menggambarkan ketidakrelaannya atas akad yang dilakukan.

b. Menurut mazhab Maliki dan asal Ahmad, akad dengan perbuatan atau bil mu’athah hukumnya sah, apabila perbuatan tersebut secara jelas menunjukan kerelaan kedua belah pihak baik adanya sudah dikenal orang banyak atau belum. Pendapat yang kedua ini lebih luas dan longgar dari

(19)

pada pendapat pertama yang membatasi dalam akad yang sudah dikenal oleh manusia. Dengan demikian menurut akad ini semua jenis akad, baik jual beli, ijarah, syirkah, wakalah dan akad-akad yang lain, kecuali akad nikah hukumnya sah dengan jalan mu’athah. Hal ini karena landasannya adalah adanya sesuatu yang menunjukan kehendak ke dua belah pihak untuk membuat akad dan menunjukkan kerelaan keduanya, serta kesungguhannya.

c. Menurut mazhan Syafi’i, syi’ah dan zahiriyah akad dengan perbuatan atau bel mu’athah hukumnya tidak sah, karena tidak menunjukan keseriusan dalam bertransaksi. Hal ini oleh karena kerelaan adalah sesuatu yang samar, yang tidak bisa ditunjukkan kecuali dengan perkataan (lafal). Sedangkan perbutan memungkinkan adanya maksud lain dari akad, sehingga tidak bisa dipegangi sebagai akad. Oleh karena itu, disyaratkan untuk terwujudnya akad harus melalui lafal yang jelas atau kinayah atau semacamnya seperti isyarah.

2.3.3. Akad dengan isyarah

Bagi orang yang mampu berbicara tidak dibenarkan akad dengan isyarat, melainkan menggunakan lisan atau tulisan. Adapun bagi mereka yang tidak dapat berbicara , boleh menggunakan isyarat, tetapi jika tulisannya bagus dianjurkan menggunakan tulisan. Hal itu dibolehkan apabila ia sudah cacat sejak lahir. Jika tidak sejak lahir, ia harus berusaha untuk tidak menggunakan isyarat.

2.3.4. Akad dengan tulisan

(20)

mampu berbicara ataupun tidak, dengan syarat tulisan tersebut harus jelas, tampak dan dapat dipahami oleh keduanya. Sebab tulisan sebagaimana dalam kaedah fiqhiyah (tulisan Bagaikan Perintah)

Ulama syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad dengan tulisan adalah sahjika dua orang yang akad tidak hadir, akan tetapi jika yang akad itu hadir, tidak dibolehkan memakai tulisan sebab tulisan tidak dibutuhkan (Syafei 2001, 51).

3. Prinsip-Prinsip Muamalah dalam Islam

Agar kegiatan muamalah seseorang sejalan dengan ketentuan agama maka dia harus menyelaraskan dengan prinsip-prinsip muamalah yang digariskan dalam ajaran Islam. Prinsip-prinsip muamalah adalah hal-hal yang pokok yang harus dipenuhi dalam melakukan aktifitas yang berkaitan dengan hak-hak kebendaan dengan sesama manusia. Hal-hal yang menjadi prinsip-prinsip dalam bermuamalah adalah :

3.1. Mubah

Prinsip dasar dalam setiap bentuk muamalah dalam Islam adalah mubah atau boleh. Setiap akad muamalah yang dilakukan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya adalah boleh selama tidak ada dalil yang menyatakan keharamannya. Hal ini didasarkan kepada kaidah fiqh :

Artinya : “Hukum asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada

(21)

mengharamkannya)”.

Dimaksud dengan dalil pada kaidah ini adalah dalil yang bersumber dari nash dan dalil atau qarinah (tanda atau indikasi) yang ada pada akad, seperti QS al-Baqarah 275 :











Artinya : “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”(Depag 1989, 47).

Maka seluruh bentuk jual beli yang memenuhi rukun dan syarat dibolehkan dalam Islam. Namun apabila ada karinah atau indikasi yang mengarah kepada bentuk yang terlarang, misalnya ada unsur tipuan dalam jual beli maka jual beli menjadi terlarang.

3.2. Halal

Dalam melakukan muamalah, benda yang akan ditransaksikan harus suci zatnya sesuai dengan QS al-Maidah ayat 88 :



























Artinya : “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”(Depag 1989, 122).

Halalan at-Thayyiban pada ayat ini mengandung pengertian zat pada benda yang ditransaksikan harus halal dan cara memperoleh

(22)

benda tersebut harus dengan cara yang halal pula. Dengan demikian tidak dibenarkan melakukan muamalah terhadapa benda yang haram secara zat seperti bangkai dan tidak dibenarkan melakukan muamalah terhadap benda yang diperoleh dengan cara yang tidak sah seperti jual beli barang hasil curian dan lain sebagainya.

3.3. Sesuai dengan ketentuan syari’at dan aturan pemerintah

Dalam Islam prinsip yang berlaku adalah melakukan transaksi harus sesuai dengan apa yang diatur dalam syari’at dan peraturan pemerintah. Maka transaksi yang dilakukan dengan cara melawan hukum atau bertentangan dengan syari’at Islam dipandang tidak sah. Hal ini sesuai dengan QS an-Nisa’ ayat 59 :





















Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”(Depag 1989, 89). Maksud dari ayat diatas adalah setiap muamalah yang dilakukan harus mamatuhi dan mentaati ketentuan yang ada dalam al-qur’an dan hadis serta ijma’ ulama serta peraturan pemerintah. Sebagai prinsip dari syari’at adalah menentangkan sikap amal ma’ruf nahi mungkar. Dengan sadar prinsip ini segala transaski yang membawa ke arah positif atau kebaikan dapat dibenarkan selama tidak bertentangan dengan ketentuan syari’at. Sebaliknya setiap transaksi yang membawa ke arah negatif atau meragukan para pihak dilarang oleh syari’at. Begitu juga dengan muamalah yang dilakuakan harus dapat merealisasikan tujuan yaitu mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan dalam kehidupan manusia.

(23)

3.4. Azas manfaat

Benda yang akan ditransaksikan harus mempunyai manfaat. Baik manfaat yang dapat dirasakan secara langsung seperti buah-buahan ataupun tidak langsung seperti bibit tanaman. Jadi tidak dibenarkan melakuakan transaksi terhadap benda yang akan mendatangkan kesia-siaan pada para pihak. Karena muamalah dalam Islam harus mengandung manfaat dan menghindari bentuk kesia-siaan, karena kesia-siaan itu termasuk sikap mubazir dan orang yang melakukan tindakan mubazir termasuk saudara setan sesuai dengan QS al-Isra’ ayat 27 :





















Artinya : “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”(Depag 1989, 284).

Prinsip ini dilahirkan dari ajaran Islam yang melarang seseorang melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Membuang-buang harta merusak harta, tidak hanya merugikan diri sendiri juga bisa merugikan orang lain.

3.5. Azas kerelaan

Dalam muamalah, setiap akad atau transaski yang dilakukan dengan sesama manusia harus dilakukan atas dasar suka sama suka atau kerelaan. Hal ini dimaksudkan dengan dalam setiap transaksi tidak terjadi karena paksaan dan intimidasi pada salah satu pihak atau

(24)

pihak lain, sesuai dengan QS an-Nisa’ ayat 29 :

















































Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu(Depag 1989, 83).

‘An taradin dalam prinsip ini dimaksud bahwa transaksi muamalah harus dilakukan atas kemauan dan pemikiran sendiri, bukan atas dasar terpaksa atau dipaksa orang lain. Secara hukum kerelaan atau suka sama suka merupakan persoalan bathiniah dan tidak bisa dibuktikan karena sulit untuk mengukur sejauhmana seseorang rela terhadaap transaksi yang dilakukannya. Maka prinsip ‘an taradin ini harus dimanifestasi melalui akad yaitu ijab dan qabul, atau rela dalam bentuk mu’athah yaitu saling memberi antara para pihak yang melakukan transaksi tanpa lafaz ijab dan qabul seperti yang berlaku di pasar swalayan pada saat ini.

3.6. Niat

Niat merupakan sesuatu yang sangat menentukan nilai suatu perbuatan, karena hasil dari suatu perbuatan tergantung pada niat. Hal

(25)

ini sesuai dengan hadis nabi :

Artinya : “sesungguhnya satiap perbuatan dinilai dan setiap hasil perbuatan tergantung pada apa yang diniatkan”.

Baik dan buruknya hasil dan transaksi tergantung pada niat seseorang, karena niat merupakan tolak ukur untuk membedakan ikhlas atau tidaknya seseorang. Kalau seseorang melakukan jual beli atau transaksinya lainnya dengan niat karena Allah maka perbuatan yang dilakukannya itu akan bernilai ibadah di sisi-Nya. Tapi jual beli atau transaksi bisnis lainnya dilakukan hanya untuk mendapatkan keuntungan semata, maka yang akan diperoleh hanyalah nilai materinya saja tanpa ada nilai ibadah di dalamnya. Karena niat disyari’atkan dalam Islam adalah untuk membedakan antara perbuatan yang benilai ibadah dengan perbuatan yang hanya kebiasaan atau rutinitas.

3.7. Azas tolong menolong

Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan manusia lain dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Karena manusia juga makhluk yang lemah, dia tidak mampu memenuhi segala kebutuhan hidupnya sendiri, dengan demikian manusia akan saling membutuhkan satu sama lainnya. Untuk itu perlu dikembangkan sikap hidup tolong menolong dengan sesama manusia dalam setipa aspek kehidupan, sesuai dengan QS al-Maidah ayat 2 :



















(26)

Artinya : “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”(Depag 1989, 106).

Setiap transaksi yang dilakukan harus ada unsur tolong menolong di dalamnya. Misalnya pada transaksi jual beli, pada dasarnya jika akad dilakukan dengan sebaik-baiknya maka di dalamnya sudah ada bentuk aplikasi tolong menolong dengan sesame manusia. Seorang penjual membutuhkan uang dari pembeli, demikian juga seorang pembeli membutuhkan barang dari penjual, secara tidak langsung masing-masing pihak telah menolong satu sama lainnya melalui akad jual beli ini. Penjual mendapatkan uang yang dibutuhkannya sedangkan pembeli mendapatkan barang yang dibutuhkannya pula. Inilah bentuk ta’awun yang disyari’atkan dalam transaksi muamalah.

Referensi

Dokumen terkait

Memori pada intinya berfungsi untuk ‘mengingat’ atau menyimpan suatu informasi. Memori penting bagi sistem MCS-51 karena semua program dan data tersimpan dalam

Pengertian dari operasi decoding atau inferensi dalam Hidden Markov Model adalah penarikan kesimpulan berdasarkan asumsi yang diperoleh dari nilai probabilitas observasi

Untuk dapat menangkap sinyal biolistrik otak yang terdapat pada kulit tempurung kepala maka dibutuhkan sensor elektroda jenis Ag-Agcl yang ditempelkan pada kulit kepala,

Sehingga secara statistik metode Brass dan metode Trussell dapat digunakan untuk menghitung angka harapan hidup, karena angka harapan hidup yang dihasilkan dari kedua metode

Hubungan manajemen perubahan dan lingkungan kerja berjalan secara beriringan dalam upaya meningkatkan kinerja pegawai, serta diduga dalam pemberian motivasi kerja

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunianya yang telah dianugerahkan sehingga penulisan skripsi dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran

Ketika nilai wajar pada saat pengakuan awal berbeda dari harga transaksinya, Perusahaan mencatat berdasarkan nilai wajar hanya apabila nilai wajar tersebut mencerminkan harga