BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Taman Hutan Raya
Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli atau bukan jenis asli, yang dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budaya, pariwisata, dan rekreasi (P.10/Menhut-II/2009). Beberapa kriteria penunjukan dan penetapan kawasan Taman Hutan Raya adalah (PP No.68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam):
1. Memiliki ciri khas baik asli maupun buatan baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang ekosistemnya sudah berubah; 2. Memiliki keindahan alam dan atau gejala alam;
3. Mempunyai luas yang cukup yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan atau satwa baik jenis asli dan atau bukan asli.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 107/Kpts-II/2003 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan Pengelolaan Taman Hutan Raya menyebutkan bahwa pemerintah atau kota dapat melakukan pengelolaan terhadap Tahura yang terdapat di dalam wilayah administratif kota bersangkutan. Saat ini Taman Hutan Raya Pancoran Mas sudah sepenuhnya dikelola oleh Pemerintah Kota Depok dibawah Badan Lingkungan Hidup Kota Depok. Suatu kawasan Taman Hutan Raya dikelola berdasarkan satu rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek ekologis, teknis, ekonomis, dan sosial budaya. Rencana pengelolaan Tahura setidaknya memuat tujuan pengelolaan dan garis kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan. Upaya pengawetan kawasan taman hutan raya dilaksanakan dalam bentuk (Ditjen PHKA 2011):
1. Perlindungan dan pengamanan 2. Inventarisasi potensi kawasan
4. Pembinaan dan pengembangan tumbuhan dan atau satwa. Pembinaan pengembangan bertujuan koleksi.
2.2 Interaksi Masyarakat dengan Lingkungan
Menurut Soemarwoto (1997) diacu dalam Kamakaula (2004), lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati makhluk hidup bersama dengan benda-benda hidup dan tak hidup di dalamnya. Knowies dan Wareing (1976) diacu dalam Kamakaula (2004) menyatakan bahwa manusia selain berinteraksi dengan lingkungannya, juga menjadikan lingkungan sebagai sumber aspirasinya. Dengan demikian jika manusia menempati suatu tempat dalam jangka waktu yang lama, maka akan menjadi bagian/komponen dari ekosistem yang sama. Perubahan yang dilakukannya pada lingkungan alam juga akan mengubah ekosistemnya.
Interaksi antara masyarakat dan kawasan dibutuhkan agar masyarakat mengetahui dan merasakan secara langsung manfaat dari kawasan. Salah satu yang menjadi penyebab kesadaran masyarakat yang rendah terhadap perlindungan kawasan konservasi adalah keterbatasan pengetahuan mengenai berbagai manfaat jangka panjang kawasan dan sumberdayanya (Wiratno et al. 2004). Interaksi manusia dengan lingkungan alamnya termasuk kawasan hutan dapat dikaji berdasarkan persepsi dari masyarakat tersebut yang ditunjukan melalui perilaku dan tindakan dalam pemanfaatan kawasan hutan sesuai dengan daya dukungnya. Semakin intensif suatu masyarakat memanfaatkan kawasan hutan tersebut maka interaksinya semakin tinggi (Kamakaula 2004).
2.3 Tumbuhan Berguna
Menurut Soekarman dan Riswan (1992), berdasarkan pemanfaatannya tumbuhan di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa kegunaan antara lain sebagai bahan pangan, sandang, obat-obatan dan kosmetika, papan dan peralatan rumah tangga, tali-temali dan anyaman, pewarna dan pelengkap upacara adat atau ritual serta kegiatan sosial.
2.3.1 Tumbuhan penghasil pangan
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia (UU No. 7 Tahun 1996). Siswoyo et al. (2004) menyebutkan bagian tumbuhan yang dapat digunakan sebagai sumber pangan antara lain adalah buah, daun, umbut, batang, bunga, biji, getah, dan tubuh buah (jamur).
Salah satu bahan pangan adalah rempah sebagai bumbu. hasil penelitian Hasairin (1994) menyebutkan bahwa terdapat 29 jenis rempah yang digunakan oleh Suku Batak Angkola dan Mandailing sebagai bumbu masakan adatnya. Beberapa spesies tumbuhan yang digunakan diantaranya aren (Arenga pinnata), asam galugur (Garcinia macrophylla), bawang merah (Allium cepa), bawang daun (Allium odorum), dan cabe merah (Capsicum annura).
2.3.2 Tumbuhan obat
Tumbuhan obat dapat berupa tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan obat tradisional, sebagai bahan baku obat (prokusor), dan diekstraksi sebagai obat (SK Menteri Kesehatan No.194/SK/Menkes/IV/1978). Dalam pemanfaatannya, tumbuhan obat terbagi dalam beberapa kelompok (Zuhud et al. 1994), yaitu:
1. Tumbuhan obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercaya masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional.
2. Tumbuhan obat modern, yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.
3. Tumbuhan obat potensial, yaitu spesies tumbuhan yang diduga mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat tetapi belum secara ilmiah atau penggunaannya sebagai bahan obat tradisional sulit ditelusuri.
Obat bahan alam Indonesia terdiri atas tiga kelompok yaitu jamu, obat herbal, dan fitofarmaka. Jamu merupakan obat bahan alam yang belum teruji secara preklinis; obat herbal merupakan obat alam yang telah teruji secara
preklinis; dan fitofarmaka merupakan obat bahan alam yang telah teruji secara preklinis dan klinis (SK. Kepala BPOM No.HK.00.05.4.2411/2004).
2.3.3 Tumbuhan aromatik
Tumbuhan penghasil aroma atau wangi-wangian yang juga disebut tumbuhan penghasil minyak atsiri memiliki ciri-ciri berbau dan aroma karena fungsi utamanya adalah sebagai pengharum baik parfum, kosmetik, penyegar ruangan, sabun, pasta gigi, pemberi rasa pada makanan maupun produk rumah lainnya (Kartikawati 2004).
Heyne (1987) menyebutkan tumbuhan yang dapat menghasilkan minyak atsiri diantaranya spesies tumbuhan yang berasal dari beberapa famili seperti akar wangi (Andropogon zizinoides) dari famili Graminae, kayu manis (Cinnamomum burmanii) dari famili Lauraceae, jahe (Zingiber officinale) dari famili Zingiberaceae, sirih (Piper betle) dari famili Piperaceae, cendana (Santalum album) dari famili Santalaceae, dan lainnya.
2.3.4 Tumbuhan hias
Tumbuhan hias menurut Arafah (2005) merupakan tumbuhan yang memiliki nilai estetika keindahan yang menjadi komoditas holtikultura non-pangan yang dalam kehidupan sehari-hari dibudidayakan untuk hiasan. Tumbuhan hias banyak dibudidayakan yang kemudian disebut dengan tanaman hias. Departemen Pertanian mendefinisikan tanaman hias adalah tanaman yang mempunyai nilai keindahan baik karena bentuk, warna daun, tajuk maupun bunganya, sering digunakan sebagai penghias pekarangan atau ruangan di rumah-rumah atau gedung perkantoran. Heyne (1987) menyebutkan beberapa spesies tumbuhan dari famili Palmae, Graminae, Leguminosae, Sapindaceae, dan lainnya dapat dimanfaatkan bagian biji atau buahnya untuk keperluan hiasan.
2.3.5 Tumbuhan penghasil bahan pewarna
Menurut Lemmens dan Soetjipto (1999), pewarna nabati adalah bahan pewarna yang berasal dari tumbuhan, bahan-bahan ini diekstrak dengan cara fermentasi, direbus, atau secara kimiawi. PROSEA dalam situs jejaring resminya
menyebutkan bahwa tumbuhan atau bagian tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pewarna baik untuk tekstil maupun batik.
Katz (2004) menyebutkan bagian tumbuhan yang dapat digunakan untuk bahan baku pewarna adalah akar, kulit batang, daun, arbei, biji, ranting, cabang pohon, dan umbi akar. Masing-masing bagian tersebut dapat menghasilkan berbagai warna dengan ketajaman. Penggunaan yang tepat pada pewarna nabati tahan terhadap sengatan matahari.
2.3.6 Tumbuhan tali-temali dan anyaman
Kepandaian anyam mengayam tidak hanya menciptakan motif tetapi yang lebih penting adalah penciptaan barang atau alat baik untuk pembawa atau pun wadah. Tumbuhan penghasil tali, anyaman, dan kerajinan adalah tumbuhan yang biasa digunakan untuk membuat tali anyaman, maupun kerajinan (Waluyo 1992). Hasil kerajinan anyaman yang terbuat dari rotan banyak ditemukan di daerah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi sedangkan kerajinan anyaman yang terbuat dari bambu umumnya berasal dari daerah Bali, Jawa, dan Sulawesi (Widjaja et al. 1989). Suku Melayu Tradisional memanfaatkan 21 spesies tumbuhan sebagai bahan baku penghasil tali, anyaman, dan kerajinan. Bagian yang dimanfaatkan antara lain rotan, daun, batang, kulit, dan isi batang. Spesies tumbuhan yang dimanfaatkan sebagian besar dari famili pandan-pandanan dan rotan (Fakhrozi 2009).
2.3.7 Tumbuhan penghasil kayu bakar
Tumbuhan yang dapat digunakan sebagai penghasil kayu bakar pada dasarnya adalah semua jenis tumbuhan berkayu yang berbentuk pohon. Beberapa kriteria tumbuhan yang dapat dijadikan bahan kayu bakar menurut Sutarno (1996) diacu dalam Arafah (2005) adalah:
1. Tahan terhadap kekeringan dan toleran iklim.
2. Pertumbuhan tajuk baik setiap tumbuh pertunasan yang baru.
3. Pertumbuhan cepat, volume hasil kayu maksimal tercapai dalam waktu yang singkat.
5. Menghasilkan kayu yang padat dan tahan lama ketika dibakar. 6. Menghasilkan sedikit asap dan tidak beracun apabila dibakar.
2.3.8 Tumbuhan penghasil pakan ternak
Menurut Manetje dan Jones (1992) diacu dalam Kartikawati (2004), pakan ternak adalah tanaman konsentrasi rendah dan mudah dicerna yang merupakan penghasil pakan bagi satwa herbivora. Hidayat (2009) menyebutkan bahwa masyarakat di Kampung Adat Dukuh memanfaatkan 33 spesies sebagai pakan ternak. Pakan ternak di Kampung Adat Dukuh tumbuh liar di ladang, kebun dan sawah serta beberapa spesies sengaja ditanam sebagai cadangan. Beberapa contoh spesies pakan ternak yang dimanfaatkan diantaranya kaliandra (Caliandra haematochepala), bandotan (Ageratum conyzoides), lamtoro (Leucaena leucocephala), dan gamal (Gliricidia maculata). Bagian yang dimanfaatkan untuk pakan ternak antara lain daun, ranting, batang, dan buah muda.
2.3.9 Tumbuhan penghasil bahan bangunan
Pohon-pohon di hutan merupakan sumber bahan bangunan yang dapat digunakan secara berkesinambungan. Pemanfaatan kayu oleh masyarakat Dayak Meratus biasanya dilakukan apabila ingin membuat rumah. Pemilihan jenis-jenis kayu tersebut biasanya berdasarkan pertimbangan kekuatan kayu dan ketahanan terhadap rayap (Kartikawati 2004).
2.3.10 Tumbuhan untuk ritual adat dan keagamaan
Tumbuhan yang bersifat spiritual, magis, dan ritual merupakan salah satu pengetahuan tentang tumbuhan yang dimiliki oleh masyarakat. Indonesia memiliki kurang lebih 350 etnis budaya yang memiliki pengetahuan etnobotani dalam pemanfaatan maupun penggunaannya di masing-masing daerah khususnya yang dipakai untuk upacara adat. Dalam upacara-upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan daur hidup, tumbuhan banyak digunakan untuk keperluan tersebut (Kartiwa & Martowikrido 1992).
2.3.11 Tumbuhan penghasil pestisida nabati
Pestisida nabati menggunakan senyawa sekunder tanaman sebagai bahan bakunya, beberapa senyawa sekunder tersebut diantaranya eugenol, azadirachtin, geraniol, sitronelol, dan tannin. Senyawa-senyawa tersebut dapat mengendalikan berbagai jenis hama dan penyakit tanaman. Bahan aktif pada pestisida nabati kurang toksik terhadap mamalia dan organisme bukan sasaran seperti parasit, predator, dan polinator sehingga relatif aman untuk kelestarian lingkungan. Pestisida nabati juga mudah terurai oleh cahaya matahari sehingga residunya yang terbawa pada produk pertanian dapat diabaikan dan tidak menyebabkan resistensi hama karena bahan aktifnya tersusun atas beberapa senyawa kimia (Wiratno 2010).