• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pada abad XV, Pengging tercatat dalam Babad Jaka Tingkir 1. sebagai daerah Pajang-Pengging. Berdasarkan cakupan wilayahnya, daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pada abad XV, Pengging tercatat dalam Babad Jaka Tingkir 1. sebagai daerah Pajang-Pengging. Berdasarkan cakupan wilayahnya, daerah"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 I.1. Latar Belakang

Pada abad XV, Pengging tercatat dalam Babad Jaka Tingkir1 disebut

sebagai daerah Pajang-Pengging. Berdasarkan cakupan wilayahnya, daerah

tersebut terletak di lereng tenggara Gunung Merapi dan termasuk daerah aliran

Sungai Bengawan Solo (Sastronaryatmo, 1981: 13). Daerah Pengging juga

disebut daerah pinggiran dari Kerajaan Majapahit dengan penguasanya bernama

Adipati Andayaningrat.

Adipati Andayaningrat memiliki anak bernama Ki Ageng Pengging yang

meneruskan kekuasaan di Pengging (Nawawi, 1989: 281). Pada abad XVI,

Kasultanan Demak muncul menjadi pusat kekuasaan Islam. Ki Ageng Pengging

pada masa tersebut menolak untuk mengakui kekuasaan Kasultanan Demak.

Menurut Graaf dan Pigeaud (2003: 236), berdasarkan pada cerita Babad Tanah

Djawi2, Pengging dihancurkan oleh ulama yang berasal dari Kudus karena Islam yang dianut tidak sepaham dengan Islam yang dianut oleh Kasultanan Demak

(Graaf dan Pigeaud, 2003: 236).

Pada saat Kerajaan Mataram Islam berkuasa (abad XVII – XVIII), lereng

timur Gunung Merapi, termasuk Pengging, merupakan daerah persawahan yang

subur dan menjadi lumbung beras sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613 –

1645). Persawahan merupakan salah satu bentuk interaksi antara manusia dengan

(2)

sebagai cara adaptasi manusia dengan alam (Soemarwoto, 1985: 37-38). Adaptasi

tersebut menyebabkan interaksi antara manusia dengan lingkungan sehingga

membentuk sebuah lanskap budaya. Lanskap budaya merupakan segala

bangunan/unsur budaya dengan kenampakan alam sebagai latar belakangnya

(Yuwono, 2007: 88).

Lanskap budaya akan selalu berkembang dan berubah karena pengaruh

manusia dalam memanfaatkan bentang lahan. Hal tersebut terlihat ketika

masuknya perkebunan pada awal abad XIX di daerah Pengging. Kegiatan

perkebunan di wilayah Vorstenlanden3, termasuk daerah Pengging, berlangsung dalam kurun waktu hampir satu abad (1830-1940) (Padmo, 2004: 4). Keadaan

tersebut banyak merubah lanskap budaya di Pengging dengan hadirnya industri

perkebunan serta komponen pendukungnya. Meskipun demikian, Daerah

Pengging masih termasuk dalam wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta.

Pengging merupakan salah satu daerah penting bagi Kasunanan Surakarta karena

potensi lingkungannya yang kaya sumber air sehingga digunakan untuk berbagai

kepentingan.

Pentingnya daerah Pengging ditunjukkan ketika mulai digunakan

Kasunanan Surakarta pada masa Sunan Paku Buwono VII (PB VII) (1830 –

1858). Pada tahun 1852, Sunan PB VII beserta permaisurinya menggunakan

Umbul Pengging untuk membersihkan diri (Florida, 1993: 97). Selain itu, Pengging merupakan tempat makam seorang tokoh Pujangga Kasunanan

(3)

Pada masa kekuasaan Sunan PB X (1893-1939), beliau sering ke Pengging

untuk berziarah dan melakukan ritual di Umbul Pengging. Oleh karena itu, Sunan

PB X membangun kompleks bangunan yang diberi nama Pesanggrahan

Ngeksipurna. Kompleks tersebut lengkap dengan pesanggrahan, masjid dengan

nama Ciptamulya di sebelah utaranya serta pemandian diberi nama Umbul

Tirtamarta atau Umbul Pengging (BP3 Jateng, 2002: 9). Selain Pesanggrahan

Ngeksipurna, Sunan PB X juga merenovasi Astana Luhur, yaitu makam R. Ng.

Yasadipura I4 dan keturunannya yang terletak di sebelah barat Masjid

Ciptomulyo.

Lanskap budaya Pengging merupakan lanskap perdesaan yang awalnya

identik dengan bentanglahan persawahan yang subur. Selanjutnya, pada tahun

1830, dengan hadirnya unsur modernisasi yang ditunjukkan dengan adanya

perkebunan oleh Pemerintah Kolonial mempengaruhi lanskap budaya tersebut.

Akan tetapi, hadirnya unsur tradisional Jawa, yang ditunjukkan dengan

pembangunan Pesanggrahan Ngeksipurna, juga berpengaruh dalam proses

pembentukan lanskap budaya Pengging. Oleh karena itu, lanskap budaya

Pengging yang terpengaruh atas perkembangan unsur tradisional di dalam laju

(4)

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, Permasalahan yang dapat

diajukan dalam penelitian ini adalah:

Bagaimana peran Kompleks Pesanggrahan Ngeksipurna dalam proses

terbentuknya lanskap budaya Pengging berdasarkan kajian peta kuno dan

distribusi data arkeologi?

I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sehubungan dengan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengungkapkan peran Kompleks Pesanggrahan Ngeksipurna dalam

membentuk lanskap budaya Pengging. Untuk mengetahui hubungan

antara wilayah pusat dan pinggiran dari keseluruhan lanskap budaya

Pengging.

2. Mengidentifikasi karakteristik lanskap budaya daerah Pengging

berdasarkan peta-peta kuno dan survei lapangan.

3. Membangun basisdata spasial di area penelitian yang bersifat titik, garis,

maupun poligon. Sebagai informasi digital mengenai lanskap budaya di

daerah Pengging.

I.4. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang daerah Pengging sebelumnya sudah pernah dilakukan.

Salah satu penelitian tersebut dilakukan oleh Abdul Choliq Nawawi (1980) dalam

(5)

Pengging: Kajian Arkeologi berdasarkan Data Epigrafi dan Filologi”. Skripsi ini

membahas aspek sosial-budaya pada pergantian masa Hindu – Islam. BPCB Jawa

Tengah melakukan studi kelayakan terhadap Masjid Ciptomulyo, Makam

Yasadipura, dan Umbul Pengging Boyolali sebagai benda cagar budaya pada

tahun 2002. Hasil studi kelayakan tersebut ditulis dalam laporan berjudul

“Laporan Studi Teknis Masjid Ciptomulyo, Makam Yasadipura, dan Umbul Pengging”. Penelitian tentang makam Kompleks Makam Yasadipura dilakukan oleh Rohmat Ali Syamhudi (2013) dalam skripsi berjudul “Kompleks Makam Raden Ngabehi Yasadipura Pengging, Boyolali (Kajian Latar Belakang Pemilihan

Lokasi dan Tata Ruang)”.

Pesanggrahan merupakan salah satu tinggalan budaya materi pada masa

Kasunanan Surakarta yang dapat dikaji dari berbagai aspek, seperti tata letak,

seni, arsitektur, fungsi, dan makna simbolisnya. Sampai saat ini penelitian tentang

pesanggrahan sudah banyak dilakukan. Salah satunya adalah penelitian mengenai

keberadaan pesanggrahan di Kasunanan Surakarta pernah diteliti oleh Sambung

Widodo (2005) dalam laporan yang berjudul “Pesanggrahan-Pesanggrahan pada

Masa Mataram Islam: Arsitektur, Fungsi, dan Persebarannya”. Dalam tulisan

tersebut dibahas tentang pesanggrahan-pesanggrahan yang dibangun oleh

Kasunanan Surakarta dan tidak membahas mengenai Pesanggrahan Ngeksipurna.

Beberapa penelitian lain membahas tentang Pesanggrahan Langenharjo

dan Pesanggrahan Pracimoharjo. Dalam tulisan yang berjudul “Pesanggrahan

Langenharjo” (tahun 1993), R.T. Soehadi Darmodipuro dan Soeharto Hartoto, menjelaskan fungsi Pesanggrahan Langenharjo sebagai tempat meditasi,

(6)

pertemuan, dan acara-acara kenegaraan. Pesanggrahan yang sama dikaji oleh

Supriyadi (2002), dalam skripsi yang berjudul “Pesanggrahan Langenharjo pada

Masa Sunan Paku Buwono IX (1861-1893) di Sukoharjo: Tinjauan atas Fungsi,

Tata Letak, dan Arsitektur”. Skripsi ini menjelaskan fungsi pesanggrahan

berdasarkan tata letak, pembagian ruang serta pengaruh aristektur kraton terhadap

bangunan pesanggrahan.

Sudiyo Widodo (2002) meneliti tentang Pesanggrahan Pracimoharjo

dalam skripsi yang berjudul “Upacara Jamasan Pusaka di Pesanggrahan Pracimoharjo Desa Paras Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali”. Skripsi tersebut membahas upacara atau ritual pembersihan pusaka yang berlangsung di

Pesanggrahan Pracimoharjo. Pesanggrahan Pracimoharjo juga dibahas dalam

skripsi yang berjudul “Latar Belakang Pemilihan Lokasi dan Fungsi Pesanggrahan

Pracimoharjo di Kabupaten Boyolali”. Siti Rochimah (2013) membahas tentang latar belakang pemilihan lokasi dan fungsinya berdasarkan pendekatan artefaktual,

lingkungan, dan historis.

Sejauh pengetahuan penulis, penelitian tentang Pesanggrahan Ngeksipurna

hanya sebatas studi kelayakan sebagai benda cagar budaya. Penelitian mengenai

peran Pesanggrahan Ngeksipurna dalam proses pembentukan lanskap budaya di

daerah Pengging berdasarkan analisis SIG belum pernah dilakukan. Hubungan

spasial lanskap budaya dengan keberadaan Kompleks Pesanggrahan Ngeksipurna

pada tahun 1830 – 1940, merupakan suatu hal yang baru. Dengan berbagai

pertimbangan di atas, maka penulis menganggap penelitian ini masih layak

(7)

I.5. Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan kajian arkeologi lanskap, yaitu kajian serta

pendekatan dengan menekankan pada hubungan keragaman dan sebaran

fenomena arkeologis dengan karakteristik perubahan bentang lahan sekitarnya

(Yuwono, 2007: 91). Kajian arkeologi lanskap dilakukan dengan menerapkan

analisis sistem informasi geografis. Selain itu, data sejarah digunakan sebagai

pendukung dalam analisis tersebut.

Topik kajian dalam penelitian ini adalah menempatkan situs arkeologi

sebagai bagian dari suatu variabel lanskap budaya dengan latar belakang

kenampakan alam (natural feature) (Bintarto, 1995: 2). Dalam buku Guide to

Cultural Landscape: Contents, Process, and Techniques, Robert R. Page menyatakan bahwa terdapat 13 faktor pembentuk karakteristik dalam proses

pembentukan lanskap budaya. Karakteristik tersebut adalah: tradisi budaya

(cultural tradition), sistem dan ciri alam (natural system and features), struktur

keruangan (spatial organization), penggunaan lahan (land use), penataan kluster

(cluster arrangement), topografi (topography), sirkulasi (circulation), vegetasi

(vegetation), bangunan dan struktur (bulilding and structure), pandangan dan

kontrol pandangan (view and vista), fitur air buatan (construction water features),

fitur-fitur berskala kecil (small scale feature), dan situs arkeologis

(archaeological site) (Page dkk., 1998: 53).

Dalam melakukan penelitian, untuk menjawab permasalahan, karakteristik

yang disebutkan oleh Robert R.Page tidak semua digunakan untuk mengkaji

(8)

dalam analisis antara lain sistem dan ciri alam, struktur keruangan, penggunaan

lahan, penataan klaster, bangunan dan struktur, fitur air buatan, serta situs

arkeologi. Selain itu, dalam analisis proses spasial karakteristik tersebut akan

dipecah menjadi variabel-variabel analisis seperti ruang penggunaan lahan,

jaringan transportasi, bangunan air, serta pusat objek pengamatan yaitu

Pesanggrahan Ngeksipurna.

Kajian arkeologi lanskap mengaplikasikan Sistem Informasi Geografis

(SIG) sebagai perangkat metode dan teknik untuk menangani data spasial. SIG

adalah sistem berbasis komputer yang mengumpulkan, menyimpan, memanipulasi

(memodelkan), menganalisis, dan menyajikan sekumpulan data keruangan yang

memiliki referensi geografis atau acuan lokasi (Johnson, 1996, dalam Yuwono,

2007: 82). Cakupan aplikasi SIG dari pengumpulan data, manajemen data,

analisis, hingga ke visualisasi lanskap budaya sesuai dengan tujuan penelitian

(Yuwono, 2007: 84). Penggunaan data sejarah dalam penelitian ini berupa

informasi sejarah yang digunakan untuk mendukung interpretasi dalam analisis

data spasial.

Batasan mengenai wilayah dan periode dalam penelitian ini terbagi dalam

lingkup area dan lingkup temporal, antara lain :

1. Lingkup Area

Lingkup area dalam penelitian tergolong dalam lingkup semi mikro atau

meso yang berarti mempelajari pola sebaran dan hubungan antar objek di dalam

(9)

mempelajari pola dan proses spasial lanskap budaya Pengging yang berada di

wilayah Pengging dan sekitarnya untuk menjawab masalah penelitian.

Secara administratif Pengging merupakan sebuah dusun yang berada di

Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. Akan tetapi, dalam

penelitian ini, Pengging yang dimaksud adalah wilayah berdasarkan tradisi lisan

masyarakat. Wilayah tersebut merujuk pada sebuah daerah perdesaan di sekitar

Umbul Pengging. Oleh karena itu, wilayah Pengging yang dimaksud dalam penelitian ini secara administratif mencangkup Kecamatan Banyudono, Sawit,

dan Teras Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Hal tersebut dilakukan agar

dapat melihat lanskap budaya Pengging secara keseluruhan.

Wilayah penelitian terletak pada koordinat UTM zona 49S X: 458536 –

469819 dan Y: 9160579 – 9160579 dengan luas wilayah ±7793 ha atau 78 km²

(gambar 1.1). Batas administratif wilayah penelitian di utara adalah Kecamatan

Sambi, Kecamatan Boyolali, Kecamatan Ngemplak, dan Kecamatan Colomadu.

Batas timur adalah Kecamatan Kartasura, dan Kecamatan Gatak (Kabupaten

Sukoharjo). Di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Delanggu,

Kecamatan Polanharjo, dan Kecamatan Tulung (Kabupaten Klaten), sedangkan di

Kecamatan Mojosongo (Kabupaten Boyolali) sebagai batas barat wilayah

(10)

Gambar 1.2. Peta Wilayah Penelitian

Skala 1 : 50.000

Peta Wilayah Penelitian

(11)

2. Lingkup Temporal

Lingkup temporal penelitian dibatasi pada tahun 1830 – 1940. Periode

penelitian tersebut dipilih untuk menggambarkan perkembangan lanskap budaya

Pengging sebelum dan setelah Pesanggrahan Ngeksipurna dibangun. Periode awal

penelitian dimulai dari tahun 1830, karena tahun ini merupakan awal dari

perkembangan perkebunan di wilayah penelitian. Selanjutnya, periode tahun 1940

merupakan akhir dari periode penelitian karena mengambil masa setelah

kekuasaan Sunan PB X.

I.6. Metode Penelitian

Penalaran dalam penelitian ini bersifat induktif, yang bergerak dari kajian

fakta-fakta atau gejala-gejala khusus di lapangan kemudian disimpulkan sebagai

gejala yang bersifat umum (Sudarmadi, 1993: 17). Sifat penelitian ini adalah

deskripsi analitis, yaitu bertujuan untuk memberikan gambaran tentang lanskap

budaya di daerah Pengging. Dalam ilmu arkeologi, lanskap budaya tersebut

dikaitkan dengan kerangka ruang, waktu, dan bentuk dari fakta atau gejala yang

ada. Jadi penelitian ini lebih mengutamakan kajian hubungan antar data

karakteristik lanskap budaya daripada kajian konsep, hipotesis maupun teori

tertentu (Sumanto, 1995: 77). Oleh karena itu, jika ada hipotesis, maka hipotesis

tersebut bersifat “liar” atau dugaan-dugaan lepas (Tanudirjo, 1988: 34).

Berdasarkan lingkup penelitian dan sifat penalaran di atas, maka tahapan

(12)

1. Tahap Pengumpulan Data

a. Peta yang digunakan adalah peta kuno daerah Pengging yang

diperoleh dari maps.library.leiden.edu. Peta tersebut antara lain

Topographische kaart der residentie Soerakarta dan Kartoesoera Herzein door den Topografischen Dienst. Studi peta dilakukan untuk memperoleh data yang bersifat spasial dari karakteristik lanskap

budaya daerah Pengging serta gambaran spasial dan perubahan pola

spasial lanskap budaya Pengging.

b. Survei lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data komponen fisik

lanskap budaya berupa situs arkeologi, berdasarkan peta kuno dan

pengamatan langsung di lapangan. Pengumpulan data baru di

lapangan dilakukan dengan menggunakan GPS receiver, sedangkan

untuk keterangan (atribut data) ditulis dalam checklist serta dilengkapi

dengan dokumentasi objek tersebut. Survei lapangan juga dilakukan

untuk mengumpulkan informasi tambahan melalui wawancara dengan

narasumber untuk mengetahui lokasi dan data komponen data

arkeologi.

c. Pengumpulan data sejarah (sosial, ekonomi, dan politik) diperoleh

melalui studi pustaka. Data sejarah diperoleh dari buku, arsip,

dokumen, babad untuk mendukung deskripsi karakteristik fisik

(13)

2. Tahap Analisis

Analisis data keruangan dilakukan dengan diterapkan prosedur analisis

SIG yang mencakup empat kegiatan pokok dan dikenal dengan teknik

IMAP-model. Perangkat lunak yang digunakan dalam teknik ini adalah MapSource,

Global Mapper 15, ArcView 3.2, dan Microsoft Excel 2003. IMAP-model tersebut meliputi Input, Manajemen, Analisis/Proses, dan Presentasi/Output (Yuwono,

2007: 84). Maka tahapan analisis data keruangan adalah sebagai berikut:

a. Input: Proses konversi peta kuno format digital (.jpg) untuk memberi

acuan lokasi geografis dengan cara registrasi5 menggunakan Global

Mapper 15. Data dari peta kuno tersebut diubah menjadi data vektor (point, line, dan polygon) dengan cara digitasi menggunakan ArcView

3.2. Selain itu, transfer data survei lapangan dari GPS Receiver ke ke dalam tampilan digital dengan Mapsource. Kemudian data tersebut

ditampilkan ke dalam proyek (project).

b. Manajemen: Kegiatan ini meliputi pengolahan basisdata yang terdiri

atas identifikasi dan pengelompokan data keruangan berdasarkan

keterangan dalam peta kuno dan survei.

c. Analisis/Proses: Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan

melakukan overlay (tumpang susun) data dari peta kuno serta survei

lapangan. Tahapan analisis tersebut antara lain (1) Overlay data hasil

digitasi dari masing-masing peta kuno untuk mengetahui pola spasial

(14)

kuno serta survei lapangan untuk menjelaskan proses keruangan

(spatial processes) lanskap budaya di Pengging.

d. Presentasi/Output: Meliputi komposisisi peta (map composition),

(kontrol kualitas cetakan) print control quality, dam peta yang intektif

(interctive maps), yang dapat menampilkan peta-peta tematik,

tabulasi, dan sistem informasi spasial.

3. Interpretasi

Pada tahap ini dilakukan penjelasan mengenai peran Kompleks

Pesanggrahan Ngeksipurna dalam pembentukan lanskap budaya daerah Pengging

dan sekitarnya pada kurun waktu 1830-1940.

4. Penarikan Kesimpulan

Kesimpulan dirumuskan untuk menjawab permasalahan peran

(15)

Keterangan: Garis putus-putus merupakan sejarah yang digunakan sebagai data pendukung dalam analisis dan interpretasi.

Gambar 1.2 Diagram Bagan Alur Penelitian Rumusan Masalah

Peta Kuno Pengging

(1830-1940) Data Sejarah

Survei Lapangan

PERAN PESANGGRAHAN NGEKSIPURNA DALAM PROSES PEMBENTUKAN LANSEKAP BUDAYA

DI DAERAH PENGGING DAN SEKITARNYA PADA TAHUN 1830 - 1940

Input Data 1.Scanning

2. Register

3. Digitasi : Jalan, Guna Lahan, titik (bangunan), sungai, saluran air, sungai,mata air.

Manajemen Data

Analisis Data Keruangan berdasarkan Peta Kuno

Data Arkeologi

Pola Keruangan Lanskap Budaya Pengging

- Lanskap Budaya Pengging 1830-1862

- Lanskap Budaya Pengging 1863-1940

Perkembangan Lanskap Budaya Pengging

1. Perkembangan Ruang Penggunaan Lahan 2. Perkembangan Jaringan Transportasi 3. Perkembangan Bangunan Air

4. Perkembangan Pesanggrahan Ngeksipurna

Pengumpulan

Data

AN

ALISIS

(16)

CATATAN BAB I

1

Babad Jaka Tingkir adalah babad yang ditulis oleh seorang pujangga Keraton Yogyakarta dan diselesaikan pada tanggal 22 Sapar 1748 atau 23 Agustus 1820 dalam hitungan masehi. Babad ini berisi tentang asal usul Sultan Kerajaan Pajang bernama Jaka Tingkir/Sultan Hadiwijaya yang berasal dari keturunan penguasa dari daerah Pengging.

2

Babad Tanah Djawi adalah babad yang menceritakan asal muasal kerajaan Mataram Islam dari zaman Nabi Adam. Babad ini ditulis oleh Carik Braja atas Perintah Paku Buwono II dan diedarkan pada tahun 1788 M.

3

Vorstenlanden adalah penyebutan wilayah Kerajaan Mataram Islam yang secara harfiah berarti “wilayah-wilayah kerajaan”. Sebutan tersebut masih dipakai untuk menyebut wilayah kerajaan pecahan Mataram Islam yaitu Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Praja Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman.

4

R.Ng. Yasadipura I adalah seorang pujangga kerajaan yang hidup di jaman Keraton Kartasura dan Surakarta.

5

Registrasi (georeferensi) peta adalah kegiatan memberi koordinat ikat pada peta digital dengan koordinat di bumi..

Referensi

Dokumen terkait

Program aplikasi ini akan tersusun dari beberapa alur yang harus dilalui sehingga dapat mengeluarkan hasil yang baik. Admin bertugas melakukan input dan update setiap data

Tujuan penelitian ini merupakan tolak ukur untuk menjawab semua permasalahan yang telah dirumuskan.Pada dasarnya, ada dua tujuan dalam penelitian ini, yaitu tujuan

Jaringan komputer adalah kombinasi kumpulan perangkat lunak dan perang- kat keras seperti komputer, printer dan peralatan lainnya yang terhubung melalui kabel-kabel atau

Faktor pertama adalah perlakuan pengemasan dan penyimpanan yang dilakukan, yaitu cara yang biasa dilakukan petani (kontrol) dan mengguna- kan plastik PE dengan ketebalan 0,5 mm

Hasil penghitungan analisa Gambar 6 diatas menunjukkan persentase pemotongan sapi perah betina umur produktif sebanyak 26 % atau 47 ekor dari total pemotongan 184

Kajian ini dilatar belakangi oleh tatanan geologi daerah Harau dan sekitarnya, Sumatera Barat yang diidentifikasi sebagai daerah favourable bagi akumulasi uranium yaitu

Material yang diteliti.. Tingkat keamanan pangan para pedagang adalah kemampuan santri untuk menilai para pedagang terhadap jajanan yang diperdagangkan dengan menjawab

Jika pembelajaran Pendidikan Agama Islam kelas 3 SD Negeri Kalisidi 01 Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang, pada kompetensi dasar menghafal bacaan sholat