1 I.1. Latar Belakang
Pada abad XV, Pengging tercatat dalam Babad Jaka Tingkir1 disebut
sebagai daerah Pajang-Pengging. Berdasarkan cakupan wilayahnya, daerah
tersebut terletak di lereng tenggara Gunung Merapi dan termasuk daerah aliran
Sungai Bengawan Solo (Sastronaryatmo, 1981: 13). Daerah Pengging juga
disebut daerah pinggiran dari Kerajaan Majapahit dengan penguasanya bernama
Adipati Andayaningrat.
Adipati Andayaningrat memiliki anak bernama Ki Ageng Pengging yang
meneruskan kekuasaan di Pengging (Nawawi, 1989: 281). Pada abad XVI,
Kasultanan Demak muncul menjadi pusat kekuasaan Islam. Ki Ageng Pengging
pada masa tersebut menolak untuk mengakui kekuasaan Kasultanan Demak.
Menurut Graaf dan Pigeaud (2003: 236), berdasarkan pada cerita Babad Tanah
Djawi2, Pengging dihancurkan oleh ulama yang berasal dari Kudus karena Islam yang dianut tidak sepaham dengan Islam yang dianut oleh Kasultanan Demak
(Graaf dan Pigeaud, 2003: 236).
Pada saat Kerajaan Mataram Islam berkuasa (abad XVII – XVIII), lereng
timur Gunung Merapi, termasuk Pengging, merupakan daerah persawahan yang
subur dan menjadi lumbung beras sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613 –
1645). Persawahan merupakan salah satu bentuk interaksi antara manusia dengan
sebagai cara adaptasi manusia dengan alam (Soemarwoto, 1985: 37-38). Adaptasi
tersebut menyebabkan interaksi antara manusia dengan lingkungan sehingga
membentuk sebuah lanskap budaya. Lanskap budaya merupakan segala
bangunan/unsur budaya dengan kenampakan alam sebagai latar belakangnya
(Yuwono, 2007: 88).
Lanskap budaya akan selalu berkembang dan berubah karena pengaruh
manusia dalam memanfaatkan bentang lahan. Hal tersebut terlihat ketika
masuknya perkebunan pada awal abad XIX di daerah Pengging. Kegiatan
perkebunan di wilayah Vorstenlanden3, termasuk daerah Pengging, berlangsung dalam kurun waktu hampir satu abad (1830-1940) (Padmo, 2004: 4). Keadaan
tersebut banyak merubah lanskap budaya di Pengging dengan hadirnya industri
perkebunan serta komponen pendukungnya. Meskipun demikian, Daerah
Pengging masih termasuk dalam wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta.
Pengging merupakan salah satu daerah penting bagi Kasunanan Surakarta karena
potensi lingkungannya yang kaya sumber air sehingga digunakan untuk berbagai
kepentingan.
Pentingnya daerah Pengging ditunjukkan ketika mulai digunakan
Kasunanan Surakarta pada masa Sunan Paku Buwono VII (PB VII) (1830 –
1858). Pada tahun 1852, Sunan PB VII beserta permaisurinya menggunakan
Umbul Pengging untuk membersihkan diri (Florida, 1993: 97). Selain itu, Pengging merupakan tempat makam seorang tokoh Pujangga Kasunanan
Pada masa kekuasaan Sunan PB X (1893-1939), beliau sering ke Pengging
untuk berziarah dan melakukan ritual di Umbul Pengging. Oleh karena itu, Sunan
PB X membangun kompleks bangunan yang diberi nama Pesanggrahan
Ngeksipurna. Kompleks tersebut lengkap dengan pesanggrahan, masjid dengan
nama Ciptamulya di sebelah utaranya serta pemandian diberi nama Umbul
Tirtamarta atau Umbul Pengging (BP3 Jateng, 2002: 9). Selain Pesanggrahan
Ngeksipurna, Sunan PB X juga merenovasi Astana Luhur, yaitu makam R. Ng.
Yasadipura I4 dan keturunannya yang terletak di sebelah barat Masjid
Ciptomulyo.
Lanskap budaya Pengging merupakan lanskap perdesaan yang awalnya
identik dengan bentanglahan persawahan yang subur. Selanjutnya, pada tahun
1830, dengan hadirnya unsur modernisasi yang ditunjukkan dengan adanya
perkebunan oleh Pemerintah Kolonial mempengaruhi lanskap budaya tersebut.
Akan tetapi, hadirnya unsur tradisional Jawa, yang ditunjukkan dengan
pembangunan Pesanggrahan Ngeksipurna, juga berpengaruh dalam proses
pembentukan lanskap budaya Pengging. Oleh karena itu, lanskap budaya
Pengging yang terpengaruh atas perkembangan unsur tradisional di dalam laju
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, Permasalahan yang dapat
diajukan dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana peran Kompleks Pesanggrahan Ngeksipurna dalam proses
terbentuknya lanskap budaya Pengging berdasarkan kajian peta kuno dan
distribusi data arkeologi?
I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sehubungan dengan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengungkapkan peran Kompleks Pesanggrahan Ngeksipurna dalam
membentuk lanskap budaya Pengging. Untuk mengetahui hubungan
antara wilayah pusat dan pinggiran dari keseluruhan lanskap budaya
Pengging.
2. Mengidentifikasi karakteristik lanskap budaya daerah Pengging
berdasarkan peta-peta kuno dan survei lapangan.
3. Membangun basisdata spasial di area penelitian yang bersifat titik, garis,
maupun poligon. Sebagai informasi digital mengenai lanskap budaya di
daerah Pengging.
I.4. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang daerah Pengging sebelumnya sudah pernah dilakukan.
Salah satu penelitian tersebut dilakukan oleh Abdul Choliq Nawawi (1980) dalam
Pengging: Kajian Arkeologi berdasarkan Data Epigrafi dan Filologi”. Skripsi ini
membahas aspek sosial-budaya pada pergantian masa Hindu – Islam. BPCB Jawa
Tengah melakukan studi kelayakan terhadap Masjid Ciptomulyo, Makam
Yasadipura, dan Umbul Pengging Boyolali sebagai benda cagar budaya pada
tahun 2002. Hasil studi kelayakan tersebut ditulis dalam laporan berjudul
“Laporan Studi Teknis Masjid Ciptomulyo, Makam Yasadipura, dan Umbul Pengging”. Penelitian tentang makam Kompleks Makam Yasadipura dilakukan oleh Rohmat Ali Syamhudi (2013) dalam skripsi berjudul “Kompleks Makam Raden Ngabehi Yasadipura Pengging, Boyolali (Kajian Latar Belakang Pemilihan
Lokasi dan Tata Ruang)”.
Pesanggrahan merupakan salah satu tinggalan budaya materi pada masa
Kasunanan Surakarta yang dapat dikaji dari berbagai aspek, seperti tata letak,
seni, arsitektur, fungsi, dan makna simbolisnya. Sampai saat ini penelitian tentang
pesanggrahan sudah banyak dilakukan. Salah satunya adalah penelitian mengenai
keberadaan pesanggrahan di Kasunanan Surakarta pernah diteliti oleh Sambung
Widodo (2005) dalam laporan yang berjudul “Pesanggrahan-Pesanggrahan pada
Masa Mataram Islam: Arsitektur, Fungsi, dan Persebarannya”. Dalam tulisan
tersebut dibahas tentang pesanggrahan-pesanggrahan yang dibangun oleh
Kasunanan Surakarta dan tidak membahas mengenai Pesanggrahan Ngeksipurna.
Beberapa penelitian lain membahas tentang Pesanggrahan Langenharjo
dan Pesanggrahan Pracimoharjo. Dalam tulisan yang berjudul “Pesanggrahan
Langenharjo” (tahun 1993), R.T. Soehadi Darmodipuro dan Soeharto Hartoto, menjelaskan fungsi Pesanggrahan Langenharjo sebagai tempat meditasi,
pertemuan, dan acara-acara kenegaraan. Pesanggrahan yang sama dikaji oleh
Supriyadi (2002), dalam skripsi yang berjudul “Pesanggrahan Langenharjo pada
Masa Sunan Paku Buwono IX (1861-1893) di Sukoharjo: Tinjauan atas Fungsi,
Tata Letak, dan Arsitektur”. Skripsi ini menjelaskan fungsi pesanggrahan
berdasarkan tata letak, pembagian ruang serta pengaruh aristektur kraton terhadap
bangunan pesanggrahan.
Sudiyo Widodo (2002) meneliti tentang Pesanggrahan Pracimoharjo
dalam skripsi yang berjudul “Upacara Jamasan Pusaka di Pesanggrahan Pracimoharjo Desa Paras Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali”. Skripsi tersebut membahas upacara atau ritual pembersihan pusaka yang berlangsung di
Pesanggrahan Pracimoharjo. Pesanggrahan Pracimoharjo juga dibahas dalam
skripsi yang berjudul “Latar Belakang Pemilihan Lokasi dan Fungsi Pesanggrahan
Pracimoharjo di Kabupaten Boyolali”. Siti Rochimah (2013) membahas tentang latar belakang pemilihan lokasi dan fungsinya berdasarkan pendekatan artefaktual,
lingkungan, dan historis.
Sejauh pengetahuan penulis, penelitian tentang Pesanggrahan Ngeksipurna
hanya sebatas studi kelayakan sebagai benda cagar budaya. Penelitian mengenai
peran Pesanggrahan Ngeksipurna dalam proses pembentukan lanskap budaya di
daerah Pengging berdasarkan analisis SIG belum pernah dilakukan. Hubungan
spasial lanskap budaya dengan keberadaan Kompleks Pesanggrahan Ngeksipurna
pada tahun 1830 – 1940, merupakan suatu hal yang baru. Dengan berbagai
pertimbangan di atas, maka penulis menganggap penelitian ini masih layak
I.5. Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan kajian arkeologi lanskap, yaitu kajian serta
pendekatan dengan menekankan pada hubungan keragaman dan sebaran
fenomena arkeologis dengan karakteristik perubahan bentang lahan sekitarnya
(Yuwono, 2007: 91). Kajian arkeologi lanskap dilakukan dengan menerapkan
analisis sistem informasi geografis. Selain itu, data sejarah digunakan sebagai
pendukung dalam analisis tersebut.
Topik kajian dalam penelitian ini adalah menempatkan situs arkeologi
sebagai bagian dari suatu variabel lanskap budaya dengan latar belakang
kenampakan alam (natural feature) (Bintarto, 1995: 2). Dalam buku Guide to
Cultural Landscape: Contents, Process, and Techniques, Robert R. Page menyatakan bahwa terdapat 13 faktor pembentuk karakteristik dalam proses
pembentukan lanskap budaya. Karakteristik tersebut adalah: tradisi budaya
(cultural tradition), sistem dan ciri alam (natural system and features), struktur
keruangan (spatial organization), penggunaan lahan (land use), penataan kluster
(cluster arrangement), topografi (topography), sirkulasi (circulation), vegetasi
(vegetation), bangunan dan struktur (bulilding and structure), pandangan dan
kontrol pandangan (view and vista), fitur air buatan (construction water features),
fitur-fitur berskala kecil (small scale feature), dan situs arkeologis
(archaeological site) (Page dkk., 1998: 53).
Dalam melakukan penelitian, untuk menjawab permasalahan, karakteristik
yang disebutkan oleh Robert R.Page tidak semua digunakan untuk mengkaji
dalam analisis antara lain sistem dan ciri alam, struktur keruangan, penggunaan
lahan, penataan klaster, bangunan dan struktur, fitur air buatan, serta situs
arkeologi. Selain itu, dalam analisis proses spasial karakteristik tersebut akan
dipecah menjadi variabel-variabel analisis seperti ruang penggunaan lahan,
jaringan transportasi, bangunan air, serta pusat objek pengamatan yaitu
Pesanggrahan Ngeksipurna.
Kajian arkeologi lanskap mengaplikasikan Sistem Informasi Geografis
(SIG) sebagai perangkat metode dan teknik untuk menangani data spasial. SIG
adalah sistem berbasis komputer yang mengumpulkan, menyimpan, memanipulasi
(memodelkan), menganalisis, dan menyajikan sekumpulan data keruangan yang
memiliki referensi geografis atau acuan lokasi (Johnson, 1996, dalam Yuwono,
2007: 82). Cakupan aplikasi SIG dari pengumpulan data, manajemen data,
analisis, hingga ke visualisasi lanskap budaya sesuai dengan tujuan penelitian
(Yuwono, 2007: 84). Penggunaan data sejarah dalam penelitian ini berupa
informasi sejarah yang digunakan untuk mendukung interpretasi dalam analisis
data spasial.
Batasan mengenai wilayah dan periode dalam penelitian ini terbagi dalam
lingkup area dan lingkup temporal, antara lain :
1. Lingkup Area
Lingkup area dalam penelitian tergolong dalam lingkup semi mikro atau
meso yang berarti mempelajari pola sebaran dan hubungan antar objek di dalam
mempelajari pola dan proses spasial lanskap budaya Pengging yang berada di
wilayah Pengging dan sekitarnya untuk menjawab masalah penelitian.
Secara administratif Pengging merupakan sebuah dusun yang berada di
Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. Akan tetapi, dalam
penelitian ini, Pengging yang dimaksud adalah wilayah berdasarkan tradisi lisan
masyarakat. Wilayah tersebut merujuk pada sebuah daerah perdesaan di sekitar
Umbul Pengging. Oleh karena itu, wilayah Pengging yang dimaksud dalam penelitian ini secara administratif mencangkup Kecamatan Banyudono, Sawit,
dan Teras Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Hal tersebut dilakukan agar
dapat melihat lanskap budaya Pengging secara keseluruhan.
Wilayah penelitian terletak pada koordinat UTM zona 49S X: 458536 –
469819 dan Y: 9160579 – 9160579 dengan luas wilayah ±7793 ha atau 78 km²
(gambar 1.1). Batas administratif wilayah penelitian di utara adalah Kecamatan
Sambi, Kecamatan Boyolali, Kecamatan Ngemplak, dan Kecamatan Colomadu.
Batas timur adalah Kecamatan Kartasura, dan Kecamatan Gatak (Kabupaten
Sukoharjo). Di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Delanggu,
Kecamatan Polanharjo, dan Kecamatan Tulung (Kabupaten Klaten), sedangkan di
Kecamatan Mojosongo (Kabupaten Boyolali) sebagai batas barat wilayah
Gambar 1.2. Peta Wilayah Penelitian
Skala 1 : 50.000
Peta Wilayah Penelitian
2. Lingkup Temporal
Lingkup temporal penelitian dibatasi pada tahun 1830 – 1940. Periode
penelitian tersebut dipilih untuk menggambarkan perkembangan lanskap budaya
Pengging sebelum dan setelah Pesanggrahan Ngeksipurna dibangun. Periode awal
penelitian dimulai dari tahun 1830, karena tahun ini merupakan awal dari
perkembangan perkebunan di wilayah penelitian. Selanjutnya, periode tahun 1940
merupakan akhir dari periode penelitian karena mengambil masa setelah
kekuasaan Sunan PB X.
I.6. Metode Penelitian
Penalaran dalam penelitian ini bersifat induktif, yang bergerak dari kajian
fakta-fakta atau gejala-gejala khusus di lapangan kemudian disimpulkan sebagai
gejala yang bersifat umum (Sudarmadi, 1993: 17). Sifat penelitian ini adalah
deskripsi analitis, yaitu bertujuan untuk memberikan gambaran tentang lanskap
budaya di daerah Pengging. Dalam ilmu arkeologi, lanskap budaya tersebut
dikaitkan dengan kerangka ruang, waktu, dan bentuk dari fakta atau gejala yang
ada. Jadi penelitian ini lebih mengutamakan kajian hubungan antar data
karakteristik lanskap budaya daripada kajian konsep, hipotesis maupun teori
tertentu (Sumanto, 1995: 77). Oleh karena itu, jika ada hipotesis, maka hipotesis
tersebut bersifat “liar” atau dugaan-dugaan lepas (Tanudirjo, 1988: 34).
Berdasarkan lingkup penelitian dan sifat penalaran di atas, maka tahapan
1. Tahap Pengumpulan Data
a. Peta yang digunakan adalah peta kuno daerah Pengging yang
diperoleh dari maps.library.leiden.edu. Peta tersebut antara lain
Topographische kaart der residentie Soerakarta dan Kartoesoera Herzein door den Topografischen Dienst. Studi peta dilakukan untuk memperoleh data yang bersifat spasial dari karakteristik lanskap
budaya daerah Pengging serta gambaran spasial dan perubahan pola
spasial lanskap budaya Pengging.
b. Survei lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data komponen fisik
lanskap budaya berupa situs arkeologi, berdasarkan peta kuno dan
pengamatan langsung di lapangan. Pengumpulan data baru di
lapangan dilakukan dengan menggunakan GPS receiver, sedangkan
untuk keterangan (atribut data) ditulis dalam checklist serta dilengkapi
dengan dokumentasi objek tersebut. Survei lapangan juga dilakukan
untuk mengumpulkan informasi tambahan melalui wawancara dengan
narasumber untuk mengetahui lokasi dan data komponen data
arkeologi.
c. Pengumpulan data sejarah (sosial, ekonomi, dan politik) diperoleh
melalui studi pustaka. Data sejarah diperoleh dari buku, arsip,
dokumen, babad untuk mendukung deskripsi karakteristik fisik
2. Tahap Analisis
Analisis data keruangan dilakukan dengan diterapkan prosedur analisis
SIG yang mencakup empat kegiatan pokok dan dikenal dengan teknik
IMAP-model. Perangkat lunak yang digunakan dalam teknik ini adalah MapSource,
Global Mapper 15, ArcView 3.2, dan Microsoft Excel 2003. IMAP-model tersebut meliputi Input, Manajemen, Analisis/Proses, dan Presentasi/Output (Yuwono,
2007: 84). Maka tahapan analisis data keruangan adalah sebagai berikut:
a. Input: Proses konversi peta kuno format digital (.jpg) untuk memberi
acuan lokasi geografis dengan cara registrasi5 menggunakan Global
Mapper 15. Data dari peta kuno tersebut diubah menjadi data vektor (point, line, dan polygon) dengan cara digitasi menggunakan ArcView
3.2. Selain itu, transfer data survei lapangan dari GPS Receiver ke ke dalam tampilan digital dengan Mapsource. Kemudian data tersebut
ditampilkan ke dalam proyek (project).
b. Manajemen: Kegiatan ini meliputi pengolahan basisdata yang terdiri
atas identifikasi dan pengelompokan data keruangan berdasarkan
keterangan dalam peta kuno dan survei.
c. Analisis/Proses: Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan
melakukan overlay (tumpang susun) data dari peta kuno serta survei
lapangan. Tahapan analisis tersebut antara lain (1) Overlay data hasil
digitasi dari masing-masing peta kuno untuk mengetahui pola spasial
kuno serta survei lapangan untuk menjelaskan proses keruangan
(spatial processes) lanskap budaya di Pengging.
d. Presentasi/Output: Meliputi komposisisi peta (map composition),
(kontrol kualitas cetakan) print control quality, dam peta yang intektif
(interctive maps), yang dapat menampilkan peta-peta tematik,
tabulasi, dan sistem informasi spasial.
3. Interpretasi
Pada tahap ini dilakukan penjelasan mengenai peran Kompleks
Pesanggrahan Ngeksipurna dalam pembentukan lanskap budaya daerah Pengging
dan sekitarnya pada kurun waktu 1830-1940.
4. Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan dirumuskan untuk menjawab permasalahan peran
Keterangan: Garis putus-putus merupakan sejarah yang digunakan sebagai data pendukung dalam analisis dan interpretasi.
Gambar 1.2 Diagram Bagan Alur Penelitian Rumusan Masalah
Peta Kuno Pengging
(1830-1940) Data Sejarah
Survei Lapangan
PERAN PESANGGRAHAN NGEKSIPURNA DALAM PROSES PEMBENTUKAN LANSEKAP BUDAYA
DI DAERAH PENGGING DAN SEKITARNYA PADA TAHUN 1830 - 1940
Input Data 1.Scanning
2. Register
3. Digitasi : Jalan, Guna Lahan, titik (bangunan), sungai, saluran air, sungai,mata air.
Manajemen Data
Analisis Data Keruangan berdasarkan Peta Kuno
Data Arkeologi
Pola Keruangan Lanskap Budaya Pengging
- Lanskap Budaya Pengging 1830-1862
- Lanskap Budaya Pengging 1863-1940
Perkembangan Lanskap Budaya Pengging
1. Perkembangan Ruang Penggunaan Lahan 2. Perkembangan Jaringan Transportasi 3. Perkembangan Bangunan Air
4. Perkembangan Pesanggrahan Ngeksipurna
Pengumpulan
Data
AN
ALISIS
CATATAN BAB I
1
Babad Jaka Tingkir adalah babad yang ditulis oleh seorang pujangga Keraton Yogyakarta dan diselesaikan pada tanggal 22 Sapar 1748 atau 23 Agustus 1820 dalam hitungan masehi. Babad ini berisi tentang asal usul Sultan Kerajaan Pajang bernama Jaka Tingkir/Sultan Hadiwijaya yang berasal dari keturunan penguasa dari daerah Pengging.
2
Babad Tanah Djawi adalah babad yang menceritakan asal muasal kerajaan Mataram Islam dari zaman Nabi Adam. Babad ini ditulis oleh Carik Braja atas Perintah Paku Buwono II dan diedarkan pada tahun 1788 M.
3
Vorstenlanden adalah penyebutan wilayah Kerajaan Mataram Islam yang secara harfiah berarti “wilayah-wilayah kerajaan”. Sebutan tersebut masih dipakai untuk menyebut wilayah kerajaan pecahan Mataram Islam yaitu Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Praja Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman.
4
R.Ng. Yasadipura I adalah seorang pujangga kerajaan yang hidup di jaman Keraton Kartasura dan Surakarta.
5
Registrasi (georeferensi) peta adalah kegiatan memberi koordinat ikat pada peta digital dengan koordinat di bumi..