• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERAGAAN DAN KENDALA PEMBIAYAAN USAHATANI TERNAK SAPI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERAGAAN DAN KENDALA PEMBIAYAAN USAHATANI TERNAK SAPI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAAN DAN KENDALA PEMBIAYAAN USAHATANI TERNAK SAPI

Sugiarto dan Budi Wiryono

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

Abstract

The necessity of capital for the community in village, especially in the development of farmer’s livestock is very obvious for farm sustainability. Nevertheless, shortage in capital will always be appeared as part of the development dynamics affecting the farmer’s income. Therefore, a research that provides information about financial farm performance of livestock is very crucial as this paper would like to reveal. This research was conducted by studying the access of farmers to obtain credit from formal institution financial sources. In fact, livestock farmers were far from such financial support. The frequency of borrowing and its amount, if any, is not significantly influence the performance of livestock farm. The cost of transaction which earlier thought would be a burden for the creditor has no effect on the borrower side. This is particularly because of the transparency of the screening, delivery, and the pattern of incentive, as well as enforcement, and application form which have been operated by formal financial institutions. All of these are good enough and leaving an easy understanding for the farmers who want to access formal financial support. However, all the farmers need is the simplification of this standard operating procedure.Therefore, to increase farmer’s accessibility to formal financial support, this study suggests the establishment of local financial institution, such as Micro Financial Institution (Lembaga Keuangan

Mikro) at village level to bridge the need of credit for livestock farmers. Key words : financing, farm, livestock

Abstrak

Kebutuhan modal bagi masyarakat di perdesaan, khususnya bagi peternak sangatlah penting artinya guna melangsungkan usaha yang berkelanjutan.Namun demikian selalu muncul permasalahan permodalan yang lemah untuk meningkatkan usaha dan pendapatannya. Oleh karena itu dalam tulisan ini bertujuan memberikan informasi tentang pembiayaan usaha peternakan. Hasil penelitian menunjukan bahwa peternak untuk memperoleh kredit yang bersumber pada lembaga pembiayaan formal (perbankan), kenyataannya belum menyalurkan kredit kepada peternak. Disamping itu frekuensi meminjam masih rendah dan nilai pinjaman relatif kecil. Besarya biaya transaksi yang semula dianggap membebani kreditor, nampaknya tidak mempunyai pengaruh yang berarti bagi peminjam. Hal ini disebabkan karena mekanisme seleksi (screening), delivery dan pola insentif serta enforcement dan pengenaan form aplikasi yang diterapkan oleh lembaga pembiayaan formal, telah cukup baik dan dimengerti oleh petani yang ingin mengaksesnya. Namun demikian aspirasi peternak terhadap lembaga pembiayaan yang diharapkan adalah tanpa prosedur yang berbelit, tapat waktu, tetap jumlah dengan menyertakan syarat aplikasi pinjaman yang lebih terjangkau. Untuk lebih murah dan lebih diakses bagi peternak ke lembaga pembiayaan, alangkah baiknya kalau dibentuk lembaga keuangan mikro (LKM) di pedesaan yang mampu menjembatani kredit bagi usaha pertanian. Pada kondisi ini diharapkan mampu mengatasi keterbatasan modal dan mampu meningkatkan usaha pertanian dan pendapatan masyarakat.

Kata kunci : pembiayaan, usahatani ternak, ternak

PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian dan ekonomi perdesaan, tidak terlepas oleh kontribusi per-tumbuhan subsektor yang mendukungnya. Sa-lah satu kontribusi dari peran subsektor dianta-ranya adalah subsektor peternakan yang ter-kendala oleh beberapa faktor, diantara salah satunya adalah selalu berhadapan dengan per-masalahan modal disamping aspek pening-katan produktivitas. Permasalahan yang sangat terbatas akan membatasi ruang gerak aktivitas

usahanya yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan.

Sebagai langkah didalam peningkatan produksi dan pendapatan, pemerintah telah melakukan kebijakan guna menanggulangi per-masalahan permodalan, dimana pada awalnya dalam bentuk program yang terus dikembang-kan untuk meningkatdikembang-kan produksi berbagai komoditas pertanian, yang diberikan secara massal. Akan tetapi dalam perkembangannya dengan pemberian kredit masal dengan tingkat bunga bersubsidi, menimbulkan polemik yang

(2)

berkepanjangan karena berbagai penyimpa-ngan (Mat Syukur et al., 2003)

Dari pengalaman pemberian kredit se-cara masal, seperti terpuruknya kegiatan KUD (Koperasi Unit Desa) yang menyalurkan KUT (Kredit Usaha Tani), maka dalam pembangun-an ekonomi peternakpembangun-an di perdesapembangun-an diperlu-kan dukungan pemerintah dalam segi kebija-kan. Utamanya pada aspek kelembagaan mau-pun perundangan-undangan, serta mencipta-kan kemudahan-kemudahan bagi pelaku usaha pertanian, dan menciptakan lembaga pembia-yaan yang kuat dan sehat. Tanpa dukungan kebijakan yang kuat, terrencana dan kompre-hensif, maka pelaku usaha peternakan akan sulit memperoleh kemudahan akses pada sum-ber-sumber pembiayaan untuk meningkatkan produktivitas usaha. Bagi peternak untuk mem-peroleh kredit, biasanya memanfaatkan kebe-radaan pada sumber pembiayaan formal dan nonformal dengan berbagai konsekuensinya. Walaupun didalam mengakses pada sumber pembiayaan, utamanya pada sumber pembia-yaan formal masih rendah, karena berbagai bentuk birokrasi dan persyaratan yang konven-sional yang selama ini menjadikan polemik tersendiri untuk memperoleh sumber modal yang murah dan mudah.

Tujuan dari pada tulisan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang keragaan sumber pembiayaan dan keadaan peternak sapi potong yang mengakses sumber pembia-yaan untuk memperoleh modal didalam men-jalankan kegiatan usahataninya.

METODOLOGI

Data primer dikumpulkan dari hasil wawancara dengan peternak sapi yang akses kesumber pembiayaan baik keterlibatannya da-lam program maupun nonprogram peningkatan produksi sapi di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung dan Kabupaten Polmas, Provinsi Sulawesi Selatan. Data sekunder dikumpulkan dari instansi Pemerintah Daerah TK I dan II, Studi Pustaka yang ada kaitannya dengan kegiatan penelitian. Dasar pertimba-ngan pemilihan lokasi, selain pertimbapertimba-ngan aspek teknis produksi, juga didasarkan atas pertimbangan banyaknya skim kredit, baik dari lembaga pembiyaan formal maupun nonformal dan kegiatan program yang diintroduksikan di

wilayah tersebut. (Penelitian dilaksanakan se-lama 8 bulan dari bulan Maret sampai bulan Oktober tahun 2003).

Pemilihan responden didasarkan atas dasar random sampling bagi peternak yang akses kesumber pembiayaan formal dan non-formal, sehingga jumlah responden dari ma-sing-masing lokasi ada 25 peternak sapi po-tong, dan jumlah lembaga pembiayaan dipilih atas dasar penyaluran dananya untuk kegiatan permodalan usaha ternak baik itu dalam bentuk program dan nonprogram, dengan proporsi 3 sumber pembiayaan lembaga formal (perbank-an) 3 sumber pembiayaan lembaga nonformal. Babarapa data primer yang dikumpul-kan terdiri dari: (a) kemampuan dan frekuensi peternak dalam mengakses kredit, (b) kemam-puan peternak didalam melaksanakan meka-nisme delivery, (c) jumlah biaya transaksi yang dikeluarkan peternak didalam mengakses kre-dit, dan (d) persepsi dan aspirasi skim pem-biayaan yang diharapkan. Sedangkan data ditingkat lembaga terdiri dari: (a) persyaratan aplikasi sumber pembiayaan, (b) jenis insentif dan sangsi.

Dari data yang dikumpulkan akan di-olah dan analisis dengan menggunakan meto-da analisis deskriptif-analitik dengan menampil-kan tabulasi tunggal dan silang terhadap setiap aspek yang dianalisis.

HASIL DAN PEMBAHAAN Gambaran Umum Kredit Perbankan Nasional

Kredit perbankan secara nasional un-tuk sektor pertanian selalu berfluktuasi, sesuai dengan kondisi pembangunan ekonomi secara nasional. Selama masa krisis ekonomi tahun 1996-2001 jumlah kredit yang disalurkan kepada sektor pertanian semakin besar dan berfluktuasi. Pada tahun 1996 persentase kredit yang disalur-kan pada sektor pertanian adalah 6,4 persen dari total penyaluran kredit nasional. Angka ini selanjutnya meningkat secara konsisten hingga tahun 1999. Pada tahun terakhir ini serapan kredit pertanian secara relatif mencapai lebih dari 15 persen. Hal ini terkait dengan program kredit pertanian berskala luas, yaitu Kredit Usaha Tani (KUT) yang disalurkan dengan cara-cara yang mudah, dan jumlah semakin meningkat tajam.

(3)

Setelah tahun 1999 alokasi kredit tersebut menu-run hingga pada tahun 2001 (8,91%). Atau de-ngan perkataan lain bahwa selama kurun waktu 1996-2001 rata-rata persentase penyaluran kre-dit di sektor pertanian tidak lebih dari 10 persen (Bank Indonesia, 2001)

Sementara itu bila dirinci dalam sektor pertanian secara nasional tampak bahwa selama kurun waktu yang hampir sama, yaitu tahun 1995-2000, alokasi kredit sektor pertanian didominasi oleh subsektor perkebunan (60%). Sedangkan di subsektor peternakan serapan kredit jauh lebih kecil yaitu pada tahun 1995 mencapai 897 miliar rupiah dan mencapai pun-caknya pada tahun 2000 hingga 1694 miliar rupiah dan cenderung turun hingga 743 miliar rupiah pada tahun 2000. Pada kondisi ini menun-jukkan bahwa pada masa krisis ekonomi tam-paknya berdampak pada alokasi kredit pada sektor pertanian, dan khususnya pada subsektor peternakan .

Kondisi Pembiayaan Peternakan Di daerah Penelitian

Beberapa program yang digulirkan pe-merintah didalam mengatasi permodalan bagi peternak, diantaranya adalah Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Subsidi BUMN, Bantuan

Pinja-man Langsung Masyarakat (BPLM) dan Kredit Usaha (Anonimous, 2002)

Pada Tabel 1. memperlihatkan bahwa skim kredit untuk peternak di Sulawesi Selatan berupa Bantuan Pinjaman Langsung Masyara-kat (BPLM), baik melalui APBD I Sulsel mau-pun APBD II, dengan pengelolaan secara indi-vidu ataupun kelompok untuk kegiatan peng-gemukan sapi dan sapi potong. Sedangkan tingkat bunga kredit BPLM yang sumbernya berasal dari APBD I dan BPD tidak dikenakan bunga pinjaman dan pengelolaannya dilakukan oleh kelompok dengan jangka waktu pengem-balian selama 2 tahun. Sedang KKP merupa-kan program pemerintah untuk membantu permodalan bidang peternakan dengan bank pelaksana melalui bank daerah (BPD) dan BNI 46.

Dilihat dari jumlah dana, kredit yang disalurkan untuk kegiatan penggemukan sapi dan sapi potong di Sulawesi Selatan sampai akhir tahun 2003 sebesar 1,5 milyar, yang terdiri dari jumlah dana untuk penggemukan sapi senilai Rp 1,1 miliar dan Rp 383 juta un-tuk dana sapi potong. Dari total dana tersebut, yang terserap di daerah penelitian Kabupaten Polmas senilai Rp 135 juta rupiah (8,5 %). Rendahnya kredit yang disalurkan berada dibawah plafon, hal ini menunjukkan adanya Tabel 1. Keragaaan Penyaluran Kredit dan Bantuan Langsung Masyarakat Ternak Sapi di Sulawesi Selatan, 2003

Sumber dana Jumlah dana

(Rp 000) Bunga (%/Th) Jangka waktu (tahun) Jenis kegiatan Pengelolaan ternak A. Penggemukan

1. APBD I 770.000 0 2 Penggemukan Kelompok

2. APBD II 10.606 6 2 Penggemukan Individu

3. BPD (KKP) 120.000 Subsidi Penggemukan Kelompok

4. BPD Sul-sel 220.000 0 2 Penggemukan Kelompok

5. BRI (Kupedes) 50.000 22 2 Penggemukan Individu

6. BNI (KKP) 25.000 Subsidi Penggemukan Kelompok

T o t a l 1.195.606

B. Sapi Potong

1. APBD I 220.000 0 2 sapi potong Kelompok

2. BPD(KKP) 20.000 6 2 sapi potong Kelompok

3. BNI(KKP) 143.955 Subsidi sapi potong Kelompok

T o t a l 383.955

Jumlah Sulsel 1.579.561

Penggemukan (%) 75,7

Sapi Potong (%) 24,3

(4)

kehati-hatian pihak perbankan baik ditingkat cabang maupun ditingkat provinsi. Ada bebe-rapa faktor dalam penyaluran kredit diantara-nya : 1) pada umumdiantara-nya permohonan kredit diajukan oleh kolompok pemula, sehingga oleh pihak perbankan diragukan keberhasilan usa-hanya, 2) dari pihak perbankan meminta agunan/jaminan dari kelompok sesuai kredit yang diinginkan, sedang dilain pihak umumnya petani tidak dapat memenuhi persyaratan yang diminta bank.

Di Provinsi Lampung masalah permo-dalan bagi peternak sapi diupayakan melalui Program Ketahanan Pangan (PKP), Kredit Ketahanan Pangan (KKP), maupun dari APBD I. dan II. Penyaluran kredit di daerah ini pada umumnya diperuntukkan bagi kelompok usaha peternakan melalui bank pelaksana ataupun bermitra dengan pihak ketiga yang telah mempunyai ijin dari pemerintah daerah.

Adapun bank pelaksana yang telah merealisasikan kredit dan telah dimanfaatkan oleh kelompok tani usaha peternakan di Kabu-paten Lampung Tengah adalah bank Lampung, bank Niaga dan bank Mandiri. Dari seluruh plafon yang berada di Bank pelaksana senilai Rp 2,5 miliar, realisasi dana kredit yang diman-faatkan senilai Rp 888,7 juta atau sekitar 34,8 persen (Tabel 2). Selain melalui perbankan

pe-nyaluran kredit juga dilakukan oleh perusa-haan-perusahaan yang menanamkan modal-nya untuk pengembangan ternak dengan nilai investasi yang cukup besar. Dalam mengem-bangkan usahanya mereka bermitra dengan kelompok usaha peternakan dalam bidang penggemukan dengan sistem bagi hasil dari pertambahan nilai berat badan (Tabel 3).

Keragaan Pemanfaatan Kredit

Pada Tabel 4, menunjukan bahwa rata-rata frekuensi pinjam bagi peternak kepada lembaga pembiayaan baik sebelum krisis (1993-1997) maupun sesudah krisis (1998-2003) dari kedua Provinsi berbeda. Di Provinsi Lampung, bahwa rata-rata frekuensi pinjam dari seluruh peternak ke lembaga pembiayaan program dan nonprogram menurun dari 4,4 kali (1993-1997) menjadi 4 kali (1998-2002). Besar-nya rata-rata frekuensi pinjam yang sangat do-minan adalah frekuensi pinjaman pada lemba-ga pembiyaan nonprogram, seperti pada lem-baga pembiayaan formal ( 5-7 kali) yang jauh lebih tinggi dari lembaga nonformal (2-3 kali). Sementara itu rata-rata frekuensi pinjam dari lembaga pembiayaan melalui program justru meningkat dari 3 kali (1993-1997) menjadi 3,75 kali (1998-2002). Hal ini menunjukkan bahwa

Tabel 2. Penyaluran Kredit Ketahanan Pangan untuk Usaha Peternakan di Provinsi Lampung, Tahun 2003

Bank pelaksana (Rp 000) Plafon Realisasi (Rp 000) penerima dana Kelompok

Bank Lampung 154.000 150.000 Rukunjaya – Lamteng

Bank Niaga 2.400.000 738.459 Brahman – Lamteng

Cempaka – Lamteng Lembusari – Lamteng

Bank Mandiri - 300 Makmur – Lamteng

Jumlah (Rp.000) (%) 2.554.000 100,00 888.759 34,80 Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan, 2003

Tabel 3. Perkembangan Investasi Perusahaan Peternakan di Lampung Tengah, Tahun 1990 – 2002 Investasi

Tahun Perusahaan Bidang usaha Nilai

(Rp 000.000) Status

1990 PT. GGLC Sapi Potong 8.500 Non Fasilitas

1995 PT. Santosa Agrindo Sapi Potong 8.500 PMA

1996 PT. Peternakan Desa Indo Jaya Sapi Potong 3.000 PMA

2000 PT.C.G. C Wala Perkasa Sapi Potong 3.800 Non Fasilitas

(5)

dengan kondisi krisis, banyak program peme-rintah maupun swasta yang membantu peter-nak untuk meningkatkan produksi.

Berbeda halnya di Provinsi Sulawesi Selatan, terutama di kabupaten penelitian (Ka-bupaten Polmas) rata-rata jumlah frekuensi pinjam dari seluruh peternak menurun dari 1,5 kali (1993-1997) menjadi 1,1 kali (1998-2003). Dilain pihak rata-rata frekuensi pinjam bagi pe-ternak kepada lembaga pembiyaan yang domi-nan adalah pada lembaga pembiayaan non-program yang meningkat dari 2 kali menjadi 2,3 kali pada tenggang waktu 1998-2002, sedang-kan pada tahun 2003 tidak ada peternak yang akses ke lembaga pmbiayaan tersebut. Begitu halnya yang terjadi pada periode yang sama, belum ada peternak yang akses ke lembaga pembiayaan formal. Sedangkan rata-rata fre-kuensi peternak ke lembaga pembiayaan yang berasal dari program, frekuensinya relatif sama.

Selanjutnya pada Tabel 4, menunjuk-kan bahwa rata-rata nilai pinjaman selama satu tahun terakhir (2003) diantara kedua program, pinjaman peternak di Provinsi Lampung senilai Rp 22,5 juta jauh lebih tinggi dari peternak di Provinsi Sulawesi Selatan senilai Rp 2,85 juta. Namun demikian terdapat perbedaan diantara peternak di dua provinsi, dimana peternak di Provinsi Lampung pada tahun 2003 memper-oleh pinjaman dari dua lembaga pembiayaan dengan rata-rata Rp 16,3 juta dari lembaga pembiayaan nonprogram terutama dari

lemba-ga pembiayaan formal dan Rp 23,6 juta dari lembaga pembiayaan yang berasal dari prog-ram. Pada tahun yang sama bagi peternak di Sulawesi Selatan hanya mampu memperoleh pinjaman atau dana yang bersumber dari lembaga pembiayaan program senilai Rp 2,8 juta dan belum ada upaya dari peternak yang akses ke lembaga pembiayaan nonprogram seperti pada lembaga keuangan formal (per-bankan atau nonbank). Hal ini kemungkinan, selain prosedur yang sangat rigid yang diper-lakukan oleh pihak lembaga formal, juga produk hasil ternak akan selalu berhadapan dengan resiko yang cukup tinggi dan tidak adanya kepastian harga output.

Praktek Skim Pembiayaan

Berbagai sumber pembiayaan baik program maupun nonprogram ataupun dari lembaga formal maupun nonformal menyedia-kan beberapa skim kredit yang dapat diakses oleh peternak dengan berbagai kemudahan dan hadiah yang menarik bagi nasabahnya. Untuk lembaga formal memberikan aturan main yang sudah dibuat baku dan sederhana de-ngan segala persyaratan, sanksi dan insentif sehingga mudah diakses oleh siapa saja yang menginginkannya.

Mekanisne Delivery

Dalam proses pinjaman modal yang diperlukan peternak ke lembaga pembiayaan

Tabel 4. Rata-rata Frekuensi Pinjam, Nilai Pinjaman dan Lama Berhubungan Peternak dengan Lembaga Pembiayaan, Tahun 1993 – 2003

Rata-rata frekuensi Pinjam (kali) Lembaga pembiayaan 1993 - 1997 1998 – 2003 Nilai pinjam1) (Rp.000) A. Lampung a. Nonprogram 5,3 5 16333,3 1. Formal 7 5,7 16333,3 2. Nonformal 2 3 0 b. Program 3 3,75 23638,2 Jumlah (a+b) 4,4 4 22542,5 B. Sulsel a. Nonprogram 2 2,3 0 1. Formal 0 0 0 2. Nonformal 2 2,3 0 b. Program 1 1 2859,3 Jumlah (a+b) 1,5 1,1 2859,3

Sumber : Data Primer, 2003

(6)

dari mulainya transaksi hingga peternak me-nerima pinjaman, sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah jarak tem-pat tinggal peternak ke lembaga pembiayaan, jumlah kali kunjungan peternak kelembaga pembiayaan dan lama proses pencairan.

Pada Tabel 5, memperlihatkan rata-rata jarak yang harus ditempuh untuk menda-patkan modal usaha dari tempat tinggal sampai sumber pembiayaan di Provinsi Lampung hing-ga 20,4 kilometer dan yang terjauh pada lembaga pembiyaan program hingga 32,7 kilo meter. Sedangkan untuk mengurus ke lembaga pembiayaan, peternak harus mengunjungi ke lembaga tersebut rata-rata 1,83 kali dengan lama proses pencairan hingga 59 hari, dan yang terlama dalam proses pencairan pada lembaga pembiayaan yang berasal dari prog-ram hingga 86 hari. Oleh karena itu timbul ke-inginan peternak yang mengharapkan lamanya proses pencairan pinjaman dari lembaga pem-biayaan nonprogram dan program paling lama 22,6 hari, diantaranya untuk pproses pencairan di nonprogram pada lembaga pembiayaan 3 hari lebih cepat. Sementara itu di peternak di Provinsi Sulawesi Selatan, peternak yang ha-nya akses kelembaga pembiayaan yang ber-asal dari program jarak yang ditempuh kurang dari 1 kilometer, namun jumlah kunjungan men-capai 7,5 kali dengan lama proses pencairan 213,3 hari. Sementara harapan peternak dalam proses pencairan 67,9 hari. Adanya kesenjang-an lama proses pencairkesenjang-an dkesenjang-an jarak ykesenjang-ang di-tempuh ke sumber pembiayaan, hal ini belum menunjukkan adanya efisiensi pelaksanaan

pembiyaan usaha peternakan dan kurangnya koordinasi upaya pelaksanaan menyangkut kegiatan program maupun nonprogram.

Seleksi, Insentif dan Enforcement

Adanya sifat kehati-hatian lembaga pembiayaan formal untuk menyalurkan kredit-nya, maka diperlukan suatu aturan main yang berbeda antara kredit program dan nonprog-ram. Dalam mekanisme tersebut kredit non-program lebih rigid dibanding nonnon-program de-ngan pengenaan tingkat bunga komersial dibanding kredit program dengan pengenaan tingkat bunga yang bersubsidi (Sudaryanto dan Mat Syukur, 2000)

Aturan main dari masing-masing lem-baga pembiayaan berbeda, utamanya pada lembaga pembiayaan formal yang memberikan insentif berupa IPTW (insentif pembayaran tepat waktu) beserta sangsi bagi peminjam yang kurang menepati aturan main yang dite-tapkan. Sedangkan persyaratan aplikasi yang sangat ketat lebih diberlakukan oleh lembaga pembiayaan formal. (Tabel 6 dan 7).

Biaya Transaksi

Biaya transaksi merupakan biaya yang dikeluarkan peternak sejak pengajuan kredit hingga penyaluran. Biaya transaksi tersebut antara lain untuk transport, administrasi dan potongan-potongan yang bersifat resmi mau-pun tidak resmi. Biaya administrasi yang harus dikeluarkan yaitu meterai, foto copy KTP, kete-

Tabel 5. Jarak Frekuensi Kunjungan, Lamanya Proses dan Proses Pencairan yang diinginkan Petani Ternak pada Lembaga Pembiayaan, Tahun 2003

Lembaga pembiayaan Jarak (km) Junlah kunjungan ( kali) Lama proses pencairan (hari Proses.pencairan yg diharapkan (hari) A. Lampung a. Nonprogram 1,67 2 6,33 3 1. Formal 1,67 2 6,33 3 2. Nonformal 0 0 0 0 b. Program 32,7 1,75 86,25 21,89 Jumlah (a+b) 20,4 1,83 59,67 22,6 B. Sulsel a. Nonprogram 0 0 0 0 1. Formal 0 0 0 0 2. Nonformal 0 0 0 0 b. Program 0,45 7,65 213,33 67,96 Jumlah (a+b) 0,45 7,6 213,33 67,96

(7)

Tabel 6. Persyaratan Aplikasi Sumber Pembiayaan, Tahun 2003

Lembaga pembiayaan Jenis persyaratan

KKP PKP KKPA Bank Umum Koperasi

1. Form aplikasi V V V V V

2. Identitas (KTP) V V V V V

3. Rekening – – – V V

4. NPWP – – – V –

5. Persetujuan pasangan (suami/istri) – – – V V

6. Bukti agunan – – – – – - Sertifikat tanah/bangunan V – – V – - BPKB – – – V – - Girik/SPOP – – – V – 7. Anggota V V V – V 8. RDKK V V V – –

9. Surat keterangan desa V – – V –

10 Surat Keterangan Usaha – – V

11. Perjanjian Kredit (Notaris) – – V V V

12. SK Pegawai – – – V –

13. Keterangan Gaji – – – V –

14. Berkelompok V V V – –

15. Persetujuan dari kelompok V V V – –

Sumber : Data Primer, 2003

Keterngan : KKP = Kredit Ketahanan Pangan; PKP = Program ketahanan Pangan KKPA = Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggota

Tabel 7. Jenis Insentif dan Sanksi Menurut Lembaga Pembiayaan,Tahun 2003

Formal Nonformal

Jenis persyaratan Kredit

program Bank Umum Koperasi Pedagang output Saudara/ tetangga A. Insentif

1. Bisa pinjam lagi V – V V –

2. Hadiah – V – – –

3. Pinjam di bawah 1bulan – – – – –

tanpa bunga – – – V –

4. Potongan bunga (IPTW) – V – – –

5. Bisa dapat kredit program – – – – –

(KKP/PKP) V V – – –

B. Sanksi

1. Ditagih terus-menerus V V V V

2. Tidak diberi pinjaman lagi V V V V V

3. Agunan ditahan V V – – –

4. Tunggakan kena bunga – V – – –

5. IPTW hilang – V – – –

6. Tdk dpt ambil kredit program V – V – –

Sumber : Data primer,2003

(8)

rangan desa, SIUP, kartu pegawai dan lain-lain, potongan merupakan prasyarat yang diha-ruskan oleh lembaga sedang biaya lain adalah biaya yang dikeluarkan yang sifatnya dapat resmi ataupun tidak resmi, pengeluaran ini diberikan peminjam kepada yang membantu mengurus pencairan pinjaman dan dikeluarkan sebagai insentif secara sukarela kepada yang membantunya.

Pada Tabel 8, menunjukan bahwa dari seluruh biaya transaksi yang dikeluarkan oleh peternak yang akses kesumber pembiayaan rata-rata l kurang dari 1 persen terhadap nilai pinjaman yang mereka terima dari lembaga pembiayaan yang berasal dari nonprogram maupun program atau senilai Rp 185.701 untuk peternak di Provinsi Lampung dan Rp 10.007 untuk peternak di Provinsi Sulawesi Selatan. Diantara seluruh biaya transaksi yang terbesar jumlahnya adalah biaya untuk memenuhi kebu-tuhan administrasi 0,55 persen untuk peternak di Provinsi Lampung dan biaya lainnya menca-pai 0,35 persen bagi peternak di Provinsi Sula-wesi Selatan. Rendahnya biaya transaki dalam akses kredit, hal ini menunjukkan bahwa ang-gapan masyarakat tentang biaya kredit terlalu mahal adalah salah. Hal ini karena kurangnya sosialisasi dan pengertian masyarakat

terha-dap aturan main dan skim yang diterapkan oleh lembaga pembiayaan formal dan nonformal.

Persepsi dan Aspirasi Skim Pembiayaan yang Diharapkan

Upaya pembiayaan formal didalam me-narik kreditor, banyak menawarkan beberapa skim kredit dan tingkat bunga yang berbeda. Sehingga bagi kreditor atau peternak yang me-miliki keterbatasan modal diharapkan lebih mampu mengakses ke sumber pembiayaan.

Persepsi dan tingkat pengetahuan pe-ternak terhadap kinerja lembaga pembiayaan belum semuanya mengerti, dan hanya seba-gian kecil yang tahu apabila memperoleh infor-masi dari petugas/dinas terkait dan ketua kelompoknya dalam rapat anggota. Persepsi peternak terhadap penyaluran kredit yang ber-asal dari sumber pembiayaan formal, menun-jukan bahwa sekitar 45 -77 persen mengatakan penyaluran kredit lebih cepat dan 60 persen untuk penyaluran kredit program. Dari tingkat suku bunga kredit menunjukan bahwa 55 persen peternak yang menyatakan tingkat bu-nga yang berlaku masih rendah dan terjangkau oleh kemampuan peternak didalam mengem-balikan kredit.

Tabel 8. Prosentase Biaya Transaksi terhadap Nilai Pinjaman Peternak menurut Lembaga Pembiayaan, Tahun 2003 Biaya Transaksi (%) Lembaga pembiayaan Nilai pinjaman ( Rp 000 ) Bunga

(%) Transp Adm Pot Lainnya Jumlah (Rp)

A. Lampung a. Nonprogram 16333,33 22,85 0,03 0,57 0,03 0,31 153533,3 1. Formal 16333,33 22,85 0,03 0,57 0,03 0,31 153533,3 2. Nonformal 0 0 0 0 0 0 0,0 b. Program 22766,22 19,46 0,08 0,65 0 0 166193,4 Jumlah (a+b) 21847,24 19,33 0,05 0,55 0,02 0,23 185701,5 B. Sulsel a. Nonprogram 0 0 0 0 0 0 0,0 1. Formal 0 0 0 0 0 0 0,0 2. Nonformal 0 0 0 0 0 0 0,0 b. Program 2859,26 12,27 0 0 0 0,35 10007,4 Jumlah (a+b) 2859,26 12,27 0 0 0 0,35 10007,4

(9)

Dari segi aspirasi peternak terhadap skim yang diharapkan baik itu melalui sumber pembiyaan formal untuk kegiatan program dan nonprogram sekitar 60 persen peternak yang menginginkan kredit dalam bentuk uang tunai. Alasan yang mereka kemukakan adalah: (a) adanya keleluasan didalam penggunaan uang untuk kegiatan usaha produktif, (b) dapat me-milih input produksi, sesuai dengan keterse-diaan dana kredit, c) lebih aman dan memberi-kan percaya diri dalam melaksanamemberi-kan kegiatan usaha. Sedangkan kelemahannya akan tergan-tung invidu kreditor yang kurang mampu me-ngelola pinjaman untuk kepentingan nonpro-dukstif dan konsumtif.

Sementara itu dari segi periode pe-ngembalian kredit, diharapkan dalam bentuk kredit yang sifatnya musiman, sesuai dengan periode hasil produksi ternak, seperti usaha ternak pembibitan dan pengemukan. Dari segi penyaluran kredit, khususnya untuk kredit ter-nak melalui kredit program, diutamakan melalui Kelompok Tani (KT). Alasan peternak lebih mempercayakan kepada KT karena dapat memberikan kepastian penyaluran kredit, di-samping itu kurang mampunya untuk mengurus kredit secara individu. Bentuk pembayaran kre-dit yang diharapakan lebih mengutamakan dalam bentuk uang baik itu yang berasal dari kredit program dan nonprogram. Alasan yang mereka kemukakan adalah karena dapat dike-tahui dengan pasti sebarapa jauh kemampuan kredit yang dikembalikan dengan ketersediaan dana dari hasil usaha yang dilaksanakan. Hal yang sangat memberatkan bagi peternak adalah yang berkaitan dengan jenis agunan yang diberlakukan oleh lembaga pem-biayaan formal yang dianggap sangat mem-beratkan. Karena kepemilikan aset berharga yang dijadikan sebagai jaminan sangat terba-tas, sehingga harapan peternak lebih meng-inginkan adanya penyesuaian kredit dengan kemampuan aset yang dimiliki dan dalam bentuk surat yang sah sebagai jaminan, seperti sertifikat, BPKB, surat ijin usaha, surat tanah.

Dengan adanya persepsi peternak

ter-hadap skim kredit yang diharapkan dan kemu-dahannya dari lembaga pembiayaan, maka diperlukan peran pemerintah sebagai fasilitator. Salah satu diantaranya adalah melalui sosiali-sasi kinerja lembaga pembiayaan kepada pe-ternak, dan kebutuhan modal yang diperlukan peternak sesuai dengan kemampauan usaha-tani dan sumberdaya yang dimiliki.

KESIMPULAN

Perhatian pemerintah terhadap biayaan sektor peternakan selain melalui pem-biayaan dalam bentuk program yang dikoordinir oleh Depertemen Pertaian melalui peran serta lembaga pembiayaan formal (perbankan), juga dikembangkan melalui bentuk kemitraan oleh perusahaan swasta yang tertarik didalam meningkatkan produksi peternakan, utamanya ternak sapi.

Akses peternak terhadap lembaga pembiayaan formal selama periode 1993-1997 dan 1998-2003 lebih tinggi dibanding akses kelembaga pembiayaan dalam bentuk prog-ram. Hal ini berarti bahwa keberadaan lembaga pembiayaan formal sangat dibutuhkan untuk meningkatkan usaha peternakan dibanding melalui program yang sifatnya insidential dan keberadaannya kurang menjamin kelangsung-an usaha.

Biaya transaksi untuk memperoleh kre-dit masih relatif wajar dan belum mencermin-kan adanya biaya tinggi. Kondisi ini mencer-minkan bahwa transaksi dan mekanisme pem-biayaan yang terjadi selama ini telah berjalan dengan baik, yakni dengan teguh menerapkan prinsip scerening dan seleksi calon peminjam yang prospektif.

Secara umum peternak mempersepsi-kan dan mengharapmempersepsi-kan sumber pembiayaan, utamanya yang formal perlu diperbanyak atau diperluas dengan syarat yang tidak terlalu kaku, sehingga akses peternak terhadap kredit semakin mudah dan luwes dan dapat disesuai-kan dengan tingkat produksi, pola pengembali-an menurut kemampupengembali-an, jpengembali-angka waktu sesuai dengan musim produksi dan tingkat pengemba-lian (bunga) relatif lebih rendah dari tingkat bunga kredit komersial.

Untuk itu perlu dibentuk LKM (Lemba-ga Keuan(Lemba-gan Mikro) di sektor sentra produksi pertanian sebagai unit pelayanan kredit di Perdesaan yang diminta bekerjasama dengan lembaga perbankan, sebagai penyandang dana. Dengan demikian lembaga keuangan mikro yang berbasis pada komoditas peter-nakan sapi dan yang kuat dapat terbentuk, serta memotivasi peternak untuk lebih akses ke sumber pembiayaan dengan memfasilitasi in-formasi berbagai bentuk skim yang dapat diterima sesuai dengan aturan yang telah di-tetapkan.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2002. Pedoman Umum Pemben-tukan Masyarakat Agribisnis Melalui Penguatan Modal Usaha Kelompok Tahun Anggaran 2002. Depatemen Pertanian. Jakarta.

Bank Indonesia. 2001. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Jakarta.

Dinas Peternakan Provinsi Lampung. 2002. Laporan Tahunan Penyaluran Kredit Ketahanan Pangan. Lampung.

Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan. 2003. Laporan Tahunan Penyaluran

Kredit BLM Ternak Sapi. Ujung Pan-dang.

Sudaryanto,T. dan Mat Syukur.2000. Pengem-bangan Lembaga Keuangan Alternatif Mendukung Pembangunan Ekonomi Perdesaan. Memeo. Pusat Penenlitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Syukur.M. et al..2002. Kajian Pembiayaan Per-tanian Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri di Perdesa-an. Laporan Hasil PenelitiPerdesa-an. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dapat disimpulan bahwa berdasarkan variasi kadar aspal 4%, 4,5%, 5%, 5,5% dan 6% maka KAO (kadar aspal optimum) yang digunakan adalah 5%

Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di perusahaan pertelevisian di Yogyakarta dan Bandung seperti Adi TV, Jogja TV, RB TV, MQTV dan Bandung TV, karena

Pelayanan Rawat Sehari (One Day Care) di Rumah Sakit adalah pelayanan kepada pasien untuk observasi, perawatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medis dan atau

- Melakukan entry data rencana studi yang sudah diisikan pada FPRS ke dalam komputer sesuai dengan jadwal dan ruang yang tercantum padaa. KETENTUAN UMUM

DIREKTCRAT JENDERAL PEKERINTAHAN UMUM DAN OTOKOHI DAERAH. ^ DIREETUR PBKBIKAAN PBMERIiaAHAK DAERAH

Hasil observasi di lapangan dengan pemakai produk yaitu anak tunagrahita mampu latih di SLB/C Arrahman telah menyiapkan kartu kosakata sebagai media untuk meningkatkan kemampuan

Mengingat airtanah dapat berkontribusi dalam adaptasi dan terakumulasi di bagian utara wilayah Malang yang mempunyai risiko penurunan ketersediaan air paling tinggi

dan time budget pressure terhadap kualitas audit, oleh karena itu penulis mengambil judul penelitian: “Pengaruh Sistem Pengendalian Mutu dan Time Budget Pressure