• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN EFEKTIVITAS SISTEM RESI GUDANG DALAM STABILISASI PENDAPATAN PETANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN EFEKTIVITAS SISTEM RESI GUDANG DALAM STABILISASI PENDAPATAN PETANI"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KEGIATAN

KAJIAN ISU-ISU AKTUAL KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN 2013

KAJIAN EFEKTIVITAS SISTEM RESI GUDANG

DALAM STABILISASI PENDAPATAN PETANI

Oleh:

Ashari Ening Ariningsih Yana Supriyatna Cut Rabiatul Adawiyah

Sri Suharyono

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN

KEBIJAKAN PERTANIAN

BADAN PENELITIAN DAN

PENGEMBANGAN PERTANIAN

(2)

x

RINGKASAN EKSEKUTIF

PENDAHULUAN

1. Fenomena jatuh harga pada komoditas pertanian (terutama pada saat panen raya) merupakan masalah laten yang sangat merugikan petani. Untuk menghindari kerugian akibat anjlok harga saat panen raya, secara teori petani dapat melakukan tunda jual. Namun, sebagian besar petani (terutama petani gurem) tidak memilih alternatif tunda jual karena mereka membutuhkan uang tunai untuk biaya tanam selanjutnya. Oleh karena itu, diperlukan sebuah alternatif model pemasaran yang memungkinkan petani dapat melakukan tunda jual sekaligus masih dapat memperoleh uang tunai. Salah satu model pemasaran alternatif tersebut adalah Sistem Resi Gudang (SRG).

2. Sebagai skim yang relatif baru manfaat SRG masih belum teruji benar sebagai alternatif untuk meningkatkan pendapatan dan pembiayaan pertanian. Banyak pertanyaan seputar konsep (format, aturan, dan operasionalisasi) SRG, kesesuaian antara SRG dengan karakteristik petani dan usaha pertanian, efektivitas SRG dalam meningkatkan ataupun stabilisasi pendapatan petani perlu mendapatkan jawaban. Disamping itu, kendala-kendala implementasi juga perlu mendapatkan jawaban. Karena itulah kajian ini perlu untuk dilakukan.

3. Secara umum tujuan penelitian efektivitas sistem resi gudang dalam stabilisasi pendapatan petani adalah untuk: (1) meninjau konsepsi dan potensi SRG dalam mendukung peningkatan pendapatan petani; (2) mengidentifikasi efektivitas SRG dalam meningkatkan pendapatan petani; (3) mengidentifikasi kendala penerapan SRG dalam stabilitas pendapatan petani; dan (4) memberikan saran dan rekomendasi kebijakan pengembangan SRG dalam stabilitas pendapatan petani.

4. Dampak yang diharapkan dari penelitian ini adalah perbaikan sistem manajemen dalam pengelolaan SRG sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan pelaku usaha lainnya.

METODOLOGI

5. Penelitian ini meliputi empat kegiatan, yakni: (1) menganalis konsepsi dan potensi SRG dalam mendukung peningkatan pendapatan petani; (2) mengidentifikasi efektivitas SRG dalam meningkatkan pendapatan petani; (3) mengidentifikasi kendala penerapan SRG dalam stabilitas pendapatan petani; dan (4) merumuskan saran dan rekomendasi kebijakan pengembangan SRG dalam stabilitasi pendapatan petani

(3)

xi

6. Lokasi penelitian dipilih berdasar pada beberapa kriteria, yakni: (a) provinsi merupakan sentra produksi padi dan masih terjadi insiden anjlok harga saat panen raya serta menjadi lokasi pembangunan gudang baik menggunakan dana DAK maupun Tugas Pembantuan; dan (b) pemilihan kabupaten didasarkan pada praktek SRG yang telah diterapkan minimal pernah diujicobakan. Dua Provinsi yang mewakili kriteria tersebut, yaitu Provinsi Jawa Barat dan Kalimantan Selatan, sedangkan Provinsi DKI Jakarta juga dijadikan sebagai lokasi kajian berdasarkan posisinya sebagai pemerintah pusat dan pembuat kebijakan nasional

7. Responden terdiri dari penentu kebijakan di tingkat pusat maupun daerah, perencana/pelaksana di dinas provinsi/kabupaten, pelaksana/pendamping SRG di tingkat kecamatan dan desa, lembaga keuangan, pengelola SRG, petani peserta SRG, ketua/anggota kelompok tani peserta SRG, dan pedagang gabah/beras

8. Data diperoleh dari berbagai intansi pemerintah dan non-pemerintah, yaitu Bappebti (Kemendag), Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil, Direktorat Pembiayaan Pertanian, Bank Indonesia, Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Pemda, Perbankan peserta Skim SRG dan lembaga pendukung lainnya dan juga petani pelaku SRG dan Petani non pelaku SRG.

9. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis kebijakan dengan melakukan review dan sintesis terhadap berbagai dokumen dan laporan terkait dengan konsepsi, implementasi, dampak, dan kendala SRG di lapangan.

10. Rumusan kebijakan pengembangan SRG mencakup beberapa opsi, yaitu: (a) reorientasi SRG dan kebijakan pendukungnya, (b) format dan mekanisme SRG untuk lebih aplikatif, (c) action program untuk memperkuat dukungan stakeholder (terutama lembaga keuangan) terhadap pelaksanaan SRG, dan (d) alternatif pendanaan yang lebih fleksibel dan menguntungkan bagi petani dan pengelola SRG.

HASIL PENELITIAN

Konsepsi dan Dasar Hukum serta Potensi SRG dalam Mendukung Peningkatan Pendapatan Petani

Konsepsi SRG

11. Resi gudang adalah dokumen bukti kepemilikan barang yang disimpan di suatu gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang. Sedangkan Sistem Resi Gudang (SRG) atau disebut juga warehouse receipt system (WRS) merupakan kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang.

(4)

xii

12. Resi Gudang yang dikenal masyarakat ada 2 bentuk, yaitu: (1) resi gudang yang dapat diperdagangkan (“negotiable warehouse receipt”), (2) resi gudang yang tidak dapat diperdagangkan (“non-negotiable warehouse receipt”)

13. Perdagangan resi gudang di Indonesia diatur oleh suatu badan yang disebut ”Badan Pengawas Sistem Resi Gudang”, yaitu suatu unit organisasi di bawah Menteri yang diberi wewenang untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan pelaksanaan sistem resi gudang. Beberapa kelembagaan lain yang terlibat dalam pelaksanaan SRG adalah Pengelola Gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian, Pusat Registrasi serta Hubungan Kelembagaan Pusat dan Daerah. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam SRG diatur dalam UU No. 9 tahun 2006. 14. Komoditas atau barang yang dimaksud dalam undang-undang dan

peraturan tentang SRG adalah setiap benda bergerak yang dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu dan diperdagangkan secara umum. Setidaknya ada 8 komoditas pertanian yang telah ditetapkan dalam Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007, yaitu: (1) gabah, (2) beras, (3) kopi, (4) kakao, (5) lada, (6) karet, (7) rumput laut dan (8) jagung.

Dasar Hukum SRG

15. Dasar hukum SRG di Indonesia diatur dalam Undang-Undang (UU) RI No. 9 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang. Dalam pelaksanaannya, SRG juga didukung oleh Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen), dan Surat Keputusan (SK) dari beberapa kementerian terkait.

16. Adapun dasar hukum bagi Bank untuk dapat memberikan pinjaman atas RG yaitu Peraturan Bank Indonesia No. 9/6/PBI/2007 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilai Kualitas Aktiva Umum.

Potensi SRG untuk Mendukung Peningkatan Pendapatan Petani 17. Potensi manfaat yang dapat diperoleh dengan implementasi SRG relatif

cukup besar, diantaranya berpeluang untuk meningkatkan produksi, menambah perputaran ekonomi, dan menyerap tenaga kerja dan atau/mengurangi pengangguran. Selain itu, dengan SRG diharapkan kontribusi UMK pada pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat.

18. Potensi manfaat SRG bagi petani adalah: (1) mendapatkan harga yang lebih baik dengan menunda waktu penjualan; (2) kepastian kualitas dan kuantitas atas barang yang disimpan; (3) mendapatkan pembiayaan dengan cara yang tepat dan mudah; dan (4) mendorong berusaha secara berkelompok sehingga meningkatkan posisi tawar.

(5)

xiii

Kinerja dan Efektivitas SRG dalam Meningkatkan Pendapatan Petani Kinerja SRG dalam Meningkatkan Pendapatan Petani

19. Secara nasional, hingga Juni 2013, jumlah RG yang telah diterbitkan sebanyak 931 lembar dengan total volume komoditas 37.250,50 ton terdiri dari: (a) 32.193,16 ton gabah; (b) 3.737,20 ton beras; (c) 1.084,78 ton jagung; (d) 20,39 ton kopi; dan (e) 215 ton rumput laut. Nilai dari keseluruhan komoditas tersebut adalah Rp 179,95 milyar.

20. SRG di Kabupaten Cianjur, operasionalisasi pertama didampingi oleh PT Pertani, dan keluar RG perdana pada tanggal 8 April 2011. Jumlah kumulatif gabah yang disimpan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hingga bulan Juni 2013 jumlah kumulatif gabah yang disimpan adalah sebanyak 671,025 ton, terdiri dari 20 lembar resi dengan total nilai sebesar Rp 3.688.942.500. Adapun jenis padi yang disimpan di gudang SRG Kabupaten Cianjur adalah Impari, Ciherang, Muncul, dan Sintanur yang keseluruhannya berasal dari 9 kecamatan, yaitu Cidaun, Cilaku, Karangtengah, Ciranjang, Cibeber, Warungkondang, Gekbrong, Cianjur, dan Bojongpicung.

21. Kementerian Perdagangan RI menetapkan SRG Warungkondang, Cianjur sebagai SRG terbaik se-Indonesia. Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur juga mendapatkan penghargaan SRG Award atas dukungan pembinaan dalam pelaksanaan SRG di wilayahnya yang diserahkan oleh Menteri Perdagangan RI di Surabaya pada tanggal 20 September 2012.

22. Di Kalimantan Selatan, SRG mulai berjalan sejak tahun 2010, di Kabupaten Barito Kuala (Batola). Gudang SRG berlokasi di Desa Puntik Dalam, Kecamatan Mandastana, mulai beroperasi sejak tanggal 10 Oktober 2010 dan diresmikan oleh Kemendag pada 17 Desember 2010. Operasional gudang tersebut ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Bappebti No. 11/BAPPEBTI/Kep-SRG/SP/GD/09/2010 tanggal 21 September 2013. Pengelolaan gudang SRG Batola dilakukan melalui Perjanjian Kerjasama (MoU) pengelolaan gudang antara Pemda Kabupaten Batola dengan PT. Bhanda Ghara Reksa selaku Pengelola Gudang

23. SRG di Batola mendapat support dari BI yang cukup besar. Mulai dari batuan mesin drier (melalui program CSR), hingga sosialisasi tentang SRG ke semua stakeholder dan mengkoordinasikan bank-bank agar mendukung pelaksanaan SRG. Bank yang sudah terlibat dalam SRG di Kalsel adalah Bank Kalsel dengan menerbitkan Skim Pembiayaan Kresigu. 24. Syarat utama agar SRG tetap eksis dan berkesinambungan adalah adanya

komitmen yang kuat dari pimpinan daerah (Bupati/Walikota). Seperti Kasus di Batola, SRG masih aktif hingga saat ini karena Bupati sangat mendukung pelaksanaan SRG dan pembangunan sektor pertanian.

(6)

xiv

Demikian juga jajaran di bawahnya seperti Diskoperindag dan Dinas Pertanian sangat concern dalam mendukung pelaksanaan SRG.

25. Dari pelaksanaan SRG yang sudah berlangsung selama ini, pembeli gabah RG adalah pedagang beras atau KUD. Salah satu hal menarik yang diungkapkan melalui perwakilan gapoktan adalah sebaiknya SRG tidak hanya difungsikan sebagai tunda jual tetapi dapat dikembangkan ke pemasaran juga (hilir) dengan cara melengkapi gudang SRG dengan RMU.

Efektivitas SRG dalam Meningkatkan Pendapatan Petani

26. Hasil analisis menunjukkan bahwa SRG Warungkondang, Kabupaten Cianjur, efektif meningkatkan pendapatan petani. Peningkatan harga yang diperoleh petani peserta berkisar antara Rp 400 hingga Rp 600/kg GKP. Demikian pula, SRG Warungkondang, Kabupaten Cianjur efektif menstabilkan atau bahkan meningkatkan pendapatan petani, dimana hasil analisis menunjukkan kenaikan keuntungan petani dapat mencapai sekitar Rp 2,2 juta per hektar sawah per musim jika dibandingkan bila tidak mengikuti SRG.

27. Sementara itu, dengan memanfaatkan SRG, petani di Kabupaten Batola mendapatkan selisih harga hingga Rp 2.625/kg dibandingkan dengan apabila dilakukan penjualan segera pada saat panen, sehingga dapat memberikan kumulatif tambahan pendapatan petani hingga sebesar Rp 1.444,7/kg.

Perkembangan dan Kendala Penerapan SRG dalam Stabilitas Pendapatan Petani

Perkembangan SRG di Indonesia

28. UU SRG diperkenalkan pada tahun 2007 dengan proyek percontohan di empat daerah, yaitu di Indramayu, Banyumas, Jombang untuk komoditas gabah dan Gowa untuk komoditas jagung. Dalam proyek percontohan tersebut, hanya 305 ton komoditas dikeluarkan sebagai surat berharga (resi) gudang yang mencakup 15 resi gudang dengan nilai kurang lebih Rp 1 miliar.

29. Perkembangan pelaksanaan SRG pada masa-masa awal terbilang sangat lambat. Namun, seiring dengan berjalannya waktu implementasi SRG mengalami peningkatan yang signifikan, sehingga sejak tahun 2008 hingga tanggal 22 Agustus 2013 secara kumulatif jumlah RG yang telah diterbitkan mencapai 961 RG dengan total volume komoditas sebanyak 40.031,94 ton, yang terdiri dari 34.353,16 ton gabah; 3.757,20 ton beras; 1.574,20 ton jagung; 20,39 ton kopi; dan 327 ton rumput laut dengan nilai keseluruhan mencapai Rp 192,59 milyar. Dari sejumlah itu, total RG yang diagunkan adalah sebanyak 728 RG senilai Rp 109,73 milyar.

30. Penerbitan RG ini dilakukan di 39 kabupaten/kota yang meliputi Bener Meriah, Indramayu, Subang, Cianjur, Pekalongan, Karanganyar, Bantul, Demak,

(7)

xv

Jombang, Jepara, Banyumas, Kudus, Madiun, Mojokerto, Sragen, Nganjuk, Ngawi, Banyuwangi, Pasuruan, Probolinggo, Tulungagung, Sampang, Barito Kuala, Lombok Timur, Bantaeng, Sidrap, Pinrang, Gowa, Sumbawa, Grobogan, Sumedang, Ciamis, Tangerang, Lombok Barat, Lebak, Tuban, Pasaman Barat, Deli Serdang dan Kota Makassar.

31. Gudang yang telah melakukan SRG sebanyak 59 unit yang terdiri dari gudang pemerintah sebanyak 32 unit dan gudang non-pemerintah sebanyak 27 unit. Pengelolaan ke-59 gudang tersebut dilakukan oleh 7 lembaga, baik swasta, BUMN, maupun koperasi, yaitu: Petindo Daya Mandiri (3 gudang), Koptan Bidara Tani (1 gudang), PT Pertani (44 gudang), PT Bhanda Ghara Reksa (7 gudang), Sucofindo (2 gudang), Koperasi Selaras (1 gudang), dan Koperasi Niaga Mukti (1 gudang). 32. Sumber pembiayaan SRG berasal dari Lembaga Keuangan Bank seperti

BRI, Bank Jabar (BJB), Bank Jateng, Bank Jatim, Bank Kalsel, dan Lembaga Keuangan Non-Bank seperti BPRS, Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), PT Kliring Berjangka Indonesia (KBI) dan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Kementerian KUKM.

33. Faktor-faktor yang mendukung peningkatan transaksi RG antara lain adalah semakin meluasnya daerah yang memanfaatkan SRG, khususnya di beberapa gudang SRG yang dibangun melalui Dana Stimulus Fiskal 2009, mulai diterapkannya Subsidi Resi Gudang, serta semakin meningkatnya pemahaman petani, Kelompok Tani (Poktan), Gapoktan, Koperasi/UKM dan pelaku usaha lainnya. Peran serta dari kalangan perbankan dan lembaga keuangan juga menjadi faktor yang membantu perkembangan yang positif ini, di mana mereka turut terlibat dalam memberikan pembiayaan kepada petani melalui Skema Subsidi Resi Gudang (S-SRG) serta kemudahan prosedur dalam melakukan permohonan pembiayaan melalui S-SRG. Dari sisi kelembagaan, implementasi SRG juga menunjukkan perkembangan yang cukup positif. 34. Walaupun trend perkembangan SRG cukup positif yaitu tercermin dari

peningkatan volume dan nilai RG, namun dibandingkan dengan jumlah total komoditas pertanian yang ada serta keikutsertaan petani/stakeholder lain maka SRG terbilang masih minim.

Kendala Penerapan SRG

35. Kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasi SRG, baik yang menyangkut aspek teknis, sosial, ekonomi, kelembagaan dan sumberdaya manusia maupun kebijakan yang sangat mempengaruhi kinerja SRG di lapangan diantaranya adalah sbb.: (1) masih terbatasnya sosialisasi mengenai SRG, terutama kepada petani/klomtan; (2) sikap petani yang tidak sabar dengan sistem tunda jual; (3) terbatasnya jumlah gudang penyimpan hasil pertanian; (4) fasilitas/sarana dan prasarana pendukung gudang yang kurang memadai; (5) lokasi gudang yang jauh dari lokasi sentra produksi; (6) kecilnya volume gabah yang disimpan per

(8)

xvi

petani/kelompok tani/Gapoktan/koperasi di gudang; (7) kurangnya koordinasi antara Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan stakeholder lainnya; (8) tidak tersedianya mekanisme jaminan yang relatif terjangkau bagi pelaku usaha apabila Pengelola Gudang mengalami pailit atau melakukan kelalaian dalam pengelolaan (mishandling) sehingga tidak dapat melaksanakan kewajibannya mengembalikan barang yang disimpan di gudang sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang tertera dalam Resi Gudang; (9) pelimpahan SRG dari pendamping ke lembaga yang siap menjalankan SRG, yaitu koperasi, memerlukan persiapan yang cukup matang;

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

36. SRG akan dapat berjalan efektif apabila masing-masing stakeholder yang terlibat dapat bersinergi dan memegang komitmen sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang tentang SRG dan peraturan turunannya. 37. Titik lemah yang masih terlihat nyata dalam implementasi SRG adalah

kurangnya sosialisasi kepada stakeholder, terutama kepada petani/klomtan. Oleh karena itu, sosialisasi SRG perlu dilakukan secara lebih intensif dengan lebih memfokuskan target sosialisasi kepada petani/kelompok tani/Gapoktan. Supaya lebih efektif, sosialisasi juga perlu menggunakan bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh petani. 38. Faktor kunci ketertarikan petani untuk bergabung dalam SRG adalah

adanya kejelasan pasar dan dukungan pendanaan sehingga tidak ada keraguan petani dalam melaksanakan SRG.

39. Agar keberadaan SRG dapat dimanfaatkan petani secara lebih luas, maka secara khusus Kementerian Pertanian perlu melakukan modifikasi atau penyederhanaan prosedur SRG yang disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat.

(9)

xvii DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

EXECUTIVE SUMMARY iii

RINGKASAN EKSEKUTIF x

DAFTAR ISI xvii

DAFTAR TABEL xviii

DAFTAR LAMPIRAN xix

I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Dasar Pertimbangan 3

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Keluaran yang Diharapkan 4

1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak 4

II. METODOLOGI 5

2.1. Kerangka Pemikiran 5

2.2. Ruang Lingkup Kegiatan 6

2.3. Lokasi Penelitian dan Responden 7

2.3.1. Dasar Pertimbangan 7

2.3.2. Lokasi dan Responden 7

2.4. Data dan Metoda Analisis 7

2.4.1. Jenis dan Sumber Data 7

2.4.2. Metoda Analisis 9

2.5. Analisis Risiko dan Solusinya 10

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 11

3.1. Konsepsi dan Dasar Hukum serta Potensi SRG dalam

Mendukung Peningkatan Pendapatan Petani 11

3.1.1. Konsepsi SRG 11

3.1.2. Dasar Hukum SRG 14

3.1.3. Potensi SRG untuk Mendukung Peningkatan

Pendapatan Petani 18

3.2. Kinerja dan Efektivitas SRG dalam Meningkatkan

Pendapatan Petani 21 3.2.1. Kinerja Pengelolaan SRG 21 3.2.2. Efektivitas SRG dalam Peningkatan Pendapatan

Petani 31

3.3. Perkembangan dan Kendala Penerapan SRG dalam

Stabilitas Pendapatan Petani 37

3.3.1. Perkembangan SRG di Indonesia 37

3.3.2. Kendala Penerapan SRG 42

IV. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan 49

4.1. Kesimpulan 49

4.2. Implikasi Kebijakan 49

DAFTAR PUSTAKA 51

(10)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Sumber dan Jenis Data Sekunder 8

2. Jenis dan Sumber Data Primer 9

3.

Daftar Kemungkinan Risiko, Penyebab, Dampak dan Antisipasi

Penanggulangannya dalam Penelitian 10 4. Potensi manfaat SRG bagi berbagai Stakeholder 20 5. Pelaksanaan SRG di Kabupaten Cianjur, 2011 – 2013 24 6. Pelaksanaan SRG di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan

Selatan, Periode 2010–2013 30

7. Tabel Analisis Pendapatan Petani (per hektar) Dengan dan Tanpa Memanfaatkan SRG di Kabupaten Cianjur, MH 2012/2013

32 8. Analisis Pendapatan Petani (per hektar) Dengan dan

Tanpa Memanfaatkan SRG di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan,Tahun 2012

34 9. Akumulasi Jumlah RG, Volume dan Nilai Barang SRG

Tahun 2008-2013 39

10. Akumulasi Pembiayaan SRG Tahun 2008-2013 39 11. Pengelola SRG, Jumlah dan Status Gudang, serta

Komoditas yang Dikelola 41

(11)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Bagan Alir/Prosedur Operasi Standar di Pengelola

Gudang Sistem Resi Gudang 53

(12)

1

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Komoditas pertanian menurut Teken dan Hamid (1982) memiliki sejumlah karakteristik yang khas diantaranya: produksi musiman, dihasilkan dari skala usaha kecil, produksi terpencar, bersifat berat (bulky), memakan tempat (voluminous), dan mudah rusak (perishable). Terkait dengan sifat produksi yang musiman tersebut, fenomena jatuh harga pada komoditas pertanian (terutama pada saat panen raya) telah menjadi masalah laten yang sangat merugikan petani. Bahkan, seringkali terjadi harga produk pertanian yang terlalu rendah saat panen raya menyebabkan sebagian petani enggan untuk memanen hasil pertaniannya karena biaya panen lebih besar dibandingkan dengan harga jual produknya (Muhi, 2011).

Permasalahan anjlok harga ini selalu terjadi berulang kali, baik dalam durasi musiman, tahunan, maupun siklus beberapa tahun sekali. Secara umum hampir semua komoditas pertanian (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan komoditas lainnya) mengalami nasib yang sama. Bahkan, untuk beberapa komoditas ekspor perkebunan, insiden anjlok harga bukan hanya terjadi ketika panen raya, tetapi juga rentan terhadap dinamika kondisi perkonomian global seperti saat krisis finansial.

Untuk menghindari kerugian akibat anjlok harga saat panen raya, secara teori petani dapat melakukan tunda jual. Namun, sebagian besar petani (terutama petani gurem) tidak memilih alternatif tunda jual karena mereka membutuhkan uang tunai untuk biaya tanam selanjutnya. Menurut Pusat Pembiayaan (2006), petani memberlakukan hasil panennya sebagai “cash crop” dalam arti petani membutuhkan segera uang tunai guna memenuhi kebutuhan hidupnya serta untuk melakukan usahatani di musim berikutnya.

Berdasarkan fenomena tersebut, diperlukan sebuah alternatif model pemasaran yang memungkinkan petani dapat melakukan tunda jual sekaligus masih dapat memperoleh uang tunai. Dengan sistem pemasaran yang ada (konvensional), sulit diharapkan petani mampu melakukan tunda jual karena

(13)

2

ketersediaan uang tunai merupakan kebutuhan mendesak. Salah satu model pemasaran alternatif tersebut adalah Sistem Resi Gudang (SRG). Model pemasaran SRG ini memiliki dasar hukum yang kuat karena telah didukung dengan UU No. 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang (SRG) dan diperbarui dengan UU No. 9 tahun 2011. Sebagai tindak lanjut agar SRG lebih operasional, pemerintah telah mengeluarkan PP No. 36/2007.

Secara konseptual, dengan penerapan SRG petani dapat menunda waktu penjualan hasil panen pada saat panen raya dimana harga cenderung turun serta menunggu saat yang tepat untuk mendapatkan harga yang lebih baik. Disamping dapat dimanfaatkan oleh kelompok tani dan UKM sebagai bukti kepemilikan komoditas, RG juga dapat sekaligus dimanfaatkan sebagai agunan untuk mendapatkan kredit dari perbankan/non-perbankan. SRG dengan demikian diharapkan menjadi salah satu alternatif sistem pemasaran yang dapat difungsikan sebagai instrumen untuk melindungi petani dari kerugian akibat turunnya harga. SRG sudah diadopsi di banyak negara dan secara umum berjalan relatif sukses. Dalam konteks yang lebih makro, dengan SRG tidak saja bermanfaat membantu petani terhindar dari kerugian akibat jatuhnya harga, tetapi juga dapat dijadikan sebagai instrumen untuk menjaga stabilitas ketersediaan pangan.

Namun demikian, sebagai skim yang relatif baru manfaat SRG masih belum teruji benar sebagai alternatif untuk meningkatkan pendapatan dan pembiayaan pertanian. Sejumlah pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah dari sisi konsep (format, aturan, dan operasionalisasi) SRG, sudah sesuai dengan karakteristik petani dan usaha pertanian? Apakah SRG telah efektif dalam meningkatkan atau stabilisasi pendapatan petani? Kendala apa saja yang masih dihadapi dalam implementasi SRG serta solusi yang dapat ditawarkan untuk mengoptimalkan peran SRG? Dengan masih banyaknya pertanyaan tersebut, diperlukan sebuah kajian khusus untuk melihat secara komprehensif tentang SRG dari aspek konsepsi, implementasi dan dampaknya dalam meningkatkan pendapatan serta dukungan terhadap ketersediaan modal usahatani sekaligus untuk menjaga stabilitas pendapatan petani.

(14)

3 1.2. Dasar Pertimbangan

Pemerintah telah berupaya melindungi petani terhadap kejadian anjlok harga saat panen raya, terutama pada komoditas padi, melalui kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Dalam praktiknya kegiatan tersebut masih belum sesuai harapan dan insiden anjlok harga masih terus terjadi. Keberadaan SRG yang sudah diujicobakan di beberapa daerah dengan tujuan membantu pemenuhan modal serta peningkatan petani perlu dilihat lebih jauh seberapa besar efektivitasnya dalam memperkuat pelaku usaha pertanian.

Berdasarkan uraian tersebut terlihat bahwa SRG memiliki potensi untuk mengatasi permasalahan anjlok harga, namun dari sisi efektivitas dan kelayakan secara ekonomi masih perlu dipelajari lebih dalam lagi. Oleh karena itu, sasaran kegiatan penelitian ini adalah teridentifikasinya potensi, efektivitas dan kendala SRG dalam peningkatan pendapatan dan stabilisasi pendapatan petani. Dengan hasil kajian ini akan diperoleh informasi yang lebih lengkap tentang pelaksanaan SRG di Indonesia dan seberapa efektivitasnya untuk membantu petani terutama dalam kaitan stabilisasi pendapatan.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian efektivitas sistem resi gudang dalam stabilisasi pendapatan petani adalah sebagai berikut:

(1) Meninjau konsepsi dan potensi SRG dalam mendukung peningkatan pendapatan petani;

(2) Mengidentifikasi efektivitas SRG dalam meningkatkan pendapatan petani;

(3) Mengidentifikasi kendala penerapan SRG dalam stabilitas pendapatan petani;

(4) Memberikan saran dan rekomendasi kebijakan pengembangan SRG dalam stabilitas pendapatan petani.

(15)

4 1.4. Keluaran yang Diharapkan

Luaran yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah: (1) Hasil identifikasi tentang pola-pola pemasaran komoditas pertanian yang eksis di lokasi penelitian serta pola pemasaran alternatif yang berpeluang untuk dikembangkan; (2) Informasi tentang konsepsi dan potensi SRG dalam mendukung peningkatan pendapatan dan stabilisasi pelaku usaha pertanian baik pada tataran konsep maupun implementasinya; (3) Informasi tentang efektivitas SRG dalam stabilisasi pendapatan petani; (4) Informasi mengenai kendala penerapan SRG di sektor pertanian, serta (5) Rekomendasi kebijakan optimalisasi SRG sebagai alternatif model pemasaran di sektor pertanian. 1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak

Hasil penelitian berupa informasi tentang pola pemasaran, konsepsi dan implementasi SRG dengan sejumlah kendalanya akan bermanfaat sebagai bahan masukan dalam penyempurnaan program ke depan. Secara eksplisit Penerima manfaat dari kegiatan ini adalah Kementerian Pertanian sebagai kementerian yang mempunyai tugas utama untuk peningkatan kesejahteraan petani dan menjaga stabilisasi ketahanan pangan nasional. Disamping itu, Kementerian Perdagangan juga dapat mengambil manfaat dari hasil kajian ini untuk menyempurnakan format, tata kelola, dan dukungan kebijakan untuk menjadikan SRG lebih efektif dan efisien.

Dampak yang diharapkan dari penelitian ini adalah perbaikan sistem manajemen dalam pengelolaan SRG sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi petani dan pelaku usaha lainnya. Dengan demikian, SRG diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan dapat berjalan serta diimplementasikan secara berkelanjutan.

(16)

5

II. METODOLOGI 2.1. Kerangka Pemikiran

Stabilisasi harga dan peningkatan pendapatan petani merupakan faktor kunci untuk mencapai kesejahteraan petani. Setidaknya ada dua aspek yang akan menentukan tingkat pendapatan petani yaitu tingkat produksi (gabah) dan harga komoditas saat panen. Telah banyak program yang diluncurkan pemerintah dalam rangka peningkatan produksi padi diantaranya SLPTT, BLBU, BLP, PUAP, dan sebagainya. Namun, peningkatan produksi tidak akan banyak berarti manakala harga komoditas tersebut jatuh karena pendapatan petani akan tetap atau bahkan menurun.

Fenomena jatuh harga (gabah/beras) sudah menjadi hal yang lazim terutama pada saat panen raya. Petani sebetulnya memiliki alternatif untuk melakukan tunda jual gabah. Namun dengan kondisi sosial ekonomi yang sangat lemah mereka hampir tidak mungkin melakukan tunda jual dan terpaksa menjual hasil panen sesuai dengan harga pasar yang berlaku.

Salah satu alternatif pemasaran yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan SRG. Dalam konsep SRG petani dapat melakukan tunda jual dan menunggu sampai harga komoditas naik tanpa kekhawatiran tidak mendapatkan uang tunai. Pada SRG, petani menyimpan hasil panennya dalam gudang dan mendapat resi gudang (bukti pemilikan barang di gudang) yang dapat dijadikan sebagai agunan peminjaman modal ke lembaga keuangan (bank atau non-bank).

Secara konseptual, SRG menawarkan sejumlah kemudahan dan kelebihan dalam membantu petani dalam memperoleh harga yang lebih tinggi sekaligus tetap mendapatkan modal usahatani. Namun demikian, sebagai sebuah skim pemasaran alternatif masih perlu diuji keefektifannya. Dengan sistem kelembagaan yang relatif kompleks, perlu diuji apakah SRG telah sesuai dengan sifat usaha pertanian yang umumnya berskala kecil dan apakah dapat menjadi solusi terbaik bagi upaya stabilisasi dan peningkatan pendapatan petani. Sebuah kajian yang komprehensif dan obyektif tentang

(17)

6

SRG diharapkan akan dapat menjawab berbagai pertanyaan yang muncul tersebut.

2.2. Ruang Lingkup Kegiatan

(1) Kegiatan 1: Menganalis konsepsi dan potensi SRG dalam mendukung peningkatan pendapatan petani

Cakupan analisisnya adalah: (a) tinjauan terhadap konsep SRG, (b) kompilasi pendapat/pandangan pemangku kepentingan (stakeholder) terhadap potensi SRG bagi sektor pertanian, dan (c) dukungan dan sinergi antar institusi yang terkait dengan pelaksanaan SRG.

(2) Kegiatan 2: Mengidentifikasi efektivitas SRG dalam meningkatkan pendapatan petani

Cakupan analisisnya adalah: (a) analisis usaha tani (harga dan penerimaan petani) peserta SRG sebelum dan sesudah mengikuti SRG, (b) analisis tujuan SRG dan kondisi riil petani peserta SRG, dan (c) dampak SRG terhadap dukungan ketersediaan permodalan petani peserta.

(3) Kegiatan 3: Mengidentifikasi kendala penerapan SRG dalam stabilitas pendapatan petani

Cakupan analisisnya adalah: (a) identifikasi kendala penerapan SRG dari aspek ekonomi, (b) identifikasi kendala penerapan SRG dari aspek sosial, (c) identifikasi kendala penerapan SRG dari aspek teknis, dan (d) identifikasi kendala penerapan SRG dari aspek kebijakan pemerintah pusat dan daerah.

(4) Kegiatan 4: Merumuskan saran dan rekomendasi kebijakan pengembangan SRG dalam stabilitasi pendapatan petani

Antisipasi rumusan kebijakan pengembangan SRG mencakup beberapa opsi, yaitu: (a) reorientasi SRG dan kebijakan pendukungnya, (b) format dan mekanisme SRG untuk lebih aplikatif, (c) action program untuk memperkuat dukungan stakeholder (terutama lembaga keuangan) terhadap pelaksanaan SRG, dan (d) alternatif pendanaan yang lebih fleksibel dan menguntungkan bagi petani dan pengelola SRG.

(18)

7

2.3. Lokasi Penelitian dan Responden

2.3.1. Dasar Pertimbangan

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa kriteria sebagai berikut: (a) pemilihan provinsi merupakan sentra produksi padi dan masih terjadi insiden anjlok harga pada saat panen raya serta menjadi lokasi pembangunan gudang baik menggunakan dana DAK maupun Tugas Pembantuan; (b) pemilihan kabupaten didasarkan pada praktek SRG yang telah diterapkan daerah tersebut atau minimal pernah diujicobakan; (c) pemilihan kecamatan penelitian akan mempertimbangkan kriteria seperti pemilihan kabupaten penelitian; dan (d) desa penelitian merupakan lokasi pelaksanaan SRG atau petani di desa tersebut pernah mengikuti SRG.

2.3.2. Lokasi dan Responden

Lokasi penelitian dipilih secara purposive berdasarkan pertimbangan adanya penerapan SRG untuk komoditas gabah dan beras di daerah tersebut, yaitu Provinsi Jawa Barat dan Kalimantan Selatan. Di samping itu, Provinsi DKI Jakarta juga dijadikan sebagai lokasi kajian berdasarkan posisinya sebagai pemerintah pusat dan pembuat kebijakan nasional. Responden terdiri dari penentu kebijakan di tingkat pusat maupun daerah, perencana/pelaksana di dinas provinsi/kabupaten, pelaksana/pendamping SRG di tingkat kecamatan dan desa, lembaga keuangan, pengelola SRG, petani peserta SRG, ketua/anggota kelompok tani peserta SRG, dan pedagang gabah/beras. 2.4. Data dan Metoda Analisis

2.4.1. Jenis dan Sumber Data Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari berbagai intansi pemerintah dan non-pemerintah, yaitu Bappebti (Kemendag), Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil, Direktorat Pembiayaan Pertanian, Bank Indonesia, Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Pemda, Perbankan peserta Skim SRG

(19)

8

dan lembaga pendukung lainnya. Kebutuhan serta sumber data sekunder dan informasi yang diperlukan dalam kegiatan penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sumber dan Jenis Data Sekunder

No. Sumber data sekunder Jenis data sekunder 1. Jakarta:

Bappebti, Ditjen PPHP, Direktorat Pembiayaan, BI

Data dan informasi tentang peraturan/perundang-undangan SRG, Laporan Tahunan, Laporan monitoring dan evaluasi SRG, Program SRG di sektor pertanian, pelaksanaan CSR BI untuk SRG, dll.

2. Provinsi:

Dinas pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Pemda, Bank Pelaksana Skim-SRG

Data dan informasi tentang kebijakan dan program daerah dalam pengembangan Sektor Pertanian, kebijakan daerah dalam mendukung SRG, Laporan Tahunan, data harga komoditas pertanian (gabah/beras), data lokasi kabupaten pelaksana SRG, data realisasi skim SRG oleh perbankan, dll.

Lembaga

Penelitian/BPTP, Universitas

Hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan SRG 3. Kabupaten:

Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM, Pengelola gudang SRG, Bank Pelaksana Skim SRG

Laporan Tahunan instansi, Informasi kebijakan daerah untuk mendukung SRG, Daftar harga komoditas yang dapat dilakukan SRG, Data kelompok tani yang mengikuti SRG,

Jumlah/kuantitas barang SRG, Informasi aturan dan mekanisme SRG, Realisasi skim SRG, Data dan informasi kelembagaan

pertanian/kelembagaan ekonomi, termasuk sumber permodalan

Data Primer

Data primer diperoleh dari berbagai jenis responden yang telah ditetapkan (Tabel 2). Secara umum jenis dan sumber data (baik primer maupun sekunder) dari penelitian ini (dari Tujuan1-4) adalah: (1) Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan SRG, (2) Laporan monitoring dan evaluasi program yang dilakukan oleh perencana dan pelaksana SRG pada semua tingkatan dan institusi (pusat dan daerah); (3) Hasil penelitian dan pengkajian yang terkait dengan SRG yang dilakukan oleh berbagai pihak (lembaga penelitian, perguruan tinggi, instansi perencana/pelaksana) di pusat maupun di daerah; (4) Laporan dan informasi dari pihak bank pelaksana terkait skim SRG; (5) Tanggapan berbagai pihak (praktisi/pemerhati/NGO,

(20)

9

dll.) terhadap kenerja SRG di berbagai media-masa dan penerbitan kainnya; dan (6) Data/informasi/ persepsi terkait dengan SRG yang dikumpulkan dari perencana, pelaksana, peserta, dan informan kunci di pusat/daerah/desa penelitian dengan menggunakan kuesioner terstruktur dan semi-terstruktur yang telah disiapkan.

Tabel 2. Jenis dan Sumber Data Primer

Sumber data Jenis data yang dibutuhkan

Instansi pemerintah terkait dengan penentu kebijakan dan pelaksana SRG (informan kunci Bappebti, Ditjen PPHP,

Direktorat Pembiayaan, BI, Dinas di tingkat propinsi dan kabupaten); Bank Pelaksana Skim Resi Gudang, Pengelola gudang/asuransi SRG.

Kebijakan terkait dengan program SRG, pelaksanaan kegiatan sosialisasi SRG, sistem evaluasi dan monitoring SRG, kinerja pelaksanaan SRG, kendala pengembangan SRG, dukungan lembaga keuangan (perbankan/non perbankan) terhadap perkembangan SRG, dll.

Kelompok tani dan petani

peserta SRG Karakteristik petani, penguasaan aset lahan, analisis usahatani saat mengikuti SRG, biaya mengikuti SRG, peningkatan pendapatan dengan mengikuti SRG (jika subsidi dan non subsidi), perkembangan harga gabah selama 3 tahun terakhir, persepsi petani terhadap SRG, kendala SRG, saran perbaikan SRG ke depan.

Pedagang gabah,

beras/koperasi Dinamika harga gabah/beras selama 3 tahun terakhir, pola pemasaran komoditas gabah/beras, perkembangan kuantitas dan kualitas hasil panen, persepsi terhadap SRG, usulan perbaikan sistem pemasaran gabah dan beras.

2.4.2. Metoda Analisis

Berdasarkan tujuan penelitian, metoda analisis data yang digunakan adalah analisis kebijakan dengan melakukan review dan sintesis terhadap berbagai dokumen dan laporan terkait dengan konsepsi, implementasi, dampak, dan kendala SRG di lapangan. Hasil review dan sintesis ini akan dikomplemen dengan pengumpulan data dan informasi terkait dengan kinerja dan persepsi (konsepsi/implementasi/dampak program SRG) dari berbagai pihak di pusat dan daerah yang meliputi pembuat kebijakan, pendamping, dan pelaksana SRG di di lapangan.

(21)

10

Alat analisis untuk perumusan alternatif rumusan perbaikan kebijakan SRG ke depan dimulai dengan analisa konsepsi SRG (Undang-undang, PP, Permen, Perda), evaluasi terhadap implementasi dan efektivitas SRG dan identifikasi terhadap kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasi SRG. Dari semua informasi dan data yang terhimpun selanjutnya dilakukan sintesis secara mendalam dan komprehensif untuk dicari rumusan solusi yang paling optimal dalam pengembangan SRG untuk sektor pertanin di masa mendatang. Usulan alternatif rumusan kebijakan juga dilakukan melalui proses rekonfirmasi dengan para penentu kebijakan terkait.

2.4.3. Analisis Risiko dan Penanggulangannya

Kegiatan penelitian tidak lepas dari risiko akibat permasalahan dan hambatan yang mungkin timbul selama perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Pada Tabel 3 berikut dikemukakan beberapa risiko yang mungkin akan dihadapi dalam penelitian ini, penyebab dan dampaknya serta cara menanggulanginya.

Tabel 3. Daftar Kemungkinan Risiko, Penyebab, Dampak dan Antisipasi Penanggulangannya dalam Penelitian

No. Risiko Penyebab Dampak Penanggulangan

1. Kurangnya akses informasi dan data dari penentu kebijakan Kurangnya transparansi dan mispersepsi dari penentu kebijakan terhadap tujuan penelitian Hasil penelitian kurang holistik dan komprehensif analisisnya Mengkomunikasikan penelitian secara baik, crosscheck dari berbagai sumber informasi yang dianggap valid 2. Pengumpulan data lapangan (primer) kurang lengkap Waktu,tenaga dan biaya terbatas. Responden tidak sesuai tidak sesuai harapan Masukan data untuk analisis kurang lengkap Persiapan yang matang, efisiensi pelaksanaan dan meningkatkan akses informasi. 3. Penggalian informasi ilmiah kurang lengkap Kesempatan wawancara dengan penentu kebijakan Pusat terbatas, pelaksanaan SRG tidak berkelanjutan Kurang holistiknya informasi persepsi penentu kebijakan Pusat dan pelaksanaan SRG dalam pembahasan hasil penelitian konsultasi dengan pihak yang kompeten, memperbanyak studi literatur untuk memperkaya analisis penelitian.

(22)

11 III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Konsepsi dan Dasar Hukum serta Potensi SRG dalam Mendukung Peningkatan Pendapatan Petani

3.1.1. Konsepsi SRG

Resi gudang adalah dokumen bukti kepemilikan barang yang disimpan di suatu gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang (UU No 9, 2011). Resi Gudang merupakan sekuriti yang menjadi instrumen perdagangan serta merupakan bagian dari sistem pemasaran dan sistem keuangan di banyak negara (Wikipedia, 2009). Dalam konteks ini, “gudang” memiliki pengertian bermacam-macam, tergantung komoditas yang disimpan, mulai dari, coklat, kopi, beras, hingga minyak sawit (crude palm oil - CPO). Resi gudang ini nantinya bisa digunakan sebagai jaminan atas kredit dari perbankan.

Sementara itu, Sistem Resi Gudang (SRG) atau disebut juga warehouse receipt system (WRS) adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang (UU No. 9/2011). Secara lebih spesifik untuk sektor pertanian, SRG merupakan bukti kepemilikan atas barang yang disimpan oleh para petani di gudang (Document of Title) yang dapat dialihkan, diperjualbelikan bahkan dijadikan agunan tanpa perlu persyaratan agunan yang lain. Oleh karena resi gudang merupakan instrumen surat berharga maka resi gudang ini dapat diperdagangkan, diperjualbelikan, dipertukarkan, ataupun digunakan sebagai jaminan bagi pinjaman. Resi gudang dapat juga digunakan untuk pengiriman barang dalam transaksi derivatif seperti halnya kontrak serah (futures contract).

Untuk Resi Gudang dikenal dalam 2 bentuk yaitu: Pertama, resi gudang yang dapat diperdagangkan (“negotiable warehouse receipt”), yaitu suatu resi gudang yang memuat perintah penyerahan barang kepada siapa saja yang memegang resi gudang tersebut atau atas suatu perintah pihak tertentu; Kedua, resi gudang yang tidak dapat diperdagangkan (“non-negotiable warehouse receipt”) yaitu resi gudang yang memuat ketentuan

(23)

12 bahwa barang yang dimaksud hanya dapat diserahkan kepada pihak yang namanya telah ditetapkan.

Sebagaimana surat berharga, resi gudang juga dapat diperjualbelikan sehingga ada transaksi derivatifnya. Derivatif resi gudang adalah turunan resi gudang yang dapat berupa kontrak berjangka resi gudang, opsi atas resi gudang, indeks atas resi gudang, surat berharga diskonto resi gudang, unit resi gudang, atau derivatif lainnya dari resi gudang sebagai instrumen keuangan. Derivatif Resi Gudang ini hanya dapat diterbitkan oleh bank, lembaga keuangan non-bank, dan pedagang berjangka yang telah mendapat persetujuan Badan Pengawas.

Perdagangan resi gudang di Indonesia diatur oleh suatu badan yang disebut ”Badan Pengawas Sistem Resi Gudang”, yaitu suatu unit organisasi di bawah Menteri yang diberi wewenang untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan pelaksanaan sistem resi gudang. Resi gudang yang diperdagangkan di Indonesia wajib untuk melalui suatu proses penilaian yang dilakukan oleh suatu lembaga terakreditasi yang disebut ”Lembaga Penilaian Kesesuaian” yang berkewajiban untuk melakukan serangkaian kegiatan guna menilai atau membuktikan bahwa persyaratan tertentu yang berkaitan dengan produk, proses, sistem, dan/atau personel terpenuhi. Pihak yang mendapat kewenangan melakukan penatausahaan resi gudang dan derivatif resi gudang yang meliputi pencatatan, penyimpanan, pemindahbukuan kepemilikan, pembebanan hak jaminan, pelaporan, serta penyediaan sistem dan jaringan informasi adalah ”Pusat Registrasi Resi Gudang” yang merupakan suatu badan usaha yang berbadan hukum.

Resi gudang memuat sekurang-kurangnya: (1) judul resi gudang; (2) jenis resi gudang yaitu ”resi gudang atas nama” atau ”resi gudang atas perintah”; (3) nama dan alamat pihak pemilik barang; (4) lokasi gudang tempat penyimpanan barang; (5) tanggal penerbitan; (6) nomor penerbitan; (7) waktu jatuh tempo; (8) deskripsi barang; (9) biaya penyimpanan; (10) tanda tangan pemilik barang dan pengelola gudang; dan (11) nilai barang berdasarkan harga pasar pada saat barang dimasukkan ke dalam gudang.

(24)

13 Adapun komoditas atau barang yang dimaksud dalam undang-undang dan peraturan tentang SRG adalah setiap benda bergerak yang dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu dan diperdagangkan secara umum. Untuk komoditas RG, menurut Bappebti (2011) dan Ashari (2007), paling sedikit harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) memiliki daya simpan paling sedikit 3 (tiga) bulan, (b) memenuhi standar mutu tertentu, (c) jumlah minimum barang yang disimpan, (d) harga berfluktuasi; rendah (musim panen) dan tinggi (musim tanam/paceklik) dan memiliki peluang ada kenaikan harga di masa mendatang, dan (e) mempunyai pasar dan informasi harga yang jelas. Disamping itu, komoditas tersebut merupakan komoditas yang potensial dan sangat berperan dalam perekonomian daerah setempat dan nasional, misalnya untuk ketahanan pangan maupun ekspor (sumber devisa).

Dalam Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007 telah ditetapkan 8 komoditas pertanian sebagai barang yang dapat disimpan di gudang dalam penyelenggaraan SRG. Kedelapan komoditas itu adalah: (1) gabah, (2) beras, (3) kopi, (4) kakao, (5) lada, (6) karet, (7) rumput laut dan (8) jagung. Penetapan komoditas lainnya tentang barang dalam SRG dilakukan dengan mempertimbangkan rekomendasi dari Pemda, instansi terkait atau asosiasi komoditas. Namun demikian harus tetap memperhatikan persyaratan Pasal 3 SK. Mendag No. 26/2007 tentang daya simpan, standar mutu, serta jumlah minimum barang yang disimpan.

Dalam SRG dikenal ada beberapa kelembagaan yang terlibat. Dalam UU No. 9 tahun 2006 diatur tentang lembaga Badan Pengawas Resi Gudang, Pengelola Gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian, Pusat Registrasi serta Hubungan Kelembagaan Pusat dan Daerah. Namun, dalam perkembangannya terdapat beberapa kelemahan di lapangan yang sangat menghambat perkembangan Resi Gudang, di antaranya adalah dengan tidak tersedianya mekanisme jaminan yang relatif terjangkau bagi pelaku usaha apabila Pengelola Gudang mengalami pailit atau melakukan kelalaian dalam pengelolaan (mishandling) sehingga tidak dapat melaksanakan kewajibannya

(25)

14 mengembalikan barang yang disimpan di gudang sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang tertera dalam Resi Gudang.

Dengan kondisi di atas, akhirnya DPR sebagaimana dilaporkan Antara (2011), melakukan amandemen UU No. 9/2006, yaitu UU No. 9/2011 dengan menambahkan Lembaga Jaminan Resi Gudang. Dengan dibentuknya Lembaga Jaminan Resi Gudang diharapkan kepercayaan pelaku usaha (pemegang Resi Gudang, bank, dan Pengelola Gudang) terhadap integritas Sistem Resi Gudang akan makin meningkat. Dengan demikian, seluruh pelaku usaha dari skala besar (pedagang, prosesor, eksportir, dan perusahaan perkebunan) sampai skala kecil (petani, kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan koperasi) merasa terlindungi dengan mempergunakan SRG.

3.1.2. Dasar Hukum SRG

SRG mulai dikenal di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir, sebelumnya dikenal berbagai macam terobosan yang ditempuh baik oleh pemerintah maupun pelaku usaha dalam sistem tata niaga komoditas pertanian. Beberapa diantaranya yang mirip dengan SRG adalah sistem tunda jual, gadai gabah, dan yang terakhir adalah CMA (Collateral Management Agrement). Namun demikian, bila dilihat dari kelengkapan infrastruktur sistem dan keamanannya SRG merupakan Sistem yang paling aman dan canggih bila dibandingkan dengan beberapa sistem yang pernah ada di Indonesia. Dalam SRG terdapat jaminan keamanan bagi perbankan karena semua data penatausahaan Resi Gudang (RG) terpusat di Pusat Registrasi dan diawasi oleh Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditas), serta terdapat kepastian mutu bagi pemilik barang maupun calon pemilik barang karena barang yang disimpan dikelola dengan baik oleh Pengelola Gudang dan telah diuji mutu sebelumnya oleh Lembaga Penilaian Kesesuaian independen yang telah mendapat sertifikasi dan disetujui oleh Bappebti. Dengan kata lain, penggunaan RG bertujuan untuk menampung kebutuhan pemegang RG, yaitu pemilik barang yang menyimpan barangnya pada Pengelola Gudang dalam rangka memperoleh pembiayaan dengan jaminan

(26)

15 berupa RG. Sifat RG tersebut tidak dapat dibebani dengan salah satu lembaga jaminan yang sudah ada seperti hak tanggungan, gadai atau fidusia. Dasar hukum SRG diatur dalam Undang-Undang (UU) RI No. 9 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang. Menurut UU tersebut SRG adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi RG. Sedangkan RG adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di Gudang yang diterbitkan oleh Pengelola Gudang. SRG, selain diatur oleh Undang-Undang juga didukung oleh Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen), dan Surat Keputusan (SK) antara lain:

- Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2007 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang.

- Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 37/M-DAG/PER/11/2011 tentang Barang yang Dapat Disimpan dalam Penyelenggaraan Sistem Resi Gudang.

- Peraturan Menteri Keuangan RI No. 171/PMK.05/2009 tentang Skema Subsidi Resi Gudang.

- Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 66/M-DAG/PER/12/2009 tentang Pelaksanaan Skema Subsidi Resi Gudang.

- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 01/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Persyaratan dan Tata Cara untuk Memperoleh Persetujuan sebagai Pengelola Gudang.

- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 02/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Persyaratan dan Tata Cara untuk Memperoleh Persetujuan sebagai Gudang dalam Sistem Resi Gudang.

- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 03/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Persyaratan Umum dan Persyaratan Teknis Gudang.

- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 04/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Persyaratan dan Tata

(27)

16 Cara untuk Memperoleh Persetujuan sebagai Lembaga Penilai Kesesuaian dalam Sistem Resi Gudang.

- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 05/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Persyaratan dan Tata Cara untuk Memperoleh Persetujuan sebagai Pusat Registrasi.

- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 06/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 tentang Penetapan Hari Kerja dalam Sistem Resi Gudang. - Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No.

07/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Pedoman Teknis Penerbitan Resi Gudang.

- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 08/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Pedoman Teknis Pengalihan Resi Gudang.

- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 09/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Pedoman Teknis Penjaminan Resi Gudang.

- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 10/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Pedoman Teknis Penyelesaian Transaksi Resi Gudang.

- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 11/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 tentang Persyaratan Keuangan bagi Pengelola Gudang. - Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No.

12/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Tata Cara Penyampaian Laporan Pengelola Gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian dan Pusat Registrasi.

- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 13/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Tata Cara Pemeriksaan Teknis Kelembagaan dalam Sistem Resi Gudang.

- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 14/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Jenis Perizinan di Bidang Sistem Resi Gudang, Prosedur Operasi Standar (Standard

(28)

17 Operating Procedure) dan Tingkat Layanan (Service Level Arrangement).

Adanya UU tentang RG serta berbagai peraturan pelaksanaannya seperti tersebut di atas dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, menjamin dan melindungi kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, efisiensi biaya distribusi barang, serta mampu menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional. Dengan demikian, RG terjamin memiliki nilai yang sama dengan nilai komoditas yang dinyatakan dalam Resi, dapat diagunkan dan dapat dipindahtangankan selama masih berlaku.

Pemerintah Pusat, selain membangun gudang SRG dan sarana lainnya juga menyediakan fasilitas subsidi bunga bank, dimana petani hanya terbebani bunga bank sebesar 6 persen dari nilai dana yang diterima. Di Kabupaten Cianjur Bank/Lembaga Keuangan yang membiayai atau menyalurkan kredit dalam SRG yaitu Bank Jabar (BJB Cabang Kabupaten Cianjur), sedangkan di Kabupaten Barito Kuala adalah Bank Kalsel (Bank Kalsel Cabang Marabahan). Adapun dasar hukum bagi Bank untuk dapat memberikan pinjaman atas RG yaitu Peraturan Bank Indonesia No. 9/6/PBI/2007 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilai Kualitas Aktiva Umum. Dengan adanya Peraturan Bank Indonesia Tersebut maka dapat menjadi dasar bagi Bank untuk mengakui RG sebagai jaminan kredit yang bisa dijadikan agunan kepada Bank.

Seperti telah disebutkan di atas bahwa sebagai stimulus dalam penerapan SRG sebagai jaminan, pemerintah telah memberikan subsidi bunga kepada petani, kelompok tani, Gapoktan, dan koperasi yang memperoleh fasilitas kredit dan atau pembiayaan dari Bank lembaga pembiayaan lainnya dengan jaminan RG ditetapkan dalam Permenkeu No. 171/PMK/05/2009 tentang Skema Subsidi Resi Gudang.

(29)

18 3.1.3. Potensi SRG untuk Mendukung Peningkatan

Pendapatan Petani

Ketersediaan modal sangat diperlukan bagi pelaku bisnis untuk menjamin kelancaran usahanya, terutama bagi petani serta usaha kecil dan menengah (UKM) yang berbasis pertanian (Ashari, 2011). Pelaku usaha jenis ini umumnya menghadapi masalah pembiayaan karena keterbatasan akses dan jaminan kredit. Untuk pemberdayaan dan pembinaan kepada petani serta UKM yang berbasis pertanian, Sistem Resi Gudang (SRG) diharapkan akan menjadi salah satu solusi untuk memperoleh pembiayaan dengan jaminan komoditas yang tersimpan di gudang.

Potensi manfaat yang dapat diperoleh dengan implementasi SRG relatif cukup besar. Misalnya dalam peningkatan kapasitas sektor pertanian untuk mendukung perekonomian nasional, SRG dapat memainkan peranan yang signifikan. Menurut BRI (2009), dengan dilaksanakan SRG berpeluang untuk meningkatkan produksi, menambah perputaran ekonomi, dan menyerap tenaga kerja dan atau/mengurangi pengangguran. Di samping itu dengan SRG diharapkan kontribusi UMK pada pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat. Kondisi ini hanya dapat dicapai jika ada kemudahan untuk mengakses sumber pendanaan, yang salah satu alternatif dapat disediakan dengan SRG.

Selanjutnya, secara khusus untuk sektor pertanian, menurut BRI (2011) penerapan SRG sangat prospektif untuk meningkatkan pendapatan usaha tani. Melalui SRG akan diperoleh beberapa manfaat melalui: (1) tunda jual, yaitu saat panen raya petani menyimpan hasil pertanian di gudang; (2) penjualan dilakukan pada saat harga komoditas pertanian telah tinggi, serta (3) meminimalisir penimbunan barang oleh pedagang pengumpul. Dengan RG yang dapat diagunkan petani akan mendapatkan dana tunai untuk kebutuhan modal usaha maupun untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya.

Sementara itu, menurut Sadaristuwati (2008), RG memiliki posisi yang penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha di sektor pertanian dengan argumentasi sebagai berikut: (a) RG merupakan salah satu bentuk sistem tunda jual yang menjadi alternatif dalam meningkatkan nilai

(30)

19 tukar petani, (b) Di era perdagangan bebas, RG sangat diperlukan untuk membentuk petani menjadi petani pengusaha dan petani mandiri, dan (c) SRG bisa memangkas pola perdagangan komoditas pertanian sehingga petani bisa mendapatkan peningkatan harga jual komoditas.

Masih menurut Sadaristuwati (2008) keberadaan SRG tidak hanya bermanfaat bagi kalangan petani tetapi juga pelaku ekonomi lainnya seperti dunia perbankan, pelaku usaha dan serta bagi pemerintah. Di antara manfaat SRG tersebut adalah: (1) ikut menjaga kestabilan dan keterkendalian harga komoditas; (2) memberikan jaminan modal produksi karena adanya pembiayaan dari lembaga keuangan; (3) keleluasaan penyaluran kredit bagi perbankan yang minim risiko; (4) ada jaminan ketersediaan barang; (6) ikut menjaga stok nasional dalam rangka menjaga ketahanan dan ketersediaan pangan nasional; (7) lalu lintas perdagangan komoditas menjadi lebih terpantau; (8) bisa menjamin ketersediaan bahan baku industri, khususnya agroindustri; (9) mampu melakukan efisiensi baik logistik maupun distribusi; (10) dapat memberikan kontribusi fiskal kepada pemerintah; dan (11) mendorong tumbuhnya industri pergudangan dan bidang usaha yang terkait dengan SRG lainnya.

Secara lebih komprehensif Bappebti (2011b) mengemukakan bahwa manfaat SRG akan diterima oleh semua stakeholder, yaitu: petani, usaha pergudangan, perusahaan pengguna komoditas/prosesor, dan perbankan. Bahkan, dalam tataran yang lebih makro manfaat SRG juga akan berdampak positif pada perekonomian daerah dan nasional (Tabel 4).

Dalam aspek ketersediaan dana, menurut BRI (2008) secara teori peluang pengembangan SRG sebagai alternatif pembiayaan pertanian dengan dukungan perbankan sangat terbuka. Hal ini didasarkan pada argumen sebagai berikut: (1) secara kumulatif potensi pertanian besar; (2) jangka waktu kredit SRG relatif pendek; (3) analisis kelayakan nasabah; (4) dilaksanakan oleh Lembaga Penilai Kesesuaian (LPK), pengelola gudang dan asuransi; serta (5) bank hanya deal dengan dokumen resi gudang.

(31)

20 Tabel 4. Potensi manfaat SRG bagi berbagai Stakeholder

No. Stakeholder Manfaat

1. Petani/Produsen  Mendapatkan harga yang lebih baik (menunda waktu penjualan).

 Kepastian kualitas dan kuantitas atas barang yang disimpan.

 Mendapatkan pembiayaan dengan cara yang tepat dan mudah.

 Mendorong berusaha secara berkelompok sehingga meningkatkan posisi tawar.

2. Pergudangan  Mendorong tumbuhnya industri pergudangan dan bidang usaha terkait.

 Mendapatkan income dari jasa pergudangan 3. Perusahaan

Pengguna

Komoditas/Prosesor

 Meningkatkan akses untuk mendapatkan sumber bahan baku yang berkualitas.

 Mengurangi biaya penyimpanan.

 Perencanaan supply yang lebih baik. 4. Pedagang/Eksportir  Ketersediaan atas volume dan kualitas.

 Supply tersedia sepanjang musim.

 Terdapatnya pembiayaan bagi perdagangan (ekspor)

 RG sebagai dokumen transaksi Letter of Credit akan menambah keyakinan para pihak termasuk bank (issuing bank and nominated bank)

 Mencegah/mengurangi terjadinya fraud dalam transaksi ekspor

5. Perbankan  Tumbuhnya peluang baru: jasa perbankan di daerah

(propinsi dan kabupaten).

 Perlindungan yang tinggi atas jaminan

 Jaminan bersifat liquid.

 Aktivitas penyaluran kredit yang aman dan menguntungkan.

 Pengenalan dan pemanfaatan produk perbankan bagi petani/UKM berupa kredit RG serta produk perbankan lainnya (tabungan, deposito dll.).

 Pembiayaan transaksi dalam negeri dan ekspor 6. Perekonomian

Daerah/Nasional  Mendorong tumbuhnya pelaku usaha (petani produsen/eksportir), industri pergudangan, jasa perbankan, jasa asuransi, jasa pengujian mutu, dll. di daerah.

 Sarana pengendalian sediaan (stok) nasional yang lebih efisien

Sumber: Bappebti (2011b), diolah.

Hasil kajian empiris dan ilmiah tentang potensi manfaat SRG, terutama untuk petani, masih sangat terbatas. Namun, studi Kurniawan (2009) di Kabupaten Majalengka tentang SRG menyimpulkan bahwa dari hasil struktur pendapatan usahatani padi, petani yang berpartisipasi di SRG memiliki

(32)

21 pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan petani Non SRG. Dengan demikian, SRG memiliki kemampuan menghasilkan penerimaan tunai yang lebih baik. Hasil studi Yudho (2008) juga menunjukkan SRG cukup efektif dan memberikan manfaat lindung nilai bagi petani. Biaya untuk RG masih lebih rendah dibandingkan penerimaan yang diterima dengan mengikuti SRG. 3.2. Kinerja dan Efektivitas SRG dalam Meningkatkan Pendapatan Petani

3.2.1. Kinerja Pengelolaan SRG

Perdagangan komoditas hasil pertanian merupakan pilar penting struktur perekonomian di dua kabupaten lokasi penelitian (Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan). Oleh karena itu, keberlanjutan produksi dan perdagangan komoditas hasil pertanian merupakan suatu tantangan untuk direalisasikan. Masalah yang dihadapi khususnya oleh petani padi adalah fluktuasi harga hasil produksi (gabah), terjadi harga rendah pada musim panen dan harga tinggi pada musim tanam/paceklik. Sebagian besar petani cenderung menjual hasil produksinya kepada tengkulak dengan harga murah dan masih dalam keadaan basah (kering panen) dan mutunya relatif rendah.

Dalam upaya mengatasi kondisi tersebut, sebagai tindakan alternatif yang dilakukan adalah dengan penyimpanan gabah selama beberapa waktu ke depan (+ 3 sampai 6 bulan) di gudang komoditas primer melalui SRG. Dengan demikian, apabila petani/kelompok tani, Gapoktan, koperasi menyimpan gabah di gudang melalui SRG, akan memperoleh manfaat antara lain: (1) tingkat risiko rendah karena dijamin asuransi; (2) kepastian mutu terjamin, karena dalam bentuk GKG atau kadar airnya + 14%; (3) harga lebih baik; dan (4) kemudahan memperoleh fasilitas pembiayaan perbankan dengan kredit bersubsidi.

Pelaku utama dalam pelaksanaan SRG adalah pemegang resi gudang (petani, kelompok tani, Gapoktan, koperasi) dan pengelola gudang. Pemegang resi adalah pemilik komoditas yang telah menerima pengalihan dari pemilik komoditas atau pihak lain yang menerima pengalihan lebih lanjut, sehingga pemegang resi merupakan penjual dan pembeli komoditas yang

(33)

22 disimpan di gudang. Pengelola gudang berperan menerbitkan RG yang bertugas melakukan penyimpanan, pemeliharaan dan pengawasan komoditas yang disimpan oleh pemilik komoditas.

Terkait dengan hal tersebut diatas, lembaga-lembaga yang memegang peranan penting dalam mendukung eksistensi dan kredibilitas serta kinerja SRG diantaranya: (1) Pengelola Gudang; (2) Badan Pengawas SRG; dan (3) Lembaga Penilaian Kesesuaian. Dalam mekanisme SRG, keberadaan pengelola gudang sebagai penerbit RG peranannya sangat dibutuhkan dalam pengembangan SRG, karena pengelola gudang harus dapat memberikan keyakinan kepada masyarakat dan pengguna RG bahwa RG yang diterbitkan sesuai dengan keadaan komoditas yang disimpan di gudang.

Secara nasional, menurut Kepala Bappebti menyebutkan, bahwa hingga 25 Juni 2013, jumlah RG yang telah diterbitkan sebanyak 931 lembar dengan total volume komoditas 37.250,50 ton terdiri dari: (a) 32.193,16 ton gabah; (b) 3.737,20 ton beras; (c) 1.084,78 ton jagung; (d) 20,39 ton kopi; dan (e) 215 ton rumput laut. Nilai dari keseluruhan komoditas tersebut adalah Rp 179,95 milyar. Di bawah ini disajikan secara rinci kinerja SRG di Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Barito Kuala di Provinsi Kalimanan Selatan.

Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat

Gudang SRG Kabupaten Cianjur berlokasi di Jl. Raya Cianjur-Sukabumi Km. 8, Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang. Gudang tersebut dibangun pada tahun 2009 dengan stimulus fiskal oleh Bappebti, Kementerian Perdagangan RI, dan operasional digunakan sejak tahun 2011. Berdasarkan persetujuan sebagai gudang dalam Sistem Resi Gudang di Cianjur Nomor 20/BAPPEBTI/Kep-SRG/SP/GD/2013, Gudang Komoditas SRG Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cianjur masuk dalam Klasifikasi Gudang A, dengan luas gudang 720 m2 dan kapasitas 1.500 ton GKG (Gabah Kering Giling).

Pada tahun 2010 gudang SRG tersebut mendapat bantuan mesin dryer gabah beserta bangunan dan perlengkapan sarananya, kemudian tahun 2011 melengkapi izin gudang, sertifikasi atau persetujuan Gudang SRG, MoU

(34)

23 Pendamping dengan PT. Pertani, Pembentukan Tim SRG dengan SKPD yang ditandatangani Bupati, penunjukan calon pengelola (Koperasi Niaga Mukti), dan tanggal 8 April 2011 terbit RG perdana di Kabupaten Cianjur.

Data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cianjur menunjukkan bahwa luas lahan sawah di Kabupaten Cianjur adalah sekitar 65.000 hektar dengan tingkat produksi sebesar 390.000 ton Gabah Kering Panen (GKP) per musim tanam. Dengan asumsi bahwa konversi dari GKP ke GKG (Gabah Kering Giling) adalah sebesar 80%, maka tingkat produksi padi di Kabupaten Cianjur adalah sebesar 312 ton/musim GKG. Dengan kapasitas maksimum gudang SRG sebesar 1.500 ton, data tersebut menunjukkan bahwa kapasitas gudang SRG tersebut hanya mencapai sekitar 0.4% dari total produksi padi per musim di Kabupaten Cianjur; suatu besaran yang sangat kecil dibandingkan kebutuhannya supaya SRG berfungsi secara efektif sesuai dengan tujuannya.

Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa kapasitas gudang SRG Kabupaten Cianjur perlu ditingkatkan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membangun beberapa gudang-gudang sejenis di sentra-sentra produksi padi agar bisa menampung sekitar 50 – 75 persen produksi padi di Kabupaten Cianjur. Solusi lainnya adalah dengan memberdayakan lumbung-lumbung atau gudang pabrik beras yang ada di masyarakat yang tidak digunakan, namun tetap di bawah koordinasi dan tanggung jawab gudang SRG Kabupaten Cianjur.

Berdasarkan data dan informasi dari Pengurus Koperasi Niaga Mukti sebagai Pengelola Gudang SRG Kabupaten Cianjur tahun 2011 jumlah kumulatif gabah yang disimpan adalah sebanyak 261 ton yang terdiri dari 17 lembar resi dengan total nilai sebesar Rp 1.453.600.000 berdasarkan nilai resi. Resi tersebut dimanfaatkan oleh petani untuk diagunkan ke Bank BJB Cabang Cianjur dengan total nilai kredit Rp 1.011.500.000. Pada tahun 2012 jumlah kumulatif gabah yang disimpan adalah sebesar 1.573, 245 ton yang terdiri dari 59 lembar resi dengan total nilai sebesar Rp 9.007.541.000 berdasarkan nilai resi. Resi tersebut juga dimanfaatkan oleh petani untuk diagunkan ke Bank BJB Cabang Cianjur dengan total nilai kredit Rp

(35)

24 5.823.079.200. Sementara itu, pada tahun 2013 hingga akhir bulan Juni, jumlah kumulatif gabah yang disimpan adalah sebanyak 671,025 ton terdiri dari 20 lembar resi dengan total nilai sebesar Rp 3.688.942.500 berdasarkan nilai resi (Tabel 5). Resi tersebut dimanfaatkan oleh petani untuk diagunkan ke Bank BJB Cabang Cianjur dengan total nilai kredit sebesar Rp 2.582.259.750. Adapun jenis padi yang disimpan di gudang SRG Kabupaten Cianjur diantaranya adalah Impari, Ciherang, Muncul, dan Sintanur. Gabah yang disimpan di gudang SRG tersebut berasal dari 9 kecamatan, yaitu Cidaun, Cilaku, Karangtengah, Ciranjang, Cibeber, Warungkondang, Gekbrong, Cianjur, dan Bojongpicung.

Tabel 5. Pelaksanaan SRG di Kabupaten Cianjur, 2011 – 2013

Periode

Stok Gabah di Gudang Resi Gudang yang Diterbitkan Volume

(Ton) (Rp Juta) Nilai Jumlah RG (Lembar) Nilai Kredit (Rp Juta)

2011 261 1.453,600 17 1.011,500

2012 1.573,245 9.007,541 59 5.823,079

2013 (akhir Juni) 671,025 3.688,942 20 2.582,260

Sumber: Pengelola Gudang Cianjur, Koperasi Niaga Mukti dan Disperindag Kab. Cianjur. Menurut informasi dari pihak Bank Jabar Cabang Cianjur, RG periode 2011 s/d 2012 yang diagunkan sudah lunas, artinya tunggakan Kredit RG pada periode tersebut 0%. Hal ini mengindikasikan keberhasilan program SRG di Kabupaten Cianjur.

Berdasarkan hasil evaluasi atas kinerja SRG Warungkondang, Cianjur, Kementerian Perdagangan RI menetapkan SRG Warungkondang, Cianjur sebagai SRG terbaik se-Indonesia. Demikian pula Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur mendapatkan penghargaan SRG Award atas dukungan pembinaan dalam pelaksanaan SRG di wilayahnya yang diserahkan oleh Menteri Perdagangan RI di Surabaya pada tanggal 20 September 2012.

Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan

Di Kalimantan Selatan, SRG mulai berjalan sejak tahun 2010, tepatnya di Kabupaten Barito Kuala (Batola). Pemilihan lokasi di Batola dinilai sangat tepat mengingat Kabupaten Batola merupakan sentra padi dan salah satu

Gambar

Tabel 1.  Sumber dan Jenis Data Sekunder
Tabel 3.  Daftar  Kemungkinan  Risiko,  Penyebab,  Dampak  dan  Antisipasi  Penanggulangannya dalam Penelitian
Tabel 6.  Pelaksanaan  SRG  di  Kabupaten  Barito  Kuala,  Kalimantan  Selatan,  Periode 2010–2013
Tabel 7. Analisis Pendapatan Petani (per hektar) Dengan dan Tanpa      Memanfaatkan SRG di Kabupaten Cianjur, MH 2012/2013
+3

Referensi

Dokumen terkait