• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.3. Perkembangan dan Kendala penerapan SRG dalam Stabilitas Pendapatan Petani

3.3.2. Kendala Penerapan SRG

Dalam penerapannya di lapangan SRG mengalami berbagai macam kendala dan hambatan, baik yang menyangkut aspek sosial, teknis, ekonomi, kelembagaan dan sumberdaya manusia, maupun kebijakan.

Ariyani (2008) mengungkapkan bahwa implementasi resi gudang masih menemukan banyak hambatan di lapangan. Hambatan tersebut antara lain terbatasnya jumlah gudang penyimpan hasil pertanian dan dan sikap petani yang tidak sabar dengan sistem tunda jual produk yang diagunkan tersebut. Faktor yang dianggap crucial menjadi penyebab lambatnya implementasi SRG adalah masih terbatasnya sosialisasi mengenai SRG terutama di daerah-daerah sentra penghasil komoditas pertanian.

BRI (2009) telah mengidentifikasi berbagai kendala yang dapat menghambat implementasi SRG, diantaranya: (1) biaya yang harus dikeluarkan oleh pemilik komoditas relatif lebih besar dibanding skema CMA, mengingat banyaknya lembaga yang terlibat pada SRG; (2) kuantitas komoditas petani relatif kecil sehingga apabila di RG-kan tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan; (3) belum adanya pihak yang berfungsi sebagai off taker; dan (4) kuantitas, independensi dan profesionalisme Lembaga Penilai Kesesuaian perlu ditingkatkan. Peran sektor perbankan juga masih belum dapat optimal.

Hasil studi Riana (2010) mengungkapkan bahwa sektor perbankan sebagai komponen pendukung SRG belum banyak yang menggunakan resi gudang sebagai hak jaminan. Hal tersebut dikarenakan timbul beberapa masalah dalam pelaksanaannya. Masalah-masalah tersebut antara lain biaya yang cukup besar, belum meratanya pembangunan fasilitas pendukung, pembiayaan dikucurkan untuk jangka waktu yang pendek, keraguan sektor perbankan untuk menggunakan SRG dan kurangnya pemahaman mengenai arti penting dan manfaat resi gudang.

43 Sementara menurut Sadaristuwati (2008), sebagai instrumen yang relatif baru, keberadaan SRG masih menghadapi sejumlah permasalahan, diantaranya: (1) Minimnya sarana dan prasarana, (2) Kualitas barang masih rendah (mutu/keseragaman), (3) Beban biaya, (4) Kurangnya tingkat kepercayaan dari lembaga keuangan atau bank, (5) Tingkat suku bunga yang masih terlalu tinggi serta (6) Hubungan antar lembaga yang kurang sinergis.

Sebagai pihak yang mendapat perhatian khusus dalam SRG, implementasinya di tingkat petani/klomtan/gapoktan juga mengalami banyak kendala baik yang menyangkut kapasitas sumberdaya, kelembagaan, sarana prasarana, sosial ekonomi dan budaya. Menurut Direktorat Pembiayaan (2011), berdasarkan pemantauan pelaksanaan SRG di beberapa daerah menunjukkan bahwa beberapa permasalahan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:

a. Rata-rata kepemilikan lahan sempit sehingga kesulitan dalam mengkonsolidasikan hasilnya;

b. Lemahnya kelembagaan petani (kelompok tani/Gapoktan);

c. Terbatasnya pemahaman SRG baik oleh petani maupun petugas pendamping di tingkat lapangan;

d. Beban biaya yang ditimbulkan dalam SRG seperti biaya angkutan, sewa gudang/penyimpanan, asuransi dan lain-lain dirasakan cukup berat.

e. Petani setelah panen membutuhkan uang segera untuk biaya usaha berikutnya;

f. Hasil produksi yang dihasilkan belum tentu memenuhi kualitas yang dapat digudangkan.

g. Hasil panen belum bisa dikonsolidasi di tingkat kelompok tani/gapoktan karena lemahnya kelembagaan petani;

h. Terbatasnya sosialisasi S-SRG baik dari Dinas Teknis terkait dan Bank kepada petani;

i. Lemahnya pendampingan petani untuk mengakses ke lembaga pembiayaan.

44 Menurut Pasar (2011), implementasi SRG di daerah masih menghadapi sejumlah masalah operasional. Permasalahan tersebut diantaranya: (a) Gudang SRG belum tersedia di seluruh daerah potensial karena biaya investasi gudang yang mahal, (b) Biaya operasional pengelolaan yang ditanggung oleh Pengelola Gudang (PG) tinggi, (c) Partisipasi dalam SRG masih rendah karena manfaatnya belum dipahami oleh seluruh pelaku usaha, (d) Pasca panen komoditas yang dilakukan oleh pelaku usaha umumnya belum sesuai standar SNI, (e) Pada tahap awal umumnya petani belum bersedia membayar biaya penyimpanan barang kepada Pengelola Gudang (PG), (f) LPK/Petugas uji mutu barang belum tersedia di seluruh daerah, (g) Sistem Informasi Resi Gudang (Is-Ware) belum handal, (h) Sistem Informasi Harga dan Pasar belum tersedia untuk seluruh varian komoditas, (i) Pembiayaan di Lembaga Keuangan masih relatif lama (lebih dari 3 hari) dan (j) Kelompok Tani, Gapoktan dan Koperasi kurang sosialisasi dan permodalan untuk melaksanakan pengadaan komoditas (Standarisasi Produk).

Sementara Ashari (2011), mengemukakan bahwa permasalahan SRG tidak hanya di tataran operasional tetapi juga memasuki ranah kebijakan. Tanpa disadari terkadang kebijakan yang sedang dijalankan pemerintah dapat menjadi kendala bagi tumbuh dan berkembangnya SRG. Kebijakan penetapan harga dasar oleh pemerintah, misalnya, menyebabkan harga antara panen dan masa sesudah panen menjadi tetap dan seragam di seluruh wilayah negara. Jika harga cukup stabil tentu tidak akan menarik untuk dilakukan SRG karena tidak akan memperoleh margin, bahkan akan merugi karena harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Disamping itu, kebijakan di bidang moneter menyebabkan tingkat suku bunga yang berlaku seringkali lebih tinggi sehingga meminjam uang dengan jaminan stok gudang menjadi tidak layak karena beban pinjaman tersebut tidak dapat ditutupi dengan adanya kenaikan harga komoditas yang disimpan dengan skim SRG.

Dari pengamatan di kedua lokasi penelitian (SRG Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat dan SRG Batola, Provinsi Kalimantan Selatan) dapat diinventarisasi sejumlah masalah, kendala, maupun hambatan

45 yang dihadapi dalam implementasi dan pengembangan SRG di lokasi tersebut, yaitu sbb.:

(1) Masih terbatasnya sosialisasi mengenai SRG terutama di daerah-daerah sentra penghasil komoditas pertanian.

Sosialisasi mengenai SRG yang dilakukan pada umumnya lebih melibatkan pejabat-pejabat di daerah saja, namun kurang melibatkan petani sebagai sasaran dari SRG. Demikian pula, sosialisasi yang dilakukan cenderung pada penjelasan mengenai Undang-undang tentang SRG dengan menggunakan bahasa hukum, sehingga informasi yang diterima menjadi terkesan rumit dan sulit untuk dipahami oleh petani. Padahal yang perlu ditekankan disini terkait SRG, adalah manfaatnya bagi petani untuk bisa mendapatkan keuntungan dari hasil panen yang selama ini selalu dirugikan oleh turunnya harga gabah pada saat panen raya. Informasi tentang SRG ini justru banyak diperoleh petani secara informal, yakni dengan melihat petani lain yang sudah merasakan manfaat dari SRG dan berhasil meningkatkan pendapatannya melalui SRG.

Dalam hal ini, upaya yang dilakukan pengelola gudang SRG Warungkondang yang secara aktif melakukan sosialisasi sesuai irama kerja petani, bahkan hingga mendatangi petani di rumahnya, dengan menggunakan kata-kata yang sederhana dan dengan menekankan keuntungan SRG bagi petani, nyata efektif bagi berhasilnya sosialisasi SRG di daerah ini.

(2) Sikap petani yang tidak sabar dengan sistem tunda jual produk yang diagunkan tersebut.

Kebanyakan petani masih berpikir sederhana dan berorientasi pada kebutuhan sekarang; belum berorientasi masa mendatang. Demikian pula pada umumnya petani masih menganggap bahwa prosedur SRG dan kredit ke bank sulit dan berbelit-belit. Pola pikir seperti ini menghalangi petani untuk mengadopsi SRG, terlebih terkadang para petani juga terjebak pada sistem permainan tengkulak yang sudah menjadi hal yang umum terjadi di masyarakat pedesaan. Karena itulah, meskipun harga gabah pada saat panen raya cenderung turun dikarenakan stok yang

46 melimpah, petani tetap menjual gabahnya. Belum ada kesadaran untuk mencoba mencari keuntungan dengan melakukan tunda jual atau menunda penjualan gabah sampai harga gabah naik sesudah panen raya.

(3) Terbatasnya jumlah gudang penyimpan hasil pertanian.

Seperti kasus di SRG Warungkondang, kapasitas gudang yang dimiliki relatif sangat kecil dibandingkan dengan potensi produksi padi di daerah tersebut, sehingga banyak gabah petani yang tidak bisa tertampung di gudang. Oleh karena itu, perlu dibangun gudang-gudang baru di sentra-sentra produksi sehingga dapat menampung lebih banyak lagi gabah produksi petani, sehingga tujuan SRG untuk stabilisasi harga akan lebih tercapai. Sebagai alternatif solusi yang ditawarkan adalah memanfaatkan gudang-gudang kecil milik Pemda ataupun swasta yang memenuhi persyaratan gudang sesuai SNI untuk dimanfaatkan dalam SRG. Dengan banyaknya gudang dan berlokasi di sentra-sentra produksi ini juga akan menekan biaya transportasi.

(4) Fasilitas/sarana dan prasarana pendukung gudang yang kurang memadai.

Seperti kasus di SRG Warungkondang, unit pengering gabah yang dimiliki seringkali tidak mampu menampung gabah yang akan dikeringkan untuk kemudian disimpan di gudang. Unit pengering gabah ini terutama sangat krusial di musim hujan, dimana petani tidak bisa mengeringkan gabahnya secara manual dengan bantuan sinar matahari. Sebaliknya, unit pengering gabah tidak diperlukan di SRG Batola karena musim panen padi di daerah ini (yang hanya sekali dalam setahun) biasanya terjadi pada musim kemarau.

Fasilitas lain yang juga kurang adalah alat transportasi/angkutan yang sangat diperlukan untuk mengangkut gabah petani dari sawah ke gudang, ataupun mengangkut gabah petani yang selesai masa simpannya di gudang ke penggilingan padi atau ke tempat petani.

Fasilitas penggilingan padi atau Rice Milling Unit (RMU) juga merupakan salah satu fasilitas penting yang selayaknya ada melengkapi fasilitas gudang. Dengan adanya RMU, petani yang akan menjual gabahnya bisa langsung menggiling gabahnya menjadi beras dan tidak perlu repot lagi membawa gabah ke penggilingan padi yang seringkali terletak jauh dari gudang. Dengan demikian, adanya RMU yang melengkapi fasilitas gudang akan sangat membantu meringankan biaya transportasi yang dikeluarkan petani.

47

Seperti kasus SRG Batola, walaupun lokasinya sudah dipandang strategis, namun dalam kenyataannya lokasi gudang tersebut jauh dari sentra-sentra produksi padi. Terlebih, untuk beberapa lokasi, untuk sampai ke lokasi gudang haarus menggunakan fasilitas transportasi sungai karena banyaknya sungai di Batola dan masih kurang memadainya fasilitas transportasi darat. Hal ini menyebabkan tingginya biaya transportasi yang harus dikeluarkan petani yang dirasakan tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh dari SRG. Terlebih, gudang SRG tersebut tidak difasilitasi dengan RMU.

(6) Kecilnya volume gabah yang disimpan per petani/kelompok tani/Gapoktan/ koperasi di gudang.

Kecilnya volume gabah yang disimpan per petani/kelompok tani/Gapoktan/ koperasi di gudang menyebabkan kapasitas maksimal gudang tidak bisa tercapai. Hal tersebut disebabkan karena penyimpanan gabah milik masing-masing petani/kelompok tani/Gapoktan/koperasi dilakukan secara terpisah antara satu dengan lainnya dengan tujuan supaya gabah yang disimpan di gudang tersebut tidak tercampur satu sama lain dan memudahkan dalam proses pengambilannya nanti ketika masa simpannya sudah habis. Akan tetapi, kecilnya volume gabah yang disimpan untuk masing-masing peserta SRG tersebut menyebabkan gabah hanya bisa disimpan dalam beberapa tumpukan saja dari jumlah tumpukan maksimumnya, sehingga kapasitas maksimum gudang tidak bisa terpenuhi.

(7) Kurangnya koordinasi antara Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan

stakeholder lainnya.

Kurangnya koordinasi antara Dinas Perindustrian dan Perdagangan dengan

stakeholder lainnya menyebabkan timbulnya kesan seolah-olah SRG hanya milik Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan kurangnya sense of belonging dari

stakeholder lainnya. Untuk keberhasilan SRG, diperlukan diperlukan kerja sama yang sinergis dari stakeholder-stakeholder terkait, yaitu Bappebti, pemerintah daerah serta dinas-dinas setempat, pengelola gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian, Pusat Registrasi, asuransi, lembaga keuangan baik bank maupun non-bank, para pelaku usaha baik itu petani/kelompok tani/Gapoktan, koperasi, pedagang, serta prosesor/pabrikan, maupun eksportir.

(8) Tidak tersedianya mekanisme jaminan yang relatif terjangkau bagi pelaku usaha apabila Pengelola Gudang mengalami pailit atau melakukan kelalaian dalam pengelolaan (mishandling) sehingga tidak dapat

48 melaksanakan kewajibannya mengembalikan barang yang disimpan di gudang sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang tertera dalam Resi Gudang.

(9) Pelimpahan SRG dari pendamping ke lembaga yang siap menjalankan SRG, dalam beberapa kasus seperti di Cianjur dan Batola bentuknya adalah Koperasi, memerlukan persiapan yang cukup matang.

Meskipun dalam beberapa kasus koperasi tinggal melanjutkan sistem yang sudah ada dan ada pendampingan dalam bentuk konsultasi dengan pihak ketiga, seperti dengan PT Pertani dalam kasus kabupaten Cianjur, maupun dengan PT BGR untuk kasus Kabupaten Barito Kuala, namun diperlukan persiapan terutama sumberdaya manusia yang akan menangani SRG ini.

49 IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

4.1. Kesimpulan

Sebagai sebuah skim yang relatif baru, SRG akan dapat berjalan efektif apabila masing-masing stakeholder yang terlibat dapat bersinergi dan memegang komitmen sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang tentang SRG dan peraturan turunannya. Kunci keberhasilan SRG adalah terletak pada dukungan pemerintah daerah dalam hal ini seperti gubernur atau bupati/walikota dan dinas terkait di bawahnya, karena akan terkait dengan pembinaan yang harus dilaksanakan secara berkelanjutan. Jika SRG di-setting sebagai alternatif pembiayaan komoditas pertanian, maka lembaga yang sangat penting perannya adalah perbankan atau lembaga keuangan lainnya. Sektor keuangan merupakan “engine” untuk menghidupkan dan menggerakkan SRG. Peran lembaga keuangan diharapkan dapat meningkat signifikan setelah dibentuknya Lembaga Jaminan Resi Gudang sebagaimana dicantumkan dalam UU tentang SRG (UU No 9/2011).

Titik lemah yang masih terlihat nyata dalam implementasi SRG adalah kurangnya sosialisasi kepada stakeholder, terutama kepada petani/klomtan. Sosialisasi yang dilakukan selama ini masih terbatas di tingkat elit (pejabat Dinas Pertanian di propinsi/kabupaten). Selain kurangnya sosialisasi, masih terdapat berbagai kendala lain dalam implementasi SRG, baik yang menyangkut aspek teknis, sosial, ekonomi, kelembagaan dan sumberdaya manusia maupun kebijakan yang juga sangat mempengaruhi kinerja SRG di lapangan.

4.2. Implikasi Kebijakan

Sosialisasi SRG perlu dilakukan secara lebih intensif dengan lebih memfokuskan target sosialisasi kepada petani/kelompok tani/Gapoktan. Supaya lebih efektif, sosialisasi juga perlu menggunakan bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh petani. Selain sosialisasi, hal lain yang perlu dilakukan adalah upaya menarik minat petani untuk bergabung dalam SRG. Faktor

50 kunci ketertarikan petani adalah adanya kejelasan pasar dan dukungan pendanaan sehingga tidak ada keraguan petani dalam melaksanakan SRG. Terkait dengan pemasaran ini, SRG harus disinergikan dengan kegiatan Bursa Berjangka Komoditas dan Pasar Lelang sebagai tiga pilar penopang perdagangan komoditas.

Beberapa poin penting yang perlu dipersiapkan untuk mendukung efektifnya SRG di sektor pertanian, diantaranya: (a) sarana dan prasarana yang memadai harus dimiliki oleh petani atau kelompok tani agar kualitas produk yang akan disimpan bisa sesuai dengan standar yang ditentukan; (b) jaringan pasar dan jaringan informasi harga harus segera dibuat; (c) pelaksanaan secara konsisten kebijakan dalam pembiayaan pertanian, diantaranya subsidi bunga bank (skema SRG); (d) sarana pergudangan yang memadai; dan (e) resi gudang sebagai agunan kredit bagi petani/UKM perlu dibarengi upaya penguatan kelembagaan usahatani/UKM.

Upaya-upaya tersebut juga harus disinergikan dengan pengembangan produktivitas dan kualitas hasil pertanian yang harus lebih prima. Diperlukan perencanaan yang komprehensif mulai dari pembibitan, pemeliharaan, panen, hingga pasca panen, sehingga diperoleh mutu terbaik, harga terbaik, dan penghasilan terbaik bagi petani. Perlu diwacanakan ke depan, bahwa SRG tidak dibatasi pada kegiatan tunda jual semata, tetapi dapat juga diarahkan dalam kerangka untuk menaikkan nilai tambah produk (konversi gabah ke beras) hingga aspek pemasarannya.

Agar keberadaan SRG dapat dimanfaatkan petani secara lebih luas, maka secara khusus Kementerian Pertanian perlu melakukan modifikasi atau penyederhanaan prosedur SRG yang disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Dengan tetap memegang spirit SRG, implementasinya di masyarakat dapat dilakukan dengan lebih sederhana. Jika SRG difungsikan sebagai instrumen kebijakan dalam rangka pemberdayaan petani, maka pola kerja sama dengan perusahaan melalui PKBL/CSR bisa dikembangkan lebih baik lagi di masa mendatang.

52 DAFTAR PUSTAKA

Ariyani, RR. 2008. Sistem Resi Gudang akan Diberlakukan Nasional. http://www.tempo-interaktif.com/hg/ekbis/2008/04/16/brk,20080416-121425,id.html [30/03/09]

Antara. 2011. DPR: Resi Gudang Perkuat Posisi Tawar Petani. http://id.berita.

yahoo.com/dpr-resi-gudang-perkuat-posisi-tawar-petani-000815023.html (16/12/11)

Ashari. 2007. Resi Gudang: Alternatif Model Pemasaran Komoditas Pertanian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 29 (4): 7-8. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Ashari. 2011. Prospek dan Kendala Sistem Resi Gudang untuk Mendukung Pembiayaan Usaha Pertanian di Indonesia. Forum Agro Ekonomi Vol. 29 (2): 129-143. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

BRI. 2011. Penjaminan Resi Gudang ke Bank Sebagai Alternatif Pembiayaan. Makalah disampaikan pada Workshop Penguatan Kelembagaan Sistem Resi Gudang dalam Mendukung Pembiayaan Sektor Pertanian, Best Western Mangga Dua Hotel & Residence. Menko Perekonomian, 7 Desember 2011. Jakarta.

BRI. 2008. Sistem Resi Gudang: Peluang, Tantangan dan Hambatan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sistem Resi Gudang, Pengembangan Alternatif Pembiayaan Melalui Sistem Resi Gudang. Hotel Borobudur, tanggal 4 Nopember 2008.

Bappepti. 2011b. Sistem Resi Gudang sebagai Instrumen Pembiayaan. Makalah disampaikan pada Workshop Penguatan Kelembagaan Sistem Resi Gudang dalam Mendukung Pembiayaan Sektor Pertanian, Best Western Mangga Dua Hotel & Residence. Menko Perekonomian, 7 Desember 2011. Jakarta.

Biro Pasar Fisik dan Jasa, Bappepti. 2013a. Rekapitulasi Resi Gudang Tahunan.

Biro Pasar Fisik dan Jasa, Bappepti. 2013b. Rekapitulasi Resi Gudang 2008 s.d. 2013.

Pasar. 2011. Implementasi Pelaksanaan Pasar Lelang dalam Mendukung Pelaksanaan Sistem Resi Gudang. Makalah disampaikan pada Workshop Penguatan Kelembagaan Sistem Resi Gudang dalam Mendukung Pembiayaan Sektor Pertanian, Best Western Mangga Dua Hotel & Residence. Menko Perekonomian, 7 Desember 2011. Jakarta.

53 Kurniawan, D. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Sistem Resi Gudang oleh Petani di Kecamatan Palasah, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Bogor.

Muhi, H. A. Fenomena Pembangunan Desa. Institut Pemerintahan Dalam

Negeri, Jatinangor, Jawa Barat, 2011.

http://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/08/ FENOMENA-PEMBANGUNAN-DESA2.pdf (19/12/11)

Pusat Pembiayaan. 2006. Pedoman Umum Sistem Tunda Jual Komoditas Pertanian. Pusat Pembiayaan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta.

Sadarestuwati. 2008. Pentingnya Sistem Resi Gudang bagi Petani. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sistem Resi Gudang, Pengembangan Alternatif Pembiayaan melalui Sistem Resi Gudang. Hotel Borobudur, tanggal 4 Nopember 2008.

Teken, I.B dan A.K. Hamid, 1982. Tataniaga Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor

Yudho, U. 2008. Sistem Resi Gudang sebagai Lindung Nilai: Studi pada PT Petindo Daya Mandiri. Thesis. Program Studi Magister Manajemen. Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Wikipedia. 2009. Resi Gudang.

54 Lampiran 1:

Bagan Alir/Prosedur Operasi Standar di Pengelola Gudang Sistem Resi Gudang

Permohonan Simpan Barang Ruang Tersedia ? Mutu Barang Sesuai Asumsi Barang Pembongkaran Penimbangan & Penumpukan Barang Pengalihan Resi Gudang Penerbitan Resi Gudang Penjaminan Resi Gudang Perubahan Pembebanan Hak Jaminan Penyimpanan & Perawatan Barang Penyelesaian Transaksi Penghapusan Pembebanan Hak Jaminan Penjualan Objek Hak Jaminan RG Dijaminkan ? Stop Tidak Tidak ya Cidera Janji ? Ya Tidak Tidak Ya Ya Tidak

Dokumen terkait