• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Methylcobalamin terhadap Kecepatan Hantar Saraf dan Intensitas Nyeri pada Pasien Carpal Tunnel Syndrome dengan Diabetes Melitus dan Tanpa Diabetes Melitus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pemberian Methylcobalamin terhadap Kecepatan Hantar Saraf dan Intensitas Nyeri pada Pasien Carpal Tunnel Syndrome dengan Diabetes Melitus dan Tanpa Diabetes Melitus"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Carpal tunnel syndrome (CTS) merupakan salah satu neuropati kompresi pada ekstremitas atas yang paling sering dijumpai, yaitu sekitar 90% dari seluruh entrapment neuropathy. Sindroma ini disebabkan oleh entrapment dari nervus medianus pada terowongan karpal di pergelangan tangan. Insidensi dan prevalensinya bervariasi yaitu 0.125%-1% dan 5-16% bergantung pada kriteria diagnosis yang digunakan. (Aroori dkk, 2008). Sindroma ini merupakan kondisi yang berkaitan dengan pekerjaan (occupational health condition) yang paling sering dijumpai, terutama pada pekerjaan yang melibatkan tekanan tinggi, getaran dan gerakan yang berulang pada pergelangan tangan. (Aroori dkk, 2008; Katz dkk, 2002; Palmer dkk, 2011). Sindroma ini kini lebih sering dijumpai berkaitan dengan penggunaan komputeratau mesin ketik. (Vinik dkk, 2004).

(2)

menopause, systemic lupus erythematosus dan sebagainya). (Aroori dkk, 2008; Palmer dkk, 2011). Sekitar sepertiga kasus CTS berkaitan dengan kondisi sistemik tersebut dan sekitar 6% pasien merupakan penderita diabetes. (Katz dkk, 2002). Studi dari Shiri dkk (2011) menemukan hubungan antara CTS dengan faktor risiko kardiovaskular pada usia muda dan dengan ketebalan tunika intima-media karotid dan penyakit vaskular ateroslerotik pada usia tua. Temuan ini menunjukkan bahwa CTS dapat merupakan salah satu manifestasi aterosklerosis

atau keduanya dapat memiliki faktor risiko yang sama.

Carpal tunnel syndrome merupakan entrapment neuropathy yang paling sering dijumpai pada pasien DM. (Vinik dkk, 2004). Hal ini terlihat dari berbagai studi tentang CTS pada DM. Studi oleh Perkins dkk (2002) menemukan bahwa CTS dan diabetic polyneuropathy (DPN) merupakan kondisi yang sering dijumpai pada pasien DM. Prevalensi CTS dijumpai lebih tinggi pada pasien dengan DPN dibandingkan pada populasi umum. Prevalensi CTS pada populasi kontrol adalah 2%, sedangkan pada pasien DM tanpa DPN adalah 14% dan 30% pada pasien DM dengan DPN. Hal ini sejalan dengan studi oleh Oge dkk (2004) yang juga menemukan prevalensi CTS yang lebih tinggi pada pasien DM dengan DPN. Peningkatan prevalensi CTS pada populasi DM tampaknya berkaitan dengan trauma berulang yang tidak disadari, perubahan metabolik, akumulasi cairan atau edema dalam terowongan karpal dan diabetic cheiroarthropathy.(Vinik dkk, 2004)

(3)

adalah 425.1 per 100.000 subjek prediabetes dan 260 per 100.000 pada kontrol. Setelah penyesuaian terhadap faktor risiko CTS lainnya, risiko relatif nya adalah sebesar 1.36 (1.02-1.81, p=0.039). Hiperglikemia dan abnormalitas metabolik yang terkait dengannya tampaknya berkontribusi dalam menyebabkan gangguan saraf perifer ini sebelum diagnosis DM ditegakkan.

Makepeace dkk (2008) melakukan penelitian untuk mengetahui insidensi dan prediktor dari carpal tunnel decompression (CTD) pada pasien DM tipe 2.

Penelitian dilakukan terhadap 1.284 pasien DM dan CTD ditemukan pada 67 pasien saat follow up selama lebih kurang 12 tahun, insidensinya 5.5 per 1.000 pasien per tahun, yaitu 4.2 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Faktor prediktor untuk tindakan CTD adalah indeks massa tubuh yang lebih tinggi dan konsumsi obat penurun lipid. Peneliitian ini menyimpulkan bahwa insidensi CTD meningkat pada pasien DM dan berhubungan dengan obesitas dan faktor sosiodemografik yang menunjukkan treatment-seeking behavior pada pasien CTS dengan DM.

Diagnosis CTS biasanya ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan temuan klinis. Biasanya, pasien mengeluh rasa kebas atau kehilangan sensorik pada distribusi nervus medianus (tiga jari pertama dan sisi radial dari jari keempat). Pasien juga dapat mengeluhkan nyeri di area tersebut, sering dengan penyebaran proksimal ke lengan. Rasa nyeri ini dapat membangunkan pasien dari tidur dan diperberat dengan aktivitas yang melibatkan fleksi atau ekstensi pergelangan tangan dan dapat juga dijumpai kelemahan otot abduktor polisis brevis (APB). Pada pemeriksaan klinis dapat dijumpai tanda Tinel’s dan Phalen’s.

(4)

Metode yang paling objektif untuk menegakkan diagnosis CTS adalah dengan pemeriksaan elektrodiagnostik. (Oge dkk, 2004). Pemeriksaan keceparan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG) dapat mengkonfirmasi diagnosis CTS dan membantu melokalisir lokasi entrapment saraf. (Kim dkk, 2001). Pemeriksaan KHS merupakan uji diagnostik yang pasti untuk CTS dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Pemeriksaan ini menunjukkan lesi distal pada nervus medianus dan menyingkirkan kondisi perifer lainnya dengan gejala yang sama. (Tay dkk, 2006).

Pada entrapment neuropathy, pemeriksaan KHS secara umum dianggap sebagai indikator yang sensitif untuk menunjukkan keparahan demielinasi dan iskemi pada lokasi entrapment. Ogura dkk (2003) melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara parameter studi KHS dengan clinical grading CTS.Hasil penelitian menunjukkan bahwa amplitudo dari sensory nerve action potential (SNAP) dan motor nerve action potential menggambarkan status fungsional akson dan merupakan parameter yag bermanfaat untuk menilai clinical grading berdasarkan KHS. Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan KHS yang cukup tinggi menjadikannya metode diagnostik yang paling bermanfaat untuk CTS (sensitivitas 80%). Stimulasi pergelangan tangan-telapak tangan (wrist-palm) merupakan teknik yang paling sensitif (sensitivitasnya 61% untuk diagnosis CTS).

(Vinik dkk, 2004)

(5)

predictive value yang rendah. Pengukuran perbedaan latensi distal sensorik medianus-ulna memiliki akurasi diagnostik yang paling tinggi.

Berbagai penelitian tentang pemeriksaan elektrodiagnostik dengan derajat klinis CTS menunjukkan hasil yang bervariasi. Studi oleh Hardoim dkk (2009) dilakukan untuk mengetahui hasil pemeriksaan KHS pada CTS jangka panjang yang tidak diterapi dengan pembedahan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan hasil pemeriksaan KHS pada CTS tidak berhubungan dengan gejala klinis. Usia, jenis kelamin laki-laki dan tidak adanya SNAP lebih berhubungan dengan perburukan KHS, terlepas dari waktu interval antara pemeriksaan KHS.

Studi dari Bulut dkk (2011) bertujuan untuk mengetahui hubungan antara hasil klinis dan elektrofisiologis dari tindakan dekompresi pada CTS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun terdapat perbaikan klinis setelah tindakan bedah pada CTS, temuan elektrofisiologi masih menunjukkan CTS dengan derajat yang bervariasi setelah operasi.

(6)

Studi dari Perkins dkk (2002) menunjukkan bahwa parameter elektrodiagnostik bukan merupakan prediktor yang signifikan terhadap gejala klinis CTS pada pasien DM. Secara umum, parameter ini memburuk seiring dengan beratnya neuropati namun tidak dapat membedakan pasien DM dengan dan tanpa CTS.

Oge dkk (2004) melakukan penelitian untuk mengetahui prevalensi CTS dan hubungan antara CTS dan DPN pada pasien DM. Hasil penelitian ini menemukan prevalensi CTS pada pasien DM sebesar 27.8%. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara CTS dengan indeks massa tubuh, durasi DM, usia, jenis kelamin, nefropati diabetik dan retinopati diabetik. Hasil penelitian ini menyarankan untuk melakukan pemeriksaan elektrodiagnostik pada pasien DM yang dicurigai menderita CTS karena DPN menurunkan efektivitas terapi pada CTS.

Studi dari Celik dkk (2006) menunjukkan bahwa DPN dapat muncul dengan gejala klinis CTS, karena saraf perifer menjadi rentan terhadap perubahan metabolik pada DM dan dapat awalnya terkena pada lokasi entrapment akibat efek mekanik. Pemeriksaan KHS medianus tidak dapat membedakan CTS dan DPN secara signifikan pada studi ini.

Carpal tunnel syndrome dapat muncul dengan berbagai gejala dan tanda

(7)

elektrofisiologi tidak berhubungan dengan intensitas nyeri. Faktor yang berperan secara signifikan sebagai prediktor intensitas nyeri adalah depresi dan misinterpretasi dari nosisepsi yang ditentukan dengan pain catastrophizing score.

Studi dari Povlsen dkk, (2010) bertujuan untuk mengetahi hubungan antara keparahan keluhan subjektif yang salah satunya dinilai dengan visual analogue scale (VAS) dan temuan KHS pada pasien usia dibawah 40 tahun dan pasien di tas 70 tahun dengan CTS. Hasil peneltian menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan

KHS lebih lambat,sebagai tanda kompresi yang lebih berat, pada pasien berusia diatas 70 tahun jika dibandingkan dengan yang berusia di bawah 40 rtahun, namun pasien usia tua menunjukkan keluhan subjektif yang lebih ringan dibandingkan pasien usia muda.

Methylcobalamin merupakan bentuk neurologically active dari vitamin B12. Suatu penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi methylcobalamin yang tinggi pada cairan serebrospinal efektif dan aman dalam penatalaksanaan gejala neuropati diabetik. (Ide dkk, 1987). Studi dari Yamatsu dkk, (1976) dilakukan untuk mengetahui efek vitamin B12, yaitu methylcobalamin dan cobamide, terhadap degenerasi dan regenerasi neural. Hasil penelitian menunjukkan bahwa methylcobalamin dapat memilki efek inhibisi terhadap degenerasi Wallerian dan memiliki efek untuk regenerasi neural. Methylcobalamin merupakan satu-satunya

derivat aktif dari vitamin B12 yang mempunyai efek merangsang proteosintesis sel-sel Schwann dan dengan jalan transmetilasi dapat menyebabkan mielogenesis dan regenerasi akson saraf dan memperbaiki transmisi pada sinaps.

(8)

hewan percobaan dengan neuropati yang disebabkan oleh acrylamide. Hasil penelitian ini menunjukkan dosis tinggi methylcobalamin dapat bermanfaat pada pasien dengan neuropati perifer. Vitamin B12 dalam bentuk methylcobalamin meningkatkan proses metilasi DNA de novo. (Leskowicz, dkk 1991). Studi dari Akaike dkk, (1993) menunjukkan bahwa paparan kronik terhadap methylcobalamin melindungi neuron kortikal terhadap sitotoksisitas glutamat yang dimediasi reseptor NMDA.

Yaqub dkk, (1992) melakukan penelitian efek klinis dan neurofisiologis methylcobalamin pada pasien dengan neuropati diabetik. Pada studi double-blind, grup aktif menunjukkan perbaikan yang signifikan secara statistik pada gejala somatik dan aotonomik dengan berkurangnya tanda neuropati diabetik. Studi KHS sensorik dan motorik tidak menunjukkan perbaikan secara signifikan setelah 4 bulan. Tidak dijumpai efek samping pada pasien.

(9)

saraf otonom, gangguan paut saraf otot, kolegium Neurologi Indonesia, 2008). Suatu tinjauan metaanalisis tentang efek methylcobalamin pada neuropati perifer diabetik menunjukkan bahwa methylcobalamin memperbaiki tanda dan gejala DPN, KHS sensorik medianus dan peroneus, KHS motorik medianus dan tibialis. (Hai-yan dkk, 2005).

Studi oleh Sato dkk (2005) dilakukan untuk mengetahui efek pemberian mecobalamin oral, suatu bentuk vitamin B12, pada CTS pada sisi non paretik pada pasien pasca stroke. Pada suatu randomized open label dan studi prospektif, 67 mendapat 1500 mcg mecobalamin setiap hari selama 2 tahun, dan 68 pasien yang tidak diterapi. Pada awal penelitian dilakukan KHS sensorik, KHS motorik, SNAP pada pergelangan tangan, latensi distal sensorik palm-to-wrist, palm-to-wrist SNAP, CMAP dan latensi distal motorik nervus medianus secara signifikan abnormal pada sisi nonparetik dibanding sisi hemiparetik atau pada kontrol. Sebelum terapi 21 pasien (31%) tidak diterapi dan 20 pasien (30%) dari kelompok yang diterapi memenuhi kriterai untuk CTS. Gangguan sensorik pada sisi nonparetik tampak berkurang pada kelompok yang diterapi. Setelah 2 tahun, seluruh parameter elektrofisiologis pada sisi nonparetik menunjukkan perbaikan secara signifikan pada kelompok yang diterapi dibandingkan dengan yang tidak diterapi. Perbaikan pada parameter sensorik lebih besar dibanding motorik. Tidak dijumpai efek samping, Mecobalamin oral terbukti aman dan dapat memberikan manfaat pada CTS.

I.2. PERUMUSAN MASALAH

(10)

Apakah ada pengaruh pemberian methylcobalamin terhadap kecepatan hantar saraf dan intensitas nyeri pada pasien CTS dengan DM dan tanpa DM ?

I.3. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk :

I.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh pemberian methylcobalamin terhadap KHS dan intensitas nyeri pada pasien CTS dengan DM dan tanpa DM.

I.3.2. Tujuan Khusus

I.3.2.1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian methylcobalamin terhadap KHS dan intensitas nyeri pada pasien CTS dengan DM dan tanpa DM yang berobat ke RSUP HAM Medan.

I.3.2.2. Untuk mengetahui karakteristik demografi, nilai KHS, dan intensitas nyeri pada pasien CTS dengan DM dan tanpa DM yang berobat ke RSUP HAM Medan. I.3.2.3. Untuk mengetahui perbedaan nilai KHS dan intensitas nyeri pada pasien CTS dengan DM dan tanpa DM yang berobat ke RSUP HAM Medan.

(11)

I.3.2.6. Untuk mengetahui perbedaan nilai KHS dan intensitas nyeri berdasarkan kriteria pengendalian DM pada pasien CTS dengan DM yang berobat ke RSUP HAM Medan.

I.3.2.7. Untuk mengetahui perbedaan nilai KHS dan intensitas nyeri berdasarkan ada tidaknya komplikasi DM pada pasien CTS dengan DM yang berobat ke RSUP HAM Medan.

I.4. Hipotesis

Ada pengaruh pemberian methylcobalamin terhadap nilai KHS dan intensitas nyeri pada pasien CTS dengan dan tanpa DM.

I.5. Manfaat Penelitian I.5.1. Penelitian

Dengan mengetahui pengaruh pemberian methylcobalamin terhadap KHS dan intensitas nyeri pada pasien CTS dengan DM dan tanpa DM dapat dijadikan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya.

I.5.2. Pendidikan

(12)

sebagai dasar untuk menganjurkan pemeriksaan KHS rutin bagi pasien DM dengan gejala klinis CTS.

1.5.2.3. Dengan mengetahui pengaruh pemberian methylcobalamin terhadap KHS dan intensitas nyeri pada pasien CTS dengan DM dan tanpa DM dapat dijadikan sebagai dasar untuk menganjurkan pemeriksaan kadar gula darah pada pasien CTS dengan gejala klinis DM

I.5.3. Masyarakat

Referensi

Dokumen terkait

Kuadran ini dicirikan oleh ekspektasi growth yang tinggi dan readiness yang baik antara strategi dengan kinerja. Perusahaan-perusahaan yang berada pada kuadran ini pada umumnya

Bagi penyedia yang keberatan dengan penetapan ini, dipersilahkan untuk

Pada hari ini Senin Tanggal Sembilan Belas Bulan September Tahun Dua Ribu Enam Belas bertempat di IAIN Palangka Raya melalui website : lpse.kemenag.go.id Kelompok

Program Studi Pendidikan Teknologi Informasi menetapkan Manual Prosedur Tindakan Korektif dan Pencegahan (015-53-06-002) untuk melaksanakan tindakan pencegahan yang dihasilkan

[r]

Capaian Program Persentase Fasilitasi Pelaksanaan Pendidikan Politik Bagi Politisi

Capaian Program Persentase Pelaksanaan Fasilitasi Penguatan Kapasitas Aparatur Terkait Pemetaan, Pemantauan, Dan Pelaporan Situasi Daerah Secara Efektif Dan

Paper introduces for the first time an overview of a new 3D recording computer tool conceived to support the conservation process for cultural heritages, with