BAB II
KEPASTIAN HUKUM PEMEGANG HAK ATAS TANAH DI KAWASAN HUTAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 45/PUU- IX/2011
A. Pengaturan Hak Penguasaan Atas Tanah dalam Perundang-undangan
Hak dapat diartikan sebagai hubungan hukum antara subjek dengan objek,
dalam hal ini orang dan atau badan hukum terhadap tanah yang diatur dan ditetapkan
oleh negara42. Hak atas tanah menurut UUPA pada hakekatnya mengandung kekuasaan atau kewenangan bagi pemegangnya secara bersamaan dengan adanya
kewajiban. Hak seseorang atas tanah semestinya harus dihormati dalam arti tidak
boleh orang lain melakukan tindakan yang melawan hukum untuk memiliki tanah
tersebut.
Oleh karena itu, jika ada hak seseorang di atas tanah seyogianya hak tersebut
harus didukung oleh bukti hak, dapat berupa sertifikat bukti hak tertulis non sertifikat
ataupun pengakuan dan keterangan yang dapat dipercaya kebenarannya. Dengan kata
lain, penguasaan atas tanah yang didasarkan atas kekuasaan arogansi dan kenekatan
semata pada hakekatnya dapat dikatakan bahwa penguasaan tersebut sudah melawan
hukum. Dengan demikian, secara hukum yang bersangkutan tidak bisa dikatakan
telah mempunyai hak atas tanah dimaksud43.
42 Tampil Anshari Siregar, Op.Cit,.hal. 3 43
Pengaturan hak-hak atas tanah di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial
Belanda, dan kemudian diperbaharui setelah kemerdekaan. Dengan demikian,
pengaturan hak atas tanah di Indonesia secara garis besar dapat dibedakan atas dua
kurun waktu, yaitu pengaturan hak atas tanah sebelum terbitnya UUPA dan
pengaturan yang dikeluarkan sesudahnya.
1. Pengaturan Hak Atas Tanah sebelum UUPA
Hukum agraria pada masa pemerintahan kolonial Belanda dibangun atas dasar
kepentingan dan tujuan atau sendi-sendi pemerintahan jajahan. Hukum tanah pada
masa itu dibuat dan dilaksanakan sesuai kepentingan politik pertanahan kolonial.
Dilihat dari sejarahnya, pengaturan hukum agraria pada masa kolonial terbagi atas
sekurangnya enam periode, yaitu: (1) masa terbentuknya VOC (1602-1799); (2) masa
Pemerintahan Gubernur Herman Daendels (1800-1811); (3) masa Pemerintahan
Gubernur Thomas Raffles (1811-1816); (4) masa pemerintahan Gubernur Johannes
van den Bosch; (5) masa berlakunya Agrarische Wet Stb 1870 No. 55; dan (6) masa
berlakunya Agrarische Besluit Stb. 1870 No. 118. Masing-masing periode memiliki
kekhususan pengaturan hukum sesuai kepentingan politik colonial antara lain
berdasarkan prinsip dagang, dengan empat ciri yaitu dominasi, eksploitasi,
diskriminasi dan dependensi44.
Pengaturan hak atas tanah pada masa kolonial mengalami dualisme, karena
perbedaan-perbedaan hukum yang berlaku atas tanahnya. Pada masa itu terdapat
44
empat jenis pengaturan hukum atas tanah di Indonesia, yaitu: (i) tanah-tanah dengan
hak-hak barat atau tanah-tanah Eropa, seperti hak eigendom, hak erfpacht dan hak
opstal; 45(ii) hak-hak atas tanah adat, yaitu tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia berdasarkan hukum adat46; (iii) tanah-tanah dengan hak-hak ciptaan Pemerintah
Hindia Belanda, seperti hak Agrarisch Eigendom, Landerijen Bezitrecht; (iv) hak-hak
tanah ciptaan Pemerintah Swapraja, seperti Grant Sultan. Jenis hak-hak atas tanah
selain hak-hak barat di atas disebut juga sebagai „tanah hak Indonesia‟, yang cakupan
pengertiannya lebih luas dari tanah-tanah hak adat47. Dengan kata lain, sifat dualisme hukum agraria kolonial tersebut meliputi (a) bidang-bidang hukumnya (hukum
agraria barat, hukum agraria adat, hukum agraria swapraja, hukum agraria
administratif dan hukum agraria antargolongan), dan (b) hak atas tanah (Hak
Eigendom, Hak Opstal, Hak Erfpacht; tanah-tanah hak adat; Grant Sultan, Agrarisch
Eigendom, Landerijen Bezitrecht)48.
2. Pengaturan Hak Atas Tanah setelah UUPA
Pengaturan hak-hak atas tanah di Indonesia mengalami perubahan setelah 15
tahun kemerdekaan, tepatnya sejak terbitnya UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Terbitnya
Undang-undang ini merupakan upaya perbaikan pengaturan keagrariaan yang sesuai
45
Hak Eigendom (dikonversi menjadi Hak Milik) yaitu hak milik atas tanah, yang terpenuh,tertinggi yang dapat dipunyai seseorang .Hak Erfpacht (dikonversi menjadi HGU) yaitu hak menikmati kegunaan benda tidak bergerak milik orang lain dengan membayar uang kepada pemiliknya .Hak Opstal (dikonversi menjadi HGB) adalah hak untuk mempunyai rumah atau bangunan di atas tanah milik orang lain
46 Tanah dengan hak-hak adat termasuk hak ulayat, hak milik adat, hak pakai adat, (termasuk hak partuanan, gogolan dll)
47 Boedi Harsono, Op.Cit,hal. 53. 48
dengan kepentingan nasional, terlepas dari pengaturan agraria sebelumnya yang sarat
dengan kepentingan dan tujuan kolonial, bersifat diskriminatif, mengandung
dualisme, serta tidak menjamin kepastian hukum bagi kepentingan rakyat Indonesia.
Melalui penyusunan hukum agraria yang baru (UUPA) Pemerintah Indonesia
berupaya menyesuaikan hukum agraria kolonial dengan keadaan dan kebutuhan
setelah Indonesia merdeka. Beberapa perbaikan mendasar dalam pengaturan agraria
melalui UUPA antara lain penggunaan kebijaksanaan dan tafsir baru49yang
disesuaikan dengan Pancasila dan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945; penghapusan hak-hak
konversi, penghapusan tanah-tanah partikelir, perubahan peraturan persewaan tanah
rakyat, pengawasan pemindahan hak atas tanah, pengaturan mengenai tanah-tanah
perkebunan; dan lain sebagainya50.
Terkait dengan pengaturan hak atas tanah, UUPA tidak secara khusus
mendefinisikan apa yang disebut dengan hak atas tanah. Pada Pasal 4 ayat (2)
disebutkan hak-hak atas tanah yang merujuk kepada „hak menguasai negara‟ seperti
dimaksud dalam Pasal 2. Pada Pasal 4 ayat (1) disebutkan adanya macam-macam
“hak atas permukaan bumi yang disebut tanah”, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain,
serta badan-badan hukum. Mengacu kepada Pasal 4 UUPA Supriyadi51 membedakan antara „hak-hak penguasaan atas tanah‟ dengan „hak-hak atas tanah‟. „Hak-hak
49 Sebagai contoh adalah mengenai hubungan antara negara dengan tanah, yang tidak lagi menerapkan domein verklaring (negara sebagai pemilik tanah) melainkan negara sebagai yang menguasai tanah (bukan memiliki).
50 Urip Santoso, Op.Cit, hal. 32-36.
penguasaan atas tanah‟ adalah hak-hak yang masing-masing berisikan kewenangan,
tugas/kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu
dengan bidang tanah yang mempunyai hak atas tanah tersebut. Sementara itu hak atas
tanah adalah hak atas permukaan bumi, yaitu hanya meliputi sebagian tertentu dari
permukaan bumi yang berbatas, yang disebut bidang tanah.
Hak-hak atas tanah diberikan kepada orang atau badan hukum sesuai dengan
kedudukan hukumnya, peruntukan dan penggunaannya, serta di atas tanah mana hak
itu diberikan. Pemberian atau penetapan hak-hak atas tanah dimaksudkan sebagai
upaya untuk pemberian jaminan kepastian hukum bagi pemegang haknya, yang
didasarkan pada hukum dan diselesaikan secara hukum (yuridis-teknis) berlandaskan
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA52.
Hak-hak atas tanah berdasarkan sistem UUPA terikat kepada beberapa azas
atau prinsip terutama adanya prinsip hak menguasai Negara, zas kebangsaan, prinsip
kesamaan kedudukan, fungsi sosial hak atas tanah dan lain-lain, yang kesemua
prinsip tersebut melekat pada masing-masing hak atas tanahnya53. Pasal 16 UUPA menyebutkan hak-hak atas tanah terdiri dari (a) Hak Milik, (b) Hak Guna Usaha, (c)
Hak Guna Bangunan, (d) Hak Pakai, (e) Hak Sewa, (f) Hak Membuka Tanah; (g) Hak
Memungut Hasil Hutan, (h) hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut
di atas yang ditetapkan dengan Undang-undang, serta hak-hak yang sifatnya
52 Muhammad Yamin Lubis & Abd Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Penerbit Mandar Maju, 2008, hal. 4.
53
sementara. 54 Pihak yang dapat menerima atau memiliki hak atas tanah menurut Pasal 4 ayat (1) UUPA terdiri dari perorangan (baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain) dan badan hukum. Hak untuk menguasai tanah berupa tanah ulayat dapat
juga dimiliki oleh suatu persekutuan hukum yang disebut masyarakat hukum adat,
seperti diatur dalam Pasal 3 UUPA. Selain ketiga subjek tersebut di atas, subjek yang
bisa menerima atau memiliki hak atas tanah adalah instansi Pemerintah, berdasarkan
apa yang disebut sebagai „Hak Pengelolaan‟.55
Hak Pengelolaan tersebut sesungguhnya tidak diatur secara eksplisit di dalam
pasal-pasal UUPA. Lahirnya hak pengelolaan ini merupakan penjabaran dari
Penjelasan Umum II/UUPA melalui frasa yang berbunyi “…atau memberikannya
dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra)…”. Hak pengelolaan untuk pertama kali disebut dan diatur dalam
Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak
Penguasaan atas Tanah Negara dan Ketentuan-ketentuan tentang Kebijaksanaan
Selanjutnya. Keberadaan hak pengelolaan ini kemudian dipertegas atau diperkuat
melalui sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya, baik berupa
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri yang terbit sejak tahun 1965
sampai dengan tahun 199956.
54 Defenisi yang lengkap mengenai masing-masing hak atas tanah telah diuraikan dalam bunyi pasal-pasal terkait dalam UUPA
55 Bambang Eko Supriyadi, Op.Cit, hal. 65. 56
Sementara itu, A.P. Parlindungan berpendapat bahwa Hak Pengelolaan
merupakan suatu hak atas tanah yang sama sekali tidak ada istilahnya dalam UUPA,
tetapi delegasi wewenanng pelaksanaan Hak Menguasai Negara yang terkandung
dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA memberikan kemungkinan untuk membuka penerbitan
hak baru yang namanya ketika itu belum ada, tetapi merupakan suatu delegasi
pelaksanaan kepada daerah-daerah otonom dan masyarakat hukum adat. Delegasi
wewenang pelaksanaan Hak Menguasai Negara itulah yang kemudian berkembang
menjadi Hak Pengelolaan.57 Selanjutnya Parlindungan mengatakan bahwa Hak Pengelolaan berasal dari istilah Belanda “beheersrecht” yang bermakna hak
penguasaan, dan istilah ini sudah muncul dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Thn
1953 yang berisikan: (a) merencanakan, peruntukan, penggunaan tanah tersebut; (b)
menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya; (c) menerima
uang pemasukan/ganti rugi dan atau uang wajib tahunan. Pada peraturan-peraturan
yang diterbitkan selanjutnya istilah hak penguasaan itu kemudian berganti menjadi
Hak Pengelolaan.58
Penempatan Hak Pengelolaan sejajar dengan hak atas tanah lain yang diatur
dalam pasal 16 UUPA tampak dalam peraturan perundang-undangan yaitu: 59 diatur dalam Permendagri No.1/1967 yang diubah diubah dengan Permendagri No.6/1972
57
A.P.parlindungan,Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Penerbit: Mandar Maju, Bandung, hal.1
58 Ibid,hal.6 59
Tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah, dan dalam Permendagri
No.5/1973 Tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah.
Dari sejumlah peraturan perundangan-undangan yang mengatur tentang hak
pengelolaan tadi, dapat disebutkan pihak-pihak yang digolongkan sebagai subjek
hukum pemegang Hak Pengelolaan, antara lain: Departemen, Lembaga Pemerintah
Non-Departemen, Direktorat, Daerah Swatantra, Jawatan Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, PT. Persero, Badan
Otorita, dan badan-badan hukum lainnya yang ditunjuk oleh Pemerintah. Hak
Pengelolaan tidak bisa diberikan kepada perorangan. Menurut Urip Santoso60 Hak Pengelolaan dapat dikategorikan sebagai hak atas tanah yang bersifat “right to use”
tidak “right of dispossal”, yaitu pemegang hak pengelolaan hanya mempunyai hak
untuk menggunakan tanah untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya, tidak
mempunyai hak untuk mengalihkan hak pengelolaan kepada pihak lain. Arie Sukanti
Hutagalung & Markus Gunawan61 berpendapat bahwa Hak Pengelolaan bukan
merupakan salah satu hak atas tanah, namun hanya merupakan pelimpahan hak
menguasai dari negara berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Hak atas tanah mengandung kewenangan bagi pemegang haknya untuk
menggunakan dan mengambil manfaat dari suatu bidang tanah tertentu dan memberi
kewajiban kepadanya untuk tetap menjaga kelestariannya atau dipelihara sesuai
dengan tujuan pemberian haknya tersebut. Dengan demikian jelaslah bahwa tanah
60 Urip Santoso, Op.Cit,hal.177-178
dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedang hak atas tanah adalah hak
atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas,berdimensi dua dengan ukuran
panjang dan lebar.62Dalam UUPA telah ditentukan mengenai hierarki hak-hak penguasaan atas tanah yang terdiri dari : (1) hak bangsa Indonesia atas tanah; (2) hak
menguasai negara atas tanah; (3) hak ulayat masyarakat hukum adat; dan (4) hak
perorangan atas tanah63
B. Hak Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan 1. Pengertian Hutan dan Kawasan Hutan
Dalam khasanah ilmu kehutanan di Indonesia pengertian hutan dibedakan
dengan kawasan hutan. Hal itu terlihat jelas dalam ketentuan yang termuat dalam
undang-undang kehutanan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Undang-undang kehutanan pertama setelah
kemerdekaan sebagai pengganti Bosch Ordonantie 1927) maupun Undang-Undang
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (sebagai pengganti UU no. 5 Tahun 1967).
Definisi hutan menurut UU No. 5 Thn 1967 adalah “suatu lapangan bertumbuhan
pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati
beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan”.
Sedangkan kawasan hutan didefinsikan sebagai “wilayah-wilayah tertentu yang oleh
Menteri ditetapkan untuk dipertahankan sebagai hutan tetap”. Dalam Pasal 1 angka
(2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan hutan dedefinisikan
62 Urip Santoso, Op.Cit.hal.75 63
sebagai “suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan”. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka (3)
pegertian kawasan hutan adalah “wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapakan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadannya sebagai hutan tetap”.
Pengertian hutan dalam rumusan kedua Undang-undang tersebut lebih
menekankan pada pengertian fisik dan ekologi hutan, yaitu berupa “lapangan
bertumbuhan pohon-pohonan” atau “kesatuan ekosistem…yang didominasi
pepohonan”. Namun dalam rumusan UU Kehutanan terdapat penekanan bahwa
hamparan lahan yang didominasi pepohonan tersebut tidak dapat dipisahkan dengan
persekutuan alam lingkungannya. Lahan atau tanah merupakan alam lingkungan yang
menjadi tempat bertumbuhnya pepohonan tersebut, sehingga rumusan pengertian
hutan dalam UU Kehutanan secara tersirat tidak memisahkan antara aspek hutan
(dominasi pepohonan) dengan tanah tempat tumbuhnya. Dari perspektif hukum
pertanahan, penyatuan aspek hutan dengan tanahnya mengandung suatu potensi
problematik. Pengertian „kawasan hutan‟ pada kedua Undang-undang tersebut
mengacu pada hal yang sama yaitu suatu wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah
untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Definisi kawasan hutan lebih mengacu
kepada aspek yuridis atau status hukum, sementara pengertian hutan mengacu
kepada aspek fisik dan ekologis.
Jika ketentuan dalam bunyi Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan tersebut dijadikan
ditunjuk oleh pemerintah sebagai hutan baik terdapat atau tidak terdapat tumbuhan
pepohonan di dalamnya maka kawasan tersebut merupakan kawasan hutan. Dalam
kenyataannya, penerapan pasal ini dalam pengaturan kawasan hutan di Indonesia
selama ini telah menimbulkan permasalahan sengketa atau konflik di antara berbagai
pihak yang berkepentingan dengan sumberdaya yang ada di dalam kawasan hutan,
terutama menyangkut situasi ketidakpastian hukum pemegang hak atas tanah di
kawasan hutan menurut pandangan pihak yang bersengketa. Penunjukan atau
penetapan suatu wilayah tetentu menjadi kawasan hutan oleh Pemerintah
menimbulkan komplain dari warga masyarakat yang merasa dirugikan hak-haknya,
karena dalam banyak kasus penetapan tersebut dilakukan mencakup suatu wilayah
atau areal yang dalam kenyataannya di lapangan tidak berupa hutan lagi, atau karena
wilayah yang ditetapkan mencakup areal yang terdapat hak penguasaan lain atas
tanahnya.
Persoalan yuridis tidak hanya terjadi dalam kaitan penetapan suatu kawasan
hutan oleh Pemerintah yang menimbulkan keberatan masyarakat seperti disebutkan di
atas. Penyatuan antara hutan (dominasi pepohonan) dengan tanahnya (tempat
pepohonan tersebut bertumbuh) sebagai persekutuan yang „tidak dapat dipisahkan‟
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka (2) UU Kehutanan mengandung
problematika yuridis, yaitu menyangkut apakah tanah yang ada di dalam kawasan
hutan tidak termasuk sebagai objek hukum pertanahan, sehingga persoalan-persoalan
sengketa tanah yang terjadi di suatu wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan hutan
Dengan kata lain, apakah semua permasalahan sengketa tanah yang berada di dalam
suatu kawasan hutan harus ditangani menurut UU Kehutanan dan Kementerian
Kehutanan yang memonopoli seluruh urusan menyangkut kawasan hutan.
Terkait dengan permasalahan yuridis tersebut, para ahli hukum tampaknya
memiliki pandangan yang berbeda-beda. Boedi Harsono64 mengatakan jika “ditinjau dari sudut Hukum Tanah, tanah di atas mana ada tumbuh-tumbuhannya itu, biarpun
memenuhi unsur-unsur „hutan‟, penguasaannya diatur oleh Hukum Tanah.
Pengelolaannya ditugaskan kepada Menteri/ Departemen Kehutanan atas dasar Hak
Pengelolaan yang diperolehnya karena hukum menurut UU Kehutanan”. Ia
mencontohkan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) tidak diwajibkan
mengajukan permohonan untuk memperoleh hak atas tanah yang berada di areal
HPH-nya jika tanah tersebut digunakan untuk usaha yang sesuai dengan pemberian
HPH yang bersangkutan, karena dengan diberikannya HPH, maka untuk
menggunakan tanah yang diperlukan dianggap telah diberikan kepada pengusaha
yang bersangkutan. Tetapi sebaliknya mengenai penggunaan tanah dalam areal HPH
yang tidak sesuai dengan pemberiannya, maka pengusaha wajib meminta hak atas
tanah kepada Menteri Agraria/Kepala BPN dengan mengikuti tatacara yang
ditetapkan dalam perundang-undangan agraria yang berlaku. Dengan demikian
pemberian hak atas tanah tersebut dilakukan oleh Menteri Agraria/Kepala BPN
menurut ketentuan Hukum Tanah, sementara yang diberikan menurut Hukum
Kehutanan adalah Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Memungut Hasil Hutan.
64
Di pihak lain ada ahli hukum yang berpandangan bahwa tanah di kawasan
hutan adalah objek hukum yang sekaligus menyatu dalam lingkup hukum kehutanan,
bukan sesuatu yang bisa dipisahkan satu sama lain. Bambang Eko Supriyadi65 misalnya tidak sependapat dengan ahli hukum yang mengatakan bahwa penguasaan
hutan oleh Kementerian Kehutanan hanya terbatas pada penguasaan
pohonnya/tegakannya saja dan bukan pada tanahnya, sehingga apabila di tanah
kawasan hutan tegakannya/pohonnya sudah ditebang dan tanahnya beralih fungsi
menjadi tanah kosong, persawahan/tagalan, atau pemukiman, maka tanah tersebut
bukan hutan lagi dan statusnya kembali menjadi tanah Negara . Menurut Bambang
penguasaan tanah kawasan hutan oleh instansi kehutanan sudah berlangsung sejak
lama, yang bisa dibuktikan jika merunut kepada sejarah pengelolaan hutan sejak
zaman kolonial. Bahkan kewenangan instansi kehutanan untuk menguasai dan
mengelola tanah-tanah Negara yang ditetapkan sebagai kawasan hutan menurut
Bambang lebih diperkuat setelah kemerdekaan Indonesia, antara lain melalui
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara.
Selain itu, ketentuan Pasal 1 angka (2) UU Kehutanan disebutkan secara jelas juga
menyiratkan hal itu, karena pengertian kesatuan ekosistem berupa “hamparan lahan”
mengandung arti yang sama dengan “tanah”. Dengan demikian UU Kehutanan dinilai
sebagian ahli secara jelas menyiratkan hak atas tanah di dalam kawasan hutan
termasuk wilayah hukum kehutanan, bukan hukum pertanahan.
65
Perbedaan pandangan dan tafsiran atas ketentuan hukum berkaitan dengan
pemegang wewenang pengurusan hak atas tanah di dalam kawasan hutan tersebut
telah membawa implikasi kepada terjadinya kasus-kasus sengketa pertanahan. Adalah
suatu fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa sengketa tanah di kawasan hutan
semakin banyak seiring perkembangan zaman yang semakin didominasi oleh
kepentingan eksploitasi sumberdaya alam, termasuk hutan. Ditambah dengan
peningkatan pertumbuhan penduduk yang makin pesat mengakibatkan kebutuhan
akan lahan semakin bertambah. Perluasan pemukiman penduduk memaksa lahan
yang dulunya termasuk kawasan hutan dan ditumbuhi pepohonan telah menjadi
kawasan perumahan dan perkantoran. Didukung oleh berbagai faktor seperti adanya
pemekaran wilayah propinsi atau kabupaten yang kesemuanya pasti membutuhkan
perluasan lahan yang tidak sedikit untuk membangun berbagai fasislitas yang
dibutuhkan. Kemudian perkembangan areal-areal perkebunan oleh badan-badan
usaha makin meluas bahkan cenderung melampaui batas sampai pada tahap
perusakan hutan dan ekosistemnya yang berdampak sangat berbahaya bagi
kelangsungan mahluk hidup khususnya manusia. Kondisi demikian memicu
terjadinya saling klaim atas lahan di kawasan hutan antara pemerintah dan atau
pengusaha sebagai mitranya dengan masyarakat yang sudah hidup lama dan menetap
di kawasan hutan tersebut. Konflik seperti ini sudah berlangsung lama dan terjadi
hampir di setiap daerah di Indonesia.
Konflik tanah di kawasan hutan antara lain terjadi karena di satu sisi
dan mendasarkan haknya kepada hukum adat dan hak ulayat66 sebagai aspek historis kultural, sedangkan pihak pengusaha mendasarkan hak penguasaan kawasan hutan
yang dikelolanya pada aturan formal dengan izin yang sah dari Pemerintah, sehingga
masing-masing pihak memiliki dasar yang kuat untuk tetap mempertahankan hak
atas tanahnya. Pentingnya penguasaan tanah bagi seseorang atau sekelompok
masyarakat yang tinggal di kawasan hutan dengan sendirinya akan mendorong
munculnya upaya untuk mempertahankan hak-hak atas tanah dari setiap intervensi
dari pihak luar, yang pada gilirannya menimbulkan konflik, baik konflik terbuka
maupun tersembunyi.67
Dalam banyak kasus sengketa agraria di kawasan hutan antara penduduk lokal
dengan badan usaha, peran dari institusi Negara sangat menentukan karena selama ini
dengan alasan yang dikedepankan adalah dalam rangka memajukan kepentingan
perekonomian nasional melalui sektor kehutanan, Negara cenderung lebih berpihak
kepada pengusaha yang memiliki izin pengusahaan hutan di satu pihak, dan
menyampingkan hak-hak masyarakat lokal di pihak lain. Keadaan yang demikian
berlaku terhadap hak perorangan dan hak-hak ulayat masyarakat adat. 68
66
Van Vollenhoven mengatakan bahwa hak ulayat merupakan hak komunitas secara keseluruhan (persekutuan hidup atau masyarakat hukum adat) atas tanah-tanah yang diduduki, atas pohon-pohon atau benda-benda yang berada dibawah maupun di atas permukaan tanah dalam suatu wilayah yang dikuasainya, disebutnya dengan istilah “beschikkingrecht”, sedangkan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai suatu komunitas bersama dalam suatu persekutuan hukum karena kesamaan tingga ataupun atas dasar keturunan /hubungan darah.
67 Endang Suhendar danYohana Budi Winarni, Op.Cit,hal.2 68
Dalam menyelesaikan konflik agraria yang berkepanjangan perlu kesadaran
dari semua warga untuk memahami sejauh mana kita mengetahui bahwa tanah
merupakan sumber daya alam yang sangant vital, yang melandasi semua aspek
kehidupan. Bukan hanya sekedar asset tetapi juga merupakan basis untuk meraih
kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik.69Hak seseorang atau kelompok atas suatu luasan tanah akan terjamin kepastiannya jika memperoleh pengakuan secara utuh
baik dari masyarakat maupun pemegang kekuasaan.
2. Pengukuhan Kawasan Hutan
Salah satu sumber konflik yang terjadi selama ini khususnya antara Pemerintah
dan swasta dengan masyarakat karena tidak jelasnya batas-batas kewenangan yang
dijadikan patokan oleh pihak-pihak tertentu dalam pengelolaan hutan dan
pengukuhan hutan.70 Kewenangan untuk pengukuhan kawasan hutan ini kemudian
diatur dalam UU Kehutanan yaitu mengenai pengukuhan dan penatagunaan kawasan
hutan. Pengukuhan kawasan hutan bertujuan memberikan kepastian hukum atas
kawasan hutan sesuai dengan ketentuan UU Kehutanan yang menyatakan bahwa
untuk memperoleh kepastian hukum atas suatu kawasan hutan harus melalui proses
pengukuhan.
Dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan disebutkan definisi kawasan hutan sebagai “wilayah tertentu yang
69
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir , Penerbit:Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar,Yogyakarta,2000,hal.85-87
ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadannya
sebagai hutan tetap”. Berdasarkan definisi itu, dapat diartikan bahwa suatu wilayah
dapat menjadi kawasan hutan hanya berdasarkan pada penunjukan saja, maupun
melalui penunjukan dan penetapan, mengingat di dalamnya ada frasa “dan/atau”.
Dalam Pasal 14 UU Kehutanan disebutkan bahwa Pemerintah menyelenggarakan
pengukuhan kawasan hutan yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum atas
kawasan hutan. Selanjutnya dalam Pasal 15 disebutkan bahwa pengukuhan kawasan
hutan harus dilakukan melalui proses sebagai berikut: (a) penunjukan kawasan hutan;
(b) penataan batas kawasan hutan; (c) pemetaan kawasan hutan; dan (d) penetapan
kawasan hutan. Disebutkan juga dalam Pasal 15 ayat (2) bahwa pengukuhan kawasan
hutan dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 membedakan hutan berdasarkan
statusnya yang terdiri dari dua jenis yaitu hutan negara dan hutan hak.71 Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya
kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap)72. Sementara hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Selain itu, jika dilihat
dari fungsinya, pengurusan hutan menjadi salah satu poin yang penting yang diatur
dalam UU Kehutanan, dimana dalam Pasal 10 UU Kehutanan disebutkan pengurusan
itu meliputi beberapa kegiatan mulai dari perencanaan kehutanan, pengelolaan
71 Pasal 5 angka (1) UU Kehutanan
kehutanan, penelitian dan pengembangan pendidikan, serta penyuluhan dan
pengawasan. Dalam Pasal 11 ayat (2) disebutkan bahwa perencanaan kehutanan harus
dilaksanakan secara transparan, bertanggung gugat, partisipasi, terpadu, serta
memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah.
Tujuan dari penyelenggaraan kehutanan sebagaimana diamanatkan dalam UU
Kehutanan adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan
berkelanjutan. Prinsip “Hak Menguasai Negara” di bidang kehutanan secara jelas
tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi: “Semua hutan dalam wilayah
Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam menjalankan
penguasaan hutan oleh Negara dengan amanat menyelenggarakan kehutanan yang
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemerintah memiliki wewenang
berdasarkan Pasal 4 ayat (2) untuk:
a. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
b. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan.
c. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
C. Uji Materi terhadap Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Penyelenggaraan kehutanan sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maupun Undang-undang kehutanan sebelumnya
telah menimbulkan banyak komplikasi di tengah masyarakat selama ini, yang antara
memenuhi rasa keadilan warga negara yang merasa hak-haknya terabaikan berkaitan
dengan penguasaan tanah di kawasan hutan. Meskipun ada ketentuan dalam
Undang-undang yang dinilai tidak bisa memenuhi rasa keadilan warga, tapi tidak tersedia
ruang yang memungkinkan warga negara menyampaikan keberatan agar ketentuan
bisa diubah, kecuali berdasarkan kemauan politik dari DPR dan Pemerintah. Namun
ruang itu menjadi terbuka sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi berdasarkan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang salah
satu tugasnya adalah menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Maruarar Siahaan73 menyebutkan bahwa pengujian Undang-undang terhadap UUD
1945 (salah satu dari lima wewenang MK) merupakan tugas yang mendominasi
kewenangan Mahkamah Konstitusi yang terlihat dari banyaknya jumlah permohonan
yang masuk dan terdaftar di kepaniteraan MK.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan salah satu
Undang-undang yang lahir pada awal reformasi, yaitu era demokratisasi, keterbukaan
dan penguatan partisipasi rakyat dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Namun
dalam kenyataannya UU Kehutanan ini termasuk salah satu Undang-undang produk
reformasi yang banyak dipersoalkan oleh banyak pihak dan dimohon-ujimaterikan ke
Mahkamah Konstitusi. UU Kehutanan ini dinilai belum bisa memenuhi harapan
masyarakat baik secara individu maupun kelompok khususnya masyarakat yang ada
di dalam dan sekitar kawasan hutan. Permohonan uji materi terhadap UU Kehutanan
menyangkut bunyi pasal-pasal yang dimuat di dalam Undang-undang tersebut.
Permohonan uji materi UU Kehutanan dilakukan oleh beragam pihak mulai dari
Pemerintah Daerah, kelompok masyarakat, perseorangan maupun LSM.
Sampai dengan tahun 2014 tercatat sudah ada delapan permohonan uji materi
terhadap UU Kehutanan tersebut. Yance Arizona74 menyebutkan setidaknya terdapat dua alasan mengapa Undang-undang Kehutanan termasuk Undang-undang yang
paling banyak dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi. Pertama, UU Kehutanan
dibentuk sebelum dilakukan empat kali amandemen UUD 45 (1999- 2003), sehingga
dapat dipahami jika Undang-undang yang dibentuk sebelum amandemen banyak
memiliki ketidak sesuaian dengan norma konstitusi baru hasil amandemen. Kedua,
UU Kehutanan disahkan dalam suasana yang tergesa-gesa sehingga Undang-undang
ini sebenarnya produk hukum yang sepenuhnya belum jadi. Selain itu, UU Kehutanan
ini sebenarnya masih mempertahankan asumsi-asumsi dan konsep kehutanan yang
lama meskipun berupaya mengadopsi perkembangan-perkembangan baru secara
terbatas.
Dari (8) delapan perkara pengujian UU Kehutanan, nampak bahwa pihak yang
paling banyak tampil di MK adalah individu masyarakat. Terdapat 81 orang
perseorangan warga negara yang menjadi pemohon dalam pengujian UU Kehutanan,
12 pemohon merupakan LSM, 2 pemohon merupakan masyarakat hukum adat, 6
pemohon pengusaha dan 6 pemohon adalah kepala daerah. Pengujian UU Kehutanan
74
juga merupakan pengujian Undang-undang yang kualifikasi pemohonnya paling
beragam, oleh karena permohonan pengujian UU Kehutanan diajukan mulai dari
individu warga negara yang berprofesi sebagai petani, LSM, kesatuan masyarakat
hukum adat, pengusaha sampai dengan kepala daerah.75 Dari delapan permohonan uji
materi tersebut, hanya tiga kasus yang diterima dan dikabulkan seluruhnya atau
sebagian oleh Mahkamah Konstitusi, sedangkan sisanya tidak diterima. Tiga putusan
Mahkamah Konstitusi yang dikabulkan adalah sebagai berikut:
1. Putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011 tentang konstitusionalitas definisi
kawasan hutan yang dimohonkan oleh 5 (lima) Bupati di Propinsi
Kalimantan Tengah. Pokok permohonan adalah uji materi terhadap pasal 1
angka (3) UU Kehutanan
2. Putusan MK Nomor 34/PUU-IX/2011 tentang konstitusionalitas penguasaan
hutan oleh Negara yang dimohonkan oleh perseorangan. Pokok permohonan
adalah uji materi terhadap pasal 4 angka (3) UU Kehutanan
3. Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 tentang konstitusionalitas definisi
hutan adat yang dimohonkan oleh Aliansi Masyarakat Hukum Adat. Pokok
permohonan adalah uji materi terhadap pasal 1 angka (6) UU Kehutanan
1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi terkait Uji Materiil
Uji materiil (Yudicial Review) adalah suatu hak atau kewenangan yang dimiliki
oleh lembaga yudikatif untuk melakukan pengujian mengenai sah atau tidaknya suatu
75
peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannya. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Faturrohman mengatakan
bahwa Uji Materiil merupakan upaya pengujian oleh lembaga judicial terhadap
produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Pemberian kewenangan kepada hakim untuk melakukan uji materiil
merupakan penerapan prinsip Checks and Balances yang menjadi salah satu pokok
pikiran dalam UUD 1945 pasca amandemen.76
Hak uji materiil ini dibedakan atas dua macam yaitu, (1) uji materiil atas
Undang-undang terhadap UUD yang kewenangannya diberikan kepada Mahkamah
Konstitusi, (2) uji materiil atas peraturan perundang-undangan yang tingkatannya
lebih rendah dari Undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi yang kewenangannya diberikan kepada Mahkamah Agung.
Sebelum amandemen UUD 1945 hak menguji Undang-undang terhadap UUD
tidak jelas pengaturan hukumnya, sehingga terjadi kekosongan hukum tentang hak uji
konstitusionalitas Undang-undang terhadap UUD, padahal dalam prakteknya banyak
dijumpai substansi suatu Undang-undang bertentangan dengan UUD yang
mengakibatkan kerugian konstitusional bagi warga masyarakat. Menurut Jimly
Asshiddiqie77, dalam rangka amandemen UUD tersebut Negara mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam ketatanegaraan antara lain prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan, yang
76
Faturrohman, Memahami keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia , Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,hal 34
dipertegas dengan diaturnya mekanisme penegakan hukum dimulai dari penegakan
konstitusi sebagai hukum tertinggi. Amandemen UUD 1945 merupakan dasar hukum
pembentukan Mahkamah Konstitusi yaitu dalam Pasal 24 ayat (2) yang menyatakan
bahwa “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.” Lahirnya Mahkamah Konstitusi ini dilatarbelakangi adanya kehendak
untuk membangun pemerintahan yang demokratis dengan checks and balances
diantara lembaga-lembaga negara, serta menjamin dan melindungi hak-hak azasi
manusia.78
Ada dua macam hak menguji yaitu: (1) Hak menguji formal (formale
toetsingrecht) dan hak menguji materiil (materiele toetsingrecht). Hak menguji
formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif dibuat dengan
cara-cara prosedur sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku. Hak
uji materiil adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan
perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya serta apakah kekuasaan tertentu (verordenende macht ) berhak
mengeluarkan sustu peraturan tertentu.79Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian formal maupun pengujian materiil. Pengujian secara materiil berkenaan
78Irianti A.Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi:Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi,Penerbit PT.Alumni,Bandung,2008,hal ix
79
dengan materi muatan dari Undang-undang yang menyangkut bunyi pasal, ayat dan
atau bagian Undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dapat
dimintakan untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.80 Dalam kaitannya dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan
hak menguji materiil Undang-undang terhadap UUD didasarkan pada Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945, yaitu “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang
terhadap UUD…”. Pengaturan yang sama juga terdapat dalam pasal 29 ayat (1) UU
Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman, dan Pasal 10 ayat (1) UU
Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Yang diuji materiil atas suatu
Undang-undang bisa terhadap satu bab, pasal atau kalimat dalam Undang-undang
tersebut. Jika permohonan dikabulkan, putusan MK menyatakan bahwa substansi
Undang-undang bertentangan dengan UUD 1945.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/ 2011
Putusan Hakim adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara
yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan (uitspraak) bertujuan
untuk mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara antar para pihak.81Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 diputuskan dalam Rapat
Permusyawaratan Hakim Majelis Hakim Konstitusi pada tanggal 9 Februari 2012,
dan dibacakan pada Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum
80 Ibid, hal 20
81
pada tanggal 21 Februari 2012. Putusan Mahkamah Konstitusi ini yang mengadili
perkara dengan registrasi Nomor 45/PUU-IX/2011 yang terdaftar di Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi pada 22 Agustus 2011, yang dimohonkan oleh para pemohon
yang terdiri dari:
1. Pemerintah Kabupaten Kapuas yang diwakili oleh Ir. H. Muhammad
Mawardi, MM, Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, sebagai Pemohon I
2. Drs. Hambit Bintih, MM, Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, sebagai
Pemohon II
3. Drs. Duwel Rawing,MM, Bupati Katingan, Kalimantan Tengah, sebagai
Pemohon III,
4. Drs. Zain Alkim, Bupati Barito Timur, Kalimantan Tengah,disebut sebagai
Pemohon IV
5. H. Ahmad Dirman, Bupati Sukamara, Kalimantan Tengah,disebut sebagai
Pemohon V
6. Drs.Ahmad Taufik MPd, wiraswasta, bertempat tinggal di
Palangkaraya,sebagai Pemohon VI
Para pemohon mengajukan permohonan uji materi Pasal 1 angka (3)
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang berbunyi: “Kawasan hutan
adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannnya sebagai hutan tetap” [cetak miring oleh penulis].
dan atau kewenangan konstitusional pemohon maupun masyarakat Kabupaten
Kapuas telah dirugikan dengan ketentuan Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan.
2.1. Kedudukan hukum (Legal Standing) dan alasan permohonan Uji Materiil
Kedudukan hukum atau legal standing adalah kemampuan subjek hukum
untuk memenuhi persyaratan menurut Undang-undang dalam mengajukan
permohonan perkara konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi.82Mahkamah Konstitusi
sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman memiliki beberapa kewenangan,
salah satunya adalah kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD194583
Para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan perkara ke
Mahkamah Konstitusi karena tergolong sebagai “pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang”
sesuai Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Konstitusi84. Berdasarkan pasal
tersebut, Pemohon I selaku Kepala Daerah mewakili Pemerintah Daerah Kabupaten
Kapuas mempunyai kapasitas sebagai lembaga negara untuk bertindak sebagai
Pemohon mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan85. Sementara itu,
Pemohon II-VI adalah perorangan warga negara Indonesia. Dalam pertimbangannya
82Jimly Asshiddqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Sekretariat Jenderal Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,Jakarta 2005,hal.68
83
Ibid,hal.17
84Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa pihak-pihak yang dapat menjadi pemohon uji materi meliputi: (a) perorangan warga negara Indonesia; (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; (c) badan hukum publik atau privat,
atau (d) lembaga negara. Sedangkan yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pemohon I memenuhi
kualifikasi sebagai Lembaga Negara dan Pemohon II-VI memenuhi kualifikasi
sebagai perorangan.
Terkait kerugian konstitusional pemohon Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
karena berlakunya Undang-undang.86
Dari uraian dalam Putusan MK 45/PUU-IX/2011 pada bagian Kerugian
Konstitusional Pemohon I selaku Pemerintah Daerah (Poin 2.3.)87 dapat diringkas
beberapa kerugian konstitusional yang menjadi alasan dimohonkannya uji materi
Pasal 1 angka (3), yang ringkasannya sebagai berikut:
a. Hak dan atau kewenangan konstitusional Pemohon I maupun masyarakat Kabupaten Kapuas telah dirugikan dengan ketentuan Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan yang menyatakan : “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap”. Dengan adanya frasa “ditunjuk dan atau
ditetapkan” tersebut, maka penunjukan kawasan hutan telah ditafsirkan
secara keliru oleh Pemerintah Pusat yang menganggap bahwa penunjukan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan penetapan kawasan hutan serta mempunyai kekuatan hukum yang pasti, padahal menurut Pasal 15 ayat
(1) UU Kehutanan menyatakan “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut: (a)
86Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa „kerugian konstitusional‟ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Konstitusi harus memenuhi lima syarat, yaitu : (1) adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; (2) hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-undang yang dimohonkan pengujian; (3) kerugian tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; (4) adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-undang yang dimohonkan pengujian; (5) adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
87
penunjukan kawasan hutan; (b) penataan batas kawasan hutan; (c) pemetaan
kawasan hutan; dan (d) penetapan kawasan hutan”. Pada ayat (2) disebutkan
“Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah”. Dengan demikian,
seharusnya status suatu kawasan hutan baru mempunyai kepastian hukum ketika sudah melalui proses pengukuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan. Pada faktanya, terdapat beberapa Keputusan dan Peraturan yang menyatakan bahwa penunjukan sama dengan penetapan kawasan hutan88.
b. Akibat penafsiran Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan oleh Pemerintah, seluruh wilayah Kabupaten Kapuas dimasukkan kedalam kawasan hutan, maka Pemohon I tidak bisa melaksanakan kewenangan otonomi seluas-luasnya khususnya dalam memberikan perizinan usaha yang baru dan perpanjangan izin lama terkait usaha perkebunan, pertambangan, peternakan dan sebagainya. Hal itu terkait dengan Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang sudah pernah diterbitkan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 759/Kpts/Um/10/1982 tertanggal 12 Oktober 1982, seluas 15.300.000 hektar yang di dalamnya menunjuk wilayah hutan di Kabupaten Kapuas. Surat Edaran Menteri Kehutanan No. 404/Menhut-II/03 tanggal 10 Juli 2003 menyatakan bagi provinsi yang belum ada Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kembali atas kawasan hutan yang didasarkan pada hasil pemaduserasian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), maka kawasan hutan pada provinsi tersebut mengacu dan berpedoman pada Keputusan Menteri Kehutanan tentang TGHK. Karena Provinsi Kalimantan Tengah belum memiliki padu serasi antara RTRWP dengan TGHK, maka yang digunakan adalah TGHK yang mengacu kepada Kepmentan Nomor 759 Thn 1982 tadi. Padahal menurut pemohon lokasi-lokasi di Kabupaten Kapuas secara faktual bukan berupa hutan, namun dinyatakan sebagai kawasan hutan akibat adanya ketentuan Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan. Aset-aset daerah Pemohon I maupun fasilitas lainnya berada di kawasan hutan.Dengan kenyataan seluruh wilayah Kabupaten Kapuas termasuk kedalam kawasan hutan berdasarkan Kepmentan Nomor 759 Thn 1982 itu, Pemohon I mendapat ancaman kriminalisasi oleh aparat penegak
88
Pemohon menunjukkan contoh: (i) Surat Menteri Kehutanan No. S.426/Menhut-VIII/2006 tgl 12 Juli 2006 perihal Penjelasan Menteri Kehutanan tentang Status Kawasan Hutan yang Ditujukan kepada Kapolri, dengan tembusan kepada Presiden, Wakil Presiden, Menkum HAM, Meneg LH, Jaksa Agung dan Eselon I lingkup Dephut; (ii) Peraturan Menteri Kehutanan No. P.50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan; yang dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan:
hukum dan Kementerian Kehutanan karena dianggap memberikan izin baru atau perpanjangan izin lama di areal yang dianggap sudah masuk kawasan hutan. Karena itu, Pemohon I beserta seluruh penduduk Kapuas dapat dipidana berdasarkan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b jo. Pasal 78 ayat (2) UU Kehutanan.
c. Pemohon I selaku Pemerintah Daerah tidak bisa melaksanakan kewenangan otonomi seluas-luasnya, padahal Kabupaten Kapuas telah menjadi daerah otonom sejak 1953, dan pemohon mempunyai hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (5), Pasal 18 ayat (6), Pasal 18A ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 194589. Dalam Pasal 28D ayat (1) dinyatakan
bahwa:”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Di sisi lain, berdasarkan Pasal 27 ayat (1) huruf b dan c Undang-undang
Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa: “Kepala Daerah mempunyai
kewajiban meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan memelihara
ketenteraman dan ketertiban masyarakat”. Namun, dengan penafsiran Pasal 1
angka (3) UU Kehutanan tersebut di atas, maka Pemohon I tidak mendapatkan jaminan kepastian hukum dalam menjalankan kewenangannya. Sementara itu, dengan bunyi pasal 1 angka (3) tersebut kerugian konstitusional
Pemohon II-VI selaku perorangan warga negara dapat diringkaskan sebagai berikut:
a. Pemohon II, III, IV dan V adalah warga negara yang memiliki hak-hak konstitusional yang dijamin oleh konstitusi negara untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam naungan Negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Namun pada saat mengajukan permohonan, Pemohon secara pribadi yang pekerjaannya sebagai Bupati di wilayahnya masing-masing diancam pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 50 juncto Pasal 78 UU Kehutanan karena memberikan izin baru atau memperpanjang izin yang ada sebelumnya di dalam kawasan
89 Pasal 1 (3) berbunyi, Negara Indonesia adalah negara hukum.
Pasal 18 ayat (2), Pemerintahan daerah propinsi,daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas perbantuan.
Pasal 18 ayat (5), Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai sebagai urusan pemerintahan pusat. Pasal 18 ayat (6),Pemerintah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas perbantuan
hutan90,sehingga tindakan para Pemohon mengeluarkan izin di wilayahnya dipandang Kementerian Kehutanan sebagai bentuk pelanggaran tindak pidana kehutanan.
b. Pemohon VI selaku perorangan mengalami kerugian konstitusional berupa tidak adanya kepastian hukum menyangkut hak kebendaan sebagaimana dilindungi dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, hilangnya hak kebendaan sebagaimana dilindungi dalam Pasal 28G ayat (1) dan hak milik sebagaimana dilindungi dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 194591. Dalam kasus yang dialami oleh Pemohon VI, yang bersangkutan tidak mendapatkan kepastian hukum atas dua petak tanah miliknya di Palangkaraya yang dibeli dengan bukti Surat Kepemilikan Tanah. Hak atas harta benda yang dibawah kekuasaannya dan hak miliknya terancam hilang atau diambil oleh negara karena letaknya dianggap berada di dalam kawasan hutan.
2.2. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi
Para pemohon memohon kepada majelis hakim Mahkamah Konstitusi agar
menyatakan Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan sepanjang frasa “ditunjuk dan atau”
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Setelah Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa para pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan dan Mahkamah
juga berwenang mengadili permohonan para pemohon maka Majelis Hakim
90Ancaman pidana tersebut terkait dengan adanya Surat Menteri Kehutanan No.S.193/Menhut-IV/2011 tanggal 18 April 2011 perihal Tim Penyelidikan dan Penyidikan Penggunaan Kawasan Hutan Yang Tidak Prosedural di Provinsi Kalimantan Tengah. Jugaterkaitdengan SE Menhut No. S.95/Menhut IV/2010 tgl 25 Februaru 2010 tentang Laporan Penggunaan Kawasan Hutan Tidak Prosedural, yang mengindikasikan adanya dugaan pelanggaran tindak pidana kehutanan berupa penggunaan kawasan hutan tanpa izin dari Menteri Kehutanan.
91Pasal 28G ayat(1), Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,keluarga,kehormatan,martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak azasi.
Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum Mahkamah atas pokok
permohonan yang isinya dikutip lengkap sebagai berikut: 92
[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan seksama permohonan para Pemohon, membaca dan mendengarkan keterangan Pemerintah dan keterangan Pihak Terkait, membaca dan mendengarkan saksi dan Ahli dari para Pemohon dan Pemerintah, serta memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon, Pemerintah dan Pihak Terkait sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan menyatakan, “Kawasan hutan adalah
wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Menurut para Pemohon, frasa “ditunjuk dan atau” bertentangan dengan UUD 1945.
[3.12.2] Bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies Ermessen (discretionary powers). Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies Ermessen
(discretionary powers). Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan.
[3.12.3] Bahwa antara pengertian yang ditentukan dalam Pasal 1 angka (3) dan ketentuan Pasal 15 UU Kehutanan terdapat perbedaan. Pengertian dalam Pasal 1 angka (3) Undang-undang a quohanya menyebutkan bahwa, “Kawasan hutan adalah
wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”, sedangkan dalam Pasal 15 ayat
(1) Undang-undang a quo menentukan secara tegas adanya tahap-tahap dalam proses pengukuhan suatu kawasan hutan. Pasal 15 ayat (1) Undang-undang a quo
menentukan, “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14,
dilakukan melalui proses sebagai berikut: a. penunjukan kawasan hutan; b. penataan batas kawasan hutan; c. pemetaan kawasan hutan; dan d. penetapan kawasan hutan”. Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang a quo penunjukan kawasan hutan adalah salah satu tahap dalam proses pengukuhan kawasan hutan, sementara itu
92
“penunjukan” dalam ketentuan Pasal 1 angka (3) UU a quo dapat dipersamakan dengan penetapan kawasan hutan yang tidak memerlukan tahap-tahap sebagaimana ditemukan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang a quo;
[3.12.4] Bahwa menurut Mahkamah, tahap-tahap proses penetapan suatu kawasan hutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan di atas sejalan dengan asas negara hukum yang antara lain bahwa pemerintah atau pejabat administrasi negara taat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya ayat (2) dari pasal tersebut yang menentukan, “Pengukuhan kawasan
hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana
tata ruang wilayah”, menurut Mahkamah ketentuan tersebut antara lain
memperhatikan kemungkinan adanya hak-hak perseorangan atau hak pertuanan (ulayat) pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut, sehingga jika terjadi keadaan seperti itu maka penataan batas dan pemetaan batas kawasan hutan harus mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain, misalnya masyarakat yang berkepentingan dengan kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut;
[3.13] Menimbang bahwa karena penetapan kawasan hutan adalah proses akhir dari
rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan, maka frasa “ditunjuk dan atau” yang
terdapat dalam Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan bertentangan dengan asas negara
hukum, seperti tersebut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Selain itu frasa “ditunjuk
dan atau” tidak sinkron dengan Pasal 15 Undang-undang a quo. Dengan demikian
ketidaksinkronan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil
sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menentukan, “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
[3.14] Menimbang bahwa adapun mengenai ketentuan peralihan dari UU Kehutanan,
khususnya Pasal 81 yang menyatakan, “Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebelum
berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang
ini”, menurut Mahkamah, meskipun Pasal 1 angka (3) dan Pasal 81 Undang-undang a
quo mempergunakan frasa “ditunjuk dan atau ditetapkan”, namun berlakunya untuk
yang “ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 81 Undang-undang a quo tetap sah
dan mengikat;
2.3. Amar Putusan
Berdasarkan alasan-alasan pemohon dan uraian pertimbangan hakim
Mahkamah Konstitusi memutuskan dan menyatakan sebagai berikut:93
a. megabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
b. Frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka (3) Undang-undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Frasa “ditunjuk dan atau” dalam pasal 1 angka (3) Undang-undang Nomor
41 Thn 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
D. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011
Analisis terhadap Putusan MK 45/2011 dilakukan secara kualitatif dengan
menghubungkan uraian pertimbangan Mahkamah Konstitusi dan amar putusan
dengan kepastian hukum pemegang hak atas tanah di kawasan hutan. Selanjutnya,
dilihat pula persoalan hukum apa saja yang masih berpotensi menjadi kendala bagi
pemegang hak atas tanah di kawasan hutan untuk mendapatkan penguatan jaminan
kepastian hukum setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud.
Selain para pemohon yang secara langsung telah mengajukan permohonan
pengujian Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan, maka semua warga Negara sebagai pihak
yang tergolong sebagai pemegang hak atas tanah secara yuridis juga telah
mendapatkan haknya berupa pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011.
Amar putusan MK 45/2011 secara jelas telah menyatakan bahwa frasa
“ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan bertentangan dengan
93
UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan dibatalkannya
frasa “ditunjuk dan atau” maka proses pengukuhan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 UU Kehutanan harus dilaksanakan melalui satu rangkaian
proses yang tidak terputus yaitu (a) penunjukan kawasan hutan, (b) penataan batas
kawasan hutan, (c) pemetaan kawasan hutan, dan (d) penetapan kawasan hutan.
Dengan demikian kepastian hukum mengenai penetapan kawasan hutan baru
benar-benar berlaku jika semua tahapan tersebut telah dijalankan. Putusan MK 45/2011
secara jelas telah mengoreksi ketidaksinkronan antara Pasal 1 angka (3) dengan Pasal
14 dan Pasal 15 UU Kehutanan. Dengan demikian, penafsiran sepihak oleh
Pemerintah yang selalu mempersamakan “penunjukan” dan “penetapan” kawasan
hutan, dan menganggap jika suatu kawasan hutan telah ditunjuk maka hal itu sudah
berarti sudah ditetapkan dan memiliki kepastian hukum, dinyatakan keliru oleh
Putusan MK 45/2011. Bahkan dalam pertimbangannya Majelis Hakim Konstitusi
menyebutkan bahwa cara-cara Pemerintah yang demikian merupakan pelaksanaan
pemerintahan otoriter, karena bertindak tidak sesuai dengan hukum dan peraturan
perundang-undangan. Agar lebih jelas berikut ini adalah uraian analisis Putusan MK
45/2011 terhadap kepastian hukum pemegamg hak atas tanah di kawasan hutan.
1. Kepastian Hukum Pemegang Hak atas Tanah di Kawasan Hutan setelah
Putusan MK 45/2011
Putusan Mahkamah Konstitusi menurut Iriyanto A. Baso Ence94 memiliki tiga
kekuatan hukum, yaitu kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan
94
eksekutorial. Sebuah Putusan Mahkamah Konstitusi sejak selesai diucapkan dalam
sidang pleno terbuka untuk umum secara yuridis sudah memiliki ketiga kekuatan
tersebut di atas. Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian
undang-undang secara teknis yuridis bersifat declaratoir-constitutif. Artinya, Putusan
Mahkamah Konstitusi selain menyatakan atau menerangkan sesuatu yang nyata-nyata
menjadi hukum, sekaligus meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru.
Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi juga tidak bersifat retroaktif (tidak berlaku
surut) sesuai dengan Pasal 28I UUD 1945 yang menjadi hukum dasar berlakunya asas
non-retroaktif95.
1.1. Pemerintah Daerah sebagai pemegang Hak Pengelolaan
Pemerintah Daerah merupakan salah satu instansi Pemerintah yang tergolong
sebagai subjek pemegang hak atas tanah berdasarkan apa yang disebut sebagai Hak
Pengelolaan sebagaimana dijabarkan dari Penjelasan Umum II/UUPA dan dipertegas
dalam sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya seperti telah dikemukakan di
atas. Hak Pengelolaan adalah delegasi wewenang pelaksanaan Hak Menguasai
Negara yang diberikan kepada instansi pemerintah, yang dengan hak tersebut instansi
pemerintah dimaksud hanya bisa menggunakan tanah untuk kepentingan pelaksanaan
tugasnya (right to use) tapi tidak dapat mengalihkan hak pengelolaan itu kepada
pihak lain (right of disposal). Pihak-pihak lain yang dapat menggunakan tanah yang
95Pasal 28I ayat (1) UUD 1945berbunyi “……hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum
diperoleh melalui hak pengelolaan dari suatu instansi pemerintah digolongkan
sebagai pemegang hak atas tanah sesuai Pasal 16 UUPA.
Pemerintah Daerah sebagai instansi Pemerintah yang memegang Hak
Pengelolaan atas tanah di wilayah pemerintahannya secara yuridis konstitusional
mendapatkan ruang yang lebih terbuka untuk mendapatkan kepastian haknya atas
tanah berdasarkan Putusan MK 45/2011. Penguatan kepastian hak atas tanah tersebut
mencakup hak-hak pengelolaan atas tanah yang berada di dalam kawasan hutan yang
hanya berdasarkan “penunjukan” sesuai Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan dan belum
dikukuhkan dan ditetapkan sebagai kawasan hutan seperti diatur dalam Pasal 14 dan
Pasal 15 UU Kehutanan. Dengan adanya Putusan MK 45/2011 yang membatalkan
frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan, maka secara
konstitusional status kawasan hutan yang dibuat berdasarkan penunjukan semata
tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga Pemerintah Daerah memiliki
peluang lebih besar untuk mendapatkan kepastian hukum atas hak pengelolaan tanah
yang berada di kawasan hutan. Dengan kata lain, Putusan MK 45/2011 memberikan
ruang kepada Pemerintah Daerah untuk dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat di wilayahnya sesuai dengan
amanat UU No. 32 Thn 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, Kepala
Daerah juga bisa terhindar dari ancaman dipidanakan karena sangkaan melakukan
pelanggaran pidana kehutanan ketika yang bersangkutan mengeluarkan izin-izin baru
dengan alas hukum HGU, HGB dan lain sebagainya di wilayah yang selama ini
dikategorikan sebagai kawasan hutan berdasarkan penunjukan Pemerintah Pusat.
Namun demikian, Putusan MK 45/2011 sebenarnya baru memberikan ruang
bagi penguatan kepastian hukum, tetapi belum secara penuh memberikan kepastian
hukum yang riil bagi pemegang hak atas tanah di kawasan hutan, termasuk Hak
Pengeloaan yang dipegang oleh Pemerintah Daerah. Ada dua alasan untuk
mengatakan demikian; pertama, karena Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat tidak
berlaku surut (asas non-retroaktif), sehingga apa yang diputuskan Mahkamah
Konstitusi tidak secara otomatis membatalkan semua keputusan-keputusan yang
dibuat berdasarkan ketentuan Undang-undang yang pasal-pasalnya telah dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi. Asas hukum non-retroaktif tersebut menjadi asas hukum
yang berlaku di Indonesia dan diatur secara jelas dalam Pasal 28I UUD 1945 yang
menyatakan “…… hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Alasan
kedua, Putusan MK 45/2011 dalam bagian Pendapat Mahkamah poin [3.14]
menyatakan bahwa frasa “ditunjuk dan atau ditetapkan”dalam ketentuan peralihan
pada Pasal 81 UU Kehutanan masih tetap sah dan mengikat96.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum yang lebih nyata
bagi para pemegang hak atas tanah di kawasan hutan, maka Putusan Mahkamah
Konstitusi 45/2011 tersebut masih harus ditindaklanjuti dengan adanya