2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/
1.1. Pemerintah Daerah sebagai pemegang Hak Pengelolaan
Pemerintah Daerah merupakan salah satu instansi Pemerintah yang tergolong sebagai subjek pemegang hak atas tanah berdasarkan apa yang disebut sebagai Hak Pengelolaan sebagaimana dijabarkan dari Penjelasan Umum II/UUPA dan dipertegas dalam sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya seperti telah dikemukakan di atas. Hak Pengelolaan adalah delegasi wewenang pelaksanaan Hak Menguasai Negara yang diberikan kepada instansi pemerintah, yang dengan hak tersebut instansi pemerintah dimaksud hanya bisa menggunakan tanah untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya (right to use) tapi tidak dapat mengalihkan hak pengelolaan itu kepada pihak lain (right of disposal). Pihak-pihak lain yang dapat menggunakan tanah yang
95Pasal 28I ayat (1) UUD 1945berbunyi “……hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut adalah hak azasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
diperoleh melalui hak pengelolaan dari suatu instansi pemerintah digolongkan sebagai pemegang hak atas tanah sesuai Pasal 16 UUPA.
Pemerintah Daerah sebagai instansi Pemerintah yang memegang Hak Pengelolaan atas tanah di wilayah pemerintahannya secara yuridis konstitusional mendapatkan ruang yang lebih terbuka untuk mendapatkan kepastian haknya atas tanah berdasarkan Putusan MK 45/2011. Penguatan kepastian hak atas tanah tersebut mencakup hak-hak pengelolaan atas tanah yang berada di dalam kawasan hutan yang
hanya berdasarkan “penunjukan” sesuai Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan dan belum
dikukuhkan dan ditetapkan sebagai kawasan hutan seperti diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU Kehutanan. Dengan adanya Putusan MK 45/2011 yang membatalkan frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan, maka secara konstitusional status kawasan hutan yang dibuat berdasarkan penunjukan semata tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga Pemerintah Daerah memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan kepastian hukum atas hak pengelolaan tanah yang berada di kawasan hutan. Dengan kata lain, Putusan MK 45/2011 memberikan ruang kepada Pemerintah Daerah untuk dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat di wilayahnya sesuai dengan amanat UU No. 32 Thn 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, Kepala Daerah juga bisa terhindar dari ancaman dipidanakan karena sangkaan melakukan pelanggaran pidana kehutanan ketika yang bersangkutan mengeluarkan izin-izin baru atau memperpanjang izin lama atas usaha-usaha pengelolaan sumberdaya alam
dengan alas hukum HGU, HGB dan lain sebagainya di wilayah yang selama ini dikategorikan sebagai kawasan hutan berdasarkan penunjukan Pemerintah Pusat.
Namun demikian, Putusan MK 45/2011 sebenarnya baru memberikan ruang bagi penguatan kepastian hukum, tetapi belum secara penuh memberikan kepastian hukum yang riil bagi pemegang hak atas tanah di kawasan hutan, termasuk Hak Pengeloaan yang dipegang oleh Pemerintah Daerah. Ada dua alasan untuk mengatakan demikian; pertama, karena Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat tidak berlaku surut (asas non-retroaktif), sehingga apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi tidak secara otomatis membatalkan semua keputusan-keputusan yang dibuat berdasarkan ketentuan Undang-undang yang pasal-pasalnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Asas hukum non-retroaktif tersebut menjadi asas hukum yang berlaku di Indonesia dan diatur secara jelas dalam Pasal 28I UUD 1945 yang menyatakan “…… hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Alasan kedua, Putusan MK 45/2011 dalam bagian Pendapat Mahkamah poin [3.14] menyatakan bahwa frasa “ditunjuk dan atau ditetapkan”dalam ketentuan peralihan pada Pasal 81 UU Kehutanan masih tetap sah dan mengikat96.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum yang lebih nyata bagi para pemegang hak atas tanah di kawasan hutan, maka Putusan Mahkamah Konstitusi 45/2011 tersebut masih harus ditindaklanjuti dengan adanya tindakan-
96 Pasal 81 UU Kehutanan menyatakan, “Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini”.
tindakan penyesuaian perangkat hukum pada tataran yang lebih teknis, baik melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri atau aturan perundang-udangan lain di bawahnya. Philip Wells dkk97 berpendapat bahwa tanpa pengaturan lebih lanjut pasca Putusan MK 45/2011, maka tidak akan ada kejelasan bagaimana otoritas Kementerian Kehutanan akan diterapkan ke depannya pada wilayah-wilayah yang sudah ditunjuk namun belum ditetapkan sebagai kawasan hutan. Hal yang sama berlaku pula bagi pemohon pada khususnya maupun bagi pemegang hak atas tanah di kawasan hutan pada umumnya, tidak ada kejelasan mengenai bagaimana UU Kehutanan Tahun 1999 akan diterapkan di masa depan untuk mencegah kerugian lebih jauh pada hak-hak konstitusional para pemohon dan pihak-pihak lainnya di kemudian hari.
Penguatan kepastian hukum pihak Pemerintah Daerah sebagai instansi Pemerintah yang dapat menerima Hak Pengelolaan atas tanah di kawasan hutan bisa menjadi lebih nyata apabila kawasan hutan hasil penunjukan di masa lalu akan ditetapkan dan dikukuhkan. Sampai dengan tahun 2012 terdapat 130,8 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, tapi yang sudah ditetapkan atau dikukuhkan sebagai kawasan hutan baru mencapai 14,2 juta hektar (sekitar 10%).98 Dengan adanya Putusan MK 45/2011, maka pengukuhan kawasan hutan ke depan harus sungguh- sungguh dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 14 dan 15 UU Kehutanan, dimana dalam proses tersebut Pemerintah Daerah adalah salah satu pihak yang harus
97
Philip Wells, Neil Franklin, Petrus Gunarso, Gari Paoli, Tiza Mafira, Dimas Riyo Kusumo dan Ben Clanchy, Kajian atas Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 45/PUU- IX/2011 tentang Kawasan Hutan, Dampak terhadap Hutan, Pembangunan dan REDD+; Daemeter Consulting, Tropenbos International Indonesia & MakarimTairas; 2012; hal 1-2.
98
dilibatkan secara aktif dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, upaya untuk penguatan kepastian hukum bagi Pemerintah Daerah terkait hak pengelolaan atas tanah di kawasan hutan dapat dilakukan melalui proses-proses pengukuhan kawasan hutan tersebut, dimana Pemerintah Daerah sebagai pemegang Hak Pengelolaan dapat menegosiasikan sebagian wilayahnya dikeluarkan dari peta kawasan hutan.