• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hygiene Perawat dan Bidan pada Pasien Rawat Inap Serta Fasilitas Sanitasi dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial Phlebitis di Rumah Sakit Ibu dan Anak X Medan Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hygiene Perawat dan Bidan pada Pasien Rawat Inap Serta Fasilitas Sanitasi dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial Phlebitis di Rumah Sakit Ibu dan Anak X Medan Tahun 2015"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Personal Hygiene dalam Perawatan Pasien 2.1.1 Pengertian Personal Hygiene

Menurut Potter dan Perry (2005), personal hygiene adalah suatu tindakan

untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik

dan psikis. Kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu

melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya.

Secara umum, hygiene pasien yang baik telah dianggap sebagai komponen

penting untuk mencegah penyebaran penyakit. Kulit merupakan pertahanan

pertama melawan penyakit dan terdapat bukti bahwa menjaga kebersihan kulit

dapat mengurangi jumlah mikroorganisme, misalnya bakteri yang dapat

menyebabkan penyebaran infeksi. Manfaat lain bagi pasien yang harus

dipertimbangkan yaitu terlihat dan merasa bersih sangat penting bagi perasaan

kesejahteraan dan kepercayaan diri pasien dalam berinteraksi sosial (Dingwall,

2013).

2.1.2 Macam-Macam Personal Hygiene

Menurut Potter dan Perry (2005), macam-macam personal hygiene dan

adalah :

1. Mandidapat menghilangkan mikroorganisme dari kulit serta sekresi tubuh,

menghilangkan bau tidak enak, memperbaiki sirkulasi darah ke kulit, dan

membuat pasien merasa lebih rileks dan segar.

2. Hygiene mulut membantu mempertahankan status kesehatan mulut, gigi,

(2)

makanan, plak, bakteri, memasase gusi, dan mengurangi ketidaknyamanan

yang dihasilkan dari bau dan rasa yang tidak nyaman.

3. Perawatan mata, hidung, dan telinga merupakan perhatian khusus

diberikan untuk membersihkan mata, hidung, dan telinga selama pasien

mandi.

4. Perawatan rambut yaitu menyikat, menyisir dan bersampo merupakan

dasar hygiene rambut untuk semua pasien. Pasien akan memiliki rambut

dan kulit kepala yang bersih dan sehat, pasien akan mencapai rasa nyaman

dan harga diri, dan pasien dapat berpartisipasi dalam melakukan praktik

perawatan rambut.

5. Perawatan kaki dan kuku kaki menjaga kebersihan kuku penting dalam

mempertahankan personal hygiene karena berbagai kuman dapat masuk

kedalam tubuh melalui kuku.

6. Perawatan genitalia merupakan bagian dari mandi lengkap. Pasien yang

paling butuh perawatan genitalia yang teliti adalah pasien yang beresiko

terbesar memperoleh infeksi.

2.2 Kewaspadaan Universal dalam Perawatan Pasien

Menurut Depkes RI (2000) dalam Zuidah (2007) Kewaspadaan Universal

yaitu suatu pedoman yang ditetapkan oleh Centers for Disease Control (CDC)

yang merupakan pedoman untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

petugas kesehatan dalam memenuhi standar pencegahan infeksi guna

meminimalkan resiko penularan penyakit kepada pasien dan diri mereka sendiri.

Petugas kesehatan mempunyai peran besar dalam rantai transmisi infeksi.

(3)

telah mengkampanyekan program keselamatan pasien salah satunya adalah

menurunkan risiko.Kegagalan untuk melakukan kebersihan dan kesehatan tangan

yang tepat dianggap sebagai sebab utama infeksi nosokomial yang menular di

pelayanan kesehatan dan penyebaran mikroorganisme multiresisten dan telah

diakui sebagai kontributor yang penting terhadap timbulnya wabah (Tietjen,

2004).

Menurut Septiari (2012), Kewaspadaan Universal meliputi :

1. Cuci tangan, setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi dan bahan

terkontaminasi, segera melepas sarung tangan, dan diantara sentuhan

dengan pasien.

2. Sarung tangan, apabila kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi dan

bahan yang terkontaminasi, apabila kontak dengan selaput lendir dan

kulit terluka.

3. Masker, kacamata dan masker muka untuk mengantisipasi apabila

terkena, melindungi selaput lendir mata, hidung, dan mulut pada saat

kontak dengan darah, dan cairan tubuh.

4. Baju pelindung untuk melidungi kulit dari kontak dengan darah, dan

cairan tubuh, dan mencegah pakaian tercemar selama tindakan klinik

yang dapat berkontak langsung dengan darah atau cairan tubuh.

5. Tangani kain tercemar, cegah dari sentuhan kulit atau selaput lendir,

jangan melakukan prabilas kain yang tercemar di area perawatan

(4)

6. Peralatan perawatan pasien, tangani peralatan yang tercemar dengan

baik untuk mencegah kontak langsung dengan kulit atau selaput lendir

dan mencegah kontaminasi pada pakaian serta lingkungan.

7. Pembersihan lingkungan yaitu perawatan rutin, pembersihan dan

desinfeksi peralatan, dan kelengkapan dalam ruang perawatan pasien.

8. Instrumen tajam, hindari memasang kembali jarum bekas, hindari

melepas jarum bekas dari semprit habis pakai, hindari

membengkokkan, mematahkan atau memanipulasi jarum bekas dengan

tangan.

9. Resusitasi pasien, usahakan gunakan kantong resusitasi atau alat

ventilasi yang lain untuk menghindari kontak langsung mulut dalam

resusitasi mulut ke mulut.

10. Penempatan pasien yaitu tempatkan pasien yang mengontaminasi

lingkungan dalam ruang pribadi atau ruang isolasi.

2.3 Rumah Sakit

2.3.1 Pengertian Rumah Sakit

Di Indonesia Rumah Sakit sebagai salah satu bagian sistem pelayanan

kesehatan secara garis besar memberikan pelayanan untuk masyarakat berupa

pelayanan kesehatan mencakup pelayanan medik, pelayanan penunjang medik,

rehabilitasi medik, dan pelayanan perawatan, pelayanan tersebut dilaksanakan

melalui unit gawat darurat, unit rawat jalan, dan unit rawat inap (Septiari, 2012).

Menurut Azwar (2010), jika ditinjau dari kemampuan yang dimiliki,

(5)

1. Rumah Sakit kelas A

Rumah Sakit kelas A adalah Rumah Sakit yang mampu memberikan

pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas. Oleh Pemerintah,

Rumah Sakit Kelas A ini telah ditetapkan sebagai tempat pelayanan rujukan

tertinggi (top referral hospital) atau disebut pula sebagai Rumah Sakit Pusat.

2. Rumah Sakit kelas B

Rumah Sakit adalah Rumah Sakit yang mampu memberikan pelayanan

kedokteran spesialis luas dan subspesialis terbatas. Direncanakan Rumah

Sakit kelas B didirikan disetiap ibukota Propinsi (provincial hospital) yang

menampung pelayanan rujukan dari Rumah Sakit Kabupaten.

3. Rumah Sakit kelas C

Rumah Sakit kelas C adalah Rumah Sakit yang mampu memberikan

pelayanan kedokteran spesialis terbatas. Pada saat ini ada empat macam

pelayanan spesialis ini yang disediakan yakni pelayanan penyakit dalam

pelayanan bedah, pelayanan kesehatan anak serta pelayanan kebidanan dan

kandungan.

4. Rumah Sakit kelas D

Rumah Sakit kelas D adalah Rumah Sakit yang bersifat transisi karena pada

saat akan ditingkatkan menjadi Rumah Sakit kelas C. Pada saat ini

kemampuan Rumah Sakit D hanyalah memberikan pelayanan kedokteran

umum dan kedokteran gigi.

5. Rumah Sakit kelas E

Rumah Sakit kelas E adalah Rumah Sakit khusus (special hospital) yang

(6)

ini banyak Rumah Sakit kelas E yang telah ditemukan. Misalnya Rumah

Sakit jiwa, Rumah Sakit kusta, Rumah Sakit paru, Rumah Sakit kanker,

Rumah Sakit jantung, Rumah Sakit ibu dan anak serta sebagainya yang

seperti ini.

2.3.2 Pelayanan Rawat Inap

Pelayanan rawat inap merupakan salah satu unit pelayanan di Rumah Sakit

yang memberikan pelayanan secara komprehensif untuk membantu

menyelesaikan masalah yang dialami oleh pasien, dimana unit rawat inap

merupakan salah satu revenew centerRumah Sakit sehingga tingkat kepuasan

pelanggan atau pasien bisa dipakai sebagai salah satu indikator mutu pelayanan

(Nursalam, 2001).

Rawat inap adalah pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi

observasi, pengobatan, keperawatan, rehabilitasi medik dengan menginap di ruang

rawat inap pada sarana kesehatan Rumah Sakit pemerintah dan swasta, serta

puskesmas dan rumah bersalin yang oleh karena penyakitnya penderita harus

menginap dan mengalami tingkat transformasi, yaitu pasien sejak masuk ruang

perawatan hingga pasien dinyatakan boleh pulang (Muninjaya, 2004).

2.3.3 Sanitasi Rumah Sakit

Menurut Santoso (2015), sanitasi Rumah Sakit dianggap hanyalah upaya

pemborosan dan tidak berkaitan langsung dengan pelayanan kesehatan di Rumah

Sakit, sehingga seringkali kurangnya dana pembangunan dan pemeliharaan

(7)

Contohnya banyak Rumah Sakit besar yang tidak memiliki fasilitas pengolahan

air limbah dan sarana pembakar sampah (incinerator) serta fasilitas cuci tangan

yang tidak memadai atau sistem pembuangan sampahnya tidak saniter. Apabila

hal ini dibiarkan akan dapat membahayakan masyarakat, baik berupa terjadinya

infeksi silang di Rumah Sakit maupun pengaruh buruk terhadap lingkungan dan

masyarakat luas.

Sanitasi Rumah Sakit merupakan upaya pengawasan berbagai faktor

lingkungan fisik, kimia, dan biologis di Rumah Sakit yang menimbulkan atau

mengakibatkan pengaruh buruk pada kesehatan jasmani, rohani dan kesejahteraan

sosial bagi petugas, penderita, pengunjung dan masyarakat sekitar Rumah Sakit

(Santoso, 2015).

2.3.3.1 Tujuan Sanitasi Rumah Sakit

Menurut Santoso (2015), tujuan sanitasi Rumah Sakit memiliki tujuan

umum dan tujuan khusus :

a. Tujuan umum sanitasi Rumah Sakit yaitu terciptanya atau terwujudnya

kondisi lingkungan Rumah Sakit yang memenuhi persyaratan sanitasi dan

menjamin dalam pencegahan infeksi nosokomial dan membantu proses

pengobatan serta penyembuhan penderita.

b. Tujuan khusus sanitasi Rumah Sakit yaitu diperoleh tingkat sanitasi yang

baik, diperoleh tingkat pemelihara aspek rumah tangga di Rumah Sakit secara

optimal, perawatan berbagai aspek khusus sanitasi Rumah Sakit,

terselenggara proses dekontaminasi, desintesis, sterilisasi, dan terawasi

(8)

2.3.3.2 Fasilitas Sanitasi Rumah Sakit

Menurut Darmadi (2008), sebagian besar dari upaya pencegahan dan

pengendalian infeksi di ruangan/bangsal perawatan, keberadaan fasilitas sanitasi

penting sekali, terutama dalam mengelola ruangan/bangsal perawatan.

1. Kamar mandi dan WC penderita.

a. Jumlah ditentukan oleh jumlah tempat tidur dalam ruangan/bangsal, yaitu

setiap 15 tempat tidur diperlukan 1 kamar mandi atau WC.

b. Kamar mandi dan WC harus terpisah.

c. Lokasinya pada salah satu ujung ruangan atau bangsal.

2. Kamar mandi dan WC untuk petugas/keluarga penderita (penunggu) yaitu

lokasinya terpisah dengan kamar mandi dan WC penderita.

3. Tempat cuci tangan atau wastafel di tempatkan pada lokasi yang tepat.

4. Gudang tempat menyimpan alat-alat sanitasi, lokasi dekat dengan tempat

kegiatan administrasi.

5. Wadah atau kontainer sampah dan limbah, prosedur dan tindakan medis

maupun keperawatan akan menghasilkan sampah dan limbah, yaitu: sampah

domestik, sampah medis, dan klinis medis. Setiap jenis sampah dan limbah

ini harus ditampung dalam kontainer yang berbeda-beda.

6. Air bersih, kebutuhan air bersih harus terpenuhi serta lancar dan ini dapat

dibuktikan melalui air yang keluar dari kran-kran yang ada di wastafel,

(9)

2.3.3.3 Fasilitas Sanitasi Rumah Sakit Berdasarkan Permenkes RI Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004

1. Penyediaan Air Minum dan Air Bersih

Harus tersedia air minum sesuai dengan kebutuhan, tersedia air bersih

minimum 500 liter/tempat tidur/hari, air minum dan air bersih tersedia pada setiap

kegiatan yang membutuhkan secara berkesinambungan.

Jumlah kebutuhan air bersih ditetapkan berdasarkan jumlah pasien, hal

ini dipakai sebagai perencanaan dan pengembangan pelayanan kesehatan yaitu

harus tersedia air bersih sesuai kebutuhan dan memenuhi syarat sesuai dengan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

416/Menkes/PER/IX/1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air

bersih. Jumlah atau kuantitas air bersih tergantung pada kelas dan berbagai

pelayanan yang ada di Rumah Sakit makin banyak pelayanan yang ada di rumah

sakit, semakin besar jumlah kebutuhan atau jumlah yang umum dipakai untuk

kebutuhan di Rumah Sakit.

2. Fasilitas Toilet dan Kamar Mandi

Harus selalu terpelihara, dalam keadaan bersih, lantai terbuat dari bahan

yang kuat, kedap air, tidak licin, berwarna terang dan mudah dibersihkan. Pada

setiap unit ruangan harus tersedia toilet (jamban, peturasan dan tempat cuci

tangan) tersendiri. Pembuangan air limbah dari toilet dan kamar mandi dilengkapi

dengan penahan bau (water seal). Letak toilet dan kamar mandi tidak

berhubungan langsung dengan dapur dan ruang perawatan, harus terpisah toilet

(10)

3. Pengelolaan Limbah Padat

Limbah padat adalah semua limbah yang berbentuk padat sebagai akibat

kegiatan yang terdiri dari limbah medis padat dan non medis. Limbah medis padat

terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah

farmasi, limbah sitotoksis, limbah kimiawi dan limbah radioaktif.

Mengelola sampah secara aman, sehingga tidak membahayakan

kesehatan petugas, pasien, pengunjung, masyarakat dan lingkungan disekitarnya.

Misalnya sampah medis harus dimusnahkan dalam incinerator dan sampah

domestik harus diangkut oleh petugas Dinas kebersihan setiap hari.

Pengelolaan sampah yang aman harus diselenggarakan dengan cara

menyediakan wadah sebagai berikut :

a. Wadah harus kuat dan tidak mudah rusak

b. Tersedia lokasi atau tempat pengumpulan sampah sementara.

c. Sampah harus dipisahkan sesuai dengan jenisnya kedalam kantong plastik

dengan lambang dan warna yang telah ditetapkan.

d. Tempat sampah harus tersedia 1 (satu) buah di setiap ruangan dan setiap

radius 10 meter serta setiap jarak 20 meter pada ruang tunggu dan ruang

terbuka.

e. Lokasi atau tempat sampah sementara harus mudah dikosongkan, tidak

terbuat dari beton permanen, terletak di lokasi yang mudah dijangkau

kenderaan pengangkut sampah dan harus dikosongkan minimal satu kali

(11)

f. Sampah infeksius harus dimusnahkan dengan incinerator dalam suhu

10000°C. Sampah farmasi atau obat-obatan yang kadaluarsa atau rusak

harus dikembalikan kepada distributor.

g. Tempat sampah medis dan non medis harus mememenuhi syarat yaitu

tidak mudah berkarat, kedap air, bertutup, mudah dibersihkan dan mudah

dikosongkan.

h. Pengangkutan sampah dimulai dari mengambil sampah di tempat

penampungan yang ada pada setiap ruangan kemudian dibawa dan

dikumpulkan di TPS. Alat yang digunakan harus terpisah antara sampah

medis dan non medis.

i. Alat untuk mengangkut sampah dapat berupa gerobak atau trolly dengan

syarat permukaan bagian dalam harus rata dan kedap air, mudah

dibersihkan, mudah diisi dan dikosongkan.

Sampah yang akan diangkut oleh Dinas Kebersihan dikumpulkan pada

tempat penampungan sampah sementara dengan ketentuan mudah dijangkau oleh

kendaraan pengangkut sampah, tidak menjadi tempat bersarangnya tikus dan

serangga, jauh dari ruang perawatan dan dapur serta bebas dari kemungkinan

adanya banjir.

4. Pengelolaan Limbah Cair

a. Pengolahan Pendahuluan

Proses ini dilakukan dengan cara pembersihan agar mempercepat dan

memperlancar proses selanjutnya. Kegiatan berupa pengambilan benda

terapung dan pengambilan benda yang mengendap seperti pasir. Tahap ini

(12)

air limbah melalui saringan kasar sehingga benda-benda besar bisa

diambil.

b. Pengolahan Pertama

Pengolahan ini bertujuan untuk memisahkan lemak dan minyak yang

timbul dipermukaan kemudian dipisahkan untuk diambil. Kemudian air

yang telah dipisahkan dari benda-benda yang terapung dan minyak seperti

di atas dialirkan ke bak pengolahan kedua.

c. Pengolahan Kedua

Pengolahan ini dirancang untuk menguraikan bahan organik seperti yang

terkandung dalam ekskreta, limbah dapur, sabun dan deterjen melalui

mikroorganisme. Umumnya pengolahan ini bersifat aerob karena bakteri

membutuhkan oksigen untuk dapat menguraikan limbah.

d. Pengolahan Ketiga

Pengolahan ini digunakan apabila pada pengolahan petama dan kedua

masih banyak terdapat zat yang berbahaya untuk itu diperlukan

pengolahan secara khusus sesuai dengan kandungan zat yang ada di air

limbah.

e. Pembunuhan Bakteri

Pengolahan ini bertujuan untuk mengurangi atau membunuh bakteri

mikroorganisme patogen yang ada di air limbah contoh yang sering

digunakan adalah klorin yang dapat mematikan bakteri dengan cara

merusak atau menginaktifkan enzim utama sehingga terjadi kerusakan

(13)

f. Pengolahan Lanjut

Dari tahap pengolahan yang sudah dilakukan di atas maka hasilnya adalah

berupa lumpur yang perlu dilakukan pengolahan secara khusus agar dapat

dimanfaatkan untuk keperluan lain.

5. Pengelolaan Tempat Pencucian Linen (Laundry)

a. Suhu pencucian 700°C dalam waktu 25 menit atau 950°C dalam 10 menit.

b. Ditempat laundry tersedia air bersih dengan air yang memadai, air panas

untuk desinfeksi dan desinfektan.

c. Peralatan cuci diletakkan dekat dengan saluran pembuangan air limbah.

d. Tersedia ruangan dan mesin cuci yang terpisah untuk linen infeksius dan

non infeksius.

e. Dilengkapi saluran air limbah tertutup dilengkapi dengan pengolahan awal

sebelum dialirkan ke IPAL.

f. Tersedia ruang terpisah sesuai kegunaannya misalnya ruang linen kotor,

ruang linen bersih, ruang perlengkapan kebersihan, ruang perlengkapan

cuci, ruang kereta linen, kamar mandi dan ruang pengering.

g. Perlakuan yang ada yaitu pemilahan antara bahan infeksius dan non

infeksius, menghitung dan mencatat linen di ruangan, menimbang berat

linen sesuai kapasitas mesin cuci, deterjen dan desinfektan. Membersihkan

linen kotor dari tinja, urin, darah, muntahan dan merendam dengan

desinfektan. Kemudian mencuci berdasarkan tingkat kekotorannya.

Dilanjutkan pengeringan, penyetrikaan dan penyimpanan sesuai jenisnya

(14)

APD dan dilakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala dan immunisasi

Hepatitis

6. Pengendalian serangga, tikus dan binatang pengerat lainnya

Pencegahan dengan pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M

(mengubur, menguras, menutup), pembuangan air limbah dalam saluran tertutup,

pembersihan tanaman sekitar agar tidak menjadi tempat perindukan nyamuk,

pemasangan kawat kasa di seluruh ruangan. Menyimpan bahan makanan dan

minuman secara tertutup, pengelolaan sampah yang baik, menutup lubang atau

celah agar kecoa tidak masuk ke ruangan. Melakukan penutupan saluran terbuka,

lubang di dinding, plafon, pintu dan jendela agar tikus tidak masuk. Agar binatang

pengganggu lain tidak masuk perlu melakukan pengelolaan makanan dan

pengelolaan sampah dengan baik.

7. Dekontaminasi dengan disenfeksi dan sterilisasi

Desinfeksi adalah proses menurunkan jumlah mikroorganisme penyebab

penyakit atau yang berpotensi patogen dengan cara fisika atau kimiawi. Proses

disnfeksi harus didahului dengan proses dekontaminasi atau pencucian yang

memadai dengan menghilangkan sebagian besar kuman yang terdapat pada

permukaan benda. Sedangkan sterilisasi adalah suatu proses perlakuan terhadap

bahan atau barang dimana pada akhir proses tidak dapat ditunjukkan adanya

(15)

2.4 Perawat dan Bidan

2.4.1 Pengertian Perawat dan Bidan

Perawat merupakan salah satu profesi pelayanan kesehatan yang

tersediadalam 24 jam sehari untuk mengkoordinasi perawatan kompleks

yang dibutuhkan oleh klien atau pasien (Potter & Perry, 2005).

Bidan adalah seorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan

pendidikan bidan yang telah diakui pemerintah dan lulus ujian sesuai

dengan persyaratan yang telah berlaku, dicatat (registrasi), diberi izin

secara sah untuk menjalankan praktek (Nazriah, 2009).

2.4.2 Karakteristik Perawat dan Bidan

Dalam Penelitian Ismael (2009), karakteristik merupakan salah satu aspek

kepribadianyang menggambarkan suatu susunan batin manusia yang nampak pada

kelakuan dan perbuatan.

Dalam penelitian ini, karakteristik yang diteliti adalah usia, tingkat

pendidikan, dan lama bekerja.

a. Usia

Usia perawat secara garis besar menjadi indikator dalam kedewasaan

dalam setiap pengambilan keputusan yang mengacu pada setiap pengalamannya.

Karakteristik seorang perawat berdasarkan umur sangatberpengaruh terhadap

kinerja dalam praktik keperawatan, dimana semakin tuau mur perawat maka

dalam menerima sebuah pekerjaan akan semakin bertanggung jawab dan

(16)

b. Tingkat Pendidikan

Perawat atau bidan dengan pendidikan yang cukup baikakan melakukan

praktik keperawatan atau kebidanan yang efektif dan efisien yang selanjutnyaakan

menghasilkan pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi. Tingkat pendidikan yang

cukup akan memberikan kontribusi terhadap praktik keperawatan. Tingkat

pendidikan seorang perawat atau akan mempengaruhi dasar pemikiran dibalik

penetapan standar keperawatan (Smet, 2004).

Menurut Hasibuan (2005) mengungkapkan bahwa pengetahuanyang

didapatkan seseorang dalam pendidikan merupakan pengalaman yang berfungsi

untuk mengembangkan kemampuan dan kualitas keperibadian seseorang.

Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin besar pula keinginan untuk

memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan berpengaruh terhadap

pola pikir individu, sedangkan pola pikir berpengaruh terhadap perilaku

seseorang, dengan kata lain pola pikir seseorang yang berpendidikan rendah akan

berbeda dengan pola pikir seseorang yang berpendidikan tinggi. Pendidikan

keperawatan mempunyai pengaruh besar terhadap kualitas pelayanan

keperawatan.

c. Lama Bekerja

Lama bekerja adalah lama seorang perawat yang bekerja di Rumah

Sakitdari mulai awal bekerja sampai saat selesai seorang perawat atau bidan

berhenti bekerja. Semakin lama masa kerja seseorang dalam bekerja maka

semakin banyak pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, hal ini dapat

(17)

dapat diketahui dari mulai awal perawat bekerja sampai saat berhenti atau masa

sekarang saat masih bekerja di Rumah Sakit (Smet, 2004).

Menurut Ismael (2009) menyimpulkan bahwa makin lama kinerja kerja

seseorang maka akan semakin terampil dan pengalaman menghadapi masalah

dalam pekerjaannya.

2.5 Infeksi Nosokomial

2.5.1 Pengertian Infeksi Nosokomial

Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya

penyakit, dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk

merawat atau Rumah Sakit. Jadi infeksi nsokomial dapat diartikan sebagai infeksi

yang diperoleh atau terjadi di Rumah Sakit (Darmadi,2008).

Infeksi nosokomial adalah kejadian infeksi yang didapat atau timbul pada

waktu pasien berada dirawat di Rumah Sakit, akibatnya dapat menjadi penyebab

langsung kematian, pasien dirawat lebih lama dan pasien membayar lebih mahal

(Sabarguna, 2009).

Rumah Sakit sebagai tempat pengobatan, juga merupakan sarana

pelayanan kesehatan yang dapat menjadi sumber infeksi dimana orang sakit

dirawat. Infeksi nosokomial dapat terjadi pada penderita, tenaga kesehatan, dan

juga setiap orang yang datang ke Rumah Sakit. Infeksi yang ada di pusat

pelayanan kesehatan ini dapat ditularkan atau diperoleh melalui petugas

kesehatan, orang sakit, pengunjung yang berstatus karrier atau karena kondisi di

(18)

2.5.2 Batasan Infeksi Nosokomial

Menurut Septiari (2012), suatu infeksi pada penderita baru bisa dinyatakan

sebagai infeksi nosokomial apabila memenuhi beberapa kriteriaataubatasan

tertentu diantaranya :

1. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit tidak didapatkan

tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut.

2. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit, tidak sedang dalam

masa inkubasi dari infeksi tersebut.

3. Tanda-tanda klinik infeksi tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah

3x24 jam sejak mulai perawatan.

4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya.

5. Bila saat mulai dirawat di Rumah Sakit sudah ada tanda-tanda infeksi, dan

terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di Rumah Sakit

yang sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai

infeksi nosokomial.

Terjadinya infeksi nosokomial dipengaruhi oleh :

1. Banyaknya pasien yang dirawat dapat menjadi sumber infeksi bagi

lingkungan, dan pasien lainnya

2. Kontak langsung antara pasien yang menjadi sumber infeksi dengan

pasien lainnya

3. Kontak langsung antara petugas Rumah Sakit yang tercemar kuman

dengan pasien

(19)

2.5.3 Sumber Infeksi Nosokomial

Dalam penelitian Ginting (2002), sumber infeksi nosokomial dapat berasal

dari :

1. Petugas kesehatan yang merawat, merupakan sumber penting dalam

terjadinya infeksi pada penderita yang dirawatnya. Dalam hal ini perlu

diperhatikan kesehatan dan kebersihan tangan, pengetahuan tentang

aseptik dan keterampilan dalam menerapkan teknik perawatan.

2. Alat-alat yang terkontaminasi dengan penderita, perlu diketahui secara

mendalam bagaimana cara membersihkan alat, mensterilkan alat dan cara

menggunakan alat.

3. Kondisi pasien yaitu hygiene personal buruk, status gizi buruk dan

lingkungan Rumah Sakit yang buruk.

2.5.4 Faktor Resiko Terjadinya Infeksi Nosokomial pada Pasien

1. Infeksi secara langsung atau secara tidak langsung

Infeksi bisa terjadi karena kontak secara langsung atau tidak langsung.

Penularan infeksi ini dapat tertular melalui tangan, kulit dan baju, yang

disebabkan oleh golongan staphylococcus aureus. Cairan yang diberikan secara

intravena dan jarum suntik, peralatan serta instrumen kedokteran

bisamenyebabkan infeksi nosokomial. Makanan yang tidak steril, tidak dimasak

dan diambil menggunakan tangan yang menyebabkan terjadinya cross infection

(20)

2. Resistensi Antibiotika

Seiring dengan penemuan dan penggunaan antibiotika penicillin antara

tahun 1950-1970, kebanyakan penyakit yang serius dan fatal ketika itu dapat

diterapi dan disembuhkan. Bagaimanapun, keberhasilan ini menyebabkan

penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan antibiotika.

Maka, banyak mikroorganisme yang kini menjadi lebih resisten.

Peningkatan resistensi bakteri dapat meningkatkan angka mortalitas terutama pada

pasien yang immunocompromised. Penggunaan antibiotika yang terus-menerus ini

meningkatkan multiplikasi serta penyebaran strain yang resisten. Penyebab

utamanya adalah penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak terkontrol,

dosis antibiotika yang tidak optimal, terapi dan pengobatan menggunakan

antibiotika yang terlalu singkat serta kesalahan diagnosa (Ducel, G, 2002).

3. Faktor alat

Suatu penelitian klinis menujukkan infeksi nosokomial terutama

disebabkan oleh infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran

nafas, infeksi kulit, infeksi dari luka operasi dan septikemia. Penggunaan

peralatan non steril juga boleh menyebabkan infeksi nosokomial (Ducel, G,

2002).

2.5.5 Transmisi Infeksi Nosokomial

Menurut Hasyimi (2010) cara transmisi infeksi nosokomial terjadi dengan

beberapa macam, diantaranya :

1. Air born yaitu melalui udara, nebulizer, inhalasi dan lain-lain.

2. Selain itu, dapat pula terjadi secara contact spread yaitu melalui tangan,

(21)

3. Melalui fecal oral route yaitu melalui makanan, air, minuman, susu dan

lain-lain.

4. Melalui blood precautionyaitu melalui infuse set, jarum suntik, contoh

darah dan lainnya.

5. Wound precaution melalui perawatan luka poperasi, alat-alat untuk

tindakan invasif dan lainnya.

2.5.6 Mikroorganisme Penyebab Infeksi Nosokomial

Beberapa jenis bakteri yang dapat menyebabkan infeksi nosokomial antara

lain Staphylococcus sp., Proteus sp., Pseudomonas, E. Coli, Salmonella, Shigella,

Streptococcus sp. Kuman-kuman gram negatif maupun gram positif

Staphylococcus dan gram negatif E. Coli merupakan 2 jenis mikroba penyebab

infeksi nosokomial yang dominan sebagai agen pencemar lingkungan beberapa

Rumah Sakit. Distribusinya antara lain meliputi personil Rumah Sakitatau

perawat, makanan di Rumah Sakit, udara di berbagai ruangan perawatan.

Sedangkan distribusi E.coli antara lain yaitu beberapa jenis makanan, air dan

anggota tubuh atau tangan petugas Rumah Sakit/perawat. Beberapa jenis mikroba

lain yang terdeteksi sebagai agen pencemar di lingkungan Rumah Sakit adalah

Pseudomonas, Proteus, Sreptococcus, Klebsiella. Dari kelompok jamur antara

(22)

2.5.7 Dampak Infeksi Nosokomial

Berdasarkan pendapat Irianto (2103) yang mengutip pendapat para ahli

(Gisselquist, dkk. 2002), dapat disimpulkan bahwa Infeksi nosokomial dapat

memberikan dampak sebagai berikut :

1. Menyebabkan cacat fungsional, serta stress emosional, dan dapat

menyebabkan cacat yang permanen serta kematian.

2. Dampak tertinggi pada negara berkembang dengan prevalensi

HIV/AIDS yang tinggi.

3. Meningkatkan biaya kesehatan di berbagai negara yang tidak mampu,

dengan meningkatkan lama perawatan di rumah sakit, pengobatan

dengan obat-obat mahal, dan penggunaan pelayanan lainnya.

4. Mordibitas dan mortalitas semakin tinggi.

5. Adanya tuntutan secara hukum.

2.6. Pengendalian dan Pencegahan Infeksi Nosokomial 2.6.1. Pengendalian Infeksi Nosokomial

Menurut Septiari (2012), dalam mengendalikan infeksi nosokomial di

Rumah Sakit ada tiga hal yang perlu ada dalam program pengendalian infeksi

nosokomial di Rumah Sakit, diantaranya :

1. Adanya sistem survailans yang mantap

Perlu ditegaskan bahwa keberhasilan pengendalian infeksi nosokomial

bukanlah ditentukan oleh canggihnya peralatan yang ada, tetapi ditentukan

oleh kesempurnaan perilaku petugas dalam melaksanakan perawatan

(23)

petugas lapangan di garis paling depan mempunyai peran yang sangat

menentukan.

2. Adanya peraturan yang jelas dan tegas serta dapat dilaksanakan dengan

tujuan untuk mengurangi risiko terjadinya infeksi.

Peraturan-peraturan ini merupakan standar yang harus dijalankan setelah

dimengerti semua petugas. Standar ini meliputi standar diagnosis ataupun

standar pelaksanaan tugas tugas.

3. Adanya program pendidikan yang terus menerus bagi semua petugas

Rumah Sakit dengan tujuan mengembalikan sikap mental yang benar

dalam merawat penderita.

Menurut Sabarguna (2009), tujuan dari pengendalian infeksi nosokomial

adalah terciptanya lingkungan Rumah Sakit yang memenuhi persyaratan,

menjamin adanya pencegahan infeksi nosokomial dan membantu proses

penyembuhan pasien sehingga Rumah Sakit dapat meningkatkan mutu pelayanan,

efektif dan efisien.

2.6.2 Pencegahan Infeksi Nosokomial

Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial tidak berbeda dengan

penyakit infeksi lainnya, yaitu dengan metode “memotong rantai penularan” agar

invasi mikroba patogen tidak terjadi.

Sasaran yang perlu diwaspadai dalam upaya ini ada tiga, yaitu :

1. Sumber penularan, seperti lingkungan Rumah Sakit, petugas,

keluarga/pengunjung dan penderita lainnya, terutama peralatan medis

(24)

2. Objek penularan, penderita yang sedang dalam asuhan keperawatan,

khususnya yang berada dalam kondisi rentan.

3. Cara perpindahan mikroba patogen, mekanisme transmisi mikroba

patogen dari sumber penularan ke objek penularan.

Menurut Irianto (2013), sebagian besar infeksi ini dapat dicegah dengan

strategi yang telah tersedia, secara relatif murah yaitu :

1. Mentaati praktik pencegahan infeksi yang dianjurkan, terutama kebersihan

dan kesehatan tangan serta pemakaian sarung tangan.

2. Memperhatikan dengan seksama proses yang telah terbukti bermanfaat

untuk dekontaminasi dan pencucian peralatan dan benda lain yang kotor,

diikuti dengan sterilisasi atau disenfeksi tingkat tinggi.

3. Meningkatkan keamanan dalam ruang operasi dan area berisiko tinggi

lainnya dimana kecelakaan perlukaan yang sangat serius dan paparan pada

agen penyebab infeksi sering terjadi.

2.7 Contoh-Contoh Kasus Infeksi Nosokomial 2.7.1 Infeksi Luka Operasi

Tindakan pembedahan (operasi) dalam ilmu bedah, berdasarkan pada

tingkat kontaminasi/risiko infeksi dibagi menjadi empat klasifikasi secara

bertingkat, yaitu:

a. Operasi bersih yaitu operasi pada keadaan prabedah tanpa adanya luka

atau operasi yang melibatkan luka steril dan dilakukan dengan

memerhatikan prosedur aseptik dan antiseptik. Sebagai catatan, saluran

(25)

dibuka. Contoh : hernia, tumor payudara, tumor kulit, tulang.

Kemungkinan terjadinya infeksi : 2-4%.

b. Operasi bersih terkontaminasi

Operasi seperti keadaan diatas dengan daerah-daerah yang terlibat

pembedahan seperti saluran napas, saluran kemih atau pemasangan

drain. Contoh : prostatektomi, apendiktomi tanpa radang berat,

kolesistektomi elektif. Kemungkinan terjadinya infeksi : 5-15%.

c. Operasi terkontaminasi

Operasi yang dikerjakan dengan daerah dengan luka yang telah terjadi

6-10 jam dengan atau tanpa benda asing, tidak ada tanda-tanda infeksi

namun kontaminasi jelas karena saluran napas, cerna atau kemih

dibuka. Contoh : operasi usus besar, operasi kulit (luka kulit akibat

rudapaksa). Kemungkinan terjadinya infeksi : 16-25%.

d. Operasi kotor

Operasi kotor adalah operasi-operasi yang dikerjakan karena tindakan

darurat, operasi ini melibatkan daerah dengan luka terbuka yang telah

terjadi lebih dari 10 jam, luka dengan tanda-tanda klinis infeksi dan

luka perforasi organ visera. Contoh : luka rudapaksa yang lama,

(26)

2.7.2 Infeksi Saluran Kemih (ISK) 2.7.2.1 Pengertian Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih dilaporkan 80% terjadi sesudah instrumentasi,

terutama oleh kateterisasi. Tindakan invasif lainnya seperti sitoskopi atau tindakan

operatif pada vagina (Septiari, 2012).

Menurut Darmadi (2008), bakteri masuk ke dalam kandung kemih melalui

batang kateter melalui meatus uretra eksternus, lumen kateter, persambungan

kateter dengan pipa penyalur urine, refluks urine dari kantong penampung urine.

Kebanyakan kejadian bakteriuria karena penggunaan kateter dalam jangka

pendek tidak menunjukkan gejala. Apabila gejala muncul, biasanya berupa

demam ringan, panas, ingin kencing terus dan nyeri. Gejala serupa mungkin

terjadi pada pasien yang menggunakan kateter dalam jangka waktu lama, tetapi

pasien tersebut juga akan mengalami obstruksi, batu saluran kencing, gagal ginjal

dan kanker kandung kemih. Pada ISK bagian atas yaitu nyeri panggul, demam,

darah dalam urine (hematuria) dan gejala-gejala khusus pada ISK kemungkinan

timbul. Tetapi, pasien usia lanjut dan dan lemah, tanda-tanda dan gejala-gejala

khusus pada ISK kemungkinan tidak ada (Irianto, 2013).

Memerhatikan besarnya kemungkinan terjadi infeksi nosokomial setelah

tindakan kateterisasi, maka perlu adanya upaya pencegahan infeksi dengan

memerhatikan hal-hal ini :

1. Pemasangan kateter dengan memerhatikan syarat dasar aseptik

2. Kateter menetap sedapat mungkin tidak dipakai dan hanya

digunakan atas dasar indikasi yang tegas

(27)

4. Bila kateter harus terpasang lama, maka diupayakan penggantian

kateter setiap 2-3 hari

5. Setiap akan melakukan tindakan kateterisasi, urine harus dibiakkan

(identifikasi) terlebih dahulu

6. Berikan antibiotik sebelum kateter dicabut untuk kasus

asimptomatik yang disertai bakteri dalam urine yang menunjukkan

kolonisasi.

2.7.2.2Prosedur pemasangan (Insersi), Pencabutan dan Penggantian Kateter Urine

1. Prosedur Pemasangan (Irianto, 2013).

Langkah 1 : Pastikan bahwa seluruh alat di bawah ini tersedia :

a. Kateter indwelling steril dengan sistem drainase kontiniu tertutup atau

disifeksi tingkat tinggi atau kateter lurus steril dan tempat pengumpulan

urine yang bersih.

b. Spuit yang telah didisinfeksi tingkat tinggi atau steril dengan air matang

atau steril untuk mengisi balon pada kateter indiwelling

c. Sepasang sarung tangan steril atau didesinfeksi tingkat tinggi.

d. Larutan antiseptik (klorheksidin glukonat 2% atau povidon iodin 10%)

e. Cunam dengan potongan kain kasa 2x2 cm atau kapas besar

f. Paket minyak pelumas

g. Mangkuk untuk air hangat bersih, sabun, handuk muka, dan handuk kering

bersih

h. Kantong plastik tahan bocor dan tempat sampah tertutup untuk

pembuangan benda-benda terkontaminasi.

(28)

a. Sebelum memulai prosedur anjurkan pasien membuka labianya dan

bersihkan dengan hati-hati bagian uretra dalam labia.

b. Anjurkan pasien laki-laki menarik kulupnya dan bersihkan dengan

hati-hati kepala penis dan kulup. Apabila pasien tidak mampu membersihkan

dirinya sendiri, sarung tangan bersih akan diperlukan.

Langkah 3: Bersihkan tangan dengan sabun dan air bersih dan keringkan

dengan handuk bersih.

Langkah 4: Kenakan sarung tangan steril atau yang telah didisinfeksi

tingkat tinggi pada kedua tangan.

Langkah 5: Gunakan kateter yang sesuai. Anak-anak no 8-10, perempuan

no 14-16 dan untuk laki-laki no 16 -18.

Langkah 6: Untuk petugas kesehatan yang bertangan kanan (tangan yang

dominan, berdiri di sebelah kanan pasien dan di sebelah kiri

jika bertangan kidal.

Langkah 7: Untuk pasien perempuan, pisahkan dan pegang labia terpisah

dengan tangan yang tidak dominan dan bersihkan uretra

sebanyak 2 kali dengan larutan antiseptik dengan

menggunakan kapas atau cunam potongan kasa.

Langkah 8: Untuk pasien laki-laki, tarik ke belakang kulup dan

pegangkepala penis dengan tangan yang tidak dominan,

kemudian bersihkan kepala penis dan saluran uretra

sebanyak dua kali dengan larutan antiseptik menggunakan

(29)

Langkah 9: Apabila pemasangan kateter lurus, genggam kateter sekitar 5

cm dari ujung kateter dengan tangan yang dominan dan

taruh ujung lainnya pada tempat pengumpulan urine.

Langkah 10: Untuk perempuan masukkan kateter dengan hati-hati kira-kira

5-8 cm atau sampai urine mengalir. Pada anak-anak

masukkan hanya 3 cm.

Langkah 11: Untuk laki-laki masukkan kateter dengan sangat hati-hati

kira-kira 18-22 cm atau sampai urine mengalir. Pada anak-anak

hanya kira-kira 5-8 cm.

Langkah 12: Pada kateter indwelling, tekan lagi sekitar 5 cm setelah urine

keluar dan hubungkan kateter ke tabung pengumpulan urine

jika tidak memakai sistem tertutup.

Langkah 13: Pada kateter indwelling, pompa balon, tarik secara hati-hati

agar penolakan terasa dan lepaskan kateter indwelling

dengan tepat pada paha (untuk perempuan) atau bagian

bawah abdomen (untuk laki-laki).

Langkah 14: Untuk kateter lurus (masuk dan keluar), biarkan urine keluar

dengan perlahan ke dalam kantong pengumpulan dan

kemudian cabut kateter.

Langkah 15: Taruh benda-benda kotor ke dalam kantong tahan bocor dan

tutup kantong sampah.

Langkah 16: Sebagai alternatif jika kateter lurus akan digunakan kembali,

taruh pada larutan klorin 0,5% dan rendam selama 10 menit

(30)

Langkah 17: Lepaskan sarung tangan dengan cara dibalikkan dan taruh

keduanya dalam plastik atau tempat sampah.

Langkah 18: Cuci tangan dengan sabun air,atau gunakan larutan antiseptik

berbahan dasar alkohol tanpa air.

Perhatian :

a. Dengan kateter indwelling, jangan melepas kateter dari tabung

pengeluaran.

b. Jangan melepaskan kateter jika terjadi penolakan.

c. Jika kateter secara tidak sengaja masuk ke dalam vagina, jangan

dicabut. Bersihkan daerah uretra dengan larutan aniseptik dan

masukkan kateter pada vagina.

2. Pencabutan atau Penggantian Kateterisasi (Irianto, 2013).

Langkah 1: Pastikan semua benda tersedia (seperti pada langkah 1 di atas

jika mengganti kateter indwelling).

Langkah2: Anjurkan pasien untuk membersihkan daerah uretra

(perempuan) atau kepala penis (pria) atau bantu mereka

membersihkannya dengan menggunakan sarung tangan yang

bersih.

Langkah 3: Bersihkan tangan atau gunakan cairan pembersih tangan.

Langkah 4: Gunakan sarung tangan yang bersih pada kedua tangan.

Langkah 5: Dengan menggunakan spuit kosong, keluarkan air dari

balonkateter.

Langkah 6: Untuk perempuan, pisahkan dan pegang labia terpisah

(31)

bagian uretra sebanyak dua kali dengan larutan antiseptik

dengan memakai kapas atau cunam dengan potongan kain

kasa dan lepaskan kateter secara hati-hati.

Langkah 7: Untuk pria, tarik ke belakang kulup dan pegang kepala penis

dan daerah dekat kateter sebanyak dua kali dengan larutan

antiseptik dengan menggunakan kapas atau cunam dengan

potongan kain kasa.

Langkah 8: Jika akan melepas kateter, ikuti langkah 15, 17, dan 18 pada

prosedur pemasangan.

Langkah 9: Jika akan mengganti kateter indwelling, ikuti langkah 5

sampai 18 pada prosedur pemasangan.

2.7.3 Febris Puerperalis

Febris puerperalis atau demam nifas merupakan infeksi yang muncul

pasca persalinan pervaginam. Tidak semua persalinan pervaginam berjalan

spontan. Diperkirakan 7-8% akan mengalami kesulitan atau distosia (patologis)

yang terjadi karena tidak proporsionalnya perpaduan antara tenaga dorong atau his

dari uterus (power), janin yang harus terdorong keluar (passenger), serta jalan

(32)

2.7.4 Phlebitis

2.7.4.1Pengertian Phlebitis

Vena menjadi sasaran phlebitis yaitu peradangan dinding vena yang dapat

disebabkan oleh infeksi atau perlukaaan. Trombophlebitis yaitu peradangan

dengan komplikasi penyumbatan oleh segumpal bekuan darah, dapat merupakan

akibat dari phlebitis (Pearce, 2009).

Menurut Darmadi (2008), tanda-tanda phlebitis yaitu pada daerah kateter

intravena terpasang, kulit tampak merah (rubor), bengkak (edema), panas (color)

disertai nyeri (dolor) dan kadang ditemukan demam dengan penyebab:

1. Pemasangan kateter intravaskuler sering kali gagal dan harus diulang

misalnya karena vena yang kecil dan dalam.

2. Kateter intravaskuler yang terpasang digunakan untuk beberapa hari.

Kedua hal di atas memperbesar peluang masuknya mikroba patogen ke

darah secara langsung.

Menurut Irianto (2013), alat dan larutan terkontaminasi juga memberi

jalan mikroorganisme memasuki pembuluh darah. Faktor-faktor yang

berhubungan dengan alat berikut meningkatkan risiko infeksi :

1. Sebelum pemasangan yaitu botol infus yang retak,lubang pada

kontainer plastik, penghubung dan cairan infus yang terkontaminasi

dan persiapan tidak steril pada cairan infus

2. Sewaktu pemakaian yaitu penggantian cairan intra vena dengan

menggunakan set infus yang sama, suntikan multiple dan sistem irigasi

(33)

Kontak orang ke orang juga meningkatkan risiko infeksi yang

berhubungan dengan alat intravaskuler. Hal ini meliputi :

a. Kontaminasi silang dengan daerah terinfeksi dari tubuh pasien

melalui pasien lain atau tangan petugas kesehatan

b. Kontaminasi silang dari pasien terinfeksi melalui tangan petugas

kesehatan

c. Kontaminasi silang dari pasien pada petugas sewaktu kontak

dengan pasien waktu pemasangan darah, perawatan waktu

pemasangan atau pencabutan kateter.

d. Teknik pemasangan atau mengganti balutan yang tidak baik.

Menurut Irianto (2013), mengurangi risiko infeksi nosokomial pada semua

jenis alat intravaskular yaitu :

1. Kebersihan Tangan dan Sarung Tangan

a. Cuci tangan sebelum memegang set intra vena (apabila tangan

mungkin tidak bersih, dapat didesinfeksi dengan antiseptik

yang terbuat dari etil atau isopropil alkohol 60-90% dan

emolien, seperti gliserin).

b. Sarung tangan bersih atau DTT dipakai sebelum menyentuh

tempat pemasangan atau pangkal jarum atau kateter.

c. Cuci tangan atau gunakan penggosok tangan antiseptik tanpa

air berdasar alkohol sesudah melepas sarung tangan.

(34)

a. Jika tempat pemasangan kateter tampak kotor, cuci dulu

dengan sabun dan air dan keringkan sebelum diberi antiseptik

kulit.

b. Jika memakai povidon-iodin sebagai antiseptik, biarkan kering

dulu atau tunggu 2 menit sebelum pemasangan.

c. Pemberian salep antimikrobial sekitar tempat pemasangan tidak

mengurangi risiko infeksi.

d. Penutupan luka yang langsung dan tembus pandang,

memungkinkan melihat jarum atau kateter, lebih

menyenangkan, tetapi mahal dan tidak ada bukti klinis dapat

mengurangi resiko infeksi dibandingkan denagn penutupan

dengan kasa steril atau bersih dan plester bedah.

e. Penutupan luka dapat dipertahankan 72 jam asal tetap kering

(jika basah, lembab atau lepas segera diganti).

f. Kasa dan plester penutup luka perlu diganti bila diperlukan.

g. Daerah tertanamnya kateter atau jarum harus diperiksa tiap hari

apakah ada rasa nyeri.

h. Tempat insersi perlu diperiksa jika pasien mengeluh nyeri atau

(35)

2.7.4.2Prosedur Pemasangan, Pemeliharaan dan Pengangkatan Infus

1. Prosedur Insersi Untuk Pemasangan Infus (Irianto, 2013).

a. Yakinkan semua perlengkapan tersedia

1. Cairan infus

2. Jarum lurus atau butterfly atau kateter plastik (jarum yang terbuat

dari logam ditutup oleh penutup plastik yang akan ditinggalkan di

tempat sesudah jarum dicabut

3. Set infus bayi dan anak memerlukan alat (pengontrol tetesan) dan

alat pengontrol isi.

4. Larutan antiseptik (misalnya klorheksidin 2, alkohol 60-90%, PVI

10%) dan kasa steril atau bersih ukuran 2x2 atau kapas.

5. Plester atau dressing transparan.

6. Torniket bersih

7. Penyangga tangan baru atau yang bersih.

8. Handuk untuk ditaruh di bawah lengan atau tangan

9. IV pole.

10.Sarung tangan pemeriksaan bersih (apabila sarung tangan

pemeriksaan tidak tersedia, dapat menggunakan sarung tangan

yang telah di DTT).

11.Ember berisi air hangat, sabun, kain lap dan handuk kering.

12.Kantong plastik atau kantong anti bocor, kontainer tertutup untuk

tempat pembuangan sampah yang terkontaminasi.

(36)

c. Identifikasi vena mana yang paling baik untuk pemasangan jarum intra

vena atau plastik kateter.

d. Jika tempat insersi tampak kotor, pertama-tama bersihkan dengan sabun

dan air, keringkan dengan handuk atau kain bersih.

e. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih, keringkan dengan handuk

atau keringkan di udara (alternatif lain yaitu lakukan apabila

tanganterlihat kotor, usap tangan dengan 5ml larutan atau 1 sendok teh

antiseptik penggosok tangan pada kedua tangan dan usap seluruh

tangan dan sela-sela jari, biarkan kering).

f. Cek larutan intra vena (botol atau kantong plastik), yakinkan cairannya

betul dan aditif yang tepat seperti potasium sudah ditambahkan.

g. Buka set infus dan pasang bagian-bagiannya dengan teknik aseptik

(jangan pegang ujung tube).

h. Pasang set infus pada botol/kantong larutan

1. Lepas tutup botol atau kantong larutan tanpa menyentuh bukaannya.

2. Lepaskan tutup pelindung yang menutupi jarum jangan sampai

tersentuh, pegang gagang jarum dan masukkan jarum pada

penutup botol atau kantong larutan intra vena atau buka kantong

cairan infus.

3. Isi pipa infus

(37)

b. Lepaskan penutup pipa intra vena dan longgarkan klem agar

cairan dapat mengisi pipa, lalu eratkan klem kembali dan

ganti tutup pelindung.

i. Dengan lengan atas dan tangan tergantung, tempatkan torniket 10-12

cm di atas tempat pemasangan. Minta pasien mengepal dan

membuka tangan untuk memudahkan mendapat vena.

j. Dengan torniket di tempat dan vena terisi, taruh tangan dan lengan di

atas kain bersih di atas tempat tidur atau penyangga tangan.

k. Pakai sarung tangan pemeriksan pada kedua tangan.

l. Bersihkan tempat pemasangan dengan larutan antiseptik dengan

gerakan memutar ke arah luar dari tempat pemasangan. Jika

menggunakan povidon iodin, biarkan kering dahulu, kira-kira 2 menit,

karena ia hanya mengeluarkan iodin bebas, agar antiseptik aktif

perlahan-lahan.

m. Pasang jarum lurus atau jarung butterfly atau kateter plastik pada

semprit untuk mengecek dengan mengambil darah. Jika tidak, jarum

langsung hubungkan dengan ujung pipa intra vena steril.

n. Fiksasi vena dengan ibu jari dan gerakan berlawanan dengan ibu jari

dan raba kembali tempat pemasangan apakah sudah terpasang dengan

baik.

o. Pasang jarum atau kateter dengan tangan yang dominan. Perhatikan

apakah ada darah yang kembali ke dalam pipa, lalu dorong kembali

(38)

pangkal jarum. Setelah kateter telah terisi darah tekan jarum lalu

pasang plester penahan pada pangkal jarum.

p. Sambil melakukan stabilisasi jarum atau butterfly lepaskan torniket

dan longgarkan klem agar pipa intra vena terbuka dengan cukup

dapat mengalirkan cairan.

q. Pasang plester kecil di bawah gagang dengan bagian lengket di atas,

lalu silangkan plester di atas gagang. Kemudian taruh plester kecil

kedua langsung di atas plester silang sebelahnya jarum atau kateter.

r. Taruh kasa steril 2x2cm di atas tempat fungsi vena dan dengan 2

plester. Dapat juga dipakai penutup luka transparan di atas tempat

pemasangan.

s. Sebelum melepas sarung tangan buang semua sampah

terkontaminasi darah (kapas atau kasa) dalam kantong.

t. Cuci kedua sarung tangan dalam larutan klorin 0,5%, lepaskan

sarung tangan taruh dalam kantong plastik atau dalam kontainer anti

bocor.

u. Cuci tangan atau gunakan larutan antispetik penggosok tangan.

v. Fiksasi lengan atau sanggah lengan memakai papan penyangga yang

difiksasi dengan plester tidak langsung tapi harus menyilang. Untuk

mengurangi rasa tidak nyaman, bila mengganti penyangga tangan

dan akan menggunakan plester pada daerah tangan atau lengan,

pasang plester terbalik sehingga perekat akan bertemu perekat baru

dililitkan pada papan penyangga.

(39)

Perhatian : pakailah vena yang paling distal lebih dahulu, dan hindari pemasangan

infus pada tangan yang dominan, torniket sebaiknya dicuci dengan air sabun lalu

dikeringkan atau disapu dengan larutan klorin 0,5% atau alkohol 60-90%, catat

tanggal dan jam pemasangan infus dan ukuran jarum pada dressing plastik atau

kontainer anti bocor.

2. Pemeliharan Infus (Irianto, 2013).

a. Observasi pasien setiap 1 jam, nilai responnya terhadap terapi cairan, dan

periksa:

1. Infus terbuka atau lepas (apabila jarum lurus atau butterfly masih

terpasang, periksa adanya infiltrasi).

2. Periksa jumlah cairan yang diberikan sesuai dan kecepatan tetesan

(berapa tetes permenit) dipertahankan.

b.Cek setiap 8 jam apakah ada tanda-tanda phlebitis atau infeksi.

c. Pindahkan pemasangan infus setiap 72-96 jam untuk mengurangi phlebitis

atau infeksi lokal.

d. Set infus perlu diganti setiap 72 jam atau jika ada kerusakan.

e. Jika pipa tidak terhubung, bersihkan penghubung jarum atau plastik kateter

dengan alkohol 60-90% dan hubungkan dengan set infus baru.

3. Mengganti Larutan Intra Vena (Irianto, 2015).

a. Siapkan pengganti larutan botol atau kantong cairan sewaktu sisa cairan

tinggal sekitar 50ml.

(40)

d. Siapkan cairan baru. Bila menggunakan cairan dalam kantong plastik lepaskan tutup tempat menusukkanjarum. Bila dalam botol, buka penutup

logam, pelapis logam atau plastik. Jangan sentuh bagian tempat tusukan

pada botol atau kantong cairan infus.

e. Pantau klem untuk menghentikan aliran cairan.

f. Lepaskan larutan lama dari alat infus.

g. Cabut gagang jarum dari botol larutan atau dengan tidak menyentuhnya.

h. Gantung kantong atau botol baru dan buang yang lama sesuai dengan

kebijakan Rumah Sakit.

i. Cek apakah ada udara dalam pipa.

j. Yakinkan pengatur cairan terisi seluruhnya.

k. Atur tetesan sesuai kebutuhan.

l. Observasi keadaan pasien setiap jam untuk menentukan respons terapi cairan dan cek bahwa alat intravena tidak lepas atau terbuka, cairan

menetes dengan baik dan jumlah tetesan dapat dipertahankan.

m. Cek setiap 8 jam untuk melihat adanya phlebitis atau tanda infeksi.

4. Mengganti Pipa Intra Vena (Irianto, 2013).

a. Tentukan bahwa set infus yang baru diperlukan :

1. Pada pipa infus terdapat lubang

2. Pipa terkontaminasi

3. Infus macet (misal setelah pemberian darah, sel darah merah atau

(41)

4. Catatan menyatakan telah dipasang lebih 48 jam pada pemberian

darah, produk darah atau emulsa lemak atau 96 jam setelah

pemberian cairan infus.

b. Yakinkan semua tersedia :

1. Kantong plastik atau kantong tahan air, kontainer untuk sampah

terkontaminasi

2. Set infus

c. Jika penutupan luka baru diperlukan, tentukan :

1. Kasa bersih atau steril (2x2 cm) dan plester bedah atau steril, bisa juga

band aid

2. Larutan antiseptik (klorheksidin glukonat 2%, alkohol 60-90%, atau PVI 10%)

3. Kapas alkohol

4. Sepasang sarung tangan pemeriksaan bersih (bila sarung tangan

pemeriksaan bersih (bila sarung tangan tidak tersedia, sarung tangan

DTT bisa digunakan)

d. Cuci tangan atau pakai antiseptik penggosok tangan seperti di atas.

e. Buka set infus baru, jika perlu.

f. Buka pak kasa steril, taruh di tempat tidur dekat tempat penusukan.

g. Pindahkan klem ke posisi “off” pada pipa infus lama, pindahkan gagang

pipa ke kantong atau botol cairan baru, gantung setelah pipa diganti pipa

baru.

h. Segera lepaskan tutup gagang infus set baru, tusukkan dalam

(42)

i. Tekan dan isi pengatur tetesan setengah penuh.

j. Buka klem pengatur tetesan, pindahkan tutup dari adapter, pipa isi penuh,

pindahkan klem pada posisi “off” dan lepaskan tutup tanpa menyentuh

ujung pipa.

k. Pasang sarung tangan pemeriksaan pada kedua tangan.

l. Jika jarum jam atau kateter tidak tampak, pelan-pelan angkat penutup luka

buang di kantong plastik, kantong anti bocor atau kontainer sampah

tertutup.

m.Pertahankan jarum intravena atau kateter plastik, keluarkan dari pipa lama,

lepaskan segera penutup adapter jarum dan pipa baru, masukkan pipa ke

dalam gagang jarum atau kateter plastik.

n. Buka klem pengatur pada pipa baru, hitung tetesan sesuai dengan

kebutuhan.

o. Buang set lama dalam kantong plastik, kantong anti bocor atau kontainer

sampah tertutup.

p. Jika perlu, pakai penutup baru dengan kasa 2x2 cm di tempat tusukan dan

rekat dengan 2 potong plester di atas penutup tusukan (alternatif, pakai

penutup luka transparan pada luka tusukan.

q. Ganti sarung tangan, lepaskan sarung tangan, taruh dalam kantong plastik

atau kontainer sampah.

r. Cuci tangan atau pakai larutan antiseptik penggosok tangan seperti di atas.

(43)

1. Sepasang sarung tangan pemeriksaan bersih (bila sarung tangan

pemeriksaan tidak tersedia, bisa juga memakai sarung tangan

bedah yang didisenfeksi tingkat tinggi)

2. Larutan antiseptik (klorheksidin glukonat 2%, alkohol 60-90% atau

PVI 10%)

3. Kasa 2x2 cm dan plester bedah

4. Kontainer untuk benda-benda tajam bekas pemasangan di tangan

seperti jarum lurus atau jarum butterfly yang telah digunakan

5. Kantong plastik atau kantong anti bocor, kontainer sampah

terkontaminasi yang terutup.

b. Cuci tangan atau pakai larutan antiseptik penggosok tangan seperti di

atas.

c. Stop infus dengan menutup klem pengatur.

d. Pasang sarung tangan pemeriksaan pada kedua tangan.

e. Lepaskan alat lengan serta penutup luka, buang dalam kantong plastik

atau kontainer sampah.

f. Periksa tangan pasien apakah ada tanda phlebitis atau

tanda-tanda infeksi.

g. Hati-hati mencabut jarum atau plastik kateter dengan satu tangan,

tangan lain menutup tempat insersi dengan kasa steril ukuran 2x2 cm.

h. Tekan sekitar satu menit atau pasang 2 plester kecil di atas kasa secara

silang.

i. Bisa juga setelah ditekan dengan kasa, dilepas lalu pasang band aid

(44)

j. Sebelum melepas sarung tangan, buang jarum atau plastik kateter

dalam kontainer benda-benda tajam dan pipa infus dan beberapa

barang yang terkontaminasi darah (kapas atau kasa) buang ke dalam

kantong plastik atau kantong anti bocor, kontainer sampah yang

tertutup.

k. Lepaskan sarung tangan taruh dalam kantong plastik atau kantong anti

bocor, kontainer sampah yang tertutup.

l. Cuci tangan pakai antiseptik penggosok tangan seperti biasa

2.7.5 Infeksi Saluran Cerna

Seorang penderita dapat digolongkan terjangkit infeksi saluran cerna

apabila ditemukan gejala :

a. Adanya nyeri perut secara mendadak, kadang-kadang disertai nyeri kepala.

b. Nausea dan muntah-muntah yang diikuti dengan diare.

c. Dapat disertai atau tanpa demam.

Manifestasi klinik ini dapat muncul setelah beberapa saat penderita

mengonsumsi makanan atau minuman yang disajikan. Sebagai sindrom

gastroentrintis, penyebabnya dapat berupa virus, protozoa, bakteri, jamur atau

parasit. Namun penyebab tersering adalah bakteri atau toksinnya seperti

Salmonella,Vibrio Cholerae, Escheria Coli, sedangkan toksin berasal dari

Staphylococus Aureus, Clostridium Perfringens, Clostridium Botulinum.

Sebagai pedoman waktu memperkirakan penyebabnya adalah sebagai

berikut :

1. Bila < 1 jam, maka penyebabnya adalah bahan kimia

(45)

3. Bila > 8 jam, maka kontaminasi oleh bakteri enterik

Penting untuk dicatat adalah tidak termasuk sebagai sindrom

gastroentrintis nosokomial apabila manisfestasi klinis yang muncul sebagai akibat

keracunan oleh bahan kimia (Darmadi, 2008).

2.7.6 Hepatitis Virus Akut

Hepatitis virus akut muncul terutama disebabkan oleh hepatitis virus A

(HVA), hepatitis virus B (HVB) atau hepatitis virus non-A non-B (HVNANB).

Virus lainnya adalah Cytomegalovirus, virus Epstein-barr.

Manisfestasi klinis dari hepatitis virus dapat ikterik atau non ikterik. Pada

fase praikterik terdapat sedikit demam, anoreksia, mual, muntah dan nyeri perut

berlangsung beberapa hari sampai dua minggu. Fase ikterik biasanya muncul

sesudah gejala demam dan gejala gastroinstentinal mereda, sklera menjadi ikteri

dapat diikuti dengan urine berwarna gelap, pembesaran hati disertai rasa nyeri.

Untuk menetapkan diagnosis hepatitis virus akut nosokomial, digunakan

manifestasi klinis, gambaran laboratorium yang spesifik dan jika manifestasi

klinik muncul 2 minggu rawat inap yang merupakan masa inkubasi terpendek dari

salah satu virus.

Penularan virus hepatitis kepada penderita yang sedang menjalani proses

asuhan keperawatan melalui cara-cara berikut :

a. Cara peroral : melalui makanan/minuman, untuk virus hepatitis A

b. Cara parental : melalui kulit, untuk virus hepatitis B sedangkan virus

hepatitis NANB melalui suntikan, biopsi, infus/transfusi, hemodialisis,

(46)

Bila ada manifestasi klinis ditunjang oleh hasil pemerikaan laboratorik

yang spesifik muncul pada dua minggu pertama dalam masa asuhan keperawatan,

berarti masuknya virus hepatitis terjadi sebelum penderita masuk Rumah Sakit.

Sebaliknya sesuai dengan batasan waktu, maka diagnosis hepatitis virus akut

nosokomial dapat ditegakkan apabila manifestasi klinis serta hasil pemeriksaan

laboratorik yang spesifik muncul setelah dua minggu penderita menjalani asuhan

keperawatan, bahkan sampai penderita diizinkan pulang karena penyakit dasarnya

(47)

2.8 Kerangka Konsep

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Hygiene Perawat dan Bidan pada

Pasien Rawat Inap

Gambar

Gambar  2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Cara mengisi cell aktif pada gambar di bawah ini untuk menghitung pendapatan tertinggi adalah dengan rumus.. Jelaskan apa yang anda

Calls upon all parties to fully cooperate with the independent international commission of inquiry put in place by the Human Rights Council on 25 March 2011 to investigate the facts

DPA - SKPD 2.2 Rekapitulasi Dokumen Pelaksanaan Anggaran Belanja Langsung Menurut Program dan Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. DPA - SKPD 2.2.1 Rincian Dokumen

Protokol Aplikasi Nirkabel (Wireless Aplication Protocol - WAP) merupakan langkah awal menuju Internet Bergerak yang memungkinkan sebuah ponsel untuk bisa digunakan mengakses

DPA - SKPD 2.2 Rekapitulasi Dokumen Pelaksanaan Anggaran Belanja Langsung Menurut Program dan Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. DPA - SKPD 2.2.1 Rincian Dokumen

Gambaran diatas menyimpulkan bahwa dengan semakin banyaknya pengguna angkutan kereta api khususnya untuk yang ke luar kota baik kelas bisnis maupun eksekutif maka akan

DPA - SKPD 2.2 Rekapitulasi Dokumen Pelaksanaan Anggaran Belanja Langsung Menurut Program dan Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. DPA - SKPD 2.2.1 Rincian Dokumen

Penulisan ini membahas mengenai sistem yang dibentuk dalam langkah mendukung e-commerce dalam bidang sepatu olahraga yang menggunakan Macromedia Dreamweaver MX sebagai editor,