1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Combustio atau luka bakar merupakan suatu kejadian yang paling sering terjadi di
Indonesia dan negara lainnya. Luka bakar yang terjadi dapat disebabkan oleh panas, listrik ataupun kimia. Dan kecelakaan luka bakar ini dapat terjadi dimana-mana seperti di rumah, kantor ataupun tempat umum yang lainnya (mal, terminal). 80% kecelakaan yang menyebabkan luka bakar terjadi di rumah dan korban yang terbanyak ternyata anak-anak, entah terkena air panas, tumpahan kuah sayur, api dan lain sebagainya. (Smeltzer, 2001)
Cedera luka bakar terutama pada luka bakar yang dalam dan luas masih merupakan penyebab utama kematian. Oleh sebab itu penderita luka bakar memerlukan perawatan secara khusus, karena luka bakar berbeda dengan luka tubuh lain (seperti tusuk, tembak atau sayatan). Ini disebabkan karena luka bakar terdapat keadaan seperti mengeluarkan banyak air, serum, darah, terbuka untuk waktu yang lama dan ditempati kuman dengan patogenitas tinggi (mudah terinfeksi) (Smeltzer, 2001).
Oleh sebab itu, pasien luka bakar memerlukan penanganan yang serius dimana dalam hal ini peran perawat sangat penting dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Selain itu, diperlukan kerjasama dengan tim medis yang lainnya seperti dokter, fisioterapis, ahli gizi dan bahkan psikiater. (Tarwoto & Wartonah, 2006)
Luka bakar merupakan luka yang unik diantara bentuk-bentuk luka yang lainnya, karena luka tersebut meliputi sejumlah besar jaringan mati (eskar) yang tetap berada pada tempatnya untuk jangka waktu yang lama. Dengan cepat luka bakar akan didiami oleh bakteri patogen; mengalami edukasi dengan pembesaran sejumlah besar air, protein, serta elektrolit; dan kerapkali memerlukan pencangkokan kulit dari bagian tubuh yang lain untuk menghasilkan penutupan luka yang permanen (Smeltzer, 2001).
Metode lund dan browder. Metode yang lebih tepat untuk memperkirakan luas
permukaan tubuh yang terbakar adalah Metode Lund dan Browder yang mengakui bahwa presentase luas luka bakar pada berbagai bagian anatomic, khususnya kepala dan tungkai, akan berubah menurut pertumbuhan. Dengan membagi tubuh menjadi daerah-daerah yang sangat kecil dan memberikan etimasi proporsi luas permukaan tubuh untuk bagian-bagian tubuh tersebut, kita bisa memperoleh etimasi luas permukaan tubuh yang terbakar. (Smeltzer, 2001).
2
Evaluasi pendahuluan dibuat ketika pasien tiba di rumah sakit dan kemudian direvisi pada hari kedua serta ketiga pasca-luka bakar karena garis dermakasi biasanya baru tampak jelas setelah periode tersebut (Smeltzer, 2001).
Menurut Lund dan Browder. Metode yang digunakan untuk menghitung luas permukaan tubuh luka bakar sesuai dengan golongan usia(Smeltzer, 2001).
Area luka
Metode Rule of Nine untuk menentukan persentase luas permukaan tubuh yang
mengalami cedera luka bakar (Smeltzer, 2001) :
Area luka bakar %
Kepala 9 %
Ekstremitas atas kanan 9 %
Ekstremitas atas kiri 9 %
Torso 36 %
Perenium 1 %
Ekstremitas bawah kanan 18 %
Ekstremitas bawah kiri 18 %
Total 100 %
Meningkatkan mobilitas fisik pada luka bakar
Prioritas dini adalah mencegah komplikasi akibat imobilitas. Bernafas dalam, membalikkan tubuh dan mengatur posisi yang benar merupakan praktik keperawatan yang esensial untuk mencegah etelektasis serta pneumonia, untuk mengendalikan edema dan untuk mencegah dekubitus srta kontraktur. Intervensi ini dapat di modifikasi untuk memenuhi kebutuhan individual pasien. Tempat tidur khusus (air fluideized bed
and rotation bed) mungkin berguna dan upaya duduk serta ambulasi yang dini perlu
dianjurkan. (Smeltzer, 2001).
3
Apabila ekstremitas bawah turut terbakar, verban tekan elastis harus sudah dipasang sebelum pasien diletakkan dalam posisi tegak. Verban ini akan mempermudah aliran darah balik vena dan mengurangi pembengkakkan. (Smeltzer, 2001).
Luka bakar dalam keadaan dinamis selama satu tahu atau lebih sebelum lukanya menutup. Selama periode waktu ini harus diusahakan berbagai upaya yang agresif untuk mencegah kontraktur dan pembentukan parut yang hipertrofik. Latihan gerak yang aktif maupun pasif dapat dimulai sejak awal masuk rumah sakit dan kemudian dilanjutkan dengan pembatasan yang ditentukan oleh dokter setelah dilakukan pencangkokkan kulit.
Bidai atau alat-alat fungsional lainnya dapat digunakan pada ekstremitas untuk mengendalikan kontraktur. Perawat harus memantau bagian tubuh yang dibidai untuk mendeteksi tanda-tanda insufisiensi vaskuler dan kompresi saraf (Smeltzer, 2001). 1.2. TUJUAN
Dalam Karya Tulis Ilmiah ini penulis telah merumuskan beberapa tujuan, antara lain :
1. Tujuan Umum
a. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada Tn.I dengan kasus luka bakar. b. Menggunakan proses keperawatan sebagai kerangka kerja bagi perawatan
pasien selama fase darurat-resusitasi, fase akut dan fase rehabilitasi luka bakar.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan tahap pengkajian asuhan keperawatan pada Tn. I dengan prioritas masalah gangguan mobilisasi.
b. Mampu menetapkan diagnosa keperawatan pada Tn. I dengan prioritas masalah gangguan mobilisasi
c. Mampu menetapkan rencana intervensi asuhan keperawatan pada Tn. I dengan prioritas masalah gangguan mobilisasi.
d. Mampu melaksanakan implementasi keperawatan pada Tn. I dengan prioritas masalah gangguan mobilisasi.
e. Mampu melakukan evaluasi pada Tn. I dengan prioritas masalah gangguan mobilisasi.
4 1.3.MANFAAT
1. Sebagai salah satu cara untuk menambah wawasan serta pengetahuan bagi penulis dalam menangani kasus Imobilisasi.
2. Sebagai bahan masukan kepada Tn. I mengenai penjelasan dan penanganan Imobilisasi.
3. Untuk menambah wawasan para pembaca karya tulis ilmiah tentang prilaku kekerasan.
4. Untuk meningkatkan iptek dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah Imobilisasi.