• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masa Depan Pidana Mati di Indonesia Afir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Masa Depan Pidana Mati di Indonesia Afir"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Indonesia yang bergerak di ranah kegiatan penalaran dan pengkajian ilmiah terutama di bidang hukum. Berdiri sejak tahun 1988, LK2 FHUI diresmikan menjadi badan otonom pada tanggal 29 Mei 1999 melalui SK Mendikbud No. 155/U/1988 dengan mengacu pada ketetapan BPM FHUI No. 02/BPM/FHUI/V/1988 dan ketetapan Musma UI No. 8/Tap/Musma UI/1999 dan ketetapan BPM FHUI No. 02/BPM FHUI/V/1999. Lembaga ini lahir sebagai jawaban atas tantangan perkembangan intelektual dewasa ini yang semakin kompleks dengan mahasiswa sebagai salah satu aktor kuncinya.

Melalui berbagai kegiatan seperti diskusi rutin, forum debat, workshop dan seminar, LK2 FHUI berfungsi menjadi wadah bagi anggota-anggotanya untuk mengembangkan kemampuan ilmiah mereka, diantaranya kemampuan analisis dan berpikir kritis. Tujuannya, untuk menumbuhkembangkan pola pikir ilmiah pada anggota LK2 FHUI khususnya mahasiswa pada umumnya, serta menjadikan LK2 FHUI ini sebagai lembaga kajian yang responsif, proaktif dan dapat membentuk opini publik melalui kegiatan ilmiahnya. Diharapkan melalui kegiatan-kegiatan tersebut LK2 FHUI dapat membentuk insan cendekia yang mampu berkontribusi nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Utamanya ilmu pengetahuan hukum.

Sebagai sebuah organisasi, LK2 FHUI memiliki organ-organ yang memungkinkannya bekerja sesuai tujuan yang ditetapkan. Organ-organ tersebut adalah sebagai berikut:

 Bidang Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Manusia  Bidang Literasi dan Penulisan

 Analisis Hukum Mengenai Peran Indonesia dalam Kerangka Kerjasama Regional untuk Menangkal Praktik Dumping di Era Perdagangan Global: Studi Kasus Terigu Impor Turki – Ariawan Gunadi

 Reaktualisasi Timor Gap Treaty 1989 dalam Kerangka Pengembangan Mata Kuliah Hukum Sumber Daya Alam - Idris

Kekosongan Hukum Perlindungan ABK di Luar Negeri - June Kuncoro H.

 Masalah Penangkapan dan Penahanan ‘Manusia Perahu’ Terkait Illegal Fishing di Wilayah Perairan Indonesia dalam Perspektif Hukum Internasional - Davina

Oktivana

 Urgensi Pengakuan Hukum Kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender di Indonesia: Perspektif Partikularisme HAM – Rachminawati

 Pengaruh United Nations Convention For Corruption terhadap Pemberantasan Korupsi Indonesia dan Hubungan Indonesia dengan Dunia Internasional – Adipa

Rizky Putra

 Prinsip Non-Refoulement dalam Hukum Internasional: Bentuk Perlindungan HAM bagi Manusia Perahu Rohingya - Alfiana Qisthi

 Agresi dalam Perspektif Hukum Internasional dan Kaitannya dengan Masyarakat Berbasis Global - Ananda K. Sukarmaji

Hukum Internasional: Implementasi dan Efeknya dalam Kasus ICCPR - Angela

Vania Rustandi

Relevansi PBB di Abad ke-21: Apakah PBB Terjebak Konsepsi LBB? - Bella

Nathania

 Masa Depan Pidana Mati di Indonesia: Afirmasi Ketentuan International Covenant on Civil and Political Rights dalam Hukum Nasional Indonesia - Dion Valerian  Peran Konvensi Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik dalam Melindungi

Kelompok Minoritas: Ketentuan Pidana Hate Speech di Indonesia - Diovio Alfath Urgensi Indonesia dalam Meratifikasi Protokol Kyoto: Backfire? - Fadilla Rahmatan

Putri

 The Rapidly Changing Landscape Of International Relations: A Political-Economic Survey of Issues and Potential Research Agenda - Justin Ian Manjares

 Kekuatan Mengikat Hukum Internasional: Sebuah Analisis atas Keberlakuan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa - Sherley Mega Sandiori

(2)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI Volume 5, Juni 2015

Penanggung Jawab Redaksi

Ananda Kurniawan Sukarmaji

Pemimpin Umum

Amanda S. Besar

Wakil Pemimpin Umum

Aristyo Rizka Darmawan

Anbiya Annisa

Pemimpin Redaksi

Ni Made Chyntia Trisna Eva Dewi

Redaktur Pelaksana

Ad’jdam Riyange Zulfachmi Sugeng

Staf Redaksi

Annisa Sholihah

Rizka Nadhira

Thareq Akmal Hibatullah

M. Fatwa Faturohman

Desain dan Tata Letak

(3)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

PENGANTAR REDAKSI

Dunia telah mengalami perubahan dan perkembangan akibat globalisasi. Kenyataan tersebut membuat Indonesia dan negara lainnya bisa berhubungan satu sama lain dengan mudah. Hubungan yang bersifat kerja sama tersebut tidak jarang melibatkan kepentingan negara sebagai bagian dari masyarakat internasional. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan sebuh instrumen yang berfungsi untuk menjamin dan melindungi kepentingan masyarakat internasional, instrumen tersebut adalah hukum internasional.

Penerapan hukum internasional mencakup berbagai sektor, di antaranya: politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Namun, penerapan hukum internasional dalam berbagai negara seringkali tidak sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Salah satu contoh kasus yang saat ini sedang dibicarakan di Indonesia adalah pro dan kontra death penalty bagi terpidana kasus narkotika. Berdasarkan fakta tersebut, penting bagi setiap orang, tidak hanya terbatas bagi yang berkecimpung dalam bidang ilmu hukum, untuk mengetahui bagaimana sebenarnya penerapan hukum internasional di berbagai negara dan berbagai sektor sebagai bahan perbandingan. Hal ini menjadi perlu, mengingat kepentingan masyarakat seluruh negara dalam lalu lintas internasional semakin berkembang.

(4)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

akan muncul karya-karya berikutnya dari kalangan praktisi, akademisi, dan khususnya mahasiswa.

Akhir kata, kami dari Tim Redaksi berharap, bahwa kehadiran Juris dapat bermanfaat bagi para pembaca. Untuk itu, demi perbaikan edisi-edisi berikutnya, kami sangat mengharapkan kritik yang membangun dari semua pihak.

Selamat membaca,

(5)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

SAMBUTAN DIREKTUR EKSEKUTIF LK2

FHUI

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera bagi kita semua.

(6)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

internasional secara global dan dalam berbagai sektor sebagai bahan perbandingan. Hal ini menjadi perlu mengingat kepentingan masyarakat seluruh negara dalam lalu lintas internasional yang semakin berkembang.

Penjabaran yang di atas inilah yang menjadi latar belakang Juris

kali ini memilih tema “Menyongsong Masyarakat Hukum Berbasis Global”.

Diharapkan dengan diangkatnya tema ini dapat membangkitkan kepedulian akademisi, praktisi, dan mahasiswa, khususnya anggota LK2 FHUI terhadap permasalahan hukum internasional. Juris kali ini membuka kesempatan para penulis untuk mengeksplorasi isu-isu hukum internasional dari berbagai persepektif disiplin ilmu hukum, disertai dari berbagai sektor yang juga sudah disebutkan. Pada akhirnya, diharapkan kepedulian dengan menulis di Juris Volume 5 ini akan melahirkan pemikiran kritis serta ide-ide solutif yang efektif dan efisien untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada. Dalam Juris ini terdapat beberapa judul, yaitu: 1) Analisis Hukum Mengenai Peran Indonesia dalam Kerangka Kerjasama Regional untuk Menangkal Praktik Dumping di Era Perdagangan Global: Studi Kasus Terigu Impor Turki; 2) Reaktualisasi Timor Gap Treaty 1989 dalam Kerangka Pengembangan Mata Kuliah Hukum Sumber Daya Alam; 3) Kekosongan Hukum Perlindungan ABK di Luar Negeri; 4) Masalah Penangkapan dan

(7)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

dengan Masyarakat Berbasis Global; 9) Hukum Internasional: Implementasi dan Efeknya dalam Kasus ICCPR; 10) Relevansi PBB di Abad ke-21: Apakah PBB Terjebak Konsepsi LBB?; 11) Masa Depan Pidana Mati di Indonesia: Afirmasi Ketentuan International Convention Civil and Political Rights dalam Hukum Nasional Indonesia; 12) Peran Konvensi Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik dalam Melindungi Kelompok Minoritas: Ketentuan Pidana Hate Speech di Indonesia; 13) Urgensi Indonesia dalam Meratifikasi Protokol Kyoto: Backfire?; 14) The Rapidly Changing Landscape Of International Relations: A Political-Economic Survey of Issues and Potential Research Agenda; 15) Sebuah Analisis atas Keberlakuan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa; dan 16) Hukum Perdagangan Internasional serta Isu Lingkungan sebagai Batasan dalam Perdagangan Internasional.

Sebagaimana disebutkan, Juris merupakan jurnal terbitan LK2 FHUI sebagai wadah bagi para praktisi, akademisi, dan mahasiswa, khususnya mahasiswa LK2 FHUI untuk menyumbangkan hasil pemikiran dan gagasan sesuai dengan tema yang telah ditentukan. Semoga Juris sebagai salah satu corong produk ilmiah yang dikeluarkan LK2 FHUI dapat menjadi suatu hal yang bermanfaat bagi masyarakat luas dan penulis sendiri.

Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung terbitnya Juris Volume 5 ini. Sukses untuk kita semua.

(8)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi……… ii

Sambutan Direktur Eksekutif LK2 FHUI………...iii

Daftar Isi……….… vii

Analisis Hukum Mengenai Peran Indonesia dalam Kerangka Kerjasama Regional untuk Menangkal Praktik Dumping di Era Perdagangan Global: Studi Kasus Terigu Impor Turki (Oleh: Ariawan Gunadi)………...1

Reaktualisasi Timor Gap Tr eaty 1989 dalam Kerangka Pengembangan Mata Kuliah Hukum Sumber Daya Alam (Oleh: Idris)………...25

Kekosongan Hukum Perlindungan ABK di Luar Negeri (Oleh: June Kuncoro

Hadiningrat)………... 97

Masalah Penangkapan dan Penahanan ‘Manusia Perahu’ Terkait Illegal Fishing di Wilayah Perairan Indonesia dalam Perspektif Hukum Internasional (Oleh: Davina Oktivana)……… 116

Urgensi Pengakuan Hukum Kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender di Indonesia: Perspektif Partikularisme HAM (Oleh: Rachminawati)…… 142

Pengaruh United Nations Convention for Corruption terhadap Pemberantasan Korupsi Indonesia dan Hubungan Indonesia dengan Dunia Internasional (Oleh: Adipa Rizky Putra)……….. 176

(9)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

Agresi dalam Perspektif Hukum Internasional dan Kaitannya dengan Masyarakat Berbasis Global (Oleh: Ananda K. Sukarmaji)……… 206

Hukum Internasional: Implementasi dan Efeknya dalam Kasus ICCPR (Oleh: Angela Vania Rustandi)……… 224

Relevansi PBB di Abad ke-21: Apakah PBB Terjebak Konsepsi LBB?

(Oleh: Bella Nathania)………. 240

Masa Depan Pidana Mati di Indonesia: Afirmasi Ketentuan International Convention Civil and Political Rights dalam Hukum Nasional Indonesia

(Oleh: Dion Valerian)………... 259

Peran Konvensi Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik dalam Melindungi Kelompok Minoritas: Ketentuan Pidana Hate Speech di Indonesia (Oleh: Diovio Alfath)……….. 278

Urgensi Indonesia dalam Meratifikasi Protokol Kyoto: Backfire?(Oleh: Fadilla Rahmatan Putri)………... 298

The Rapidly Changing Landscape Of International Relations: A Political-Economic Survey of Issues and Potential Research Agenda (Oleh: Justin Ian

Manjares)………. 310

Kekuatan Mengikat Hukum Internasional: Sebuah Analisis atas Keberlakuan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Oleh: Sherley

Mega Sandiori)………. 336

(10)

MASA DEPAN PIDANA MATI DI INDONESIA: AFIRMASI

KETENTUAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND

POLITICAL RIGHTS DALAM HUKUM NASIONAL INDONESIA

Dion Valerian 1

Abstract

Indonesia as a pa rt of the international society has ratified The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) through La w Number 12 of the Year 2005. Rule witihin the ICCPR that is used to be a n analytical basis for this essay is Article 6 of the ICCPR that regulates the right to life and matters about the restriction of the death penalty penalization within states that have not abolished the death penalty. In

Indonesia’s own positive law, the death penalty is one of the primary

penalty forms according to Article 10 of the Penal Code of Indonesia. The Constitutional Court of Indonesia through Decision Number 2-3/PUU-V/2007 also has decided the constitutionality of the death penalty. In the agenda of Indonesian criminal la w reform, there is the Draft of the Penal Code of Indonesia which also regulates about the penalization of the death penalty but the regulation is essentially different with the regulation in the Penal Code of Indonesia that exists now. How is the connection between the ICCPR rules and Indonesian national la w about the death penalty? To provide a proper answer to this question, the author investigates and analyses the layers of rules that regulate the death penalty in the ICCPR, the Penal Code of Indonesia, the Decision of the Constitutional Court of Indonesia Number 2-3/PUU-V/2007 and the Draft of the Penal Code of Indonesia.

Keywords: death penalty, draft of the penal code of Indonesia, ICCPR

1

(11)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

I. PENDAHULUAN

Ide awal tulisan ini lahir dari rasa keingintahuan penulis terhadap hubungan antara pengaturan hak untuk hidup dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang di dalamnya mengatur tentang pidana mati, dengan ketentuan pidana mati dalam sistem hukum nasional Indonesia. Pengembangan terhadap ide awal itu membawa penulis pada analisis mengenai posisi Indonesia dalam masyarakat internasional dan hak untuk hidup dalam ICCPR. Selain itu, untuk mengetahui lebih dalam mengenai pidana mati di Indonesia, penulis melakukan analisis terhadap pengaturan mengenai pidana mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan undang-undang lain, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2-3/PUU-V/2007, dan ketentuan pidana mati dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP.

Ternyata, penulis mendapati adanya dinamika dan perkembangan pemikiran mengenai pidana mati apabila dilihat dari tiga dokumen hukum tersebut. Penulis juga menemukan terdapatnya keterkaitan antara ketentuan ICCPR dengan Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 dan RUU KUHP yang saling berkelindan-paut. Uraian dalam tulisan ini penulis pisahkan dalam beberapa subjudul untuk memudahkan pembaca dalam memahaminya.

II. ISI

A. INDONESIA DAN MASYARAKAT INTERNASIONAL

(12)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

diatur oleh tertib hukum internasional tersebut, sehingga eksistensi masyarakat internasional-lah yang menjadi landasan sosiologis adanya hukum internasional. Masyarakat internasional menjadi ada ketika terdapat dua unsur, yaitu adanya negara-negara dan adanya hubungan yang tetap antara negara-negara tersebut sebagai anggota masyarakat internasional. Hubungan yang tetap itu merupakan manifestasi atas adanya sifat saling membutuhkan antara masing-masing anggota masyarakat internasional tersebut. Kepentingan bersama berupa hubungan internasional itu perlu ditertibkan, diatur dan dipelihara sehingga dibutuhkan hukum untuk menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur.2

Dua unsur yang telah diuraikan di atas, menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja, hanyalah merupakan fakta fisik belaka, sehingga penjelasan mengenai kumpulan bangsa-bangsa agar dapat benar dikatakan sebagai masyarakat internasional memerlukan faktor pengikat yang bersifat metafisik (nonmateriil), yang mengakari realitas fisik tersebut. Faktor pengikat yang metafisik tersebut adalah kesamaan hukum antara bangsa-bangsa di dunia, betapa pun berlainan wujudnya hukum positif yang berlaku di masing-masing negara. Asas pokok hukum mengenai adanya kesamaan inilah yang dalam studi mengenai sumber hukum formil disebut dengan asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. Tampak kental corak filsafat hukum kodrat dalam asas ini.3

Untuk memperjelas konsep mengenai Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional yang telah meratifikasi ICCPR, rancangan epistemologis yang perlu dibangun adalah pemahaman mengenai kenyataan

2

_Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, cet. 3, (Bandung: Alumni, 2012), hlm. 12-13.

3

(13)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

Indonesia sebagai salah satu subyek hukum internasional dan ICCPR sebagai salah satu bentuk perjanjian sebagai sumber hukum internasional. Subyek hukum internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum internasional, sehingga anggapan klasiknya adalah bahwa yang memenuhi definisi ini hanyalah negara. J. G. Starke juga menyebut bahwa negara adalah subyek utama hukum internasional.4 Di samping itu, terdapat pula pandangan yang menjelaskan definisi subyek hukum internasional secara lebih luas, yaitu kepada pihak-pihak yang juga memiliki hak dan kewajiban tersebut namun sifatnya terbatas. Jika mengikuti perspektif demikian, subyek hukum internasional adalah: a. negara; b. Tahta Suci Vatikan; c. Palang Merah Internasional; d. organisasi internasional; e. orang perorangan; dan f. pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent).5 Sehingga, dapat disimpulkan bahwa Indonesia adalah negara sebagai subyek hukum internasional.

Sumber materiil hukum internasional merupakan bahan-bahan aktual yang digunakan oleh para ahli hukum internasional untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi suatu situasi tertentu.6 Sumber hukum internasional secara positif diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional (Statute of The International Court of Justice). Dijelaskan bahwa dalam hal mengadili perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Internasional akan mempergunakan: a. perjanjian internasional; b. kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum; c. prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab; dan d. keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling

4

_J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional [Introduction to International La w], diterjemahkan oleh Sumitro L. S. Danuredjo dan Lukas Ginting, (Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1988), hlm. 83.

5

_Kusumaatmadja, Op. Cit., hlm. 98-110.

6

(14)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum.7 Boer Mauna menjelaskan bahwa definisi perjanjian internasional adalah semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subyek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat hukum.8 Untuk mengikatkan diri dengan ICCPR, Indonesia melakukan ratifikasi (pengesahan) melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

B. HAK UNTUK HIDUP DALAM ICCPR

Hak untuk hidup (right to life) dalam ICCPR diatur dalam Pasal 6 ICCPR. Pasal 6 ayat (1) ICCPR merumuskan bahwa setiap orang berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak tersebut wajib dilindungi oleh hukum dan tidak seorang pun dapat dirampas hak untuk hidupnya secara sewenang-wenang. Selanjutnya pasal 6 ayat (2) ICCPR menjelaskan bahwa di negara-negara yang belum menghapuskan pidana mati, putusan pidana mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius (the most serious crimes)9 sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, serta tidak bertentangan dengan ketentuan ICCPR dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman bagi Kejahatan Genosida. Pidana mati hanya dapat dilaksanakan atas dasar

7

_Kusumaatmadja, Op. Cit., hlm. 114-115.

8

_Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, ed. 2, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 85-88.

9

_International Commission against the Death Penalty dalam publikasinya “The Death Penalty and The “Most Serious Crimes”, A Country-by-country Overview of the Death Penalty in Law and Practice in Retentionist State,” (Februari 2013) hlm. 4 menjelaskan bahwa UN Special Rapporteur menafsirkan “most serious crimes” dengan

(15)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang. Pasal 6 ayat (3) ICCPR merumuskan bahwa apabila suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan genosida, harus dipahami, bahwa tidak satu pun dalam Pasal ini yang memberikan kewenangan pada Negara Pihak, untuk mengurangi kewajiban apapun yang telah dibebankan oleh ketentuan dalam Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman bagi Kejahatan bagi Kejahatan Genosida. Kemudian Pasal 6 ayat (4) ICCPR menjelaskan bahwa setiap orang yang telah dijatuhi pidana mati berhak untuk memohon pengampunan atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau penggantian pidana mati dapat diberikan dalam semua kasus. Pasal 6 ayat (5) ICCPR menjelaskan bahwa pidana mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di bawah delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan yang tengah mengandung. Pasal 6 ayat (6) menutup ketentuan Pasal 6 ICCPR dengan menentukan bahwa tidak ada satupun ketentuan dalam Pasal 6 ICCPR yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan pidana mati oleh Negara yang menjadi Pihak dalam ICCPR.10

William A. Schabas menyebut bahwa ketentuan dalam Pasal 6

ayat (6) ini “really more progra mmatic than normative”11 (“benar-benar

lebih bersifat programatik daripada normatif” –terjemahan oleh penulis) dan

“… the word ‘abolition’ appears in two separate paragraphs, 2 and 6, indicating that the Covenant contemplates abolition, without however

10

_United Nations, International Covenant on Civil and Political Rights, Psl. 6.

11

(16)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

imposing an immediate obligation of States parties”12 (“… kata ‘abolisi’ muncul dalam dua paragraf terpisah, yaitu paragraf 2 dan 6, menunjukkan bahwa Kovenan merenungkan tentang abolisi, dengan tanpa memaksakan

kewajiban tersebut secara secepatnya kepada Negara Pihak” – terjemahan oleh penulis). Menarik kesimpulan berdasarkan uraian di atas, penulis berpandangan bahwa meskipun Indonesia belum meratifikasi Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, yang mengharuskan negara pihak dalam protokol tersebut untuk menghapuskan pidana mati,13 Indonesia harus tetap mengusahakan pencegahan penjatuhan pidana mati dengan arah tujuan yang jelas: penghapusan pidana mati dalam sistem hukum nasional.

C. PIDANA MATI DALAM KUHP DAN UU LAIN

Pidana mati adalah salah satu bentuk pidana pokok yang diatur Pasal 10 KUHP. Pasal 10 KUHP menjelaskan bahwa pidana terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok tersebut terdiri atas: a. pidana mati; pidana penjara; c. pidana kurungan; dan d. pidana denda. Pidana tambahan berbentuk: a. pencabutan hak-hak tertentu; b. perampasan barang-barang tertentu; c. pengumuman putusan hakim.14 Dalam KUHP, pidana mati diancamkan dalam Pasal 104, Pasal 111 ayat (2), Pasal 124 ayat (3), Pasal 140, Pasal 340, Pasal 365 ayat (4), Pasal 444, dan Pasal 368 ayat (2). KUHP yang diterapkan di Indonesia sekarang pada hakikatnya dibuat oleh penjajah Belanda dan dirumuskan dalam alam pikir masa penjajahan. Alam pikir masa penjajahan demikian penulis pandang telah tidak cocok dengan

12

_William A. Schabas, The Abolition of the Death Penalty in International Law, (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), hlm. 47.

13

_United Nations, Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty, Psl. 1.

14

(17)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

perkembangan hukum, baik di kancah nasional maupun internasional dewasa ini.

Pasal dengan ancaman pidana mati selain dalam KUHP terdapat

pula dalam UU lain. Tim Imparsial menjelaskan dalam buku “Menggugat Hukuman Mati di Indonesia” bahwa setidaknya terdapat 13 UU lain yang memiliki pidana mati sebagai salah satu ancaman pidananya, di antaranya yaitu:15 a. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika pada Pasal 59 ayat (2); b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika pada Pasal 80 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 81 ayat (3), Pasal 82 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 83; c. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi pada Pasal 2 ayat (2); d. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada Pasal 36, Pasal 37, Pasal 41 dan Pasal 42 ayat (3); d. UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16; dan e. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 89 ayat (1).

D. PIDANA MATI MENURUT PUTUSAN MK NOMOR

2-3/PUU-V/2007

Jika dibandingkan dengan ketentuan pidana mati dalam KUHP, uraian mengenai putusan ini penulis pandang penting untuk menggambarkan pergeseran paradigma mengenai pidana mati dalam konstelasi pemikiran hukum Indonesia. Putusan ini dapat dijadikan dasar pemahaman mengenai

“perlakuan khusus” terhadap pidana mati yang juga diterapkan dalam RUU

KUHP. Isu pokok permohonan dalam Putusan ini adalah apakah ketentuan pidana mati dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3)

15

(18)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (sekarang telah digantikan oleh UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945).16 Ketentuan pidana mati dalam pasal-pasal tersebut dipandang oleh Pemohon melanggar Pasal 28 A, Pasal 281 ayat (1) dan ayat (4) UUD NRI 1945.17Pasal 28A UUD NRI 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan

kehidupannya” dan Pasal 28I UUD NRI 1945 ayat (1) menentukan bahwa:

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Kemudian, Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945 menjelaskan bahwa

“Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia

adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.

MK dalam pertimbangannya memandang bahwa terdapat dua argumen yang dijadikan Pemohon sebagai landasan pembenarnya, yaitu: a. pencantuman pidana mati dalam UU Narkotika bertentangan dengan UUD NRI 1945, secara khusus dengan Pasal 28A, Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945; serta b. pencantuman pidana mati dalam UU Narkotika bertentangan dengan keberadaan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional yang menghendaki dihapusnya pidana mati. Untuk

16

_Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007, hlm. 402. Uraian dalam subjudul ini menggunakan Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 tersebut sebagai referensi pokok.

17

(19)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

dalil pertama, pada pokoknya MK menjelaskan bahwa jika dilihat dari perspektif original intent pembentuk UUD NRI 1945, seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD NRI 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Semangat pembatasan inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD NRI 1945.18 Lebih lanjut, MK menjelaskan bahwa:19

Original intent pembentuk UUD 1945 (MK menggunakan

terminologi “UUD 1945” bukan “UUD NRI 1945” –tambahan oleh penulis) yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Jadi, secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.

Maka, berdasarkan pertimbangan tersebut, MK berpandangan bahwa hak untuk hidup tidaklah bersifat mutlak. Selanjutnya, mengenai dalil kedua, MK pada pokoknya berpandangan bahwa berdasarkan ketentuan

ICCPR, pidana mati masih dapat dijatuhkan pada “the most serious crimes”,

yang mana MK memandang bahwa kejahatan narkotika dapat disetarakan

dengan “the most serious crimes” menurut ketentuan Pasal 6 ICCPR.

Penulis memandang bahwa terdapat pertimbangan yang menarik dalam putusan ini. MK menjelaskan bahwa terlepas dari pendapat MK

18

_Pasal 28J UUD NRI 1945 terdiri dari dua ayat. Ayat (1) menjelaskan bahwa “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. Ayat (2) menjelaskan bahwa:

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

19_Indonesia, Putusan…, Op. Cit

(20)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

perihal tidak bertentangannya pidana mati dengan UUD NRI 1945 bagi kejahatan-kejahatan tertentu dalam UU Narkotika yang dimohonkan pengujiannya,20 MK berpendapat bahwa ke depan, dalam rangka pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-perundangan yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan hukuman mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh hal-hal berikut:21

a. pidana mati bukan lagi merupakan pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif;

b. pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun;

c. pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;

d. eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh.

Empat poin pertimbangan ini menarik, karena menurut penulis MK memahami bahwa pidana mati adalah jenis pidana yang irrevocable (tak dapat dipulihkan) dan harus diadakan pembatasan terhadapnya. Pembatasan-pembatasan ini haruslah dilakukan dengan memperhatikan empat poin yang jelas-jelas merupakan afirmasi (penegasan, peneguhan) norma hukum dalam Pasal 6 ICCPR. Hal demikian menurut penulis adalah implementasi

20

_Dapat pula dibaca dalam Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk Agung, 2011), hlm. 103-116.

21

(21)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

ketentuan ICCPR dalam hukum nasional. Empat poin di atas tersebut yang kemudian kita temukan juga dalam ketentuan RUU KUHP mengenai pidana mati. Juga merupakan hal yang menarik menurut penulis, bahwa Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 ini bukanlah merupakan keputusan bulat oleh sembilan orang Hakim Konstitusi. Tiga orang Hakim Konstitusi yaitu Achmad Roestandi, M. Laica Marzuki, dan Maruarar Siahaan mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion) bahwa pidana mati yang tujuan utamanya mencabut hak untuk hidup seseorang bertentangan dengan UUD NRI 1945.

E. PIDANA MATI DALAM RUU KUHP

Penulis memandang bahwa RUU KUHP sebagai ius constituendum (hukum yang dicita-citakan) dapat memberikan gambaran

mengenai “masa depan” pidana mati di Indonesia. Afirmasi terhadap ketentuan ICCPR tersebut dirumuskan dengan semakin terperinci dalam RUU KUHP. Bahkan RUU KUHP mengatur beberapa hal yang tidak diatur dalam pembatasan pidana mati dalam ICCPR.

Pasal 65 RUU KUHP menjelaskan bahwa pidana pokok terdiri atas: a. pidana penjara; b. pidana tutupan; c. pidana pengawasan; d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial. Urutan pidana tersebut menentukan berat ringannya pidana.22 Terdapat perbedaan pengaturan mengenai pidana pokok dalam KUHP dan RUU KUHP. Dapat dilihat bahwa dalam RUU KUHP, pidana mati tidak lagi termasuk dalam pidana pokok, berbeda dengan pidana pokok versi KUHP yang memasukkan pidana mati sebagai jenis pidana

pokok. Pidana pokok dalam RUU KUHP memiliki tempat yang “khusus”,

22

(22)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

karena Pasal 66 RUU KUHP mengatur bahwa pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.23 Penulis berpendapat bahwa pengaturan ini secara implisit menyatakan bahwa pidana mati adalah jenis pidana yang hanya dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus tertentu, serta pengancamannya harus secara alternatif agar tetap ada kemungkinan menjatuhkan putusan berbentuk pidana perampasan kemerdekaan yang lebih ringan dibanding pidana mati.

Dalam RUU KUHP, pidana mati diatur lebih terperinci dalam Paragraf 11 tentang Pidana Mati, Pasal 87 hingga Pasal 90. Menurut penulis, hal tersebut menarik sebab pidana mati diuraikan dalam pasal-pasal yang mengatur dengan detail mengenai konsep dan pelaksanaan pidana mati yang cukup memperhatikan keadaan terpidana mati karena memungkinkan adanya perubahan dari pidana mati ke pidana perampasan kemerdekaan. Dalam Rancangan Penjelasan UU KUHP, dijelaskan bahwa:24

Pidana mati yang ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan, dan dapat diganti dengan pidana perampasan kemerdekaan.

23

_Ibid., Psl. 66. Dijelaskan pula dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, cet. 4, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 94-95.

24

(23)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

Pasal 87 hingga Pasal 90 RUU KUHP tersebut secara lengkap penulis kutipkan:25

Pasal 87

Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.

Pasal 88

(1) Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak.

(2) Pelaksanaan pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di muka umum.

(3) Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda hingga wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.

(4) Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak oleh Presiden.

Pasal 89

(1) Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 ( sepuluh) tahun, jika:

a. reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; b. terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan

untuk diperbaiki;

25

(24)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

c. kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan

d. ada alasan yang meringankan.

(2) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

(3) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

Pasal 90

Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana melarikan diri maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.

(25)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

I. KESIMPULAN

Untuk menutup tulisan ini, ada beberapa hal yang penulis pandang patut disampaikan. Pertama, RUU KUHP sebagai ius constituendum hukum pidana Indonesia telah menjadikan pidana mati sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan terdapat banyak pembatasan dalam hal penjatuhan pidana mati. Kedua, meskipun demikian, tetap saja pidana mati belum dihapuskan dalam hukum Indonesia. Namun, dengan adanya pengetatan pengaturan ini, penulis mengharapkan adanya moratorium penjatuhan pidana mati dan pemidanaan tersebut dialihkan pada pilihan alternatif yaitu pidana perampasan kemerdekaan. Ketiga, diperlukan adanya pemahaman di benak

para jaksa dan hakim mengenai konsep “kekhususan” pidana mati dalam

(26)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

DAFTAR PUSTAKA

Konstitusi

Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Putusan Pengadilan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007.

Perjanjian Internasional

United Nations. International Covenant on Civil and Political Rights.

United Nations. Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty.

Buku

Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, cet. 4. Jakarta: Kencana, 2014.

Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional, cet. 3. Bandung: Alumni, 2012.

Mauna, Boer. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, ed. 2. Bandung,: Alumni, 2005.

Schabas, William A. The Abolition of the Death Penalty in International La w. Cambridge: Cambridge University Press, 2002.

(27)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

Starke, J. G. Pengantar Hukum Internasional [Introduction to International La w]. Diterjemahkan oleh Sumitro L. S. Danuredjo dan Lukas Ginting. Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1988.

Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung: Lubuk Agung, 2011.

Rancangan Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia. Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Artikel

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. “Pasal Hukuman Mati dalam

Perundang-undangan.” Asasi, (November-Desember 2014): 1

– 24.

International Commission against the Death Penalty. “The Death Penalty and The “Most Serious Crimes”, A Country-by-country Overview of the Death Penalty in Law and Practice in Retentionist State.” (Februari 2013): 1 – 39.

Makalah

Schabas, William A. “The Abolition of Capital Punishment from an International Law Perspective.” Makalah disampaikan pada International Society for the Reform of Criminal Law 17th

International Conference “Convergence of Criminal Justice

(28)

Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI

BIODATA PENULIS

Referensi

Dokumen terkait

(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar

Berdasarkan fenomena yang ada penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Analisis Deskriptif Dampak Pelaksanaan Pengabdian Masyarakat Pada Usaha Kecil

Di samping itu, melakukan analisis gap persyaratan standar dan regulasi Indonesia terhadap FDA untuk mengembangkan strategi perumusan kebijakan keamanan produk

Pengertian demokratis dimaksud berjalan aman dan tertib, juga pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik gubernur dan wakilnya maupun bupati dan

Tahapan sama dengan cara mengukur tempat tersedia pada rahang atas, hanya saja brasswire diletakkan pada oklusal gigi dimulai dari mesial M1 permanen kiri, menyusuri cusp

a) Di depan sakelar harus dipasang pemisah atau gawai lain yang sekurang-kurangnya sederajat untuk memastikan sakelar tersebut bebas tegangan. b) Pada pelayanan

Berdasarkan hasil uji statistik menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna dari waktu terjadinya kompos antara penambahan larutan MOL nasi basi dengan kontrol,

Jika dilihat dari jumlah pakan yang diberikan, maka perlakuan dengan jumlah pakan yang lebih banyak, hasil panen jumlah kepiting yang masih dalam kondisi kurus lebih