• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari lokal ke global Berfikir kontekstua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dari lokal ke global Berfikir kontekstua"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Dari lokal ke global:

Berfikir kontekstual, indigenous psychology, dan masa depan psikologi Indonesia di arena internasional1

Moh. Abdul Hakim

Prodi Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Abstrak

Indigenous psychology (IP) merupakan salah satu pendekatan baru dalam bidang psikologi yang saat ini semakin populer, terutama di kalangan para akademisi di kawasan Afrika, Pasifik, dan Asia, termasuk Indonesia. Berbeda dengan psikologi mainstream yang terobsesi dengan teori-teori yang bersifat universal dan bebas nilai, pendekatan IP justru mendorong para psikolog untuk mampu berpikir secara kontekstual; memahami perilaku dan proses mental berdasarkan partikularitas latar dimana keduanya muncul, baik itu dari segi latar kesejarahan, kultur, agama, sosial-ekonomi, dan lain sebagainya. Di dalam kuliah saya nanti, saya akan memaparkan rangkuman teoritis, hasil penelitian empiris, dan beberapa gagasan yang bertujun untuk menjawab tiga pertanyaan berikut, yaitu (i) mengapa kita perlu mengubah cara berfikir dari pola deduktif ke arah yang lebih kontekstual? (ii) apa relevansi IP dengan trend penelitian global? Dan, (iii) riset-riset seperti apa yang diperlukan oleh dunia psikologi di Indonesia agar dapat mendapatkan posisi terhormat di dalam forum akademik internasional? Saya berharap bahwa tiga hal pokok yang ingin saya share inimampu menstimulasi semangat para akademisi muda untuk melakukan penelitian dengan pendekatan IP dan sekaligus menawarkan sebuah gagasan alternatif tentang peta riset psikologi Indonesia di masa depan.

Kata kunci: berfikir kontekstual, indigenous psychology, psikologi Indonesia, trend riset psikologi global

Mengapa perlu berfikir secara kontekstual?

Setiap kali saya memulai diskusi tentang indigenous psychology (IP), saya selalu teringat bagaimana Professor Uichol Kim--mentor saya—selalu mengawali uraiannya dengan

1

(2)

meyakinkan para mahasiswa bahwa berfikir kontekstual merupakan sebuah keniscayaan. Hal ini mudah dimengerti mengingat cara berfikir kontekstual itu sendiri merupakan kunci dalam pendekatan IP (Kim & Berry, 1993; Allwood & Berry, 2006; Hwang, 2006). Baik, sekarang ini saya memilih melakukan cara yang sama.

Bayangkan bola dunia berada di hadapan Anda, ia bersinar biru dengan torehan-torehan warna hijau dan kelabu di beberapa bagiannya. Bola bumi ini terlihat memantulkan cahaya matahari dengan indah di tengah ruang gelap alam semesta. Nah, sekarang cobalah Anda renungkan, apakah Anda sebagai manusia tinggal di bumi dengan kondisi seperti apa adanya di sana? Ataukah, sebenarnya Anda tinggal di dunia yang dikonstruksikan?

Hewan dan tumbuhan tinggal di alam yang mereka terima apa adanya. Mereka hidup dengan cara merespon setiap stimulasi yang muncul dari lingkungan hidupnya. Untuk bertahan hidup, mereka melakukan penyesuaian diri. Hewan dan tumbuhan tidak memiliki kesadaran untuk melakukan proses berfikir dan melakukan evaluasi, dan tidak memiliki intensitas untuk merespon dengan cara tertentu. Respon hewan dan tumbuhan muncul secara otomatis sebagaimana digambarkan oleh hukum S-R dalam pendekatan Behaviorisme (Skinner, 1960). Tentu saja manusia memiliki cara respon terhadap alam semesta yang berbeda dengan hewan dan tumbuhan. Manusia adalah makhluk yang memiliki kesadaran, yang memungkinkannya untuk tidak hanya mempersepsi stimulus, melainkan juga melakukan evaluasi atasnya dan memiliki kemampuan untuk menentukan respon tertentu yang menurutnya paling efektif. Aspek kesadaran inilah yang oleh Albert Bandura (1997) disebut sebagai agency. Berkat agency manusia tidak hanya menerima kondisi lingkungan hidupnya sebagaimana adanya atau semata-mata melakukan adaptasi melainkan juga mampu mengelola sumber daya untuk memenuhi kepentingan-kepentingan hidupnya. Dalam perspektif perilaku transaksional (Bandura, 1997; Kim, 2006), manusia mampu menjalin hubungan timbal balik dengan lingkungan hidupnya. Ia melakukan adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan sekaligus secara kreatif mengelola sumber daya lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Hubungan transaksional antara manusia dengan lingkungan ekologis menyebabkan munculnya variasi cara berfikir dan perilaku dari satu konteks ekologis dengan konteks ekologis lainnya (Berry, 1993). Dengan kerangka pikir tersebut, budaya kemudian dipahami sebagai separangkat nilai kolektif yang berfungsi untuk mengkoordinasikan perilaku semua anggota komunitas dalam rangka mencapai tujuan bersama di dalam konteks ekologis tertentu (Kim & Berry, 1996; Kim, 2006). Dalam hal ini, tata nilai kultural memiliki fungsi sebagai kerangka kerja dasar mental manusia (mental framework) (Hong, 2009). Secara lebih sederhana, cara kerja sistem nilai budaya di dalam sistem kognitif manusia dapat diibaratkan seperti cara kerja Operating System dalam sebuah CPU. Meskipun di sisi lain kita juga harus menyadari bahwa proses kerja CPU ini menjadi sangat berbeda dengan sistem kognitif manusia karena di sana tidak terdapat intensi.

(3)

lantas diikuti oleh respon yang sama apabila terjadi di dalam konteks yang berbeda-beda. Sebuah stimulus obyektif berupa secarik kain merah putih akan dimaknai secara berbeda oleh orang Indonesia dan orang Australia. Apabila Anda membakar atau menginjak-injak kain merah putih tersebut di tengah pasar Beringharjo Yogyakarta dan dilihat oleh banyak orang termasuk polisi, saya kira konsekuensi nasib yang akan Anda alami selanjutnyajauh lebih tragis bila dibandingkan jika Anda melakukannya di tengah perkampungan Aborigin di Australia. Sebuah perilaku tidak cukup hanya dipahami berdasarkan stimulus yang mendahuluinya melainkan mengharuskan kita memahami kerangka nilai kultural individu yang terpapar oleh stimulus tersebut.Memahami perilaku secara kontekstual inilah yang menjadi epistimologi dalam pendekatan indigenous psychology.

Indigenous psychology sebagai bagian dari global psychology

Indigenous psychology sebenarnya bukan satu-satunya pendekatan yang menekankan pentingnya mempertimbangkan pengaruh konteks budaya di dalam proses mental dan perilaku. Interaksi antara pendekatan kultural dan psikologi setidaknya melahirkan tiga perspektif dalam psikologi (Kim, 2000), yaitu perspektif universalis yang direpresentasikan oleh psikologi lintas budaya (cross-cultural psychology, CCP), perspektif kontekstualis yang direpresentasikan oleh psikologi kultural (cultural psychology, CP), dan, yang terakhir,perspektif integrasionis yang diwakili oleh indigenous psychology. Untuk memahami keunikan IP dibandingkan dua pendekatan lainnya, berikut saya akan memberikan ulasan singkat mengenai CCP dan CP kemudian selanjutnya saya akan mencoba memberi paparan tentang IP secara lebih detail.

1. Psikologi lintas budaya

Berry, Poortinga, Segall dan Dasen (2004) mendefinisikan psikologi lintas budaya sebagai "the scientific study of human behavior and its transmission, taking into account the ways in which behaviors are shaped and influenced by social and cultural forces". Di dalam pendekatan ini, budaya diposisikan secara superfisial sebagai sebuah variabel independen semu yang menyebabkan variasi dalam persepsi, proses-proses kognitif, psikopatologis, kepribadian dan lain sebagainya (Berry, 1980; Kim, 2006; Kim, Park & Park, 2000). Para psikolog lintas budaya biasanya berupaya untuk membuktikan universalitas sebuah teori, alat ukur atau model intervensi dengan cara menguji kecocokannya pada berbagai komunitas kultural.

(4)

2. Psikologi budaya

Berkebalikan dengan pendekatan psikologi lintas budaya, para psikolog budaya menggunakan perspektif kontekstualis dengan asumsi bahwa mentalitas dibentuk oleh konteks budaya (Chiu & Chao, 2009). Hal ini mengimplikasikan pandangan dasar mereka bahwa mentalitas sebuah komunitas kultural tertentu selalu bersifat unik dan partikularsehingga tidak dapat diperbandingkan dengan mentalitasdari komunitas-komunitas kultural lainnya. Shweder (1991) mendefiniskan psikologi budaya sebagai “...the study of the way cultural traditions and social practices regulate, express, and transform the human psyche, resulting less in psychic unity for humankind than in ethnic divergences in mind, self, and emotion”.

Meskipun para sarjana psikologi kultural telah diakui kontribusinya dalam membawa isu bias etnosentrisme psikologi Barat ke dalam wacana psikologi mainstream (lihat Markus & Kitayama, 1991; Heinrich, Heine & Norenzayan, 2010), akan tetapi mereka mendapatkan kritik tajam dalam hal pengabaiannya terhadap aspek universalitas manusia. Kita memang bisa melihat variasi ekspresi perilaku antar konteks budaya, akan tetapi pada lapisan yang lebih dalam kita tetap dapat menemukan faktor-faktor universal yang melandasi variasi perilaku tersebut. Para integrasionis memahami budaya bukan sebagai sebuah variabel independen semu yang mempengaruhi munculnya perilaku melainkan sebagai mediator yang akan menentukan bagaimana cara sebuah perilakuterekspresikan di dalam konteks ekologistertentu (Enriquez, 1993; Barkow, Cosmides, & Tooby, 1992; Kim, 2000; Liu & Ng, 2007).

.

Masyarakat Liyan 3 Masyarakat

Liyan 2 Masyarakat

Liyan 1

Psikologi Mainstream

Psikologi Global IP 1

IP 2

IP 3

IP 4 Psikologi kultural 1

Psikologi kultural 3

Psikologi kultural 2

(A) (B)

(5)

Bagan 1

Perspektif (A) universalisme psikologi lintas budaya, (B) kontekstualisme psikologi budaya, dan (C) integrasionisme indigenous psychology

IP merupakan suatu pendekatan yang berupaya mengakomodasi baik aspek partikularitas maupun aspek universalitas dari perilaku manusia (Allwood & Berry, 2010). Kim dan kolega-koleganya (Kim & Berry, 1993; Kim, 2000; Kim, Park, & Park, 2000) mendefinisikan IP sebagai psikologi yang berasal dari orang lokal, dikembangkan oleh orang lokal, dan digunakan untuk kepentingan orang lokal. Walaupun orientasi IP lebih diarahkan kepada kepentingan orang lokal, akan tetapi di sisi lain mereka juga memiliki agenda untuk membangun psikologi global (Enriquez, 1993; Ho, 1993). Berbeda dengan universalitas ala psikologi mainstreamyang mengandung bias etnosentris (Berry, dkk., 2004) dan terlalu terhegemoni oleh pandangan hidup (world view) sekelompok kecil orang Barat kulit putih kelas menengah (Heinrich, Heine & Norenzayan, 2010), psikologi global yang dicita-citakan ini merupakan representasi akumulasi aspek kesamaan dari studi-studi IP dari berbagai konteks budaya yang masing-masing bersifat saling melengkapi dan berada di dalam posisi yang egaliter (Enriquez, 1993; Ho, 1993; Kim, Hwang, & Yang, 2006). Dengan pengertian ini, psikologi mainstream yang ada sekarang akan diposisikan sebagai IP-nya orang-orang Barat (Hwang, 2003)

Enriquez (1993) memetakan dua model indigenisasi yang umum digunakan oleh para peneliti IP dalam mengembangkan psikologi global, yaitu indigenisasi dari jalur luar (indigenization from without) dan indigenisasi dari jalur dalam (indigenization from within).

Indigenisasi dari jalur luar merupakan usaha indigenisasi dengan cara mengambil konsep, teori, dan metode psikologi yang sudah ada dan memodifikasinya sehingga menjadi fit secara kultural (Kim, 2000). Di dalam model ini, peneliti berusaha menghindari asumsi awal tentang universalitas suatu teori sebagaimana yang umum dimiliki oleh para peneliti lintas budaya dan menggunakan pengetahuan emic dari suatu konteks budaya untuk memodifikasi dan mengadaptasi suatu teori. Dengan pendekatan jalur dari luar, peneliti menempatkan diri sebagai ‘orang luar’ dan, melalui pendekatan top-down, menempatkan budaya lokal sebagai target indigenisasi (Enriquez, 1993). Studi Cheung (2004) tentang Six Factors of Chinese Personality Traits Theory dan Hakim (2012) tentang konsep kelekatan orangtua-anak di Jawa merupakan dua contoh penelitian yang cukup merepresentasikan pendekatan ini.

(6)

contoh yang menarik tentang bagaimana mengaplikasikan pendekatan ini dalam pengembangan konsep psikologi Jawa rukun dalam setting kehidupan sosial.

Perbandingan dengan metode, teknik,konsep-konsep lain, dsb.

Transfer teknologi; modernisasi

Indigenisasi dari jalur dalam

Dasar: dorongan dari dalam (indigenous) Arah: ke luar (kultur sebagai sumber)

Indigenisasi dari jalur luar

Dasar: dorongan dari luar (exogenous) Arah: ke dalam (kultur sebagai target) Bagan 2

Konsep indigenisasi dari jalur dalam dan indigenisasi dari jalur luar (Enriquez, 1993) Bagan 2 saya cuplik dari Enriquez (1993) untuk menggambarkan alur proses kedua model indigenisasi dari jalur dalam dan dari jalur luar. Indigenisasi dari jalur luar diawali oleh motivasi dari ‘orang luar’ untuk mengetahui partikularitas konstruk psikologis tertentu di dalam suatu komunitas kultural. Proses indigenisasi diawali dari kajian eksploratif terhadap pengetahuan-pengetahuan indigenous dengan tujuan untuk mendapatkan penjelasan emic terhadap suatu konstruk kemudian menyusun ulang atau memodifikasi alat tes atau skala dan menerjemahkan material-material impor yang relevan. Berdasarkan langkah awal tersebut peneliti kemudian melakukan abstraksi teoritis untuk mengembangkan teori indigenous baru atau memodifikasi teori tertentu yang sudah ada. Dengan demikian, indigenisasidari dari jalur luar berperan sebagai sebuah strategi asimilasi kultural untuk mendapatkan versi indigenous dari sebuah konsep psikologis yang diimpor dari luar (Enriquez, 1993; Kim, 2000)

Pendekatan indigenisasi dari jalur luar mendapatkan banyak kritik dari para psikolog indigenous. Meskipun seorang peneliti berusaha menyingkirkan berbagai asumsi apriori nya, bagaimanapun juga pengalaman hidup, nilai-nilai budaya asal yang menempel, dan epistimologi yang ia bawa di dalam sistem berfikir akan turut mempengaruhi bagaimana ia melakukan interpretasi atas temuannya (Yang, 2004; Hwang, 2005). Selain itu, Kim (2000)

INDIGENOUS

Asimilasi budaya, versi indigenous dari konsep impor

Indigenisasi sebagai sebuah strategi

Indigenisasi teoritis

Indigenisasi isi, modifikasi tes, dan penerjemahan material impor

EXOGENOUS Identifikasi konsep-konsep kunci/

teori / metode indigenous

Elaborasi semantik

Kodifikasi atau rekodifikasi indigenous

(7)

juga menyoroti sisi kelemahan kompetensi cultural ‘orang luar’ untuk benar-benar bisa menangkap budaya lokal secara utuh. Budaya bukan sekedar artefak-artefak empiris dan sekumpulan pengetahuan yang bisa dianalisis melainkan juga sebuah pengalaman. Orang luar mungkin bisa memahami budaya lokal akan tetapi ia tidak akan mampu menangkap aspek pengalaman emosional dan transendental dari budaya tersebut sebagaimana yang dimiliki oleh ‘orang dalam’ yang tumbuh dan berproses selama bertahun-tahun di dalamnya.

Di sisi lain, kehadiran peneliti dari luar juga penting dalam pengembangan IP. Orang-orang dalam yang sudah terlalu familier dengan budayanya sendiri akan menerima budaya sebagai sesuatu yang sudah jadi dan alamiah. Hal ini membuat mereka tidak lagi peka terhadap keunikan-keunikan perilaku yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, Kim, Hwang, & Yang (2006) merekomendasikan para peneliti orang dalam untuk bekerjasama dengan orang-orang dari luar budayanya karena mereka cenderung lebih sensitif dalam menangkap kekhasan perilaku di dalam konteks budaya yang asing baginya.

Berkebalikan dengan indigenisasi dari jalur luar, indigenisasi dari jalur dalam mensyaratkan peneliti berasal dari komunitas budaya yang akan menjadi target penelitian. Menurut Enriquez (1993) langkah pertama yang harus dilakukan dalam model ini adalah mengidentifikasi konsep-konsep, teori-teori, dan metode indigenous yang dapat dikembangkan menjadi sebuah konsep psikologi. Kesalahan yang umum dilakukan oleh para peneliti di dalam tahap ini adalah memperlakukan konsep-konsep indigenous dan filosofis yang terdapat di dalam teks-teks tradisional atau folklore secara langsung sebagai sebuah teori psikologi. Padahal, sebagaimana pendapat Kim, Hwang, dan Yang (2006), konsep-konsep ini dikembangkan sejak puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan tahun yang lalu dan tidak dimaksudkan sebagai sebuah teori psikologi ilmiah. Tentu saja konsep-konsep ini tidak bisa secara valid menjelaskan dan memprediksi perilaku manusia modern di zaman sekarang ini. Oleh karena itu, para pionir IP menyarankan para peneliti untuk melakukan proses ‘penerjemahan’ dari sebuah konsep filosofis menjadi konstruk psikologis. Hal ini bisa dilakukan dengan memperjelas definisi setiap konsep terlebih dahulu, baik melalui analisis semantik (Enriquez, 1993), refleksi filosofis (Hwang, 2005) ataupun dengan studi empiris (Kim & Park, 1995; Yamaguchi & Ariizumi, 2006). Melalui proses penerjemahan inilah seorang peneliti akan mampu menyusun sebuah sistem teori formal secara indigenous yang dapat diuji kebenarannya secara ilmiah melalui serangkaian penelitian empiris.

(8)

Yang menarik untuk dicatat, adalah Professor Virgilio Enriquez dari Filipina yang menjadi pionir utama dan tokoh yang berpengaruh dalam gerakan indigenisasi psikologi (Kim, Hwang, & Yang, 2006). Akan tetapi dalam perkembangannya sekarang ini, tokoh-tokoh dan penelitian-penelitian IP sangat didominasi oleh para ilmuwan dari negara-negara maju di Asia Timur seperti Jepang, Korea, Cina, dan Taiwan. Hal ini menjadi tantangan besar bagi para ilmuwan bangsa Melayu di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia dan Filipina untuk kembali bangkit dengan mengusung indigenous psychology sebagai sebuah semangat intelektual zaman yang lahir dari dalam rahimnya.

Dimana posisi Psikologi Indonesia?

Pada titik ini, saya ingin mengucapkan selamat kepada Anda yang baru saja memutuskan untuk memilih kuliah di jurusan psikologi, Universitas Paramadina. Saya juga ingin mengucapkan selamat juga kepada sesama rekan akademisi muda yang baru meniti karir di dunia akademia psikologi. Welcome to the club! Ada kabar baik yang ingin saya bagi di sini: Psikologi Indonesia, khususnya dalam bidang riset, adalah lahan luas nan subur, dan...belum banyak ditanami! Mengapa demikian?

Dalam sebuah tulisan menyambut satu dekade usia Association of Asian Social Psychology (AASP), Liu dan Ng (2007) mengatakan bahwa psikologi Asia sudah mulai memiliki identitas yang jelas dan posisi yang cukup terhormat di pentas akademia global, akan tetapi di sisi lain masih belum mampu merepresentasikan keseluruhan atau jika tidak mayoritas wajah psikologi Asia, terutama dari kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Perkembangan psikologi dari Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya berbagi masalah yang sama: belum banyak tersuarakan di outlet-outlet riset global. Laporan ini tentu saja tidak menafikan kenyataan banyaknya program riset yang dijalankan oleh para peneliti psikologi Indonesia. Setiap tahun lembaga-lembaga pemerintah seperti Dikti menyalurkan anggaran yang cukup besar kepada para akademisi di Indonesia. Akan tetapi tampaknya hanya sedikit dari riset ini yang menghasilkan artikel-artikel ilmiah yang terpublikasi secara luas, dan lebih sedikit lagi yang terpublikasi di arena internasional, baik dalam bentuk artikel jurnal maupun presentasi dalam kongres (lihat Tabel 1).

Tabel 1

Kehadiran Psikologi dari Negara-Negara Asia di Ajang Internasional

Negara Entri di PsycLit Partisipasi dalam kongres

Dengan kehadiran signifikan Jepang

India Cina Hong Kong

Taiwan Korea Singapura

17217 8382 2594 1925 909 688 456

643 179 68 65 18 28 12 Kehadiran tidak terlalu

(9)

Malaysia Filipina Pakistan Thailand Bangladesh

Indonesia

234 204 201 145 110 60

11 12 1 3 1 4 Sumber: Adair (2004)

Mengapa psikologi Indonesia belum menunjukkan kiprahnya secara signifikan di arena internasional? Mungkin kita bisa mendapatkan jawabannya secara sekilas dari gambaran perkembangan Psikologi Indonesia yang diuraikan oleh Prawitasari (2006). Analisis awalnya terhadap artikel-artikel yang terpublikasi di tiga dua jurnal nasional terakreditas, yaitu Anima dari Universitas Surabaya dan Jurnal Psikologi dari Universitas Gadjah Mada, dari tahun 2004-2005 menunjukkan sangat sedikit kajian psikologi yang menunjukkan kedekatannya dengan konteks kultural Indonesia. Psikologi Indonesia masih belum memiliki bentuk wajah otentiknya yang jelas dan masih bergantung pada trend penelitian psikologi di Amerika Utara dan Eropa. Selain itu, kebanyakan penelitian bersifat studi sekali jalan (one-shot study), biasanya menggunakan survei sebagai metode pengambilan data dengan pertimbangan paling gampang untuk dilakukan. Tidak mudah untuk mengidentifikasi agenda riset jangka panjang di balik penelitian-penelitian semacam ini.

Namun demikian tampaknya banyak hal telah berubah sejak Prawitasari (2006) melakukan refleksi kritisnya terhadap psikologi Indonesia. Saya yakin dalam lima tahun terakhir ini wajah psikologi Indonesia sudah banyak berubah. Inisiatif Fakultas Psikologi UGM atas dorongan dari Professor Uichol Kim untuk mendirikan Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) pada akhir tahun 2009 lalu telah menghembuskan angin segar perubahan yang membangkitkan kalangan ilmuwan di negeri kita untuk melakukan studi-studi IP. Memang benar bahwa sebelumnya sudah ada beberapa peneliti Indonesia yang tergerak untuk melakukan kajian-kajian psikologis berbasis konteks budaya, seperti studi Darmanto Jatman (1991) tentang Psikologi Jawa, M. A. Subandi tentang dimensi-dimensi kultural kasus pasien psikotik di Jawa (2006; 2008), dan Prihartanti (1998; 1999) tentang olah rasa. Akan tetapi keberadaan CICP telah menciptakan setidaknya empat dampak positif yang meluas di Indonesia:

(10)

singkat, kurang lebih tiga tahun, para peneliti yang bernaung di bawah CICP berhasil menghasilkan banyak artikel-artikel berbasis studi IP yang saling terintegrasi satu sama lain.

Kedua adalah memperkuat perspektif internasional. Penelitian-penelitian IP pra CICP yang diawali oleh minat pribadi si peneliti dan lebih banyak berorientasi pada kepentingan-kepentingan lokal dan nasional. Mereka biasanya tergerak karena didasari oleh kepedulian terhadap kelestarian kebudayaan lokal, semangat untuk mengkontekstualisasi ajaran-ajaran tradisional di dalam kehidupan modern, dan membebaskan diri dari cengkeraman kolonialisme teori-teori psikologi Barat. Para peneliti di CICP masih mewarisi semangat yang sama. Akan tetapi, selain orientasi-orientasi lokal tersebut, mereka juga memiliki keinginan kuat untuk dapat mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian IP-nya kepada audiens yang lebih di dunia internasional.

Indikasi adanya trend internasionalisasi para akademisi psikologi Indonesia adalah meningkatnya keterlibatan mereka di dalam forum-forum ilmiah internasional. Sebagai ilustrasi, di dalam forum Binneal Conference of Asian Association of Social Psychology (BCAASP) ke-8 di India tahun 2009, jumlah peserta dari Indonesia kurang dari 50 orang dan hanya 7 diantaranya yang mempresentasikan penelitian IP, jauh lebih sedikit dibanding peserta dari negara-negara Asia lain seperti Jepang, India, Cina, Korea, dan lain-lain. Akan tetapi dua tahun berikutnya ketika forum yang sama (BCAASP ke-9) diselenggarakan di Kunming, China, jumlah peserta dari Indonesia melonjak dramatis menjadi sebanyak 117 peserta (Liu, 2011) atau terbanyak kedua setelah tuan rumah Cina, dan lebih dari separuhnya mempresentasikan studi IP. Geliat kemajuan Psikologi Indonesia, khususnya yang berbasis pendekatan IP berhasil mendapatkan perhatian dunia akademia internasional sehingga Indonesia dipercaya untuk menyelenggarakan International Conference of Indigenous and Cultural Psychology (ICICP) yang pertama tahun 2010 di Yogyakarta dan yang kedua pada tahun 2011 di Bali secara berturut-turut. Kemudian tahun 2013 ini Indonesia kembali dipercaya menjadi tuan rumah untuk forum yang lebih prestisius, yaitu BCAASP ke-10 di Yogyakarta.

(11)

Pusat Pemberdayaan dan Pengembangan Keluarga (PPPK) Universitas Diponegoro, Semarang; dan Unit Penelitian Indigenous Psychology UIN Syarif Kasim, Riau.

Keempat adalah mendorong keterlibatan dan pengembangan para peneliti muda. Sejak awal pendiriannya, CICP telah melibatkan para peneliti muda terdiri dari mahasiswa doktoral, master, dan sarjana selain tentu saja pada dosen senior dan Professor. Mereka tidak hanya mendapatkan tugas untuk melakukan hal-hal teknis dalam pelaksanaan penelitian, melainkan juga didorong lebih jauh untuk terlibat dalam proses analisis data, penulisan naskah ilmiah, dan presentasi di forum-forum ilmiah nasional dan internasional di bawah bimbingan para dosen senior dan Professor Uichol Kim sendiri. Keterlibatan para peneliti muda ini dimungkinkan berkat visi dari Direktur CICP saat itu, Professor Kwartarini W. Yuniarti, dan supervisor internasionalnya Professor Uichol Kim yang berpandangan bahwa masa depan perkembangan Psikologi Indonesia berada di tangan para peneliti generasi muda. Oleh karena itu, selain berfungsi sebagai pusat penelitian, CICP juga memainkan peran penting sebagai kawah candradimuka guna membangun tradisi akademik baru di Indonesia dan membentuk mentalitas dan kompetensi akademik yang baik dalam diri para peneliti mudanya.

Sekarang ini, harapan tersebut mulai menampakkan hasilnya. Hampir seluruh pusat-pusat studi yang saya sebutkan sebelumnya dikelola dan dimotori oleh para akademisi muda berusia di bawah 40 tahun, yang memiliki orientasi IP yang kuat. Para akademisi muda Indonesia yang saat aktif dalam pengembangan IP di institusinya masing-masing antara lain David H. Tobing dan Yohannes Hendy di CHIP, Udayana; Yopina G. Pratiwi dan Haidar B. Thontowi di CICP UGM; Moordiningsih di CIIP UMS, Moh. Abdul Hakim dan Nugraha A. Karyanta di CCIP UNS, Dian V. S. Kaloeti dan Costrie G. Widayanti di PPPK UNDIP, dan Mirra N. Milla di UIN Syarif Kasim Riau.

(12)

Gambar

Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, para guru yang bertugas mengelola pembelajaran biologi di sdc:olah di sam ping perlu memahami tentang pengembangan Silabus, guru juga perlu memahami

Hal ini menjadi perhatian ketika mendesain sistem proteksi busbar karena ketika terjadi arus gangguan eksternal bernilai besar dapat menyebabkan arus yang dihasilkan pada

Hal : Pengumuman nama-nama Peserta Kategori LULUS dan DISKUALIFIKASI Hasil Penilaian Portofolio kuota 2008.... SDN

Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Padang, dimana dengan rutinitas kerja yang padat dan bekerja dengan sistem cepat, maka para karyawan dituntut untuk lebih cekatan

Tabel yang dibutuhkan adalah tabel untuk menyimpan nilai rate dari pengguna, tabel untuk menyimpan nilai rata-rata rate dari pengguna, tabel untuk menyimpan nilai

Fungsi tujuan pada model linier programming adalah ingin mencapai suatu tingkat produksi yang memberikan keuntungan maksimum. Fungsi tujuan yang ditentukan

Dengan terbuktinya pengaruh yang sangat kecil dan tidak signifikan antara persepsi siswa terhadap penyelesaian masalah akademis di SMA Perguruan Buddhi maka diharapkan guru

Dengan demikian, rumusan masalah pada laporan ini adalah bagaimana aplikasi PCA untuk mengetahui apa saja indikator yang mempengaruhi tingginya tingkat Corruption Index