• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Peraturan Desa Dalam Sistem Hukum Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kedudukan Peraturan Desa Dalam Sistem Hukum Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Chapter III V"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

SISTEM HUKUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI

INDONESIA

A.Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia

Hans Kelsenmengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum

(Stufentheorie), yang artinya bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan

berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang

lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi,

norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih

tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat

ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar

(Grundnorm). Teori tersebut kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky, yang

merupakan salah seorang murid Hans Kelsen.35

Hans Nawiasky mengemukakan teori jenjang norma dalam suatu negara

(die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen). Hans Nawiasky berpendapat

bahwa selain norma yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum

dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok sebagaimana dipisahkan dalam

4 (empat) kelompok besar berikut ini:36

a. Kelompok I (Staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental Negara),

merupakan norma dasar bagi pembentukan konstitusi dan undang-undang

dari suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Ia

terlebih dahulu ada sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.

35

Maria Farida indrati, Ilmu Perundang-Undangan, 2007, Kanisius, Yogyakarta, hal. .41

36Ibid.,

(2)

b. Kelompok II (Staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar Negara atau Aturan

Pokok Negara), merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok dan

merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga

masih merupakan norma hukum tunggal.

c. Kelompok III (Formell Gesetz atau Undang-UndangFormal), merupakan

norma hukum yang lebih konkret dan terinci, serta sudah dapat langsung

berlaku di dalam masyarakat. Norma-norma hukum dalam

Undang-Undang ini tidak saja norma hukum yang bersifat tunggal, tetapi

norma-norma hukum itu dapat merupakan norma-norma hukum yang berpasangan,

sehingga terdapat norma hukum sekunder di samping norma hukum

primernya. Di dalam Undang-Undang sudah dapat dicantumkan

norma-norma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana atau sanksi pemaksa.

d. Kelompok IV (Verordnung dan Autonome Satzung atau Aturan

Pelaksana dan Aturan Otonom), merupakan peraturan-peraturan yang

terletak di bawah undang-undang yang berfungsi menyelenggarakan

ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Peraturan Pelaksanaan

bersumber dari kewenangan delegasi, sedangkan Peraturan Otonom

bersumber dari kewenangan atribusi. Atribusi kewenangan merupakan

pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang

diberikan oleh Grondwet (Undang-Undang Dasar) atau wet

(Undang-Undang) kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan. Sementara

delegasi kewenangan merupakan pelimpahan kewenangan membentuk

(3)

undangan yang lebih tinggi kepada peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas

maupun tidak.

Berdasarkan teori yang dikemukakan Jhon Austin yang merumuskan,

hukum sebagai perintah penguasa yang berdaulat.Hal tersebut menjelaskan bahwa

pembentukan peraturan perundang-undangan berada ditangan pemerintah yang

kemudian diamanatkan kepada lembaga legislatif dalam Undang-Undang Dasar

1945.37

Menurut Bagir Manan, ada lima hal yang mendasari pembentukan

undang-undang yaitu:38

1. Perintah Undang Undang Dasar 1945;

2. Perwujudan Kedaulatan Rakyat;

3. Memperbaharui undang-undang yang sudah terbentuk atau bagian dari

undang-undang yang ada;

4. Perintah undang-undang yang sudah terbentuk (lebih dulu ada);

5. Suatu perjanjian Internasional.

Munculnya beberapa permasalahan dalam proses pembentukan

undang-undang, maka melahirkan pemikiran tentang pembentukan undng-undang yang

efektif. Beberapa teori tentang pembentukan undang-undang (theories of

lawmaking), diantaranya ialah dikemukakan oleh Jan Michiel Otto dan

kawan-kawan. Otto mengarahkan teori pembentukan undnag-undang kepada “ the

37

Armen Yasir, Hukum Perundang-Undangan, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2007, hal.15

38

(4)

legal concept of real legal certainty” yang terdiri dari 5 (lima) elemen pencapaian

kepastian hukum yang nyata, yaitu:39

a. a lawmaker has laid down clear, accessible and realistic rules;

b. the administration follows these rules and induces citizens to do the same

c. the majority of people accept these rules, in principle, as just;

d. serious conflict are regularly brought before independent and impartial

judges who decide cases in accordance with those rules;

e. these decisions are actually complied with defining objectives of law and

development projects in these terms could help improving their

effectiveness.

Ilmu hukum (rechtswetenschap) membedakan antara Undang - Undang

dalam arti materiil (wet in materielezin) dan Undang - Undang dalam arti formal

(wet’in formelezin). Dari perbedaan ini kebanyakan dari masayarakat khususnya

masyarakat awam, bahkan orang yang bergerak dalam bidang hukum tidak

mengetahui, sehingga sering salah dalam mengartikan Undang - Undang itu

sendiri.

Dalam arti materiil, Undang-Undang adalah setiap keputusan tertulis yang

dikeluarkan pejabat berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau

mengikat secara umum. Dari pengertian ini masyarakat sering mengartikan bahwa

setiap aturan yang bersifat tertulis yang dibuat atau dikeluarkan pejabat yang

berwenang (Pemerintah) adalah Undang - Undang. Tetapi pada dasarnya Undang

- Undang dalam pengertian ini hanyalah Undang - Undang dalam arti materiil.

39

(5)

Sedangkan Undang - Undang dalam arti formil, Undang-Undang adalah

keputusan tertulis sebagai hasil kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekutif

dan legislatif yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara

umum.

Undang - Undang dalam arti formil ini dapat dikatakan mempunyai sifat

yang lebih formil karena cara pembentukannya yangberbeda dengan Peraturan

Perundang - Undangan lainnya. Dalam Peraturan Perundang - Undangan ini harus

adanya kerjasama antara lembaga kekuasaan eksekutif dan legislatif, yaitu antara

Presiden sebagai lembaga eksekutif dan DPR sebagai lembaga legislatif. Dari

kedua bentuk arti Peraturan Perundang - Undangan tersebut, dapat dikatakan

bahwa Peraturan Perundang - Undangan mencakup segala bentuk Peraturan

Perundang - Undangan yang dibuat pada tingkat pemerintahan pusat (negara)

maupun di tingkat pemerintahan daerah (provinsi dan kebupaten/kota).

Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang - Undang Dasar 1945 dikatakan bahwa

Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang - Undang kepada Dewan

Perwakilan Rakyat. Sedangkan lebih lanjut dalam Pasal 20 disebutkan bahwa:40

(1)Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang -

Undang

(2)Setiap Rancangan Undang - Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan

Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

40

(6)

(3)Jika rancangan Undang - Undang itu tidak mendapatkan persetujuan

bersama, Rancangan Undang - Undang itu tidak boleh diajukan lagi

dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu

(4)Presiden mengesahkan Rancangan Undang - Undang yang telah disetujui

bersama untuk menjadi Undang - Undang.

(5)Dalam hal ini Rancangan Undang - Undang yang telah disetujui tidak

disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak Rancangan

Undang - Undang tersebut disetujui, Rancangan UndangUndang tersebut

sah menjadi Undang - Undang dan wajib diundangkan.

Dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang - Undang Dasar 1945

dapat disimpulkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kekuasaan untuk

membentuk Undang - Undang, tetapi dalam setiap Rancangan Undang - Undang

tetap dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan

persetujuan bersama. Sedangkan Presiden berhak untuk mengajukan

RancanganUndang - Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dari kedua

ketentuan ini dapat dilihat bahwa telah adanya kerjasama dan koordinasi, antara

Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat karena persetujuan atas suatu Rancangan

Undang - Undang berdasarkan atas persetujuan bersama.

Berbeda dengan sebelum adanya Amandemen Undang - Undang Dasar

1945 dimana dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), mengandung

pengertian bahwa kekuasaan membentuk Undang - Undang itu dipegang oleh

(7)

memberikan persetujuan terhadap setiap rancangan Undang-Undang yang

diajukan oleh Presiden.

Prof.Dr. Sudikno Mertokusumo membedakan pengertian Undang -

Undang dalam arti materiil dan Undang - Undang dalam arti formil. Undang -

Undang dalam arti materiil adalah Undang - Undang merupakan keputusan atau

ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya disebut Undang - Undang dan

mengikat setiap orang secara umum. Sedangkan Undang - Undang dalam arti

formil adalah keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya

disebut Undang-Undang. Jadi Undang - Undang dalam arti formil tidak lain

merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan “Undang - Undang”

karena secara pembentukannya.41

Rangkaian kegiatan tersebut didasarkan kepada ketentuan Pasal 1 angka 1

UU No. 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa pembentukan peraturan

perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan

Saldi Isra menjelaskan bahwa proses pembentukan undang-undang (law

making process) yang merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari: (1)

prakarsa pengajuan rancangan undang-undang; (2) pembahasan rancangan

undang-undang; (3) persetujuan rancangan undang-undang; (4) pengesahan

rancangan undang-undang menjadi undang-undang; dan (5) pengundangan dalam

Lembaran Negara.

41

(8)

yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,

perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.42

Bagir Manan berpendapat bahwa agar pembentukan undang-undang

menghasilkan suatu undang-undang yang tangguh dan berkualitas dapat

digunakan 3 (tiga) landasan dalam menyusun undang-undang, yaitu: Pertama,

landasan yuridis ( juridische gelding); kedua, landasan sosiologis ( sociologische

gelding); dan ketiga, landasan filosofis.43

Berbeda dengan pendapat yang diungkapkan Bagir Manan, Jimly

Asshiddiqie berpendapat bahwa landasan pembentukan undang-undang dilihat

dari sisi teknis pembentukan undang-undang tercermin dalam konsideran. Dalam

konsideran haruslah memuat norma hokum yang baik, yang menjadi landasan

keberlakuan bagi undang-undang tersebut, yaitu terdiri dari:44

“Pertama, landasan filosofis undang-undang selalu mengandung

norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu masyarakat kearah

mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat bernegara hendak

diarahkan. Kedua, landasan sosiologis, bahwa setiap norma hukum yang

dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntunan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Ketiga, landasan politis, bahwa dalam konsideran harus pula tergambar adanya sistem rujukan konstitusional menurut cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang yang bersangkutan. Keempat, landasan yuridis, dimana dalam perumusan setiap undang-undang, landasan yuridis ini haruslah ditempatkan pada bagian konsideran “mengingat.”. Kelima, landasan administratif, dimana dasar ini bersifat “fakultatif” (sesuai kebutuhan), dalam pengertian tidak semua undang-undang mencantumkan landasan ini.Dalam teknis pembentukan undang-undang biasanya landasan dimasukkan dalam konsideran

42

Jimly Asshiddiqie,Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta,2006,hal. 41

43

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Rajawali Pers, Jakarta, 2010,hal. 29

44

(9)

“memerhatikan.’Landasan ini bersifat pencantuman rujukan dalam hal adanya perintah untuk mengatur secara administratif.”

Berdasarkan paparan diatas, jka kelima landasan tersebut terpenuhi dalam

setiap proses pembentukan undnag maka menurut Yuliandri

undang-undang yang dihasilkan menjadi undang-undang-undang-undang yang baik, berkualitas dan

berkelanjutan.Pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah

memperhatikan aspek atau kaidah-kaidah pembentukannya, yaitu:45

a. Landasan Filosofis

yaitu dasar filsafat atau pandangan atau ide yang menjadi dasar cita-cita

sewaktu menuangkan hasrat dan kebijakan kedalam suatu rencana atau

draft peraturan perundang-undangan.

b. Landasan Sosiologis

Suatu peraturan perundang-undangan agar ditaati masyarakat, harus

dibuat dan dapat dipahami oleh masyarakat sesuai dengan kenyataan

hidup masyarakat yang bersangkutan atau kata lain hukum yang dibuat

oleh negara harus sesuai dengan kebiasaan dan kebutuhan masyarakat.

c. Landasan Politis

Merupakan garis kebijakan politik yang menjadi dasar lanjutannya bagi

kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan

pemerintah negara.

45

(10)

d. Landasan Yuridis

Landasan yuridis di dalam dasar pertimbangan berkaitan dengan

pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

apabila ia berkaitan langsung dengan substansi peraturan atau menjadi

dasar peraturan perundang-undangan terebut yang dicantumkan dalam

dasar hukum “mengingat”.

B.Asas-Asas Peraturan Perundang-undangan

Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir,

berpendapat dan bertindak. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan

berati dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan

perundang-undangan. Pandangan kata asas adalah prinisip yang berarti kebenaran

yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan bertindak.Dalam

menyusun peraturan perundang-undangan banyak para ahli yang mengemukakan

pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi, pada dasarnya beragam pendapat itu

mengarah pada substansi yang sama.46

Pembahasan asas peraturan perundang-undangan berkaitan erat dengan

sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang cenderung menganut pada civil law

sebagai akibat dari sikap represif penjajahan Belanda yang pada dasarnya juga

menganut civil law. Secara garis besar, sistem hukum dibagi dua macam yaitu

sistem Eropa Kontinental yang berkembang di Benura Eropa kecuali wilayah

Inggris dan Anglo Saxon yang berkembang di wilayah Inggris. Dalam sistem ini

hukum lebih banyak dibentuk melalui undang-undang bahkan ada kecenderungan

46

(11)

untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi atau sekurang-kurangnya dilakukan

kompilasi.47

Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir,

berpendapat dan bertindak. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan

berarti dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan

perundang-undangan. Padanan kata asas adalah prinisip yang berarti

kebenaranyang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan

bertindak.Pemahaman terhadap asas dalam pendekatan ilmu hukum

merupakanlandasan utama yang menjadi dasar atau acuan bagi lahirnya

suatuaturan.Pemahaman terhadap asas hukum perlu sebagai tuntutan etis

dalammendalami peraturan perundang-undangan yang berlaku.Asas

hukummengandung tuntutan etis, dan dapat dikatakan melalui asas hukum,

peraturanhukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan etis. Asas

hukum merupakan sebuah aturan dasar atau merupakan prinsip hukum yang

masih bersifat abstrak. Dapat pula dikatakan bahwa asas dalam hukum merupakan

dasar yang melatarbelakangi suatu peraturan yang bersifat konkrit dan bagaimana

hukum itu dapat dilaksanakan.48

Asas hukum adalah pikiran dasar yang bersifat umum dan abstrak. Asas

hukum terdapat dalam setiap sistem hukum dan menjelma dalam setiap hukum

positif.Asas hukum merupakan unsur penting dan pokok dari peraturan

hukum.Pembentukanhukum praktis sedapat mungkin berorientasi pada asas-asas

47

Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perndang-undangan Indonesia,Mandar Madju, Bandung, 1998, hal. 30

48

(12)

hukum.Asas hukum menjadi dasar-dasar atau petunjuk arah dalampembentukan

hukum positif.Dalam pandangan beberapa ahli, asas mempunyai arti yang

berbeda-beda.Asas adalah sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau

berpendapat, dan asas dapat juga berarti merupakan hukum dasar.49

The Liang Gie berpendapat bahwa asas adalah suatu dalil umum yang

dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus

mengenaipelaksanaannya, yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk

menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.50

a. Bellefroid berpendapat bahwa asas hukum umum adalah norma

dasaryang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum

tidak dianggapberasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum

merupakanpengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.

Satjipto Rahardjo menyebutkan asas hukum ini merupakan jantung dari

ilmu hukum. Kita menyebutkan demikian karena pertama, ia merupakanlandasan

yangpaling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum.

Batasan pengertian asas hukum dapat dilihat beberapa pendapat para ahli,

diantaranya sebagai berikut:

51

b. van Eikema Hommes mengatakan bahwa asas hukum itutidak boleh

dianggap sebagai norma-norma hukum kongkrit, akan tetapi

perludipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi

(13)

hukumyang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi

pada asas-asashukum tersebut.52

c. Scholten mengatakan asas hukum adalah kecenderungankecenderungan

yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada

hukum,merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya

sebagaipembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus

ada.53

d. Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa asas hukum adalah bukan

merupakan peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran

dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dan peraturan

yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum

yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim

yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari

sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.54

Jadi, asas hukum bukanlah kaidah hukum yang konkrit (nyata), melainkan

merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat umum atau abstrak.

Umumnya asas hukum tidak dituangkan dalam bentuk peraturan yang konkrit atau

pasal-pasal seperti misalnya asas reo, asas resjudicato pro veritate habetur,

asaslex posteriori derogat legi priori dan lain sebagainya. Akan tetapi, tidak

jarang juga asas hukum dituangkan dalam peraturan konkrit seperti misalnya asas

the presumption of innocence yang terdapat dalam Pasal 8 Undang Undang

52Ibid 53

Fence M. Wantu dkk,Cara Cepat Belajar Hukum Acara Perdata, Refika Aditama, Jakarta, 2009,hal. 15

(14)

Nomor 14 Tahun 1970 dan asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege

poenali seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHPidana.

Dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya di

Indonesia ada beberapa asas-asas yang diperlukan, antara lain :

1. Asas Pancasila

Bangsa Indonesia telah menetapkan falsafah/asas dasar negarayaitu

Pancasila, yang artinya setiap tindakan/perbuatan baiktindakan pemerintah

maupun perbuatan rakyat harus sesuai denganajaran Pancasila.Dalam

bidang hukum Pancasila merupakan sumberhukum materiil, sehingga

setiap isi peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan

sila-sila yang terkandung dalamPancasila.UndangUndang Dasar 1945

merupakan landasanKonstitusional daripada Negara Republik

Indonesia.PerubahanUndangUndang Dasar 1945 mengandung empat

pokok-pokok pikiran yang merupakan cita-cita hukum Bangsa Indonesia

yangmendasari hukum dasar negara baik hukum yang tertulis danhukum

tidak tertulis.55

- Pokok Pikiran Pertama“Negara“. “Negara melindungi segenap Bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesiadengan berdasar atas

persatuan dengan mewujudkan keadilansosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.” Dari penjelasan di atas menegaskan bahwa Negara Pokok-pokok pikiran yang merupakan pandangan hidup bangsa

adalah:

55

(15)

Republik Indonesia adalah negarakesatuan yang melindungi bangsa

Indonesia serta mewujudkankeadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Dengan demikiannegara mengatasi dan menyelesaikan

masalah-masalah yang menimbulkan perpecahan dalam negara, dan

sebaiknyapemerintah serta setiap warga negara wajib

mengutamakankepentingan negara di atas kepentingan golongan

ataupun perorangan.

- Pokok pikiran kedua adalah: “Negara hendak mewujudkan keadilan

sosial bagi seluruh rakyat”. Istilah keadilan sosialmerupakan masalah

yang selalu dibicarakan dan tidak pernahselesai, namun dalam

bernegara semua manusia Indonesia mempunyai hak dan kewajiban

yang sama dalam segala bidang terutama yang menyangkut hukum

positif. Penciptaan keadilansosial pada dasarnya bukan semata-mata

tanggung jawabnegara akan tetapi juga masyarakat, kelompok

masyarakatbahkan perseorangan.

- Pokok pikiran ketiga adalah: “Negara yang berkedaulatan

rakyat“pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam negara Indonesia

yang berdaulat adalah rakyat atau kedaulatan adaditangan rakyat.

Dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat ini dilakan dengan melalui

mekanisme musyawarah oleh wakil-wakil rakyat.

- Pokok pikiran keempat “Negara berdasarkan Ketuhanan YangMaha Esa

yang adil dan beradab”. Negara menjamin adanyakebebasan beragama

(16)

2. Asas Pembagian Kekuasaan dalam Check and Balances

Pengetian pembagian kekuasaan adalah berbeda daripemisahan kekuasaan,

pemisahan kekuasaan berarti bahwakekuasaan negara itu terpisah-pisah

dalam beberapa bagianseperti dikemukakan oleh John Locke yaitu:

a. Kekuasaan Legislatif

b. Kekuasaan Eksekutif

c. Kekuasaan Federatif

Montesquieu mengemukakan bahwa setiap negara terdapattiga jenis

kekuasaan dengan istilah Trias Politicayaitu:

a. Eksekutif

b. Legislatif

c. Yudikatif

Dari ketiga kekuasaan itu masing-masing terpisah satu sama lainnya baik

mengenai orangnya mapun fungsinya. Pembagian kekuasaan berarti bahwa

kekuasaan itu dibagi-bagi dalambeberapa bagian, tidak dipisahkan yang dapat

memungkinkan fiksi hukum dalam pembuatan peraturan perundang-undangan,

adanya kerjasama antara bagian-bagian itu (Check and Balances).56

Tujuan adanya pemisahan kekuasaan agar tindakan sewenangwenangdari

raja dapat dihindari dan kebebasan dan hak-hak rakyat dapat terjamin.UUD 1945

setelah perubahan membagi kekuasaan negaraatau membentuk lembaga-lembaga

kenegaraan yang mempunyaikedudukan sederajat serta fungsi dan wewenangnya

masing-masing yaitu:

56

(17)

a. Dewan Perwakilan Rakyat

b. Majelis Permusyawaratan Rakyat

c. Dewan Pimpinan Daerah

d. Badan Pemeriksa Keuangan

e. Presiden dan Wakil Presiden

f. Mahkamah Agung

g. Mahkamah Konstitusi

h. Komisi Yudisial

i. Dan Lembaga-lembaga lainnya yang kewenangannya diatur dalam

UUD 1945 dan lembaga-lembaga yang pembentukandan

kewenangannya diatur dengan undang-undang

Dengan demikian UUD 1945 tidak menganut pemisahan kekuasaan negara

seperti dikemukakan oleh John Locke danMontesqieu seperti tersebut di atas,

akan tetapi UUD 1945membagi kekuasaan negara dalam lembaga-lembaga tinggi

negara dan mengatur pula hubungan timbal balik antaralembaga tinggi negara

tersebut.

Sedangkan disisi yanglain, teori perundang-undangan mempunyai

kedudukan yang sangat penting dalam pembuatanperaturan perundang-undangan,

Purnadi Purbacaraka dan Prof. Soerjono Soekanto, memperkenalkan asas hukum

dalam perundang-undangan yaknisebagai berikut:57

1. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif);

57

(18)

2. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih

tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula (system hierarki);

3. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan

peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis

derogat lex generalis);

4. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori

derogate lex periori);

5. Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;

6. Peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal

mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi

masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian

(asas welvaarstaat).

Berdasarkan asas-asas tersebut di atas, dapat dijelaskanbahwa dalam

penyusunan peraturan perundang-undanganharus mengedepankan minimal empat

asas dari asas-asas tersebut di atas.Keberadaan asas tidak berlaku surut (non

retroaktif) adalah untukmenjamin adanya kepastian hukum di masyarakat

mengenaiberlakunya suatu hukum. Walaupun keberadaan asas inidikecualikan

bagi kasus-kasus pelanggaran HAM (hak asasi manusia) yang

berskalainternasional dengan beberapa alasan tertentu. Akan tetapi,alasannya tetap

dalam rangka untuk adanya jaminan kepastianhukum dan keadilan bagi

masyarakat secara keseluruhan. Asas hierarki menegaskan bahwa dalam tata

(19)

peraturan dengan peraturan yang lainnya. Antara peraturandi tingkat pusat dan

peraturan di tingkat daerah. Dengan adanyaasas ini menegaskan bahwa adanya

hierarki dalam sistemperundang-undangan dan bersifat subordinasi, tidak

hanyakoordinasi saja. Asas ini menegaskan bahwa adanya taat hukumdan taat

asas antara peraturan pusat dan peraturan daerah.58

58

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007,hal. 56-57

Asas lex posterior derogate lex priori menegaskan asashiearki dalam

system peraturan perundang-undangan.Keberadaan peraturan yang di atas

otomotis harus lebih ditaatikeberadaannya dan dijadikan rujukan oleh peraturan

yang dibawahnya sekaligus menjadi dasar atas pembentukan

peraturanperundang-undangan yang berada di bawahnya. Dengan asasini menegaskan bahwa peraturan

perundang-undangan adalahsuatu sistem yang bersifat sistematis menuju

terciptanya sistemhukum yang berkeadilan.Asas specialis derogate legi

generalismenegaskan bahwahukum dibuat untuk menciptakan keadilan. Tujuan

hukumtiada lain tiada bukan adalah menuju keadilan. Keberadaanasas ini

menegaskan bahwa peraturan yang lebih khususmengecualikan peraturan yang

lebih umum. Bahwa ketika telahdibuat suatu peraturan yang lebih khusus dalam

suatu bidangtertentu, maka serta merta keberadaan peraturan ini

akanmengecualikan peraturan yang sebelumnya yang masih bersifat umum.

Keberadaan asas ini kembali menegaskan tidak adanyapenafsiran yang berbeda

dengan tujuan diciptakannya peraturan itu sendiri, sehingga akan memberikan

(20)

Berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas, pada dasarnya

menunjuk pada bagaimana sebuah peraturan perundang-undangan dibuat, hal ini

mengacu pada UU No. 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, baik dari segi materi-materi yang harus dimuat dalam

peraturan perundang-undangan, cara atau teknik pembuatannya, akurasi organ

pembentuk, dan lain-lain dengan tambahan dan penjelasan yang dideduksi dari

uraian para ahli, yaitu:

1. Asas-asas Hukum Umum

a. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif).

Peraturan perundang-undangan yang dibuat hanya berlaku pada

peristiwa peristiwa hukum yang terjadi setelah peraturan

perundang-undangan itu lahir. Namun demikian, mengabaikan asas ini

dimungkinkan terjadi dalam rangka untuk memenuhi keadilan

masyarakat.

b. Asas kepatuhan pada hirarkhi (lex superior derogat lex

inferior).Peraturan perundang-undangan yang ada di jenjang yang

lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berada pada jenjang lebih tinggi. Dan seterusnya

sesuai dengan hierarki norma dan peraturan perundang-undangan.

c. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus

menyampingkanperaturan perundang-undangan yang bersifat umum

(21)

d. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan

membatalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu

(lex posteriori derogate lex periori); dalam setiap peraturan

perundang-undangan biasanya terdapat klausul yang menegaskan

keberlakuan peraturan perundang-undangan tersebut dan menyatakan

peraturan perundangundangan sejenis yang sebelumnya digunakan,

kecuali terhadap pengaturan yang tidak bertentangan.

2. Asas Material/ Prinsip-prinsip Substantif

Secara umum, prinsip-prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam menilai

substansi/ materi muatan peraturan perundang-undangan adalah:

a. Nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dan keadilan gender yang sudah

tercantum di dalam konstitusi;

b. Jaminan integritas hukum nasional; dan

c. Peran negara versus masyarakat dalam negara demokrasi.

Ketiga prinsip dasar itu jika diturunkan secara lebih rinci adalah sebagai

berikut:

a. Pengayoman; memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan

ketenteraman masyarakat.

b. Kemanusiaan; memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap

hakhak asasi manusia serta harkat dan martabat.

c. Kebangsaan; mencerminkan watak bangsa Indonesia yang pluralistik.

d. Bhinneka Tunggal Ika; memperhatikan keragaman penduduk, agama,

(22)

e. Keadilan; memuat misi keadilan.

f. Kesamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan; memberikan

akses dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.

g. Ketertiban dan kepastian hukum; menciptakan ketertiban melalui

jaminan hukum.

h. Keseimbangan, keseresaian, dan keselarasan; menyeimbangkan antara

kepentingan individu dan masyarakat, serta kepentingan bangsa dan

negara.

i. Keadilan dan kesetaraan gender; memuat substansi yang memberikan

keadilan dan kesetaraan gender dan mengandung pengaturan

mengenai tindakan-tindakan khusus bagi pemajuan dan pemenuhan

hak perempuan.

j. Antidiskriminasi; tidak mengandung muatan pembedaan (baik

langsung maupun tidak langsung), berdasarkan jenis kelamin, warna

kulit, suku, agama, dan identitas sosial lainnya.

k. Kejelasan tujuan; mengandung tujuan yang jelas yang hendak dicapai,

akurasi pemecahan masalah.

l. Ketepatan kelembagaan pembentuk Perda; jenis peraturan

perundangundangan harus dibuat oleh lembaga yang memiliki

kewenangan.

m.Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; jenis dan hirarki peraturan

perundang-undangan memuat substansi yang sesuai berdasarkan

(23)

n. Dapat dilaksanakan; memuat aturan yang efektif secara filosofis,

yuridis, dan sosiologis, sehingga dapat dilaksanakan.

o. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; peraturan perundang-undangan

harus memuat aturan yang menjawab kebutuhan masyarakat,

memberikan daya guna dan hasil guna.

p. Kejelasan rumusan; bahasa, terminologi, sistematika, yang mudah

dimengerti dan tidak multitafsir.

q. Rumusan yang komprehensif; muatan Perda harus dibuat secara

holistik dan tidak parsial.

r. Universal dan visioner; muatan peraturan perundang-undangan

disusun untuk menjawab persoalan umum dan menjangkau masa

depan (futuristik), tidak hanya dibuat untuk mengatasi suatu peristiwa

tertentu.

s. Fair trial (peradilan yang fair dan adil); muatan tentang pelaksanaan

peraturan perundang-undangan harus menyediakan mekanisme

penegakan hukum yang fair.

t. Membuka kemungkinan koreksi dan evaluasi; setiap peraturan

perundang-undangan harus memuat klausul yang memungkinkan

peninjauan kembali bagi koreksi dan evaluasi untuk perbaikan.

C.Hierarki Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia

Tata urutan atau hierarki peraturan perundang-undangan dalam suatu tata

hukum itu oleh Hans Kelsen disebut hierarchi of norm (strufenbau des recht).

(24)

stufentheorie-nya Hans Kelsen mengemukakan bahwa dipuncak “stufenbau

terdapat kaidah dasar dari suatu tata hukum nasional yang merupakan suatu

kaidah fundamental. Kaidah dasar tersebut disebut “grundnorm”atau

usprungnorm”. Grundnorm merupakan asas-asas hukum yang bersifat abstrak,

bersifat umum, atau hipotesis. Menurut Kelsen, Grundnorm pada umumnya

adalah meta juridisch, bukan produk hukum (buatan) badan pembuat

undang-undang (de wetgeving), bukan bagian dari peraturan perundang-undangan

(algemene venbindende voorshrifften), namun merupakan sumber dari semua

sumber (the source of the source) dari tatanan peraturan perundang-undangan

yang berada dibawahnya.59

a. Hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang

No. 10 Tahun 2004).

Setelah selesainya Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Tahun

1945 dan ditetapkannya Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan

Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat

Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan 2002, maka Dewan Perwakilan

Rakyat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Tata Cara Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan. Setelah melalui proses pembahasan, rancangan

undang tersebut kemudian disahkan dan diundangkan menjadi

undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang-undang-undangan,

yang dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 November 2004.60

59

Ni’matul Huda dan R. Nazriyah,Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Nusa Media, Bandung, 2011, hal.25

60

(25)

Dalam undang-undang tersebut dinyatakan pula tentang jenis dan hierarki

peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7, yang dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 7

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden

e. Peraturan Daerah.

(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:

a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Provinsi bersama Gubernur;

b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;

c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan

desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan peraturan

desa/peraturan yang setingkat diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota

yang bersangkutan

(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), diakui keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat

sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih

(26)

(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan

hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).61

b. Hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan ketentuan Pasal 7

ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011.

Ditetapkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,

sebagai berikut:

1. Undang-undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketatapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

4. Peraturan pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 bahwa kekuatan

hukum setiap jenis peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya.

Dalam penjelasan ayat (2) dinyatakan lebih lanjut, yang dimaksud dengan

hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undanganyang

didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah

tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Jenis Peraturan Perundang-undangan tidak terbatas pada yang dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (1) saja, tetapi mencakup juga peraturan yang ditetapkan oleh

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPR, Dewan Perwakilan Daerah

61

(27)

(DPD), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), Bank Indonesia (BI), Menteri, badan,

lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU atau Pemerintah

atas perintah UU, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Provinsi, Gubernur,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala

Desa atau yang setingkat (ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011).

Peraturan perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan

(ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011).62

62

(28)

BAB IV

KEDUDUKAN PERATURAN DESA DALAM SISTEM HUKUM

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lahirnya Peraturan Desa

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 disebutkan pengertian desa

sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang

berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,

berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam

sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari defenisi tersebut,

sebetulnya desa merupakan bagian penting bagi keberadaan bangsa Indonesia.

Penting karena desa merupakan satuan terkecil dari bangsa ini yang menunjukkan

keragaman Indonesia. Selama ini terbukti keragaman tersebut telah menjadi

kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengan demikian penguatan

desa menjadi hal yang tak bisa ditawar dan tak bisa dipisahkan dari pembangunan

bangsa ini secara menyeluruh.

Memang hampir semua kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan

pembangunan desa mengedepankan sederet tujuan mulia, seperti mengentaskan

rakyat miskin, mengubah wajah fisik desa, meningkatkan pendapatan dan taraf

hidup masyarakat, memberikan layanan sosial desa, hingga memperdayakan

masyarakat dan membuat pemerintahan desa lebih modern. Sayangnya sederet

tujuan tersebut mandek diatas kertas. Karena pada kenyataannya desa sekedar

dijadikan obyek pembangunan, yang keuntungannya diambil oleh segelintir orang

(29)

bahkan pusat. Para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta dengan

segala pemahamannya tentang kondisi tanah air Indonesia yang terdiri beribu-ribu

pulau dan suku bangsa dengan bijak menempatkan kondisi desa sebagai unsur

pemerintah terdepan.

Struktur pemerintahan sedemikian rupa memiliki semangat untuk

menjadikan desa sebagai pilar utama pembangunan bangsa, logikanya bila sekitar

80.000 desa di bumi pertiwi ini maju, mandiri, sejahtera dan demokratis maka

menjelmalah Negara Kesatuan Indonesia menjadi bangsa yang besar dan

terhormat dalam percaturan bangsa-bangsa di dunia.

Lain yang diharap lain pula kenyataannya, dengan pola sentralistik yang

dikembangkan di masa lalu telah menempatkan desa menjadi “pelengkap

penderita“ yang tidak berdaya segalanya ditentukan dari atas bahkansegala potensi

yang dimilikinya cenderung lebih banyak menjadi “upeti“ pada pemerintah

diatasnya. Desa tetap miskin bodoh dan para pejabat diatasnya yang semakin

rakus mengeksploitasi desa.

Setelah berjalan lama mulai tumbuh akan kesadaran akan kekeliruan

tersebut terutama setelah terbukti bahwa pola sentralistik hanya menghasilkan

koruptor-koruptor dan kesenjangan sosial yang tajam antara pusat, daerah dan

desa. Reformasi pola ini dirombak total dimana pola desentralisasi yang

ditinggalkan akan dipacu kembali oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang telah

diamandemen, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun

(30)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang

semangatnya lebih berpihak pada desentralisasi dan demokratisasi.

Kesulitan berhimpun dalam rangka membangun posisi tawar bagi

pemerintahan desa telah punah. Selama ini, kebijakan pembangunan di Indonesia

terutama pembangunan desa selalu bersifat top down dan sectoral dalam

perencanaan serta implementasinya tidak terintegrasi, hal ini dapat dilihat dari

program pemerintah pusat (setiap departemen) yang bersifat sectoral.

Perencanaan disusun tanpa melibatkan sektor yang lain serta pemerintah daerah,

hal lain yang menjadi permasalahan adalah tidak dicermatinya persoalan

mendasar yang terjadi di daerah, sehingga formulasi strategi dan program menjadi

tidak tepat.

Berkaitan dengan kemiskinan, sebagaimana terinformasikan dalam data

statistik, ternyata sebagian besar masyarakat miskin berada di desa, oleh karena

itu, pembangunan sudah sewajarnya difokuskan di desa sebagai upaya mengatasi

kemiskinan, Pembangunan selama ini, lebih banyak di arahkan di kota, hal ini

menyebabkan aktivitas perekonomian, berpusat di kota, hal inilah yang

menyebabkan terjadinya migrasi dari desa ke kota. Masyarakat desa dengan

segala keterbatasan pindah ke kota mengadu nasib dan sebagian besar dari mereka

menjadi persoalan besar di kota.

Disisi lain, kondisi di desa tidak tersentuh pembangunan secara utuh,

infrastruktur dasar tidak terpenuhi, aktivitas ekonomi sangat rendah, peluang

usaha juga rendah, sarana pendidikan terbatas, sebagian besar baru terpenuhi

(31)

masyarakat desa untuk merubah nasibnya, yaitu dengan merantau ke kota. Pada

kenyataannya, seluruh potensi sumber daya alam, sebagai raw material aktivitas

penunjang perekonomian bisa dilaksanakan tanpa ada dukungan bahan baku yang

diproduksi di desa. Kondisi ini yang harus segera diselesaikan melalui strategi

pembangunan desa yang tepat dan teritegrasi. Fakta lain memperlihatkan

ekploitasi sumber daya alam di desa secara besar besaran, dengan tidak

mencermati daya dukung lingkungan serta tidak melibatkan masyarakat setempat,

dengan alasan kemampuan rendah dari masyarakat setempat, menyebabkan

kerusakan lingkungan, baik fisik maupun sosial.

Terkait dengan pembangunan desa (rural development), secara tradisional

bahwa pembangunan desa mempunyai tujuan untuk pertumbuhan sektor

pertanian, dan integrasi nasional, yaitu membawa seluruh penduduk suatu negara

ke dalam pola utama kehidupan yang sesuai, serta menciptakan keadilan ekonomi

berupa bagaimana pendapatan itu didistribusikan kepada seluruh penduduk.

Pembangunan desa diarahkan kepada bagaimana mengubah sumber daya alam

dan sumber daya manusia suatu wilayah atau negara, sehingga berguna dalam

produksi barang dan melaksanakan pertumbuhan ekonomi, modernisasi dan

perbaikan dalam tingkat produksi barang (materi) dan konsumsi.

Dengan demikian, pembangunan desa diarahkan untuk menghilangkan atau

mengurangi berbagai hambatan dalam kehidupan sosial ekonomi, seperti kurang

pengetahuan dan keterampilan, kurang kesempatan kerja, dan sebagainya. Akibat

berbagai hambatan tersebut, penduduk wilayah pedesaan umumnya miskin.

(32)

sosial dan kehidupan ekonomi masyarakat desa, sehingga mereka memperoleh

tingkat kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan material dan spiritual

Berdasar uraian di atas, pembangunan desa secara konkret harus

memperhatikan berbagai faktor, diantaranya adalah terkait dengan pembangunan

ekonomi, pembanguna atau pelayanan pendidikan, pengembangan kapasitas

pemerintahan dan penyediaan bernagai infrastruktur desa. semua faktor tersebut

diperlukan guna mengimplementasikan dan mengintegrasikan pembangunan desa

ke dalam suatu rencana yang terstruktur dalam desain tata ruang. Disisi lain, baik

dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), Musyawarah

Perenacanaan Pembangunan Daerah (Musrenbangda), dan Musyawarah

Perencanaan Pembanguan Kecamatan (Musrenbangcam), dimana ajang tersebut

sebagai ajang perencanaan pembangunan daerah, selama ini dirasakan tidak

optimal dan hanya bersifat formalitas semata, karena terjadi tarik menarik

kepentingan antara elite di daerah,

Dengan demikian, ajang musrenbang/musrenbangda/musrenbangcam pun

tidak maksimal untuk menyerap aspirasi masyarakat dalam pembangunan karena

masing masing(elite birokrasi) bertahan dengan pendirian atau keputusan

keputusan yang telah dibuat sebelumnya dalam hal penentuan program

pembangunan daerah. Di samping itu, hasil musrenbang dalam kenyataannya

tidak pernah diaplikasikan dan diimplementasikan dilapangan secara utuh.

Minimnya peran pemerintah Provinsi terkait dengan pembangunan desa,

kondisi tersebut kemudian diperparah dengan banyaknya kebijakan pemerintah

(33)

pusat selalu memaksakan program programnya dalam pembangunan desa bagi

daerah.

Kebijakan Pemerintah dalam pembangunan desa juga bersifat parsial atau

sektoral, sehingga keterkaitan dan keterpaduan antar program tidak terjadi.

Dengan kata lain, antar departemen terkait tidak ada sinergitas fungsi dan program

terkait dengan kemiskinan di desa, selain itu, kebijakan pemerintah dalam

pembangunan desa selam ini tidak akomodatif terhadap ke khasan daerah dan

cenderung diseragamkan, kebijakan tidak fokus pada pengentasan atau

penanggulangan kemiskinan, dimana kegiatan apa yang akan dilakukan tidak

berdasarkan pada grand design pembangunan desa (misalnya 5 tahunan).

Kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa selama ini dinilai tidak

berdasarkan pada potensi desa yang ada, tidak berdasarkan pada desain tata ruang

(yang telah dibuat), hasil musrenbang tidak implementatif, tidak ada perencanaan

yang komprehensif terhadap pembangunan desa, mekanisme perencanaan dan

pembiayaan desa tidak optimal, peran Stakeholders terutama pemerintah desa

tidak optimal. Selain itu, kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa selama

ini juga dinilai tidak memperhatikan kondisi faktual infrastruktur yang ada di

desa, ketersediaan prasarana ekonomi dan aktivitas ekonomi, pelayanan

pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja sehingga diversifikasi usaha di desa

sangat terbatas, lebih lanjut, desa menjadi tidak mandiri dan hanya

menggantungkan usaha atau pencaharian nafkah kepada sektor pertanian semata.

(34)

kekhasan daerah tersebut telah menyebabkan banyak potensi yang berada di desa

menjadi tidak berkembang.

Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa (selanjutnya disebut

sebagai UU Desa) yang disahkan dan diundangkan pada 15 Januari 2014 lalu lahir

melalui proses. Hampir semua fraksi di DPR dan Pemerintah dalam proses

pembahasan telah menyinggung kegagalan perundang-undangan lama dan

perlunya peraturan baru tentang Desa. Peraturan baru ini menjadi koreksi terhadap

kesalahan-kesalahan aturan lama sekaligus menjadi antisipasi untuk perubahan di

masa mendatang.

Rancangan UU Desa sebenarnya lahir dari proses rapat kerja Komisi II

DPR RI periode 2004-2009 dengan jajaran Kementerian Dalam Negeri. Rapat

kerja telah menyepakati UU No. 32 Tahun 2004 dipecah menjadi tiga

Undang-Undang, yaitu UU tentang Pemerintahan Daerah, UU tentang Pemilihan Kepala

Daerah, dan UU tentang Desa. Untuk menindaklanjuti rapat kerja tersebut Menteri

Dalam Negeri menerbitkan Surat Keputusan No. 180.05-458 tanggal 1 September

2006 tentang Penyusunan Undang-Undang di Lingkungan Departemen Dalam

Negeri, termasuk di dalamnya Undang-Undang tentang Desa.

Pentingnya UU Desa disampaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi

seperti tertuang dalam Keterangan Pemerintah tertanggal 2 April 2012 berikut ini:

Undang-Undang tentang Desa bertujuan hendak mengangkat Desa pada

posisi subjek yang terhormat dalam ketatanegaraan Republik Indonesia.

Hal lain adalah bahwa pengaturan Desa akan menentukan format Desa

(35)

Desa melalui Undang-Undang tentang Desa sebenarnya juga menempatkan

Desa sebagai subjek pemerintahan dan pembangunan yang betul-betul

berangkat dari bawah (bottom up)”.

Dalam proses pembahasan, Pemerintah dan DPR punya satu pandangan

bahwa aturan mengenai Desa dalam UU No. 32 Tahun 2004 sudah tidak

memadai. Fraksi Partai Golkar, seperti disampaikan Ibnu Munzir, menyampaikan

pandangan yang relevan mengenai urgensi kelahiran UU Desa tersendiri.

Pandangan Partai Golkar disampaikan pada 11 Desember 2013, yang pada intinya

menyebut tiga hal. Pertama, pengaturan tentang Desa dalam UU No. 32 Tahun

2004 terlalu umum sehingga dalam banyak hal pasal-pasal tentang Desa baru bisa

dijalankan setelah lahir PP atau Perda yang cenderung membuat implementasi

kewenangan ke Desa bergantung banyak kepada kecepatan Pemda. Kedua, UU

No. 32 Tahun 2014 belum secara jelas mengatur tata kewenangan antara

pemerintah, Pemda, dan Desa. Ketiga, Desain kelembagaan Pemerintahan Desa

belum sempurna sebagai visi dan kebijakan untuk kemandirian, demokrasi dan

kesejahteraan Desa.

Senada dengan Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Amanat Nasional

menyampaikan pandangan tentang pentingnya UU Desa, sebagaimana dibacakan

H. Totok Daryanto pada 11 Desember 2003, berikut :

Undang-Undang tentang Desa sangat diperlukan untuk memberdayakan

masyarakat Desa dalam perspektif komprehensif yang bisa membuat Desa

(36)

Dalam konteks tersebut, Undang-Undang tentang Desa harus memberikan

legitimasi atau kewenangan bagi Desa untuk mengatur dirinya sendiri”.

Alasan ini tertuang dalam UU Desa, yang pada pokoknya menjelaskan

bahwa pengaturan selama ini belum cukup melindungi kepentingan masyarakat

desa. Peraturan tentang Desa menghadapi tantangan terbesarnya ketika

berhadapan dengan jumlah desa yang sangat banyak di Indonesia. Hukum sudah

tidak lagi mampu mengimbangi laju perkembangan utamanya berkaitan dengan

eksistensi desa termasuk masyarakat adat di dalamnya terhadap perkembangan

zaman sehingga menimbulkan kesenjangan sosial, pada akhirnya akan

mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Pembentuk Undang-Undang Desa merasa perlu untuk mencantumkan poin

penting yang perlu dijelaskan selain dasar Pemikiran, asas pengaturan, dan materi

muatan. Tujuan ini sebenarnya berhubungan dengan pentingnya pengaturan Desa

dengan undang-undang tersendiri. Tujuan ini dilandasi Pemikiran pembentuk

undang-undang agar UU Desa diselaraskan dengan konstitusi, yaitu ‘penjabaran

lebih lanjut Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Ketika menyampaikan “pendapat mini” atas RUU Desa, Fraksi PPP secara

khusus juga menyinggung tujuan tersebut. Menurut Fraksi PPP ada lima tujuan

UU Desa, yaitu (i) pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap otonomi

asli yang bersumber dari hak asal usul sehingga Desa terdiri atas Desa dan Desa

adat; (ii) keinginan membentuk Pemerintahan Desa yang modern, yaitu

professional, efisien dan efektif, terbuka dan bertanggung jawab. Namun Desa

(37)

zaman; (iii) adanya semangat meningkatkan pelayanan publik agar lebih

berkualitas untuk menjawab tuntutan karena masyarakat semakin cerdas; (iv)

mengakselarasi pembangunan untuk memajukan dan menyejahterakan masyarakat

agar Desa tidak ditinggalkan penduduknya; dan (v) pemberdayaan dan

peningkatan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pembangunan di

pedesaan.

Sedangkan dalam Penjelasan Umum UU Desa, tujuan pengaturan tentang Desa

adalah :

1. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada

dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya NKRI.

2. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem

ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi

seluruh rakyat Indonesia.

3. Melestarikan dan memajukan adat

B.Kedudukan Peraturan Desa dalam Sistem Hukum Peraturan

Perundang-Undangan di Indonesia

Seiring dengan kemunculan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014,

kedudukan, fungsi, dan eksistensi Peraturan Desa sudah tentu harus disesuaikan

dengan pengaturan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Hal ini dikarenakan

memang terdapat beberapa perubahan substansi pengaturan terkait peraturan desa

di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Analisa terhadap perubahan pengaturan

di Undang Nomor 6 Tahun 2014 dapat dimulai melalui Pasal 5

(38)

berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota. Melaui kejelasan kedudukan desa

yang berada di wilayah Kabupaten/Kota ini analisa terkait Peraturan Desa

didasarkan.

Selain kedudukan desa yang secara tersurat diatur, Undang-Undang Nomor

6 Tahun 2014 juga mengatur secara lain terkait kewenangan desa. Pasal 18

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menyatakan “Kewenangan desa meliputi

kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan

Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan

masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,dan adat istiadat

Desa.” Di mana kewenangan tersebut sesuai dengan Pasal 19 Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 meliputi:

a. Kewenangan berdasarkan hak asal usul;

c. Kewenangan lokal berskala Desa;

d. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan

e. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut di dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

mengatur bahwa pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan

kewenangan lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 19 huruf

a dan huruf b diatur dan diurus oleh Desa. Sementara Pasal 21 Undang-Undang

(39)

dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud di

dalam Pasal 19 huruf c dan huruf d diurus oleh Desa. Pasal 22 Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 menjelaskan lebih lanjut bahwa penugasan dari Pemerintah

atau Pemerintah Daerah kepada Desa sebagaimana dimaksud Pasal 19 huruf c

meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,

pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa, di mana

penugasan tersebut disertai biaya.

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa kewenangan mengatur Desa

hanya terdapat di dalam kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan

kewenangan lokal berskala desa. Dalam hal penugasan dari Pemerintah atau

Pemerintah Daerah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 hanya memberi

kewenangan Desa untuk mengurus. Pasal 69 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 menyatakan bahwa “Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa

setelah dibahas dan disepakati bersama dengan BPD.” Perlu dilihat kembali

pengaturan Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang

menyatakan bahwa,

“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 Ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa

Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,

(40)

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang

setingkat.”

Melihat pengaturan tersebut maka sudah jelas seturut dengan pengaturan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, Peraturan Desa kembali berkedudukan

sebagai Peraturan Perundang - Undangan selain dari peraturan

perundang-undangan yang terdapat di dalam hierarki sesuai Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011. Melihat hubungan tersebut, Peraturan Desa pasca

disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 bukan lagi berkedudukan

semata sebagai penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang

lebih tinggi, melainkan telah berkedudukan sebagai peraturan

perundang-undangan yang diakui. Kemunculan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 secara

serta merta mengafirmasi pengaturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, Peraturan Desa merupakan

instrumen hukum penyelenggaraan Pemerintahan Desa di dalam melaksanakan

kewenangan Desa. Sehingga Peraturan Desa seturut Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 berfungsi untuk menyelenggarakan Pemerintahan Desa dalam hal

kewenangan desa mengatur pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul

dan kewenangan lokal berskala Desa. Pengaturan demikian dapat diartikan bahwa

Peraturan Desa memiliki fungsi sebagai instrumen penyelenggaraan otonomi

desa. Seperti yang telah dijelaskan di atas, kedudukan Desa adalah berada di

wilayah Kabupaten/Kota. Selain itu, perlu dicermati pengaturan Pasal 115 huruf b

(41)

mengatur bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan

pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, yang dalam hal Peraturan Desa

berupa memberikan pedomanpenyusunan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala

Desa serta melakukan evaluasi dan pengawasan Peraturan Desa. Ketentuan ini

memperjelas bahwa fungsi Peraturan Desa tetap tidak berubah, yakni berfungsi

dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.

Selain itu juga perlu dilihat bahwa melalui pengaturan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 terkait Peraturan Desa ini terlihat jelas bahwa tampuk

kekuasaan dan penyelenggaraan pemerintahan desa adalah berada di Kepala Desa.

Kepala Desalah badan yang selain melaksanakan peraturan perundang-undangan,

juga merupakan badan yang membentuk Peraturan Desa. Hal ini menegaskan

kedudukan dan fungsi BPD yang telah dibahas di bab sebelumnya. Sehingga jelas

adanya bahwa berjalannya demokratiasi di Desa pada umumnya dilaksanakan

melalui Kepala Desa, dengan BPD sebagai parlemen desa dan lembaga

demokratisasi desa menjadi lembaga yang ikut serta melalui fungsi

pengawasannya. Demokratisasi ini dilaksanakan dalam bingkai otonomi desa

yang sejatinya semakin kabur, di mana Pemerintahan Desa seturut

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tidaklah dapat diselenggarakan secara otonom

(42)

BAB V

PENUTUP

A.Kesimpulan

1. Dalam Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2004 Juncto Pasal 137 UU Nomor 23

Tahun 2014 diatur bahwa Peraturan Daerah yang di dalamnya termasuk

adalah Peraturan Desa dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan

peraturan perundang-undangan, dan dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan yang sifatnya mengatur, juga harus memenuhi asas

materi muatan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 23 Tahun

2014 juncto Pasal 138 UU Nomor 23 Tahun 2014. Berkaitan dengan

asas-asas materi muatan tersebut, ada sisi lain yang harus dipahami oleh

pengemban kewenangan dalam membentuk Peraturan Desa. Pengemban

kewenangan harus memahami segala macam seluk beluk dan latar

belakang permasalahan dan muatan yang akan diatur oleh Peraturan Desa

tersebut.

2. Ditetapkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,

sebagai berikut:

1. Undang-undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketatapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

4. Peraturan pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

(43)

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 bahwa kekuatan

hukum setiap jenis peraturan perundang-undangan sesuai dengan

hierarkinya. Dalam penjelasan ayat (2) dinyatakan lebih lanjut, yang

dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan

perundang-undanganyang didasarkan pada asas bahwa peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Jenis Peraturan Perundang-undangan tidak terbatas pada yang dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (1) saja, tetapi mencakup juga peraturan yang

ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPR, Dewan

Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah

Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisial

(KY), Bank Indonesia (BI), Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang

setingkat yang dibentuk dengan UU atau Pemerintah atas perintah UU,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala

Desa atau yang setingkat (ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun

2011).

3. Peraturan Desa merupakan instrumen hukum penyelenggaraan

Pemerintahan Desa di dalam melaksanakan kewenangan Desa. Sehingga

Peraturan Desa seturut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 berfungsi

(44)

mengatur pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan

kewenangan lokal berskala Desa. Pengaturan demikian dapat diartikan

bahwa Peraturan Desa memiliki fungsi sebagai instrumen

penyelenggaraan otonomi desa. Seperti yang telah dijelaskan di atas,

kedudukan Desa adalah berada di wilayah Kabupaten/Kota. Selain itu,

perlu dicermati pengaturan Pasal 115 huruf b dan e jo. Pasal 112 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yang mengatur bahwa Pemerintah

Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan

Pemerintahan Desa, yang dalam hal Peraturan Desa berupa memberikan

pedomanpenyusunan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa serta

melakukan evaluasi dan pengawasan Peraturan Desa. Ketentuan ini

memperjelas bahwa fungsi Peraturan Desa tetap tidak berubah, yakni

berfungsi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu juga

perlu dilihat bahwa melalui pengaturan Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 terkait Peraturan Desa ini terlihat jelas bahwa tampuk kekuasaan dan

penyelenggaraan pemerintahan desa adalah berada di Kepala Desa.

B.Saran

1. Dalam menjalankan peraturan desa para pemangku jabatan harus menjalin

komunikasi dengan baik tentang pengaturan desa agar terlaksananya

otonomi desa sesuai dengan yang diharapkandan berpegang pada

prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

2. Sistem perundang-undangan di Indonesia harusnya dilakukan sesuai

(45)

dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan

Perundang-undangan agar setiap peraturan yang ada dapat terlaksana

sebagaimana mestinya dan mencegah terjadinya benturan didalam

pelaksaanaan setiap peraturan perundang-undangan

3. Desa dalam menjalankan sistem pemerintahannya agar diberikan

kebebasan karena pengaturan desa dan kedudukan peraturan desa untuk

menjalankan sistem pemerintahan sudah berdiri sendiri tanpa adanya

pengaruh dari peraturan lain karena desa sudah diberikan kewenangan

Referensi

Dokumen terkait

Negasi atau Ingkaran suatu pernyataan adalah pernyataan yang bernilai salah jika pernyataan semula benar, dan sebaliknya.. Doni tidak memakai

Namun petani lada dalam hal pemasaran, mengalami kendala, karena kesulitan dalam memasarkan hasilnya, pada umumnya yang berperan dalam tataniaga lada di desa ini

Situs porno begitu mengundang para pengguna internet untuk mengak- sesnya karena adanya daya tarik seperti tersedianya privacy, yakni kerahasiaan, keleluasaan pribadi, tanpa

Tugas akhir ini merupakan tugas yang harus diselesaikan oleh setiap individu sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Teknik Kimia,

Penugasan jasa review (SSARS Review) memungkinkan akuntan untuk mengekpresikan kayakinan yang tebatas bahwa laporan kauangan telah sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi

Pada penelitian ini, dilakukan pembuatan aplikasi mobile phone berbasis Android dengan menerapkan metode Wiener estimation untuk menduga nilai reflektan berdasarkan

Berdasarkan pemaparan diatas, proyek akhir ini akan menerapkan sistem kluster komputer menggunakan Apache Hadoop dengan komputer biasa yang terbagi menjadi 1 node,

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa runtun waktu erupsi Gunung Merapi pada tahun 1780 hingga tahun 2000 memiliki karakteristik stokastik acak dengan cacah erupsi sebagai