• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penguatan Status Hukum TAP MPRS MPR Dala

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penguatan Status Hukum TAP MPRS MPR Dala"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENGUATAN STATUS HUKUM KETETAPAN MPRS/MPR DALAM SISTEM

HUKUM INDONESIA1

Ali Ridho

Lahirnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (UU P3), perubahan atas UU No. 10 Tahun 2004 yang

menempatkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan (TAP MPR) sebagai bagian dari

hierarki peraturan perundang-undangan telah mengantarkan banyak perdebatan dalam

dunia akademik. Salah satunya, adalah karena pasca amandemen UUD Negara Republik

Indonesia (UUD NRI) 1945 struktur ketetanageraan Indonesia tidak lagi mengenal

lembaga tinggi Negara, pun begitu dengan kedudukan MPR yang kini tidak lagi sebagai

lembaga tinggi negara.2 Elemen negara memiliki stratifikasi yang sama dan prinsip checks and balances yang keumudian digunakan sebagai mekanisme menjalankan negara. Dengan demikian, tidak ada superioritas kelembagaan negara dan tidak ada lagi

produk hukum tertinggi secara formil selain UUD. Di samping itu, dengan melihat

konsepsi Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka jika

TAP MPR RI dimasukkan sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan

merupakan suatu yang tidak begitu penting dan malah terkesan berlebihan.

Di sisi lain, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada

bagian Aturan Tambahan Pasal I menyatakan bahwa,

“Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap

materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003”.

Kemudian, walaupun MPR tidak lagi berwenang membentuk Ketetapan namun masih

terdapat kategori Tap MPR yang masih tetap berlaku dan tidak dapat dicabut atau

1

Makalah singkat ini disampaikan dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dengan tema

“Tinjauan Terhadap Ketetapan MPRS/MPR Menurut Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003” pada tanggal 25 Februari 2015, di Jogja Plaza Hotel, Yogyakarta.

2

Sebagai konsekuensi MPR yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, maka MPR

(2)

2 diganti dengan undang-undang, serta kategori Tap MPR yang dapat masih berlaku

sepanjang belum diatur dalam UU. Ketetapan-Ketetapan MPR yang masih tetap berlaku

dan tidak dapat dicabut atau diganti dengan undang-undang adalah:

1. Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis

Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara

Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap

Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faharn atau Ajaran

Komunis/Marxisme Leninisme; dan

2. Tap MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka

Demokrasi Ekonomi;

Kedua pembuka di atas, tentu menjadi semacam dua sisi mata uang yang

masing-masing sisinya memiliki nilai. Oleh karenanya, keduanya pun menjadi penting

untuk direspon secara proporsional dalam penyelenggaraan bernegara. Namun melalui

makalah singkat ini, penulis hanya akan melakukan titik fokus pada kerangka

bagaimana menguatkan status hukum Tap MPRS/MPR dalam system hukum di

Indonesia. Guna mendapatkan deskripsi detail letak kelemahan keberadaan Tap MPR

sehingga nanti diharapkan akan mendapatkan solusi terhadap hal itu, maka akan terlebih

dahulu diuraikan problem tersebut dengan berpijak pada teori dan logika hukum.

Irasio Legis TAP MPR dalam UU No. 12 tahun 2011 tentang P3

“...jika UUD NRI 1945 saja dimasukkan dalam hirarki, maka TAP MPR juga harus ditulis dalam hirarki peraturan perundang-undangan guna memberikan

legitimasi keberadaannya.”3

Pernyataan di atas merupakan argumentasi salah satu politisi Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam pembahasan Rancangan Undang-undang tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (RUU P3) kala itu. Kini, RUU P3 telah

disahkan menjadi UU No. 12 tahun 2011, dan di dalamnya mencantumkan Tap MPR

sebagai hierariki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun apakah semangat

untuk menguatkan keberadaan Tap MPR sudah diapandang tepat?,

3

(3)

3 Apabila mendasarkan pada hierarki peraturan perundang-undangan, baik secara

teoritik maupun yuridis, maka sangat jelas bahwa tujuan untuk menguatkan Tap MPR

melalui undang-undang kurang lah tepat, karena disebabkan posisi undang-undang itu

sendiri yang posisinya lebih rendah di bawah Tap MPR itu sendiri. Hal yang

menyatakan bahwa posisi undang-undang lebih rendah setidaknya dapat didasarkan

pada dua konsepsi. Pertama, konsepsi teoritik. Sesuai dengan teori piramida hukum (stufentheorie) yang diperknalkan oleh Hans Kelsen. Teori tersebut memberikan kategorisasi atau pengelompokan terhadap beragam norma hukum dasar yang berlaku.

Teori Hans Kelsen ini kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky melalui teori yang

disebut dengan “theorie von stufenufbau der rechtsordnung”. Teori ini memberikan

penjelasan susunan norma sebagai berikut :

1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm); 2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);

3. Undang-undang formal (formell gesetz); dan

4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).4

Kedua, konsepsi yuridis. Baik Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 maupun Tap MPR No. III/MPR/2000 tegas memposisikan undang-undang di bawah Tap MPR.

Dengan kata lain Tap MPR posisinya lebih tinggi karena setelah UUD.5 Khusus, muatan UU No. 12 tahun 2011 menjadi catatan tersendiri karena selain merubah format hirarki

yang ada dalam UU No. 10 tahun 2004 yang mana tidak memasukkan Tap MPR ke

dalam hirarki peraturan perundang-undangan, juga menjadi penegas bahwa kini Tap

MPR posisinya lebih tinggi dibanding undang-undang.

Kedua argumentasi di atas, ikhtisar yang dapat diambil adalah bahwa sangat

sangat tidak logis undang-undang yang memberi dasar legitimasi keberadaan Tap MPR,

sedangkan kedudukan TAP MPR lebih tinggi dibanding dengan undang-undang.

Apabila memang berkeinginan untuk memberikan legitimasi keberadaan Tap MPR,

maka seharusnya diatur oleh peraturan yang lebih tinggi. Kemudian, tujuan penguatan

4

A. Hamid A. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV”, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. 1990. Hlm. 287.

5

(4)

4 melalui undang-undang juga melahirkan persoalan hukum baru, yaitu pertentangan

antara Ketentuan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 dengan Pasal 7 ayat (1)

UU Nomor 12 Tahun 2011.

Ketentuan Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 menyatakan bahwa beberapa

Ketetapan MPR masih tetap berlaku sampai dengan terbentuknya UU. Di sisi lain, Pasal

7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 menempatkan Ketetapan MPR di atas UU yang

dari sisi hirarki hukum mengandung konsekuensi bahwa produk hukum UU tidak boleh

bertentangan dengan Ketetapan MPR, konsekuensinya produk hukum UU tidak dapat

menyatakan ketentuan yang lebih tinggi tidak berlaku. Ketentuan ini tentu bertentangan

dengan Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 yang menyatakan bahwa terdapat

ketetapan MPR yang akan menjadi tidak berlaku jika sudah diatur dalam UU. Namun

jika menggunakan logika UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menempatkan Ketetapan

MPR di atas UU, maka yang harus digunakan adalah ketentuan Pasal 4 Tap MPR

Nomor I/MPR/2003 dimana substansinya justru menegasikan Pasal 7 UU Nomor 12

Tahun 2011 itu sendiri.6

Kedua hal di atas lah, yang kemudian menjadi titik lemah model penguatan Tap

MPR yang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang. Oleh karena, agar ke depan

tidak lagi menimbulkan persoalan hukum baru maka penting untuk digali solusi

persoalan tersebut. pencarian solusi, kian penting mengingat kini Tap MPR „terlanjur‟

diorbitkan kembali sebagai salah satu hierarki peraturan perundang-undangan.

Mosi Amandemen Ke-5 UUD NRI 1945

Melihat uraian di atas, amandemen UUD NRI 1945 atau amandemen ke-5,

nampaknya solusi untuk mengurai dan mengupayakan agar Tap MPR tetap legitmate namun tepat secara hukum. Melalui amandemen, diharapkan Tap MPR akan kembali

disebutkan di batang tubuh konstitusi, sehingga tujuan penguatannya tidak lagi

menimbulkan masalah hukum. Terlebih, secara teoritis terdapat tiga produk yang

dihasilkan oleh MPR berbentuk ketetapan. yaitu, (1) Perubahan UUD 1945, (2)

6

Muchamad Ali Safa‟at, "KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA", dalam

(5)

5 Keputusan MPR yang bersifat mengikat ke dalam, dan (3) Ketetapan MPR yang bersifat

mengikat ke dalam dan ke luar.

Namun demikian, hal yang perlu diingat bahwa dalam memasukkan Tap MPR

ke dalam agenda amandemen bukan otomatis juga menjadikan MPR sebagai lembaga

tinggi negara. MPR harus tetap pada posisinya seperti saat ini dan sama halnya dengan

posisi lembaga negara yang kini eksis, seperti DPR, Presiden, Mahkamah Konstitusi

dan lainnya. hal yang perlu dipertegas dan diperkuat di dalam amandemen adalah

berkenaan dengan produk hukum berupa Ketetapan yang mengikat ke luar dan ke

dalam. Dengan demikian, secara kelembagaan MPR posisinya selevel dengan lembaga

negara lainnya. adanya model yang demikian, maka konskeuensinya prinsip checks and

(6)

6

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Risalan Sidang, Hasil Penelitian, dan Media

A. Hamid A. Attamimi, 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV”, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Jimly Asshidiqie, 2006, Sengketa Kewenanga n Konstitusional Lembaga Nega ra.

Cetakan Ke-3, Jakarta : Konstitusi Pers.

Moh. Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Rajawali Pers : Jakarta.

Muchamad Ali Safa‟at, "KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA", dalam http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2013/02/KEDUDUKAN-KETETAPANMPR.pdf, diakses 24 Februari 2015.

Risalah Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, 2011, Jakarta,: Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukaan Peraturan Perundang-undangan

Referensi

Dokumen terkait

Bank SUMUT cabang Sidikalang untuk meningkatkan pelaksanaan strategi komunikasi pemasaran terintegrasi dan ekuitas merek sehingga nilainya berdampak pada peningkatan

Penelitian tentang Gambaran Histologis Hepar Mencit (Mus musculus L.) Strain DDW Setelah Pemberian Ekstrak N-Heksan Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) Selama

yang dapat mempengaruhi anak dalam belajar. Disamping faktor eksternal. yang bersifat fisik tersebut banyak macam yang lain yang

Kendala menghasilkan karya tulis ilmiah banyak dihadapi guru karena sejak awal guru kurang melakukan pembiasaan untuk menuangkan ide atau gagasan mereka dalam

• Disk merupakan sebuah piringan bundar yang terbuat dari logam/ plastik yang di lapisi dengan bahan yang dapat di magnetisasi?. • Data direkam diatasnya dan di baca oleh head •

1) Apa yang dimaksud dengan analisis siklus pembelajaran pada PTK? 2) Bagaimana langkah-langkah analisis data dengan teknik triangulasi data? 3) Bagaimana cara membandingkan

7. Lembaga Kemasyarakatan atau yang di sebut denagn nama Lain adalah Lembaga yang di bentuk oleh Masyarakat sesuai dengan Kebutuhan dan merupakan Mitra Pemerintah Desa

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pengaruh interaksi edukatif guru dan siswa terhadap motivasi belajar pada mata pelajaran sosiologi di SMA