• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jufri Al katiri Ahmadiyah Qadian Dalam P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Jufri Al katiri Ahmadiyah Qadian Dalam P"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

331

AHMADIYAH QADIAN}DALAM PERSPEKTIF

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA: KAJIAN

TENTANG AGAMA DI RUANG PUBLIK

Disertasi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang DakwahdanKomunikasi

Oleh: JufriAlkatiri 12.3.00.0.07.01.0030

Promotor

Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA Prof. Dr. Murodi, MA

KONSENTRASI DAKWAH DAN KOMUNIKASI

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

(2)

332

(3)

333

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI

Disertasi dengan judul: Ahmadiyah QadianDalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya: Kajian Tentang Agama Di Ruang Publik yang ditulis oleh Jufri Alkatiri, NIM 12.3.00.0.07.01.0030 telah lulus dan diperbaiki sesuai saran dan masukan Tim Penguji pada Ujian Pendahuluan Disertasi hari Rabu, 18 Juni 2014, dan disetujui untuk diajukan pada sidang Ujian Terbuka (Promosi).

TIM PENGUJI N

No Nama Penguji

Keterangan/ Tanda tangan

1

Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA Ketua Sidang/merangkap Penguji

Tanggal...

2

Prof. Dr. Suwito, MA Penguji 1

Tanggal...

3

Prof. Dr. Zainun Kamal, MA

Penguji 2 \ Tanggal...

4

Prof. Dr.Soedijarto, MA Penguji 3

Tanggal...

5

Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA Pembimbing/merangkap Penguji 1

(4)

334

6 Pembimbing/Merangkap Penguji 2

(5)

335

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Jufri Alkatiri

NIM : 12.3.00.0.07.01.0030

Konsentrasi : Dakwah dan Komunikasi

Dengan ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:

Ahmadiyah Qadian Dalam Perspektif Komunikasi

Antarbudaya: Kajian Tentang Agama Di Ruang Publikadalah

karya asli saya, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya yang dapat berakibat pada pembatalan gelar kesarjanaan saya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa paksaan dari siapa pun.

Jakarta, Mei 2014 Yang Menyatakan

(6)
(7)

337

KATA PENGANTAR

Bismillāhirramānirraḥīm

Segala puji dan syukur penulis panjatkan pada Alla>h swt, semata karena anugerah-Nya, penulis mampu menyelesaikan tugas akhir disertasi pada Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini. S{alawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada baginda Rasu>lulla>h Muh{ammad saw, keluarga, sahabat, serta umat terkasihnya.

Disertasi sederhana ini bermuladari keinginan penulis untuk turut andil menyumbangkan pemikiran tentang keilmuan dakwah dan komunikasi, terutama da’wah bi al-h}a>l yaitu dakwah yang disertai tindakan nyata dan komunikasi antarbudaya Ahmadiyah Qadian dengan Islam arus utama. Penulis menyadari, apa yang penulis suguhkan melalui disertasi sederhana ini belum mampu memberikan informasi dan kontribusi baru bagi perkembangan

ilmu dakwah dan komunikasi. Meskipunbegitu,

penulisberusahasemaksimalmungkinuntukmenyajikan yang

terbaik.Kekuranganini menyadarkan penulis, bahwa tugas akhir ini mustahil terselesaikan tanpa dukungan dan bantuan, baik moril maupun meteril dari banyak pihak. Karena itu, kesadaran penulis untukmengucapkanterima kasih sebesar-besarnya, terutama kepada:

(8)

338

Azra MA, seorang intelektual-organik yang pikiran dan sepak terjang beliau senantiasa menjadi inspirasi dan teladan bagi penulis, mahasiswa dan kalangan akademik.

Kedua, pembimbing disertasi Prof. Dr. H. Azyumardi Azra MA dan Prof. Dr. H. Murodi MA, yang dengan ketekunan dan keikhlasannya terus mendampingi dan mengarahkan penulis, baik secara teknis maupun substansi, hingga disertasi ini layak diajukan ke sidang munaqasah. Mohon maaf, jika selama bimbingan penulis banyak merepotkan dan mengganggu waktunya. Semoga Alla>h Swt mencatat amal baik untuk kesediaan Prof AzyumardiAzra dan Prof Dr. Murodi. Tidak lupa untuk Prof. Dr. H. Suwito MA, dan Prof Dr. Andi Faisal Bakti MA yang memberikan dorongan dan semangat dalam merampungkan disertasi ini.

Ketiga, para dosen dan pegawai akademik Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. H. Suwito, Prof. Dr. H. Thib Raya, Prof. Dr. Zainul Kamal, Prof. Dr. Atho Mudzhar, Prof. Dr. Bambang Pranowo, Prof. Dr. Ikhsan Tanggok, Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, Prof. Dr. Sukron Kamil, Dr. Fuad Jabali, Dr. Yusuf Rahman, Dr. Asep Syaepuddin Djahar, Dr. Muhbib, Dr. Muhammad Zuhdi, Prof. Dr. Musdah Mulia (ICRP),dan Dr. Suparto, serta staf dan karyawan Sekolah Pascasarjana UIN dan teman-teman sesama mahasiswa Sekolah Pascasarjana. Mohon maaf, jika selama berinteraksi penulis terlalu banyak minta dilayani, sementara penulis tidak mampu memberikan apapun. Semoga kebaikan mereka dibalas kebaikan pula oleh-Nya.

(9)

339

sedang menyusun skripsinya justrumemotivasi ayahnya untuk cepat sidangpromosidoktor.

Kelima, ayahanda dan ibunda penulis, almarhum Syamsuir dan almarhumah Halimatun serta kedua bapak dan ibu mertua almarhum Roeslan Prawirodisastro danalmarhumah Hajjah Supinah, serta kakak penulis Hj.Umi Nur Rochyati, SPd, MM.

Keenam, teman-teman di News Liputan 6 SCTV yang memberikan dorongan dan memotivasi penulis untuk secepatnya merampungkan studi doktoral di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ketujuh, Muballigh, Pimpinan dan Pengurus PB Jamaat Ahmadiyah Indonesia di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Parung Bogor terutama Amir Nasional H. Abdul Basit, Ustad Zafrulloh Ahmad Pontoh, Ustad Rakeeman R.A.M Jumaan, Ustad Fadhal Ahmad, dan Ekky Sobandi, MSi. Selain itu, ucapan terimakasih penulis untuk Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Ketua Umum MUI Pusat Prof. Dr. Din Syamsuddin, Rois Syuriah PBNU KH Masdar Mashudi, Prof Dr. Adnan Buyung Nasution,Direktur Wahid Institute Ahmad Suedi, Setara Institute Jakarta, dan Anggota Dewan Pakar Lembaga Kebudayaan Betawi Abdul Chaer untuk menyediakan waktunya diwawancarai dan berdiskusi dengan penulis.

Sebagai kalam pamungkas, penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari yang diharapkan. Karenanya, penulis membuka tangan lebar-lebar untuk menerima saran, kritik, atau masukan yang konstruktif dari siapapun, untuk kelengkapan disertasi ini. Luruskan dan tamballah kekurangan-kekurangan yang bertebaran di lembaran-lembaran disertasi ini. Semoga saran, kritik atau masukan pembaca menjadi bagian dari tawa>s}aw bi al-h}aqq, dan mendapat balasan setimpal dari-Nya. Akhirnya, terima kasih kepada siapa pun yang menilai disertasi ini ada maupun tidak ada maknanya.

Sekian dan terima kasih. Wassalam.

Jakarta, Mei 2014

(10)
(11)
(12)

342

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan membuktikan bahwa perbedaan agama berpengaruh signifikan terhadap proses komunikasi antarabudaya. Semakin eksklusif suatu budaya semakin mudah menimbulkan konflik antarbudaya. Semakin kecil ruang komunikasi semakin terbuka konflik fisik antarumat beragama.

Kesimpulan ini merupakan elaborasi lebih lanjut dari teori Larry A. Samovar dalam Communication between Cultures (2007) yang mengatakan bahwa komunikasi antara umat Islam arus utama dengan Jemaat Ahmadiyah tidak mudah dilakukan karenamemiliki latar belakang agama dan budaya yang berbeda. Joseph A. DeVito

dalam Human Communication (1996) mengungkapkan bahwa

semakin besar perbedaan budaya semakin sulit komunikasi antarbudaya dilakukan.

Disertasi ini mendukung teori Judith N. Martin dan Thomas

K. Nakayama dalam bukunya Communication in Contexts,

Intercultural Communication in Contexts (New York: Mc Graw-Hill, 2004), perbedaan dan penafsiran agama seringkali menjadi akar konflik budaya. Dan disertasiinimemperkuat pemikiran Jurgen Habermas dalam, Religion in the Public Sphere, bahwa agama di ruang publik dituntut melepaskan klaim sebagaisatu-satunya yang memiliki otoritas untuk menafsirkan dan menentukan cara hidup yang legitimated. Agama ketika masuk ke ruang publik harus ditafsirkan secara sekuler, berdasarkan prinsip rasionalitas.

Disertasiiniadalahpenelitiankualitatifdenganmetode

wawancara, dokumentasi, dan

partisipatoris.Penelitianinimenggunakanpendekatanantropologiko

munikasidengan cara menguraikan, menjabarkan, dan

(13)

343

ABSTRACT

This thesis is intended to prove that religious difference brings significant impact on cross cultural communication process. More exclusive is a culture, more cross cultural conflicts take place. Smaller communication space will promote more open physical conflict amongst religious community.

The conclusion of this thesis is a deeper elaboration of Theory Larry A. Samovar in Communication between Cultures (2007) which states that the communications among Muslim people of Jemaat Ahmadiyah is not easy to conduct as they have different cultural and religion background. Joseph A. DeVito in Human Communication (1996) stated that wider different culture promotes a more complicated cross cultural communications.

This thesis supports the notion stated by Judith N. Martin and Thomas K. Nakayama in his book Communication in Contexts, Intercultural Communication in Contexts (New York: Mc Graw-Hill, 2004), the difference and perception of religion has been the root problem of cultural conflict. This thesis is also strengthen by the idea of Jurgen Habermas in Religion in the Public Sphere, that religion in public area is forced to release the claim as the only authorized party to make the perception and decide a legitimated lifestyle. When religion entered the public area, it should be perceived as secular, based on rationality principles.

(14)

344

صخلملا

تافاقثلا يبلاصتااةيلمعىفلادرثأتا ةي يدلاتافاتخاانأتابثإىلإثحبلااذهفدهي

.

تافاقثلا يبتاعارصلاقيقحتىلعتلهستفامعمت ةفاقثترص ااملكو

.

مه يبةيدا اتاعارصلاتحتفنافعمتجادارفأ يبتااصتااةحاسمتقاضاملكو

.

أيراةيرظ لتاحيضوتلاو مديزميهةجيت لاهذهو

.

راوام

,

تافاقثلا يبتااصتاا

(

Communication between Cultures

) (2007)

,

ةي يدلامهايفلخفاتخامه يبمايقلابةلوهسلا مسيلةيدمأةعامجعمو يملس ا يبتااصتااناوقيثيح

ةيفاقثلاو

.

أفيسو اكاذكهو

.

يوتيفيد

,

ةيرشبلاتااصتاا

( Human

C

ommunication ) (1996)

تافاقثلا يبلصاوتلايفتابوعصلاتدادزافةيفاقثلاتافاتخااتدازاملكهأرعي

.

نثيدوجةيرظنديؤتةجيت لاهذهتناكو

.

كساموتو ترام

.

امهاتكيفاماياكان

تاقايسلاوتافاقثلا يبلصاوتلا,تاقايسيفتااصتاا

(

Communication in Contexts, Intercultural Communication in

Context

s

( )

كرويوين

:

ليهوارغكم

, 2004

.)

عمتجاد عيفاقثلاعارصلاىلإنايحأا مرثكيفيدؤيةي يدلاصوص لارسفتيففاتخاانأاقثيح

.

سامرباه يغرويجأرلااضيأةساردلاهذهديؤتو

,

ماعلااجايف يدلا

(

Religion in the Public

(15)

345

(

رهظمءاطع

)

لاتاساردلاةيلكسيردتلاةئيهءاضعأوناندعاسينودنأاةيروهم اسيئرلاداشرإناويدلا مقباسوضعدحأو

اتركاجةيموك اةيماسإاهللاةيادهفيرشةعماجىفايلع

.

ام اعمةينادي اتاظحا ا,كلذىلإةفاضإاب

ةيدمأاةعام ا مةفئاطلاو يملس اري

.

ظعميفةيدمأبةقلعت اتاساردلاوايسينودنإبةيدمأعابتأتايما يدودوجوبةقلعت اةيبيرجتلاتانايبلاكلاذكو

ةيماسإانادلبلام

.

ةكراش اوقيثوتلاوةثداحاجه امادختسابيعو لاثحبلاةساردلاهذهوكتو

.

حافي صتواهفصووةضيرعلاطوط اقيرط عتااصتااويجولوبورثنأاجه اةساردلاهذهاضيأمدختستو

ةيدمأةعامو يملس اعمعارصلاةيضقفشتكتىتحرسافتلاوماف ارفوتلاخ مليلحتماهيلتيتلاقئاق

.

يلا مةفرع اوتامولع ارفوتنأ كمتيتلاتاجاوتااق اوبتكلاثماباتكلاضعبيهةيوناثلاتانايبلارداصمأ يحيفو

ةيدمأيسيئرلارا

.

يليلحتلايفصولاجه امادختسابوتافاقثلا يبيزمرلاصاوتلاةيرظ قيرط عاهعمجمتيتلاتانايبلايلحتمتيم

.

ةيسيئرلاتاملكلا

:

(16)

346

PEDOMAN TRANSLETERASI ARAB-LATIN

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

ا alif Tidak

dilambangkan

Tidak

dilambangkan

ب ba b be

ت ta t te

ث sa th te dan ha

ج Jim j je

ح ha ha (titik di bawah)

خ kha kh ka dan ha

د dal d de

ذ zal dh de dan ha

ر ra r er

ز zai z zet

س sin s es

ش shin sh es dan ha

ص sad es (dengan titik di

bawah)

ض dad de (dengan titik di

bawah)

(17)

347

bawah)

ظ za zet (dengan titik di

bawah)

ع ‘ain ...‘... Koma terbalik di

atas

غ gain gh ge dan ha

ف fa f ef

ق qaf q qi

ك kaf k ka

ل lam l el

م mim m em

ن nun n en

و wau w we

ه ha h ha

ء hamzah ...’ ... apostrof

ي ya y ye

Catatan:

Huruf al-madd berupa al-alif dilambangkan dengan ā seperti qāla (لاق)

Huruf al-madd berupa al-wāw dilambangkan dengan ū seperti qālū

(اولاق)

Huruf al-madd berupa al-yā’ dilambangkan dengan ī seperti qīla (ليق)

Huruf al-tā’ al-marbūah (ة) yang terletak di akhir kata ditulis h, Sedangkan al-tā’ al-marbūah (ة) yang menjadi al-muāf ditulis t seperti wazārat al-tarbiyah ( ةيبرلا ةرازو). Sedangkan, kata yang di akhirnya al-tā’al-marbūṭah (ة) yang menjadi ifat dan mawṣūf ditulis h seperti al-risālah al-qaīrah (ةرصقلا ةلاسرلا)

(18)

348

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

SURAT PERNYATAAN ... iii

PERSETUJUAN PENGUJI ... ... v

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... xi

PEDOMAN TRANSLETERASI ... xv

DAFTAR ISI ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Permasalahan ... 23

C. KajianPustaka ... 29

D. TujuanPenelitian ... 33

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 35

F. Metode Penelitian ... 36

(19)

349

BAB II KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DAN

AGAMA DI RUANG PUBLIK ... 43

A. PerbedaandanPenafsiran Agama dalamIlmuKomunikasi ... 43

B. Komunikasi Antarbudaya ... 48

1. Perspektif Teori di Ruang Publik ... 55

2. Perspektif Terjadinya Konflik ... 64

a. Perspektif Komunikasi ... 67

b. Perspektif Budaya ... 70

c. Perspektif Komunikasi Antarbudaya ... 75

d. Perspektif Agama dalam Komunikasi Antarbudaya ... 78

3. Komunikasi Budaya dan Dakwah ... 81

C. Agama di Ruang Publik ... 84

1. Ruang Publik(Public Sphere) ... 88

2. Diskursus Agama di RuangPublik ... 89

3. Agama di RuangPublikdalamPerspektif Islam ... 95

D. Konstruksi Moral dalamKomunikasiAntarbudaya ... 96

BAB III AHMADIYAH : DINAMIKA PEMIKIRAN DAN SOSIAL ... 105

A. FaktorSosio-Historis ... 105

B. SejarahMasuknyaAhmadiyahke Indonesia ... 109

1. PendiriAhmadiyahQadian ... 119

2. KebenaranAjaranAhmadiyahQadianVer siAhmadiyah Lahore ... 121

a. Ahmadiyah Lahore ... 122

b. AhmadiyahQadian ... 123

3. MotivasiPengembanganAjaranAhmadiy ahQadian ... 125

C. Ahmadiyah : Agama, Masyarakat, dan Negara ... 126

D. ProfilJemaatAhmadiyah Indonesia ... 129

1. KondisiSosialBudaya ... 131

(20)

350

3. PetaKonflikdanKekerasan di Bogor

dan Jakarta ... 134

E. Realitas JAI sebagaiKomunitas Islam Marjinal ... 137

BAB IV AGAMA DI RUANG PUBLIK DALAM KASUS AHMADIYAH DI BOGOR DAN JAKARTA ... 143

A. Agama di RuangPublikdalamPenerapanKomunikasi JAI ... 143

B. Kondisi Keberagaman Masyarakat ... 150

1. Kehidupan Keagamaan di Bogor ... 150

2. Kehidupan Keagamaan di Jakarta ... 153

C. Pendekatan Kritik Budaya ... 156

D. Kondisi Sosial Budaya Indonesia ... 178

E. Keberagaman Umat yangRentanIntoleransi ... 180

F. Ciri-CiriMasyarakatSipil: PrinsipdanNilai Fundamental ... 189

G. Tindakan Kekerasan di Indonesia ... 193

BAB V KOMUNIKASI ANTARBUDAYA JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) ... 201

A. Prinsip-Prinsip Komunikasi Antarbudaya ... 201

B. Problem Komunikasi dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya... 206

1. Etnosentris……… ... 211

2. Stereotip dan Prasangka (Prejudice).. ... 223

C. Pola DakwahdanKomunikasi Islam ... 228

D. Komunikasi Antarbudaya Ahmadiyah dalam Proses ... 233

E. Sebab-SebabTerjadinyaKonflik ... 257

F. DampakKonflikAntara JAI denganUmat IslamMainstream ... 271

1. Verbal ... 289

2. Non-verbal. ... 292

(21)

351

A. Kesimpulan ... 295

B. Saran dan Rekomendasi ... 297

DAFTAR PUSTAKA ... 301

GLOSSARI ... 325

INDEKS ... 331 LAMPIRAN

DAFTAR WAWANCARA BIOGRAFI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

(22)

352

makin sulit untuk melihat identitas religius sebagai bagian dari agama tertentu saja.1

Bukan itu saja, identitas religius berpotensi untuk membentuk identitas budaya.2 Islam Sunni, misalnya, sering diidentifikasi sebagai konsep religius budaya Indonesia, sedangkan

kelompok lain, seperti Syi’ah atau Ahmadiyah, dipandang tidak memiliki identitas kebudayaan di Indonesia.3 Kelompok-kelompok tersebut sering dikaitkan dengan sejumlah konsep mutakhir, misalnya transnasionalisme Islam4 atau internasionalisme Islam. Salah satu akibatnya munculnya konflik antarbudaya.5 Karena itu, perbedaan agama kerap menjadi akar konflik6 di banyak negara, misalnya di Timur Tengah, Irlandia Utara, India, dan Pakistan, hingga Bosnia-Herzegovina. Hingga saat ini pun, misalnya hal serupa terjadi pada segelintir orang Arab-Amerika hidup di bawah kecurigaan, bahkan penghambatan dalam beribadah yang dilakukan

1Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama, Intercultural

Communication in Contexts (New York: Mc Graw-Hill, 2004), 79. Martin dan Nakayama mengatakan, bagaimana komunikasi mempengaruhi budaya. Budaya tidak akan bisa terbentuk tanpa komunikasi. Pola-pola komunikasi yang tentunya sesuai dengan latar belakang dan nilai-nilai budaya akan menggambarkan identitas budaya seseorang maupun kelompok orang

2Lihat Tracy Novinger, Intercultural Communication A Practical Guade

(Austin USA: University of Texas Press), 2001.

3Lihat Brian Morris, Religion and Anthropology: A Critical Introduction

(New York, Cambridge University Press, 2006), 45

4Transnasionalisme Islam yaitu ideologi dan gerakan sosial politik dan

keagamaan yang lintas negara. Namun, dalam konteks NU, istilah

transnasionalisme diacu dan dirujukkan pada ideologi dan gerakan sosial politik dan keagamaan yang tunggal dan mendunia dari Timur Tengah. Lihat sumber

https://fr-fr.facebook.com/notes/warga-nahdliyin-dukung-pancasila-tolak-khilafah/nu-vis-a-vis-transnasionalisme, diakses, 30 Januari 2014

5Lihat Robert N. Bellah, Beyond Belief: Esei-Esei tentang Agama di

Dunia Modern (Jakarta: Paramadina, 2000), 11

6Nicola Colbran\, ‚Realities and Challenges in Realising Freedom of

(23)

353

masyarakat di sekelilingnya sejalan dengan upaya pemerintah Amerika Serikat untuk menekan terorisme.7

Sedangkan Karen Armstrong melihat agama menjadi penyebab seluruh peperangan besar dalam sejarah umat manusia. Pada kenyataannya, penyebab konflik biasanya akibat ketamakan, kebencian, dan ambisi, namun dalam upaya untuk mensterilkannya, emosi-emosi yang memperturutkan nafsu sendiri ini kerap dibungkus dalam retorika agama.8 Agama memang dianggap sebagai sumber ajaran keluruhan dan kerukunan. Namun tidak jarang timbul gesekan antarpemeluk agama. Kenyataan ini harus disadari, bukan sebagai bahan untuk provokasi namun diharapkan masyarakat harus berupaya mengelola kemajemukan.

Agama, menurut cara pandang komunikasi antarbudaya, tergolong ke dalam ranah budaya.9 Komunikasi jika ditinjau dalam perspektif Islam, memiliki posisi yang sangat krusial. Menurut Hamid Mowlana dan Joseph A. Kechichian dalam Communications Media, bahwa komunikasi telah menjadi bagian instrumental dan integral dari Islam sejak awal sebagai gerakan religio-politik.10 Salah satu media yang diasumsikan mempunyai kekuatan untuk memobilisasi massa adalah agama.11 Menurut Azyumardi Azra,

7Bandingkan dengan Helen Hardcare, "Religion and Civil Society in

Contemporary Japan", Japanese Journal of Religious Studies, 2004, 411, http://nirc.nanzan-u.ac.jp/nfile/2851 (diakses pada tanggal 1 Juli 2013).

8Karen Armstrong, Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas

Kasih (Bandung: Penerbit Mizan 2013),10.

9Tariq Ramadhan, What I Believe (Oxford: Oxford University, 2010),

90-95.

10Hamid Mowlana dan Joseph A. Kechichian, ‚Communications Media,‛

The Oxford Encyclopedia of the Islamic World,

http://www.oxfordislamicstudies.com/ article/opr/t236/e0157?_Hi=0&_pos=1,

(diakses 30 Juni 2013).

11Clifford Geertz mendefinisikan agama sebagai simbol yang berperan

untuk membangun suasana yang kuat (resource), pervasive, dan tahan lama dalam diri manusia dengan cara merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang umum dan membungkus konsepsi-konsepsi itu dengan fakta. Lihat Daniel L. Pal,

Eight Theories of Religion (Lahore: Oxford University Press, 1966), 414, Robert C. Trundle, (2011) agama dapat dipolitisir menjadi pembunuh ideologi dan agama. Lihat Robert C. Trundle, ‚America’s Religion Versus Religion in

(24)

354

dalam Pergolakan Politik Islam; dari

Fundamentalisme,12Modernisme Hingga Post-Modernisme,13

fundamentalisme Islam melancarkan jihad terhadap kaum muslim yang dipandangnya telah menyimpang dari ajaran Islam yang

murni. Banyak mempraktikkan bid’ah, khurafat, takhayul, dan

semacamnya. Selain itu, dalam buku Membela Kebebasan

Beragama:14 Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme,15 dan Pluralisme16, Azra dalam menyikapi fenomena perbedaan teologi antara paham Islam di luar mainstream seperti Lia Eden, Ahmadiyah, Usman Roy, dan Syiah perlu secara terus menerus dilakukan upaya dialog.

Di samping itu, menurut Azra, penting juga untuk meninggalkan ego masing-masing dan dan lebih berhati-hati dalam mengeluarkan statemen keagamaan, terutama bagi lembaga

12Fundamentalisme sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau

agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fondasi). Karenanya, kelompok-kelompok yang mengikuti paham ini seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain bahkan yang ada di lingkungan agamanya sendiri. Mereka menganggap diri sendiri lebih murni dan dengan demikian juga lebih benar daripada lawan-lawan mereka yang iman atau ajaran agamanya telah tercemar.

13Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme,

Modernisme hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996),37.

14Lihat juga Azyumardi Azra, Membela Kebebasan Beragama

Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, Budhy Munawar- Rachman (ed) (Jakarta: Demokrasi Project Yayasan Abad Demokrasi: 2011), 266.

15Liberalisme adalah suatu paham atau tradisi politik yang menjunjung

tinggi terhadap kebebasan. Secara umum paham ini ingin menciptakan sebuah masyarakat yang menjamin adanya kebebasan berfikir, berpolitik dan kebebasan dalam memiliki harta benda bagi setiap orang. Kata liberal berasal dari bahasa Latin liber yang artinya adalah bebas, merdeka atau bukan hamba. Marcus Aurelius (121-180) dalam tulisannya yang berjudul Meditation menjelaskan dalam sistem pemerintahan yang mendasarkan pada kebebasan..kses

16Pluralisme bukan hanya berarti actual plurality (kemajemukan atau

keaneragaman) yang justru menggambarkan kesan fragmentasi, bukan juga

sekedar ‚kebaikan negatif‛ sebagai lawan dari fanatisme, melainkan harus dipahami sebagai ‚pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban‛

(genuine engagement of diversity within the bonds of civility). Lihat, Budi Munzwar Rachman, Islam Pluralis,31; Ahmad Baso, Civil Society versus

Masyarakat Madani : Arkeologi Pemikiran ‚Civil Siciety‛ dalam Iskam

(25)

355

keagamaan yang dianggap legitimate bagi umatnya. Karena

statemen, apalagi fatwa, mereka dapat dijadikan pemicu atau alasan bagi kalangan tertentu untuk melakukan tindak kekerasan terhadap aliran agama atau paham lainnya. Lembaga-lembaga penting seperti MUI, misalnya, sepatutnya mengurangi kecenderungan cepat-cepat mengeluarkan fatwa – tanpa terlebih dahulu mengadakan dialog yang melibatkan pelbagai kalangan dan elemen Islam yang berbeda paham teologinya. Dengan begitu dapat tercipta fatwa yang dapat menyejukan suasana keberagamaan. Jadi, setiap fatwa yang dibuat seyogianya harus lebih mengutamakan dialog. Kecenderungan MUI belakangan ini, senang cepat-cepat mengeluarkan fatwa, tetapi fatwa itu tidak terlalu menolong penciptaan kehidupan intra-umat Islam yang lebih baik.17 Fatwa pengharaman MUI terhadap pluralisme, menurut Azra keliru. Sebab, fatwa MUI itu didasarkan pada pemahaman yang tidak benar mengenai pluralisme. Pluralisme sejatinya bukan mencampuradukkan atau sinkretisme agama. Mendukung pluralisme, bukan berarti mencampuradukkan akidah dengan agama-agama lain.18

Menurut Abdul Hadi, bangsa Indonesia harus kembali ke UUD 1945. Ketika dalam UUD ada yang menyebutkan kebebasan

17

Lihat juga Azyumardi Azra, Membela Kebebasan Beragama Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme….266-267.

18Lihat juga Azyumardi Azra, Membela Kebebasan Beragama

Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme….267-268.

(26)

356

beragama, tetapi harus diingat di situ bukan kebebasan seluas-luasnya. Kebebasan agama hanya bisa diterapkan bagi kelompok-kelompok yang memang asli lahir dari budaya Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah. Sedangkan kelompok seperti Ahmadiyah, tidak lain adalah alat kapitalis yang terusir dari negara asalnya.

Bukan berarti dia tidak suka terhadap kelompok ini.19

Bagaimanapun kalau terjadi kekerasan terhadap mereka, negara tetap harus melakukan tindakan tegas.

Agama, secara khusus sangat penting dalam pembicaraan komunikasi antarbudaya, karena agama merupakan cara pandang (worldview); sesuatu yang menuntun manusia dan menolong manusia menentukan gambaran dunia ini dan bagaimana mereka berperan dalam dunia tersebut.20 Cara pandang merupakan inti dari perilaku manusia, karena suatu cara pandang akan menjelaskan realitas dan mengajarkan seseorang untuk melakukan peran secara efektif. 21

Islam di berbagai zaman dan di berbagai daerah di Indonesia, berhadapan dengan adat dan struktur sosial setempat

19Lihat juga Abdul Hadi WM, Membela Kebebasan Beragama

Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme Budhy Munawar- Rachman (ed) (Jakarta: Demokrasi Project Yayasan Abad Demokrasi: 2011), 85. Bagi saya silakan saja Ahmadiyah hidup di negeri ini, kalau terjadi sesuatu atas mereka, maka itu adalah tanggung jawab pemerintah. Saya ingat ketika terjadi kerusuhan di Solo antara pendukung Sarekat Islam dengan masyarakat Tionghoa, di mana persoalannya bukan karena agama, tetapi lebih oleh karena motif ekonomi. Kalau sekarang seenaknya konglomerat membawa uang negara ke luar negeri, bukankah wajar jika warga marah. Jangan lagi disebut konflik etnis, ras, atau bahkan agama. Konsep SARA harus kita hilangkan. Biarkan orang Kristen mengkritik orang Islam, begitu pun sebaliknya. Masalahnya selama ini media masa tidak mampu menampung, akhirnya yang terjadi adalah munculnya sekat-sekat kelompok agama. Penyebab itu semua, sebagaimana sebelumnya saya katakan, karena menggejalanya budaya lisan. Jadi, sebagaimana saya utarakan dari awal, pokok soalnya adalah pendidikan kita yang tidak memiliki muatan kultur.

20Lihat Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, Communication

Between Cultures (New York: Oxford University Press, 1995),10. 21

(27)

357

yang amat berbeda-beda.22 Dengan demikian, berbeda-beda pula perkembangan peranan agama dan pertimbangan-pertimbangan sosial dengan adat dan struktur sosial dalam sejarah dan wilayah Indonesia. Berbagai bentuk interaksi kongkret menunjukkan pula keanekaragaman wajah Islam dalam manifestasi sejarahnya.

Hadirnya Islam di ruang publik secara umum bisa dilihat sebagai penyebaran nilai, ajaran, dan simbol-simbol Islam pada masyarakat dengan memanfaatkan ruang publik, yaitu ruang atau arena, baik nyata maupun virtual yang digunakan secara bersama oleh warga masyarakat untuk mengomunikasikan dan menegosiasikan berbagai ide dan kepentingan, termasuk di dalamnya pandangan dan kepentingan agama.23 Samovar, Porter, dan Jain mendefinisikan komunikasi antarbudaya sebagai intercultural communication occurs whenever a message producer is a member of one culture and a message receiver is a member of another.24 Komunikasi antarbudaya merupakan satu hal yang sama kompleksnya dengan kebudayaan. Komunikasi antarbudaya terjadi di antara komunikator dan komunikan yang memiliki latar

belakang kebudayaan berbeda. Sedangkan komunikasi

22Lihat juga pendapat Silvio Ferrari, "Religion and the Development of

Civil Society", Internatioanl Journal for Religiuos Freedom Vol 4 Issue 2 2011, 35, http://www.iirf.eu/fileadmin/user_upload/Journal/ IJRF_Vol4-2.pdf (diakses pada tanggal 30 Juni 2013).

23Menggunakan perspektif Jurgen Habermas, pemaparan dan

pewacanaan Islam di ruang publik bagaimanapun mengandung dimensi politis berbagai kekuatan sosial berusaha mengartikulasikan secara publik kepentingan-kepentingan kepada Negara. Lihat, ‚Islam di Ruang Publik, Politik Identitas dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia‛, Sukron Kamil, Noorhaidi Hasan dan Irfan Abubakar (ed), Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, 2-3. Maraknya Islam di ruang publik khususnya selama periode reformasi ditunjukkan oleh beberapa indikasi yang cukup menonjol. Di bidang politik, gejalan ini ditandai dengan lahirnya partai-partai politik Islam baru yang aktif mendengungkan seruan-seruan Islamis dan munculnya gerakan Islam militan seperti Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Front Pembela Islam (FPI). Di bidang ekonomi, terjadi ekspansi bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnnya. Di bidang kbudayaan, berkembang penerbitan buku-buku yang bertajuk Islam dan berkembangnya industri film yang mengangkat tema-tema Islami, seperti

Ayat-Ayat Cinta.

24Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antarbudaya (Jakarta:Pusat

(28)

358

antarbudaya meliputi aspek komunikasi, sementara karakteristik utama dari komunikasi yaitu makna. Komunikasi terjadi ketika seseorang mengatribusikan makna pada tuturan atau tindakan orang lain.

Dalam upaya meningkatkan hubungan baik antarumat beragama, perlu dijalin komunikasi yang bersifat antarbudaya (intercultural communication),25 dengan demikian, akan dapat terjalin suasana keakraban antarpemeluk agama. Komunikasi juga dapat dipahami sebagai satu proses simbolis, di mana realitas diproduksi, dipertahankan, diperbaiki, dan ditransformasikan.26 Komunikasi antarbudaya, merupakan komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya; antara suku bangsa, etnik, ras, dan kelas sosial, tanpa kecuali komunikasi antarkelompok. Contohnya, jemaat Ahmadiyah dan kelompok Islam arus utama Indonesia. Pentingnya melakukan komunikasi antarbudaya dalam melihat konflik Ahmadiyah dengan Islam arus utama untuk mengkaji seberapa jauh fungsi dan peran komunikasi antarbudaya yang dilakukan kelompok Ahmadiyah dalam melakukan interaksi keagamaan dengan Islam mainstream. 27

Sejumlah pengertian tentang konflik antara lain adanya pertentangan yang timbul di dalam seseorang maupun dengan orang lain yang ada di sekitarnya. Konflik dapat berupa perselisihan (disagreement), adanya keteganyan (the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antar kedua belah pihak, sampai kepada mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai pengahalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan masing-masing.

25Komunikasi antarbudaya perlu diterapkan dalam dialog dan interaksi

antarumat beragama sehari-hari. Menurut Roger dan Steinfatt (1999), sebagaimana dikutif oleh Judy Pearson, et.al, bahwa yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya adalah pertukaran informasi antarindividu yang tidak sama dalam hal budaya. Judy Pearson, et.al, Human Communication (New York: McGraw Hill,2003), 210.

26Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, Communication Between

Cultures, 10.

27Lihat juga Azyumardi Azra, Membela Kebebasan Beragama

(29)

359

Dampak dari aksi kekerasan dapat mengarah kepada tindakan fisik yang bersifat personal, artinya mengarah pada orang atau kelompok tertentu yang dilakukan secara disengaja maupun tidak disengaja. Pada dasarnya konflik dan kekerasan ada perbedaan, namun keduanya memiliki hubungan erat. Tidak ada kekerasan tanpa diawali konflik, sementara konflik tidak harus berujung pada kekerasan. Kekerasan dapat terjadi jika pihak-pihak yang terlibat di dalamnya tidak mampu menyelesaikannya.28 Dalam pandangan Habermas, agama di ruang publik dituntut untuk melepaskan klaim sebagai yang satu-satunya memiliki otoritas untuk menafsirkan dan menentukan cara hidup mana yang legitimed.29 Agama ketika masuk ke ruang publik harus ditafsirkan secara sekular berdasarkan prinsip rasionalitas. Pandangannya ini dipengaruhi oleh konsep Demokrasi Deliberatif30, bahwa negara dan agama harus dipisahkan perannya.

28Bandingkan dengan arti kekerasan (violence) secara etimologi berasal

dari bahasa latin ‚vis‛ yang artinya kekuatan, kehebatan, kedahsyatan dan kekerasan dan ‚lotus‛ yang artinya membawa. Lihat Elly M. Setiadi dan Usman

Kolip, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 358-359. Thomas Santoso dalam pengantar buku Teori-teori Kekerasan

mengungkapkan pendapat Johan Galtung, seorang kriminolog dari Norwegia, yang mendefinisikan kekerasan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar, lihat Thomas Santoso, eds. Teori-teori Kekerasan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002). Dalam literatur Islam, kekerasan agresif dalam pengertian pembunuhan untuk mendapat yang diinginkan, terjadi pertama kali dilakukan oleh Qobil terhap Habil, anak Nabi Adam AS, karena memperebutkan perempuan jelita, Iqlimah, hingga akhirnya terjadi kekerasan dalam bentuk pembunuhan terhadap Habil. Dalam

al-Qur’an kisah ini dapat dilihat dalam surah al-Maidah, 5:27-30. Lihat juga, Ala’i

Najib, ‚Perempuan dan Perdamaian: Catatan tentang Peacebuilding‛ dalam Jurnal Taswirul Afkar, edisi No. 22 tahun 2007, 9.

29Lihat F. Budi Hardiman, Ruang Publik: Melacak Partisipasi

Demokratis dari Polis sampai Cyberspace (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 230. Mengenai konsep ‚Agama di Ruang Publik‛ Habermas menulis khusus tentang

itu dalam bukunya, Between Naturalism and Religion (New York: Polity Press, 2009) yang diterjemahkan dari buku asli Zwischen Naturalismus und Religion

tahun 2005. Secara khusus pada sub-judul ‚Religion in The Public Sphere‛.

30Demokrasi Deliberatif dalam pengertian Habermas yaitu suatu upaya

(30)

360

Meskipun demikian, Habermas mengakui bahwa agama adalah pandangan hidup atau doktrin yang lengkap, namun ketika dibawa ke ruang public, doktrin-doktrin metafisikanya harus dijelaskan secara rasional.31 Agama di ruang publik mensyaratkan adanya komunikasi dua arah atau dalam istilah Habermas disebut dengan diskursus praktis.32 Dalam proses komunikasi ini terjadi diskusi di ruang publik dengan mempertahankan ruang tersebut dalam keadaan tetap netral, karena landasannya adalah rasionalitas bukan doktrin-doktrin keagamaan yang bersifat personal. Doktrin-doktrin itu disampaikan melalui bahasa yang dapat diterima oleh semua orang, sehingga ada proses diskursus yang mengarah pada konsensus.33

Negara terkait dengan agama di Ruang Publik, dalam pandangan Habermas, harus bebas dari paham keberpihakan pada salah satu agama. Agama harus tetap netral atau liberal: The consencus on constitutional principles in which all citizens must share pertains also to the principle of separation of church and state.34 Terbukanya akses publik menjadi hal penting bagi pergerakan komunikasi antarbudaya karena demi terwujudnya

kepentingan publik, sehingga free public sphere sangat

diperlukan.35 Peran agama, menurut Habermas, akan digantikan

pemikir dari aliran Frankfrut School. Inti pandangan ini adalah upaya bagaimana mengaktifkan individu dalam masyarakat sebagai warga negara untuk berkomunikasi, sehingga komunikasi yang terjadi pada level warga itu mampu mempengaruhi pengambilan keputusan publik pada level sistem politik. Dalam praktiknya, demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tatacara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warganegara. Partisipasi warga (citizen participation) merupakan inti dari demokrasi deliberatif. Lihat Jurgen Habermas, Religion in Public Sphere, 125.

31F. Budi Hardiman, Ruang Publik, 121. Lihat juga pemikiran Habermas

yang disarikan oleh F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 74.

32F. Budi Hardiman, Ruang Publik19.

33 Lihat Jurgen Habermas, Religion in Public Sphere, 120. 34 Jurgen Habermas, Religion on Public Sphere, 128.

35Castells mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan ruang publik

adalah ruang komunikasi ide dan proyek yang muncul dari masyarakat dan ditujukan kepada para pengambil keputusan di lembaga-lembaga masyarakat.

(31)

361

oleh tindakan komunikatif serta konsensus-konsensus yang dihasilkannya. Fungsi ekspresif serta integrasi sosial yang selama ini dimainkan oleh praksis ritual keagamaan akan digantikan oleh tindakan komunikatif.36 Sedangkan otoritas ‚Yang Kudus‛ secara

suksesif akan digantikan oleh otoritas dari konsensus-konsensus yang tiap-tiap kali diupayakan. Seiring dengan berjalannya proses

modernisasi kekuasan dari ‚Yang Suci‛ disublimasikan menjadi

kekuasaan yang mengikat dari klaim-klaim keabsahan yang senantiasa dapat dikritik.37 Untuk menguji teori Habermas tersebut, penulis membandingkannya dengan teori Armando Salvatore dan Mark Le Vine yang meragukan konsep public sphere Jurgen Habermas mengenai kemampuan untuk menganalisis Islam Publik. Dalam pandangan mereka, konsep Habermas terlalu terbatas menjelasksn format dan akses ruang-ruang publik serta tidak dapat menciptakan kesempatan mengklaim ulang kebaikan bersama (common good) yang diupayakan oleh berbagai gerakan kelompok sosial, termasuk kelompok sosial religius, yang tidak merefleksikan semacam sekularitas yang diproduksi negara modern dengan berbagai variannya seperti liberal, publik, dan sosialis.38 Di beberapa daerah misalnya, di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sering mendapatkan perlakuan intimidasi, mulai penyegelan masjid tempat mereka ibadah, sampai penjarahan hak milik mereka, serta pengusiran secara paksa dari tanah kelahirannya.39 Sedangkan di

Communication Networks, and Global Governance‛, Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 616, Public Diplomacy in a Changing World (Mar., 2008), 78, http://www.jstor.org/stable/25097995 (diakses pada tanggal 26 Juni 2013).

36Jurgen Habermas Religion on Public Sphere, 128.

37Lihat A. Sunarko dalam F. Budi Hardiman, Ruang Publik, 220.

38Armando Salvatore dan Mark LeVine, ‚Recontructing The Public

Sphere in Muslim Majority Societies‛ dalam Religion, Social Pratice, And Contested Hegemonies: Recontructing the Public Sphere in Muslim Majurity Societies, Armando Salvatore dan Mark Le Vine (ed) (New York: Palgrave Macmillan, 2005), 5-6.

39Mengenai konflik Jemaat Ahmadiyah dan Non-Ahmadiyah di NTB,

(32)

362

Kemang Parung, Bogor, Jawa Barat tahun 2005, 2007, tahun 2013, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) mengalami hal serupa. Pada tahun 2005, Ahmadiyah di Parung ini tergolong besar, bahkan dikenal sebagai pusat kegiatan Ahmadiyah di Indonesia. JAI berada di Desa Pondok Udik, Kemang memiliki pusat pendidikan kader, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pesantren Mubarok, dan perguruan tinggi Islam Ahmadiyah.

Pada tahun 2007 dan 2009 kelompok terbesar Jemaat Ahmadiyah Qadian di Desa Manislor, Kuningan, Jawa Barat, diserang dan dihancurkan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Islam. Delapan rumah jemaat dihancurkan, sementara tujuh masjid dirusak dan dibakar, tiga di antaranya disegel aparat kepolisian. Dampak yang lebih menakutkan, tiga warga Ahmadiyah dirawat di rumah sakit, satu di antaranya mengalami luka tusukan benda tajam.40

Dalam kasus Ahmadiyah Qadian dengan Islam arus utama bukan isu kebebasan beragama tetapi penafsiran perbedaan paham kenabian. Menanggapi perbedaan tersebut, Pengurus Pusat Jemaat Ahmadiyah membenarkan bahwa komunikasi yang mereka lakukan selama ini pada umat Islam arus utama tidak sebaik dan seintensif dengan umat Kristen maupun Katolik. Menurut salah seorang pengurus PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Rakeeman R.A.M. Jumaan, ada kesalahan persepsi komunikasi akibat warga Ahmadiyah menjadi korban kekerasan karena ajaran Ahmadiyah dianggap menyimang dan sesat.41

Perbedaan itu, didasarkan pada adanya pandangan yang keliru terhadap keyakinan Ahmadiyah dalam hal khata>m al-nabi>yi>n. Padahal Ahmadiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi yang terakhir dan tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru.42 Sekelompok ormas Islam menganggap ajaran Ahmadiyah Qadian dianggap melenceng dan menyesatkan dari ajaran Islam sebenarnya karena mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad saw. Hal ini sangat

40Majalah Madina, Edisi 3, Desember 2009.

41Wawancara mendalam dengan Rakeeman RAM Jumaan, Pengurus

Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia, di Parung, Jawa Barat, 14 Pebruari 2014.

42Wawancara mendalam dengan Rakeeman R>A>M Jumaan, Pengurus

(33)

363

bertentangan dengan pandangan umumnya kaum muslim yang

mempercayai Nabi Muhammad saw sebagai nabi terakhir.43

Menurut Goenawan Mohamad, presiden pertama Indonesia Soekarno menghargai gerakan Ahmadiyah. Selama masa pembuangannya di Ende, Nusa Tenggara Timur, dia pernah didesas-desuskan mendirikan cabang Ahmadiyah, namun Soekarno dalam sepucuk suratnya tahun 1936, membantah desas-desus tersebut.

Saya tidak percaya bahwa Mirza Gulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula bahwa dia seorang mujaddid. Namun dia menyatakan mendapat banyak faedah dari buku-buku yang dikeluarkan Ahmadiyah, misalnya Mohammad the Prophet karya Mohammad Ali dan Het Evangelie van den daad karya Chawadja Kamaloeddin. Majalah Ahmadiyah, Islamic Review, kata Bung Karno, banyak memuat artikel yang bagus.44

Mohamad menulis, pada waktu itu, Bung Karno tentu sadar akan sikap negatif kalangan Islam, terutama Muhammadiyah, terhadap Ahmadiyah yang terungkap sejak tahun 1929.45 Adanya

43Lihat Lalu Ahmad Zuhaeri, Konflik Jemaat Ahmadiyah dengan

Masyarakat Non Ahmadiyah‛Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, (2009), 15.

44Goenawan Mohamad, ‚Dari Ende ke Arab Saudi‛, Majalah Prisma,

edisi khusus volume 32, No.2 dan No 3 tahun 2013), 152.

45Namun dia, tidak menutup pintu bagi ide-ide yang dianggap baik dari

kalangan ini – ‚baik‛ dalam perspektif seorang penganjur modernitas.

Ahmadiyah adalah salah satu faktor penting di dalam pembaharuan pengertian

Islam di India,‛ kata Bung Karno dalam tulisannya, ‚Me-muda-kan Pengertian

Islam‛. Dalam hal ini Bung Karno tidak seorang diri. Seperti dia, sebelumnya,

Tjokroaminoto, juga mendapatkan Qur’an dari terjemahan dan tafsir seorang ulama Ahmadiyah, Muhammad Ali, The Holy Qur’an. Organisasi pemuda Islam yang berpengaruh, Jong Islamieten Bond, yang didirikan para pemuda terpelajar pada tahun 1924 yang pernah mengundang seorang mubalig Ahmadiyah Lahore, Wali Ahmad Baig, sebagai salah seorang pengajar di organisasi itu –

sebagaimana halnya tokoh Islam ‚reformis‛ lain, misalnya, A Fachruddin dari

Muhammadiyah. Meskipun demikian, ada hal yang tak akan mendekatkan Bung Karno ke kalangan Ahmadiyah: Selain kultus mereka terhadap Mirza Gulam Ahmad adalah apa yang dikatakan Bung Karno sebagai ‚kecintaan‛ para pelopor Ahmadiyah ‚kepada imperialisme Inggris.‛ Semangat antikolonial

(34)

364

perbedaan fundamental yang menyangkut soal posisi Muhammad sebagai nabi terakhir itulah yang membuat umat Islam arus utama merasa bahwa identitas religius mereka berbeda dengan jemaat Ahmadiyah, bahkan mereka meminta Ahmadiyah tidak menyatakan diri sebagai umat Islam.

Perasaan adanya ketidaksamaan identitas itu, menyebabkan umat Islam arus utama merasa terganggu jika Ahmadiyah tetap menyatakan diri sebagai Islam. Jika umat Islam secara keseluruhan merupakan satu kelompok budaya, maka Ahmadiyah dianggap tidak memiliki keyakinan dan persepsi yang sama dengan kelompok Islam arus utama. Jadi jelas masalah utama dalam kasus Ahmadiyah Qadian, bukan isu kebebasan beragama, tetapi penafsiran perbedaan paham kenabian.46 Jika melihat Islam sebagai budaya yang merupakan area penampilan yang cair dan tidak baku, maka bisa dikatakan bahwa upaya negosiasi dan kompetisi yang dilakukan Ahmadiyah dalam gelanggang Islam belum berhasil, atau belum mencapai tujuannya. Penolakan keras masih mendominasi dan terlegitimasi, walaupun penerimaan dari beberapa kelompok Islam lainnya seperti; Jaringan Islam Liberal (JIL) maupun kelompok Nasionalis Abdurrahman Wahid tetap ada.47

Perpecahan keagamaan, akibat fanatisme sempit sering dilukiskan sebagai bahaya sosial paling besar dan eksplosif bagi Indonesia yang plural budaya, agama, dan suku bangsa. Padahal, manusia dikenal sebagai makhluk Allah yang paling cerdas. Kecerdasan yang dimiliki manusia menempatkannya sebagai sebaik-baiknya ciptaaan Allah (ahsan al-taqwim).48 Dari segi politik diperlukan suatu pemerintah yang kuat dan stabil, sekaligus terbuka dan tanggap. Mengherankan apabila melihat keadaan yang

Marxistis – itulah yang mewarnai cara Bung Karno memandang Islam. Lihat Gunawan Muhamad, ‚Dari Ende ke Arab Saudi‛, Majalah Prisma, 152.

46Lihat Lalu Ahmad Zuhaeri, Konflik Jemaat Ahmadiyah dengan

Masyarakat Non Ahmadiyah‛Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, (2009), 5.

47Maman Suryaman, Fatwa Takfir MUI pada Ahmadiyah (Jakarta:

Muda Cendekia Indonesia, 2012), 2.

48Qur’an Surat At-Tin; 4, ‚Sesungguhnya kami telah menciptakan

manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya‛ Departemen Agama RI. Al-Qur’an

(35)

365

tidak stabil dalam kehidupan beragama masih terus berlangsung di Indonesia yang sudah merdeka 60 tahun, khususnya di zaman yang modern ini.49

Fenomena konflik dan pemidanaan tersebut, menurut Zainal Abidin Bagir, akibat menguatnya secara bersamaan dua kelompok arus utama di masa reformasi yang terkadang saling bersinggungan dan tidak mungkin untuk dihilangkan salah satunya; arus pendukung hak asasi manusia yang menyuarakan kebebasan beragama atau berkeyakinan dan arus pendukung fundamentalisme yang menyuarakan pentingnya nilai-nilai

keagamaan dalam semua lini kehidupan, khususnya agama Islam.50

Konflik menjadi ironi dalam masyarakat yang heterogen, baik antar-agama seperti dalam kasus Jemaat Kristen Yasmin di Bogor, maupun intra-agama yaitu Ahmadiyah dan penganut Syiah. Kasus-kasus tersebut belum terselesaikan, bahkan dampaknya bukan saja traumatik secara psikologis, tetapi juga secara sosial, mereka terusir dari kampung halamannya.

Menurut Suryadharma Ali, konflik berlatar belakang agama adalah gejala wajar dalam masyarakat majemuk dalam agama, suku, dan budaya seperti di Indonesia. Kasus-kasus semacam itu jangan dikipas-kipasi atau ditunggangi kelompok politik atau kepentingan.51 Selama tidak dikipas-kipasi, konflik itu masih wajar terjadi. Sekecil apa pun kipas-kipas itu harus diwaspadai karena jika berlanjut dari waktu ke waktu, lama-lama

terbentuk opini negatif.52 Namun Koordinator Program

49Lihat Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan

(Bandung: Mizan,1998),37.

50Zainal Abidin Bagir, Jalan Tengah Mahkamah Konstitusi dan

Kebebasan Beragama di Indonesia, dalam Ismail Hasani (ed.), Putusan Uji Materi UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Setara Institute, 2010), 31.

51Lihat ‚Konflik Wajar, Jangan Tunggangi,‛ Kompas, 10 Juli 2013,

Rubrik Nasional, 2.

52Lihat ‚Konflik Wajar Jangan Tunggangi.‛ Kompas, 10 Juli 2013,

(36)

366

Pascasarjana Psikologi Perdamaian Universitas Indonesia, Ichsan Malik, tidak sependapat dengan Suryadharma Ali, bahwa konflik adalah hal yang wajar, melainkan justru berbahaya. Pernyataan Suryadharma Ali soal konflik dapat menjustifikasi bahwa sengketa atau pertentangan dalam perbedaan dapat dibiarkan terus terjadi. Potensi konflik tidak dapat dianggap wajar karena dapat mengarah pada konflik terbuka.53

Perbedaan termasuk perbedaan suku, agama, ras, dan

antargolongan merupakan kodrat atau alamia namun,

ketidakmampuan menghadapi perbedaan menimbulkan atau sengketa.54 Potensi konflik tidak dapat dianggap hal yang wajar karena dapat mengarah pada konflik terbuka dengan berbagai aksi kekerasan. Pemerintah hendaknya proaktif memfasilitasi penanganan potensi konflik, bukan menganggap potensi konflik itu sebagai hal yang wajar. Potensi konflik dengan berbagai latar belakang agama perlu ditangani dengan pendekatan komunikasi, seperti memberikan ruang dialog. Sedangkan dari sisi intelijen, aparat keamanan harus melakukan deteksi dini agar potensi konflik tidak mengarah pada kekerasan.55 Potensi konflik merupakan usaha

Terhadap sejumlah kekerasan berlatarbelakang agama, Suryadharma Ali menegaskan, siapaun yang melakukan intimidasi atau kekerasan harus diproses hukum. Tindak kekerasan oleh siapan kepada siapaun dengan alasan apapun tidak bisa dibenarkan. Siapa pun yang melakukan kekerasan akan berhadapan dengan hukum.

53Lihat ‚Pernyataan Menag Berbahaya,‛ Kompas, 11 Juli 201. Rubrik

Nasional,2.

54Sengketa yang tidak tertangani dengan baik dan dibiarkan

berlarut-larut akan mengarah kepada konflik. Jadi dalam konflik sudah terjadi kekerasan, penghilangan hak hidup, penghilangan hak bertempat tinggal, hak bekerja, dan hak-hak lainnya. Jika terjadi sengketa dalam perbedaan , pemerintah tidak boleh membiarkan, melainkan memfasilitasi untuk menyelesaikan sengketa. Namun yang terjadi selama ini , pemerintah cenderung membiarkan sengketa terjadi berlarut-larut dan terakumulasi sehingga bermuara pada konflik. Dalam konflik-konflik selama ini penyebabnya antara lain pertentangan atau sengketa perbedaan, baik dalam perbedaan kepercayaan, perbedaan kebijakan atas pengelolaan sumber daya alam, tidak tertangani dengan baik, terakumulasi, dan

bermuara pada konflik. Lihat ‚Pernyataan Menag Berbahaya,‛Kompas, 11 Juli 2013, Rubrik Nasional.

55Lihat ‚Pernyataan Menteri Agama Berbahaya‛, Kompas, 11 Juli 2013,

(37)

367

untuk mengingatkan perlunya menjaga kerukunan. Sebagai negara majemuk dengan berbagai macam agama, suku, dan budaya, sesama warga negara Indonesia memiliki potensi terjadinya perpecahan. Upaya bijak untuk mengantisipasinya, semua elemen bangsa perlu terus berusaha membangun kerukunan beragama dan melakukan komunikasi secara terbuka apa adanya.

Pengaturan tentang tindak penodaan agama merupakan produk sejarah peradaban manusia yang panjang dan bukan hanya di negara Muslim seperti Indonesia, tetapi juga di negara-negara Kristen, seperti di Eropa. Pengaturan diperlukan untuk mencegah terjadinya penistaan, penyalahgunaan, dan penodaan agama.56 Padahal Islam itu, khususnya Islam Jawa merupakan sistem keagamaan desa yang terdiri dari suatu integrasi yang berimbang antara unsur-unsur animisme, Hindu, dan Islam. Suatu sinkretisme57 utama orang Jawa yang merupakan tradisi rakyat yang sebenarnya di pulau itu, dasar utama peradabannya tetapi situasinya lebih kompleks dari itu.58 Sistem keagamaan ini diasosiasikan dengan cara yang luas dan umum dengan desa orang Jawa.59

Clifford Geertz melihat tiga sosok varian Islam Jawa salah satunya adalah dari aspek residensial atau tempat tinggal seseorang, di samping tradisi dan ritual sebagai metode untuk menjustifikasi menjadi sosok abangan yang ada di pedesaan. Santri di pesantren, dan priyayi di kantor birokrasi pemerintahan yang

56M. Atho Mudzhar, ‚Pengaturan Kebebasan Beragama dan Penodaan

Agama di Indonesia dan Berbagai Negara,‛ http://www.

djpp.depkumham.go.id/files/doc/591_Pengaturan%20Kebebasan%20Beragama% 20dan%20Penodaan%20Agama.pdf, (diakses 5 Juni 2013).

57Sinkretisme paham (aliran) baru yang merupakan perpaduan dari

beberapa paham (aliran) yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan, dan sebagainya: Upacara Syiwa Buddha adalah ungkapan -- agama Buddha dan Hindu. Lihat sumber: http://artikata.com/arti-351319-sinkretisme.html. Diakses, 30 Januari 2014.

58Clifford Geertz, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa,

terj. Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983),2.

59Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa,

(38)

368

notabene di perkotaan. Sedangkan kelompok abangan di pasar atau di lingkungan masyarakat biasa.60

Kekerasan seolah-olah menjadi saluran tunggal untuk penyelesaian suatu masalah. Sentimen primordial, seperti suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) begitu cepatnya tersulut. Penggunaan simbol-simbol agama merupakan konflik yang paling rawan, masif, dan destruktif. Sebab, agama memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan bagi pemeluknya, baik secara personal maupun sosial. Tidak mengherankan, dalam konflik agama, para pelakunya merasa faktor penggeraknya merupakan tujuan mulia. Konflik bernuansa agama merupakan tipe konflik yang tidak mudah untuk diurai, tetapi bukan berarti konflik tersebut tidak bisa dikelola dengan baik. George Weige memberi penilaian secara seimbang bahwa agama dapat menjadi sumber konflik sekaligus juga memiliki potensi kreatif yang dapat berfungsi sebagai jaminan yang kuat untuk toleransi sosial, pluralisme demokratis, dan resolusi konflik nir-kekerasan.61

Meskipun demikian, konflik berlatar belakang agama

sesungguhnya tidak melulu atas dasar agama atau motif sakral, tetapi berkelindan dan malah diinisasi oleh motif-motif politik kepentingan agama atau perebutan kekuasaan. Di sisi lain, agama seringkali menjadi instrument pembenaran dalam membingkai konflik. Menurut Syafii Maarif, dalam hal kebebasan beragama, ternyata al-Qur’an lebih toleran dibanding dengan umat Islam

60Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa,

6-7.

61George Weige, ‚Religion and Peace, An Argument Complex‛ dalam

Resolving Third Word Conflict: Challenge for New Era, ed. Syeryl Brown dan Kimber Schraub (Washington DC: US Institute of Peace Press, 1992), 173. Sejumlah lembaga internasional juga menaruh perhatian besar tentang peran agama dalam resolusi konflik dan merekomendasikannya menjadi bagian dari penciptaan kohesi dan integrasi sosial. Di kalangan Muslim, upaya menggali peran agama dalam resolusi konflik juga banyak dilakukan sejumlah sarjana lihat di antaranya; Ralph H. Salmi, Cesar Adib Majul, George Kilpatrick Tanham,

Islam and Conflict Resolution: Theories and Practices (Lanham: University Press of America, 1998); Abdul Aziz Said, Nathan C. Funk, Ayse S. Kadayifci,

(39)

369

sendiri. Dia mengkritik sikap umat Islam yang cenderung intoleran terhadap berbagai perbedaan agama, walaupun al-Qur’an telah memberikan tuntutan untuk itu. Hal tersebut bisa saja terjadi karena kurangnya rasa bertoleransi dalam memaknai agama yang sesungguhnya. Padahal kebebasan untuk menentukan sebuah agama mendapat jaminan dari kitab suci itu. Hal tersebut tersimpul dalam kalimat la> ikra>ha fi> al-di>n (tidak ada paksaan dalam sebuah agama).62 Hal ini bisa saja dipengaruhi kedewasaan seseorang dalam melihat keyakinan dalam beragama. Sedangkan dalam pandangan Peter L Berger, agama merupakan legitimasi yang paling efektif.63

Kaitan agama dan politik, menurut Haryatmoko, menyentuh tiga mekanisme pokok yaitu fungsi ideologis, faktor identitas, dan legitimasi etis hubungan sosial. Sebagai ideologis, agama menjadi perekat karena memberikan kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan-hubungan sosial. Sebagai fungsi identitas, agama dapat didefinisikan sebagai kepemilikan kelompok sosial tertentu yang dapat memberikan stabilitas sosial, status, pandangan hidup, cara berfikir, dan etos. Sebagai fungsi legitimasi etis hubungan sosial, agama menjadi pendukung suatu

tananan sosial yang bisa memunculkan fanatisme agama.64

Sosialisme religius,65 baik secara istilah maupun ide, bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, khususnya di Indonesia. Sudah ada semenjak masa perkembangan Serikat Islam. Tetapi, istilah Sosialisme Religius bukanlah monopoli golongan atau tokoh khusus Islam saja. Bung Karno sendiri tidak sekali-dua kali

62Lihat, Muhammad Qorib, Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang

Pluralisme Agama‛ Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012),40.

63Lihat Sabhan SD, ‚Berhentilah Menjadi Bangsa Pemarah,‛ Kompas,

28 Juni 2013, Rubrik Opini.

64Lihat Sabhan SD, ‚Berhentilah Menjadi Bangsa Pemarah‛, 37. 65Sosialisme religious adalah pemikiran yang menggalang kekuatan

(40)

370

memberi penegasan bahwa masyarakat yang dicita-citakannya adalah suatu masyarakat sosialis-religius. Sebab untuk Bangsa Indonesia, dasar Pancasila merupakan faktor pemberi warna dan corak utama kepada setiap gagasan politik atau sosial yang tumbuh.66

Indonesia yang masyarakatnya plural, dilihat dari budaya, bahasa, dan agama, pengertian tentang masyarakat multikultural67 dan multikulturalisme68 tidaklah membuat Indonesia rawan

66Lihat juga Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan Merawat

Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2007),5.

67Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan

terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut. Multikulturalisme masih menjadi agenda yang belum terselesaikan di banyak bagian Eropa. Meski dinamika demografi dan sosial budaya beberapa negara Eropa meniscayakan penerapakn multikulturalisme dalam kehidupan para warganya yang kian

beragam. Lihat, Azyumardi Azra, ‚Multikulturalisme Indonesia dan Eropa,‛ Republika, 17 April 2014 Rubrik Resonansi.

68Multikulturalisme adalah secara sederhana multikulturalisme berarti

keberagaman budaya. Istilah multikultural ini sering digunakan untuk menggambarkan tentang kondisi masyarakat yang terdiri dari keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda. Selanjutnya dalam khasanah keilmuan, istilah multikultural ini dibedakan ke dalam beberapa ekspresi yang lebih sederhana, seperti pluralitas (plurality)mengandaikan adanya ‚hal-hal yang lebih dari satu (many)‛, keragaman (diversity) menunjukkan bahwa keberadaan

yang ‚lebih dari satu‛ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tidak dapat disamakan, dan multikultural (multicultural) itu sendiri. Munculnya pandangan tentang kegagalan multikulturalisme di Eropa terkait dengan tidak terjadinya akulturasi dan akomodasi budaya secara signifikan di antara para warga. Para migran yang kian banyak datang dari Afrika, Asia Barat, dan Asia Selatan sejak tahun 1950-an membuat masyarakat Eropa secara secara etnis dan agama kian beragam. Namun, kaum migran yang kini banyak sudah generasi ketiga tetap sulit berbaur dengan penduduk pribumi lokal. Mereka cenderung hidup dalam perkampungan (enclave) miskin dan kumuh. Lihat, Azyumardi Azra,

(41)

371

terhadap keutuhan berbangsa dan bernegara. Justru sebaliknya, bangsa Indonesia tetap terintegrasi dalam ke-ikaan dan kesatuan.69

Masyarakat plural adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih unsur-unsur atau tatanan-tatanan sosial yang hidup berdampingan tetapi tidak bercampur dan menyatu dan menyatu dalam satu unit politik tunggal. (Furnivall 1994:446) 70

Beberapa upaya negosiasi terus dilakukan Ahmadiyah agar kelompok Islam arus utama menerima mereka. Misalnya, melalui tulisan-tulisan penjelasan tentang ajaran mereka, yang mereka anggap tidak bertentangan dengan Islam. Atribusi makna pun dilekatkan oleh Islam arus utama pada Ahmadiyah saat kelompok ini lalu menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad merupakan nabi terakhir: Makna bahwa kelompok tersebut sesat. Selain itu, reproduksi realitas yang dikomunikasikan saat kelompok Ahmadiyah melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam pun bertentangan dengan realitas yang selama ini dipercaya Islam arus utama.

Keyakinan dalam masyarakat Islam arus utama bahwa Muhammad saw merupakan nabi terakhir tidak dapat dinegosiasikan, sehingga stereotip atau prasangka yang subyektif muncul terhadap Ahmadiyah. Kasus yang didera Ahmadiyah pun berkembang dalam berbagai konteks yang berbeda-beda. Konteks

konflik antar-kelompok Islam mainstream dan Ahmadiyah

berkembang menjadi konteks kehidupan negara saat MUI dan Menteri Agama ikut mengambil sikap.71

Fatwa MUI menetapkan Ahmadiyah adalah sesat. Imbauan Menteri Agama yang menyuruh kelompok tersebut tidak menyatakan diri sebagai Islam, adalah wujud kekuasaan yang menyebar dalam interaksi komunikasi antarbudaya dalam kasus ini.72 Cara-cara agresif yang menyerang, baik verbal maupun fisik,

juga manifestasi kekuasaan Islam mainstream terhadap

69Lihat Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan Merawat

Indonesia…17.

(42)

372

Ahmadiyah.73 MUI menyatakan terbitnya fatwa tersebut telah mendorong munculnya aksi anarkis terhadap jemaat Ahmadiyah. Bahkan MUI menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah, kebijakan dan langkah apa yang akan diberikan kepada Ahmadiyah tersebut.74 Pada tahun 1979, Liga Islam sedunia mengeluarkan fatwa mengenai ajaran Ahmadiyah sesat. Sebelumnya, tahun 1974, pertemuan Liga Muslim Dunia di Makkah, Arab Saudi, yang dihadiri delegasi 140 negara, telah mengeluarkan deklarasi yang menilai Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Pemerintah Arab Saudi menyatakan, aliran itu kafir dan tidak boleh ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Demikian pula Pemerintah Brunei Darussalam dan Kerajaan Malaysia yang sejak 1975 melarang ajaran Ahmadiyah masuk ke negara masing-masing.75

Sedangkan tahun 1980 MUI Pusat mengeluarkan fatwa sesat Ahmadiyah. Fatwa ini, diperkuat oleh MUI pada tahun 2005, namun Fatwa MUI tersebut mendapat perlawanan keras dari

73Lihat Fatwa MUI Pusat,‛ yang menegaskan soal ajaran Ahmadiyah

adalah sesat karena mengakui adanya nabi sesudah Nabi Muhammad saw. Dalam Musyawarah Nasional (Munas) VII MUI tanggal 26-29 Juli 2005 M./19-22

Jumadil Akhir 1426 H. menegaskan kembali fatwa dan keputusan Munas II MUI tahun 1980 tentang Ahmadiyah sebagai aliran yang berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan serta menghukumi orang yang mengikutinya sebagai murtad (telah keluar dari Islam). Meski demikian, dalam fatwa tersebut MUI menyerukan mereka yang telah terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq) sejalan dengan

al-Qur’an dan Hadis.

74Lihat juga pernyataan Yusril Ihza Mahendra yang menolak paham

Ahmadiyah. Satu landasan yang kuat untuk pelarangan Ahamdiyah di Indonesia adalah dengan menelusuri asal tempat kelahirannya, India yang sekarang daerah Pakistan. Di tempat kelahirannya sendiri, Pakistan, Ahmadiyah dilarang dan ditetapkan sebagai paham di luar Islam dan pengikutnya sebagai non-Muslim. Jika di tempat kelahirannya sendiri, Pakistan dianggap non-Muslim dan di Arab Saudi tidak boleh naik haji karena dianggap non-Muslim, di Malaysia dilarang, di enam puluh negara dilarang, mengapa di Indonesia pelarangannya dianggap melanggar HAM di dunia lain tidak. Jadi, ketakutan terhadap pelanggaran HAM dan kesediaan menerima akidah Islam dirusak orang bisa dipahami sebagai sikap tidakterpuji.http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=vi ew&id=20290&Itemid=5

Referensi

Dokumen terkait