• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Putusan Minah dan Rasmina: Tersisihnya Nilai Keadilan dalam RuangRuang Pengadilan T2 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Putusan Minah dan Rasmina: Tersisihnya Nilai Keadilan dalam RuangRuang Pengadilan T2 BAB II"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara Pidana

1. Asas-Asas Putusan Hakim.

Putusan pengadilan merupakan akhir dari proses pemeriksaan perkara yang

dialakukan oleh majelis hakim, putusan pengadilan merupakan suatu pernyataan

hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang diberi wewenang, perlu dijelaskan

bahwa yang dimaksudkan dengan putusan pada uraian ini adalah putusa judex factie

tingkat pertama dan bukan putusan tingkat banding atau kasasi, karena putusan yang

berkaitan denga teknik pemerikasaan perkara hanyalah putusan tingkat pertama.

Putusan tingkat banding meskipun termasuk judex factie tetapi pemerikasaan

ditingkat banding hanyalah bersifat koreksi terhadap jalannya pemeriksaan perkara

ditingkat pertama, yaitu hukum acara pidana dijalankan secara benar dalam proses

persidangan, dan apakah telah menerapkan hukum acara yang benar. Adapun putusan

kasasi hanyalah berupa koreksi terhadap penerapan hukum sudah tepat dan benar,

apakah tidak melampaui wewenang yang ditentukan dalam Undang-undang.

1. Harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan secara jelas dan tidak

terperinci, memuat Pasal-pasal dan/atau sumber hukum tak tertulis yang

dijadikan dasar mengadili, (Pasal 50 dan 53 UU No, 48 Tahun 2009);

2. Asas wajib mengadili seluruh bagian dakwaan;

(2)

Dalam Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Pasal 2. ayat (1) Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa". ayat (2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. ayat (3) Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan Undang-undang.

ayat (4) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Pasal 5

ayat (1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Esensi putusan yang didasarkan pada kalimat Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa adalah penegakan hukum untuk tujuan keadilan. Dalam

realitasnya satu perkara diproses dan diadili menurut peraturan perundang-undangan.

Jarang sekali disertai pertimbangan sosiologis, filosofis atau pertimbangan moral

justice. Padahal putusan didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, mengapa putusan tentang pencurian tiga biji kakao dan pencurian 6 piring ditentang banyak

orang, karena mereka menilia tidak ada rasa keadilan dalam masyarakat. Disebabkan

dalam pertimbangan hakim tidak menggunakan moral justice bahwa pencurian itu

sekecil apapun tetap melanggar Undang-undang.

2. Dasar pertimbangan Hakim

Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh

Undang-undang untuk mengadili.1 Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa

dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak

atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.2

Memang pada hakekatnya dari seorang hakim hanya diharapkan atau diminta

1 Pasal 1 ayat 8 KUHAP 2

(3)

untuk mempertimbangkan tentang benar tidaknya suatu peristiwa yang diajukan

kepadanya. Oleh karena itu hakim harus memeriksa dan mengadili setiap perkara

yang diajukan kepadanya.

Kedudukan sebagai pemberi keadilan itu sangat mulia, sebab dapat

dikatakan bahwa kedudukan itu hanyalah setingkat di bawah Tuhan Yang Maha

Esa Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sehingga dapat pula dikatakan

bahwa hakim itu bertanggung jawab langsung kepadanya. Disamping itu hakim

juga mempunyai tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Tugas dan wewenang

hakim adalah mengadili suatu perkara yang bersifat final. Dalam memutuskan suatu

perkara tindak pidana hakim memiliki beberapa pertimbangan. Dasar pertimbangan

hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana adalah harus mempertimbangkan

kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang hakim

harus membuat keputusan, keputusan yang adil dan bijaksana dengan

mempertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam

masyarakat.3

Ketentuan mengenai pertimbangan hakim diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menentukan:

“Pertimbangan disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan

kesalahan terdakwa”.dikemukakan oleh Lilik Mulyadi “Pertimbangan hakim terdiri

dari pertimbangan yuridis dan fakta-fakta dalam persidangan. Selain itu, majelis

3 Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, Diskresi Hakim Sebuah

(4)

hakim haruslah menguasai atau mengenal aspek teoritik dan praktik, yurisprudensi

dan kasus posisi yang sedang ditangani”.4

Mengacu pada tujuan pemidanaan dalam pasal yang dipergunakan untuk

menjatuhkan putusan pidana, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana baru,

dapat dijadikan referensi. Disebutkan bahwa dalam penjatuhan pidana hakim wajib

mempertimbangkan hal-hal berikut;5

a. Kesalahan pembuat tindak pidana;

b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;

c. Cara melakukan tindak pidana;

d. Sikap batin pembuat tindak pidana

e. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana;

f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

g. Pengaruh pidana terhadap masa depan tindak pidana;

h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

i. Pengurus tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban dan

j. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

Hakim dalam pengambilan keputusan harus memiliki sifat arif, bijaksana, dan

adil karena hakim adalah sosok yang masih cukup dipercaya oleh sebagian

masyarakat yang diharapkan mampu mengayomi dan memutuskan suatu perkara

dengan adil. Karena dalam mewujudkan kebenaran dan keadilan ataupun

kemaslahatan yang tercermin dalam putusan hakim tidaklah mudah. Apabila kasus

posisi suatu perkara tidak diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan sehingga

hakim sebagai penegak hukum dan keadilan. Wajib menggali, mengikuti dan

memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Hakim dalam proses dan penentuan putusan-putusannya tidak dapat

mewujudkan suatu putusan yang berkeadilan mengingat tidak mudah diperoleh

4 3Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,

2007, hal 193-194.

5

(5)

kebenaran materiil sebagai tuntutan utama dalam sistem peradilan pidana. Karena itu,

adanya kejelasan hubungan hukum dan fakta yang relevan, yang mendukung

dakwaan mengisyaratkan bahwa suatu putusan harus bermuatan logis, sehingga dapat

dipahami dan ditangani oleh publik yang berkepentingan terhadap keadilan hukum

John Rawls menegaskan bahwa “keadilan hukum timbul manakala didasarkan

kepada peran lembaga-lembaga hukum dalam memproses suatu keadilan formil (institutions and formal justice), adanya kesamaan bagi setiap orang yang

berkesesuaian dengan adanya kebebasan dasar orang lain (each person is to

have an equal rights to the most extensive base liberty compatible with a similar liberty of others), dan adanya kesamaan derajat dalam kesamaan

peluang dan kesempatan untuk memperoleh keadilan prosedural (fair equality

of opportunity and pure procedural justice).6 Dengan tidak mematuhi asas kewenangan yurisdiksi memang bersifat relatif, sehingga hakim-hakim di pengadilan negeri tampaknya tidak selalu berpengaruh oleh keadaan tersebut termasuk pada beberapa kasus di atas.

3. Pertimbangan Hukum Sebagai Wujud Pertanggungjawaban Hakim Dalam

Membangun Peradilan Berwibawa.

Putusan hakim pada penelitian ini adalah putusan dalam rangka melaksanakan

tugas pokok pengadilan, yaitu menerima, memeriksa dan mengadili serta

menyelesaikan perkara yang diajukan di pengadilan. Pangdilan berfungsi

menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan

pancasilan dan Undang-undang Dasar Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara

Hukum Republik Indonesia. Hakim adalah pelaku utama fungsi pengadilan. Karena

6Penjelasan komprehensif John Rawls dalam karyanya, A Theory of Justice, London, Oxford,

(6)

itu semua wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam

rangka menegahkan hukum dan keadilan.7

Pada era transparansi dewasa ini, salah satu ciri pengadilan modern, bahwa

putusannya dapat diakses oleh siapa saja yang membutuhkannya.8 Orang yang

dirugikan oleh putusan akan mengatakan bahwa hakim tidak adil, sebalik orang yang

diuntungkan oleh putusan akan mengatakan bahwa hakim adil. Para filsus banyak

memberikan arti keadilan secara berbeda-beda, tergantung sudut pandang mereka,

seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya. Kemudian pada era pengadilan

modern saat ini berkembang menjadi legal justice (keadilan hukum), social justice

(keadilan masyarakat), dan moral justice (keadilan moral).9 Kemudian apabila

dikaitkan ketiganya dipertimbangkan secara utuh disebut total justice yang dalam

bukum logika hukum “pertimbangan putusan hakim” Syarif Mappiasse menyebutnya

sebagai pertimbangan hukum prismatik.10

Dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim, kata adil memberi makna

menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan apa yang menjadi haknya

yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di

hadapan hukum. Dengan demikian tuntutan yang paling mendsasar dari keadilan

yaitu memberikan perlakuan dan kesempatan yang sama serta keseimbangan

perlindungan hukum di antara pihak-pihak yang bersengketa. Perilaku hakim yang

7 Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Prenada Media Grup, Jakarta,

2015, hal 90-91

8 Lihat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman, pasal 52 ayat (1)

pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan, bandingkan dengan PERMA No, 144 Tahun 2011 tentang keterbukaan informasi

9Syarif Mappiasse, Logika Hukum….Op.cit,. hall 91 10

(7)

menyimpang dari pedoman perilaku hakim atau aparat pengadilan yang melanggar

peraturan tentang disimplin pegawai negeri sipil yang berdampak secara materil

merugikan salah satu pihak dari pengguna pengadilan, dan pula berdampak

merugikan institusi yaitu menyebabkan menurunnya kepercayaan publik terhadap

lembaga peradilan.11

Dalam mengatasi hal tersebut, maka Mahkama Agung sebagai lembaga tertinggi

dalam pengadilan, maka MA selalu memberikan sanksi yang tegas, jika terbukti

hakim melanggar kode etiknya. Guna memulihkan kepercayaan publik dan

membangun kewibawaan pengadilan. Membangun indepedensi dan sikap

profesionalisme hakim dilakukan dalam rangka memulihkan kepercayaan publik dan

membangun peradilan berwibawa. Independensi kehakiman dalam hal ini MA dan

badan-badan peradilan yang ada dibawahnya serta MK, secara hukum telah menerima

kaminan kemerdekaan baik melalui UUD 1945 maupun melalui UU No, 48 Tahun

2009, demikian pula indepedensi hakim secara personal telah dijamin secara hukum

dengan bolehnya melakukan dissenting opinion dalam mengajukan pertimbangan

hukum dalam putusannya.12

Penalaran hukum merupakan suatu proses upaya untuk sampai kepada

perumusan amar putusan. Upaya tersebut menurut Gr. Van der Burght dan J.D.C.

11

Ibid., hal 92

12

Lihat pasal 14 UU 48 tahun 2009 ayat (1) Putusan diambil berdasarkan sidang

(8)

Winkelman, bahwa untuk sampai pada perumusan amar putusan seorang hakim harus

melewati tujuh langkah.

Pertama,Meletakan kasus dalam sebuah peta (memetakan kasus) atau memaparkan kasus dalam sebuah ikhtisar peta, artinya memaparkan secara singkat

duduk perkara dari suatu kasus; Kedua,Menerjemahkan kasus itu ke dalam

peristilahan yuridis (mengualifikasi); Ketiga, Menyeleksi aturan-aturan hukum yang

relevan; Keempat, Menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan-aturan

hukum itu; Kelima, Menerapkan aturan hukum pada kasus; Keenam, Mengevaluasi

dan menimbang argument-argume dan penyelesaian; Merumuskan (forulasi)

penyelesaian.

Sebenarnya dalam praktik pengadilan, penemuan hukum itu sesungguhnya

telah dilakukan pada saat kualifikasi. Fakta-fakta yang terbukti dipersidangan baru

dalam bentuk simbol-simbol yang harus di terjemahkan menurut konsep yuridis,

misalnya mengambil barang milik orang lain dengan maksud untuk memiliki secara

melawan hukum, dimaknai sebagai pencurian. Penemuan hukum oleh hakim

kemudian dirumuskan dalam bentuk putusan.

Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga

memuat Pasal tertentu dari Peraturan Perundang-Undangan yang bersangkutan atau

sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.13 Dalam Pasal 53

ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

13 Lihat pasal 50 ayat (1). UU No 48 tahun 2009. Putusan pengadilan selain harus memuat

(9)

“Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas

penetapan dan putusan yang dibuatnya”. Penetapan dan putusan sebagaimana

dimaksud harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada

alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.14 Dalam Pasal 1 ayat (1)

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 yang dimaksud dengan:

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.15

Ruang kebebasan hakim yang diberikan oleh negara meliputi kebebasan

mengadili, bebas dari campur tangan pihak luar, kebebasan berekspresi, kebebasan

menggali nilai-nilai hukum yang diamanatkan oleh UUD 1945, yaitu penegakan

hukum berkeadilan, berkepastian dan kemanfaatan. Pengadilan mengadili menurut

hukum, meliputi ketentuan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Dalam

penegakan prinsip kepastian hukum, norma positif dalam sistem

Perundang-undangan dipandang sebagai sumber hukum formal yang paling utama.16

14

Lihat pasal 53 ayat (1,2) UU No 48 tahun 2009. (1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya. (2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.

15

Lihat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 48 tahun 2009: Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

(10)

4. Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara

a. Makna dan Fungsi Prinsip Kebebasan Hakim

Dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia, kata kebebasan

digunakan terhadap lembaga peradilan (kekuasaan kehakiman yang merdeka),

maupun terhadap hakim (kebebasan hakim) sebagai paratur inti kekuasaan

kehakiman. Istilah kebebasan hakim sebagai suatu prinsip yang telah ditancapkan

konstitusi, ternyata dalam tataran implementasi personal maupun sosial telah

banyak menimbulkan berbagai macam penafsiran. Ketika kata kebebasan

digabungkan dengan kata hakim, yang membentuk kata majemuk “kebebasan

hakim”, maka penafsirannya bermacam-macam. Ada yang menafsirkan bahwa

kebebasan hakim merupakan kebebasan yang tidak bersifat mutlak, karena tugas

hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan yang harus didasarkan

(terikat kepada dasar Pancasila).17 Oleh karena itu kebebasan hakim tidak

bersifat mutlak, maka kebebasan hakim tidak boleh terlepas dari unsur tanggung

jawab. Kebebasan hakim bukanlah kebebasan yang mutlak dan tanpa batas yang

cenderung menjurus kepada kesewenang-wenangan.18

Secara akademik, mengenai kebebasan hakim dapat ditelusuri mulai dari

Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Tentang Kekuasaan Kehakiman

dan Mahkamah Agung yang telah beberapa kali mengalami amandemen.

Misalnya sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 32 ayat (5) Undang-Undang

No.14 tentang Mahkamah Agung (yang tidak diubah oleh Undang-Undang

17

Miriam Budiarto, Aneka Pemikiran tentang kuasa dan Wibawa , Jakarta : Sinar Harapan , 1991hal1

18

(11)

Nomor 5 Tahun 2004), kata kebebasan hakim tidak diberikan penjelasan lebih

rinci dan lebih teknis oleh undang-undang tersebut, oleh karena itu dalam

memaknai dan memahami prinsip asas kebebasan hakim harus berada dalam

kerangka kontekstual prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Karena secara

organisatoris, hakim adalah bagian dari subsistem lembaga peradilan, yaitu

sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, sehingga kebebasan

hakim harus selalu berada dalam koridor kemerdekaan lembaga kekuasaan

kehakiman sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 Undang-undang No.48 Tahun

2009 yang menyatakan bahwa, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim

wajib menjaga kemandirian peradilan.19

Secara filosofis harus dipahami bahwa putusan hakim atau majelis hakim

yang pada awalnya merupakan putusan yang bersifat individual atau majelis,

namun pada saat palu hakim diketukkan sebagai tanda putusan, maka pada saat

itu putusan hakim harus dipandang sebagai putusan pengadilan yang bersifat

kelembagaan, karena setelah putusan hakim atau putusan majelis hakim tersebut

diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, maka putusan yang

demikian telah menjelma menjadi putusan lembaga pengadilan dan telah menjadi

milik publik.

Kekuasaan kehakiman diatur didalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945

bahwa :Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

19

(12)

lain-lain, Badan Kehakiman menurut Undang-undang; Susunan dan kekuasaan

badan-badan kehakiman diatur dengan Undang-undang.

Kekuasaan kehakiman didefinisikan sebagai kekuasaan negara yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik

Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-undang No. 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman. Kata bebas memiliki konotasi makna tidak boleh

terikat oleh apa pun dan tidak ada tekanan dari siapa pun. Bebas juga berarti

suatu tindakan tidak boleh digantungkan kepada apa pun atau siapa pun. Bebas

juga memiliki arti leluasa untuk berbuat apa pun sesuai dengan keinginan dari

kebebasan itu sendiri. Apabila kata bebas disifatkan kepada hakim, sehingga

menjadi kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim, maka

dapat memberikan pengertian bahwa hakim dalam menjalankan tugas kekuasaan

kehakiman tidak boleh terikat dengan apa pun dan/atau tertekan oleh siapa pun,

tetapi leluasa untuk berbuat apapun. Memaknai arti kebebasan semacam itu

dinamakan kebebasan individual atau kebebasan ekstensial.20

Menurut Oemar Seno Adji:”Suatu pengadilan yang bebas dan tidak

dipengaruhi merupakan syarat yang indispensable bagi negara hukum. Bebas

berarti tidak ada campur tangan atau turun tangan dari kekuasaan eksekutif dan

legislatif dalam menjalankan fungsi judiciary. Ia tidak berarti bahwa ia berhak

20

(13)

untuk bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, ia

“subordinated”, terikat pada hukum.” Ide dasar yang berkembang secara

universal perlunya suatu peradilan yang bebas dan tidak memihak, "freedom and impartial judiciary"yang menghendaki terwujudnya peradilan yang bebas dari segala sikap dan tindakan maupun bentuk multiintervensi merupakan nilai

gagasan yang bersifat “universal”. "Freedom and impartial judiciary"

merupakan karakteristik dan persyaratan utama bagi negara yang menganut

sistem hukum Anglo Saxon maupun eropa kontinental yang menyadari

keberpihakan pada penegakan pinsip rule of law.21 Ada tiga ciri khusus negara

hukum Indonesia yang digariskan oleh ilmu hukum melalui prinsip-prinsip Rule

of Law, yaitu:

1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi yang mengandung

pengertian perlakuan yang sama di bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan;

2. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya; dan

3. Peradilan yang bebas, tidak bersifat memihak, bebas dari segala pengaruh

kekuasaan lain.22

Menurut Oemar Seno Adji dan Indriyanto, dari aspek historis, menguatnya

istilah kebebasan hakim (independensi peradilan) menjadi wacana nasional, telah

memberikan indikasi adanya campur tangan ekstra yudisial. Indikasi demikian

merupakan karakteristik dari negara-negara yang mengakui konsepsi rule of law, baik

di negara yang menganut sistem liberal, neoliberal, maupun sosialis. Konsepsi dan

ide kebebasan peradilan yang tidak memihak sudah menjadi acuan negara-negara

21

Oemar Seno Adji,Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga,1987, hal 46

22

(14)

dengan multi pola sistem, karenanya suatu peradilan bebas dan tidak memihak adalah

karakteristik negara demokratis yang mengakui dan menjunjung tinggi prinsip rule of

law tersebut. Untuk mewujudkan kehendak freedom and partial judiciary harus

dimulai dengan meneliti kondisi internal

peradilan, termasuk para hakim.23

Franken, ahli hukum Belanda, menyatakan bahwa independensi kekuasaan

kehakiman dapat dibedakan ke dalam empat bentuk, yaitu :

1. Independensi Konstitusional (Constittionele Onafhankelijkheid);

Independensi Konstitusional (Constittionele Onafhankelijkheid) adalah

independensi yang dihubungkan dengan doktrin Trias Politica dengan sistem pembagian kekuasaan menurut Montesquieu lembaga kekuasaan kehakiman harus independen dalam arti kedudukan klembagaannya harus bebas dari pengaruh politik

2. Independensi Fungsional (Zakelijke of Fuctionele Onafhankelijkheid);

Independensi fungsional berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh hakim ketika menghadapi suatu sengketa dan harus memberikan suatu putusan. Independensi hakim berarti bahwa setiap hakim boleh menjalankan kebebasannya unuk menafsirkan undang-undang apabila undang-undang tidak memberikan pengertian yang jelas. Karena bagaimanapun hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan isi undang-undang pada kasus atau sengketa yang sedang berjalan. Independensi substansial dapat juga dipandang sebagai pembatasan, dimana seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara tanpa dasar hukum. Independensi substansial juga berarti bahwa dalam kondisi tertentu, hakim atau lembaga kekuasaan kehakiman dapat mencabut suatu ketentuan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan keadilan atau konstitusi.

3. Independensi Personal Hakim (Persoonlijke of Rechtspositionele

Onafhankelijkheid);

Independensi Personal Hakim (Persoonlijke of Rechtspositionele

Onafhankelijkheid) adalah mengenai kebebasan hakim secara individu ketika berhadapan dengan suatu sengketa.

4. Independensi Praktis yang Nyata (Praktische of Feitelijke

Onafhankelijkheid).

23

(15)

Independensi Praktis yang Nyata (Praktische of Feitelijke Onafhankelijkheid) adalah independensi hakim untuk tidak berpihak (imparsial). Hakim harus mengikuti perkembangan pengetahuan masyarakat yang dapat dibaca atau disaksikan dari media. Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh berita-berita itu dan kemudian mengambil begitu saja kata-kata dari media tanpa mempertimbangkan hakim juga harus

mampu menyaring desakan-desakan dalam masyarakat untuk

dipertimbangkan dan diuji secara kritis dengan ketentuan hukum yang sudah ada. Hakim harus mengetahui sampai sejauh mana dapat

menerapkan norma-norma sosial ke dalam kehidupan bermasyarakat.24

Menurut Bagir Manan, bahwa majelis hakim dipandang menjadi tidak netral

atau berpihak karena beberapa hal, antara lain :

1. Pengaruh kekuasaan dimana majelis hakim tidak berdaya menghadapi

kehendak pemegang kekuasaan yang lebih tinggi, baik dari lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri, maupun dari luar (misalnya dari gubernur, bupati, menteri dan lain-lain);

2. Pengaruh publik. Tekanan publik yang berlebihan dapat menimbulkan

rasa takut atau cemas kepada majelis hakim yang bersangkutan sehingga memberikan keputusan yang sesuai dengan paksaan publik yang bersangkutan.

3. Pengaruh pihak. Pengaruh pihak dapat bersumber dan hubungan

primordial tertentu, maupun karena komersialisasi perkara. Perkara menjadi komoditas perniagaan, yang membayar lebih banyak akan

dimenangkan.25

Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila haruslah dipahami

sebagai batas-batas pertanggungjawaban dan ukuran kebebasan hakim yang

bertanggungjawab. Pancasila haruslah sebagai dasar kekuasaan negara yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan (Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009). Pancasila sebagai nilai dasar atau nilai

fundamental mengandung pengertian abstrak, umum, dan universal. Apabila dikaji

secara mendalam, maka pengertian abstrak, umum, dan universal tersebut

24

H. Franken, Onafhankelijkheid en Verantwoordelijke, Gouda Quhnt, 1997, hal 9-10

25

(16)

memungkinkan untuk dijabarkan ke bidang filsafat, hukum, sosial, ekonomi, dan

sebagainya.26 Nilai-nilai filsafat yang terkandung dalam Pancasila dengan

demikian dapat dijadikan sebagai alat untuk merefleksikan makna hakiki

kebebasan hakim dalam konteks rule of law di Indonesia.

Prinsip kebebasan hakim, oleh sebagian hakim dipahami sebagai suatu

kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batas, sehingga makna kebebasan

dipahami sebagai kesewenang-wenangan, sehingga orang dikatakan bebas, kalau

dapat berbuat atau tidak berbuat sesuka hatinya. Disini bebas dipahami juga

sebagai terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan, termasuk keterikatan dari

perbudakan nafsu. Secara paralel, kebebasan hakim dapat dipahami sebagai

kebebasan yang terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan dengan seseorang

atau apa pun (termasuk nafsu) yang dapat membuat hakim tidak leluasa.

Ukurannya adalah kebenaran, dan kebaikan yang dipancarkan oleh nurani.

Antara hukum dan moral memang berbeda,27 tetapi mempunyai kaitan yang

erat antara hukum dan moral, karena sebenarnya bahwa hukum itu merupakan

bagian dari tuntutan moral yang dialami manusia dalam hidupnya. Hukum memuat

nilai etis, yakni bahwa kriteria pembentukan hukum adalah kebebasan moral.28

26

Soejadi, Refleksi Mengenai Hukum dan Keadilan, Aktualisasinya di Indonesia, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,2003

27

Hukum dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada pengertian baik dan buruk akan tetapi didasarkan pada kekuasaan dari the powers of superior(Baca Brian H. Bix, Legal Postitivim dalam Philosophy of Law and Legal Theory, Edited Martin P. Golding and William A. Edmundosn, Marden : Blackwell ublishing, 2006; James Bernard Murphy, The Philosophy of Positive Law : Foundations of Jurisprudence, New Haven : Yale University Press, 2005.

28

(17)

Hukum ialah sejumlah syarat yang menjamin bahwa kehendak seorang pribadi

disesuaikan dengan kehendak pribadi lain menurut norma umum kebebasan, disini

hukum diartikan sebagai buah sikap moral manusia. Antara hukum dan moral

sangat erat sekali hubungannya, sebab norma-norma yang berbeda-beda secara

abstrak, secara konkret tidak usah muncul secara terpisah. Ilustrasi ini

mengharuskan hakim untuk memeriksa, dan memutus perkara yang ditanganinya

sesuai denganprinsip-prinsip moral, dan karenanya dalam memutus perkara

berlandaskan moral yang baik dan sehat. Apabila dalam menyelesaikan sengketa

dan memutus perkara hakim mengabaikan moral, pasti akan menghasilkan suatu

putusan yang adil tetapi semu atau menghasilkan suatu keadilan yang semu.

Norma moral bagi hakim dalam menjalankan tugasnya diatur di dalam Keputusan

Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial

Republik Indonesia Nomor.047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor

02/SKB/P-KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yang mengatur

perilaku hakim sebagai berikut: berperilaku adil, berperilaku jujur, berlaku arif dan

bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung

tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, bersikap profesional.

Hukum sangat erat hubungannya dengan keadilan, bahkan ada pendapat

bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya benar-benar berarti

sebagai hukum, karena memang tujuan hukum itu adalah tercapainya rasa keadilan

pada masyarakat. Setiap hukum yang dilaksanakan ada tuntutan untuk keadilan,

(18)

maka hukum tanpa keadilan akan sia-sia sehingga hukum tidak lagi berharga

dihadapan masyarakat.29 hukum bersifat obyektif berlaku bagi semua orang,

sedangkan keadilan itu bukan merupakan suatu hal yang gampang. Sesulit apa pun

hal ini harus dilakukan demi kewibawaan negara dan peradilan, karena hak-hak

dasar hukum itu adalah hak-hak yang diakui oleh peradilan.30

Suatu tata hukum dan peradilan tidak bisa dibentuk begitu saja tanpa

memperhatikan keadilan, dan adil itu termasuk pengertian hakiki suatu tata hukum

dan peradilan, oleh karena itu dalam pembentukan tata hukum dan peradilan

haruslah berpedoman pada prinsip-prinsip umum tertentu.31 Prinsip-prinsip

tersebut adalah yang menyangkut kepentingan suatu bangsa dan negara, yaitu

merupakan keyakinan yang hidup dalam masyarakat tentang suatu kehidupan yang

adil, karena tujuan negara dan hukum adalah mencapai kebahagiaan yang paling

besar bagi setiap orang yang sebesar mungkin, justru berpikir secara hukum

berkaitan erat dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban dapat terwujud.

Hukum positif merupakan salah satu hasil dari kegiatan manusia dalam

negara sebagai ko-eksistensi etis, sedangkan hukum itu berasal dari kehendak

yuridis dan politis, tetapi kehendak yuridis dan politis itu merupakan bagian

29

Pandangan hukum yang formalis, seperti ketaatan pada hukum putati yang telah ada (hukum positif) dapat diabaikan atas nama hak moral. Lihat Lon. L.Fuller,Morality of Law,Yale University Press, New Haven, 1964, hal 96-97

30

Lili Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung : Mandar Maju, 2007, hal 125

31

(19)

kehendak etis manusia untuk mengatur kehidupan bersama dalam segala

relasi-relasinya agar relasi-relasi itu baik dan karenanya kehidupan manusia

sendiri-sendiri menjadi baik dan bahagia. Dapat pula dikatakan bahwa hukum itu terkait

dengan etika, sebab melalui norma-norma hukum ditetapkan suatu tatanan sosial

yang adil. Hukum mewajibkan secara etis dan yuridis, sebab hukum menciptakan

keadilan.32

Konsekuensi nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan meliputi:

1. Keadilan distributif, yaitu suatu keadilan antara negara terhadap warganya,

dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban;

2. Keadilan legal (keadilan bertaat), yaitu suatu hubungan keadilan wargalah

yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara;

3. dan Keadilan komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu

dengan lainnya secara timbal balik.33

b. Implementasi Prinsip Kebebasan Hakim

Berbicara tentang prinsip kebebasan hakim atau kekuasaan kehakiman

(independensi peradilan) tidak boleh tidak harus dikaitkan dengan konsep negara

hukum (rechtsstaat).34 Rechtsstaat adalah istilah yang digunakan oleh penganut

sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system) untuk menyebut negara

32

Theo Huijbers, op.cit. hal68

33

Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Pendidikan Tinggi,Jakarta : Paradigama, 2007, hal 36

34

(20)

hukum, sedangkan the rule of law adalah kata lain dari rechtsstaat. Kata tersebut

digunakan oleh negara-negara yang menganut sistem hukum common law (anglo

saxon).Sebab salah satu syarat mutlak negara hukum adalah adanya aminan akan kemadirian kekuasaan kehakiman atau kebebasan hakim. F.J. Stahl,pakar hukum

dari negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental mengemukakan,

ada empat unsur negara hukum, yakni hak-hak dasar manusia, pembagian

kekuasaan, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van

bestuur), dan peradilan tata usaha dalam perselisihan.35

Sedangkan A.V. Dicey, ahli hukum dari negara yang menganut sistem

hukum Anglo Saxon, mengemukakan bahwa unsur-unsur negara hukum ada tiga

macam, yaitu supremasi hukum, adanya kesamaan di depan hukum, dan

terjaminnya hak-hak manusia, baik oleh undang-undang maupun oleh putusan

pengadilan.36Dalam rumusan F.J. Stahl dan A.V. Dicey tentang unsur-unsur

negara hukum (rechtsstaat) atau the rule of law sebagaimana kemukakan di atas,

asas kebebasan hakim atau kekuasaan kehakiman tidak disebutkan secara tegas,

kecuali secara tersirat. Penyebutan yang tegas tentang hal ini dapat ditemukan

dalam konsep negara hukum menurut Frans Magnis Suseno. Dikemukakan oleh

Frans Magnis Suseno bahwa ada lima ciri negara hukum. Kelima ciri tersebut,

yakni

1) Fungsi-fungsi kenegaraan dijalankan oleh lembaga yang bersangkutan sesuai

dengan ketetapan-ketetapan sebuah undang-undang dasar;

35

Oemar Seno Adji, Prasarana pada Seminar Ketatanegaraan Undang-Undang Dasar 1945,Jakarta : Seruling Masa, 1966, hal 24.

36

(21)

2) Undang-Undang Dasar menjamin hak-hak asasi manusia yang paling penting karena tanpa jaminan tersebut, hukum dapat menjadi sarana penindasan;

3) Badan-badan negara menjalankan kekuasaan masing-masing selalu dan hanya

atas dasar hukum yang berlaku;

4) Terhadap tindakan badan negara, masyarakat dapat mengadu ke pengadilan

dan putusan pengadilan dilaksanakan oleh badan negara; dan

5) Badan kehakiman bebas dan tidak memihak.37

Hakikat kebebasan hakim atau kemandirian kekuasaan kehakiman

(independensi peradilan) itu bermaksud untuk mencegah penyalahgunaan

wewenang dan kekuasaan oleh badan negara. Sehubungan dengan ini, Fpans

Magnis Suseno, mengemukakan bahwa dengan adanya kebebasan dan

kemandirian kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasaan negara lainnya, maka

diharapkan bahwa badan yuridikatif dapat melakukan kontrol segi hukum

terhadap kekuasaan negara disamping untuk mencegah dan mengurangi

kecenderungan menyalahgunaan wewenang atau kekuasaan.38 Tidak hanya

kemandirian kekuasaan kehakiman, terutama dari pengaruh kekuasaan

pemerintah akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan

pengabaian hak asasi manusia oleh penguasa karena kekuasaan kehakiman yang

secara konstitusional memiliki wewenang untuk menjalankan fungsi kontrol

terhadap kekuasaan pemerintah sulit menjalankan fungsi tersebut.

Untuk memutus suatu perkara, hakim memiliki kemerdekaan dari campur

tangan atau intervensi dari pihak manapun, yang dikenal dengan kekuasaan

kehakiman yang merdeka, atau dapat diartikan sebagai kekuasaan kehakiman

yang bebas dari campur tangan pihak manapun. Kekuasaan kehakiman yang

37 Frans Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi; Sebuah Telaah Filosofis,Jakarta : Gramedia

Pustaka Utama,1995, hal 58-59

38

(22)

merdeka ini merupakan suatu kemandirian atau kemerdekaan yang dimiliki oleh

lembaga peradilan demi terciptanya suatu putusan yang bersifat obyektif dan

imparsial. Maksud dari sifat putusan yang obyektif adalah dalam proses

pemberian putusan hakim harus berpendirian jujur, berpandangan yang benar atau

berpandangan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dengan mengacu pada

ukuran atau kriteria obyektif yang berlaku umum, sedangkan maksud dari putusan

yang bersifat imparsial adalah putusan yang dihasilkan seorang hakim tidak

memihak kepada salah satu pihak menimbulkan rasa ketidakadilan dari

pihak-pihak yang berperkara atau bersengketa. Disamping itu keputusan yang diberikan

tersebut secara langsung memberikan kepastian hukum dalam masyarakat. Jadi

dapat disimpulkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, harus menjamin

terlaksananya peradilan yang jujur dan adil serta memenuhi kepastian hukum

dalam masyarakat berdasarkan hukum yang berlaku.

Dalam upaya menemukan dan menerapkan keadilan dan kebenaran,

putusan pengadilan harus sesuai dengan tujuan asasi dari suatu putusan

pengadilan. Tujuan putusan pengadilan sejatinya:

1) Harus melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari

masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak (penggugat vs tergugat; terdakwa vs penuntut umum), dan tidak ada lembaga lain selain badan peradilan yang lebih tinggi, yang dapat menegaskan suatu putusan pengadilan;

2) Harus mengandung efisiensi, yaitu cepat, sederhana, biaya ringan, karena

keadilan yang tertunda itu merupakan ketidakadilan;

3) Harus sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan dasar putusan

pengadilan tersebut;

4) Harus mengandung aspek stabilitas, yaitu ketertiban sosial dan ketentraman

(23)

5) Harus ada fairness, yaitu memberi kesempatan yang sama bagi pihak yang

berperkara.39

Dasar hukum tentang prinsip kebebasan hakim adalah Pasal 24 ayat (1)

UUD 1945 yang menentukan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan

kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan”. Dalam interpretasi historis, dapat diketahui bahwa Pasal

tersebut oleh pembuatnya dimaksudkan bahwa lembaga peradilan bebas dari

intervensi lembaga eksekutif atau lembaga dan perorangan. Prinsip yang

terkandung didalamnya adalah bahwa kemerdekaan, kebebasan, atau kemandirian

adalah bersifat kelembagaan, yaitu lembaga peradilan.

Mengenai prinsip kebebasan hakim sebagaimana dimaksudkan Pasal 32

ayat (5) Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (yang

tidak dirubah oleh Undang-undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung), tidak

dijelaskan lebih lanjut secara rinci oleh Undang-undang tersebut, oleh karena itu

semangat makna Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 harus dikembangkan dalam

memahami maksud kebebasan hakim dalam Pasal 32 ayat (5) Undang-undang

No. 14 tahun 1945 tentang Mahkamah Agung (yang tidak dirubah oleh

Undang-undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang-undang No. 14

tahun 1945 tentang Mahkamah Agung), bahwa kebebasan hakim harus dalam

kerangka prinsip kebebasan lembaga peradilan.Karena hakim adalah sub sistem

dari lembaga peradilan, sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan

kehakiman, sehingga kebebasan hakim haruslah selalu berada di dalam koridor

39

(24)

kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 3

ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang

menyatakan bahwa “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim

konstitusi wajib menjaga kemadirian peradilan”.

Kekuasaan Kehakiman sendiri diartikan sebagai kekuasaan negara yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia,

hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman. Selain itu, perlu dikemukakan bahwa kekuasaan

kehakiman dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena

tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945 sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan

rakyat Indonesia, bukan keadilan subyektif menurut pengertian atau kehendak

hakim semata.40 Namun, dalam pelaksanaannya kebebasan dan kemandirian yang

diberikan kepada kekuasaan kehakiman (hakim) tersebut tidak dapat dilaksanakan

sebagaimana mestinya. Hal tersebut disebabkan dalam menjalankan

kemandiriannya hakim dibatasi oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi,

serta peraturan perundang-undangan yang mengatur kemerdekaan tersebut.

Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim itu bebas dalam atau untuk mengadili

sesuai dengan hati nuraninya/keyakinannya tanpa dipengaruhi oleh siapapun.

40

(25)

Hakim bebas memeriksa, membuktikan dan memutuskan perkara berdasarkan

hati nuraninya. Disamping itu juga bebas dari campur tangan pihak ekstra

yudisial.41 Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di

luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam

UUD1945. Tetapi di dalam praktik ketentuan itu tidak jarang dilanggar, antara

lain dengan mengambil jalan pintas dengan menggunakan surat sakti, telepon

sakti, suap dan sebagainya.42 Hoentink mengatakan bahwa, hakim tidak boleh

mengadili melulu menurut perasaan keadilan diri pribadinya, melainkan ia terikat

kepada nilai-nilai yang berlaku secara obyektif di dalam masyarakat. Scholten

mengatakan bahwa, hakim terikat pada sistem hukum yang telah terbentuk dan

berkembang di dalam masyarakat. Dengan tiap-tiap putusannya hakim

menyatakan dan memperkuat kehidupan norma-norma hukum yang tidak

tertulis.43

Apabila hakim sudah merasa cukup dalam memeriksa perkara yang

diajukan kepadanya, maka tibalah saatnya ia akan memberikan putusan atas

perkara yang diajukan. Dalam memutus perkara tersebut disyaratkan dalam

undang-undang bahwa disamping berdasarkan alat-alat bukti yang sudah

ditentukan oleh undang-undang, juga harus berdasarkan pada keyakinan hakim.

Untuk menentukan adanya keyakinan ini tidaklah mudah bagi hakim dalam

menjalankan tugas profesinya. Keadaan demikian dikhawatirkan jika hakim salah

41

Sudikno Mertokusumo, Sistem Peradilan di Indonesia,4 Jurnal Hukum FH-UII, Jakarta,1997, hal 5

42 Ibid,.

43

(26)

dalam menentukan keyakinannya, maka akan terjadi kesesatan yang

mengakibatkan putusan hakim menjadi tidak adil. Menurut Mulyatno, keyakinan

hakim adalah suatu keyakinan yang ada pada diri hakim, kalau ia sudah tidak

menyangsikan sama sekali akan adanya kemungkinan lain daripada yang

digambarkan kepadanya melalui suatu pembuktian. Jadi hal yang diyakini

kebenarannya itu sudah di luar keragu-raguan yang masuk akal (beyond

reasonable doubt).44

Berdasarkan uraian di atas, dikaitkan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 1966 tentang Pedoman Fungsi Hirarkhis Badan-Badan Pengadilan/Hakim, maka ketentuan-ketentuan yang diatur Surat Edaran Mahkamah Agung Ri Nomor 5 Tahun 1966 tidak bertentangan dengan kemurnian pelaksanaan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan kebebasan hakim, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Hakim bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya

Hakim atau Majelis hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk mengadili suatu perkara harus tetap bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya itu, baik dalam penyelenggaraan peradilan, penilaian kebenaran atau keadilannya, dan tidak boleh diperintah atau diberi tekanan secara apapun dan oleh siapapun.

2) Menyelenggarakan peradilan dengan seksama sewajarnya

Atas permintaan hakim/hakim-hakim yang bersangkutan atau atas inisiatif dari ketua atau dari pimpinan pengadilan atasannya secara umum atau dalam perkara tertentu terutama dalam perkara-perkara yang menarik perhatian publik, berat atau sulit dapat dimintakan atau diberi bimbingan yang bersifat nasihat-nasihat atau petunjuk-petunjuk umum dalam menjalankan tugas tersebut kepada/oleh ketua atau pimpinan pengadilan atasannya yang bersangkutan yang semuanya harus secara serius harus dinilai sebagai bahan-bahan pertimbangan untuk menyelenggarakan peradilan dengan seksama sewajarnya.

3) Arahan atau bimbingan selama pemeriksaan berjalan

Selama pemeriksaan berjalan sampai dengan pemutusannya maka arahan atau bimbingan dan petunjuk-petunjuk tersebut hanya dapat diberikan oleh ketua pengadilan atau pimpinan pengadilan atasannya atas permintaan hakim atau majelis hakim yang bersangkutan.

4) Arahan atau bimbingan lisan atau tertulis

44

(27)

Arahan atau bimbingan ketua pengadilan atau pimpinan pengadilan atasannya di atas, dapat dimintakan atau diberikan secara tertulis (terutama jika tempatnya jauh) atau lisan.

5) Arahan atau bimbingan tentang penilaian kebenaran, pembuktian, dan

keadilan

Masalah-masalah penyelenggaraan peradilan, penilaian kebenaran,

pembuktiaan, penerapan hukumnya atau penilaian keadilannya untuk mencapai keserasian dalam lingkungan suatu peradilan dapat didiskusikan antara para hakim sendiri di bawah pimpinan ketua pengadilan yang bersangkutan secara berkala atau insidentil tanpa mengurangi prinsip kebebasan hakim.

6) Peringatan atau teguran kepada hakim atau majelis hakim

Peringatan atau teguran oleh ketua pengadilan atau pimpinan pengadilan atasannya, baik terhadap penyelenggaraan atau jalannya peradilan maupun perbuatan hakim dapat diberikan secara umum atau khusus dengan tulisan atau lisan mengenai suatu perkara, pada asasnya hanya dibenarkan setelah

perkara selesai diputus.45

B. Teori-teori Tentang Keadilan

1. Keadilan.

Berbicara mengenai keadilan selalu terkait dengan pembaihasan mengenai

hukum itu sendiri.46 Sudah kita tahu bahwa keadilan merupakan sala satu tujuan

dari hukum, namun hukum dan keadilan bagaikan dua mata uang yang tidak bisa

dipisahkan. Arti keadilan itu sendiri datang dari berbagai pandangan, Keadilan

adalah memberikan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, ada juga

yang melihat keadilan dari dasar kata adil yang artinya tidak berat sebelah.

Keadilan terletak pada keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan

kewajiban.

45

jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Juni 2015

46

(28)

Keadilan yang sebenarnya adalah memberikan sesuatu pada tempatnya,

adil bukan berarti sama rata, melainkan memberikan sesuatu pada orang yang

berhak mendapatkannya. Dalam pengertian keadilan ada beberapa macam

pengertian yang diungkapkan oleh para ahli ilmu kemanusiaan, Setiap manusia

berhak diperlakukan adil dan berlaku adil dengan menyeimbangkan antara hak

dan kewajiban. Orang yang menuntut hak, tapi lupa kewajiban, tindakannya pasti

akan mengarah pada pemerasan, sebaliknya orang yang menjalankan kewajiban,

tetapi lupa menuntut hak akan mudah diperbudak oleh orang lain.

Keadilan merupakan suatu bentuk kondisi kebenaran ideal secara moral

akan sesuatu hal, baik itu menyangkut benda ataupun orang. Pada hakikatnya,

keadilan adalah suatu sikap untuk memperlakukan seseorang sesuai dengan

haknya. Dan yang menjadi hak setiap orang adalah diakui dan diperlakukan

sesuai dengan harkat dan martabatnya, yang sama derajatnya, yang sama hakdan

kewajibannya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, dan golongan.

Keadilan juga merupakan budaya bangsa Indonesia, hal ini tergambar dalam

pancasila yang merupakan dasar negera Indonesia. Keadilan diekspresikan

dengan berbagai cara, misalnya membuat karya seni yang menyuarakan keadilan,

seperti seni musik, prosa dan puisi. Ada yang pula yang menuntut keadilan

dengan cara berpuasa sampai mati atau sampai tuntutan keadilannya terpenuhi,

menjahit mulut, membakar diri dan sebagainya, dengan demikian, keadilan akan

sulit untuk ditemukan dalam kehidupan masyarkat dewasa ini.

(29)

a. Pengertian keadilan menurut Aristoteles.

Teori keadilan menurut Aristoteles yang dibagi menjadi lima macam yaitu keadilan komutatif, keadilan distributif, keadilan kodrat alam, keadilan konvensional, dan keadilan perbaikan. Oleh sebab itu penulis memakai pandangannya tentang keadilan distributif. keadilan merupakan tindakan yang memberikan sesuatu kepada orang yang memang menjadi haknya. Pengertian keadilan menurut Frans Magnis Suseno. Menurut Suseno, keadilan adalah keadaan dimana sesama manusia saling enghargai hak dan kewajiban masing-masing yang membuat keadaan menjadi harmonis.

b. Pengertian keadilan menurut Thomas Hubbes

Menurut Hubbes, keadilan adalah sebuah keadaan dimana ada suatu perjanjian yang kemudian isi perjanjian tersebut dijalankan sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa berat sebelah.

c. Pengertian keadilan menurut Prof, Teguh Prasetyo yang digagasnya dalam

teori keadilan bermartabat. Memanusiakan manusia. Yang mana hukum ada bukan untuk menindas, akan tetapi untuk membenahi yang salah. Segala sesuatu yang dibicarakan harus selalu berhubungan dan menjelaskan, serta menuntun realitas; seperti menentukan yang baik dan buruk, benar dan salah. Teori keadilan bermartabat, dikatakan bermartabat, karena dibangun nilai-nilainya berdasarkan pancasila yang

adalah jiwa bangsa Indonesia.47

2. Hakekat Keadilan

Dengan mengamati putusan-putusan yang penulis sebutkan pada bab

I, lalu timbul pertanyaan-pertanyaan besar.”dimana dunia keadilan itu?

Bagaimana ciri atau sifat keadilan itu? Dan apa itu adil? Ciri atau sifat adil

dapat diiktisarkan maknanya sebagai berikut, adil (just), bersifat hukum

(legal), sah menurut hukum (law ful), tidak memihak (impartial), sama hak

(equal), layak (fair), wajar secara moral (equitable), benar secara moral

(righteous). Dari pengertian diatas ternyata adil mempunyai makna ganda yang perbedaannya satu sama dengan yang lain kecil sekali. Nuansa ini

47

(30)

perlu diperhatikan apabila sifat adil diterapkan pada situasi yang umum dan

induvidu.48

Keadilan merupakan tujuan hukum yang peling penting, didalam

keadilan sudah pasti terwujud kepastian dan juga kemanfaatan. Bismar

Saregar “mengatakan bila untuk menegakan maka keadilan saya korbankan

kepastian hukum, hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah

keadilan”.49

Mengapa tujuan dikorbakan karena sarana? Demikian

pentingnya keadilan ini. Lalu keadilan itu apa? Pertanyaan ini dijawab oleh

Ulpianus(200M), yang kemudian diambil ahli oleh kitab hukum Justianus,

dengan mengatakan bahwa “keadilan ialah kehendak yang terpola dan tetap

untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya (justitia est costans et

prepetua volontas ius suum cuique tribuendi).50 Maka hukum tanpa keadilan akan sia-sia sehingga tidak lagi berharga di hadapan masyarakat. Hukum

bersifat objektif berlaku bagi semua orang, sedangkan keadilan bersifat

subjektif. Dengan dua sifat yang berbeda maka untuk menggabungkan antara

hukum dan keadilan itu bukan pekerjaan yang gampang. Namun itulah

konsekuensinya, sesulit apa pun menggabungkan keadilan dan hukum harus

dilakukan. Ini demi kewibawaan negara dan peradilan, karena hak-hak dasar

hukum itu adalah hak-hak yang diakui oleh peradilan.51

48 Muhamad Erwin.Op.Cit. hal 290 49

Ibid.,

50 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (apa dan bagaimana filsafat

hukum di Indonesia, PT Gramendia Pustaka, Jakarta, 1995, hal 138

51 H.M. Agus Santoso, Hukum, Moral dan Keadilan, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group;

(31)

Suatu tata hukum dan peradilan tidak bisa dibentuk begitu saja tanpa

memperhatikan keadilan. Karena adil itu termasuk pengertian hakiki suatu

tata hukum dan peradilan. Karena itu dalam pembentukan tata hukum dan

peradilan haruslah berpedoman pada prinsip-prinsip umum tertentu.

Prinsip-prinsip umum tersebut yang menyangkut kepentingan suatu bangsa dan

negara. Kepentingan bangsa dan negara itu merupakan keyakinan yang

hidup dalam masyarakat tentang suatu kehidupan yang adil. Karena tujuan

negara dan hukum adalah mencapai kebahagiaan yang paling besar bagi

setiap orang yang mungkin, justru berpikir secara hukum berakit erat dengan

ide bagaimana keadilan dan ketertiban itu terwujud.52

Keadilan dalam cita hukum yang merupakan pergulatan kemanusiaan

berevolusi mengikuti ritme zaman dan ruang, dari dahulu sampai sekarang

tanpa henti dan akan terus berlanjut sampai manusia tidak beraktivitas lagi.

Manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan yang paling mulia dibekali dengan

rasa yang dapat berfungsi untuk mengendalikan keputusan-keputusan akal

agar berjalan di atas nilai-nilai moral seperti kebaikan dan keburukan, karena

yang dapat menentukan hal ini adalah rasa.53

Plato (427-347SM) yang menggambarkan keadilan pada jiwa manusia

dengan membandingkannya dengan kehidupan negara, mengemukakan

bahwa jiwa manusia terdiri atas tiga bagian, yaitu, pikiran, perasaan dan

nafsu baik psikis maupun jasmani, rasa baik dan jahat. jiwa akan teratur

52 Ibdi.,

53 M.Rasjidi dan H.Cwindu, Islam untuk disiplin Ilmu Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta, 1988, hal

(32)

secara baik apabila dihasilkan suatu kesatuan yang harmonis antara ketiga

bagian itu. Seperti halnya jiwa manusia, negarapun harus diatur secara

seimbang menurut bagian-bagiannya supaya adil. Setiap golongan golongan

berbuat apa yang sesuai dengan tempatnya dan tugas-tugasnnya, itulah

keadilan. Dalam mengartikan keadilan, Plato dipengaruhi oleh cita-cita

kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan

berbagai organism sosial, setiap warg negara harus melakukan tugasnya

sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya.54

Lain halnya dengan Plato, Aristoteles (384-322SM) memberikan cukup besar pemikiran tentang hukum dan keadilan, dengan menggolongkan

keadilan menjadi dua bagian keadilan disrtibutif dan keadilan korektif.55

1. Keadilan disrtibutif.

Keadilan distributif menyangkut soal pembagian barang dan kehormatan kepada masing-masing orang sesuai dengan tempatnya dalam masyarakat,

2. Keadilan korektif.

Keadilan korektif memberilan ukuran untuk menjalankan hukum sehari-hari.

Perlu dicatat bahwa sebelum Plato banyak teori keadilan yang lazim.

Penyelidikan tentang keadilan pergi dari yang paling kasar ke interpretasi

yang paling halus itu. Oleh karena itu tetap untuk menanyakan apa alasan

yang ia menolak pandangan tersebut. Jadi sebelum membahas konsep Plato

sendiri tentang keadilan, perlu untuk menganalisis teori-teori tradisional

keadilan ditolak olehnya. Plato membuktikan bahwa keadilan tidak tergantung

pada kesempatan, konvensi atau pada kekuatan eksternal. Ini adalah kondisi

yang tepat dari jiwa manusia oleh sifat manusia jika dilihat dalam kepenuhan

54 Muhamad Erwin.Op.Cit., hal 292-293 55

(33)

lingkungannya. Ini adalah cara ini bahwa Plato mengutuk posisi yang diambil

oleh Glaucon bahwa keadilan adalah sesuatu yang eksternal. Menurut Plato,

itu adalah internal itu berada dalam jiwa manusia. "Hal ini sekarang dianggap

sebagai rahmat ke dalam dan pemahaman yang terbukti melibatkan studi

tentang manusia batiniah." Oleh karena itu, alami dan tidak ada buatan. Oleh

karena itu, tidak dilahirkan dari takut akan lemah tetapi dari kerinduan jiwa

manusia untuk melakukan tugas sesuai dengan sifatnya.

Dengan demikian, setelah mengkritik ide-ide konvensional keadilan

disajikan secara berbeda oleh Cephalus, Polymarchus, Thrasymachus dan

Glaucon, Plato sekarang memberikan kita teori sendiri keadilan. Plato

menyerang analogi antara organisme manusia di satu sisi dan organisme sosial

di sisi lain. organisme manusia menurut Plato mengandung tiga unsur-Alasan,

Roh dan Nafsu. Seorang individu hanya ketika setiap bagian dari jiwanya

melakukan fungsinya tanpa mengganggu orang-orang dari unsur-unsur

lainnya. Misalnya, alasan harus memerintah atas nama seluruh jiwa dengan

kebijaksanaan dan pemikiran. Unsur semangat akan sub-ordinat diri pada rule

of reason. Dua elemen yang dibawa ke dalam harmoni dengan kombinasi pelatihan mental dan fisik. Mereka ditetapkan dalam perintah atas selera yang

membentuk sebagian besar dari jiwa manusia. Oleh karena itu, alasan dan

semangat harus mengontrol selera ini yang cenderung tumbuh pada

kesenangan tubuh. selera ini seharusnya tidak diperbolehkan, untuk

(34)

memiliki hak. Ketika semua tiga setuju bahwa di antara mereka alasan saja

harus memerintah, ada keadilan dalam diri individu.

Aristoteles juga mengatakan, keadilan adalah kebijakan yang berkaitan

dengan hubungan antar manusia. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa

yang sebanding, yaitu yang semestinya. Orang yang tidak adil adalah orang

yang mengabil lebih dari yang menjadi haknya, orang yang tidak

menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan

kepada hukum dapat dianggap sebagai adil.56

Pada abad pertengahan muncul filsuf aliran hukum kodrat, yakni

Thomas Aquinas. Pada masa skolastik ini Aquinas melanjutkan pemikiran

hukum alam. Ia membedakan atas dua jenis keadilan, yakni keadilan umum

(justisia generalis) dan keadilan khusus. Keadilan umum kerap diartikan dengan keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan

demi kepentingan umum. Selanjutnya keadilan khusus dibedakan lagi menjadi

keadilan distributif (justitia distributiva), keadilan komutatif (justitia

commutativa), dan kadilan vindikatif (justitia vindicativa).

Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap

orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya

masing-masing. Keadilan distributif berperan dalam hubungan antar masyarakat

dengan perorangan. Dalam hal ini, keadilan bukan berarti dalam persamaan,

56

(35)

melainkan perbandingan berdasarkan haknya. Kemudian keadilan komutatif, ialah suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa

memedulikan jasa masing-masing. Misalnya dalam organisasi perusahaan ada

bagian personalia, bagian umum, bagian keuangan dan seterusnya. Mereka

diangkat berdasarkan kemampuan mereka dalam bekerja.

Sementara keadilan vindikatif adalah keadilan dalam hal menjatuhkan

hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang diaggap adil

apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang

telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.

Para penganut aliran hukum alam meyakini bahwa alam semesta ini

diciptakan dengan prinsip keadilan, sehingga pada norma hukum alam

primer yang terdapat stoisisme menyatakan bahwa ”berikanlah kepada setiap

orang apa yang menjadi haknya (unicuique suum tribure), dan jangan

merugikan seseorang (neminem laedere)”. Cicero mengatakan bahwa hukum

dan keadilan tidak ditentukan oleh pendapat manusia tetapi oleh alam.57

Pada aliran positivisme hukum, norma hukum alam itu dibuat dalam

bentuk yang lebih konkrit, yang mana pengejawantahan hukum dan keadilan

itu ditetapkan ke dalam norma hukum positif yang dipercayakan kepada

penguasah. Hukum positif kadang-kadang menghambat perkembangan

57

(36)

hidup dan merugikan keadilan.58 Sementara menurut kaum utilitarianisme,

ukuran astu-satunya untuk mengukur sesuatu adil atau tidak adalah seberapa

besar dampaknya bagi kesejahteraan manuisa (human welfare). Kesejateraan

individual dapat saja dikorbankan untuk manfaat yang lebi besar (general

wefare). 59

Sementara menurut penganut aliran Realisme Hukum yang salah satu

tokohnya adalah Jhon Rawls, berpendapat perlu ada keseimbangan antara

kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaima ukuran dari

keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut keadilan. Rawls

menekankan pentingnya melihat keadilan sebagai kebijakan utama yang

harus dipegang teguh dan sekaligus menjadi dasar di berbagai lembaga

sosial dasar suatu masyrakat. Memperlakukan keadilan sebagai kebijakan

utama, berarti memberikan kesempatan secara adil dan sama bagi setiap

orang untuk mengembangkan serta menikmati harga diri dan martabatnya

sebagai manusia. Harga diri dan martabat manusia tidak bisa diukur dengan

kekayaan ekonomis, sehingga dipahami bahwa keadilan luas melampaui

status ekonomi seseorang.

Lebih lanjut Rawls mengatakan bahwa teori keadilan yang memadai

harus dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana prinsip-prinsip keadilan

yang dipilih sebagai pegangan bersama sungguh-sungguh merupakan hasil

58 Ibdid., hal 140 59

(37)

kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, rasional dan sederajat.

Hanya melalui pendekatan kontrak inilah sebuah teori keadilan mampu

menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara

adil bagi semua orang. Dalam arti ini, keadilan bagi Rawls adalah fariness.

Maksud dari Rawls suatu masyarakat baik seharusnya mampu

memperlihatkan diri sebagai sebuah lembaga kerja sama sosial diman

masing-masing pihak berusaha saling menyumbang dan saling memajukan.

singkatnya teori keadilan adalah teori yang mampu mengakomodasi sebuah

kerja sama sosial yang pada saatnya akan mendukung terbentuknya

masyarakat yang tertib dan teratur.60

3. Peran Keadilan Menurut Jhon Rawls

Hubungan antara hukum dengan keadilan John Rawls. Bahwa institusi

formal penegak hukum, polisi, jaksa dan juga hakim telah memainkan peranan

penting dalam menjalankan tugasnya sehingga keadilan dapat dicapai dengan

optimal. John Rawls menegaskan bahwa “keadilan hukum timbul manakala

didasarkan kepada peran lembaga-lembaga hukum dalam memproses suatu

keadilan formil (institutions and formal justice), adanya kesamaan bagi setiap

orang yang berkesesuaian dengan adanya kebebasan dasar orang lain (each

person is to have an equal rights to the most extensive base liberty compatible with a similar liberty of others), dan adanya kesamaan derajat dalam kesamaan peluang dan kesempatan untuk memperoleh keadilan prosedural

60

(38)

(fair equality of opportunity and pure procedural justice).61 dengan tidak mematuhi asas kewenangan yurisdiksi memang bersifat relatif, sehingga

hakim-hakim di pengadilan negeri tampaknya tidak selalu berpengaruh oleh

keadaan tersebut termasuk pada beberapa kasus di atas.

Keadilan adalah kebijakan utama dalam institusi sosial, sebagai mana

kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan

ekonomisnya, harus ditolak dan direvisi jika ia tidak benar, begitupun juga

hukum dan konstitusi, tidak peduli betapapun`efesien dan rapinya, harus

direformasi atau dihapus jika tidak adil. setiap orang memiliki kehormatan

yang berdasar pada keadilan sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak bisa

membatlakannya. Atas dasar ini keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan

bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal-hal lebih besar yang

didapatkan orang lain. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang

dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagaian besar keuntungan

yang dinikmati banyak orang. Karena itu dalam masyarakat yang adil

kebebasan warga negara dianggap mapan, hak-hak yang dijamin oleh keadilan

tidan tunduk pada tawaran-tawaran politik atau kalkulasi kepentingan sosial.

Satu-satunya hal yang mengijinkan kita untuk menerima teori yang salah

adalah karena tidak adanya teori yang lebih baik, secara analogis, ketidak

adilan bisa dibiarkan hanya ketika ia butuh menghindari ketidak adilan yang

61 Lihat penjelasan komprehensif John Rawls dalam karyanya, A Theory of Justice, London,

(39)

lebih besar. Sebagai kebajikan utama manusia, kebanaran dan keadilan tidak

bisa diganggu gugat. 62

Proposisi tersebut nampak menunjukan keayakinan intuitif kita tentang

keutamaan keadilan. Tak layak proposisi tersebut diutarakan terlampau kuat.

Dalam setiap kesempatan Rawls ingin mencari tahu apakah penegasan

tersebut atau penegasan yang sama adalah masuk akal, dan jika ya, bagaimana

proposisi tersebut dapat dibernarkan. Sekarang katakanlah sebuah masyarakat

tertata dengan baik ketika ia tidak hanya dirancang untuk meningkatkan

kesejahteraan anggotanya namun ketika ia juga secara efektif diatur oleh

konsepsi public mengenai keadilan, yakni masyarakat dimana;

1. Setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut

prinsip keadilan yang sama

2. Institusi-institusi sosial dasar yang ada umumnya sejalan dengan

prinsip-prinsip tersebut

Dala hal ini kendati orang saling mengukan tuntutan yang sangat besar,

namun mereka mengakui sudut pandang bersama untuk mengungkapkan

pernyataan-pernyataan mereka. Jika kecenderungan orang untuk kepentingan

sendiri memerlukan saling perhatian dari satu sama yang lain, maka rasa

keadilan publik memungkinkan asosiasi bersama mereka. Apa bila diantara

individu dengan tujuan yang berbeda, sebuah konsepsi mengenai keadilan

akan mengukuhkan kebersamaan, keingin umum pada keadilan akan

62

(40)

membatasi pencapaian tujuan-tujuan lain.63 Kita bisa menganggap konsepsi

publik mengenai keadilan sebagai pembentuk kontrak fundamental dari

asosiasi manusia yang tertata dengan baik.

Masyarakat yang ada tentu jarang tertata dengan baik dalam penegrtian

seperti itu, sebab apa yang adil dan tidak adil selalu masih dalam perdebatan,

namun masing-masing orang mempunyai konsep tersendiri tentang keadilan

dalam diri mereka, jadi tampak alamiah untuk berpikir tentang konsep

keadilan dari setiap orang yang mana keadilan itu adalah prinsip dan konsep

dari setiap orang.

Referensi

Dokumen terkait

Pada setiap stasiun, nilai nitrat dan posfat masing- masing memiliki nilai yang sama (0,07 mg/l dan 0,03 mg/l) tidak ditandai oleh tingginya kelimpahan sel

Persentase hidup spermatozoa ayam Kampung setelah pengenceran pada perlakuan jenis krioprotektan DMF (84,81%) hasilnya sama baik dibandingkan dengan DMA (78,50%) dan

Penelitian ini diharapkan dapat membantu para pelaku pariwisata dan pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat dalam mengambil kebijakan yang dianggap

Komponen DSS Subsystems: Data management Dikelola oleh DBMS Model management Dikelola oleh MBMS User interface. Knowledge Management and organizational

Secara garis besar aplikasi ini terdiri dari rangkaian informasi yang ditampilkan dengan cara yang interaktif dan menarik, sehingga diharapkan dapat menarik minat pengguna

Tujuan utama kajian ini adalah untuk menganalisis persepsi pelajar tentang pembelajaran bahasa Melayu di institusi pengajian tinggi swasta, khususnya dari segi objektif,

Distribusi senyawaan golongan hopana dan oleanana dapat dilihat pada m/z 191 untuk fraksi saturat bercabang dan siklik, Gambar 4.16 - 4.19 merupakan parsial

• Nadzan Haron & Rozeman Abu Hassan ( 2010), mentakrifkan integrasi sebagai satu proses sosiobudaya dan sosiopolitik untuk mewujudkan jati diri kebangsaan yang