LAPORAN KEGIATAN
“DISKUSI ILMIAH MAHASISWA MEMPERINGATI HARI HAK ASASI MANUSIA”
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
TAHUN 2017
I. PENDAHULUAN
Fakultas Hukum Universitas 17 agustus 1945 Surabaya merupakan salah satu
Fakultas di lingkungan Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Fakultas Hukum mengalami
perkembangan baik di bidang akademik maupun bidang lainnya. Hasil dari Akreditasi Badan
Administrasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), berdasarkan SK No.
2872/SK/BAN-PT/Akred/S/XII/2006, tanggal 1 Desember 2016 Program Studi Ilmu Hukum memperoleh
nilai A. Merupakan suatu angin segar bagi kami para Mahasiswa Fakultas Hukum atas
akreditasi yang di peroleh.
Seluruh Mahasiswa Fakultas hukum ingin mengapresiasikan bentuk suka cita kami
kedalam suatu acara lewat Diskusi Ilmiah memperingati Hari Hak Asasi Manusia
Internasional. Hak Asasi manusia internasional yang jatuh pada tanggal 10 Desember 2017.
Diskusi Ilmiah yang membicarakan tentang keputusan Mahkamah Konstitusi yang
membebaskan masyarakat untuk menulis aliran kepercayaan selain 6 agama yang diakui di
Indonesia dengan berbagai pro dan kontra yang terjadi maka mahasiswa fakultas hukum turut
serta berdiskusi menanggapi adanya keputusan tersebut yang kami selenggarakan bertepatan
dengan peringatan Hari Hak Asasi Manusia pada tanggal 8 Desember 2017.
Alhamdulillah puji syukur kami Panitia penyelenggara dan segenap pihak yang
terlibat di dalamnya dapat mewujudkan “Diskusi Ilmiah Mahasiswa” dengan baik. Bentuk apresiasi kami dari mahasiswa untuk tempat kami menimba ilmu dan pengalaman, Fakultas
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
II. DASAR PELAKSANAAN
1. Tri Dharma Perguruan Tinggi
2. Program Mahasiwa Fakultas Hukum yang menempuh mata kuliah Bahasa inggris
III. TEMA KEGIATAN
“Eksistensi Hak Berkeyakinan Dalam KTP Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi”.
IV. MAKSUD DAN TUJUAN KEGIATAN
Maksud dari acara ini adalah bertujuan untuk :
1. Menambah wawasan, ilmu pengetahuan mahasiswa.
2. Kegiatan ini merupakan implementasi dari salah satu fungsi Tri Dharma perguruan tinggi
yakni pendidikan dan pengajaran.
3. Mampu menjadi media edukasi, diskusi, dan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap era
globalisasi.
4. Untuk meningkatkan kesadaran generasi muda sebagai agen pembaharu masa depan
Indonesia.
V. BENTUK KEGIATAN
Kegitan ini disajikan dengan forum diskusi, dimana pembicara memberikan
wawasannya dan pendengar menanggapi apa yang disampaikan oleh pembicara.
VI. SASARAN KEGIATAN
1. Seluruh civitas Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
2. Masyarakat sekitar Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Demikian laporan pertanggungjawaban ini kami sampaikan. Beribu terima kasih kami
ucapkan kepada berbagai pihak yang terlibat, yang telah mendukung acara ini. Kepada Dekan
dan Wakil Dekan Fakultas Hukum, Kaprodi, Dosen serta Staff Fakultas Hukum kami
mengucapkan terima kasih atas support baik dalam bentuk materiil maupun imateriil. Tidak
lupa pihak sponsorship, sukarelawan, dan partisipan yang telah berkontribusi besar atas
terselenggarakannya acara ini. Kami selaku Panitia “DISKUSI ILMIAH” Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, memohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KEGIATAN
“DISKUSI ILMIAH MAHASISWA MEMPERINGATI HARI HAK ASASI MANUSIA”
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
TAHUN 2017
Hormat Kami,
Ketua pelaksana Sekretaris
Faryel Vivaldy Nadia Rifani Putri
NPM:1311501738 NPM:1311511771
Mengetahui/Menyetujui,
Dosen Pengampu Dekan Fakultas Hukum
Wiwik Afifah, S.Pi., S.H., M.H. Dr. Slamet Suhartono, S.H., M.H.
SUSUNAN PANITIA
Pelindung : Dr. Slamet Suhartono, S.H., M.H.
(Dekan Fakultas Hukum)
Dosen Pengampu : Wiwik Afifah, S.Pi., S.H., M.H.
Ketua Pelaksana : Faryel Fivaldy
Sekretaris : Nadia Rifani Putri
Bendahara : 1. Elok Putri
2. Iqbal Hamdani
Sie. Acara : 1. Charel Arril
2. Sella Nur. K
3. Aulia Firdaus
4. Suryadi
Sie Perlengkapan : 1. Angga Hendiarto S.
2. Fatqul Ariatmoko
3. Khoirul Ma’arif
4. Samsul Arifin
5. Arifina Nugrah H.
Sie Humas dan Kepesertaan : 1. Ayu Riyana
2. Umar Faruq
3. Risky Amalia
4. Rois Al Basyar
Pembicara : 1. Andreas Agung P.
2. Albert Agung
3. Thereza Damayanti
4. Winny Amanda
Moderator : Tjitra Manikam
Pembawa Acara : Afeliyanti Firenia
Pembaca Do’a : Fathur Rohman
Lampiran 2
SUSUNAN ACARA
08:00-08:30 30” Registrasi Peserta
08:30-0915 45” Pembukaan
Lagu Indonesia RayLagu Hymne UNTAG
Pembacaan Do’a
Sambutan Ketua Pelaksana
Sambutan Dosen Dekan Fakultas Hukum
Dr. Slamet Suhartono, S.H., M.H.
09:20-09:35 15” Pembicara I : Winny Amanda
09:35-09:50 15” Pembicara II : Thereza Damayanti
09:50-10:05 15” Pembicara III : Andreas Agung
10:05-10:20 15” Pembicara IV : Albert agung
10:20-10:35 15” Pembanding Pemateri dari C’mars
10:35-11:00 25” Tanya jawab dan Kesimpulan oleh Mediator
Apakah Negara Melanggar HAM,
Dengan Mencantumkan Agama Di KTP ?
Albert Agung W
1Indonesia sebagai negara hukum dan berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa maka Indonesia harus menjunjung tinggi supremasi
hukum serta meyakini bahwa nilai-nilai religius merupakan salah satu
sumber inspirasi bagi negara dalam menjalankan kewajibannya. Salah
satu ciri negara hukum ialah mengakui dan menjamin adanya
Hak Asasi
Manusia
. Salah satu
Hak Asasi Manusia
yang penting untuk dijamin
keberadaannya ialah hak untuk beragama.
Sebagai negara hukum, Indonesia wajib menjaminnya dalam
konstitusi. Namun yang patut digaris bawahi bahwa kewenangan dan
kewajiban yang dimiliki oleh negara kaitannya dengan agama hanyalah
menjamin kebebasan warga negaranya untuk memeluk agama dan
beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang diyakininya.
Negara sama sekali tidak diberikan kewenangan dan kewajiban untuk
mengakui, melindungi, dan menjamin keberadaan agama tertentu. Jika
negara ini kemudian melakukan perlakuan seperti itu, maka sebetulnya
negara telah melakukan perbuatan yang inkonstitusional karena
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar RI.
Itulah realitas yang akan kita jumpai jika kita menelaah Pasal 1 UU
Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaaan Agama.
”
Setiap orang dilarang dengan sengaja di
muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan
dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama
yang dianut di Indonesia.
”
Indonesia”. Pada penjelasan ayat tersebut dijelaskan bahwa penjelasan
klausal ”agama yang dianut di Indonesia”
ialah Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha dan Khong Hu Cu.
Jadi dari aturan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
Indonesia ternyata mengakui, melindungi, dan menjamin keberadaan
agama tertentu dalam hal ini keenam agama di atas. Adapun alasan
pengakuan tersebut didasarkan pada sejarah perkembangan
agama-agama di Indonesia. Keenam macam agama-agama tersebut merupakan
agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia.
Landasan yang dijadikan pijakan bagi perumus aturan tersebut
bukanlah landasan yuridis melainkan lebih kepada landasan historis
agama yang berkembang di Indonesia. Menurut saya, aturan tersebut
tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Apalagi jika kita kritisi
landasan historis yang dijadikan landasan dirumuskannya aturan
tersebut.
Hal yang patut kita kritisi dari persoalan ini ialah:
Yang pertama apakah yang dijadikan pertimbangan bagi perumus
atas diakuinya agama tertentu itu berdasarkan besar atau banyaknya
jumlah penganut suatu agama?
Yang kedua, Lalu apa ukuran besar atau banyaknya jumlah pemeluk
suatu agama untuk kemudian dianggap sebagai agama yang diakui
keberadaannya secara yuridis oleh negara?
Maka jawaban dari kedua pertanyaan tersebut bahwa tidak ada
pertimbangan dan ukuran yang jelas dan logis, yang dijadikan pijakan
bagi negara untuk merumuskan aturan tersebut. Alasan-alasan yang
diajukan lebih bersifat asumtif dan tidak memiliki kepastian.
Manfaat Pengosongan Kolom Agama di dalam KTP
Apabila mengosongkan kolom agama, ada beberapa manfaat
dibawah ini. Yaitu:
Pertama
, memberikan kepastian hukum bagi kepercayaan dan agama
kepulauan yang kini tergabung dalam Negara Republik Indonesia, di
setiap pulau telah ada agama-agama atau kepercayaan asli, seperti
Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda
Kedua
,
Agama selalu dijadikan alat poitik diantara pemeluknya. Kolom
agama justru melahirkan diskriminasi antar agama berlatar belakang
sejarah-sejarahnya.
Ketiga
,
Jika negara memang menjamin kebebasan warga negaranya
memeluk kepercayaan sesuai keyakinannya (tercantum dalam Pasal 29
UUD 1945) maka harusnya boleh ditulis selain dengan 5 agama yang
diajarkan di sekolah, misalkan Konfusianisme, Taoisme, Shinto, Sikh,
Saintologi
Apalagi jika kita hadapkan alasan tersebut pada kajian historis
perkembangan agama yang lebih mendalam, maka akan kita dapati
kesimpulan
bahwa
sebetulnya
agama-agama
yang
diakui
keberadaannya oleh pemerintah melalui aturan ini merupakan
agama-agama yang diimpor dari luar Indonesia. Seperti agama-agama islam, kristen,
katholik.
Perlakuan khusus terhadap keenam agama yang diakui secara
yuridis oleh negara memberikan konsekuensi mereka mendapat jaminan
seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, keenam agama
tersebut mendapat bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan
oleh Pasal 1 UU No. 1/PNPS/Tahun 1965. Sebaliknya, agama-agama
selain keenam agama dimaksud mendapat pengecualian (exclusion),
pembedaan (distinction), serta pembatasan (restriction)
”.
Pasal 1 UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 bertentangan prinsip
persamaan yan
g ada pada Pasal 27 ayat (1) UUD RI yaitu “
segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya
”, Pasal 28D ayat (1) yaitu “
setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakukan yang sama di depan hukum
”, dan Pasal 28I
melanggar pasal-pasal yang ada di UUD 1945 tersebut.
Saya akan mengutip pendapat dari A.V Dicey tiga ciri penting
negara hukum ialah
Hak Asasi Manusia
dijamin melalui
Undang-Undang. Persamaan kedudukan di hadapan hukum, Supremasi
aturan-aturan hukum dan tidak adanya kesewenang-wenangan tanpa aturan-aturan
yang jelas. Apabila, adanya pengecualian, pembedaan, serta
pembatasan itu merupakan bentuk diskriminasi dan itu akan
menghasilkan ketidak adilan yang pada perkembangannya nanti hanya
akan menghasilkan ketidakpuasan yang berujung pada retaknya
persatuan dan kesatuan bangsa. Jadi sudah seharusnya pemerintah
menghapus kolom agama di KTP agar tidak ada diskriminasi kepada
penganut kepercayaan yang tidak diakui oleh pemerintah. karena sudah
tugas negara untuk menjamin Hak setiap warga negara dalam memeluk
keyakinan. Yang menjadi pertanyaannya apakah pemerintah melanggar
HAM? Dengan mencantumkan kolom agama di KTP? Jawaban: secara
tidak langsung pemerintah bisa di katakan melanggar HAM, kenapa?
Karena dengan kebijakan yang negara buat sehingga memunculkan
diskriminasi di kalangan masyarakat.
HAK BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN MENURUT KONVENSI HAK SIPIL DAN POLITIK2
Konvensi adalah aturan perilaku kenegaraan yang didasarkan tidak pada undang-undang melainkan pada kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan dan preseden.Artinya aturan tersebut, timbul dari kebiasaan-kebiasaan baik dalam praktek penyelenggaraan ketatanegaraan, dijunjung tinggi oleh rasa kepatuhan konstitusional ataupun oleh pertimbangan praktis (kemungkinan yang dapat dilaksanakan).aturan tersebut dilakukan secara berulang-ulang, serta diterima sebagai suatu hukum. yang tidak tertulis. Konvensi dapat memberikan arahan tentang prosedur, kekuasaan, dan kewajiban dalam tidak ada undang-undang tertulis. Dengan demikian, konvensi mengisi adanya kekosongan dalam hukum.
Konvensi internasional yaitu perjanjian internasional tertulis yang tunduk pada ketentuan hukum kebiasaan internasional, yurisprudensi atau prinsip hukum umum. Sebuah konvensi internasional dapat diberlakukan di Indonesia, setelah terlebih dahulu melalui proses ratifikasi yang dilakukan oleh DPR.
A. Latar Belakang Konvensi Internasional Sipil dan Politik
Konvensi Internasional sipil dan politik atau yang biasa disebut dengan ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights)adalah sebuah perjanjian multilateral yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan Resolusi 2200A (XXI) pada tanggal 16 Desember 1966 dan berlaku pada tanggal 23 Maret 1976. Dan Indonesia sendiri telah meratifikasi ICCPR pada 28 Oktober 2005 melalui Undang-undang Republik Indonesia tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (konvenan internasional tentang Hak Sipil dan Politik) yang disertai dengan dklarasi terhadap Pasal 1 tentang pengesahan Konvenan internasional Hak Sipil dan Politik.
ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights)ini bertujuan untuk mengkukuhkan pokok-pokok HAM dibidang sipil dan politik yang tercantum dalam DUHAM sehingga menjadi ketetuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan penjabaranya mencangkup pokok-pokok lain yang terkait.
B. Pengertian Hak Sipil dan Politik
Hak sipil adalah hak kebebasan fundamental yang diperoleh sebagai hakikat dari keberadaan seorang manusia. Hak politik ialah hak dasar dan bersifat mutlak
hormati oleh Negara dalam keadaan apapun.
Hak sipil adalah kebebasan fundamental yang diperoleh sebagai hakikat dari keberadaan seorang manusia artinya sipil yang dimaksudkan disini adalah kelas yang melindungi hak-hak kebebasan individu dari pelanggaran yang dilakukan oleh Pemerintah dan organisasi swasta lainya dan memastikan kemampuan seseorang untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan sipil maupun politik tanpa diskriminasi atau penindasan apapun. Terdapat macam-macam Hak sipil dan politik, yakni:
1. Hak hidup
2. Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi
3. Hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa
4. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi
5. Hak atas kebebasan bergerak dan berpindah
6. Hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum
7. Hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama
8. Hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi
9. Hak untuk berkumpul dan berserikat
10. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan
C. Hak atas Kebebasan Berkeyakinan dan BeragamaDalam konteks hak asasi manusia
Jaminan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terdapat di dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)) Dan Indonesia sendiri telah meratifikasi ICCPR melalui pengesahan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politikyaitu :
1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,keyakinan dan beragama.Hak ini
mencangkup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihanya sendiri dan kebebasan baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain,baik ditempat umum atau tertutup,untuk menjalankan agama
dan kepercayaanya dalam kegiatan ibadah,pentaatan,pengamalan,dan
pengajaran
2. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasanya untuk
menganut atau menetapkan agama atau kepercayaanya sesuai dengan pilihanya.
3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang
4. Negara pihak dalam konvenan ini berjanji untuk menghormati kkebebasan orang tua dan apabila diakui wali hukum yang sah ,untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa hak dasar kebebasan beragama yang disebut sebagai
HAM melekat pada setiap manusia dan tidak bisa dihilangkan (inalienable right) ini
sesuai dengan karakterisitik HAM itu sendiri.. Bahkan HAM sebagai hak hukum
yang diberikan oleh negara atas penghormatan terhadap martabat (dignity) manusia
yang mandiri. Dan dalam perspektif HAM, negara hanya mempunyai kewajiban, dan tidak mempunyai hak, Dan sebagai konsekuensinya, Negara mempunyai kewajiban menjaga HAM, yang berarti negara harus menjamin HAM, Sehingga Negara harus menciptakan kondisi yang mendukung hak setiap orang untuk menikmati hak dan kebebasan secara utuh,dan kewajiban Negara harus diwujudkan secara maksimal dengan pemanfaatan seluruh sumber daya kekuasaan politik, mulai dari legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sehingga Negara wajib untuk menyediakan upaya pemulihan terhadap individu yang hak sipil dan politiknya dilanggar, termasuk tindakan pengadilan untuk memberikan pemulihan terhadap korban pelanggaran hak sipil secara efektif (effective judicial remedy),Dan adanya beban kewajiban negatif pada negara yang berarti negara harus menghormati kebebasan dan hak setiap individu.
Definisi agama di dalam Pasal 18 ICCPR atau Konvenan international hak-hak sipil dan politik adalah sangat luas, mencakup kepercayaan-kepercayaan seperti teistik, non-teistik, dan ateisme, serta hak untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apapun (a-teistik). Sedangkan cakupan hak kebebasan beragama dan
berkeyakinan merujuk pada Komentar Umum (General Comments) No. 22 yang
dikeluarkan oleh Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (“PBB”)
terkait Pasal 18 ICCPR. Pasal 18 melakukan pembedaan dengan melihat dimensinya, yakni membedakan kebebasan berkeyakinan, dan beragama atau berkepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya, Pembedaan tersebut didasarkan pada rasionalitasyang dilihat dari dimensinya seperti :
a. Dimensi individual yang tercermin dalam perlindungan terhadap keberadaan
spiritual seseorang (forum internum) termasuk di dalam dimensi ini adalah memilih, mengganti, mengadopsi, dan memeluk agama dan keyakinan.
b. Dimensi kolektif tercermin dalam perlindungan terhadap keberadaan seseorang
untuk mengeluarkan keberadaan spiritualnya dan mempertahankannya di depan publik (forum externum).
Pembedaan rasionalitas HAM ini menjadi penting untuk memberikan pedoman atas
agama atau kepercayaan dapat digunakan sebagai propaganda untuk berperang atau advokasi kebencian nasional, rasial, atau agama, yang dapat mendorong terjadinya diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan. Pembedaan ini juga menghasilkan komponen dari hak atas kebebasan beragama itu sendiri, yakni: a. Hak untuk pindah agama (right to change and maintain religion), private intervirum
(internal religious freedom).
b. Hak memanifestasikan agama di dalam hal pengajaran, praktik, beribadah dan
melaksanakan ibadah.
Wilayah negara untuk membatasi hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan
juga sudah diatur sedemikian rupa, meski termasuk dalam non derogable rights, atau
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, namun tidak berarti secara mutlak
seluruhnya. Forum internum hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak
boleh dibatasi, tanpa pengecualian, namun forum externum dapat dibatasi .
Konkretnya, Paragraf 8 Komentar Umum No. 22 atas Pasal 18 ayat (3) ICCPR hanya membatasi hak atas kebebasan beragama yang manifest (eksternal),. Selain adanya
batasan, ada juga larangan, yakni larangan adanya paksaaan (coercion) yang
ditujukan secara langsung terhadap hak untuk memiliki atau menganut agama atau kepercayaan (Pasal 18 ayat (2) ICCPR). Paksaan tersebut mencakup paksaan fisik (physical coercion), dan cara menggunakan paksaan tidak langsung (indirect means coercion). Di mana paksaan tidak langsung mencakup insentif yang tidak
diperbolehkan, misalnya adanya hak istimewa (privilege) bagi kelompok agama atau
kepercayaan tertentu, baik berdasarkan hukum publik (public law).
Komentar Umum (General Comments) No. 22 menjelaskan tentang paksaan
yang mengurangi hak untuk memiliki dan menganut agama atau kepercayaan termasuk penggunaan ancaman dengan kekuatan fisik atau sanksi hukuman sampai pemaksaan sanksi hukum untuk memaksa baik yang pemeluk agama maupun yang tidak mempercayainya (ateisme) untuk tetap memeluk agama dan kepercayaan mereka atau untuk congregation, atau keluar dari agama atau kepercayaan mereka atau untuk pindah agama atau kepercayaan.
Paksaan dapat bersifat langsung dan tidak langsung, kebijakan dan praktik yang dikeluarkan oleh negara yang dimaksudkan mempunyai akibat yang sama dengan paksaan fisik juga dilarang. Contoh paksaan tidak langsung misalnya adalah pembatasan atau dihalanginya akses pada pendidikan, kesehatan, atau pekerjaan. Definisi paksaan yang dilakukan oleh negara adalah apabila negara menolak adanya akses pada fasilitas publik berdasarkan agama atau kepercayaan dengan maksud agar kelompok tersebut mengubah agama dan kepercayaan mereka.
menyebabkan diskriminasi terhadap penganut agama lain atau orang-orang yang tidak beragama atau berkepercayaan.
D. Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik Bila dikaitkan dengan Putusan MK Mengenai Hak Beragama
Dengan adanya putusan MK yang menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom agama di kartu keluarga dan kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP) tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut.hal tersebut diperlukan untuk mewujukan tertib administrasi kependudukan mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam.Hal itu disampaikan MK dalam putusan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP.Dan hal itu diatur dalam Pasal 61 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) juncto Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2013 tentang UU Adminduk.
“Bahwa agar tujuan mewujudkan tertib administrasi kependudukan dapat
terwujud serta mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam, pencantuman elemen data kependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan hanya dengan mencatatkan yang bersangkutan sebagai 'penghayat kepercayaan' tanpa merinci kepercayaan yang dianut di dalam KK ataupun KTP-el, begitu juga
dengan penganut agama lain,”
Sebelumnya ketentuan di dalam UU Adminduk itu dinilai tidak mampu memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak yang sama kepada penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa atau penghayat selaku warga negara.Dan didalam UU Adminduk juga tidak ada yang menjelaskan bahwa hanya ada 6(enam) agama saja yang diakui dan dinyatakan resmi oleh Indonesia dan selama ini para penghayat kepercayaan, seperti Sunda Wiwitan, Batak Parmalim, dan Sapto Darmo, mengalami diskriminasi dalam mengakses layanan publik karena kolom agama dalam KK dan KTP mereka dikosongkan.
Sedangkan bila dikaitkan dengan pasal 18 ayat 1 dalam Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCRP) menjelaskan bahwa
“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,keyakinan dan beragama.Hak
ini mencangkup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihanya sendiri dan kebebasan baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain,baik ditempat umum atau tertutup,untuk menjalankan agama dan kepercayaanya dalam kegiatan ibadah,pentaatan,pengamalan,dan
pengajaran”
sangatlah beragam suku dan budaya begitu juga dengan kepercayaan leluhur yang telah dipercaya oleh kebanyakan masyarakat adat itu sendiri. Namun mengapa hanya 6 (enam) agama saja yang hanya dianggap resmi di Indonesia ? padahal ke 6 (enam) agama tersebut adalah hasil impor ,dan mengapa agama yang sudah menjadi titipan leluhur bangsa indonesia tidak diakui ? sedangkan didalam Undang-Undang Ham maupun Konvenan Internasional menjelaskan bahwa setiap orang berhak untuk memilih dan menganut kepercayaan dan agamanya masing-masing. Pengaturan tersebut telah memperlakukan secara berbeda terhadap warga negara penghayat kepercayaan dan warga negara penganut agama yang diakui menurut peraturan perundang-undangan dalam mengakses pelayanan publik. Dengan kejadian seperti ini lah para penghayat kepercayaan sangat dirugikan dengan adanya aturan tersebut dan mengharuskan mereka untuk berbohong demi
mendapatkan kepentingan politik ataupun pelayanan publik dengan
mencantumkan agama lain sebagai identitas.
Namun bila kita melihat pasal 26 dalam Konvenan Internasional (ICCRP) yang menyatakan
“Bahwa semua orang berkedudukan sama dihadapan hukum dan berak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun ... “
Jelas sangatlah bertentangan sekali dengan peraturan yang ada didalam pasal 27 Konvenan Internasional ini juga dijelaskan pula bahwa orang-orang yang tergolong minoritas bedasrkan suku bangsa,agama,atau bahasa tidak boleh diingkari haknya dalam masyrakat dan dapat menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri. Disini sudah terlihat jelas bahwa ini adalah suatu pelanggaran Ham yang merugikan kelompok minoritas tersebut padahal mereka adalah warga negara Indonesia tetapi mereka harus mengalami diskriminasi.
Dalam putusannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa kata “agama” dalam
Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan. Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
Oleh karena itu adanya putusan tersebut masyarakat dapat bebas menganut agama atau menganut aliran kepercayaan sesuai nilai-nilai luhur bangsa selama nilai-nilai trsebut tetap mengakui keimanan kepada KeTuhanan Yang Maha Esa.dan Penghayat kepercayaan aliran diluar 6 (enam) agama tersebut memiliki kedudukan sama dengan masyarakat yang menganut 6 (enam) agama tersebut.
konteks HAM, keberadaan agama di Indonesia seharusnya diberikan kebebasan kepada setiap individu dalam menjalankan hubungan khususnya dengan Sang Pencipta, karena merupakan urusan privasi individu. Kepercayaan seseorang
terhadap agama lokal/leluhur juga termasuk dalam forum internum yang
memberikan perlindungan terhadap keberadaan spiritual seseorang melalui kebebasan memeluk agama dan kepercayaannya. Pembatasan kebebasan beragama
dapat dilakukan oleh Negara apabila termasuk dalam forum externum, yaitu
Oleh : Winny Amanda M.P
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Pendahuluan
Sejarah perjalanan Agama di Indonesia, ada di dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 dijelaskan bahwa Negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia adalah Negara yang beragama, bukan Negara yang tidak beragama (atheis). Dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dijelaskan bahwa Negara Indonesia hanya memberikan jaminan kepada pemeluk agama untuk beribadah menurut agamanya masing-masing, namun tidak dijelaskan agama apa saja yang diakui di Indonesia.
Kemudian dalam pasal 1 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama, sesuai dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3 pada tanggal 27 Januari 1965 dijelaskan bahwa agama yang dipeluk penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong cu (confusius). Hal ini dibuktikan berdasarkan perkembangan agama di Indonesia. Dan 6 agama tersebut hampir dipeluk oleh seluruh penduduk Indonesia. Keenam agama tersebut juga mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan. Bagaimana dengan agama selain agama yang 6 tersebut?
Dalam penjelasan pasal tersebut juga dijelaskan bahwa agama lain, misalnya : Yahudi, Zarasustrian, Shinto dan Taoism boleh berada di Indonesia. Agama lain tersebut mendapat jaminan menurut Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan dibiarkan tetap ada. Kemudian dijelaskan juga bagi badan/aliran kebatinan, pemerintah menyalurkan kearah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, sesuai dengan TAP MPRS Nomor II/MPRS/1960 lampiran A bidang I angka 6. Oleh karena itu, pasal 29 UUD 1945 hanya menjelaskan 2 pengertian yaitu:
1) Bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang beragama
2) UUD 1945 memberikan jaminan kepada pemeluk agama yang ada di Indonesia untuk beribadah menurut agamanya dan keprcayaannya itu.
Tidak ada pengaturan jenis agama yang mesti berada di Negara Indonesia, semua agama apa pun boleh berada di Indonesia, asal tidak ”ATHEIS”. Kemudian dalam peraturan Nomor 1/PNPS/1965 dijelaskan bahwa hanya 6 agama yang mendapat jaminan yaitu (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hucu), namun agama lain tidak dilarang di Indonesia. Dan tentunya dari keenam Agama yang sudah di akui di Indonesia tersebut mempunyai sejarah yang panjang untuk diakui sebagai agama yang mendapat jaminan di Indonesia.
3 Disampaikan pada 8 Desember 2017 Diskusi Ilmiah Mahasiswa Dalam Memperingati Hari Hak
Pembahasan
Pada tanggal 28 September 2016, Mahkamah Konstitusi menerima pengajuan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP dari sejumlah advokat yang mengatasnamakan diri ”Tim Pembela Kewarganegaraan”. Berkas permohonan itu bernomor 195/PAN.MK/2016. Berkas permohonan itu baru dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi pada 20 Oktober. Nomor perkara 97/PUU-XIV/2016. Berkas tersebut mengalami perbaikan dan diterima lagi untuk kepaniteraan MK pada 20 November 2016. Mereka mengajukan permohonan pengujian Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Yang berbunyi, sebagai berikut:
Pasal 61: Ayat (1)
“KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan
anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen
imigrasi, nama orang tua”
Ayat (2)
“Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang
agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat
dalam database kependudukan”
Kemudian Pasal 64: Ayat (1)
“KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tanda tangan pemilik KTP-el.”
Ayat (5)
“Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.”
komunitas ini juga kesulitan mendapat KTP, terkadang mereka harus berbohong dengan menulis agama di luar kepercayaan mereka. Tidak hanya Nggay, tim pembela kewarganegaraan juga mewakili Pagar Demanra Sirait, penganut kepercayaan Parmalin di Sumatera Utara. Mereka punya masalah yang sama. Bahkan mereka terkadang dipaksa memilih agama yang diakui negara, di luar kepercayaan yang dianut. Mereka juga mengalami kesulitan dalam hal memperoleh pekerjaan lantaran, kecuali bersedia pindah agama. Kemudian ada Arnol Purba yang mewakili penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak di Medan, Sumatera Utara. Jumlah penganut Ugamo Bangsa Batak di Kota Medan tersebar di kecamatan Meda Helvetia, Medan Denai, Medan Belawan dengan total 40 jiwa. Ada pula Carlim, penganut aliran kepercayaan Sapto Darmo. Di Pulau Jawa, jumlahnya ratusan ribu orang. Mereka kerap dianggap sebagai penganut aliran sesat. Sebab, pada kolom agama di KTP mereka dikosongkan. Mereka juga tidak diterima jika dimakamkan di pemakaman umum.
Para pemohon menilai, Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang memerintahkan agar mengosongkan kolom agama bagi penganut kepercayaan, sebagai bentuk keengganan negara mengakui keberadaan mereka. Karena itu, mereka menganggap ini merugikan hak konstitusional mereka. Pasal-pasal itu dinilai melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, UU nomor 12 tahun 2005, UU Nomor 11 berpegang pada piagam Duham dan konvenan internasional. Pada intinya, setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, beragama dan berkeyakinan, dan kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan. Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kata Agama juga dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.
Lewat putusan tersebut, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui oleh pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan. Selain itu, MK menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang yang sama, juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Amar putusan mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon
untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat ketika membacakan
Mahkamah menegaskan bahwa penganut aliran kepercayaan juga harus tetap dilayani dan dicatat dalam pusat data kependudukan.
”Hal tersebut semata-mata penegasan tentang kewajiban negara untuk memberikan pelayanan kepada setiap warga negara sesuai dengan data yang tercantum dalam database kependudukan yang memang merupakan tugas dan kewajiban negara," jelas Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Kesimpulan
Keputusan MK yang menyetujui pengisian agama “kepercayaan” di KTP tentunya