• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik Bila dikaitkan dengan Putusan MK Mengenai Hak Beragama

Dalam dokumen LAPORAN KEGIATAN DISKUSI ILMIAH MAHASISW (Halaman 28-71)

Saya akan mengutip pendapat dari A.V Dicey tiga ciri penting negara hukum ialah Hak Asasi Manusia dijamin melalui

HAK BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN MENURUT KONVENSI HAK SIPIL DAN POLITIK 2

D. Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik Bila dikaitkan dengan Putusan MK Mengenai Hak Beragama

Dengan adanya putusan MK yang menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom agama di kartu keluarga dan kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP) tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut.hal tersebut diperlukan untuk mewujukan tertib administrasi kependudukan mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam.Hal itu disampaikan MK dalam putusan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP.Dan hal itu diatur dalam Pasal 61 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) juncto Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2013 tentang UU Adminduk.

“Bahwa agar tujuan mewujudkan tertib administrasi kependudukan dapat

terwujud serta mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam, pencantuman elemen data kependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan hanya dengan mencatatkan yang bersangkutan sebagai 'penghayat kepercayaan' tanpa merinci kepercayaan yang dianut di dalam KK ataupun KTP-el, begitu juga

dengan penganut agama lain,”

Sebelumnya ketentuan di dalam UU Adminduk itu dinilai tidak mampu memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak yang sama kepada penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa atau penghayat selaku warga negara.Dan didalam UU Adminduk juga tidak ada yang menjelaskan bahwa hanya ada 6(enam) agama saja yang diakui dan dinyatakan resmi oleh Indonesia dan selama ini para penghayat kepercayaan, seperti Sunda Wiwitan, Batak Parmalim, dan Sapto Darmo, mengalami diskriminasi dalam mengakses layanan publik karena kolom agama dalam KK dan KTP mereka dikosongkan.

Sedangkan bila dikaitkan dengan pasal 18 ayat 1 dalam Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCRP) menjelaskan bahwa

“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,keyakinan dan beragama.Hak

ini mencangkup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihanya sendiri dan kebebasan baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain,baik ditempat umum atau tertutup,untuk menjalankan agama dan kepercayaanya dalam kegiatan ibadah,pentaatan,pengamalan,dan

pengajaran”

Artinya setiap orang memiliki hak untuk memiliki keyakinan dan agamanya masing-masing. dan apabila para penghayat kepercayaan lainya seperti Sunda Wiwitan, Batak Parmalim, dan Sapto Darmo dsb, mengalami diskriminasi dalam mengakses layanan publik karena kolom agama dalam KK dan KTP mereka

sangatlah beragam suku dan budaya begitu juga dengan kepercayaan leluhur yang telah dipercaya oleh kebanyakan masyarakat adat itu sendiri. Namun mengapa hanya 6 (enam) agama saja yang hanya dianggap resmi di Indonesia ? padahal ke 6 (enam) agama tersebut adalah hasil impor ,dan mengapa agama yang sudah menjadi titipan leluhur bangsa indonesia tidak diakui ? sedangkan didalam Undang-Undang Ham maupun Konvenan Internasional menjelaskan bahwa setiap orang berhak untuk memilih dan menganut kepercayaan dan agamanya masing-masing. Pengaturan tersebut telah memperlakukan secara berbeda terhadap warga negara penghayat kepercayaan dan warga negara penganut agama yang diakui menurut peraturan perundang-undangan dalam mengakses pelayanan publik. Dengan kejadian seperti ini lah para penghayat kepercayaan sangat dirugikan dengan adanya aturan tersebut dan mengharuskan mereka untuk berbohong demi

mendapatkan kepentingan politik ataupun pelayanan publik dengan

mencantumkan agama lain sebagai identitas.

Namun bila kita melihat pasal 26 dalam Konvenan Internasional (ICCRP) yang menyatakan

“Bahwa semua orang berkedudukan sama dihadapan hukum dan berak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun ... “

Jelas sangatlah bertentangan sekali dengan peraturan yang ada didalam pasal 27 Konvenan Internasional ini juga dijelaskan pula bahwa orang-orang yang tergolong minoritas bedasrkan suku bangsa,agama,atau bahasa tidak boleh diingkari haknya dalam masyrakat dan dapat menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri. Disini sudah terlihat jelas bahwa ini adalah suatu pelanggaran Ham yang merugikan kelompok minoritas tersebut padahal mereka adalah warga negara Indonesia tetapi mereka harus mengalami diskriminasi.

Dalam putusannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa kata “agama” dalam

Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan. Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.

Oleh karena itu adanya putusan tersebut masyarakat dapat bebas menganut agama atau menganut aliran kepercayaan sesuai nilai-nilai luhur bangsa selama nilai-nilai trsebut tetap mengakui keimanan kepada KeTuhanan Yang Maha Esa.dan Penghayat kepercayaan aliran diluar 6 (enam) agama tersebut memiliki kedudukan sama dengan masyarakat yang menganut 6 (enam) agama tersebut.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan Hak Atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan harus diukur apakah telah sesuai dengan komitmen negara, dan benar-benar mencerminkan perlindungan atau bahkan terjadi pelanggaran. Mengingat secara normatif, Indonesia terikat pada hak asasi manusia yang telah diintegrasikan ke dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Dalam

konteks HAM, keberadaan agama di Indonesia seharusnya diberikan kebebasan kepada setiap individu dalam menjalankan hubungan khususnya dengan Sang Pencipta, karena merupakan urusan privasi individu. Kepercayaan seseorang

terhadap agama lokal/leluhur juga termasuk dalam forum internum yang

memberikan perlindungan terhadap keberadaan spiritual seseorang melalui kebebasan memeluk agama dan kepercayaannya. Pembatasan kebebasan beragama

dapat dilakukan oleh Negara apabila termasuk dalam forum externum, yaitu

seseorang yang melakukan manifestasi agama atau keyakinannya termasuk dalam menyebarkan ajaran agamanya yang harus dilakukan tanpa adanya paksaan dan kekerasan, mendirikan rumah ibadah dan lain-lain.

Oleh : Winny Amanda M.P

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Pendahuluan

Sejarah perjalanan Agama di Indonesia, ada di dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 dijelaskan bahwa Negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia adalah Negara yang beragama, bukan Negara yang tidak beragama (atheis). Dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dijelaskan bahwa Negara Indonesia hanya memberikan jaminan kepada pemeluk agama untuk beribadah menurut agamanya masing-masing, namun tidak dijelaskan agama apa saja yang diakui di Indonesia.

Kemudian dalam pasal 1 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama, sesuai dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3 pada tanggal 27 Januari 1965 dijelaskan bahwa agama yang dipeluk penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong cu (confusius). Hal ini dibuktikan berdasarkan perkembangan agama di Indonesia. Dan 6 agama tersebut hampir dipeluk oleh seluruh penduduk Indonesia. Keenam agama tersebut juga mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan. Bagaimana dengan agama selain agama yang 6 tersebut?

Dalam penjelasan pasal tersebut juga dijelaskan bahwa agama lain, misalnya : Yahudi, Zarasustrian, Shinto dan Taoism boleh berada di Indonesia. Agama lain tersebut mendapat jaminan menurut Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan dibiarkan tetap ada. Kemudian dijelaskan juga bagi badan/aliran kebatinan, pemerintah menyalurkan kearah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, sesuai dengan TAP MPRS Nomor II/MPRS/1960 lampiran A bidang I angka 6. Oleh karena itu, pasal 29 UUD 1945 hanya menjelaskan 2 pengertian yaitu:

1) Bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang beragama

2) UUD 1945 memberikan jaminan kepada pemeluk agama yang ada di Indonesia untuk beribadah menurut agamanya dan keprcayaannya itu.

Tidak ada pengaturan jenis agama yang mesti berada di Negara Indonesia, semua agama apa pun boleh berada di Indonesia, asal tidak ”ATHEIS”. Kemudian dalam peraturan Nomor 1/PNPS/1965 dijelaskan bahwa hanya 6 agama yang mendapat jaminan yaitu (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hucu), namun agama lain tidak dilarang di Indonesia. Dan tentunya dari keenam Agama yang sudah di akui di Indonesia tersebut mempunyai sejarah yang panjang untuk diakui sebagai agama yang mendapat jaminan di Indonesia.

3 Disampaikan pada 8 Desember 2017 Diskusi Ilmiah Mahasiswa Dalam Memperingati Hari Hak Asasi Manusia “Eksistensi Hak Berkeyakinan Dalam KTP Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi” Di Graha Widya Lantai 2 Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

Pembahasan

Pada tanggal 28 September 2016, Mahkamah Konstitusi menerima pengajuan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP dari sejumlah advokat yang mengatasnamakan diri ”Tim Pembela Kewarganegaraan”. Berkas permohonan itu bernomor 195/PAN.MK/2016. Berkas permohonan itu baru dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi pada 20 Oktober. Nomor perkara 97/PUU-XIV/2016. Berkas tersebut mengalami perbaikan dan diterima lagi untuk kepaniteraan MK pada 20 November 2016. Mereka mengajukan permohonan pengujian Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Yang berbunyi, sebagai berikut:

Pasal 61: Ayat (1)

“KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan

anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen

imigrasi, nama orang tua”

Ayat (2)

“Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang

agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat

dalam database kependudukan”

Kemudian Pasal 64: Ayat (1)

“KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tanda tangan pemilik KTP-el.”

Ayat (5)

“Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.”

Mereka menilai pasal dalam UU itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Gugatan itu mewakili Nggay Mehang Tana, penganut kepercayaan dari Komunitas Marapu di Sumba Timur. Nggay sendiri mewakili 21.000 penganut kepercayaan dari komunitas tersebut. Selama ini mereka kesulitan mengakses urusan administrasi kependudukan, bantuan sosial dan pelayanan publik. Dengan menyandang status penganut kepercayaan, pernikahan antara komunitas mereka juga tidak

komunitas ini juga kesulitan mendapat KTP, terkadang mereka harus berbohong dengan menulis agama di luar kepercayaan mereka. Tidak hanya Nggay, tim pembela kewarganegaraan juga mewakili Pagar Demanra Sirait, penganut kepercayaan Parmalin di Sumatera Utara. Mereka punya masalah yang sama. Bahkan mereka terkadang dipaksa memilih agama yang diakui negara, di luar kepercayaan yang dianut. Mereka juga mengalami kesulitan dalam hal memperoleh pekerjaan lantaran, kecuali bersedia pindah agama. Kemudian ada Arnol Purba yang mewakili penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak di Medan, Sumatera Utara. Jumlah penganut Ugamo Bangsa Batak di Kota Medan tersebar di kecamatan Meda Helvetia, Medan Denai, Medan Belawan dengan total 40 jiwa. Ada pula Carlim, penganut aliran kepercayaan Sapto Darmo. Di Pulau Jawa, jumlahnya ratusan ribu orang. Mereka kerap dianggap sebagai penganut aliran sesat. Sebab, pada kolom agama di KTP mereka dikosongkan. Mereka juga tidak diterima jika dimakamkan di pemakaman umum.

Para pemohon menilai, Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang memerintahkan agar mengosongkan kolom agama bagi penganut kepercayaan, sebagai bentuk keengganan negara mengakui keberadaan mereka. Karena itu, mereka menganggap ini merugikan hak konstitusional mereka. Pasal-pasal itu dinilai melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, UU nomor 12 tahun 2005, UU Nomor 11 Tahun 2005, UU Nomor 39 Tahun 1999. Undang-Undang itu mengamanatkan negara menjamin hak asasi tanpa membedakan apapun, suku, agama, ras, warna kulit, jenis kelamin, dan kepercayaan.

Hakim MK menilai kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa merupakan hak konstitusional dan bukan pemberian negara. Itu merupakan hak asasi manusia. MK juga berpegang pada piagam Duham dan konvenan internasional. Pada intinya, setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, beragama dan berkeyakinan, dan kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan. Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kata Agama juga dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.

Lewat putusan tersebut, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui oleh pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan. Selain itu, MK menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang yang sama, juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Amar putusan mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon

untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat ketika membacakan

Mahkamah menegaskan bahwa penganut aliran kepercayaan juga harus tetap dilayani dan dicatat dalam pusat data kependudukan.

”Hal tersebut semata-mata penegasan tentang kewajiban negara untuk memberikan pelayanan kepada setiap warga negara sesuai dengan data yang tercantum dalam database kependudukan yang memang merupakan tugas dan kewajiban negara," jelas Hakim Konstitusi Saldi Isra.

Kesimpulan

Keputusan MK yang menyetujui pengisian agama “kepercayaan” di KTP tentunya

tidak serta merta MK langsung mengambil keputusan menyetujui atau membolehkan pengisian di kolom agama “kepercayaan” pada KTP, tetapi atas dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama yang secara konstitusi kita di Indonesia diatur yaitu yang ada pada Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”) : “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Kemudian Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. Kemudian disasarkan atas pendapat dari pemohon yang mengajukan permohonan untuk melakukan pengujian pada Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang memerintahkan agar mengosongkan kolom agama bagi penganut kepercayaan, sebagai bentuk keengganan negara mengakui keberadaan mereka. Karena itu, mereka menganggap ini merugikan hak konstitusional

mereka. Pasal-pasal tersebut dinilai melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, UU Nomor 12 Tahun 2005, UU Nomor 11 Tahun 2005, UU Nomor 39 Tahun 1999. Undang-Undang itu mengamanatkan negara menjamin hak asasi tanpa membedakan apapun, suku, agama, ras, warna kulit, jenis kelamin, dan kepercayaan. Tentunya dalam proses persidangan melalui tahap-tahap persidangan seperti agenda pembuktian dalil-dalil yang tercantum di dalam permohonannya dengan menghadirkan saksi-saksi dan Tidak hanya itu, delapan saksi ahli juga dihadirkan pada persidangan 2 Februari 2017, 22 Februari 2017, dan 3 Mei 2017 serta rangkaian proses sidang yang lainnya. Yang pada akhirnya MK pada hari selasa, tanggal 7 November 2017 Ketua MK Arief Hidayat membacakan putusan MK dalam sidangnya sbb: ”Majelis Hakim mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan kata ‘agama’ dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepenjang tidak termasuk aliran kepercayaan”. Jadi selain 6 agama yang sudah diakui lebih dahulu di Indonesia sekarang Penghayat Kepercayaan tidak usah khawatir lagi karena sudah bisa mengisi kolom Agama pada KTP dengan agama ‘kepercayaan’ dan secara otomatis mendapat jaminan dari Negara.

Dalam dokumen LAPORAN KEGIATAN DISKUSI ILMIAH MAHASISW (Halaman 28-71)

Dokumen terkait