• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Karakteristik dan Perilaku Perawat Terhadap Penerapan S.O.P Pemasangan Infus Dalam Pencegahan Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisa Karakteristik dan Perilaku Perawat Terhadap Penerapan S.O.P Pemasangan Infus Dalam Pencegahan Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan Tahun 2016"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan tatanan pemberi jasa layanan kesehatan memiliki peran yang strategis dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia (Sumijatun, 2010). Tantangan ini memaksa rumah sakit untuk mengembangkan kemampuannya dalam berbagai aspek untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang bertanggung jawab dan bermutu.

Menurut UU No.44 tahun 2009 rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

2.2. Keperawatan

(2)

untuk mengarahkan seluruh sumber daya keperawatan dalam menghasilkan pelayanan keperawatan yang prima dan berkualitas. Manajemen keperawatan merupakan koordinasi dan integrasi dari sumber-sumber keperawatan dengan menerapkan proses manajemen untuk mencapai tujuan pelayanan keperawatan. Hal ini tentu perlu didukung oleh seorang manajer yang mempunyai kemampuan manajerial yang handal untuk melaksanakan fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian aktivitas-aktivitas keperawatan (Marquis dan Huston, 2010).

Tujuan keperawatan umum meliputi :

a. Meningkatkan dan mempertahankan kualitas pelayanan rumah sakit.

b. Meningkatkan penerimaan masyarakat tentang profesi keperawatan dengan mendidik perawat agar mempunyai sikap profesional dan bertanggung jawab dalam pekerjaan.

c. Meningkatkan hubungan dengan pasien, keluarga dan masyarakat.

d. Meningkatkan pelaksanaan kegiatan umum dalam upaya memberi kenyamanan pasien.

e. Meningkatkan komunikasi antara staf.

f. Meningkaatkan kualitas dan produktifitas kerja staf keperawatan.

(3)

kemampuan yang ada pada individu, mencegah, memperbaiki dan melakukan rehabilitasi dari suatu keadaan yang dipersepsikan sakit oleh individu (Nursalam, 2009).

Profesi keperawatan sebagai salah satu bagian integral dari sistem kesehatan dapat menjadi kunci utama disamping dokter dalam keberhasilan pelayanan kesehatan/ rumah sakit. Dikatakan utama karena peran dan tanggung jawab secara langsung berdampak pada hasil akhir pelayanan klien. Dengan semakin majunya rumah sakit yang telah berkembang menjadi industri jasa yang kompleks, membuat tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di rumah sakit juga semakin tinggi, sehingga seluruh karyawan harus dapat bekerja secara profesional untuk memberikan asuhan kesehatan kepada pasien/ klien (Sumijatun, 2010).

2.3. Kinerja

2.3.1. Defenisi Kinerja

(4)

2.3.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja

Menurut Gibson dalam (Ilyas, 2001), ada tiga faktor (variabel) yang memengaruhi kinerja seseorang yaitu :

a. Faktor individu, terdiri dari kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografis. Variabel kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang memengaruhi perilaku dan kinerja invidu, variabel demografis mempunyai efek tidak langsung pada prilaku dan kinerja individu.

b. Faktor psikologi, terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya, dan variabel demografis. Variabel seperti persepsi, sikap, kepribadian, dan belajar merupakan hal yang kompleks dan sulit diukur.

c. Faktor organsisasi berefek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja individu, terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.

2.4. Pengetahuan dan Sikap 2.4.1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari „tahu‟, dan ini terjadi setelah orang melakukan

(5)

merupakan salah satu domain perilaku. Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2007) bahwa pengetahuan yang dicapai dalam domain kognitif, mempunyai 6 tingkat, yaitu : 1. Tahu (know) yang diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya.

2. Memahami (comprehension) yang diartikan sebagai kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui.

3. Aplikasi (application), yang diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.

4. Analisis (analysis) yang diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan materi ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi.

5. Sintesis (synthesis) menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sistensis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (evaluation) yang diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian suatu materi atau obyek. Pengetahuan merupakan aspek pokok untuk menentukan perilaku seseorang untuk menyadari dan tidak, maupun untuk mengatur perilakunya sendiri (Notoadmojo, 2007).

2.4.2. Sikap

(6)

(Notoatmodjo, 2007). Menurut Petty Cocopio dalam (Azwar, 2000) sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, obyek atau isue.

Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku atau tindakan (reaksi tertutup) (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2007) seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat – tingkat berdasarkan intensitasnya yaitu:

1. Menerima (receiving), atas stimulus yang diberikan. 2. Menanggapi (responding), atas objek yang dihadapi. 3. Menghargai (valuing), yaitu memberikan nilai yang positif.

4. Bertanggung jawab (responsible), dengan apa yang telah diyakininya.

2.5. Infeksi Nosokomial

2.5.1. Pengertian Infeksi Nosokomial

(7)

penyakit, tanda-tanda klinis infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya setelah 3x24 jam sejak mulai perawatan. Infeksi tersebut bukan merupakan infeksi sisa dari infeksi sebelumnya. Apabila saat pasien dirawat di rumah sakit sudah terlihat adanya tanda-tanda infeksi dan terbukti infeksi didapat bukan dari rumah sakit, tidak bisa disebut sebagai infeksi nosokomial.

Menurut Djojosugito (2001) suatu infeksi dikatakan didapat di rumah sakit apabila :

a) Waktu mulai dirawat tidak didapatkan tanda klinis infeksi dan tidak sedang dalam masa inkubasi infeksi tersebut

b) Infeksi sekurang-kurangnya 72 jam sejak mulai dirawat

c) Infeksi terjadi pada pasien dengan masa perawatan lebih lama dari waktu inkubasi infeksi tersebut

d) Infeksi terjadi setelah pasien pulang dan dapat dibuktikan berasal dari rumah sakit

e) Infeksi terjadi pada neonatus yang didapatkan dari ibunya pada saat persalinan atau selama perawatan di rumah sakit

Infeksi nosokomial mudah terjadi karena kondisi tertentu (Widodo, 2004), misalnya : a) Rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya orang sakit sehingga jumlah dan

jenis kuman penyakit yang ada lebih banyak dari pada di tempat lain

(8)

c) Di rumah sakit, seringkali penderita dilakukan tindakan invasif mulai dari yang sederhana, misalnya pemberian obat suntikan sampai dengan tindakan yang lebih invasif misalnya operasi

d) Mikroorganisme yang ada cenderung lebih resisten terhadap antibiotika, akibat penggunaan berbagai macam antibiotika yang seringkali tidak rasional

e) Adanya kontak langsung antar pasien, atau petugas dengan pasien yang dapat menularkan kuman pathogen

f) Penggunaaan alat/peralatan kedokteran yang telah terkontaminasi oleh kuman. 2.5.2. Insiden

Hasil survey point prevalensi dari 11 Rumah Sakit di DKI Jakarta yang dilakukan oleh Perdalin Jaya dan Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta pada tahun 2003 didapatkan angka infeksi nosokomial untuk Infeksi Luka Operasi (ILO) 18.9%, Infeksi Saluran Kemih (ISK) 15.1%, Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) 26.4%, Pneumonia 24.5%, Infeksi Saluran Nafas lain 15.1% serta infeksi lain 32.1%. Namun angka kejadian nasional infeksi nosokomial belum diketahui secara pasti (Depkes R.I, 2008).

2.5.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi terjadinya Infeksi Nosokomial

(9)

faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi nosokomial adalah tindakan invasif yang dapat menembus barier, contohnya pemasangan infus, kateterisasi, intubasi, ruangan yang terlalu penuh dengan pasien, kurangnya staf perawat, penyalahgunaan antibiotik, prosedur sterilisasi yang tidak sesuai prosedur, dan ketidakpatuhan petugas kesehatan terhadap prosedur pencegahan infeksi, khususnya mencuci tangan.

Secara umum, faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi nosokomial adalah sebagai berikut :

1. Usia

Yelda (2003) dalam penelitiannya tentang faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian infeksi nosokomial di beberapa rumah sakit di DKI Jakarta menemukan tidak adanya hubungan yang bermakna antara usia terhadap kejadian infeksi nosokomial.

2. Jenis kelamin

Pada neonatus, bayi dengan berat badan rendah dan berjenis kelamin laki-laki memiliki risiko untuk mendapatkan infeksi nosokomial sebanyak 1,7 kali dibandingkan dengan bayi dengan berat badan rendah yang berjenis kelamin perempuan.

3. Lama hari rawat

(10)

4. Kelas ruang rawat

Kelas ruang rawat merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh latar belakang dan kondisi kemampuan ekonomi pasien. Lingkungan rumah sakit yang buruk, seperti ventilasi yang tidak adequat, kerapatan antara satu pasien ke pasien lainnya yang tidak sesuai standar, cahaya yang kurang bisa menjadi sumber infeksi nosokomial. 5. Komplikasi dan penyakit penyerta

Pasien dengan komplikasi penyakit penyerta sangat rentan mendapatkan infeksi nosokomial, hal ini dihubungkan dengan penurunan daya tahan tubuh (Parhusip, 2005).

6. Penggunaan alat invasif

Semakin lama pemakaian ventilator mekanik, kateter urine, terapi intravena dan infus akan meningkatkan risiko untuk terkena infeksi nosokomial di ruang PICU dan NICU antara lain adalah dengan pemasangan kateter arteri umbilikal, pemberian nutrisi parenteral dan penggunaan ventilasi mekanik.

7. Pemakaian antibiotik

(11)

yang resisten terhadap antibiotik tertentu akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi nosokomial.

8. Mikroorganisme

Dari sisi organisme hal yang harus diperhatikan adalah virulensi dari organisme tersebut karena tidak semua organisme memberikan akibat yang sama dan juga kolonisasi, dosis dan infeksi sekunder pada terapi antibiotik dan rendahnya pertahanan tubuh. Kemampuan mikroorganisme untuk dapat menyebabkan infeksi nosokomial tergantung pada virulensi, ketahanan host dan lokasi bagian tubuh yang diakibatkannya (Potter & Perry, 2005).

2.5.4. Pengendalian Infeksi Nosokomial

Menyadari akan bahaya dan masalah yang dihadapi akibat terjadinya infeksi nosokomial, maka diperlukan suatu program pengendalian yang bertujuan untuk menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial, mencegah terjadinya infeksi nosokomial dan untuk menjaga keselamatan pasien maupun karyawan rumah sakit. Dukungan jajaran manajemen sampai staf merupakan hal yang penting mengingat infeksi nosokomial ini merupakan masalah utama yang harus dicegah karena angka nosokomial yang tinggi menunjukkan indikator mutu rumah sakit yang buruk.

(12)

sesudah melakukan tindakan, penggunaan alat pelindung diri, dekontaminasi alat-alat, dan pengelolaan limbah padat di ruang rawat inap.

Untuk mengetahui betapa pentingnya upaya pencegahan infeksi nosokomial, berikut ini dijelaskan peran perawat dalam melaksanakan tindakan pencegahan infeksi nosokomial yaitu antara lain mencuci tangan, proses dekontaminasi, dan pengelolaan limbah padat (Depkes, 2009).

1. Cuci Tangan

Dari sudut pandang pencegahan dan pengendalian infeksi, cuci tangan adalah cara sederhana pencegahan infeksi yang penting dilakukan pada saat sebelum dan sesudah melakukan kegiatan. Cuci tangan merupakan proses secara mekanik melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun dan air (Depkes, 2009).

Berikut ini dijelaskan tujuan, indikasi, dan prosedur standar cuci tangan. a) Tujuan :

- Menghilangkan seluruh kotoran dan debris serta menghambat atau membunuh mikroorganisme pada kulit

- Menekan pertumbuhan bakteri pada tangan

- Menurunkan jumlah kuman yang tumbuh dibawah sarung tangan. b) Indikasi :

(13)

- Sebelum : kontak langsung dengan pasien, menggunakan sarung tangan, menyiapkan obat-obatan, menyiapkan makanan, memberi makan pasien, dan meninggalkan rumah sakit.

- Setelah : kontak dengan pasien, melepas sarung tangan, melepas alat pelindung diri, kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi, eksudat, luka, kontak dengan peralatan yang diketahui atau mungkin terkontaminasi dengan darah, cairan tubuh, menggunakan toilet.

c) Prosedur standar :

- Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air mengalir - Tuangkan sabun cair 3-5 cc di bagian telapak tangan yang basah - Ratakan dengan kedua telapak tangan

- Gosok punggung tangan dan sela-sela jari tangan kiri dan tangan kanan dan sebaliknya

- Gosok kedua telapak dan sela-sela jari

- Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci

- Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan lakukan sebaliknya

- Gosok dengan memutar ujung jari-jari di telapak tangan kiri dan sebaliknya.

- Bilas kedua tangan dengan air mengalir

(14)

- Gunakan handuk sekali pakai atau tissue towel untuk menutup kran

- Pada cuci tangan aseptik dilarang menyentuh permukaan tidak steril, waktu yang dibutuhkan untuk mencuci tangan antara 5-10 menit

Untuk menghindari tumbuhnya mikroorganisme berkembang biak pada keadaan lembab, maka:

a) Dispenser sabun harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum pengisian ulang b) Jangan menambahkan sabun cair kedalam tempatnya bila masih ada isinya,

penambahan ini dapat menyebabkan kontaminasi bakteri pada sabun yang dimasukkan

c) Jangan gunakan baskom isi air untuk mencuci tangan walaupun didalamnya telah diberikan antiseptik, karena mikroorganisme dapat bertahan dan berkembang biak dalam larutan ini.

Cuci tangan, teknik barier dan peralatan desinfeksi merupakan instrumen mendasar bagi pencegahan dan pengendalian infeksi yang tepat. Sabun, desinfektan dan handuk atau pengering lainnya tersedia di lokasi dimana prosedur cuci tangan dan desinfektan dipersyaratkan. Pedoman cuci tangan ditetapkan oleh rumah sakit dan ditempel di area yang tepat dan staf teredukasi didalam prosedur cuci tangan yang benar, desinfeksi tangan atau prosedur disinfeksi diketahui.

2. Penggunaan Alat Pelindung Diri

(15)

Alat pelindung diri ini meliputi sarung tangan, masker, alat pelindung mata (pelindung wajah dan kaca mata), topi, gaun, apron dan pelindung lainnya.

3. Dekontaminasi

Adalah menghilangkan mikroorganisme patogen dan kotoran sehingga aman untuk pengelolaan selanjutnya (Depkes, 2009). Agar seorang perawat dapat melakukan dekontaminasi dengan benar, berikut ini dijelaskan tujuan, indikasi, dan prosedur standar dekontaminasi alat kesehatan.

a) Tujuan :

- Mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan

- Mematikan mikroorganisme misalnya HIV, HBV dan kotoran lain yang tidak tampak

- Melindungi petugas dan pasien dari kuman patogen b) Indikasinya adalah sebagai proses awal :

- Alat kesehatan bekas pakai sebelum dicuci dan diproses lebih lanjut - Penanganan tumpahan darah atau cairan tubuh lain

- Dekontaminasi meja atau permukaan lain yang mungkin tercemar darah atau cairan tubuh lain

c) Prosedur standar : - Cuci tangan

(16)

- Rendam alat kesehatan segera setelah dipakai dalam larutan desinfektan (klorin 0.5%) selama 10 menit. Seluruh alat harus terendam dalam larutan klorin

- Segera bilas dengan air sampai bersih - Lanjutkan dengan pembersihan

- Buka sarung tangan, masukkan dalam wadah sementara menunggu dekontaminasi sarung tangan dan proses selanjutnya

- Cuci tangan.

4. Pengelolaan Limbah Padat

Pengelolaan limbah padat di ruang perawatan merupakan bagian dari pencegahan infeksi nosokomial. Berikut ini dijelaskan tentang jenis limbah, cara pengelolaan dan penanganan limbah.

a) Jenis limbah

Limbah yang ada di rumah sakit dapat dibagi dua yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat yang berasal dari rumah sakit secara umum dibedakan atas:

(17)

- Limbah non medis atau limbah rumah tangga yaitu limbah yang tidak kontak dengan darah atau cairan tubuh pasien, sehingga disebut sebagai limbah risiko rendah

b) Cara pengelolaan limbah Untuk mengetahui bagaimana cara mengelola limbah padat yang ada di ruangan rawat inap, berikut ini akan dijelaskan mengenai cara penanganan limbah klinis, prosedur pengelolaan limbah, dan indikator penanganan limbah tajam.

c) Cara penanganan limbah

- Sebelum dibawa ke tempat pembuangan akhir semua jenis limbah klinis ditampung dalam kantong kedap air, biasanya kantong berwarna kuning - Ikat rapat kantong yang sudah terisi 2/3 penuh

d) Prosedur pengelolaan limbah

- Pemilahan limbah sesuai jenis risiko limbah

- Semua limbah risiko tinggi harus dilabelkan dengan jelas

- Menggunakan kode kantong plastic berbeda warna untuk setiap jenis limbah, misalnya kuning untuk limbah medis dan hitam untuk limbah non medis

- Penyimpanan limbah

- Apabila 2/3 kantong telah terisi maka kantong harus diikat kuat dan diberi label

(18)

- Semua tempat sampah yang digunakan untuk meletakkan limbah harus dikosongkan dan dicuci setiap hari

e) Pemisahan limbah

Untuk memudahkan pengelolaan limbah padat maka limbah dipilah-pilah untuk dipisahkan (Djojosugito, 2001). Untuk memisahkan limbah padat ini digunakan kantong berwarna, yaitu kantong kuning untuk limbah medis dan kantong hitam untuk limbah non medis.

f) Indikator penanganan limbah tajam yang aman dan benar, adalah sebagai berikut :

- Selalu dibuang ke tempat penampungan sementara

- Tidak menyerahkan limbah tajam secara langsung dari orang ke orang - Lindungi jari tangan terhadap bahaya tusukan, contoh dengan

menggunakan penjepit

- Tidak menyarungkan kembali jarum suntik bekas pakai

- Menempatkan segera jarum suntik setelah dipakai pada wadah tahan tusukan sebelum siap dibawa ke tempat pembuangan akhir

- Letakkan wadah penampung jarum bekas dekat dengan lokasi tindakan misalnya di ruang tindakan

- Tidak meletakkan limbah tajam kedalam wadah lain selain yang tahan tusukan

(19)

- Agar jangan sampai tumpah, kirim wadah penampung limbah sebelum penuh (2/3 penuh) untuk didekontaminasi atau untuk diinserasi.

2.5.5. Standar Penilaian Infeksi Nosokomial

Beberapa elemen penilaian yang dilakukan pihak rumah sakit dalam menentukan infeksi nosokomial antara lain:

1. Tersedia suatu program yang komprehensif dan rencana menurunkan risiko pelayanan kesehatan terkait infeksi pada pasien.

2. Tersedia suatu program yang komprehensif dan rencana menurunkan risiko pelayanan kesehatan terkait infeksi pada tenaga kesehatan.

3. Program termasuk kegiatan surveillance secara proaktif dan sistematik untuk menetapkan angka infeksi biasa (endemic).

4. Program termasuk kegiatan sistem investigasi outbreak dari penyakit infeksi. 5. Program berpedoman pada peraturan dan prosedur yang berlaku.

6. Tujuan penurunan risiko dan sasaran terukur dibuat dan secara teratur direview. 7. Program sesuai dengan besar kecilnya rumah sakit, lokasi geografi,

pelayanannya dan pasien.

(20)

dua risiko terkait single-use dan re-use peralatan habis pakai : ada risiko meningkatnya infeksi dan ada risiko bahwa kekuatan peralatan habis pakai tersebut mungkin tidak adekuat atau tidak memuaskan setelah diproses kembali. Pada waktu single use menjadi re-use maka di rumah sakit ada kebijakan yang menjadi acuan

juga re-use. Kebijakan konsisten dengan peraturan dan perundangan nasional dan standar profesi dan termasuk mengidentifikasi dari :

a) Peralatan dan peralatan habis pakai yang tidak bisa di re-use.

b) Jumlah maksimum spesifik re-use untuk setiap peralatan dan peralatan yang di re-use.

c) Tipe pemakaian dan keretakan, diantara lainnya, dan indikasi bahwa peralatan habis pakai tidak bisa di re-use.

d) Proses pembersihan untuk setiap peralatan yang mulai dengan segera sesudah digunakan dan diikuti dengan protokol yang jelas.

e) Proses untuk pengumpulan, analisa dan data yang berhubungan dengan pencegahan dan pengendalian infeksi peralatan dan material yang digunakan dan re-use.

2.6. Flebitis

2.6.1. Pengertian Flebitis

(21)

Flebitis dikarakteristikkan dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri, kemerahan, bengkak, indurasi dan serta mengeras di bagian vena yang terpasang kateter intravena. Flebitis juga dikarakteristikkan dengan adanya rasa lunak pada area insersi atau sepanjang vena. Insiden flebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena, komposisi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama pH dan tonisitasnya, ukuran dan tempat kanula dimasukkan, pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme saat penusukan) (Smeltzer & Bare, 2002).

Flebitis dapat menyebabkan trombus yang selanjutnya menjadi tromboflebitis, perjalanan penyakit ini biasanya jinak, tapi walaupun demikian jika trombus terlepas dan kemudian diangkut ke aliran darah dan masuk jantung maka dapat menimbulkan seperti katup bola yang menyumbat atrioventikular secara mendadak dan menimbulkan kematian. Hal ini menjadikan flebitis sebagai salah satu permasalahan yang penting untuk dibahas di samping flebitis juga sering ditemukan dalam proses keperawatan.

2.6.2. Tanda dan Gejala Flebitis a. Rubor (Hyperemia)

(22)

b. Kalor (Hypertermi)

Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi peradangan. Daerah sekitar peradangan menjadi lebih panas, karena darah yang disalurkan kedaerah tersebut lebih besar dibandingkan daerah lainnya yang normal.

c. Tumor (Oedem)

Pembengkaka lokal terjadi karena pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi kejaringan intrerstitiel, campuran antara sel yang tertimbun didaerah peradangan disekitar eksudat. Pada keadaan ini rekasi peradangan eksudatnya adalah cairan.

d. Nyeri (Dolor)

Rasa nyeri pada daerah peradangan dapat disebabkan oleh perubahan pH lokal ataupun konsentrasi ion-ion tertentu yang merangsang ujung saraf. Selain itu pembengkakan yang terjadi dapat juga menyebabkan peningkatan tekanan lokal yang dapat merangsang sakit.

2.6.3. Faktor yang Memengaruhi terjadinya Flebitis a. Pemberian informasi

(23)

pada tempat penusukan darah dalam selang, balutan basah serta aliran yang tidak lancar.

b. Keterampilan perawat

Pemasangan infus perifer untuk resiko terjadinya flebitis lebih terjadi pada infus yang dipasang oleh perawat umum dibandingkan dengan perawat khusus menangani masalah infus.

c. Rotasi tempat penusukan

Penggantian tempat penusukan kateter intravena antara 48-72 jam. Pemasangan kateter lebih dari 72 jam meningkatkan resiko flebitis dan kolonisasi bakteri. d. Tempat penusukan

Pada orang dewasa ekstremitas bawah memiliki resiko lebih tinggi terhadap flebitis dibandingkan ekstremitas atas. Vena pada punggung telapak tangan mempunyai resiko lebih kecil terhadap flebitis dibandingkan dengan yang dipasang pada lengan atau siku. Pada anak-anak pemasangan kanula dapat dilakukan pada lengan, punggung atau kulit kepala.

e. Bahan dan ukuran kateter

Kateter polyurethane 30% lebih rendah resikonya terhadap flebitis dibanding dengan kateter yang berbahan teflon.

f. Jenis cairan

(24)

g. Host agent

Sistem imun manusia juga berkompeten dalam melindungi tubuh dari berbagai organisme. Manusia yang memiliki gangguan imun akan lebih mudah terkena infeksi.

2.6.4. Penyebab Flebitis

Penyebab flebitis adalah flebitis kimia, flebitis mekanis dan flebitis bakterial. a. Flebitis Kimia

1) Jenis cairan infus

ph dan osmolaritas cairan infus yang ekstrem selalu diikuti risiko flebitis tinggi. pH larutan dekstrosa berkisar antara 3-5, di mana keasaman diperlukan untuk mencegah karamelisasi dekstrosa selama proses sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino dan lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral bersifat lebih flebitogenik dibandingkan normal saline.

2) Jenis obat yang dimasukan melalui infus

(25)

clorampenicol, dll), anti diuretic (furosemid, lasix dll) anti histamin atau setingkatnya (Adrenalin, dexamethasone ,dypenhydramin). Karena kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes melitus.

Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.

Dalam pemberian antibiotik melalui IV perlu diperhatikan dalam pencampuran serbuk antibiotik tersebut, hal ini untuk menghindari terjadinya komplikasi seperti tromboplebitis karena kepekatan dan tidak tercampurnya obat secara baik. Biasanya untuk mencampur serbuk antibiotik / obat-oabat yang lain yang diberikan secara IV adalah cairan aquades dengan perbandingan 4cc larutan aquades berbanding 1 vial antibiotik atau 6cc larutan aquades berbanding 1 vial serbuk antibiotik. Bila pencampuran obat terlalu pekat maka aliran dalam infus terhambat dan dapat menyebabkan flebitis.

3) Jenis kateter infus

(26)

lentur. Risiko tertinggi untuk flebitis dimiliki kateter yang terbuat dari polivinil klorida atau polietilen.

b. Flebitis mekanis : 1) Lokasi pemasangan infus

Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan bawah) sangat dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas > 500 mOsm/L. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 0,9%, produk darah, dan albumin. Hindarkan vena pada punggung tangan jika mungkin, terutama pada pasien usia lanjut, karena akan menganggu kemandirian lansia.

2) Ukuran kanula

Flebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula yang dimasukkan pada daerah lekukan sering menghasilkan flebitis mekanis. Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan ukuran vena dan difiksasi dengan baik.

c. Flebitis bakterial

1) Teknik pencucian tangan yang buruk

(27)

2) Teknik aseptik tidak baik

Faktor yang paling dominan menimbulkan kejadian flebitis adalah perawat pada saat melaksanakan pemasangan infus tidak melaksanakan tindakan aseptik dengan baik dan sesuai dengan standar operasional prosedur.

3) Teknik pemasangan kanula yang buruk

Tindakan penatalaksanaan infus yang buruk, pasien akan terpapar pada resiko terkena infeksi nosokomial berupa flebitis.

4) Lama pemasangan kanula

Kontaminasi infus dapat terjadi selama pemasangan kateter intravena sebagai akibat dari cara kerja yang tidak sesuai prosedur serta pemakaian yang terlalu lama. The Center for Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter

setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi. 5) Perawatan infus

Perawatan infus bertujuan untuk mempertahankan tehnik steril, mencegah masuknya bakteri ke dalam aliran darah, pencegahan/meminimalkan timbulnya infeksi, dan memantau area insersi sehingga dapat mengurangi kejadian flebitis. 6) Faktor pasien

Faktor pasien yang dapat memengaruhi angka flebitis mencakup usia, jenis kelamin dan kondisi dasar (yaitu diabetes melitus, infeksi, luka bakar).

(28)

Faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya flebitis post-infus adalah kurangnya kemampuan dalam tehnik insersi kateter, kelemahan pasien, kondisi vena yang jelek, cairan hipotonis atau cairan yang asam, filtrasi yang tidak sesuai, ukuran kateter yang besar tetapi dipasang pada vena yang kecil dan ketidaksesuaian dalam penggunaan alat set infus, jenis balutan, penggunaan akses injeksi dan bahan kateter.

2.6.5. Skala Flebitis

Ada beberapa standar yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat keparahan flebitis:

a. Skala menurut Intgravenous Nurses Society dalam, keparahan flebitis di identifikasi sebagai berikut :

Skala 0 : tidak nyeri, tidak kemerahan, tidak edema, tidak hangat dan tidak terjadi pembengkakan lokal.

Skala 1 : terasa nyeri, kemerahan, tidak hangat, tidak terjadi pembengkakan lokal dan mungkin bisa terjadi edema atau tidak terjadi edema.

Skala 2 : terasa nyeri, kemerahan, hangat, tidak terjadi pembengkakan lokal dan mungkin bisa terjadi edema atau tidak terjadi edema.

Skala 3 : terasa nyeri, kemerahan, hangat, terjadi pembengkakan lokal dan mungkin bisa terjadi edema atau tidak edema.

b. Skala Baxter

(29)

Skala 1 : nyeri, eritema, tidak ada indurasi, tidak ada pembengkakan lokal, tidak demam.

Skala 2 : nyeri dengan eritema, tidak ada indurasi, tidak ada pembengkakan lokal. Skala 3 : nyeri dengan eritema, demam, indurasi atau pembengkakan lokal kurang

dari 3 cm disekitar tempat penusukan.

Skala 4 : nyeri, eritema, demam indurasi atau pembengkakan lokal lebih dari 3 cm. Skala 5 : adanya trombosis dan ditemukan 4 tanda diatas, tetapi intravena harus

dilepas dan diganti tempat penusukan. 2.6.6. Pencegahan Flebitis

Pencegahan flebitis adalah : a. Mencegah flebitis bacterial.

Pedoman ini menekankan kebersihan tangan, teknik aseptik, perawatan daerah infus serta antisepsis kulit. Walaupun lebih disukai sediaan Chlorhexidine 2%, Tinctura Yodium, Iodofor atau alkohol 70% juga bisa digunakan.

b. Selalu waspada dan jangan meremehkan teknik aseptic.

Stopcock sekalipun (yang digunakan untuk penyuntikan obat atau pemberian

infus IV dan pengambilan sampel darah) merupakan jalan masuk kuman yang potensial ke dalam tubuh. Pencemaran stopcock lazim dijumpai dan terjadi kira-kira 45-50% dalam serangkaian besar kajian.

c. Rotasi kanula.

(30)

dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam jika tidak ada kontra indikasi. The Center for Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap

72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi, namun rekomendasi ini tidak didasarkan atas bukti yang cukup.

d. Aseptic dressing.

Dianjurkan aseptic dressing untuk mencegah flebitis. Kasa steril diganti setiap 24 jam.

e. Laju pemberian.

Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik diberikan makin rendah risiko flebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150-330 mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang diinginkan, dengan filter 0,45 mm. Kanula harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus jaga sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi parenteral.

f. Titratable acidity

Titratable acidity dari suatu larutan infus tidak pernah dipertimbangkan dalam

(31)

g. Heparin dan hidrikortison.

Heparin sodium, bila ditambahkan cairan infus sampai kadar akhir 1 unit/mL, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang kateter. Risiko flebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal : Kalium Klorida, Lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat dikurangi dengan pemberian aditif intravena tertentu seperti hidrokortison. Pada uji klinis dengan pasien penyakit koroner, hidrokortison secara bermakna mengurangi kekerapan flebitis pada vena yang diinfus lidokain, kalium klorida atau antimikrobial. Pada dua uji acak lain, heparin sendiri atau dikombinasi dengan hidrokortison telah mengurangi kekerapan flebitis, tetapi penggunaan heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukan endapan kalsium.

h. In-line Filter

In-line Filter dapat mengurangi kekerapan flebitis tetapi tidak ada data yang mendukung efektivitasnya dalam mencegah infeksi yang terkait dengan alat intravaskular dan sistem infus. Pemasangan infus yang benar dapat mengurangi flebitis.

Prosedur pemasangan terapi intravena yaitu :

a. Tentukan lokasi pemasangan, sesuaikan dengan keperluan rencana pengobatan, punggung tangan kanan / kiri, kaki kanan / kiri, 1 hari / 2 hari.

b. Lakukan tindakan aseptik dan antiseptic.

(32)

d. Tusukkan jarum sedistal mungkin dari pembuluh vena dengan lubang jarum menghadap keatas, sudut tusukan 30-40 derajat arah jarum sejajar arah vena, lalu dorong.

e. Bila jarum masuk ke dalam pembuluh vena, darah akan tampak masuk kedalam bagian reservoir jarum.

f. Pisahkan bagian jarum dari bagian kanul dengan memutar bagian jarum sedikit. Lanjutkan mendorong kanul kedalam vena secara perlahan sambil diputar sampai seluruh kanul masuk.

g. Cabut bagian jarum seluruhnya perhatikan apakah darah keluar dari kanul, tahan bagiann kanul dengan ibu jari kiri.

h. Hubungkan kanula dengan transfusion set. Buka saluran infus perhatikan apakah tetesan lancer. Perhatikan apakah lokasi penusukan membengkak, menandakan elestravasasi cairan sehingga penusukan harus diulang dari awal. i. Bila tetesan lancar, tak ada ekstravasasi lakukan fiksasi dengan plester dan pada

bayi / balita diperkuat dengan spalk.

j. Kompres dengan kasa betadine pada lokasi penusukan. k. Atur tetesan infus sesuai instruksi.

(33)

2.7. Standar Operasional Prosedur (S.O.P) 2.7.1. Pengertian SOP

Menurut Potter dan Perry (2005), S.O.P merupakan suatu standar / pedoman yang tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Standar operasional prosedur merupakan tatacara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu.

2.7.2. Manfaat, Tujuan dan Fungsi S.O.P

Dalam penerapannya, terdapat beberapa manfaat standar operasional prosedur (S.O.P), antara lain :

a. Sebagai standarisasi cara yang dilakukan pegawai dalam menyelesaikan pekerjaannya.

b. Mengurangi tingkat kesalahan dan kelalaian yang mungkin dilakukan seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya.

c. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab individu pegawai organisasi secara keseluruhan.

d. Membantu pegawai menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada intervensi manajemen, sehingga akan mengurangi keterlibatan pimpinan dalam pelaksanaan proses sehari-hari.

(34)

f. Memberikan informasi mengenai kualifikasi kompetensi yang harus dikuasai oleh pegawai dalam melaksanakan tugasnya.

Sedangkan tujuan dari S.O.P antara lain : (1) agar pegawai menjaga konsistensi dan tingkat kinerja pegawai atau tim dalam organisasi atau instalasi kerja, (2) agar mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam organisasi, (3) memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari pegawai terkait, (4) melindungi organisasi/ instalasi kerja dan pegawai dari malpraktek atau kesalahan administrasi, (5) untuk menghindari kesalahan, keraguan dan duplikasi.

Fungsi dari SOP itu sendiri antara lain : (1) memperlancar tugas pegawai atau tim/ instalasi kerja, (2) sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan, (3) mengetahui dengan jelas hambatan-hambatannya, (4) mengarahkan pegawai untuk sama-sama disiplin dalam bekerja, (5) dan sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan rutin (Karisma, 2014).

2.7.3. Pelaksanaan S.O.P

Pelaksanaan SOP dilakukan pada saat :

a. S.O.P harus sudah ada sebelum suatu pekerjaan dilakukan.

b. S.O.P digunakan untuk menilai apakah pekerjaan tersebut sudah dilakukan dengan baik atau tidak.

(35)

2.8. Landasan Teori

Flebitis didefinisikan sebagai peradangan pada dinding pembuluh darah balik atau vena (Hingawati Setio & Rohani, 2010). Sedangkan menurut Philips (2005) flebitis adalah inflamasi lapisan vena dimana sel endotelia dinding vena mengalami iritasi dan permukaan sel menjadi kasar, sehingga memungkinkan platelet menempel dan kecenderungan terjadi inflamasi penyebab flebitis. Terjadinya kejadian plebitis, bengkak, dan trauma akibat pemasangan infus yang berulang- ulang adalah akibat tindakan pemasangan infus yang tidak mengutamakan keselamatan pasien, sehingga pasien akan banyak dirugikan akibatnya rentang waktu rawat inap pasien akan bertambah panjang.

Salah satu tindakan dalam intervensi keperawatan adalah tindakan pemasangan infus yang dilakukan perawat harus berdasarkan dengan Standar Operasional Prosedur (S.O.P ) yang sudah ditetapkan. Akibat pemasangan yang kurang tepat dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien, salah satunya adalah pemasangan infus. Untuk meningkatkan kenyaman pasien dalam pemasangan infus salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pemasangan sesuai prosedur dengan terampil sehingga mengurangi kegagalan yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien.

S.O.P berasal dari bahasa Inggris, yang merupakan kepanjangan dari Sta ndart Operating Procedure, yang artinya standar operasional prosedur. Istilah SOP

(36)

keefektivitasannya atau merupakan petunjuk tertulis yang menggambarkan dengan tepat tahapan pelaksanaan tugas/ pekerjaan/ kegiatan (Insani, 2010). Sedangkan menurut Potter dan Perry (2005), S.O.P merupakan suatu standar / pedoman yang tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Standar operasional prosedur merupakan tatacara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu.

Sehingga peran perawat dalam pelaksanaan pemasangan infus sesuai dengan S.O.P berhubungan dengan angka kejadian flebitis. Jika perawat melakukan tindakan sesuai dengan prosedur dapat mengurangi komplikasi flebitis dan ketidaknyaman pasien.

2.9. Kerangka Teoritis

Gambar 2.1 Kerangka Teoritis Pemasangan

infus

S.O.P Pemasangan Infus

Flebitis Pengendalian Infeksi

(37)

2.10. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini sebagai berikut :

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Teoritis
Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Demikian berita acara ini dibuat dengan sebenarnya untuk diketahui oleh seluruh calon peserta lelang pekerjaan Pengadaan Inventaris Asrama tahun anggaran 2016.. Batam, 15

Sony Kurniawan 091 BANYUWANGI... SHOHIBUL FARIZ

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) bentuk kesalahan penggunaan bahasa Indonesia yang meliputi kesalahan ejaan, diksi, kalimat, dan paragraf;

Nuruddin

Kata advokat dalam bahasa inggris merupakan kata benda ( noun ), berarti orang yang berprofesi memberikan jasa konsultasi hukum dan/atau bantuan hukum baik di

[r]

Penelitian ini untuk mengetahui perbandingan produksi seroma antara pasien yang dilakukan modified radical mastectomy (MRM) dengan fiksasi flap kulit dan tanpa