• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2016 Chapter III VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2016 Chapter III VI"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah studi analitik observasional dengan disain case control yaitu untuk mengetahui pengaruh lingkungan rumah (pencahayaan, kelembaban, suhu, tempat perindukan nyamuk, tempat peristirahatan nyamuk, kerapatan dinding, ventilasi dan langit-langit rumah), dan perilaku responden terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2015.

Adapun alasan menggunakan disain ini, karena studi kasus kontrol merupakan studi observasional yang menilai hubungan paparan penyakit dengan membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya (Murti, 2003).

Gambar 3.1 Kerangka Penelitian Kasus:

Responden yang anggota keluarganya pernah menderita Chikungunya

Kontrol:

Responden yang anggota keluarganya tidak pernah menderita Chikungunya

Faktor Risiko

(2)

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan, dengan pertimbangan tingginya kasus Chikungunya di kecamatan tersebut dibandingkan dengan kecamatan lain.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai dari pengusulan judul, penelusuran kepustakaan, konsultasi judul, penyusunan proposal, seminar proposal, penelitian dan analisis data serta ujian tesis yaitu mulai bulan Desember 2015 sampai bulan April 2016.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

a. Populasi Kasus

Populasi kasus adalah seluruh tatanan rumah tangga dimana di dalam anggota keluarganya tercatat pernah menderita Chikungunya terhitung sejak kasus terakhir ditemukan yaitu sejak bulan November–Desember tahun 2014 berjumlah 74 KK dan masih tinggal di desa-desa dalam wilayah kerja Kecamatan Batang Toru dalam 3 bulan terakhir saat penelitian dilakukan tahun 2016 berjumlah 70 KK.

b. Populasi Kontrol

(3)

3.2.2. Sampel a. Sampel Kasus

Sampel kasus adalah seluruh tatanan rumah tangga dimana di dalam anggota keluarganya pernah dijumpai menderita Chikungunya di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 2014 yaitu sejak November sampai Desember 2014 dan masih tinggal di desa-desa dalam wilayah kerja Kecamatan Batang Toru dalam 3 bulan terakhir saat penelitian dilakukan. Besar sampel adalah sama dengan populasi. Teknik pengambilan sampel kontrol adalah dengan metode

purposive sampling

b. Sampel Kontrol

Sampel kontrol adalah seluruh tatanan rumah tangga dimana di dalam anggota keluarganya tidak dijumpai penderita Chikungunya merupakan tetangga terdekat dalam satu lingkungan dan tidak tinggal satu rumah dengan kasus. Dalam penelitian ini kontrol diambil sesuai dengan jumlah kasus yaitu 70 KK juga, dimana baik kondisi rumah kasus dan rumah kontrol tidak berubah dalam 3 bulan terakhir saat penelitian dilakukan.

Besar sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 140 KK yang terdiri dari sampel untuk kasus sebanyak 70 KK dan sampel untuk kontrol sebanyak 74 KK.

(4)

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner untuk mengetahui bagaimana perilaku responden, sedangkan observasi dan pengukuran langsung dengan menggunakan lembar observasi yaitu mengamati langsung bagaimana kondisi lingkungan rumah responden di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan. Responden adalah orang yang menjadi subjek pertanyaan yang disiapkan yaitu kepala keluarga (Bapak, atau Ibu).

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari instansi terkait meliputi laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Selatan, laporan Puskesmas Batangtoru serta data dari desa di Kecamatan Batangtoru serta data tentang Kecamatan itu sendiri mengenai situasi kependudukan dan data lainnya yang relevan dengan tujuan dan permasalahan penelitian.

3.4.3. Uji Validitas dan Reabilitas

Uji validitas dan reabilitas dilakukan terhadap 30 orang yang anggota keluarga pernah mengalami Chikungunya tahun 2014 berdomisili di wilayah Kecamatan Batang Toru pada bulan Februari 2016.

a. Uji Validitas

(5)

dengan skor variabel yang ditunjukkan dengan skor item correct correlation pada analisis reability statistics dengan ketentuan nilai koefisien korelasi (r) > 0,361. Jika skor r hitung > r tabel maka dinyatakan valid dan jika skor r hitung < r tabel maka dinyatakan tidak valid (Riduwan, 2010).

b. Uji Reabilitas

Pertanyaan dinyatakan reliabel jika jawaban responden terhadap pertanyaan (kuesioner) adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu reabilitas menunjukkan pada suatu pengertian bahwa suatu instrument cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpulan data karena instrument tersebut sudah baik. Instrumen yang sudah dapat dipercaya atau reliabel akan menghasilkan data yang dapat dipercaya bila data sudah sesuai dengan kenyataan, maka berapa kali pun diambil tetap akan sama. Teknik yang digunakan dalam pengujian reliabilitas instrumen adalah menggunakan cronbach alpha. Jika hasil uji memberikan nilai

cronbach alpha > 0,60 maka variabel tersebut dikatakan reliabel (Riyanto, 2009). Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Instrumen Pengetahuan Variabel Nilai Corrected

Item-Total

Cronbach’s Alpha

Keterangan

Pengetahuan 1 0,838 Valid

Pengetahuan 2 0,871 Valid

Pengetahuan 3 0,841 Valid

Pengetahuan 4 0,838 Valid

Pengetahuan 5 0,853 Valid

Pengetahuan 6 0,850 Valid

Pengetahuan 7 0,847 Valid

Pengetahuan 8 0,852 Valid

Pengetahuan 9 0,842 Valid

Pengetahuan 10 0,862 Valid

(6)

Dari Tabel 3.1. di atas dapat diperoleh bahwa seluruh variabel pengetahuan sebanyak 10 pertanyaan mempunyai nilai r-hitung > 0,361 (r-tabael) dengan nilai

cronbach alpha 0,863, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pertanyaan variabel pengetahuan valid dan reliabel.

Tabel 3.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Instrumen Sikap

Dari Tabel 3.2. di atas dapat diperoleh bahwa seluruh variabel sikap sebanyak 10 pertanyaan mempunyai nilai r-hitung > 0,361 (r-tabael) dengan nilai cronbach alpha 0,848, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pertanyaan variabel sikap valid dan reliabel

Tabel 3.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Instrumen Tindakan Variabel Nilai Corrected

Item-Total

Reliabilitas 0,848 Reliabel

(7)

Tabel 3.3 (Lanjutan)

Dari Tabel 3.3. di atas dapat diperoleh bahwa seluruh variabel tindakan sebanyak 10 pertanyaan mempunyai nilai r-hitung > 0,361 (r-tabael) dengan nilai

cronbach alpha 0,893, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pertanyaan variabel tindakan valid dan reliabel.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Variabel

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen yaitu lingkungan rumah meliputi kerapatan dinding, kawat kasa pada ventilasi, langit-langit rumah, tempat penampungan air, kelembaban dan perilaku masyarakat dilihat dari pengetahuan, sikap, tindakan. Variabel dependen yaitu kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan.

3.5.2. Definisi Operasional a. Variabel Independen

1. Pencahayaan adalah besarnya energi cahaya alam dan buatan yang menerangi suatu ruangan diukur menggunakan alat Lux Meter

2. Kelembaban adalah kualitas keadaan udara di dalam ruangan rumah yang diukur dengan menggunakan alat Termo-Hygrometer.

Variabel Nilai Corrected Item-Total

Cronbach’s Alpha

Keterangan

Tindakan 8 0,870 Valid

Tindakan 9 0,898 Valid

Tindakan 10 0,892 Valid

(8)

3. Suhu adalah kondisi udara yang terdapat di dalam ruangan yang d ukur dengan termometer.

4. Tempat perindukan nyamuk adalah tempat-tempat untuk menampung air yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari seperti bak mandi yang memungkinkan nyamuk berkembang biak.

5. Tempat peristirahatan nyamuk adalah ada atau tidaknya tempat, pakaian bergantung atau kolong gelap yang menjadi tempat istirahat nyamuk.

6. Kerapatan dinding adalah pembatas rumah responden yang terbuat dari pasangan batu bata, papan, anyaman bambu halus, anyaman bambu kasar dan dilihat dari kerapatannya.

7. Ventilasi adalah lubang angin yang memungkinkan untuk keluar masuknya vektor Chikungunya ke dalam rumah dilihat dari tidak atau adanya kawat kasa. 8. Langit-langit rumah adalah pembatas ruangan dinding bagian atas dengan atap

yang terbuat dari kayu, internit maupun anyaman bambu halus sebagai penghalang masuknya vektor Chikungunya ke dalam rumah.

9. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh responden tentang penyebab Chikungunya, penularan Chikungunya dan pengendalian Chikungunya.

(9)

11. Tindakan adalah segala bentuk nyata dari perilaku responden tentang penyebab Chikugunya, penularan Chikungunya dan pengendalian Chikungunya.

b. Variabel Dependen

1. Kasus Chikungunya adalah orang yang dinyatakan positif menderita Chikungunya berdasarkan laporan Puskesmas Nisam 3 bulan terakhir yang dibuktikan dengan diagnosis yang lengkap.

2. Kontrol adalah bukan penderita Chikungunya yang merupakan tetangga terdekat dalam satu lingkungan dimana baik kondisi rumah kasus dan rumah kontrol tidak berubah dalam 3 bulan terakhir.

Tabel 3.4 Aspek Pengukuran Variabel

No Variabel Definisi I. Lingkungan Fisik Rumah

(10)

Tabel 3.4 (Lanjutan)

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur

2 Kelembaban Kualitas keadaan udara di dalam ruangan rumah

Ordinal Tidak memenuhi syarat (<40% dan

ruangan yaitu berkisar 25–32 ºC.

Pengukuran langsung

Thermo meter

Ordinal Tidak Memenuhi syarat (<25°C

berpotensi dan tidak berpotensi menimbulkan

Nominal Tidak Memenuhi Syarat (Tempat

(11)

Tabel 3.4 (Lanjutan)

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur

responden yang terbuat dari pasangan batu bata,

Nominal 1. Tidak Memenuhi Syarat (Dinding

keluar masuknya vektor Chikungunya ke dalam rumah dilihat dari tidak atau adanya kawat kasa.

Observasi Check list

Nominal 1. Tidak Memenuhi Syarat (Ventilasi vektor Chikungunya ke dalam rumah dilihat dari

(12)

Tabel 3.4 (Lanjutan)

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur

kebiasaan yang bersifat protektif.

Kontrol Bukan penderita Chikungunya yang

merupakan tetangga terdekat dalam satu lingkungan dimana baik kondisi rumah kasus dan rumah kontrol tidak berubah dalam 3 bulan terakhir.

(13)

3.7. Metode Analisis Data 3.7.1. Analisis Univariat

Analisis univariat adalah analisis yang menjelaskan setiap variabel penelitian dengan penyajian dalam tabel distribusi frekuensi. Adapun variabel independen yaitu lingkungan rumah meliputi pencahayaan, suhu, kelembaban, tempat perindukan nyamuk, tempat istirahat nyamuk, dan kepadatan jentik, kerapatan dinding, kawat kasa pada ventilasi, langit-langit rumah, tempat penampungan air dan perilaku masyarakat dapat dilihat dari pengetahuan, sikap, tindakan. Variabel dependen yaitu kejadian Chikungunya.

3.7.2. Analisis Bivariat

Untuk melihat hubungan antara variabel independen terhadap variabel dependen dengan menggunakan uji chi-square pada tingkat derajat kepercayaan 95% yaitu α = 0,05 dengan ketentuan bila nilai p<0,05 maka ada hubungan yang bermakna

antara kedua variabel tersebut (Nursalam, 2003). Selain itu digunakan juga perhitungan Odds ratio (OR) yang digunakan untuk mengetahui besar risiko antara variabel independen dengan variabel dependen.

(14)

3.7.3. Analisis Multivariat

Analisis multivariat untuk melihat pengaruh antara variabel kejadian Chikungunya dengan seluruh variabel yang diteliti yaitu seluruh variabel independen sehingga diketahui variabel mana yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian Chikungunya dengan menggunakan uji regresi logistik berganda.

Adapun tahapan proses analisis multivariat sebagai berikut:

a. Memasukkan variabel kandidat dalam proses analisis multivariat regresi logistik dengan cara memilih variabel independen yang memiliki nilai p<0,25.

b. Melakukan analisis semua variabel independen yang masuk dalam pemodelan dengan cara mengeluarkan variabel independen yang memiliki nilai p terbesar sehingga didapatkan model awal dengan variabel faktor penentu yang memiliki nilai p<0,05.

c. Hasil uji multivariat yang mempunyai nilai p<0,05 merupakan model akhir dari penentu faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan.

(15)

Dimana:

α = Konstanta

β = Koefisisen regresi X1,2…n = Variabel independen

(16)

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1. Gambaran Umum Kecamatan Batang Toru

Kecamatan Batang Toru merupakan salah satu kecamatan yang perkembangannya cepat di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Ibukota Kecamatan Batang Toru adalah Kelurahan Wek 1. Untuk mencapai Kecamatan Batang Toru tidaklah sulit karena Kecamatan Batang Toru merupakan kecamatan yang berada dijalan lintas sumatera. Dari kota Medan dengan menggunakan kendaraan darat ada dua jalur yang bisa ditempuh menuju kecamatan batang toru, yaitu melalui Sipirok dan Sibolga. Untuk sampai di Kecamatan Batang Toru sudah banyak angkutan umum yang membuka trayek Medan Batang Toru yaitu dengan Bus ataupun dengan travel. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai di Kecamatan Batang Toru dari Kota Medan sekitar ± 12 jam perjalanan.

Kecamatan Batang Toru memiliki sumber daya alam yang cukup. Hutan yang luas dimanfaatkan masyarakat sebagai lahan perkebunan, kebun sawit, kebun karet, kebun salak. Kecamatan Batang Toru memiliki Sumber daya alam Sungai yaitu Sungai Batang Toru, Sungai Batang Toru banyak dimanfaatkan masysarakat untuk pengairan ke sawah, untuk mandi, air minum, menjala ikan, dan sebagai lokasi

(17)

Dengan adanya Sungai Batang Toru masyarakat tidak sulit untuk mendapatkan ikan sungai yang segar-segar karena banyak masyarakat yang memancing disungai Batang Toru. Masyarakat memancing ikan selain untuk konsumsi sendiri juga untuk dijual. Ikan dijual pada hari pekan tapi tidak kemungkinan pada hari biasa mereka menjual ikan dipinggir jalan lintas sumatera. Ikan yang dijual bermacam-macam seperti Ikan Mera. Lelan, Sidung-dung, Baung. Biasanya masyarakat menjual hasil pancingannya kepada pengendara yang melewati jalan besar antara Padang Sidimpuan menuju Sibolga. Selain itu Kecamatan Batang Toru juga memiliki sumber daya alam emas yang sekarang di pegang oleh PT AR Martabe.

Kecamatan Batang Toru terdiri dari berbagai suku, diantaranya Batak Toba dan Batak Mandailing, Jawa, Minang, Nias. Masyarakat Kecamatan Batang Toru mayoritas menganut Islam, Kristen ada juga yang menganut agama Hindu dan Budha. Walaupun terdiri dari beberapa suku dan agama yang berbeda masyarakat hidup rukun dan damai saling menghormati. Kecamatan Batang Toru berpusat di Kelurahan Wek 1, Wek 2, Wek 3, Wek 4, yang lebih sering disebut masyarakat dengan Batang Toru. karena setiap hari Selasa dan Jumat ada pekan tempat warga Kecamatan Batang Toru berbelanja dan menjual hasil perkebunan dan hasil tangkapan dari sungai Batang Toru di Pasar Batang Toru.

Di Hari Pekan hari selasa Batang Toru akan ramai banyak orang yang datang dari banyak daerah bahkan dari luar Kecamatan Batang Toru. Hal yang paling

(18)

gunung untuk membeli kebutuhan mereka, akan banyak terlihat perempuan-perempuan yang mengangkat beras dikepala mereka dan tangan mereka memegang plastik besar, dan laki-laki dari suku “NN” tersebut tidak membawa apa-apa berjalan didepan mereka.

Pada umumnya mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Batang Toru adalah petani berkebun, kebun sawit, karet, dan salak sebagai mayoritas perkebunan masyarakat. Sebagian masyarakat bekerja sebagai pedagang, PNS. Di Kecamatan Batang Toru juga memiliki perkebunan Karet yang besar yang dipegang oleh perusahaan terbatas (PTPN III), perusahaan besar yang ada dikecamatan Batang Toru adalah PT AR Martabe. PT AR Martabe salah satu perusahaan tambang terbesar di Indonesia yang bergerak di pertambangan Emas.

4.1.2. Letak dan Keadaan Geografis

Secara geografis Kecamatan Batang Toru terletak di antara 0028’48’’ Lintang Utara dan 99004’00’’ Bujur Timur. Luas wilayahnya ± 281,77 km2 atau 7, 42 % dari total keseluruhan Kabupaten Tapanuli Selatan. Kecamatan Batang Toru terdiri dari 19 Desa dan 4 Kelurahan, 45 dusun dan 8 lingkungan. Keadaan kontur wilayah Kecamatan Batang Toru berbukit-bukit dan dataran. Kecamatan Batang Toru terdiri dari perkampungan, lahan pertanian, perikanan, perladangan, hutan dan sungai. Kecamatan Batang Toru dikelilingi gunung-gunung yang sudah banyak yang gundul.

(19)

Horing ± 26,59 km2 (9,43%), Desa Padang Lancat ± 16,30km2 (5,78%), Desa Aek Ngadol Sitinjak ± 14,25 km2 (5,05%), Desa Sisipa ± 13,63 km2 (4,83%), Desa Hutabari ± 12,50 km2 (4,43%), Desa Sumuran ± 10,15 km2 (3,60%), Desa Hapesong Baru ± 10,15 km2 (3,60%), Desa Huta Godang ± 10,10 km2 (3,58%), Desa Garoga ± 9,95 km2 (3,53%), Desa Sipenggeng ± 9,15 km2 (3,24%), Kelurahan Aek Pining ± 9,10 km2 (3,22%), Desa napa ± 8,35 km2 (2,96%), Desa Batu Hula ± 7,35 km2 (2.60 %), hapesong lama ±7,15 km2 (2,53%), Desa Sianggunan ±6,10 km2 (2,16%), Desa Telo ± 5,35 km2 (1,89%), Perkebunan Sigala-gala ± 5,29 km2 (1,8%), Desa Wek III batang toru± 4,15 km2 (1,47%), Desa Wek IV Batang Toru ± 4,15 km2 (1,47%), Kelurahan Wek I ± 4,00 km2 (1,41%), Kelurahan Wek II ± 3,50 km2 (1,24%).

Batas-batas wilayah Kecamatan Batang Toru: a) Utara : Kabupaten Tapanuli Utara

b) Selatan : Kecamatan Angkola Barat

c) Barat : Kecamatan Muara Batang Toru dan Kecamatan Angkola Sangkunur d) Timur : Kecamatan Marancar dan Kecamatan Angkola Timur

4.1.3. Keadaan Alam

(20)

Wek I datar, Desa Wek IV Batang Toru datar, Desa napa datar, Kelurahan Aek Pining datar, Desa Sumuran berbukit, Desa Batu Hula datar, Desa Huta Godang datar, Desa Garoga datar, Desa Batu Horing berbukit, Desa Aek Ngadol Sitinjak datar, Desa Sisipa berbukit Walaupun keadaan alam di Kecamatan Batang Toru Berbukit dan datar Kecamatan Batang Toru memiliki sektor yang paling dominan adalah pertanian. Sektor pertanian terdiri dari sub sektor tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan. Sub sektor tanaman bahan pangan mencakup tanaman padi, palawija dan hortikultura.

Sektor perikanan di Kecamatan Batang Toru didapatkan dari Sungai Batang Toru. Banyak Masyarakat Batang Toru yang menjala memancing untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya di Sungai Batang Toru. Jenis Ikan yang didapat bermacam-macam diantaranya Ikan Merah, Ikan Baung, Ikan Lelan dan banyak lagi, sektor perkebunan antara lain kebun sawit, Karet dan Salak, kebun karet akan banyak dijumpai karena di Kecamatan Batang Toru ada perusahaan PTPN III. Untuk sektor peternakan banyak masyarakat yang beternak Sapi dapat terlihat di jalan-jalan apabila melewati Desa Hapesong Baru.

4.1.4. Kependudukan

(21)

Batang Toru tinggi. Penduduk tua sangat sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan penduduk muda. rata-rata penduduk per rumahtangga sebesar 4,38. Dengan kepadatan penduduk sebanyak 102,86 orang tiap km 2 tahun 2011. Rata-rata art di kecamatan batang toru sekitar 3-4 jiwa per rumahtangga, kecuali desa batu horing sebesar 5 jiwa per rumahtangga.

Berdasarkan data statistik tahun 2015, masyarakat kecamatan Batang Toru memeluk agama Islam adalah 28.870 jiwa (82%), Kristen Katolik 6293 jiwa (17%), dan lainnya 5 jiwa (0,014%). Hampir disetiap Desa/Kelurahan memiliki mesjid sebagai sarana ibadah untuk umat muslim. Gereja sebagai sarana ibadah penduduk yang memeluk agama Kristen biasanya mereka pergi daerah-daerah yang ada gerejanya atau membuat rumah penduduk sebagai sarana ibadah.

Masyarakat kecamatan Batang Toru memiliki pekerjaan yang paling dominan adalah petani/pekebun. Menurut data tahun 2012 penduduk yang bekerja sebagi petani/pekebun 6.154 jiwa, wiraswasta 3.857 jiwa, ibu rumah tangga 3,636 jiwa, lainnya 2.459 jiwa, karyawan swasta 459 jiwa, perdagangan 235 jiwa, PNS 396 Jiwa, TNI dan Polri 67 jiwa, yang belum bekerja 17.905 jiwa.

4.1.5. Sarana dan Prasarana Kecamatan Batang Toru 1) Sarana Pendidikan

(22)

sekolah adalah 13,50%, SLTP/Sederajat 7,029%, SLTA/Sederajat 4,70%. Untuk sekolah Sd/Sederajat pada umumnya tingkatan penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Tapi untuk tingkatan SLTP dan SLTA penduduk Perempuan lebih banyak.

Kecamatan Batang Toru tingkat pendidikan masyarakat masih rendah dilihat dari tabel diatas Masyarakat dengan tingkat pendidikan tamat SD/Sederajat lebih banyak. Banyaknya penduduk yang tingkat pendidikannya masih rendah dipengaruhi oleh budaya dan sosial ekonomi. Karena sarana pendidikan untuk Sekolah Dasar rata-rata hampir semua Desa dan Kelurahan mempunyai SD/Sederajat. Jumlah SD/Sederajat di Kecamatan Batang Toru sebanyak 25 Unit. SLTP/Sederajat sebanyak 7 unit , SLTA/Sederajat sebanyak 5 unit. Lokasi SLTP/Sederajat dan SLTA/Sederajat di Kecematan Batang Toru berada dipusat Kecamatan Batang Toru yaitu Ibu Kota Kecamatan sehingga banyak masyarakat yang tingkat pendidikannya hanya sampai tingkat SD/Sederajat.

(23)

2) Sarana Kesehatan

Tingkat Kesehatan masyarakat di Kecamatan Batang Toru dilihat pada statistik tahun 2010 dilihat dari jenis penyakit yang paling banyak diderita masyarakat adalah influenza (58,45 persen), kemudian diikuti dengan penyakit diare dan kolera (12,70 persen), berikutnya tbc dan bta klinis sebesar (9,49 persen),penyakit hypertensi (9,06 persen), malaria klinis (8,23 persen), tbc paru bta positif (0,85 persen), disentri (0,83 persen), campak (0,19 persen) serta penyakit tipoid (0,15 persen).

Sarana kesehatan yang terdapat di Kecamatan Batang Toru, yaitu: Puskesmas 1 unit, Puskesmas pembantu 3 unit , Posyandu 50 unit, praktek dokter, balai pengobatan swasta, apotik, dan toko obat. Untuk jumlah tenaga kerja kesehatan terdiri dari Dokter Umum 4 orang, Bidan 43 orang dan perawat 10 orang. Berdasarkan statistik tahun 2015, dari 28 ribu lebih penduduk di kecamatan batang toru hanya dilayani oleh 4 dokter dan 53 tenaga paramedis lainnya dan tidak ada peningkatan dari tahun sebelumnya.

3) Sarana Transportasi

(24)

pedesaan. Becak bermotor di Kecamatan Batang Toru sangat unik, karena becak bermotor tidak digunakan dengan cara sewa tapi apabila yang diangkut satu orang dan orang lainnya bisa naik ditengah jalan sama halnya seperti angkutan umum antar pedesaan.

Keadaan jalan di Kecamatan Batang Toru pada tahun 2015 kondisi fasilitas jalan sudah cukup membaik. dari panjang jalan kabupaten 78,20 km di kecamatan batang toru 41,41 persen kondisinya baik, kondisi sedang (18,01 persen), kondisi rusak (40,59 persen) dan hampir tidak ada jalan kabupaten di kecamatan batang toru dalam kondisi rusak berat. dari total panjang jalan yang ada, 34,73 persen sudah diaspal, 9 persen sudah di batu onderlag dan 56,27 persen permukaan jalan masih tanah.

4) Sarana Komunikasi

(25)

5) Sarana Pariwisata

Potensi pariwisata di Kecamatan Batang Toru yaitu adanya pemandian aliran Sungai Batang Toru yaitu Pemandian Parsariran. Pemandian Parsariran dimanfaatkan masyarakat untuk berekreasi pada akhir pekan, Batu Godang, Parulokan, Sarajevo, merupakan tempat-tempat yang banyak dikunjungi diparsariran. Biasanya pada akhir pekan ada acara keyboard yang menghibur pengunjung. Parsariran juga digunakan sebagai lokasi lomba motocross. Selain itu aliran sungai Batang Toru juga dimanfaatkan untuk lokasi arung jeram oleh masyarakat.

4.2. Analisis Univariat

4.2.1. Karakteristik Responden

Adapun gambaran distribusi karakteristik responden pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1 bahwa kelompok penelitian yaitu kasus dan kontrol dimana baik kondisi rumah kasus dan rumah kontrol tidak berubah dalam 3 bulan terakhir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kasus lebih banyak responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 41 orang (58,6%), begitu juga dengan kelompok kontrol lebih banyak responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 47 orang (67,1%).

(26)

Untuk pendidikan mayoritas SMA pada kasus sebanyak 39 responden (55,7%), kelompok kontrol sebanyak 42 responden (60,0%).

Pada kelompok kasus dan kontrol seluruh responden bekerja tetap yaitu masing-masing sebanyak 70 responden (100,0%) kelompok kasus dan 70 responden (100,0%) kelompokm kontrol.

Sama halnya dengan pekerjaan, berdasarkan lama tinggal di wilayah kecamatan batang toru baik pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol secara keseluruhan 100,0% lama tinggal > 3 bulan.

Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Responden di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2015

No Karakteristik Responden Kasus Kontrol

1 Umur (Tahun) n % n %

18-40 Tahun (Dewasa Dini) 27 38,6 42 60,0

41-70 Tahun (Dewasa Madya) 43 61,4 28 40,0

Total 70 100,0 70 100,0

2 Jenis Kelamin n % n %

Laki-laki 29 41,4 23 32,9

Perempuan 41 58,6 47 67,1

Total 70 100,0 70 100,0

3 Pendidikan n % n %

SD 4 5,7 2 2,9

SMP 27 38,6 23 32,9

SMA 39 55,7 42 60,0

D3 0 0,0 3 4,3

Total 70 100,0 70 100,0

4 Pekerjaan n % n %

Bekerja Tetap 70 100,0 70 100,0

Bekerja Tidak Tetap 0 0,0 0 0,0

Total 70 100,0 70 100,0

5 Lama Tinggal n % n %

< 3 Bulan 0 0,0 0 0,0

> 3 Bulan 70 100,0 70 100,0

(27)

4.2.2. Kondisi Lingkungan Fisik Rumah Responden

Distribusi lingkungan fisik rumah responden yang diamati pada penelitian ini meliputi pencahayaan, kelembaban, suhu udara, tempat perindukan nyamuk, tempat peristirahatan nyamuk, kerapatan dinding, ventilasi dan langit-langit rumah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kasus lebih banyak responden dengan pencahayaan tidak memenuhi syarat (< 60 Lux) yaitu sebanyak 56 orang (80,0%) demikian juga pada kelompok kontrol lebih banyak responden dengan pencahayaan tidak memenuhi syarat (< 60 Lux) yaitu sebanyak 36 orang (51,4%).

Pada kelompok kasus lebih banyak responden dengan kelembaban tidak memenuhi syarat (<40% dan > 70%) yaitu sebanyak 53 orang (75,7%). Sedangkan pada kelompok kontrol lebih banyak responden dengan kelembaban memenuhi syarat (40%-70%) yaitu sebanyak 43 orang (61,4%)

Pada kelompok kasus lebih banyak responden dengan suhu udara dalam rumah tidak memebuhi syarat (<250C dan > 320C) yaitu sebanyak 54 orang (77,1%). Sedangkan pada kelompok kontrol lebih banyak dengan suhu udara rumah memenuhi syarat (250C-320C).

(28)

Pada kelompok kasus lebih banyak responden dengan tempat peristirahatan nyamuk tidak memenuhi syarat (pakaian menggantung atau kelambu dan kolong yang gelap di dalam rumah) yaitu sebanyak 52 orang (74,3%). Sedangkan pada kelompok kontrol lebih banyak dengan tempat peristirahatan nyamuk memenuhi syarat (tidak terdapat pakaian menggantung atau kelambu dan kolong yang gelap di dalam rumah) yaitu sebanyak 41 orang (58,6%).

Pada kelompok kasus lebih banyak responden yang memiliki kerapatan dinding rumah tidak memenuhi syarat (terdapat lubanya > 1,5 mm2) yaitu sebanyak 54 orang (77,1%). Begitu juga pada kelompok kontrol lebih banyak yang memiliki kerapatan dinding rumah tidak memenuhi syarat (terdapat lubanya > 1,5 mm2) yaitu sebanyak 39 orang (55,7%

Pada kelompok kasus lebih banyak responden yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat (tidak terdapat kawat kasa nyamuk) yaitu sebanyak 60 orang (85,7%). Sedangkan pada kelompok kontrol lebih banyaik responden yang memiliki ventilasi rumah memenuhi syarat (terdapat kawat kasa nyamuk) yaitu sebanyak 36 orang (51,4%).

(29)

Distribusi lingkungan fisik rumah responden dapat dilihat berdasarkan Tabel 4.2 berikut ini :

Tabel 4.2 Distribusi Lingkungan Fisik Rumah Responden di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2015

No Variabel Lingkungan Rumah Kasus Kontrol

n % n %

4 Tempat Perindukan Nyamuk 1. Tidak memenuhi syarat

(30)

4.2.3. Perilaku Responden 1. Pengetahuan Responden

Distribusi frekuensi pengetahuan responden tentang Chikungunya di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2015, seperti terlihat pada Tabel 4.3 berikut ini :

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Pengetahuan terhadap Kejadian Chukungunya Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2015

No Pengetahuan Kasus Kontrol

n % n %

3 Gejala penyakit Chikungunya 1. Salah

4 Nyamuk Chikungunya berkembang biak

5 Nyamuk Chikungunya beristirahat 1. Salah

(31)

Tabel 4.3 (Lampiran)

9 Langkah langkah pengobatan Chikungunya

Berdasarkan tabel 4.3. diatas diketahui bahwa berdasarkan pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan penyakit chikungunya diketahui bahwa pada kasus lebih banyak responden menjawab benar yaitu sebanyak 60 orang (85,7%). Demikian juga pada kontrol lebih banyak menjawab benar yaitu sebanyak 65 orang (92,9%)

Berdasarkan pertanyaan bagaimana cara penularan penyakit chikungunya pada kasus lebih banyak responden dengan pilihan jawaban yang salah yaitu sebanyak 44 orang (62,9%). Demikian juga pada kontrol lebih banyak menjawab salah yaitu sebanyak 37 orang (52,9%)

(32)

(75,7%) demikian juga pada kontrol lebih banyak menjawab benar yaitu sebanyak 63 orang (90,0%)

Berdasarkan pertanyaan dimana nyamuk chikungunya biasa berkembang biak pada kasus lebih banyak responden dengan pilihan jawaban benar yaitu sebanyak 47 orang (67,1%). Demikian juga pada kontrol lebih banyak menjawab benar yaitu sebanyak 56 orang (80,0%)

Berdasarkan pertanyaan dimana nyamuk chikungunya hinggap/ beristirahat pada kasus lebih banyak responden yang menjawab benar yaitu sebanyak 60 orang (85,7%). Demikian juga pada kontrol lebih banyak menjawab benar yaitu sebanyak 64 orang (91,4%)

Berdasarkan pertanyaan kapan nyamuk chikungunya aktif menggigit pada kasus lebih banyak responden menjawab benar yaitu sebanyak 40 orang (57,1%). Demikian juga pada kontrol lebih banyak menjawab benar yaitu sebanyak 37 orang (52,9%)

Berdasarkan pertanyaan bagaimana cara pencegahan gigitan nyamuk chikungunya pada kasus lebih banyak responden menjawab benar yaitu sebanyak 52 orang (74,3%). Demikian juga pada kontrol lebih banyak menjawab benar yaitu sebanyak 63 orang (90,0%)

(33)

Berdasarkan pertanyaan bagaimana langkah-langkah pengobatan chikungunya pada kasus lebih banyak responden menjawab benar yaitu sebanyak 58 orang (82,9%). Demikian juga pada kontrol lebih banyak menjawab benar yaitu sebanyak 63 orang (90,0%)

Berdasarkan pertanyaan bagaimana jenis rumah sehat agar terhindar dari chikungunya pada kasus lebih banyak responden menjawab benar yaitu sebanyak 63 orang (90,0%). Demikian juga pada kontrol lebih banyak menjawab benar yaitu sebanyak 67 orang (95,7%)

Penuilaian terhadap pengetahuan responden tentang chikungunya di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan selanjutnya dikategorikan menjadi 2 (dua) kategori dapat dilihat pada tabel 4.4. berikut ini :

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Pengetahuan terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2015

No Pengetahuan Kasus Kontrol

n % n %

1 Kurang 36 51,4 21 30,0

2 Baik 34 48,6 49 70,0

Total 70 100,0 70 100,0

(34)

2. Sikap Responden

Distribusi frekuensi sikap responden tentang Chikungunya di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2015, seperti terlihat pada Tabel 4.5 berikut ini :

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Sikap terhadap Kejadian Chukungunya Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2015

No Sikap Kasus Kontrol

n % n %

1 Chikungunya dapat menyerang semua orang yang tinggal di lingkungan yang tidak bersih dan sehat

2 Chikungunya dapat dicegah dengan pemberantasan sarang nyamuk

(35)

Tabel 4.5 (Lanjutan) 6 Menelungkupkan peralatan yang

masih digunakan dan bisa menampung air gelap berpotensi sebagai tempat nyamuk beristirahat

8 Penampungan air dibersihkan minimal 1x seminggu

9 Penyemprotan untuk memberantas nyamuk lebih baik daripada

10 Penyuluhan Chikungunya perlu untuk meningkatkan kesadaran, pemahaman dan partisipasi masyarakat

(36)

Berdasarkan sikap pada kasus tentang pernyataan bahwa chikungunya dapat dicegah dengan pemberantasan sarang nyamuk masing-masing reponden dengan sikap setuju sebanyak 35 orang (50,0%) dan tidak setuju sebanyak 35 orang (50,0%). Demikian juga pada kontrol lebih banyak dengan sikap tidak setuju yaitu sebanyak 53 orang (75,7%)

Berdasarkan sikap pada kasus tentang Pemberantasan sarang nyamuk adalah tugas/tanggung jawab pemerintah bukan tanggung jawab bersama lebih banyak responden dengan sikap setuju yaitu sebanyak 57 orang (81,4%). Demikian juga pada kontrol lebih banyak dengan sikap setuju yaitu sebanyak 63 orang (90,0%)

Berdasarkan sikap pada kasus tentang pernyataan untuk menghindari masuknya nyamuk ke dalam rumah sebaiknya setiap ventilasi pintu dan jendela serta lubang di dinding rumah perlu dipasang kawat kasa lebih banyak responden dengan sikap tidak setuju yaitu sebanyak 60 orang (85,7%). Demikian juga pada kontrol lebih banyak dengan sikap tidak setuju yaitu sebanyak 65 orang (92,9%)

Berdasarkan sikap pada kasus tentang pernyataan bahwa menutup tempat penampungan air dan mengubur barang-barang bekas yang bisa menampung air tidak perlu dilakukan lebih banyak responden dengan sikap setuju yaitu sebanyak 62 orang (88,6%). Demikian juga pada kontrol lebih banyak dengan sikap setuju yaitu sebanyak 66 orang (94,3%)

(37)

tidak setuju yaitu sebanyak 66 orang (94,3%). Demikian juga pada kontrol lebih banyak dengan sikap tidak setuju yaitu sebanyak 68 orang (97,1%)

Berdasarkan sikap pada kasus tentang pernyataan pakaian menggantung atau kolong gelap berpotensi sebagai tempat nyamuk beristirahat lebih banyak responden dengan sikap tidak setuju yaitu sebanyak 56 orang (80,0%). Demikian juga pada kontrol lebih banyak dengan sikap tidak setuju yaitu sebanyak 62 orang (88,6%)

Berdasarkan sikap pada kasus tentang pernyataan bahwa penampungan air sebaiknya dikuras/ dibersihkan minimal 1x seminggu untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk lebih banyak responden dengan sikap tidak setuju yaitu sebanyak 67 orang (95,7%). Demikian juga pada kontrol lebih banyak dengan sikap tidak setuju yaitu sebanyak 68 orang (97,1%)

Berdasarkan sikap pada kasus tentang pernyataan bahwa penyemprotan oleh petugas kesehatan untuk memberantas nyamuk lebih baik daripada melakukan PSN lebih banyak responden dengan sikap setuju yaitu sebanyak 38 orang (54,3%). Sedangkan pada kontrol lebih banyak dengan sikap tidak setuju yaitu sebanyak 36 orang (51,4%)

(38)

Penilaian terhadap sikap responden tentang chikungunya di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan selanjutnya dikategorikan menjadi 2 (dua) kategori dapat dilihat pada tabel 4.6. berikut ini :

Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Sikap terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan

Tahun 2015

No Sikap Kasus Kontrol

n % n %

1 Kurang 23 32,9 11 15,7

2 Baik 47 67,1 59 84,3

Total 70 100,0 70 100,0

Berdasarkan tabel 4.6. diatas sikap responden tentang chikungunya dapat dilihat bahwa pada kelompok kasus lebih banyak responden dengan sikap baik tentang pencegahan Chikungunya sebanyak 47 responden (67,1%), begitu juga kelompok kontrol lebih banyak responden dengan sikap baik tentang pencegahan Chikungunya sebanyak 59 responden (84,3%).

3. Tindakan Responden

(39)

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Tindakan terhadap Kejadian Chukungunya Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2015

No Tindakan Kasus Kontrol

n % n %

1 Menggunakan obat anti nyamuk oles di siang hari untuk menghindari gigitan nyamuk

1. Tidak

3 Menggunakan kelambu pada waktu tidur 1. Tidak

Menutup ventilasi pintu dan jendela serta lubang di dinding rumah dengan kawat kasa

(40)

Tabel 4.7 (Lanjutan) 8 Melakukan kerja bakti teratur dengan warga

1. Tidak

10 Tidak menyampaikan informasi tentang penyakit Chikungunya kepada tetangga

Berdasarkan tabel 4.7. diatas diketahui bahwa tindakan pada kasus menggunakan obat anti nyamuk oles di siang hari untuk menghindari gigitan nyamuk secara keseluruhan responden yaitu sebanyak 70 orang (100,0%) menyatakan tidak. Demikian juga pada kontrol secara keseluruhan yaitu sebanyak 70 orang (100,0%) menyatakan tidak.

Berdasarkan tindakan pada kasus mengurangi tempat gantungan pakaian di dalam rumah lebih banyak responden menyatakan ya yaitu sebanyak 64 orang (91,4%). Demikian juga pada kontrol lebih banyak yang menyatakan ya yaitu sebanyak 53 orang (75,7%)

(41)

Berdasarkan tindakan pada kasus menutup rapat tempat penampungan air lebih banyak responden yang menyatakan tidak yaitu sebanyak 57 orang (81,4%). Sedangkan pada kontrol lebih banyak yang menyatakan ya yaitu sebanyak 52 orang (74,3%)

Berdasarkan tindakan pada kasus menutup ventilasi pintu dan jendela serta lubang di dinding rumah dengan kawat kasa lebih banyak responden menyatakan tidak yaitu sebanyak 57 orang (81,4%). Sedangkan pada kontrol lebih banyak yang menyatakan ya yaitu sebanyak 54 orang (77,1%)

Berdasarkan tindakan pada kasus untuk memberantas nyamuk dewasa Bapak/ ibu melakukan 3M lebih banyak responden menyatakan tidak yaitu sebanyak 55 orang (78,6%). Sedangkan pada kontrol lebih banyak yang menyatakan ya yaitu sebanyak 54 oranag (77.1%)

Berdasarkan tindakan pada kasus melakukan penyikatan bak kamar mandi seminggu sekali lebih banyak responden yang menyatakan tidak yaitu sebanyak 37 orang (52,9%). Sedangkan pada kontrol lebih banyak yang menyatakan ya yaitu sebanyak 63 orang (90,0%)

Berdasarkan tindakan pada kasus ikut melakukan kerja bakti teratur dengan warga desa lebih banyak responden yang menyatakan ya yaitu sebanyak 44 orang (62,9%). Demikian juga pada kontrol lebih banyak yang menyatakan ya yaitu sebanyak 65 orang (92,9%)

(42)

sebanyak 36 orang (51,4%). Demikian juga pada kontrol lebih banyak yang menyatakan tidak yaitu sebanyak 60 orang (85,7%)

Berdasarkan tindakan pada kasus tidak menyampaikan informasi tentang penyakit Chikungunya kepada tetangga lebih banyak responden yang menyatakan ya yaitu sebanyak 52 orang (74,3%). Demikian juga pada kontrol lebih banyak yang menyatakan ya yaitu sebanyak 63 orang (90,0%)

Hasil penilaian tindakan responden tentang chikungunya di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan selanjutnya dikategorikan menjadi 2 (dua) kategori. Dapat dilihat pada tabel 4.8. berikut ini :

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Tindakan terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2015

No Tindakan Kasus Kontrol

n % n %

1 Kurang 57 81,4 19 27,1

2 Baik 13 18,6 51 72,9

Total 70 100,0 70 100,0

(43)

4.3. Analisis Bivariat

Analisis yang digunakan untuk melihat hubungan antara variabel yang diteliti dengan kejadian Chikungunya adalah uji statistik chi-square dengan derajat

kepercayaan 95% (α = 5%) dan untuk mengetahui kekuatan antara faktor risiko

dengan kejadian Chikungunya digunakan perhitungan Odds Ratio (OR). Analisis bivariat dilakukan dengan membuat tabel silang (crosstab) 2 x 2. Berdasarkan hasil uji statistik akan diperoleh nilai p untuk nilai p<0,05, berarti terdapat hubungan yang bermakna antara variabel yang diteliti dengan kejadian Chikungunya.

Hasil analisis bivariat lingkungan fisik rumah dan perilaku responden dengan kejadian Chikungunya di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2015 seperti terlihat pada Tabel berikut :

Tabel 4.9 Hubungan Lingkungan Fisik dengan Kejadian Chikungunya Di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2015

No Lingkungan Fisik Rumah

(44)

Tabel 4.9 (Lanjutan)

(45)

Hasil analisis hubungan kelembaban dengan kejadian chikungunya diperoleh bahwa pada kelompok kasus sebanyak 53 rumah (66,3%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 27 rumah (33,8%) dengan kelembaban tidak memenuhi syarat. Sedangkan pada kelompok kasus sebanyak 17 rumah (28,3%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 43 rumah (71,7%) dengan kelembaban memenuhi syarat. Hasil uji chi-square diperoleh nilai p = 0,000, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kelembaban rumah responden dengan kejadian Chikungunya dengan OR sebesar 4,965 (95% CI = 2,397-10,283).

Hasil analisis hubungan suhu ruangan dengan kejadian chikungunya diperoleh bahwa pada kelompok kasus sebanyak 54 rumah (67,5%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 26 rumah (32,5%) dengan suhu ruangan tidak memenuhi syarat. Sedangkan pada kelompok kasus sebanyak 16 rumah (26,7%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 44 rumah (73,3%) dengan suhu ruangan memenuhi syarat. Hasil uji chi-square diperoleh nilai p = 0,000, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara suhu ruangan rumah responden dengan kejadian Chikungunya dengan OR sebesar 5,712 (95% CI = 2,727-11,960).

(46)

maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara tempat perindukan nyamuk responden dengan kejadian Chikungunya dengan OR sebesar 5,333 (95% CI = 2,512-11,325).

Hasil analisis hubungan tempat peristirahatan nyamuk dengan kejadian chikungunya diperoleh bahwa pada kelompok kasus sebanyak 52 rumah (64,2%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 29 rumah (35,8%) dengan tempat peristirahatan nyamuk tidak memenuhi syarat. Sedangkan pada kelompok kasus sebanyak 18 rumah (30,5%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 41 rumah (69,5%) dengan tempat peristirahatan nyamuk memenuhi syarat. Hasil uji chi-square diperoleh nilai p = 0,000, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara tempat peristirahatan responden dengan kejadian Chikungunya dengan OR sebesar 4,084 (95% CI = 1,995-8,362).

Hasil analisis hubungan kerapatan dinding dengan kejadian chikungunya diperoleh bahwa pada kelompok kasus sebanyak 54 rumah (58,1%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 39 rumah (41,9%) dengan tempat kerapatan dinding tidak memenuhi syarat. Sedangkan pada kelompok kasus sebanyak 16 rumah (34,0%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 31 rumah (66,0%) dengan kerapatan dinding memenuhi syarat. Hasil uji chi-square diperoleh nilai p = 0,007, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kerapatan dinding responden dengan kejadian Chikungunya dengan OR sebesar 2,683 (95% CI = 1,922-5,570).

(47)

sebanyak 34 rumah (36,2%) dengan ventilasi tidak memenuhi syarat. Sedangkan pada kelompok kasus sebanyak 10 rumah (21,7%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 36 rumah (78,3%) dengan ventilasi memenuhi syarat. Hasil uji chi-square diperoleh nilai p = 0,000, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara ventilasi responden dengan kejadian Chikungunya dengan OR sebesar 6,353 (95% CI = 2,806-14,384).

Hasil analisis hubungan langit-langit rumah dengan kejadian chikungunya diperoleh bahwa pada kelompok kasus sebanyak 54 rumah (67,5%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 26 rumah (32,5%) dengan langit-langit rumah tidak memenuhi syarat. Sedangkan pada kelompok kasus sebanyak 16 rumah (26,7%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 44 rumah (73,3%) dengan langit-langit rumah memenuhi syarat. Hasil uji chi-square diperoleh nilai p = 0,000, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara langit-langit rumah responden dengan kejadian Chikungunya dengan OR sebesar 5,712 (95% CI = 2,727-11,960).

Tabel 4.10 Hubungan Prilaku dengan Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2015

(48)

Tabel 4.10 (Lanjutan) 3 Tindakan

1. Kurang 2. Baik

57 13

75,0 20,3

19 51

25,0 79,7

0,001 11,769 (5,287-26,199)

Total 70 100,0 70 100,0

Berdasarkan Tabel 4.10 diatas hasil analisis hubungan pengetahuan dengan kejadian chikungunya diperoleh bahwa pada kelompok kasus sebanyak 36 responden (63,2%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 21 responden (36,8%) dengan pengetahuan kurang. Sedangkan pada kelompok kasus sebanyak 34 responden (41,0%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 49 responden (59,0%) dengan pengetahuan baik. Hasil uji chi-square diperoleh nilai p = 0,010, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan responden dengan kejadian Chikungunya dengan OR sebesar 2,471 (95% CI = 1,235-4,943).

Hasil analisis hubungan sikap dengan kejadian chikungunya diperoleh bahwa pada kelompok kasus sebanyak 23 responden (67,6%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 11 responden (32,4%) dengan sikap kurang. Sedangkan pada kelompok kasus sebanyak 47 responden (44,3%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 59 responden (55,7%) dengan sikap baik. Hasil uji chi-square diperoleh nilai p = 0,018, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara sikap responden dengan kejadian Chikungunya dengan OR sebesar 2,625 (95% CI = 1,163-5,926).

(49)

kelompok kasus sebanyak 13 responden (20,3%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 51 responden (79,7%) dengan tindakan baik. Hasil uji chi-square diperoleh nilai p = 0,010, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara tindakan responden dengan kejadian Chikungunya dengan OR sebesar 11,769 (95% CI = 5,287-26,199).

4.4. Analisis Multivariat

Berdasarkan hasil uji chi-square diketahui bahwa ada 11 (sepuluh) variabel yaitu pencahayaan, kelembaban, suhu, tempat perindukan nyamuk, tempat peristirahatan nyamuk, kerapatan dinding, ventilasi, langit-langit rumah, pengetahuan, sikap dan tindakan yang dapat dimasukkan sebagai kandidat pada analisis multivariat karena mempunyai nilai p<0,25 sehingga ketujuh variabel tersebut dapat dilanjutkan ke analisis multivariat seperti terlihat pada Tabel 4.11 berikut.

Tabel 4.11 Hasil Analisis Bivariat yang dijadikan Model Analisis Multivariat

No Faktor Risiko Kategori OR 95%CI P

1 Pencahayaan Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat

4,235 2,000-8,967 0,001

(50)

Tabel 4.11 (Lanjutan) 7 Ventilasi Tidak memenuhi syarat

Memenuhi syarat 9 Pengetahuan Kurang

Baik

11,769 5,287-26,199 0,001

Analisis multivariat merupakan analisis untuk mengetahui pengaruh variabel independen yaitu lingkungan rumah (pencahayaan, kelembaban, suhu, tempat perindukan nyamuk, tempat peristirahatan nyamuk, kerapatan dinding, ventilasi, langit-langit rumah) dan perilaku masyarakat (pengetahuan, sikap, tindakan) terhadap variabel dependen (kejadian Chikungunya) serta mengetahui variabel dominan yang memengaruhi.

Pengujian terhadap hipotesis yang menyatakan bahwa lingkungan rumah dan perilaku masyarakat berpengaruh terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan dilakukan dengan uji regresi logistik berganda dengan metode backward stepwise (conditional) dengan nilai signifikansi masing-masing variabel p<0,05.

Dari hasil uji multivariat dengan menggunakan regresi logistik berganda

(51)

nyamuk, kerapatan dinding, ventilasi, langit-langit rumah) dan perilaku masyarakat (pengetahuan, sikap, tindakan) terhadap kejadian Chikungunya.

Hasil analisis regresi logistik berganda menunjukkan bahwa variabel kelembaban dengan nilai p<0,05, tempat perindukan nyamuk dengan nilai p<0,05, kerapatan dinding dengan nilai p<0,05, ventilasi dengan nilai p<0,05 dan tindakan dengan nilai p<0,05 berpengaruh terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan. Hasil analisis uji regresi logistik berganda menunjukkan bahwa variabel yang paling dominan memengaruhi kejadian Chikungunya di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan adalah variabel tindakan dengan nilai OR sebesar 7,597 (95%CI= 2,925 – 19,729), artinya rumah tangga yang keluarganya menderita Chikungunya berpeluang 7,5 atau 8 kali memiliki tindakan kurang dibanding dengan rumah tangga yang keluarganya tidak menderita Chikungunya. Hal ini menunjukkan bahwa variabel tersebut memiliki pengaruh yang paling signifikan terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan.

Variabel tindakan bernilai positif menunjukkan bahwa variabel tersebut mempunyai hubungan yang searah (positif) terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan dengan OR sebesar 7,597. Jadi dapat ditafsirkan secara teoritis bahwa kejadian Chikungunya akan meningkat jauh lebih banyak pada tindakan pencegahan yang kurang.

(52)

variabel tersebut mempunyai pengaruh yang searah (positif) terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan.

Tabel 4.12 Hasil Akhir Uji Regresi Logistik Ganda Kejadian Chikungunya di Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2015

Variabel independen Nilai B Nilai p Exp(B) 95% CI for Exp (B) Lower Upper

Kelembaban 0,887 0,095 2,429 0,857 6,885

Tempat perindukan nyamuk

20,956 0,998 0,001 0,001 -

Kerapatan dinding -22,677 0,998 0,001 0,001 -

Ventilasi 2,009 0,099 7,458 0,683 81,408

Tindakan 2,026 0,001 7,597 2,926 19,720

Constant -4,678 0,001 0,009

Berdasarkan hasil akhir uji regresi logistik berganda tersebut dapat ditentukan model persamaan regresi logistik berganda yang dapat menafsirkan variabel independen yaitu kelembaban, tempat perindukan nyamuk, kerapatan dinding, ventilasi dan tindakan berpengaruh terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2015 adalah sebagai berikut:

Keterangan:

P = Probabilitas kejadian Chikungunya

α = Konstanta

e = Bilangan natural (2,71828)

(53)

X1 = Kelembaban, koefisien regresi 0,887

X2 = Tempat perindukan nyamuk, koefisien regresi 20,956 X3 = Kerapatan dinding, koefisien regresi -22,667

X4 = Ventilasi, koefisien regresi 2,009 X5 = Tindakan, koefisien regresi 2,028

X1= X2= X3= X4= X5= 1 , karena variabel tersebut berisiko untuk terjadinya Chikungunya.

P1 = 18,77 P0 = 92

(54)

5.1.Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Chikungunya

Pengukuran lingkungan rumah yang berkaitan dengan kejadian Chikungunya berdasarkan pencahayaan, kelembaban, suhu, tempat perindukan nyamuk, tempat peristrahatan nyamuk, kerapatan dinding, kawat kasa pada ventilasi, langit-langit rumah, tempat penampungan air dan kelembaban.

5.1.1. Pengaruh Pencahayaan dengan Kejadian Chikungunya

Setelah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pencahayaan dengan kejadian chikungunya di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan ditemukan hasil bahwa ada pengaruh antara variabel pencahayaan rumah responden dengan kejadian Chikungunya dan pencahayaan sebagai faktor risiko yang menyebabkan kejadian Chikungunya dimana sebesar 4,2% yang berarti bahwa menunjukkan bahwa responden dengan kondisi fisik rumah yaitu pencahayaan yang tidak memenuhi syarat akan berpeluang terkena chikungunya 4 kali dibanding dengan rumah tangga yang memiliki pencahayaan dalam rumah memenuhi syarat.

(55)

menularkan virus demam chikungunya kepada penghuni rumah tersebut melalui gigitan.

Pegukuran pencahayaan dilakukan peneliti pada siang hari dimana ditemukan rata-rata responden kelompok kasus dengan kondisi tempat tinggal yaitu perumahan dengan dinding yang saling berdempetan memiliki ventilasi yang hanya ada di bagian depan rumah sehingga minimnya tempat masuknya cahaya matahari ke dalam rumah dan masyarakat juga tidak ada yang menyalakan lampu untuk membantu memberikan penerangan di dalam rumah. Dapat disimpulkan bahwa pada kenyataan di lapangan dapat diketahui bahwa sebagian besar masyarakat masih kurang peduli dengan kondisi pencahayaan dalam rumah khususnya pada masyarakat pada kelompok kasus. Dimana banyak ditemukan pencahayaan yang tidak sesuai dengan luas rumah sehingga menyebabkan keadaan rumah menjadi gelap dan lembab. Keadaan ini menjadi faktor yang berpengaruh karena nyamuk Aedes aegepty sangat menyukai tempat yang gelap dan lembab.

(56)

kesehatan karena pada cahaya tersebut cocok untuk kehidupan nyamuk Aedes sp. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara pencahayaan yang memenuhi syarat dengan pencahayaan tidak memenuhi syarat terhadap kejadian Chikungunya dimana pencahayaan yang diukur hanya di dalam rumah memengaruhi kecepatan berkembangbiakan, kebiasaan menggigit serta memengaruhi umur nyamuk.

Menurut penelitian Muslim (2004), dikatakan bahwa manusia yang tinggal dalam rumah dengan intensitas pencahayaan alam ruang keluarga kurang dari 60 lux mempunyai risiko terkena infeksi virus dengue 2,7 kali dari pada manusia yang tinggal dalam rumah yang intensitas pencahayaan alam lebih dari atau sama dengan 60 lux. Hal ini sesuai dengan Kepmenkes RI no 829 tahun 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan bahwa pencahayaan alam atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan.

(57)

mempengaruhi terhadap kejadian Chikungunya. Walaupun keadaan pencahayaan di dalam rumah responden secara keseluruhan sangat buruk.

5.1.2. Pengaruh Kelembaban dengan Kejadian Chikungunya

Setelah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh kelembaban dengan kejadian chikungunya di Kecamatan Batang Toru ditemukan hasil bahwa ada hubungan antara variabel kelembaban rumah responden dengan kejadian Chikungunya dan kelembaban sebagai faktor risiko penyebab kejadian Chikungunya sebesar 4,9% yang berarti bahwa rumah tangga dengan kondisi kelembaban yang tidak memenuhi syarat berpeluang 5 kali menderita Chikungunya dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki rumah dengan kelembaban yang memenuhi syarat. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa kelembaban yang memenuhi syarat untuk menjamin keberadaan nyamuk penyebab chikungunya dalam sebuah lingkungan jika dibandingkan dengan kelembaban yang tidak memenuhi syarat.

(58)

kelenjar ludahnya. Pada waktu terbang nyamuk memerlukan oksigen lebih banyak sehingga trakea terbuka dan keadaan ini menyebabkan penguapan air dan tubuh nyamuk menjadi lebih besar. Untuk mempertahankan cadangan air dalam tubuh dari penguapan, maka jarak terbang nyamuk terbatas. Kelembaban udara optimal akan menyebabkan daya tahan hidup nyamuk bertambah. (Sucipto, 2011)

Dalam penelitian ini kelembaban berpengaruh terhadap kejadian Chikungunya disebabkan hasil pengukuran keadaan kelembaban di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan untuk kelompok kasus berkisar antara 74%–84%, sedangkan untuk kelompok kontrol berkisar antara 41%-60%. Kelembaban rumah antara kelompok kasus dan kelompok kontrol berbeda. Kelembaban udara pada kelompok kasus tidak memenuhi syarat karena berada diatas 70% tidak memenuhi syarat untuk kesehatan karena pada kelembaban tersebut cocok untuk kehidupan nyamuk Aedes sp. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara kelembaban yang memenuhi syarat dengan kelembaban tidak memenuhi syarat terhadap kejadian Chikungunya dimana kelembaban yang diukur hanya di dalam rumah memengaruhi kecepatan berkembangbiakan, kebiasaan menggigit serta memengaruhi umur nyamuk. Kelembaban optimum untuk pertumbuhan nyamuk yaitu antara 65%-90% (Tuhu Pinardi, 2006).

(59)

nyamuk yaitu antara 40%–70%. Ini mengindikasikan bahwa nyamuk Aedes sp dapat berkembangbiak tetapi umurnya akan menjadi pendek (Depkes, 2007).

Kelembaban dapat mempengaruhi aktivitas dan kemampuan bertahan nyamuk

aedes. Bila kelembaban udara kurang dari 60 % maka kehidupan nyamuk dapat akan menjadi lebih pendek (kurang dari 2 minggu). Dengan kondisi kelembaban yang relatif tinggi di desa Tanah Raja yaitu mencapai 80-90 % dimungkinkan nyamuk dapat hidup lebih lama dan nyamuk akan lebih lama juga dalam menjalankan perannya sebagai vektor penular penyakit Chikungunya. Pada kelembaban yang tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan menjadi lebih sering menggigit sehingga dapat meningkatkan penularan. Sehingga pada saat pertama kali terdapat penderita, wabah Chikungunya di desa tersebut sangat cepat meningkat. Menurut penelitian Ahmadi (2008), tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidup nyamuk.

(60)

Penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Imran (2013) yang menunjukkan hasil penelitian diketahui bahwa responden pada kelompok kasus yang mempunyai kelembaban dalam rumah tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 13 rumah (38,2%), sedangkan kelompok kontrol yang mempunyai kelembaban dalam rumah memenuhi syarat 27 rumah (79,4%), berarti kasus Chikungunya lebih besar terjadi pada rumah tangga yang keluarganya memiliki kelembaban dalam rumah yang memenuhi syarat (40 – 70%) dibanding dengan rumah tangga yang keluarganya memiliki kelembaban dalam rumah tidak memenuhi syarat. Uji statistik regresi logistik berganda menunjukkan nilai p>0,05 maka dapat disimpulkan bahwa kelembaban tidak berpengaruh terhadap kejadian Chikungunya.

Penelitian ini tidak sesuai penelitian Santoso (2011), menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kelembaban dalam ruangan rumah dengan kejadian Chikungunya di wilayah kerja Puskesmas Gunungpati Kota Semarang (p = 0,479 > 0,05). Rumah responden yang kondisi pencahayaan ruangan kurang terang cenderung mengalami Chikungunya dibandingkan dengan kondisi pencahayaan terang (70,0%). Namun berbeda dengan penelitian Wartubi (2007), yang menyatakan ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian Chikungunya di Puskesmas Jatibarang Kabupaten Indramayu dengan nilai p = 0,033 < 0,05.

5.1.3. Pengaruh Suhu dengan Kejadian Chikungunya

(61)

terjadinya Chikungunya yang menunjukkan bahwa rumah tangga sengan suhu yang tidak memenuhi syarat berpeluang 6 kali terkena chikungunya dibandingkan dengan rumah tangga dengan suhu rumah yang memenuhi syarat.

Berdasarkan hasil pengukuran di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan, keadaan suhu udara pada kelompok kasus berkisar diatas 32°C dan kelompok kontrol rata-rata berkisar 24,4°C. Jadi suhu udara rata-rata pada kelompok kasus di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan tergolong tidak memenuhi syarat untuk kesehatan karena pada suhu tersebut merupakan suhu optimum pertumbuhan nyamuk Aedes sp. Penelitian oleh Koopman JS, et al di Mexico (1991) dalam Muslim (2004) menunjukkan bahwa suhu udara dalam rumah 30° C beresiko terkena infeksi virus dengue empat kali dibandingkan rumah dengan suhu 17° C dan pengurangan periode replikasi virus dalam tubuh nyamuk terjadi pada suhu yang tinggi. Pada suhu yang panas (28-30° C), nyamuk A. aegypti akan bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama. Suhu udara dalam rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan sesuai dengan Permenkes no 829 tahun 1999 adalah 18-30° C sedangkan suhu yang tidak memenuhi syarat adalah > 30° C. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suhu udara rumah responden tidak memnuhi syarat karena berada diatas 30° C.

(62)

signifikan antara suhu dengan penyebaran virus yang dapat mengakibatkan peningkatan penyebaran populasi vektor. Dalam penelitiannya menunjukkan bahwa faktor iklim seperti suhu dapat memengaruhi ketahanan hidup nyamuk betina dewasa.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Tarigan (2010) berdasarkan hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Chi square diperoleh nilai p = 1 (menunjukkan suatu kostanta) yaitu > 0.05 artinya Ho diterima artinya tidak ada hubungan antara suhu dengan kejadian demam Chikungunya. Oleh karena itu suhu sangat berpengaruh terhadap perkembangbiakan nyamuk aedes. Menurut Sunarsih (2008), faktor lingkungan yang mempunyai hubungan dengan penyakit Chikungunya terdiri dari lingkungan alamiah dan lingkungan buatan manusia. Suhu memainkan peranan penting dalam kecepatan multiplikasi parasit dalam tubuh penyakit. Pada kondisi suhu yang hangat (warmer temperature) nyamuk dapat berkembang lebih cepat dan lebih sering mencari darah dan parasit lebih awal berkembang dalam tubuh nyamuk.

(63)

Berdasarkan hasil penelitian tempat penampungan air yang paling dominan digunakan penduduk yaitu menggunakan ember yang terbuat dari plastik sehingga A. aegypti akan sulit untuk meletakkan telurnya. Menurut Fatmi (2006), faktor utama yang mempengaruhi kepadatan larva adalah kasar licinnya dinding tempat penampungan air. Karena penduduk menggunakan ember sebagai tempat penampungan air secara jelas pasti setiap hari air di penampungan tersebut akan terus berganti sehingga tidak terdapat jentik nyamuk. Tetapi yang paling dominan di rumah-rumah penduduk tersebut banyak terdapat tempat perindukan yang bukan tempat penampungan air seperti barang-barang bekas, pot-pot tanaman air, tempat minum hewan piaraan dan lain-lain yang menjadi empat pemkembangbiakan vektor nyamuk A. aegypti.

Tempat perindukan nyamuk dalam penelitian ini adalah tempat-tempat yang berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk seperti bak mandi, ember dan barang-barang yang digenangi air. Seperti halnya penelitian yang pernah dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Gunungpati Kota Semarang dan berdasarkan hasil analisis bivariat antara keadaan tempat penampungan air dengan kejadian chikungunya, didapatkan hasil ada hubungan yang bermakna dengan p value = 0,037; OR = 2,676 (95% CI = 1,049–6,827), menunjukkan bahwa sampel yang mempunyai tempat penampungan air berjentik mempunyai risiko 2,676 kali lebih besar menderita chikungunya daripada sampel yang tempat penampungan airnya tidak berjentik.

(64)

sebagian besar ukurannya seperti bak mandi yang terbuat dari semen, terbuka dengan pencahayaan gelap. Tempat penampungan air yang tidak ada tutupnya dan terlindung dari sinar matahari, merupakan tempat yang disukai nyamuk betina untuk meletakkan telurnya. Tempat penampungan air yang tidak biasa dikuras akan memberikan peluang nyamuk penular chikungunya untuk berkembang biak. Menguras TPA atau bak mandi sekurang-kurangnya sekali seminggu dapat mengurangi jentik nyamuk pada TPA (Soedarmo, 2005).

(65)

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Tarigan (2010) Berdasarkan hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Chi square diperoleh nilai p = 1 yaitu > 0.05. Artinya Ho diterima menunjukkan tidak ada hubungan antara tempat perindukkan nyamuk dengan kejadian demam Chikungunya di desa Tanah Raja Kec. Sei Rampah Kab.Serdang Bedagai tahun 2009. Pada penelitiannya baik kelompok kasus maupun kontrol sama-sama memiliki tempat perindukkan nyamuk yang sangat berpotensi untuk tempat perkembangbiakan nyamuk A. aegypti.

Penelitian Eka Arsanti (2007), yang menyatakan ada hubungan antara keberadaan jentik pada tempat penampungan air dengan kejadian suspect demam chikungunya di Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang. Pada kelompok yang tempat penampungan airnya berjentik mempunyai risiko 7,850 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang tempat penampungan airnya tidak berjentik.

(66)

penampungan air. Penelitian Eka Arsanti (2007), menyatakan ada hubungan antara kebiasaan menguras tempat penampungan air dengan kejadian suspect demam chikungunya di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang. Pada kelompok yang tidak mempunyai kebiasaan menguras tempat penampungan air seminggu sekali mempunyai risiko 2,923 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang mempunyai kebiasaan menguras tempat penampungan air.

Menguras bak mandi atau tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali. Kebiasaan menguras tempat penampungan air lebih dari seminggu sekali akan memberikan kesempatan telur untuk berkembang biak menjadi nyamuk dewasa. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna artinya dari telur menjadi larva kemudian larva akan tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. Perkembangan dari telur hingga menjadi nyamuk dewasa membutuhkan waktu 7-10 hari, namun dapat lebih lama jika kondisi tidak mendukung (Depkes RI, 2005).

Gambar

Gambar 3.1 Kerangka Penelitian
Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Instrumen Pengetahuan
Tabel 3.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Instrumen Sikap
Tabel 3.4 Aspek Pengukuran Variabel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan selektifitas alat tangkap bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur atau struktur ukuran

Inflasi yang disebabkan adanya kenaikan harga ditunjukkan dengan kenaikan indeks pada kelompok bahan makanan sebesar 3,58 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan

Disamping itu juga, dalam pelaksanaan kawin kontrak ini, para pelaku yang melakukan akad tanpa ada wali dan saksi dari kedua belah pihak, sekalipun ada wali dan saksi yang

- Ho diterima, jika F hitung lebih kecil ( ≤ ) dari F tabel pada signifikan level 5% berarti Variabel (Xi) bebas yaitu luas lahan, jumlah tanaman lada, tinggi

Hi : R 2  0, berarti ada pengaruh yang signifikan dari inflasi, tingkat suku bunga dan PDB secara serempak terhadap uang beredar di Indonesia.. Daerah

5) melaporkan hasil pelaksanaan wasrik yang menjadi tugas dan kewajibannya kepada Irjen TNI; dan.. 6) Irops dibantu oleh empat orang Inspektur Utama yang

Pentingnya pelayanan kesehatan yang optimal dapat terlihat dari konsiderans dan Penjelasan Umum Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, apabila terjadi gangguan

Adapun yang dimaksud dengan barang siapa adalah setiap orang yang dapat dijadikan subyek hukum yang dari padanya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dan subjek dari