• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus) (Dokumentasi pribadi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus) (Dokumentasi pribadi)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

3

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Swanggi

2.1.1. Klasifikasi dan tata nama

Menurut Richardson (1846) taksonomi ikan swanggi (Gambar 1) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Subordo : Percoidei Famili : Priacanthidae Genus : Priacanthus

Spesies : Priacanthus tayenus

Nama FAO : Purple-spotted bigeye

Nama Lokal : Ikan Swanggi, Ikan Raja Gantang, Ikan Mata Goyang, Ikan Mata Besar

Gambar 1. Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus) (Dokumentasi pribadi)

2.1.2. Karakter biologi

Ikan Swanggi memiliki badan agak tinggi, agak memanjang, dan tipis secara lateral. Profil anterior sedikit asimetrik, ujung rahang bawah biasanya sedikit di atas tingkat garis tengah yang menonjol tubuh. Gigi kecil terdapat pada

(2)

4

dentaries, vomer, palatines, dan premaxillaries. Spesies yang lebih kecil kemungkinan memiliki panjang total maksimum 29 cm (FAO 1999).

Tulang belakang pada sudut preoperkulum berkembang dengan baik. Jumlah tulang saring insang pada lengkung insang pertama 21 sampai 24. Duri sirip punggung dengan X dan 11 sampai 13 jari lemah. Duri sirip dengan III dan 12-14 jari lemah. Sirip ekor truncate biasanya terdapat pada spesimen yang lebih kecil, tetapi menjadi lunate pada beberapa (mungkin jantan) tapi tidak semua terdapat pada spesimen lebih besar. Jari sirip dada 17-19. Sisik-sisik menutupi terutama bagian badan, kepala, dan dasar sirip kaudal (FAO 1999).

Sisik-sisik termodifikasi, sisik-sisik pada bagian tengah lateral dengan bagian posterior atas hilang dan sedikit duri kecil pada spesimen yang lebih besar. Sisik-sisik pada seri lateral 56 sampai 73, sisik-sisik linear lateralis berpori 51 sampai 67. Sisik pada baris vertikal (dari awal sirip dorsal sampai anus) 40 sampai 50. Swimbladder dengan penampang anterior dan posterior, bentuk terkait dengan lubang yang termodifikasi dalam tengkorak. Warna tubuh, kepala, dan iris mata adalah merah muda kemerah-merahan atau putih keperak-perakan dengan merah muda kebiruan, sirip berwarna kemerah mudaan, sirip perut mempunyai karakteristik bintik kecil ungu kehitam-hitaman dalam membran dengan 1 atau 2 titik lebih besar di dekat perut (FAO 1999)

2.1.3. Distribusi

Tinggal di perairan pantai di antara bebatuan karang dan terkadang di area yang lebih terbuka pada kedalaman kurang lebih 20 sampai 200 meter. Kumpulan ikan dewasa sering tertangkap oleh perikanan trawl pada waktu yang sama dan relatif secara berkala di Laut Cina Selatan dan Andaman. Rekruitmen secara berkala ke dalam kumpulan kira-kira memiliki total panjang sekitar 12 cm dan mencapai 24 cm sampai tahun depan. Distribusi ikan ini meliputi wilayah pesisir utara Samudera Hindia dari Teluk Persia bagian Timur dan wilayah Pasifik Barat dari Australia bagian Utara dan Pulau Solomon bagian utara sampai Provinsi Taiwan di China (FAO 1999).

(3)

5 2.2. Alat tangkap

2.2.1. Cantrang

Cantrang dapat diklasifikasikan menurut cara pengoperasiannya, bentuk konstruksi serta fungsinya, mempunyai banyak kemiripan dengan pukat harimau. Menurut Subani dan Barus (1989): Cantrang, Dogol, Payang dan Bundes diklasifikasikan ke dalam alat tangkap “danish seine” berbentuk panjang tetapi penggunaannya untuk menangkap Ikan Demersal terutama udang.

Pengoperasiannya dilakukan dengan melingkarkan tali slambar dan jaring pada dasaran yang dituju. Cantrang terdiri dari (1) kantong (codend); bagian tempat berkumpulnya hasil tangkapan yang pada ujungnya diikat dengan tali hasil tangkapan yang pada ujungnya diikat dengan tali hasil tangkapan tidak lolos. (2) Badan; bagian terbesar dari jaring yang terletak diantara kantong dan kaki jaring, terdiri dari bagian kecil–kecil dengan ukuran mata jaring yang berbeda–beda. (3) Kaki (sayap); terbentang dari badan hingga slambar yang berguna sebagai penghalang ikan masuk ke dalam kantong. (4) Mulut; pada bagian atas jaring relatif sama panjang dengan bagian bawah. Alat tangkap cantrang dioperasikan dengan kapal berukuran 8,5 – 11 m x 1,5 – 2,5 m x 1 – 1,5 m dengan kekuatan mesin 18 – 27 PK (Budiman 2006).

Menurut Subani dan Barus (1989); Daerah penangkapan (fishing ground) cantrang tidak jauh dari pantai, pada bentuk dasar perairan berlumpur atau lumpur berpasir dengan permukaan dasar rata. Daerah tangkapan yang baik kelompok alat tangkap “danish seine” harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Dasar perairan rata dengan substrat pasir, lumpur atau tanah liat berpasir. b. Arus laut cukup kecil (< 3 knot).

c. Cuaca terang tidak ada angin kencang.

2.2.3. Jaring insang dasar (Bottom Gillnet)

Jaring insang dasar atau bottom gillnet yaitu alat tangkapyang terbuat dari bahan jaring. Jaring insang dasar berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran mata jaring yang sama. Jaring insang dasar (bottom gillnet) termasuk dalam klasifikasi jaring insang (gillnet). Menurut Martasuganda (2002), bagian-bagian

(4)

6

tangkap. Tali pelampung (float line), adalah tali yang berfungsi untuk menyambungkan antar pelampung. Tali ris atas dan bawah, berfungsi untuk dipakai memasang atau menggantungkan badan jaring. Tali penggantung badan jaring bagian atas dan bawah (upper bolch line and under bolch line), adalah tali yang berfungsi untuk menyambungkan atau menggantungkan badan jaring pada tali ris. Srampad atas dan bawah (upper selvedge and under selvedge), adalah susunan mata jaring yang ditambahkan pada badan jaring bagian atas dan bagian bawah. Badan jaring atau jaring utama (main net), adalah bagian dari jaring yang digunakan untuk menangkap ikan, Tali pemberat (sinker line), adalah tali yang berfungsi untuk memasang pemberat yang bahannya terbuat dari bahan sintetis seperti haizek, vinylon, polyvinyl chloride, saran atau bahan lainnya yang bisa dijadikan untuk tali pemberat. Pemberat (sinker), berfungsi untuk menghasilkan gaya berat pada bottom gillnet.

Ukuran per tinting: panjang 50 m sebelum diikat (37,5 m setelah diikat); lebar 2,94 m sebelum diikat (1,94 m setelah diikat); bahan nilon monofilamen No. 25; Selvedge PE d/3 (Subani dan Barus 1989). Kapal bottom gillnet termasuk ke dalam kelompok kapal dengan metode pengoperasian static gear. Ada dua jenis kapal yang digunakan dalam pengoperasian bottom gillnet, yaitu: a) motor tempel (12-25 PK), ukuran: panjang 6,7 m, lebar 1,5 m, dalam 0,5 m, jaring 14 tinting (pieces); b) motor dalam (6,5-18 PK), ukuran: panjang 7,5 m, lebar 2 m, dalam 1 m, jaring 20-25 tinting (pieces) (Subani dan Barus 1989).

Nelayan yang diperlukan untuk mengoperasikan jaring insang dasar yaitu 4 orang nelayan. Nelayan terdiri dari 1 orang nakhoda, 1 orang pengemudi dan 2 orang anak buah kapal (ABK). Nakhoda bertugas menentukan daerah pengoperasian, pengemudi bertugas mengemudikan kapal dan ABK bertugas untuk membantu dalam operasi penangkapan ikan (setting dan hauling) (Krisnandar 2001). Alat bantu pada bottom gillnet berupa net hauler atau net drum, berfungsi untuk menarik jaring pada saat hauling (Sainsburry 1971).

2.3. Pengetahuan tentang Stok

Dalam pengelolaan sumberdaya ikan, pengetahuan tentang stok dan dinamikanya merupakan hal yang sangat penting. Gulland (1982) dalam Sparre &

(5)

7

Venema (1999), menyatakan bahwa untuk keperluan pengelolaan perikanan, suatu sub kelompok dari satu spesies dapat dikatakan sebagai suatu stok jika perbedaan– perbedaan dalam kelompok tersebut dan “pencampuran” dengan kelompok lain dapat diabaikan.

Sehingga stok dapat diartikan sebagai suatu sub gugus dari satu spesies yang mempunyai parameter pertumbuhan dan mortalitas yang sama, dan menghuni suatu wilayah geografis tertentu. Pengetahuan tentang stok berguna dalam memberikan saran tentang pemanfaatan sumberdaya ikan sehingga sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Konsep maximum sustainable yield (MSY), merupakan konsep pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab (responsible fisheries) dengan mempertahankan kelestarian atau keberlanjutan sumberdaya yang ada.

Dalam Sparre & Venema (1999) disebutkan bahwa tujuan pengkajian stok ikan dari stok yang dieksploitasi adalah untuk meramalkan apa yang akan terjadi dalam hal hasil di masa depan, tingkat sustainabilitas biomassa dan nilai dari hasil tangkapan jika upaya penangkapan tetap sama atau berubah karena faktor lain. Faktor yang mempengaruhi jumlah stok ikan di suatu daerah adalah :

1. Rekrutmen (R)

Rekrutmen merupakan penambahan individu dalam suatu populasi. Rekrutmen bersifat positif atau menambah jumlah stok. Rekrutmen akan menambah jumlah dan biomassa suatu populasi. Rekrutmen berasal dari kelahiran (natalitas). Rekrutmen juga dimungkinkan dengan datangnya atau masuknya individu sejenis yang berasal dari daerah lain, misalnya pada ikan–ikan peruaya. Secara buatan (campur tangan manusia), rekrutmen dilakukan dengan penebaran benih ke suatu daerah perairan (restocking) yang telah mengalami kekurangan stok suatu jenis ikan.

2. Pertumbuhan (Growth = G)

Pertumbuhan adalah pertambahan berat suatu individu. Parameter pertumbuhan yaitu panjang dan berat individu. Pertumbuhan mempengaruhi stok ikan di suatu daerah. Pertumbuhan bersifat positip terhadap stok. Pertumbuhan tidak menambah jumlah stok, tetapi menambah biomassa suatu stok ikan.

(6)

8 3. Kematian alami (Mortalitas = M)

Kematian alami merupakan kematian yang tidak disebabkan oleh campur tangan manusia (penangkapan). Mortalitas alami disebabkan oleh kematian karena pemangsaan (predasi), penyakit, stress, pemijahan, kelaparan dan usia tua. Spesies yang sama yang berada di daerah berbeda mungkin mempunyai tingkat kematian alami yang berbeda, tergantung dari kepadatan pemangsaan dan kepadatan pesaing. Kematian alami bersifat negatif atau mengurangi stok ikan.

4. Penangkapan (catch = C)

Penangkapan bersifat negatif atau mengurangi jumlah stok suatu jenis ikan di daerah tertentu. Faktor penangkapan lebih mudah dimonitor dibandingkan faktor lainnya. Sehingga pengkajian stok ikan lebih mudah dilakukan dengan menggunakan parameter hasil tangkapan suatu jenis ikan dan upaya penangkapannya, misalnya jumlah kapal, jumlah alat tangkap dan jumlah trip penangkapan.

2.4. Model Bioekonomi Perikanan

Model bioekomi perikanan pertama kali ditulis oleh Gordon (1954) dalam artikelnya menyatakan bahwa sumberdaya perikanan pada umumnya bersifat terbuka (open acces) sehingga setiap orang dapat memanfaatkannya atau tidak seorangpun memiliki hak khusus untuk memanfaatkan sumberdaya alam ataupun melarang orang lain untuk ikut memanfaatkan (common property). Pendekatan bioekonomi diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya karena selama ini permasalahan perikanan terfokus pada maksimalisasi penangkapan dengan mengabaikan faktor produksi dan biaya yang dipergunakan dalam usaha perikanan. Selain itu menurut Clark (1985) dalam Purwanto (2006) bahwa pendekatan bioekonomi adalah pendekatan yang memadukan kekuatan ekonomi yang mempengaruhi industri penangkapan dan faktor biologis yang menentukan produksi dan suplai.

Gordon melakukan analisis berdasarkan konsep produksi biologi berdasarkan permasalahan tersebut, kemudian dikembangkan oleh Schaefer (1957), kemudian konsep dasar bioekonomi ini dikenal dengan teori Gordon-Schaefer. Konsep dasar biologi perlu dikemukakan terlebih dulu untuk memahami teori Gordon-Schaefer.

(7)

9

Dimisalkan bahwa pada suatu daerah tertentu tidak ada penangkapan ikan, maka laju netto biomasa ikan (dx/dt) adalah :

( ) ...(1) F (x) adalah laju biomassa yang merupakan fungsi dari ukuran biomassa. Jika diasumsikan bahwa daerah tersebut terbatas, secara rasional dapat kita asumsikan bahwa populasi tersebut tumbuh secara proporsional terhadap populasi awal, secara matematis dapat ditulis :

...(2) r dalam istilah biologi perikanan sering disebut intristic growt rate yaitu pertumbuhan alamiah (natalitas dikurangi mortalitas) atau yang sering disebut laju pertumbuhan tercepat yang dimiliki oleh suatu jenis ikan. Dalam kondisi yang ideal, laju pertumbuahan ikan dapat terjadi secara eksponensial, namun karena keterbatasan daya dukung lingkungan maka ada titik maksimum dimana laju pertumbuhan akan mengalami penurunan atau berhenti. Pada titik maksimum ini disebut carrying capacity. Dalam model kuadratik (logistik), maka fungsi logistik tersebut secara matematis ditulis sebagai berikut :

( - ) ...(3) r adalah laju pertumbuhan intristik (intistik growth rate) dan K adalah carrying

capacity. Dari persamaan (3) di atas terlihat bahwa dalam kondisi kesimbangan

(ekuilibrium) laju pertumbuhan sama dengan nol (dt/dx=0) maka populasi sama dengan carrying capacity sedangkan pertumbuhan masimum akan terjadi pada setengah dari carrying capacity. Pada kondisi ini disebut juga sebagai Maximum

(8)

10

Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Logistik (Nabunome 2007)

Bila pada suatu daerah tertentu dilakukan penangkapan ikan maka laju perubahan netto biomassa ikan (dx/dt) ditentukan oleh kemampuan reproduksi alamiah dan jumlah ikan yang ditangkap dari stok ikan tersebut. Secara matematis, laju perubahan netto biomassa dapat dirumuskan sebagai berikut :

( ) ...(4) F (x) adalah laju pertumbuhan alami dari stok ikan, x dan C adalah jumlah ikan yang ditangkap pada waktu tertentu (C = c(t)) memiliki hubungan yang proposional dengan upaya penangkapan (E). Bila E merupakan indeks dari sarana produksi termasuk kapal dan alat tangkap, maka jumlah ikan yang ditangkap dalam kurun waktu tertentu (C) dapat dihitung dengan persamaan :

...(5) Adanya aktivitas penangkapan ikan tersebut, maka persamaan (4) dapat dituliskan sebagai berikut :

( ) ( ) ...(6) Persamaan (6) dapat diilustrasikan pada Gambar 3. Gambar 3, menunjukan bahwa jika kegiatan penangkapan tetap bertambah, ternyata tidak menghasilkan produksi yang lebih besar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat eksploitasi seperti ini tidak efisien secara ekonomis, karena tingkat eksploitasi yang sama dilakukan dengan upaya yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena biaya yang dikeluarkan pada saat melakukan penangkapan ikan C3 lebih besar dibandingkan dengan biaya C1. Berdasarkan hal tersebut perlu dijelaskan dengan aspek ekonomi mengenai tingkat efisiensi dan optimasi penangkapan. Lambang C (catch) sama halnya dengan h (harvest atau yield).

(9)

11

Gambar 3. Hubungan Tangkapan (Catch) dengan Upaya (Effort) (Seijo et al. 1998) Sebelum menjelaskan aspek ekonomi perikanan, sebelumnya perlu dijelaskan penurunan kurva tangkap lestari pada Gambar 3. Dalam kondisi kesimbangan jangka panjang (long run) maka persamaan (6) berubah menjadi :

( - ) ...(7) sehingga kalau kita pecahkan persamaan diatas untuk x, akan diperoleh persamaan sebagai berikut

( )...(8) kemudian dengan mensubsitusikan persamaam (8) ke dalam persamaan (5) maka akan diperoleh fungsi tangkap lestari (sustainable yield) :

( ) ...(9) ( ) ( ) ...(10) Persamaan di atas (9) merupakan persamaan kuadratik. C (catch) atau h (yield) kuadratik terhadap effort dan jika digambarkan menunjukan sebuah parabola yang menggambarkan fungsi prouksi perikanan dalam jangka panjang, dimana yield tergantung dari tingkat fishing effort dalam sebuah kesimbangan populasi yang disebut Sustainable Yield. Kurva produksi lestari dapt digambarkan pada gambar berikut :

(10)

12

Gambar 4. Kurva Statis Schaefer (Clark et al.1985)

Bila diasumsikan α = qK dan β = maka persamaan (10) dapat dituliskan : C = αE – βE2

...(11) Titik MSY pada Gambar 4 dapat diperoleh dengan menurunkan persamaan hasil tangkapan lestari (11) terhadap upaya tangkap, sehingga :

EMSY=α/2β, CMSY = α2/4β...(12) Koefisien parameter lestari (α dan β) dapat diestimasi dengan regresi sederhana model Shaefer berikut :

= αE – βE2

...(13) Pada Gambar 4 terlihat bahwa jika tidak ada aktivitas perikanan (Upaya=0) produksi juga nol. Ketika upaya terus dinaikan pada titik EMSY akan diperoleh produksi maksimum. Produksi pada titik ini disebut Maximum Sustaianable Yield. Karena sifat kurva Yield-Effort yang berbentuk kuadratik, maka peningkatan upaya yang terus menerus melewati titik EMSY maka produksi akan turun kembali, bahkan mencapai nol (pada titik upaya maximum EMSY). Berdasarkan nilai MSY yang diperoleh dari model Schaefer maka Gordon menambahkan faktor ekonomi dengan memasukan harga dan biaya.

Pada pengembangkan model Gordon-Schaefer menurut Fauzi (2010) digunakan asumsi-asumsi untuk memudahkan pemahaman yaitu :

1. Harga per satuan upaya output diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastis sempurna.

2. Biaya per satuan upaya (c) dianggap konstan.

3. Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal (single species). 4. Struktur pasar bersifat kompetitif.

5. Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak termasuk faktor pasca panen dan lain sebagainya).

(11)

13

Dengan menggunakan asumsi-asumsi di atas dan kurva sustainable yield

effort maka dengan mengalikan harga tersebut dengan MSY (C) maka akan

diperoleh kurva penerimaan sebagai total revenue (TR) = p.C, sedangkan kurva biaya kita asumsikan linear terhadap effort, sehingga fungsi biaya menjadi TC = c.E. Bila diasumsikan harga ikan dan biaya dari upaya konstan, maka akan diperoleh keuntungan (rente) bersih suatu industri perikanan, melalui persamaan berikut (Clark 1980) :

π = pCt – cEt

= (pqxt – c)Et...(14) Dalam kondisi akses terbuka, rente ekonomi sama dengan nol (π=0) atau

̅ ...(15) jika digabungkan fungsi penerimaan dan biaya tersebut dalam suatu gambar, akan diperoleh kurva seperti Gambar 5 yang akan menguraikan inti dari model Gordon - Schaefer mengenai keseimbangan ekonomi.

Gambar 5. Hubungan antara maximum economic yield (MEY), maximum

sustainable Yield (MSY) dan open acces (OA) (Nabunome 2007) Gambar 5 merupakan inti dari teori Gordon mengenai keseimbangan bioekonomi pada kondisi open acces suatu perikanan akan berada pada titik kesimbangan pada tingkat effort open acces (EOA) dimana penerimaan total (TR)

(12)

14

sama dengan biaya total (TC). Pelaku perikanan hanya menerima rente ekonomi sumberdaya sama dengan nol. Tingkat upaya pada pada posisi ini adalah tingkat upaya dalam kondisi keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai ”Bioeconomic equilibrium of open acces fishery” atau keseimbangan bioekonomi dalam kondisi akses terbuka.

Pada setiap upaya lebih rendah dari EOA (sebelah kiri dari EOA) penerimaan total lebih dari biaya total. Pada kondisi ini pelaku perikanan (nelayan) akan tertarik untuk menangkap ikan karena akses yang tidak dibatasi dan bertambahnya pelaku masuk (entry) ke industri perikanan. Bila dilihat dari pendapatan rata-rata maka penerimaan marginal dan biaya marginal dari penurunan konsep penerimaan total dan biaya total seperti pada Gambar 5.

Setiap titik disebelah kiri EOA, penerimaan rata-rata setiap unit effort lebih besar dari biaya rata-rata per unit. Rente yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya T1 untuk titik effort maximum economic yield (EMEY). Keadaan ini akan memungkinkan terjadinya entry atau pelaku perikanan yang sudah ada untuk memaksimalkan manfaat ekonomi yang diperoleh. Sebaliknya pada titik-titik sebelah kanan EOA biaya rata-rata per satuan upaya lebih besar dibandingkan penerimaan rata-rata per unit. Pada kondisi ini akan menyebabkan nelayan keluar atau entry tidak ada.

Pada Gambar 5 jelas bahwa tingkat EOA terjadi kesimbangan pada pengelolaan perikanan, maka pada kondisi ini entry dan exit tidak terjadi. Jika pada Gambar 5 keuntungan lestari (Sustainable profit) akan diperoleh secara maksimum pada tingkat effort MEY, dimana dapat dilihat pada jarak horisontal terbesar antara penerimaan dan biaya yang diperoleh (T1), dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan, tingkat upaya ini sering disebut sebagai Maximum Economic Yield (MEY) produksi yang maksimum secara ekonomi. Pada titik EOA tingkat upaya (effort) yang dibutuhkan jauh lebih besar dari upaya MSY dan MEY untuk memperoleh keuntungan yang optimal dan lestari. EOA memberikan tingkat upaya yang optimal secara sosial (Social Optimum). Berdasarkan ilmu ekonomi, kesimbangan open

acces menimbulkan terjadi alokasi yang tidak tepat (missallocation) karena

kelebihan faktor produksi (tenaga kerja dan modal) dalam perikanan yang seharusnya bisa digunakan untuk ekonomi produktif lain.

(13)

15

Inilah sebenarnya inti prediksi Gordon bahwa perikanan open acces akan menyebabkan terjadinya kondisi economic overfishing. Selain itu juga bahwa keseimbangan open acces dicirikan dengan terlalu banyak input sehingga stok sumberdaya akan diekstraksi sampai pada titik yang terendah sebaliknya pada tingkat MEY input tidak terlalu banyak tetapi keseimbangan biomas pada tingkat yang lebih tinggi (Nabunome 2007).

2.5. Pola Musim Penangkapan

Informasi yang tepat diperlukan untuk melakukan operasi penangkapan yang efisien, seperti informasi mengenai musim penangkapan yang baik. Informasi mengenai pola musim penangkapan digunakan untuk menentukan waktu yang tepat dalam pelaksaan operasi penangkapan (Dajan 1984 in Bahdad 2006). Penggunaan pendekatan metode rata-rata bergerak (moving average) dapat dilakukan untuk perhitungan operasi penangkapan menggunakan data hasil penangkapan seperti halnya data lainnya yang bersifat musiman. Pendekatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan variasi musiman, residu, dan adakalanya sebagian dari variasi siklus agar diperoleh trend yang bercampur dengan siklus.

Variasi musim adalah fluktuasi-fluktuasi di sekitar trend yang berulang secara teratur tiap tahun, residu merupakan jenis fluktuasi yang disebabkan oleh faktor-faktor random. Trend (kecenderungan) menggambarkan gerakan deret berkala secara rata-rata dan variasi siklus adalah variasi deret berkala yang meliputi periode setahun lebih, dengan lama dan amplitudo siklus tidak pernah sama. Nilai

trend bercampur siklus ini akan digunakan sebagai pembagi deret berkala asal

untuk memperoleh data berkala yang bebas dari trend dan siklus. Variasi musim murni diperoleh dengan cara merata-ratakan deret berkala yang bebas dari trend dan siklus.

Metode rata-rata bergerak (moving average) memiliki keuntungan yaitu dapat mengisolasi fluktuasi musiman sehingga dapat menetukan saat yang tepat untuk melakukan operasi penangkapan dan kecenderungan yang biasa terdapat pada metode deret waktu dapat dihilangkan. Kerugian dari metode rata-rata bergerak

(moving average) adalah tidak dapat menghitung pola musim penangkapan sampai

(14)

16

Menurut Zacharia et al. (1991), kelimpahan maksimum Priacanthidae di pesisir Dakshina Kannada India yaitu selama musim peralihan pada bulan Februari, hasil produksi tangkapan pada bulan Januari pun terlihat bagus. Vijayakumaran & Naik (1988) melaporkan bahwa hasil tangkapan Priacanthus hamrur tertinggi yang diadaratkan di Karnataka, India didapatkan pada bulan Maret dan berasal dari kedalaman 51-100 m dan 151-200 m, sementara hasil tangkapan pada bulan September-November tergolong rendah. Hasil tangkapan P. hamrur sangat melimpah di Vishakhapatnam India terjadi selama bulan Maret-April dan Juli (Sivakami 2001).

Kegiatan penangkapan ikan dapat bersifat musiman, dengan kata lain kegiatan penangkapan ikan dapat berubah karena selain ada masa ketika ikan melimpah di laut dan lokasinya dapat diakses nelayan dengan mudah juga ada periode waktu lain ketika ikan jarang ada di laut dan lokasinya juga sulit dicapai nelayan. Musim penangkapan di Indonesia sangat berkaitan dengan kondisi laut yang dipengaruhi angin monsoon. Angin monsoon pertama berasal dari Australia yag sedang mengalami musim dingin dan kering. Angin monsoon kedua berasal dari arah barat lau membawa uap di Samudera Pasifik. Hal tersebut menyebabkan, kondisi perairan di bagian barat dan timur tidak selalu sama di saat yang sama. Ketika periode monsoon barat, perairan Indonesia di sebelah barat umumnya bergelombang tinggi dan hujan lebat, sedangkan perairan di sebelah timur umumnya tenang. Sebaliknya ketika periode mosoon tenggara perairan Indonesia di sebelah barat dan di sebelah timur umumnya bergelombang tinggi (Sandita 2010).

2.6. Daerah Penangkapan

Daerah penangkapan atau dalam bidang perikanan lebih dikenal dengan istilah fishing ground, yaitu tempat penangkapan. Secara umum fishing ground dapat diartikan segala tempat dimana ikan ada dan alat tangkap dapat dioperasikanMenurut Djatikusumo (1977), daerah penangkapan mempunyai syarat sebagai berikut :

1. Jumlah besar daripada ikan-ikan yang ada yang akan ditangkap (populasi besar) 2. Mudahnya alat tangkap beroperasi

(15)

17 3. Ekonomis

Fishing ground tidak selalu pasti, tetapi tergantung macam alat tangkap,

bentuk-bentuk tertentu dari macam penangkapan dapat memungkinkan beroperasinya di suatu daerah dimana jenis yang lain tidak dapat digunakan. Misalnya, di perairan sekitar karang, alat tangkap sejenis trawl tidak dapat digunakan meskipun terdapat banyak ikan. Namun penangkapan akan berjalan dengan mudah dengan menggunakan pancing (long line) (Djatikusumo 1977).

2.7. Tangkapan per Satuan Upaya

Tangkapan per Satuan Upaya (TPSU) merupakan jumlah atau bobot hasil tangkapan yang diperoleh adari satuan alat tangkap atau dalam waktu tertentu, yang merupakan indeks kelimpahan suatu stok ikan (UU No. 45 tahun 2009). TPSU dapat dipengaruhi oleh satuan waktu, besarnya stok, kegiatan penangkapan, dan kondisi lingkungan di daerah penangkapan ikan. Apabila satuan waktu yang digunakan adalah tahun, perubahan kondisi lingkungan perairan dalam satu tahun tertentu memiliki kecenderungan pola yang sama pada tahun-tahun berikutnya (DKP DKI Pandeglang 2005 in Damayanti 2007).

2.8. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Besarnya sumberdaya ikan laut di Indonesia dapat menimbulkan persaingan dalam proses penangkapannya, karena sumberdaya ikan ini merupakan milik bersama (common property) yang setiap orang berhak memanfaatkannya (open

access). Persaingan yang dilakukan pelaku perikanan terlihat dari usaha yang

dilakukan menggunakan tekhnologi yang terus berkembang dan dieksploitasi secara terus-menerus hingga terjadi konflik antar pelaku perikanan saat sumberdaya ikan yang ada semakin menipis.

Dalam Undang–undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dijelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan adalah semua upaya yang dilakukan bertujuan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan secara optimal dan terus menerus. Menurut Gulland (1982), tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi :

(16)

18

1. Tujuan yang bersifat fisik – biologik, yaitu dicapainya tingkat pemanfaatan dalam level hasil maksimum yang lestari (maximum sustainable yield = MSY). 2. Tujuan yang bersifat ekonomik, yaitu tercapainya keuntungan maksimum dari

pemanfaatan sumberdaya ikan atau maksimalisasi profit (net income) dari perikanan.

3. Tujuan yang bersifat sosial, yaitu tercapainya keuntungan sosial yang maksimal, misalnya maksimalisasi penyediaan pekerjaan, menghilangkan adanya konflik kepentingan diantara nelayan dan anggota masyarakat lainnya.

Dwiponggo (1983) in Pranggono (2003) mengatakan, tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dicapai dengan beberapa cara, antara lain:

1. Pemeliharaan proses sumberdaya perikanan, dengan memelihara ekosistem penunjang bagi kehidupan sumberdaya ikan.

2. Menjamin pemanfaatan berbagai jenis ekosistem secara berlanjut.

3. Menjaga keanekaragaman hayati (plasma nuftah) yang mempengaruhi ciri–ciri, sifat dan bentuk kehidupan.

4. Mengembangkan perikanan dan teknologi yang mampu menumbuhkan industri yang mengamankan sumberdaya secara bertanggung jawab.

Badrudin (1986) in Lembaga Penelitian UNDIP (2000) menyatakan bahwa prinsip pengelolaan sediaan ikan dapat dikategorikan sebagai berikut :

1. Pengendalian jumlah upaya penangkapan : tujuannya adalah mengatur jumlah alat tangkap sampai pada jumlah tertentu.

2. Pengendalian alat tangkap : tujuannya adalah agar usaha penangkapan ikan hanya ditujukan untuk menangkap ikan yang telah mencapai umur dan ukuran tertentu.

Berdasarkan prinsip tersebut, maka pengelolaan sumberdaya perikanan harus memiliki strategi sebagai berikut :

1. Membina struktur komunitas ikan yang produktif dan efisien agar serasi dengan proses perubahan komponen habitat dengan dinamika antar populasi.

2. Mengurangi laju intensitas penangkapan agar sesuai dengan kemampuan produksi dan daya pulih kembali sumberdaya ikan, sehingga kapasitas yang optimal dan lestari dapat terjamin.

(17)

19

3. Mengendalikan dan mencegah setiap usaha penangkapan ikan yang dapat menimbulkan kerusakan–kerusakan maupun pencemaran lingkungan perairan secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam Sutono (2003) disebutkan beberapa pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan, yaitu :

1. Pengaturan musim penangkapan

Pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pengaturan musim penangkapan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada sumberdaya ikan untuk berkembang biak. Secara biologi ikan mempunyai siklus untuk memijah, bertelur, telur menjadi larva, ikan muda dan baru kemudian menjadi ikan dewasa. Bila salah satu dari siklus tersebut terpotong, misalnya karena penangkapan, maka sumberdaya ikan tidak dapat melangsungkan daur hidupnya. Hal ini dapat menyebabkan ancaman kepunahan sumberdaya ikan tersebut. Oleh karena itu diperlukan suatu pengaturan musim penangkapan ikan.

Pengaturan musim penangkapan ikan dapat efektif pada negara-negara yang sistem hukumnya dilaksanakan dengan ketat. Bila penegakan hukum tidak dapat dilaksanakan, maka pengaturan musim penangkapan ikan tidak dapat efektif, karena tentu terjadi banyak pelanggaran.

Dalam pengaturan musim penangkapan ikan juga perlu diketahui terlebih dahulu sifat biologi dari sumberdaya ikan tersebut. Sifat biologi dimaksud meliputi siklus hidup, lokasi dan waktu terdapatnya, serta bagaimana reproduksinya. Pengaturan musim penangkapan dapat dilaksanakan secara efektif bila telah diketahui antara musim ikan dan bukan musim ikan dari jenis sumberdaya ikan tersebut. Selain itu juga perlu diketahui musim ikan dari jenis ikan yang lain, sehingga dapat menjadi alternatif bagi nelayan dalam menangkap ikan. Misalnya, bila terhadap suatu jenis ikan dilarang untuk ditangkap pada waktu tertentu, maka nelayan dapat menangkap jenis lain pada waktu yang sama.

Kendala yang mungkin timbul pada pelaksanaan kebijakan pengaturan musim penangkapan ikan adalah (1) belum adanya kesadaran nelayan tentang pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya ikan yang ada, (2) lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh aparat, (3) terbatasnya sarana pengawasan.

(18)

20 2. Penutupan daerah penangkapan

Kebijakan penutupan daerah penangkapan dilakukan bila sumberdaya ikan yang ada telah mendekati kepunahan. Penutupan daerah penangkapan dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada sumberdaya ikan yang mendekati kepunahan untuk berkembang kembali sehingga stoknya dapat bertambah. Guna menentukan suatu daerah penangkapan ditetapkan untuk ditutup, maka perlu dilakukan penelitian tentang stok sumberdaya ikan yang ada pada daerah tersebut, dimana dan kapan terdapatnya, serta karakteristik lokasi yang akan dilakukan penutupan daerah penangkapan.

Penutupan daerah penangkapan juga dapat dilakukan terhadap daerah–daerah yang merupakan habitat vital, seperti daerah hutan bakau dan daerah terumbu karang. Seperti diketahui bahwa daerah vital tersebut merupakan daerah berpijah (spawning ground) dan daerah asuhan (nursery ground). Penutupan daerah penangkapan untuk daerah vital dimaksudkan agar telur–telur ikan, larva dan ikan yang masih kecil dapat tumbuh menjadi ikan dewasa.

Untuk mendukung kebijakan penutupan daerah penangkapan, diperlukan pengawasan yang ketat oleh pihak aparat. Demikian pula halnya dengan peraturan yang ada, perlu ditetapkan peraturan yang bersifat represif. Upaya ini dilakukan demi menjaga kelestarian sumberdaya ikan jenis tertentu yang mengalami ancaman kepunahan.

3. Selektifitas alat tangkap

Kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan selektifitas alat tangkap bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur atau struktur ukuran ikan dalam suatu stok pada suatu daerah. Selektifitas alat tangkap dilakukan untuk menyeleksi ikan yang akan ditangkap. Dengan demikian hanya ikan–ikan yang telah mencapai ukuran tertentu saja yang ditangkap. Sementara ikan–ikan yang lebih kecil tidak tertangkap, sehingga dapat memberi kesempatan bagi ikan–ikan kecil untuk tumbuh menjadi besar.

Contoh penerapan pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan selektifitas alat tangkap, ialah :

1) Penentuan ukuran minimum mata jaring (mesh size) pada alat tangkap gill net,

(19)

21 2) Penentuan ukuran mata pancing pada longline. 3) Penentuan lebar bukaan pada alat tangkap perangkap

Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan selektifitas alat tangkap ini, peran nelayan sangat penting. Pengetahuan dan kesadaran nelayan akan pentingnya pelestarian sumberdaya ikan merupakan faktor utama keberhasilan kebijakan pengelolaan ini. Hal ini disebabkan aparat sulit untuk melakukan pengendalian dan pengawasan karena banyaknya jenis alat tangkap (multi gears) yang beroperasi di Indonesia.

Kendala pelaksanaan kebijakan dengan selektifitas alat tangkap yaitu diperlukan biaya yang tinggi untuk memodifikasi alat tangkap yang sudah ada. Sehingga peran nelayan untuk memodifikasi alat tangkapnya sangat diharapkan sesuai dengan keadaan lokasi penangkapannya.

4. Pelarangan alat tangkap

Pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap didasarkan pada adanya penggunaan bahan atau alat berbahaya dalam menangkap ikan baik bagi ekosistem perairan maupun berbahaya bagi yang menggunakan, misalnya penggunaan racun ikan dan bahan peledak (bom ikan). Tujuan dari pelarangan penggunaan alat atau bahan berbahaya ini adalah melindungi sumberdaya ikan dan ekosistem yang ada yang bermanfaat bagi kehidupan biota air. Sebagai contoh penggunaan racun ikan, selain menyebabkan kematian ikan sasaran, juga menyebabkan kematian pada ikan–ikan yang masih kecil dan telur ikan. Penggunaan bahan peledak dapat menyebabkan kerusakan habitat ikan dan kematian biota air lainnya yang bukan merupakan sasaran penangkapan.

Seringkali pelanggaran terhadap peraturan pelarangan penggunaan alat atau bahan berbahaya ini tidak ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal ini menyebabkan pelaksanaan peraturan pelanggaran penggunaan alat atau bahan berbahaya ini tidak efektif. Oleh karena itu efektifitas pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap ini sangat tergantung pada penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat.

Dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap ini, kepedulian nelayan dan masyarakat pesisir menjadi faktor yang sangat penting. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dalam

(20)

22

pelaksanaannya sangat membantu aparat untuk menindak secara tegas pelanggaran yang terjadi.

5. Kuota penangkapan

Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan kuota penangkapan adalah upaya pembatasan jumlah ikan yang boleh ditangkap (Total Allowable

Catch = TAC). Kuota penangkapan diberikan oleh Pemerintah kepada industri atau

perusahaan penangkapan ikan yang melakukan penangkapan pada suatu perairan di wilayah negara Indonesia. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya suatu jenis ikan, maka nilai TAC harus di bawah Maximum Sustainable Yield (MSY)–nya, sehingga sebelum nilai TAC ditentukan, perlu diketahui terlebih dahulu nilai MSY – nya.

Implementasi dari kuota penangkapan dengan TAC ialah, (1) penentuan TAC secara keseluruhan pada skala nasional atas suatu jenis ikan di perairan tertentu, kemudian diumumkan kepada semua nelayan sampai secara total mencapai TAC yang ditentukan, bila telah tercapai TAC, maka aktifitas penangkapan terhadap jenis ikan tersebut dihentikan dengan kesepakatan bersama; (2) membagi TAC kepada semua nelayan dengan keberpihakan kepada nelayan atas dasar keadilan, sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial akibat perbedaan pendapatan nelayan; (3) dengan membatasi atau mengurangi efisiensi penangkapan ikan sehingga TAC tidak terlampaui.

6. Pengendalian upaya penangkapan

Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan pengendalian upaya penangkapan didasarkan pada hasil tangkapan maksimum agar dapat menjamin kelestarian sumberdaya ikan tersebut. Pengendalian upaya penangkapan dapat dilakukan dengan membatasi jumlah alat tangkap, jumlah armada, maupun jumlah trip penangkapan.

Untuk menentukan batas upaya penangkapan diperlukan data time series yang akurat tentang jumlah hasil tangkapan suatu jenis ikan dan jumlah upaya penangkapannya di suatu daerah penangkapan. Mekanisme pengendalian upaya penangkapan yang paling efektif adalah dengan membatasi izin usaha penangkapan ikan pada suatu daerah penangkapan.

Pengelolaan perikanan harus dilakukan dengan baik, dengan salah satu upaya dalam suatu pengelolaan adalah monitoring sehingga kondisi sumberdaya dapat

(21)

23

terus terpantau dengan baik. Tujuan pengelolaan sumberdaya perikanana adalah tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasil devisa, dan mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan serta menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari (Boer dan Azis 2007).

Gambar

Gambar 1. Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus) (Dokumentasi pribadi)
Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Logistik (Nabunome 2007)
Gambar 3. Hubungan Tangkapan (Catch) dengan Upaya (Effort) (Seijo et al. 1998)  Sebelum menjelaskan aspek ekonomi perikanan, sebelumnya perlu dijelaskan  penurunan  kurva  tangkap  lestari  pada  Gambar  3
Gambar 4. Kurva Statis Schaefer (Clark et al.1985)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kelompok umur didapatkan sebanyak 3 kelompok, sementara penelitian yang dilakukan di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, ikan swanggi memiliki sebaran frekuensi

a) Dekat densitas stok maksimum, efisiensi reproduksi dan kadang-kadang jumlah aktual dari rekrut, lebih rendah dari pada densitas stok ikan yang lebih kecil. Meningkatkan

Perikanan dapat didefinisikan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,

Persentase bagian terbesar makanan dalam urutan kebiasaan makanan ikan dibagi menjadi empat kategori yang terdiri atas makanan utama yaitu makanan yang biasanya

Morfometrik adalah ciri-ciri yang berkaitan dengan ukuran tubuh atau bagian tubuh ikan misalnya panjang total, panjang baku, panjang cagak, dan sebagainya

Terdapat keterkaitan yang erat antara risiko dengan karakterisitik usaha. Karakterisitik khusus yang terdapat pada kegiatan perikanan tangkap diantaranya: 1) sumberdaya ikan

Analisis usaha penangkapan ikan bilih di Danau Toba adalah analisis mengenai kelayakan pengelolaan perikanan tangkap untuk meningkatkan dan mempertahankan produksi dalam

Beberapa ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi upaya tangkap lebih adalah waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan