• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Ekor Kuning

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Ekor Kuning"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Ekor Kuning

Ikan ekor kuning (Caesio cuning) atau redbelly yellowtail fusilier biasanya hanya dapat ditemukan di perairan tropis (31°LU - 22°LS dan 76°BT - 172°BT), perairan dengan hamparan terumbu karang merupakan habitat dari ikan ini. Distribusi ikan ekor kuning tersebar di daerah Indo-Pasifik barat dari Sri Lanka hingga Vanuatu serta selatan Jepang hingga utara Australia (www.fishbase.com 2009).

Gambar 1 Ikan ekor kuning. (www.fishbase.com 2009)

Klasifikasi ikan ekor kuning menurut Bloch (1791) adalah sebagai berikut (www.zipcodezoo.com 2009): Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Infraphylum : Gnathostomata Superclass : Osteichthyes Class : Actinopterygii Subclass : Actinopterygii Infraclass : Actinopteri Cohort : Clupeocephala Superorder : Acanthopterygii Order : Perciformes Suborder : Percoidei Family : Caesionidae Genus : Caesio

(2)

Ikan ekor kuning memiliki bentuk badan memanjang, melebar dan gepeng. Dua gigi taring pada rahang bawah dan yang halus pada langit-langit. Jari-jari keras 10 dan 15 jari-jari lemah pada sirip punggung. Tiga jari-jari keras dan 11 jari-jari lemah pada sirip dubur. Ikan ini memiliki sisik tipis dan terdapat 52-58 pada garis rusuknya. Sisik-sisik kasar di bagian atas dan bawah garis rusuk serta tersusun horizontal, sisik pada kepala mulai dari mata.

Menurut Allen et al. (2007), ikan ekor kuning dapat mencapai panjang hingga 50 cm. Ikan ekor kuning biasanya membentuk scooling yang besar dan dapat ditemui di kedalaman 1 - 60 meter. Makanan utama ikan ekor kuning merupakan zooplankton. Dari seluruh family caesionidae, spesies ini merupakan jenis yang paling toleran terhadap perairan yang keruh.

2.2 Definisi dan Klasifikasi Unit Penangkapan Muroami 2.2.1 Definisi dan klasifikasi

Menurut Subani dan Barus (1989), muroami berasal dari kata “muro” yang merupakan ikan jenis Carangidae dan “ami” yang berarti jaring. Muroami sendiri merupakan salah satu jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan karang.

Jika dilihat dari metode pengoperasiannya, muroami dapat digolongkan ke dalam drive-in-net atau alat tangkap dengan penggiring. Menurut Subani dan Barus (1989), drive-in-net adalah suatu usaha penangkapan yang dalam pengoperasiannya dilakukan sedemikian rupa dengan “menggiring” ikan target penangkapan agar masuk ke dalam jaring yang telah dipasang sebelumnya, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.

Drive-in-net termasuk golongan alat penangkap ikan yang bersifat pasif. Arti pasif yang dimaksud bukanlah dikarenakan alat tangkap tersebut tidak bergerak atau statis, melainkan dilihat dari „kerelaan‟ ikan masuk ke dalam alat tangkap. Jika ikan secara sukarela masuk ke dalam alat tangkap, maka alat tangkap tersebut dikatakan bersifat pasif. Jika ikan tertangkap secara „paksa‟ atau ikan secara tidak sukarela masuk ke dalam alat tangkap, maka alat tangkap tersebut dapat dikatakan bersifat aktif (von Brandt 2005).

(3)

Gambar 2 Muroami saat dioperasikan. (www.wcsmarine-indonesia.org 2003)

2.2.2 Alat tangkap

Menurut Subani dan Barus (1989), satu unit alat tangkap muroami terdiri atas beberapa bagian, yaitu:

1) Bagian jaring, yang terdiri atas kaki panjang, kaki pendek dan kantong; 2) Pelampung, terdiri atas pelampung yang terdapat pada tali ris atas dan tali ris

bawah. Di bagian tertentu pada tali ris atas, diikatkan pelampung-pelampung kecil yang merupakan pelampung tetap. Pelampung tetap juga dipasang pada bagian atas mulut kantong. Selain itu, di atas mulut kantong dipasang pelampung dari bola gelas dan bambu. Kedua pelampung ini hanya dipasang pada waktu operasi penangkapan berlangsung;

3) Pemberat, terbuat dari batu diletakkan pada bagian ris bawah dan pada bagian bawah mulut kantong. Selain itu, pada saat operasional alat di bagian depan kaki panjang dan kaki pendek dilengkapi dengan jangkar;

4) Penggiring atau scare line terbuat dari tali sepanjang ± 25 meter. Pada salah satu ujungnya diikatkan pelampung bambu, sedangkan pada ujung yang lainnya diikatkan alat yang menghasilkan bunyi-bunyian dari gelang-gelang besi. Pada sepanjang tali penggiring dilengkapi dengan daun-daun nyiur atau terkadang kain putih. Jumlah alat pengusir disesuaikan dengan jumlah orang yang bertugas sebagai penggiring.

(4)

2.2.3 Kapal

Menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, yang di maksud dengan kapal perikanan adalah adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian (eksplorasi) perikanan. Perahu atau kapal penangkapan ikan di laut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori sebagai berikut (Direktorat Jendral Perikanan Tangkap 2002 diacu dalam Isnaini 2008): 1) Perahu tanpa motor, yaitu perahu yang tidak menggunakan tenaga mesin

sebagai tenaga penggerak, tetapi menggunakan layar atau dayung untuk menggerakkan kapal.

2) Perahu motor tempel adalah perahu yang menggunakan mesin atau motor tempel sebagai tenaga penggerak yang diletakkan di bagian luar perahu, baik diletakkan di buritan maupun di sisi perahu.

3) Kapal motor, yaitu kapal yang menggunakan mesin sebagai tenaga penggerak yang diletakkan di dalam kapal.

Operasi penangkapan ikan menggunakan muroami memerlukan 3-5 buah perahu. Sebuah perahu diantaranya diperuntukkan membawa kantong, dua perahu lainnya masing-masing untuk memuat sebuah sayap atau kaki jaring. Dua perahu sisanya digunakan untuk membawa atau mengantar tenaga-tenaga penggiring atau penghalau ikan (Subani dan Barus 1989).

2.2.4 Nelayan

Menurut Undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan, yang di maksud dengan nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Berdasarkan waktu yang dipergunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan, nelayan dapat diklasifikasikan menjadi (Direktorat Jendral Perikanan Tangkap 2002 diacu dalam Isnaini 2008):

1) Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan.

2) Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Selain

(5)

nelayan sebagai pekerjaan utama, pada kategori ini nelayan tersebut juga mempuyai pekerjaan lain.

3) Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan, sedangkan sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan lain.

Biasanya jumlah nelayan yang diperlukan dalam pengoperasian alat tangkap muroami bergantung pada ukuran alat tangkap tersebut. Pada umumnya berjumlah antara 20-40 orang (Subani dan Barus 1989).

2.3 Metode Pengoperasian Muroami

Menurut Subani dan Barus (1989), untuk pengoperasian muroami diperlukan sekitar 3-5 buah berahu, yaitu satu perahu bertugas membawa kantong, dua perahu untuk memuat masing-masing sayap atau kaki jaring dan perahu lainnya digunakan untuk membawa tenaga penggiring ikan ke tempat ikan berada. Tempat pengoperasian alat dilakukan diperairan karang dengan kedalaman 10-25 meter dengan dasar yang tidak terlalu miring.

Secara sederhana proses pengoperasian muroami memiliki tahap-tahap sebagai berikut (Subani dan Barus 1989):

1) Memperkirakan densitas kawanan ikan terlebih dahulu sebelum setting alat tangkap, dengan cara pengamatan langsung atau menyelam;

2) Mengetahui kecepatan dan arah arus untuk kelancaran operasional alat tangkap. Arus yang tidak terlalu kencang paling baik untuk pelaksanaan setting jaring;

3) Pemasangan jaring dilakukan sedemikian rupa, sehingga membentuk huruf V dan harus memperhatikan letak ujung depan kaki yang pendek berada di perairan yang lebih dangkal dimana karang berada, sedangkan ujung kaki yang panjang diletakkan di perairan yang lebih dalam;

4) Penggiringan ikan segera dilakukan setelah pemasangan kantong, yaitu dengan mengambil tempat antara ¼-⅓ dari bagian ujung kaki yang belakang.

(6)

2.4 Daerah Pengoperasian dan Ekosistem Terumbu Karang

Muroami adalah alat tangkap yang di desain khusus untuk dapat beroperasi di perairan karang yang dasarnya tidak rata. Biasanya pengoperasian muroami dilakukan di perairan karang dengan kedalaman 10-25 meter dan dasar perairan tidak terlalu miring (Subani dan Barus 1989).

Terumbu karang diperkirakan meliputi minimal 600.000 km2 wilayah bumi kita. Di Indonesia, lebih dari 95% atau sekitar 85.707 km2 wilayah Indonesia dikelilingi oleh terumbu karang. Luas tersebut mewakili 18% dari total luas terumbu karang yang ada di dunia (Dahuri 2003). Menurut Moll dan Suharsono (1986) diacu dalam Dahuri (2003), di Kepulauan Seribu terdapat 193 jenis koral dari 56 genera yang telah teridentifikasi sampai tahun 1986.

Menurut Dawes (1981) diacu dalam Supriharyono (2007), terumbu karang (coral reefs) merupakan kumpulan masyarakat (binatang) karang, yang hidup di dasar perairan dangkal berupa batuan kapur (CaCO3) dan mempunyai kemampuan

yang cukup kuat untuk menahan gaya gelombang laut. Binatang-binatang karang tersebut umumnya mempunyai kerangka kapur, demikian pula algae yang berasosiasi di ekosistem ini banyak diantaranya juga mengandung kapur.

Ada dua tipe kelompok karang, yaitu karang hermatifik dan karang ahermatifik. Perbedaan kedua kelompok karang ini terletak pada kemampuan karang hermatifik dalam menghasilkan terumbu (reef) dan karang ahermatifik yang tidak dapat menghasilkan terumbu. Kemampuan menghasilkan terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatifik, sel-sel tumbuhan ini dinamakan Zooxanthellae. Karang hermatifik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan karang ahermatifik tersebar di seluruh dunia. Itulah yang menyebabkan terumbu karang hanya ditemukan di perairan tropis (Dahuri 2003).

Berdasarkan hubungannya dengan daratan, terumbu karang di Indonesia diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok besar (Dahuri 2003), yaitu:

1) Terumbu tepi (fringing reef) adalah terumbu karang yang berada dekat dan sejajar dengan garis pantai. Di Indonesia luas terumbu tepi diperkirakan mencapai 14.542 km2.

(7)

2) Atol (atoll) adalah terumbu tepi yang berbentuk seperti cincin dan di tengahnya terdapat goba (danau) dengan kedalaman mencapai 45 meter. Perairan Indonesia memiliki luas atol diperkirakan mencapai 19.540 km2. 3) Terumbu penghalang (barrier reef), serupa dengan karang tepi, perbedaanya

adalah pada terumbu karang penghalang jarak antara terumbu karang dengan garis pantai cukup jauh, dan umumnya dipisahkan oleh perairan yang dalam. Di Indonesia terumbu penghalang diperkirakan seluas 50.223 km2.

Pertumbuhan dan distribusi suatu ekosistem terumbu karang bergantung pada beberapa parameter fisika, diantaranya kecerahan. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang dangan baik pada kedalaman 25 meter atau kurang, di lokasi yang intensitas cahaya mataharinya menembus perairan masih cukup untuk proses fotosintesis. Selain kecerahan, parameter lainnya yang menyokong pertumbuhan terumbu karang adalah temperatur dan salinitas, terumbu karang dapat tumbuh secara optimal pada kisaran suhu perairan rata-rata tahunan antara 25 dan 29 0C dengan salinitas antara 30 sampai 35 ppt (Dahuri 2003).

Hasil pengamatan para ahli menyebutkan bahwa kecepatan tumbuh terumbu karang berkisar antara 2 cm per tahun untuk “brain corals” yang massive dan sekitar 20 cm per tahun untuk karang ranting. Pada kondisi terganggunya lingkungan bisa menyebabkan kecepatan tumbuh karang menurun dan kegagalan mekanisme reproduksi, yang pada kondisi ekstrem dapat menyebabkan kematian seluruh koloni karang (Wibisono 2005).

Laporan dari BPPT menyebutkan bahwa ± 61% dari luas areal terumbu karang di Indonesia saat ini dalam kondisi rusak, 15% di antaranya dalam kondisi sangat kritis. Berarti hanya sekitar 39% saja terumbu karang yang masih dalam keadaan baik (Wibisono 2005). Hal tersebut diperparah dengan tindakan nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan bom ikan maupun potassium.

2.5 Hasil Tangkapan Muroami

Menurut Subani dan Barus (1989), hasil tangkapan utama muroami adalah berbagai jenis ikan karang, diantaranya adalah ekor kuning (Caesio cuning), pisang-pisang biru (Caesio caerulaurea), triger motor (Pterocaesio lativittata), Kakak tua nonong (Chlorurus microrhinus), samba biru (Caranx lugubris), kuwe

(8)

lilin (Carangoides gymnostethus), penjalu (Caesio coerulaureus), Pisang-pisang (Caesio chrysonortus), Sunglir (Elagatis bipinnulatus), Selar kuning (Caranx leptolepis), kuwe macan (Caranx spp).

2.6 Sumberdaya Ikan Karang

Ikan karang merupakan ikan yang hidup di daerah terumbu karang sejak masa juvenil sampai dewasa (Sale 1991 diacu dalam Arami 2006). Perairan tropis dihuni oleh lebih banyak jenis ikan jika dibandingkan dengan daerah beriklim sedang, tetapi pada umumnya setiap jenis ikan jumlahnya sedikit (Romimohtarto dan Juwana 2005).

Diperkirakan dari 12.000 jenis ikan laut, 7.000 jenis diantaranya hidup di perairan karang. Angka tersebut dapat mencerminkan secara langsung jumlah yang sangat besar dari habitat spesies yang dapat didukung oleh lingkungan terumbu karang (Suharti 2006). Menurut struktur trofik, ikan karang dapat dibedakan menjadi enam grup trofik, yaitu herbivora, omnivora, plankton feeders, pemakan crustacea dan ikan, piscivora dan pemakan lain-lain (Gladfelter and Gladfelter 1978 diacu dalam Lowe RH and McConnel 1987).

Berdasarkan waktu aktivitasnya, ikan karang dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar (Suharti 2006), yaitu:

1) Diurnal, yaitu kelompok ikan yang aktif berinteraksi dan mencari makan pada siang hari. Kurang lebih 75% dari ikan yang hidup di perairan karang termasuk ikan yang bersifat diurnal. Sebagian dari ikan ini berwarna sangat menarik, contohnya adalah ikan cina-cina (Labridae), ikan betok (Pomacentridae), ikan nona manis (Serranidae), ikan kepe-kepe (Chaetodontidae), ikan enjil (Pomacanthidae), dan lain-lain.

2) Nocturnal, yaitu kelompok ikan yang aktif berinteraksi dan mencari makan pada malam hari. Sekitar 10% dari ikan karang bersifat nocturnal. Ikan yang bersifat nocturnal biasanya bersembunyi di celah-celah karang atau gua karang sepanjang siang hari dan akan muncul ke permukaan air untuk mencari makan pada malam hari. Contoh dari jenis ikan nocturnal adalah ikan beseng (Apogonidae), ikan swanggi (Holocentridae) dan lain-lain.

(9)

Berkaitan dengan migrasi atau perpindahan ikan karang, Mawardi (1998) mengelompokkan pergerakan ikan karang menjadi tiga macam, yaitu:

1) Pergerakan vertikal pada kolom air, merupakan tipikal ikan pemakan plankton (planktivorus fishes). Pergerakannya bertujuan mencari makan di kolom air dan istirahat pada terumbu karang.

2) Pergerakan antara struktur karang, biasanya ikan bergerak dari tempat istirahat ke tempat mencari makan pada bagian terumbu karang. Pada ikan tertentu waktu dan rute pergerakan ini dapat diperkirakan.

3) Pergerakan meninggalkan terumbu karang, biasanya adalah ikan yang tampak pada terumbu karang saat tidak aktif mencari makan dan pergi menjauh saat aktif mencari makan. Semua ikan dalam kelompok ini termasuk ikan yang bersifat nocturnal dan predator.

Ikan karang pada umumnya hidup menetap atau relatif tidak berpindah dari habitat asalnya dan jarang berkeliaran jauh dari sumber makanan dan tempat berlindungnya. Hal tersebut dapat dikarenakan banyak ikan karang yang bersifat teritorial. Batas teritorialnya dapat didasarkan atas persediaan makanan, pola berkembang biak, banyaknya pemangsa, kebutuhan ruang atau lain sebagainya (Romimohtarto dan Juwana 2005).

2.7 Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan

Teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan adalah suatu upaya terencana dalam menggunakan alat tangkap yang bertujuan untuk mengelola sumberdaya ikan secara berkesinambungan dalam meningkatkan kualitas hasil tangkapan tanpa mengganggu atau merusak kondisi habitat sumberdaya sekitar. Pengembangan teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan perlu diarahkan agar dapat menunjang pembangunan perikanan. Oleh karena itu, diperlukan adanya kriteria-kriteria teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, serta pengawasan atas penerapan kriteria-kriteria tersebut di lapangan (Martasuganda 2002).

Hal-hal penting yang harus diperhatikan agar dapat memenuhi kriteria teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan (Martasuganda 2002) antara lain adalah:

(10)

1) mengutamakan keselamatan awak kapal di atas segala-galanya, baik pada waktu operasi penangkapan ikan maupun dalam menangani hasil tangkapan; 2) melepaskan kembali hasil tangkapan yang belum layak tangkap pada habitat

perairan yang dilindungi;

3) menjaga lingkungan sekitar di mana kita berada.

Dalam mendukung teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan, diperlukan juga alat penangkap ikan yang ramah lingkungan. Alat tangkap ramah lingkungan merupakan jenis teknologi penangkapan ikan yang tidak merusak ekosistem dan layak untuk dikembangkan. Suatu alat tangkap dapat dikatakan ramah lingkungan apabila memenuhi sembilan kriteria, antara lain (Baskoro 2006):

1) Memiliki selektivitas yang tinggi;

2) Tidak merusak habitat ikan target penangkapan; 3) Menghasilkan ikan berkualitas tinggi;

4) Tidak membahayakan nelayan saat pengoperasian alat; 5) Hasil tangkapan aman dikonsumsi;

6) By-catch rendah;

7) Dampak ke biodiversity rendah;

8) Tidak membahayakan ikan yang dilindungi; 9) Diterima secara sosial.

2.8 Analisis Teknik

Analisis teknik terhadap unit penangkapan muroami dilakukan untuk melihat hubungan faktor-faktor teknik yang mempengaruhi kelestarian alam, terutama terumbu karang dan sumber daya ikan karang, yaitu desain, konstruksi, metode penangkapan dan hasil tangkapan per upaya penangkapan (catch per unit effort) atau CPUE alat tangkap muroami. Penilaian aspek teknik dilakukan terhadap (Sparre and Venema 1999):

1) Komposisi hasil tangkapan per tahun; 2) Upaya penangkapan (effort);

(11)

2.9 Analisis Biologi

1) Hubungan panjang-bobot

Analisis hubungan panjang-bobot bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan dengan menggunakan parameter panjang dan bobot. Effendie (1997) menyatakan bahwa jika panjang dan bobot diplotkan dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan W = aLb (W = bobot, L = panjang, a dan b adalah suatu konstanta). Nilai b berfluktuasi antara 2,5 dan 4,0 tetapi kebanyakan mendekati 3,0 karena pertumbuhan mewakili peningkatan dalam tiga dimensi, sedangkan pengukuran panjang diambil dari satu dimensi. Nilai b yang merupakan konstanta adalah harga pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan.

Hubungan ini juga memungkinkan untuk membandingkan individu dalam satu populasi maupun antar populasi (Lagler et al. 1977). Nilai b = 3 menggambarkan pertumbuhan isometrik, yang akan mencirikan ikan mempunyai bentuk tubuh yang tidak berubah atau pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan bobotnya (Ricker 1975). Nilai b ≠ 3 menggambarkan pertumbuhan allometrik. Jika b < 3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus dimana pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan bobotnya. Jika b > 3 menunjukkan pertumbuhan bobot lebih cepat dari pertumbuhan panjangnya (Effendie 1997).

Hubungan panjang-bobot digambarkan dalam dua bentuk yaitu isometrik dan alometrik (Effendie 1997). Untuk kedua pola ini berlaku persamaan:

Jika dilinearkan melalui transformasi logaritma, maka diperoleh persamaan:

Untuk mendapatkan parameter a dan b, digunakan analisis regresi linier sederhana dengan Log W sebagai ‟y‟ dan Log L sebagai ‟x‟.

Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji-t, dengan hipotesis : H0 : b = 3, hubungan panjang dengan bobot adalah isometrik

(12)

2.10 Analisis Bio-teknik

Analisis bio-teknik digunakan untuk menduga stok atau potensi sumberdaya ikan, serta untuk mengetahui kondisi optimum dari tingkat upaya penangkapan. Metode yang digunakan adalah metode surplus produksi. Metode ini bertujuan untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan tangkapan maksimum yang lestari (maksimum suistainale yield) tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang. Hasil tangkapan maksimum lestari dilakukan dengan cara menganalisis hubungan antara upaya penangkapan (effort) dengan hasil tangkapan per upaya penangkapan (catch per unit effort) (Fauzi 2006).

Perubahan stok ikan pada periode tertentu ditentukan oleh populasi pada awal periode. Jika pertumbuhan populasi ikan (x) pada periode t pada suatu daerah terbatas adalah fungsi dari jumlah awal populasi tersebut. Maka secara matematik, hubungan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut (Fauzi 2006):

atau dalam bentuk fungsi yang kontinyu ditulis sebagai:

Fungsi pertumbuhan pada persamaan diatas disebut sebagai density dependent growth. Salah satu bentuk fungsi density dependent yang sederhana dan sering digunakan adalah model pertumbuhan logistik (logistic growth model). Fungsi logistik tersebut secara matematis ditulis sebagai berikut (Fauzi 2006):

Keterangan:

= laju pertumbuhan

r = laju pertumbuhan intrinsik (intrinsic growth rate) x = stok ikan

K = daya dukung lingkungan (carrying capacity)

Gambar 3 memperlihatkan fungsi pertumbuhan logistik serta plot stok terhadap waktu beserta perilaku pencapaian ke arah daya dukung maksimum lingkungan. Pada kondisi keseimbangan (laju pertumbuhan sama dengan nol), tingkat populasi akan sama dengan daya dukung lingkungan. Sedangkan

(13)

pertumbuhan maksimum akan terjadi pada kondisi setengah dari daya dukung lingkungan tersebut (½ K). Tingkat ini disebut juga sebagai maximum sustainable yield (MSY).

Gambar 3 Kurva pertumbuhan logistik (Fauzi 2006)

Kurva pertumbuhan ikan tersebut dibangun dengan asumsi perikanan tidak mengalami eksploitasi. Untuk mengeksploitasi ikan di suatu perairan dibutuhkan berbagai sarana yang merupakan faktor masukan. Faktor tersebut biasa disebut sebagai upaya atau effort dalam litelatur perikanan. Upaya (effort) adalah indeks dari berbagai input seperti tenaga kerja, kapal, alat tangkap dan lain sebagainya, yang diperlukan untuk suatu aktivitas penangkapan ikan. Sedangkan produksi (h) yang merupakan output dari upaya, dapat diasumsikan sebagai fungsi dari upaya (E) dan stok ikan (x). Secara matematis, hubungan fungsional tersebut ditulis sebagai berikut (Fauzi 2006):

Keterangan: h = produksi

q = koefisien kemampuan tangkap (catchability coefficient) x = stok ikan

E = Upaya penangkapan (effort)

Kegiatan penangkapan menyebabkan terjadinya pengurangan stok populasi ikan yang pada akhirnya merangsang populasi ikan untuk meningkatkan pertumbuhan, survival dan rekruitment. Pertumbuhan populasi tersebut merupakan selisih antara laju pertumbuhan biomassa dengan perolehan hasil

x

½ K K

0

(14)

tangkapan. Dengan adanya aktivitas penangkapan atau produksi, persamaan (3) akan menjadi (Fauzi 2006):

Pengaruh introduksi penangkapan ikan terhadap fungsi pertumbuhan biologi stok ikan dapat dilihat pada Gambar 4. Dari gambar tersebut terlihat beberapa hal yang menyangkut dampak dari aktivitas penangkapan terhadap stok. Pertama, saat tingkat upaya sebesar E1 diberlakukan, maka akan diperoleh jumlah

tangkapan sebesar h1. Kemudian jika upaya dinaikkan sebesar E2 (E 2 > E1), hasil

tangkapan akan meningkat sebesar h2 (h2 > h1). Tetapi jika upaya terus dinaikkan,

misalnya sebesar E3 (E3 > E2 > E1), akan terlihat bahwa untuk tingkat upaya di

mana E3 > E2 ternyata tidak menghasilkan tangkapan yang lebih besar (h3 < h2).

Dari Gambar 4 dapat disimpulkan bahwa eksploitasi tersebut tidak efisien secara ekonomi, karena tingkat produksi yang lebih sedikit harus dilakukan dengan tingkat upaya yang lebih besar.

Gambar 4 Pengaruh aktivitas penangkapan terhadap stok (Fauzi 2006)

Menurut Fauzi (2006), Model Gordon-Schaefer dikembangkan berdasarkan produksi lestari di mana kurva pertumbuhan dalam kondisi keseimbangan jangka

x h = qxE2 h = qxE1 h = qxE3 F(x) h3 h2 h1

(15)

panjang (long run equilibrium) atau . Dengan demikian, dalam kondisi keseimbangan, persamaan (5) berubah menjadi:

Kemudian dengan mensubstitusikan persamaan (6) ke dalam persamaan (4) maka akan diperoleh fungsi tangkapan atau produksi lestari yang ditulis dalam bentuk persamaan:

Dari Gambar 5 terlihat bahwa jika tidak ada aktivitas perikanan (effort = 0), maka produksi juga akan bernilai nol. Ketika upaya terus dinaikkan, pada titik EMSY akan diperoleh produksi yang maksimum. Produksi pada titik ini disebut

sebagai titik maximum sustainable yield (MSY). Karena sifat dari kurva yield-effort yang berbentuk kuadratik, peningkatan upaya yang terus-menerus setelah melewati titik EMSY tidak akan diiringi dengan peningkatan produksi. Produksi

akan turun kembali, bahkan mencapai nol pada titik upaya maksimum (Emax).

Gambar 5 Kurva produksi lestari-upaya (Yield-effort curve) (Fauzi 2006)

Effort

EMSY Emax

hMSY

(16)

Dengan membagi kedua sisi dari fungsi produksi lestari (persamaan 7) dengan effort (E), maka akan diperoleh persamaan berikut:

jika nilai

maka:

Keterangan:

U = catch per unit effort (CPUE) α = nilai intersep

β = koefisien regresi

E = upaya penangkapan (effort)

nilai MSY diperoleh dengan menurunkan kurva yield-effort terhadap effort (E) atau :

dengan mensubstitusikan persamaan (10) ke dalam persamaan (9), maka diperoleh:

Stok ikan dalam keadaan keseimbangan (xMSY) dapat dihitung dengan

(17)

Menurut Fauzi (2006), model fungsi produksi lestari dari Schaefer memiliki kelemahan secara metodologi dan analisis, karena parameter r, q dan K tersembunyi dalam nilai α dan β. Oleh karena itu model Gordon-Schaefer perlu dimodifikasi dengan menggunakan teknik estimasi parameter biologi (r, q dan K) dengan menggunakan pendekatan model Algoritma Fox. Para meter biologi (r, q dan K) tersebut diperoleh dengan meregresikan persamaan berikut:

Gambar

Gambar 2  Muroami saat dioperasikan.
Gambar 4  Pengaruh aktivitas penangkapan terhadap stok  (Fauzi 2006)
Gambar 5  Kurva produksi lestari-upaya (Yield-effort curve)  (Fauzi 2006)

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan ikan ekor kuning dapat dilakukan dengan pengaturan upaya penangkapan, penutupan beberapa pulau dari aktivitas penangkapan, pengaturan membatasi musim

Menjelaskan penangkapan ikan dengan berbagai alat tangkap. Mengoperasikan alat tangkap pancing

Upaya penangkapan ikan nilem di Waduk Cirata menggunakan alat tangkap jaring dinding, jala tebar dan pancing, namun dari ketiga alat tangkap tersebut jaring dinding

Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan identifikasi sumberdaya ikan dan mengkaji sebaran spasial daerah penangkapan ikan dengan alat tangkap jaring insang ( Gillnet

Kemudian alat tangkap aktif yaitu alat tangkap yang dioperasikan bergerak untuk menangkap ikan Ayodhyoa, 1981 Menurut von Brandt 1964 penangkapan ikan dengan jala adalah menyungkup

Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui teknologi alat tangkap, jumlah hasil tangkapan, musim penangkapan, komposisi jenis, dan distribusi ukuran ikan berparuh yang

Beberapa ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi upaya tangkap lebih adalah waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan

1) Operasi penangkapan diawali dengan scouting atau pencarian gerombolan ikan dengan melihat tanda-tanda keberadaanya seperti warna perairan, lompatan ikan cakalang, buih