• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber: Gambar 1 Ikan tuna sirip kuning ( Thunnus albacares)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber: Gambar 1 Ikan tuna sirip kuning ( Thunnus albacares)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Umum Madidihang (Thunnus albacares) 2.1.1 Klasifikasi dan deskripsi

Ikan tuna sirip kuning atau madidihang (Thunnus albacares) merupakan ikan pengembara samudera, mengarungi samudera dengan bergerombol. Madidihang merupakan perenang cepat karena bentuk tubuhnya yang dinamis. Madidihang dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1 Ikan tuna sirip kuning ( Thunnus albacares)

Menurut Ditjen (1990) ikan tuna sirip kuning atau madidihang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Pisces Ordo : Percomorphi Famili : Scombridae Genus : Thunnus

Spesies : Thunnus albacares

Madidihang memiliki ciri-ciri yaitu bentuk badan yang memanjang, bulat seperti cerutu. Tapisan insang 26-34 pada busur insang pertama. Memiliki dua cuping/lidah di antara kedua sirip perutnya. Jari-jari keras sirip punggung pertama 13-14, dan 14 jari-jari lemah pada sirip punggung kedua, diikuti 8-10 jari sirip tambahan. Kemudian sirip dubur berjari-jari lemah 14-15, lalu 7-10 jari-jari sirip tambahan. Satu lunas kuat pada batang sirip ekor diapit dua lunas kecil pada

   

(2)

ujungnya. Untuk jenis-jenis dewasa, sirip punggung kedua dan dubur tumbuh sangat panjang, sirip dada cukup panjang. Badan bersisik kecil-kecil, korselet (jalur sisik khusus yang mengelilingi badan di daerah sekitar sirip dada) bersisik agak besar tetapi tidak nyata. Termasuk ikan buas, predator, karnivor, dapat mencapai 195 cm, umumnya 50-150 cm, hidup bergerombol kecil (Ditjen, 1990).

Warna tubuh madidihang bagian atas berpadu antara hitam dan keabu-abuan, kuning perak pada bagian bawah, sirip-sirip punggung, perut. Sirip tambahan kuning cerah berpinggiran gelap. Pada perut terdapat kurang lebih 20 garis putus-putus warna putih pucat melintang (Ditjen,1990).

2.1.2 Habitat dan daerah penyebaran

Setiap jenis ikan tuna mempunyai kebiasaan/kesukaan pada suhu air laut yang berbeda-beda, sehingga untuk menentukan daerah penangkapan tuna harus disesuaikan dengan suhu air sesuai dengan jenis ikan tuna yang akan ditangkap, sedangkan madidihang menyukai suhu perairan yang hangat seperti laut tropis (Partosuwiryo, 2008).

Beberapa jenis tuna lainnya seperti bluefin sering dijumpai pada laut subtropis dan laut dengan suhu seperti di Samudera Pasifik Utara dan Samudera Atlantik Utara, sedangkan daerah ruaya bluefin biasanya melalui Samudera Atlantik. Pada bigeye banyak ditemukan pada perairan bersuhu hangat di Atlantik dan Samudera Pasifik. Ikan tuna jenis ini memiliki sifat begerombol, ikan pelagis besar, diperkirakan spesies ini pada musim migrasi dapat melakukan perjalanan yang panjang untuk mencapai tempat yang cocok untuk makan dan berkembang biak. Gerombolan bigeye biasanya berenang pada lautan dalam pada siang hari, sedangkan gerombolan madidihang, bluefin, dan jenis tuna lainnya berenang pada permukaan perairan tepatnya pada perairan bersuhu hangat (Schultz, 2004).

Menurut Laevastu (1981), daerah penangkapan tuna yang baik terdapat pada samudera di sekitar garis khatulistiwa dengan kondisi laut yang memiliki pergolakan arus dari bawah laut menuju permukaan dimana banyak membawa makanan untuk ikan-ikan kecil. Pada Gambar 2 akan disajikan hubungan antara suhu air laut (oC) dengan suhu adaptasi beberapa jenis tuna.

(3)

Keterangan : = Suhu (oC) penyebaran = Suhu (oC) penangkapan

= Suhu (oC) optimum untuk penangkapan Gambar 2 Hubungan suhu air laut dengan suhu adaptasi beberapa jenis tuna

Penyebaran madidihang di Indonesia sendiri terletak pada bagian barat Samudera Pasifik Tengah, Laut Banda, kemudian Laut Sulawesi, Samudera Indonesia, lalu Selat Sunda, Laut Maluku, Barat Sumatera, dan Samudera Hindia (Ditjen,1990).

2.2 Sifat Alami Madidihang Segar

Sebagai sumber pangan, madidihang mengandung air dalam deret 70 sampai 80%, protein antara 18% sampai 20%, lemak antara 0,5% sampai lebih dari 20%, serta berbagai vitamin dan mineral. Sesudah ditangkap dan mati, secara keseluruhan madidihang akan mengalami proses penurunan mutu (proses deteriorasi), baik disebabkan oleh faktor-faktor intern (dalam tubuh madidihang) maupun faktor ekstern (lingkungan) yang menjurus pada penurunan mutu (Ilyas, 1983).

Mengingat ikan tuna segar khususnya madidihang mempunyai mutu yang sangat labil, maka untuk mempertahankan kesegaran awal selama mungkin, maka penangananya harus tangkas, cepat dan teliti, kemudian ikan secepatnya didinginkan dengan cara menyelimuti tubuh ikan dengan es hancuran (crush iced) atau es kepingan (flake iced). Pada kapal-kapal yang yang dilengkapi sistem

10o C 15o C 20o C 25o C 30o C 35o C

Bluefin 

Bigeye 

Madidihang 

(4)

pendinginan air laut dingin (chilled sea water) ikan segera dicelupkan dan disimpan dalam palka air laut dingin. Biasanya setiap kapal dilengkapi dengan alat pengontrol suhu sehingga suhu di palka dapat diatur sedemikian rupa sekitar 0oC (Bahar & Bahar,1991).

2.3 Definisi Mutu

Mutu merupakan totalitas dari karakteristik suatu produk yang menunjang kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan yang dispesifikasikan. Mutu sering diartikan sebagai segala sesuatu yang memuaskan pelanggan terhadap persyaratan atau kebutuhan yang diberikan oleh pelanggan (Gaspersz, 1997). Menurut Nasution (2004), mutu adalah sesuatu yang memenuhi atau sama dengan persyaratan (conformance to recuirements). Komoditas ikan yang sedikit saja dari persyaratan, maka dapat dikatakan tidak berkualitas dan dapat ditolak oleh perusahaan yang menjadi tujuan distribusi. Persyaratan itu sendiri dapat berubah sesuai dengan keinginan pelanggan, dan kebutuhan sebuah perusahaan.

2.3.1 Penentuan mutu tuna layak ekspor

Ikan tuna dalam perdagangannya dikelompokkan menurut standar atau mutu daging yang terbagi menjadi empat tingkat mutu yaitu grade A, B, C, dan D. Pengujian tingkatan mutu ikan dilakukan dengan cara menusukkan coring tube yaitu suatu alat berbentuk batang, tajam, dan terbuat dari besi. Coring tube dimasukkan pada kedua sisi ikan (bagian belakang sirip atau ekor kanan dan kiri, sehingga didapatkan potongan daging ikan tuna. Mutu dengan grade A (terbaik) diekspor ke Jepang, grade B dan C biasanya diekspor ke Amerika dan Uni Eropa, sedangkan grade C dan D dipasarkan lokal. Ciri-ciri untuk masing-masing grade adalah sebagai berikut (Fadly diacu dalam Cahya, 2010):

1 Grade A

Ciri-ciri ikan tuna grade A adalah sebagai berikut:

1) Warna daging untuk madidihang tuna adalah merah seperti darah segar dan untuk bigeye tuna dagingnya berwarna merah tua seperti bunga mawar, serta tidak ada pelangi;

(5)

2) Mata bersih, terang, dan menonjol; 3) Kulit normal, warna bersih, dan cerah;

4) Tekstur daging untuk madidihang tuna keras, kenyal, dan elastis dan untuk bigeye tuna dagingnya lembut, kenyal dan elastik;

5) Kondisi ikan (penampakannya) bagus dan utuh. 2 Grade B

Ciri-ciri ikan tuna grade B adalah sebagai berikut:

1) Warna daging merah, terdapat pelangi otot daging agak elastis, jaringan daging tidak pecah;

2) Mata bersih, terang dan menonjol;

3) Kulit normal, bersih, dan sedikit berlendir; 4) Tidak ada kerusakan fisik.

3 Grade C

Ciri-ciri ikan tuna grade C adalah sebagai berikut: 1) Warna daging kurang merah dan ada pelangi; 2) Kulit normal dan berlendir;

3) Otot daging kurang elastis;

4) Kondisi ikan tidak utuh atau cacat, umumnya pada bagian punggung atau dada. 4 Grade D

Cirri-ciri ikan tuna grade D adalah sebagai berikut:

1) Warna daging agak kurang merah dan cenderung berwarna coklat dan pudar; 2) Otot daging kurang elastis, lemak sedikit dan ada pelangi;

3) Teksturnya lunak dan jaringan daging pecah;

4) Terjadi kerusakan fisik pada tubuh ikan, seperti daging ikan yang sudah sobek, mata ikan yang hilang, dan kulit terkelupas.

2.4 Kapal Penangkap Madidihang di PPN Palabuhanratu

Ikan tuna sirip kuning atau lebih dikenal dengan madidihang merupakan ikan komoditas unggulan yang memiliki nilai ekonomis tinggi di pasar internasional, hal ini karena madidihang sangat diminati oleh negara-negara maju, tidak terkecuali dengan negara yang berjulukan negeri sakura yaitu Jepang.

(6)

Penangkapan besar-besaran tidak dapat dihindari oleh kapal-kapal penangkap madidihang baik dari ukuran 10 GT maupun kapal yang berukuran 250 GT.

PPN Palabuhanratu memiliki dua kapal penangkap utama ikan tuna sirip kuning (madidihang), yaitu kapal long line dan kapal pancing tonda. Kedua kapal tersebut sangat mendominasi dalam mendaratkan hasil tangkapan seperti madidihang ke PPN Palabuhanratu.

2.4.1 Kapal long line

1 Deskripsi kapal long line

Menurut Partosuwiryo (2008) kapal rawai tuna atau kapal long line adalah kapal yang dipergunakan untuk menangkap ikan tuna menggunakan pancing (Lampiran 4), seperti ikan tuna sirip kuning, tuna mata besar, marlin, albakor, tuna sirip biru, dan ikan layaran. Pengoperasian kapal long line dilakukan di daerah perairan laut yang dalam dan lepas pantai atau samudera (lautan lepas), selain melakukan kegiatan penangkapan, kapal rawai tuna juga berfungsi sebagai kapal pengangkut ikan.

Pengoperasian kapal long line berlangsung kurang lebih selama 40-70 hari operasi atau lebih sehingga kapal long line memerlukan fasilitas anak kapal (ruang akomodasi). Dalam rancang bangunan kapal (ruang akomodasi). Dalam rancang bangun kapal long line terdapat ruang gudang peralatan (boatsman store) di bagian haluan kapal, ruang akomodasi anak kapal di bagian buritan, dan ruang penanganan hasil tangkapan ikan di bagian tengah kapal. Kapal long line dilengkapi dengan ruang pendingin atau penyimpan ikan bersuhu mencapai – 60oC untuk menjamin kesegaran ikan dalam periode waktu yang cukup lama. Ukuran kapal-kapal rawai tuna yang beroperasi di daerah perkapan perairan laut Indonesia berkisar 100-250 GT (Partosuwiryo, 2008).

Pada bagian kanan depan terdapat line hauler dan jembatan bertangga untuk memudahkan pengangkatan ikan ke atas. Setelah penarikan gulungan tali ditempatkan pada dek bagian muka bersama pelampung. Meja ikan hasil tangkapan diletakkan pada bagian buritan dimana tali dipasang (Fyson, 1985).

(7)

2 Umpan dan alat tangkap

Sebelum kegiatan penangkapan dimulai yang perlu diperhatikan ialah adanya umpan. Umpan ini terdiri dari ikan-ikan berukuran sekitar 15 cm atau kadang lebih, seperti lemuru (Sardinella longicep), belanak (Mullet), layang (Decapterus spp), kembung (Rastrelliger spp), bandeng (Chanos-chanos), Pasifik Saury (Cololabis saira). Untuk umpan-umpan yang baik umumnya bercirikan penampang bulat atau gilik dan memiliki warna mengkilat menarik (Subani & Barus, 1989).

Menurut (Partosuwiryo, 2008) bagian-bagian alat tangkap kapal long line secara umum (Lampiran 6) adalah sebagai berikut :

1) Tali utama

Tali utama adalah tempat bergantungnya tali cabang. Tali utama harus dibuat dari bahan yang kuat. Biasanya dipergunakan kuralon atau kremon dengan ukuran garis tengah 8 mm.

Tali utama pada tiap-tiap pancing untuk rawai besar merupakan tali tersendiri yang nantinya disambung-sambung. Pada rawai kecil, panjang satu tali utama dapat mencapai ratusan meter. Batas antartali cabang dapat dibuat simpul kupu-kupu sebagai tempat bergantungnya tiap-tiap tali cabang. Pada rawai besar satu tali utama hanya berisi satu pancing, sedangkan pada rawai kecil, satu tali utama dapat berisi berpuluh-puluh tali pancang (pancing).

2) Tali cabang

Panjang tali cabang tidak boleh dari setengah kali panjang tali utama atau jarak antara tali cabang yang menggantung pada tali utama. Hal tersebut bertujuan agar tidak terjadi saling kait (kekusutan) antar tali cabang. 3) Pancing

Ukuran pancing yang digunakan adalah pancing nomor 04, 05, dan 06 untuk rawai kecil, sedang rawai besar digunakan pancing nomor 01-03. Pancing terbuat dari baja dan dilapisi timah putih.

4) Tali pelampung

Panjang tali pelampung disesuaikan dengan kedalaman yang diinginkan selama operasi. Pada rawai besar yang operasinya di lapisan

(8)

permukaan, panjang tali pelampung kurang lebih 15-30 m. Pada rawai yang dioperasikan di lapisan dasar, biasanya digunakan rawai kecil, panjang tali pelampunya disesuaikan dengan kedalaman perairan tempat rawai tersebut dioperasikan.

5) Pelampung

Bahan pelampung yang baik terbuat dari bola kaca, oleh karena itu biasanya disebut pelampung kaca atau glass buoy. Bahan pelampung lain yang digunakan, yaitu pelampung berbahan polyethylene (PE). Ukuran garis tengah untuk pelampung kaca 30-35 cm dan tebal kaca 5-7 mm.

6) Tiang bendera

Pada pelampung umunya diikatkan bendera yang berwarna kontras dengan keadaan di laut (biasanya merah) untuk mengetahui keberadaan pelapung diperairan setelah rawai dioperasikan. Untuk mengikatkan bendera tersebut diperluklan tiang, umunya dari bambu sehingga sering disebut tiang bendera atau bamboo pole. Panjang tiang bendera kurang lebih 5-7 m dengan ukuran garis tengah pada pangkal bambu 3-3,5 cm. Bendera diikatkan pada ujung bambu.

7) Kili-kili

Pemasangan kili-kili (swivel) pada rawai adalah suatu keharusan. Hal tersebut bertujuan agar tali utama maupun rangkaian tali cabang tidak membelit (kusut). Fungsi kili-kili sebagai pemberat dan tali cabang tidak mudah putus.

8) Pemberat

Pemberat dipasang pada bagian bawah tiang bendera. Tujuan pemasangan pemberat agar bendera dan pelampung tanda dapat berdiri tegak karena mengimbangi gaya apung yang ada.

3 Metode penangkapan

1) Pelepasan rawai

Sebelum melakukan operasi penangkapan, seluruh perlengkapan harus dipersiapkan. Basket-basket diatur dengan rapi dan ditempatkan sedemikian rupa, begitu juga pelampung, bendera, umpan, dan perlengkapan lain. Umumnya, satu set rawai disebut dengan satu basket. Istilah basket telah menjadi istilah umum

(9)

alat penangkapan menggunakan rawai yang menyatakan jumlah rawai satu set dengan jumlah pancing tertentu. Kata basket dapat pula berarti keranjang, hal tersebut mungkin karena setelah opersai selesai, rawai digulung dan diangkat, kemudian dimasukkan ke dalam keranjang. Tiap-tiap set diikat sehingga satu ikatan rawai disebut satu basket (Partosuwiryo, 2008).

Setelah persiapan selesai, langkah selanjutnya adalah Anak Buah Kapal (ABK) mengambil posisi masing-masing sesuai dengan tugasnya, sementara itu kecepatan kapal dikurangi 3-4 mil/jam, lalu diikuti dengan pelepasan pancing. Secara garis besar kegiatan pelepasan pancing adalah sebagai berikut : mula-mula pelampung dan tiang bendera dilepas beserta tali pelampungnya, kemudian tali utama dan akhirnya tali cabang yang diikuti mata pancing yang telah diberi umpan. Tali utama tersebut kemudian dilepas dan begitu seterusnya sampai yang terakhir untuk disambungkan dengan satuan rawai berikutnya melalui tali sepotong (Subani & Barus, 1989).

2) Penarikan rawai

Penarikan rawai dilakukan 5-6 jam kemudian setelah pelepasan pancing. Biasanya dimulai jam 12.00 dan selesai menjelang matahari terbenam. Penarikan pancing dilakukan dari bagian depan kapal dengan bantuan alat penarik (line hauler) dalam melakukan penarikan ini dibagi juga menjadi beberapa kegiatan seperti halnya pada waktu pelepasan dan merupakan suatu sistem yang satu dengan lainnya berkaitan erat dan seirama. Secara garis besar kegiatan penarikan pancing secara berurut dimulai dari tiang bendera, pelampung, tali pelampung serta pemberat diangkat ke atas geladak kapal, lalu tali utama, tali cabang, beserta mata pancing dan begitu seterusnya sampai keseluruhan satuan pancing terangkat ke atas geladak kapal. Pada mata pancing ada ikan yang tertangkap, pengambilan ikan ke geladak kapal biasanya dilakukan oleh tiga orang, tergantung besar kecilnya ikan yang tertangkap (Subani & Barus, 1989).

2.4.2 Kapal pancing tonda

1 Dekripsi kapal pancing tonda

Perahu yang digunakan oleh nelayan pancing tonda di Palabuhanratu (Lampiran 5) adalah perahu tempel dari jenis congkreng (bercadik) yang memiliki

(10)

panjang 6 m dan terbuat dari bahan kayu (Nugroho, 2002). Sedangkan Pancing tonda umumnya dioperasikan dengan perahu kecil, jumlah nelayan yang mengoperasikannya sebanyak 4-6 orang yang terdiri dari satu orang nahkoda merangkap fishing master, satu orang juru mesin 2-4 orang ABK yang masing-masing mengoperasikan satu atau lebih pancing pada saat operasi penangkapan berlangsung. Pada umumnya panjang perahu berkisar antara 5-20 m, dengan ruang kemudi di bagian haluan kapal dan dek tempat bekerja berada pada di bagian buritan kapal (Sainsburry, 1971).

2 Umpan dan alat tangkap

Pada umumnya ikan mendeteksi mangsa melalui reseptor yang dimilkinya, dan hal ini bergantung pada jenis reseptor tertentu yang mendominasi pada jenis ikan tersebut. Oleh karena itu, pemilihan umpan disesuaikan dengan kesukaan makan ikan sasaran, dengan mempertimbangkan kemampuan ikan mendeteksi makanan (Gunarso, 1985). Pada umumnya umpan pancing tonda menggunakan umpan tiruan, umpan palsu (imitation bait). Tetapi ada pula yang menggunakan umpan benar (true bait) yaitu: bulu ayam, bulu domba, kain-kain berwarna menarik, bahan dari plastik, umpan berbentuk ikan seperti cumi-cumi, ikan-ikanan, dan lain-lain (Subani & Barus, 1989)

Umpan pada pancing tonda dapat dibagi menjadi dua, umpan alami dan umpan buatan. Penggunaan umpan alami pada pancing tonda sangatlah jarang sekali dilakukan, hal ini dikarenakan oleh sifat dari umpan alami yang mudah lepas dan mudah rusak oleh gerakan air selama operasi penangkapan ikan berlangsung (Gunarso, 1985). Menurut Handriana (2007) sifat umpan alami memiliki banyak kekurangan sehingga para nelayan lebih memilih menggunakan umpan buatan dalam operasi penangkapan ikan dengan pancing tonda. Dasar pemikiran penggunaan umpan buatan adalah:

1) Harga relatif murah; 2) Dapat dipakai berulang-ulang;

3) Dapat disimpan dalam waktu yang lama; 4) Warna dapat memikat ikan;

(11)

Pancing tonda adalah alat tangkap ikan yang terdiri dari seutas tali panjang, mata pancing dan umpan. Pancing ditarik di belakang perahu motor atau kapal yang sedang bergerak maju. Pancing yang ditarik umumnya dikenal dengan pancing tonda atau troll line. Penangkapan dengan menggunakan pancing tonda dapat dilakukan dengan berlayar mencari kawanan ikan, atau dapat juga dilakukan sekitar rumpon (Subani & Barus, 1989).

Menurut Gunarso (1985) pancing tonda adalah alat penangkap ikan yang dioperasikan secara aktif dengan cara ditarik oleh perahu motor atau kapal kecil. Pancing tonda (pancing tarik) merupakan alat tangkap tradisional yang bertujuan untuk menangkap jenis-jenis ikan pelagis seperti tuna, cakalang, dan tongkol yang biasa hidup dekat dengan permukaan dan mempunyai nilai ekonomis tinggi dengan kualitas daging yang tinggi.

Menurut Handriana (2007) satu unit pancing tonda terdiri atas:

1) Tali pancing yang terbuat dari polyamide (PA) monofilament No. 60 dengan panjang 40 m per unit;

2) Mata pancing No. 7 atau 8 yang terbuat dari bahan besi sebanyak tiga buah yang diikat menjadi satu, menggunakan simpul tipe doubel sheet band; 3) Penggulung tali dari bahan plastik dan kayu waru;

4) umpan buatan.

3 Metode penangkapan

1) Operasi penangkapan diawali dengan scouting atau pencarian gerombolan ikan dengan melihat tanda-tanda keberadaanya seperti warna perairan, lompatan ikan cakalang, buih diperairan, gerombolan ikan lumba-lumba bahkan pada umumnya gerombolan ikan dijumpai bersama kayu-kayu maupun benda-benda yang terapung di atas permukaan air (Handriana, 2007).

2) Pengoperasian pancing tonda dimulai dari pagi hingga sore tergantung situasi dan kondisi alam yaitu sekitar pukul 0.5.00-17.00 yang diduga pada saat itu adalah saat dimana ikan cakalang dan tuna bermigrasi untuk mencari makan. Pengoperasiannya dimulai dengan pemasangan alat tangkap (setting) yaitu mengulur alat tangkap perlahan-lahan ke perairan dan mengikat ujung tali pada salah satu ujung kanan atau kiri perahu dengan jarak tertentu (Handriana, 2007)

(12)

3) Selama setting, kecepatan kapal berkisar anatara 1-2 knot. Setelah setting berakhir, tali pancing yang telah direntangkan disisi kanan atau kiri perahu ditarik terus menerus menyusuri daerah penangkapan dengan kecepatan 2-4 knot dengan tujuan umpan buatan yang dipakai bergerak-gerak seperti ikan mangsa. Untuk membuat umpan lebih aktif melayang di perairan, perahu dapat dijalankan dengan arah zig-zag (Handriana, 2007).

4) Setelah umpan dimakan ikan, pemancing memberitahu juru mudi atau nahkoda untuk menaikkan kecepatan perahu. Nahkoda kapal ikan mempercepat laju perahu, dengan tujuan agar ikan yang memakan umpan cepat tersangkut pada mata pancing dan mencegahnya terlepas kembali. Setelah diketahui dengan pasti bahwa ikan ikan tertangkap, nahkoda mengurangi kecepatan perahu kembali ke kecepatan normal. Pada saat inilah penarikan tali pancing bisa dimulai. Salah satu ABK akan menarik pancing tersebut dan menggulung tali pancing pada penggulung. Saat penarikan tali pancing harus sesuai dengan gerakan ikan, bila terlihat ikan melawan maka penarikan dihentikan sejenak, sebaliknya bila ikan terlihat kelelahan maka penarikan dapat diteruskan. Setelah ikan diangkat ke atas perahu maka pancing segera dilepas dari ikan dan pancing tersebut diulurkan kembali ke perairan. Langkah selanjutnya seperti pada setting telah berakhir dan begitu seterusnya sampai mendapatkan ikan kembali (Handriana, 2007).

2.4.3 Perawatan alat tangkap

Sebelum alat tangkap disimpan, dilakukan perawatan. Menurut Partosuwiryo (2008) kegiatan yang dilakukan dalam perawatan alat tangkap sebagai berikut :

1 Bersihkan tali dan pancing dari sisa umpan, darah, maupun kotoran lain. 2 Periksa tali pancing, mungkin ada yang putus. Bila ada, segera diganti atau

disambung, kemudian searah pintalan tali.

3 Alat disimpan di tempat terlindung atau tidak terkena sinar matahari langsung serta terhindar dari minyak dan gangguan tikus, api, dan binatang lain.

4 Perawatan harus dilakukan secara rutin agar alat tangkap lebih awet atau tahan lama dan selalu siap untuk dioperasikan.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini hanya dilakukan pada ikan tuna sirip kuning ( Thunnus albacares ) yang tertangkap di Samudera Hindia dengan alat tangkap rawai tuna ( longline ) dan didaratkan

Sistem dokumentasi ( record keeping ), misalnya dilakukan hanya untuk memenuhi formalitas sertifikasi dari instansi yang berwenang saja dengan penekanan hanya

Berdasarkan data dari elektroforesis allozyme, populasi ikan tuna sirip kuning (T. albacares) yang berasal dari perairan Bali, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara mempunyai Tabel

71 ekor sampel ikan tuna sirip kuning diambil pada bulan September – November 2013 dari pengepul di pantai Prigi, untuk selanjutnya di lakukan pengukuran panjang total,

Dari Tabel 6 terlihat bahwa ukuran minimum ikan tuna sirip kuning yang sudah dapat memijah adalah 9,183 kg dan panjang cagak 82,2 cm.. Menurut Wexler

Hasil analisis keragaman genetik dari 41 individu ikan tuna sirip kuning pada kedua perairan terdapat 33 haplotipe yang berbeda dan 7 haplotipe yang sama dan 1

Hasil analisis yang menemukan bahwa kedekatan jarak genetik, aliran genetik yang kuat dan distribusi haplotipe yang bervariasi menjelaskan bahwa struktur genetik pada populasi

Keadaan kualitas air pemeliharaan induk ikan tuna sirip kuning dalam bak terkontrol dari tahun 2004-2006 dan genotipe yang mempunyai kontribusi memijah terlihat pada Gambar 4.