* ) Peneliti pada Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol
PERKEMBANGAN EMBRIO IKAN TUNA SIRIP KUNING
(Thunnus albacares)
Jhon Hariant o Hut apea* ), Gust i Ngurah Perm ana* ), dan Ret no Andam ari* )
ABST RAK
Pem el i h ar aan i n d u k i k an t u n a si r i p k u n i n g d al am b ak b et o n t el ah b er h asi l dilak uk an di Balai Besar Riset Perik anan Budidaya Laut , Gondol- Bali bek erja sam a dengan Overseas Fishery Cooperation Foundation (OFCF) Jepang. Pem ijahan induk secara alam i juga t elah berhasil. Unt uk m endukung program pem benihan ikan t una, m ak a p er l u d i k et ah u i i n f o r m as i d as ar y an g d i m u l ai d en g an p en g am at an perkem bangan em brio. Telur yang digunakan dalam penelit ian ini berasal dari hasil pem ij ahan secara alam i dari induk - induk yang dipelihara dalam bak bet on. Telur yang t erkum pul dalam kolekt or t elur dipanen lalu diinkubasi dalam bak penet asan bervolum e 200 L yang dilengkapi dengan aerasi dan sist em pergant ian air secara kont inyu. Pengam at an dilakukan dengan m engam bil sam pel t elur dari bak penet asan lalu diam at i di bawah m ikroskop. Hasil penelit ian m enunjukkan bahwa wakt u yang dibut uhkan dari pem ijahan hingga t elur m enet as adalah 18 jam 55 m enit pada suhu air alam i (27oC—28oC).
ABST RACT : Embryonic development of yellowfin tuna eggs. By: Jhon Harianto Hutapea, Gusti Ngurah Perm ana, and Retno Andam ari
Grown up yellowfin tuna to become broodstock in concrete tank is successfully conducted in Research Institute for Mariculture Gondol-Bali under research coop-eration with Overseas Fishery Coopcoop-eration Foundation (OFCF) Japan. Natural spawn-ing is also success. In order to establish seed production program, it is necessary to get basic information started from embryonic development of yellowfin tuna. Research was started by collecting eggs from natural spawning of broodstock. Eggs were transfer from egg collector to 200 L incubation tank which was equipped with aeration and water supply system continuously. Observation of embryonic development was done by collected samples from incubation tank and observed under microscope. Result showed that eggs hatched-out 18 hours 55 minutes after spawning at natural sea water temperature (27oC—28oC).
KEYWORD S: eggs, yellow f in t una, em br yo, developm ent
Slam et et al., 2003). Berdasarkan pengalaman di Jepang dan Panama, maka pemerintah Indo-nesia dan Jepang t elah m erint is riset per-benihan ikan t una sirip kuning di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut , Gondol- Bali. Kerja sama ini dimulai tahun 2001 yang meliputi st udi kelayakan lokasi dan t ahun 2003 t elah m en yel esai k an g ed u n g l ab or at or i u m d an f asi l i t as p en el i t i an b er u p a t an g k i i n d u k , gedung perbenihan, dan segala kelengkap-annya.
Tahun 2003, penangkapan calon induk d i m u l ai d an d ap at b er h asi l d en g an b ai k
PENDAHULUAN
(Hut apea et al., 2003) dem ikian juga dengan pemeliharaan di dalam bak beton. Tahun 2004, beberapa induk t elah berhasil m em ijah pada b u l an Ok t o b er . Nam u n sej ak p em i j ah an t ersebut , hingga awal bulan Agust us 2005 t idak pernah m em ijah lagi sehingga m asih banyak riset yang belum bisa dilakukan, tetapi pada pertengahan bulan Agustus 2005 induk-induk tuna tersebut kembali memijah.
Berdasarkan data yang tersedia, pemijahan ikan t una di Jepang dan Panam a t erjadi pada k ondisi suhu perairan sek it ar 23oC—26oC. Kondisi ini tidak mungkin diperoleh di perairan In d o n esi a d an d al am b ak p em el i h ar aan . Dengan demikian perkembangan embrio telur ikan tuna sirip kuning di Indonesia diduga akan berbeda dengan di wilayah t ersebut di at as. Per k em b an g an em b r i o i n i j u g a d i d u g a t er g an t u n g p ad a su h u ai r p em el i h ar aan . Mengingat ket erbat asan inf orm asi yang ada, m aka dilakukan pengam at an perkem bangan em brio ikan t una sirip kuning dalam kondisi suhu air di Gondol untuk melengkapi data dasar yang sudah ada.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan telur ikan tuna sirip kuning yang diperoleh dari pem ijahan i n d u k s ec ar a al am i d al am b ak b et o n berdiam et er 18 m dan kedalam an 6 m yang set ara dengan volum e 1.500 m3. Pengelolaan induk dilakukan dengan memberi pakan segar berupa ikan layang dan cum i- cum i dengan perbandingan 1:1 pada t ingkat 3%—5% bio-m ass induk per hari sert a dit abio-m bah dengan vit am in kom pleks, vit am in C, dan E sesuai dengan k ebut uhan induk . Pengelolaan air p em el i h ar aan d i l ak u k an d en g an si st em cam puran ant ara 50% air laut langsung yang t el ah m el al u i p en yar i n g an d an 5 0 % ai r resirkulasi yang dilewat kan m elalui saringan biologi.
Unt uk k epent ingan penelit ian ini, t elur dikum pulkan dari bak induk dengan m eng-gunakan serok (saringan bert angkai) set elah m enget ahui induk t elah m em ij ah. Dengan metode ini, telur yang didapatkan masih dalam st ad ia p em b uahan d an b elum m engalam i pembelahan sel. Waktu pemijahan diasumsikan p ula seb agai wak t u p em b uahan sehingga pengamatan perkembangan embrio didasarkan pada waktu pemijahan.
Wadah penelit ian yang digunakan berupa 1 buah bak serat gelas t ransparan berbent uk kerucut dengan volum e 200 L sebagai bak
inkubat or. Bak ini dilengkapi saluran aerasi dengan k ecepat an m edium dan sist em air m engalir (4 L/ m in). Untuk m engatur tinggi air dan m encegah t elur t erbuang, pada bagian t engah bak dipasang saringan dengan m at a jaring 200 µm yang dipasang pada pipa PVC 4 inchi yang dit engahnya juga dipasang pipa PVC 2 inci dengan tinggi sesuai dengan tinggi air yang diharapkan dalam bak. Air laut yang digunakan adalah yang telah melalui saringan pasir dan penyinaran ultra violet. Ke dalam bak tersebut dimasukkan 50.000 butir telur. Untuk pengam atan perkem bangan telur dari dua sel hingga banyak sel, t elur diam bil dar i bak inkubasi lalu ditem patkan dalam gelas Beaker sat u lit er dan pengam at an dilakukan set iap 5 m en i t . Sel an j u t n ya p en g am at an p er k em -bangan em brio dari banyak sel hingga t elur m enet as dilakukan dengan m engam bil t elur dari bak inkubat or dengan jarak pengam at an an t ar a 1 0 —3 0 m en i t sesu ai st ad i a p er -kembangan embrio.
Param et er yang diam at i adalah perkem -bangan stadia embrio dan penghitungan waktu pada set iap st adia. Param et er air yang diukur seb ag ai d at a d uk ung ad al ah g as ok si g en terlarut dan suhu air.
HASIL DAN BAHASAN
Pem ijahan induk t erjadi set elah adanya t anda- t anda t ingkah laku pem ijahan selam a set engah hingga sat u jam . Riset yang sam a j u g a t el ah b er h asi l d i l ak u k an d i Pan am a (Wex ler et al., 2003). Induk m em ijah secara berpasangan. Pemijahan terjadi pada saat induk berenang cepat ke arah permukaan air maupun ke arah dasar bak. Set elah pem ijahan dan pem buahan t erj adi, t elur berbent uk bulat , bening, dan ber sif at m engapung. Dengan b an t u an aer asi d an al i r an ai r , t el u r - t el u r
Pemijahan ikan tuna sirip kuning dalam bak t erkont rol um um nya t erjadi pada sore hari antara pukul 15.00—19.00 dan sangat jarang t erjadi di luar wakt u t ersebut .
b esar d ar i t el u r i k an n ap ol eon , Cheilinus undulatus dengan ukuran 620 µm (Slam et et al., 2003), ikan kakap (Lutjanus rivulatus) 720— 7 4 0 µ m (Sen o o et al., 2 0 0 2 a) d an j u g a dibandingkan dengan telur kerapu bebek hasil stripping dengan ukuran 800—830 µm (Senoo et al., 2002b). Berdasarkan laporan Wex ler et al. (2003), ukuran telur ikan tuna sirip kuning san g at ser ag am d en g an d i am et er 1 m m , dem ikian juga hasil pengam atan pada bluefin tuna (Thunnus thynnus) dengan diameter rata-r at a 9 8 9 µ m (Ku m ai , 1 9 9 7 ) d an 9 7 0 µ m (Miyashit a et al., 2000). Berdasarkan dat a ini dapat dikatakan diameter telur hasil pemijahan tuna sirip kuning di Indonesia ini sedikit lebih k eci l d i b an d i n g k an d en g an l ap or an yan g su d ah ad a. Per b ed aan i n i m u n g k i n ad a hubungannya dengan um ur induk dan juga f akt or lingkungan khususnya suhu air yang lebih t inggi dibandingkan dengan di Jepang dan Panama.
Per k em b an g an em b r i o i k an t u n a si r i p k u n i n g yan g d i am at i d an p en g h i t u n g an perkem bangan em brio didasarkan dari waktu pem ijahan hingga t elur m ulai m enet as dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 1.
Pem belahan sel pertam a terjadi sekitar 20 menit setelah induk memijah. Jika dibandingkan dengan ikan- ikan jenis lain t ernyat a wakt u yan g d i b u t u h k an d ar i p em i j ah an h i n g g a pembelahan sel pertama sangat beragam. Ikan n ap ol eon m em b u t u h k an wak t u 1 8 m en i t (Yunus et al., 1999), kakap (Sparus sarba) dibutuhkan waktu 40 menit (Yoshimatsu et al., 2002), dan Lutjanus rivulatus serta Cromileptes altivelis sel am a 4 5 m en i t (Sen o o et al., 2002a,b).
Perkem bangan em brio hingga m encapai banyak sel masing- masing memerlukan waktu ant ara 10—15 m enit . St adia perkem bangan yang paling lam a t erjadi pada st adia gast rula (gastrula awal- Blastopor tertutup penuh) yang membutuhkan waktu 5 jam.Pada stadia inilah m ulai t erbent uk em brio hingga t erbent uknya kepala, gelem bung Kuffer, dan t ert ut upnya blast opor, dan pada st adia ini jelas t erlihat pem isahan ant ara dinding t elur dan em brio. Stadia dari terbentuknya jantung hingga mulai berdetaknya jantung juga m em erlukan waktu yang cukup lam a yait u 4 jam 25 m enit (Tabel 1).
Pigm ent asi larva t elah t erjadi pada st adia larva sebelum m enet as. Pigm en kuning ini disebut m elanopor yang t erdapat pada t iga bagian tubuh dan pigm en hitam pada dinding
k uning t elur. Pigm en ini diduga berf ungsi sebagai alat penyam ar dari hewan pem angsa.
Berdasarkan pengam at an, ada dua m asa krit is perkem bangan em brio larva ikan t una sirip kuning. Pert am a pada st adia banyak sel, p ad a st ad i a i ni ser i ng t er j ad i t er hent i nya perkem bangan em brio jika t elur m engalam i p en an g an an at au g u n c an g an k o n d i s i l i n g k u n g an . D en g an d em i k i an , u n t u k m endapat k an t elur yang baik , pem anenan harus dilakukan sebelum atau sesudah stadia ini. Masa k r it is k ed ua t er j ad i p ad a st ad ia jantung mulai berdetak hingga menetas (7 jam seb el u m m en et as). Pad a st ad i a i n i t el u r cen d er u n g m en g en d ap seh i n g g a san g at dibut uhkan suat u perlakuan agar t elur t et ap m elayang. Dalam hal ini digunakan arus yang d i h asi l k an o l eh ai r d an aer asi . Pr o ses pengendapan t elur pada st adia ini, m ungkin disebabkan enzim penetasan sudah mulai aktif sehingga cangkang telur mengalami penipisan dan menjadi bersifat semi permiabel. Jika arus yang dit im bulkan oleh air dan aerasi t idak m encukupi, m aka t elur akan m engendap di dasar bak inkubasi. Hal ini dapat menyebabkan t elur t idak m endapat k an pasok an ok sigen yang m em adai dan peluang dit em peli bakt eri sem akin besar sehingga em brio di dalam nya mengalami kematian.
Wakt u yang dibut uhkan t elur dari m ulai pem ijahan hingga m enet as adalah 18 jam 55 menit. Selama masa inkubasi, kondisi air yang meliputi suhu air 27oC—28oC, salinitas 33 ppt, dan gas oksigen terlarut antara 5,4—6,2 mg/ L (85%—95% saturasi). Kondisi ini dapat dicapai dengan m enggunakan sist em pergant ian air secar a t er u s- m en er u s d i t am b ah d en g an bant uan aerasi. Dibandingkan dengan t elur kerapu lum pur (Epinephelus coioides) di m ana waktu yang dibutuhkan hingga menetas hanya 17 jam 30 menit (Melianawati et al., 2002) yang berarti lebih cepat satu jam pada kondisi suhu yang sam a. Menurut Sugam a et al. (2004), kecepatan perkembangan embrio tidak hanya d i p eng ar uhi suhu m ed i a t et ap i j ug a ol eh tingkat kepadatan telur. Peningkatan kepadat-an t elur dalam bak penet askepadat-an akkepadat-an m em per-cepat penet asan t elur. Hal ini kem ungkinan juga berlaku pada telur ikan tuna.
KESIMPULAN
Gambar 1. Perkembangan embrio ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) Figure 1. Egg development of yellowfin tuna (Thunnus albacares)
Sel awal Blastodisk
Delapan sel Eight cells
Morula Morula stage
Kepala terbentuk Head formation
Ekor bergerak Tail moving
Dua sel First cleavage
Em pat sel Four cells
16 sel 16 cells
Gast rula awal Early gastrula
Optik m ata terbentuk Eye optic formation
Mulai m enet as Just hatch
32 sel 32 cells
Gastrula akhir Late gastrula
Jant ung berdet ak Heart start beating
blastopor tertutup penuh 5 jam 40 m enit, dan dari terbentuknya kepala hingga jantung ber-detak 6 jam 50 menit.
Wakt u yang diperlukan m ulai dari pem -b u ah an h i n g g a t el u r m en et as p ad a su h u 27oC—28oC adalah 18 jam 55 m enit.
Terdapat dua m asa krit is perkem bangan em brio tuna sirip kuning (Thunnus albacares) yai t u , p ad a st ad i a b an yak sel d an st ad i a jantung mulai berdetak.
SARAN
Perlu dilakukan pengamatan perkembang-an em b r i o p ad a su h u d perkembang-an sal i n i t as yperkembang-an g berbeda- beda unt uk m elengkapi dat a dasar perkem bangan em brio ikan t una sirip kuning pada m asa yang akan datang.
UCAPAN TERIMA KASIH
Riset ini dapat t erlaksana at as dana kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Peme-rint ah Jepang dalam hal ini Overseas Fishery Cooperation Foundation (OFCF). Ucap an t erim a kasih juga disam paikan kepada Dr. Ak i o Nak az awa (Chief Expert OFCF) at as bantuannya dalam memberikan masukan pada pelaksanaan riset ini. Dem ikian juga kepada seluruh t eknisi pada proyek perbenihan ikan tuna sirip kuning yang telah membantu dalam pelaksanaan riset ini.
DAFTAR PUSTAKA
Diani, S., B. Slamet, dan P.T. Imanto. 1991. Studi p en d ah u l u an p em i j ah an al am i d an perkembangan awal larva ikan kerapu sunu, Tabel 1. Perkembangan embrio ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares). (T= 27oC- 28oC;
Salinitas= 33 0/
00 dan DO= 5,4—6,2 mg/ L)
Table 1. Egg development of yellowfin tuna (T hunnus albacar es). (T=2 7oC- 2 8oC; Salinity= 33 0/
00 and DO= 5,4—6,2 mg/L)
Wakt u set elah pemijahan
Tim e a ft er spa wning
Jam:menit (Hour :m in.)
Pemijahan (Spawning) 0:00
Sel awal (Blastodisk) 0:10
Dua sel (First cleavage) 0:20
4 sel (4 cells) 0:30
8 sel (8 cells) 0:40
16 sel (16 cells) 0:55
32 sel (32 cells) 1:15
Bany ak sel (Many cells) 1:25
Morula (Morula stage) 1:55
Blastula (Blastula stage) 3:15
Gastrula awal (Early gastrula stage) 3:55
Gastrula akhir (Late gastrula stage) 6:55
Blastopor tertutup penuh (Blastopore completely closed) 8:55
Kepala, Kuffer dan 4 miomer terbentuk 9:25
Head formed, Kuffer’s vesicle appeared and 4 myomere formed
Pembentukan 16 miomer (16 myomere appeared) 9:45
Pembentukan mata (Optic vesicle appeared) 11:30
Jantung mulai berdeny ut dan ekor terpisah dari y olk 15:55
Heart start beating and tail separated from yolk
Bagian ekor mulai bergerak (Moving tail started) 16:55
Telur menetas (Hatching started) 18:55
Tingkat perkembangan
Plectropomus maculatus. J. Pen. Budidaya Pantai, Terbitan Khusus. 7(2): 10—19. Hutapea, J.H., I G.N. Permana, A. Nakazawa, and
T. Kit agawa. 2003. Prelim inary st udy of yellowfin t una, (Thunnus albacares) cap-ture for candidate broodstock. Proceeding of International Seminar on Marine and Fisheries. Jakarta Convention Center. 15— 16 Decem ber 2003. Section. 1: 31—33. Kohno, H., P.T. Imanto, S. Diani, B. Slamet, and
P. Sunyot o. 1990. Reproduct ive perfor-m ance and early life hist ory of t he grou-per, Epinephelus fuscoguttatus. Bull. Pen. Per., Special Edition. 1: 27—35.
Kum ai, H. 1997. Present st at e of bluefin t una aq u acu l t u r e i n Jap an . Suisanzoshoku. 45(2): 293—297.
Melianawati, R., P.T. Imanto, M. Suastika, dan A. Prijono. 2002. Perkem bangan em brio dan p en et asan t el u r i k an k er ap u l u m p u r (Epinephelus coioides) d en g an su h u inkubasi berbeda. J. Pen. Per. Indonesia. 8(3): 7—13.
Miyashita, S., Y. Tanaka, Y. Sawada, O. Murata, N. Hattori, K. Takii, Y. Mukai, and H. Kumai. 2000. Embryonic Development and effects of wat er t em perat ure on hat ching of t he Bluefin t una, Thunnus thynnus. Japanese Soc. of Fish. Sci. 182: 199—207.
Senoo, S., A.P. Baidya, R. Shapawi, and R.A. Rah m an . 2 0 0 2 a. Eg g d evel o p m en t o f Namifuedai, Lutjanus rivulatus under rear-ing conditions. Suisanzoshoku. 50(4): 435— 436.
Senoo, S., A.P. Baidya, R. Shapawi, and R.A. Rahm an. 2002b. Observat ion on eggs of Mo u se g r o u p er , Cromileptes altivelis under rearing condit ions. Suisanzoshoku. 50(4): 437—438.
Slam et , B. dan Tridjoko. 1997. Pengam at an pem ijahan alam i, perkem bangan em brio dan larva ikan kerapu bat ik, Epinephelus microdon dalam bak terkontrol. J. Pen. Per. Indonesia. 3(4): 40—50.
Slamet, B. , T. Sutarmat, A. Prijono, Tridjoko, N.A. Giri, dan A.A. Gufron. 2003. Obsevation on spawning season, num ber and qualit y of eg g s o f Nap o l eo n w r asse (Cheilinus undulatus) from nat ural spawning in t he rearing t ank. Proceeding of International Seminar on Marine and Fisheries. Jakart a Convent ion Cent er . 1 5 —1 6 Decem b er 2003. Section. 1: 15—19.
Sugama, K., Tridjoko, S. Ismi, and K.M. Setiawati. 2004. Environmental factors affecting em-b r yoni c d evel op m ent and hat chi ng of Hum pback grouper (Cromileptes altivelis) larvae. Editors: M.A. Rimmer, S. McBride, and K.C. Williams. Advances in Grouper Aquac-ulture. Aust ralian Cent re for Int ernat ional Agricultural Research. Canberra. p. 17—20. Tridjoko, B. Slamet, D. Makatutu, dan K. Sugama. 1 9 9 6 . Pen g am at an p em i j ah an d an perkem bangan t elur ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) pada bak secara terkontrol. J. Pen. Per. Indonesia. 2(2): 55— 62.
Wax l er , J.B., V.P. Sch o l ey, R.J. Ol so n , D. Margulies, A. Nakazawa, and J.M. Sut er. 2 0 0 3 . Tank cult ur e of yellowf in t una, Thunnus albacares: developing of spawn-ing p op ulat ion f or r esear ch p ur p oses. Aquaculture. 220: 327—353.
Yoshim at su, T., A. Mihelakakis, and K. Han. 2002. Early developm ent of laborat ory-reared silver sea bream, Sparus sarba. The Yellow Sea. December 2002. 8(1): 1—8. Yunus, T. Ruchimat, B. Slamet, dan S. Ismi. 1999.