1
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ikan swanggi termasuk ke dalam kelompok ikan demersal, yang mana
perikanan demersal merupakan tipe perikanan multi spesies yang dieksploitasi
menggunakan berbagai jenis alat tangkap (multi gears) (Badrudin 1991). Ikan
swanggi memiliki beberapa sifat sumberdaya seperti aktivitas ruaya yang tidak
jauh serta laju pertumbuhan individu yang tidak terlalu tinggi. Sifat tersebut
menyebabkan rendahnya daya tahan terhadap tekanan penangkapan dan
terbatasnya daerah penangkapan sehingga bila intensitas penangkapan tersebut
ditingkatkan maka kematian karena penangkapan akan meningkat pula.
Salah satu daerah yang potensial untuk pemanfaatan sumberdaya ikan
swanggi adalah di Perairan Selat Sunda di antaranya adalah di Labuan Banten.
Berdasarkan data statistik perikanan Labuan, produksi tangkapan ikan swanggi dari
awal tahun 2011 sampai pada saat ini masih menduduki posisi ke-5 dari total
produksi tangkapan ikan demersal, yaitu sebesar 6866.3 kg atau sebesar 8.25 %.
Variasi iklim dan musim di Selat Sunda dan sekitarnya dapat mempengaruhi
ketersediaan sumberdaya sehingga menyebabkan terjadinya fluktuasi produksi
karena daerah penangkapan dan aktivitas penangkapan tergantung kepada
kemampuan nelayan melakukan aktivitas penangkapan. Kelimpahan ikan yang
rendah menyebabkan nelayan terus mencari daerah penangkapan ikan yang
menguntungkan, apabila daerah penangkapan semakin jauh maka biaya operasional
yang dikeluarkan semakin tinggi, sehingga harga semakin mahal, begitu juga
sebaliknya. Pola musiman dan sebaran daerah penangkapan ikan swanggi secara
spasial dan temporal dapat membantu ketepatan aktivitas penangkapan. Status
pemanfaatan terhadap ikan swanggi juga perlu diketahui untuk pengendalian
terhadap upaya penangkapan dan produksi ikan swanggi agar dapat menghasilkan
2
1.2. Perumusan Masalah
Ikan swanggi merupakan ikan demersal memiliki sifat rentan terhadap
penangkapan, migrasi yang tidak jauh, dan daerah penangkapan yang terbatas.
Musim memiliki variasi sepanjang tahun sehingga mempengaruhi kelimpahan
produksi penangkapan. Kelimpahan ikan yang rendah menyebabkan nelayan terus
mencari daerah penangkapan ikan yang menguntungkan, bila daerah penangkapan
semakin jauh biaya yang dikeluarkan semakin tinggi, sehingga harga semakin
mahal, begitu sebaliknya. Hal tersebut mempengaruhi ketidakpastian dalam
aktivitas perikanan.
Identifikasi pola musiman dan sebaran daerah penangkapan secara spasial
dan temporal penting dilakukan untuk mengetahui pola sebaran ikan swanggi
secara spasial dan temporal. Kontrol terhadap sumberdaya pun akan lebih tepat
dilakukan bila mengetahui bagaimana pola sebaran spasial dan temporalnya.
Ketepatan penangkapan yang dimaksud di sini adalah ketepatan waktu dan ukuran
hasil tangkapan, karena immature fish tidak baik untuk ditangkap.
Sumberdaya ikan memiliki sifat common property yang pemanfaatannya
dapat digunakan pada waktu bersamaan oleh lebih dari satu individu atau satuan
ekonomi (open acces). Status pemanfaatan ikan swanggi perlu diketahui karena
jika eksplorasi tidak terkendali, dikhawatirkan akan mengganggu keberlanjutan
populasi ikan swanggi. Maximizing the net economic yield or rent adalah yang
diinginkan sejumlah besar pakar ekonomi, tanpa melihat kenyataan sumberdaya
yang ada. Jika effort meningkat, maka Maximum Economic Rent akan dicapai
sebelum titik maximum sustainable yield (MSY) dan pada saat itu the marginal
cost per unit of yield menjadi lebih tinggi daripada MSY yang diinginkan. Maka
pada titik C, Yield turun secara jelas dengan effort dan cost meningkat (Nuitja
2010).
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola musim kelimpahan dan
penangkapan ikan swanggi berdasarkan daerah penangkapannya, serta
3
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Swanggi
2.1.1. Klasifikasi dan tata nama
Menurut Richardson (1846) taksonomi ikan swanggi (Gambar 1) dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Subordo : Percoidei
Famili : Priacanthidae
Genus : Priacanthus
Spesies : Priacanthus tayenus
Nama FAO : Purple-spotted bigeye
Nama Lokal : Ikan Swanggi, Ikan Raja Gantang, Ikan Mata Goyang, Ikan
Mata Besar
Gambar 1. Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus) (Dokumentasi pribadi)
2.1.2. Karakter biologi
4
dentaries, vomer, palatines, dan premaxillaries. Spesies yang lebih kecil kemungkinan memiliki panjang total maksimum 29 cm (FAO 1999).
Tulang belakang pada sudut preoperkulum berkembang dengan baik. Jumlah tulang saring insang pada lengkung insang pertama 21 sampai 24. Duri sirip punggung dengan X dan 11 sampai 13 jari lemah. Duri sirip dengan III dan 12-14 jari lemah. Sirip ekor truncate biasanya terdapat pada spesimen yang lebih kecil, tetapi menjadi lunate pada beberapa (mungkin jantan) tapi tidak semua terdapat pada spesimen lebih besar. Jari sirip dada 17-19. Sisik-sisik menutupi terutama bagian badan, kepala, dan dasar sirip kaudal (FAO 1999).
Sisik-sisik termodifikasi, sisik-sisik pada bagian tengah lateral dengan bagian posterior atas hilang dan sedikit duri kecil pada spesimen yang lebih besar. Sisik-sisik pada seri lateral 56 sampai 73, sisik-sisik linear lateralis berpori 51 sampai 67. Sisik pada baris vertikal (dari awal sirip dorsal sampai anus) 40 sampai 50. Swimbladder dengan penampang anterior dan posterior, bentuk terkait dengan lubang yang termodifikasi dalam tengkorak. Warna tubuh, kepala, dan iris mata adalah merah muda kemerah-merahan atau putih keperak-perakan dengan merah muda kebiruan, sirip berwarna kemerah mudaan, sirip perut mempunyai karakteristik bintik kecil ungu kehitam-hitaman dalam membran dengan 1 atau 2 titik lebih besar di dekat perut (FAO 1999)
2.1.3. Distribusi
5
2.2. Alat tangkap 2.2.1. Cantrang
Cantrang dapat diklasifikasikan menurut cara pengoperasiannya, bentuk
konstruksi serta fungsinya, mempunyai banyak kemiripan dengan pukat harimau.
Menurut Subani dan Barus (1989): Cantrang, Dogol, Payang dan Bundes
diklasifikasikan ke dalam alat tangkap “danish seine” berbentuk panjang tetapi penggunaannya untuk menangkap Ikan Demersal terutama udang.
Pengoperasiannya dilakukan dengan melingkarkan tali slambar dan jaring
pada dasaran yang dituju. Cantrang terdiri dari (1) kantong (codend); bagian tempat
berkumpulnya hasil tangkapan yang pada ujungnya diikat dengan tali hasil
tangkapan yang pada ujungnya diikat dengan tali hasil tangkapan tidak lolos. (2)
Badan; bagian terbesar dari jaring yang terletak diantara kantong dan kaki jaring,
terdiri dari bagian kecil–kecil dengan ukuran mata jaring yang berbeda–beda. (3)
Kaki (sayap); terbentang dari badan hingga slambar yang berguna sebagai
penghalang ikan masuk ke dalam kantong. (4) Mulut; pada bagian atas jaring relatif
sama panjang dengan bagian bawah. Alat tangkap cantrang dioperasikan dengan
kapal berukuran 8,5 – 11 m x 1,5 – 2,5 m x 1 – 1,5 m dengan kekuatan mesin 18 –
27 PK (Budiman 2006).
Menurut Subani dan Barus (1989); Daerah penangkapan (fishing ground)
cantrang tidak jauh dari pantai, pada bentuk dasar perairan berlumpur atau lumpur
berpasir dengan permukaan dasar rata. Daerah tangkapan yang baik kelompok alat
tangkap “danishseine” harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Dasar perairan rata dengan substrat pasir, lumpur atau tanah liat berpasir.
b. Arus laut cukup kecil (< 3 knot).
c. Cuaca terang tidak ada angin kencang.
2.2.3. Jaring insang dasar (Bottom Gillnet)
Jaring insang dasar atau bottom gillnet yaitu alat tangkapyang terbuat dari
bahan jaring. Jaring insang dasar berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran
mata jaring yang sama. Jaring insang dasar (bottom gillnet) termasuk dalam
klasifikasi jaring insang (gillnet). Menurut Martasuganda (2002), bagian-bagian
6
tangkap. Tali pelampung (float line), adalah tali yang berfungsi untuk
menyambungkan antar pelampung. Tali ris atas dan bawah, berfungsi untuk
dipakai memasang atau menggantungkan badan jaring. Tali penggantung badan
jaring bagian atas dan bawah (upper bolch line and under bolch line), adalah tali
yang berfungsi untuk menyambungkan atau menggantungkan badan jaring pada
tali ris. Srampad atas dan bawah (upper selvedge and under selvedge), adalah
susunan mata jaring yang ditambahkan pada badan jaring bagian atas dan bagian
bawah. Badan jaring atau jaring utama (main net), adalah bagian dari jaring yang
digunakan untuk menangkap ikan, Tali pemberat (sinker line), adalah tali yang
berfungsi untuk memasang pemberat yang bahannya terbuat dari bahan sintetis
seperti haizek, vinylon, polyvinyl chloride, saran atau bahan lainnya yang bisa
dijadikan untuk tali pemberat. Pemberat (sinker), berfungsi untuk menghasilkan
gaya berat pada bottom gillnet.
Ukuran per tinting: panjang 50 m sebelum diikat (37,5 m setelah diikat);
lebar 2,94 m sebelum diikat (1,94 m setelah diikat); bahan nilon monofilamen No.
25; Selvedge PE d/3 (Subani dan Barus 1989). Kapal bottom gillnet termasuk ke
dalam kelompok kapal dengan metode pengoperasian static gear. Ada dua jenis
kapal yang digunakan dalam pengoperasian bottom gillnet, yaitu: a) motor tempel
(12-25 PK), ukuran: panjang 6,7 m, lebar 1,5 m, dalam 0,5 m, jaring 14 tinting
(pieces); b) motor dalam (6,5-18 PK), ukuran: panjang 7,5 m, lebar 2 m, dalam 1
m, jaring 20-25 tinting (pieces) (Subani dan Barus 1989).
Nelayan yang diperlukan untuk mengoperasikan jaring insang dasar yaitu 4
orang nelayan. Nelayan terdiri dari 1 orang nakhoda, 1 orang pengemudi dan 2
orang anak buah kapal (ABK). Nakhoda bertugas menentukan daerah
pengoperasian, pengemudi bertugas mengemudikan kapal dan ABK bertugas untuk
membantu dalam operasi penangkapan ikan (setting dan hauling) (Krisnandar
2001). Alat bantu pada bottom gillnet berupa net hauler atau net drum, berfungsi
untuk menarik jaring pada saat hauling (Sainsburry 1971).
2.3. Pengetahuan tentang Stok
Dalam pengelolaan sumberdaya ikan, pengetahuan tentang stok dan
7
Venema (1999), menyatakan bahwa untuk keperluan pengelolaan perikanan, suatu
sub kelompok dari satu spesies dapat dikatakan sebagai suatu stok jika perbedaan–
perbedaan dalam kelompok tersebut dan “pencampuran” dengan kelompok lain
dapat diabaikan.
Sehingga stok dapat diartikan sebagai suatu sub gugus dari satu spesies yang
mempunyai parameter pertumbuhan dan mortalitas yang sama, dan menghuni suatu
wilayah geografis tertentu. Pengetahuan tentang stok berguna dalam memberikan
saran tentang pemanfaatan sumberdaya ikan sehingga sumberdaya tersebut dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan. Konsep maximum sustainable yield (MSY),
merupakan konsep pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab
(responsible fisheries) dengan mempertahankan kelestarian atau keberlanjutan
sumberdaya yang ada.
Dalam Sparre & Venema (1999) disebutkan bahwa tujuan pengkajian stok
ikan dari stok yang dieksploitasi adalah untuk meramalkan apa yang akan terjadi
dalam hal hasil di masa depan, tingkat sustainabilitas biomassa dan nilai dari hasil
tangkapan jika upaya penangkapan tetap sama atau berubah karena faktor lain.
Faktor yang mempengaruhi jumlah stok ikan di suatu daerah adalah :
1. Rekrutmen (R)
Rekrutmen merupakan penambahan individu dalam suatu populasi.
Rekrutmen bersifat positif atau menambah jumlah stok. Rekrutmen akan
menambah jumlah dan biomassa suatu populasi. Rekrutmen berasal dari kelahiran
(natalitas). Rekrutmen juga dimungkinkan dengan datangnya atau masuknya
individu sejenis yang berasal dari daerah lain, misalnya pada ikan–ikan peruaya.
Secara buatan (campur tangan manusia), rekrutmen dilakukan dengan penebaran
benih ke suatu daerah perairan (restocking) yang telah mengalami kekurangan stok
suatu jenis ikan.
2. Pertumbuhan (Growth = G)
Pertumbuhan adalah pertambahan berat suatu individu. Parameter
pertumbuhan yaitu panjang dan berat individu. Pertumbuhan mempengaruhi stok
ikan di suatu daerah. Pertumbuhan bersifat positip terhadap stok. Pertumbuhan
8
3. Kematian alami (Mortalitas = M)
Kematian alami merupakan kematian yang tidak disebabkan oleh campur
tangan manusia (penangkapan). Mortalitas alami disebabkan oleh kematian karena
pemangsaan (predasi), penyakit, stress, pemijahan, kelaparan dan usia tua. Spesies
yang sama yang berada di daerah berbeda mungkin mempunyai tingkat kematian
alami yang berbeda, tergantung dari kepadatan pemangsaan dan kepadatan pesaing.
Kematian alami bersifat negatif atau mengurangi stok ikan.
4. Penangkapan (catch = C)
Penangkapan bersifat negatif atau mengurangi jumlah stok suatu jenis ikan di
daerah tertentu. Faktor penangkapan lebih mudah dimonitor dibandingkan faktor
lainnya. Sehingga pengkajian stok ikan lebih mudah dilakukan dengan
menggunakan parameter hasil tangkapan suatu jenis ikan dan upaya
penangkapannya, misalnya jumlah kapal, jumlah alat tangkap dan jumlah trip
penangkapan.
2.4. Model Bioekonomi Perikanan
Model bioekomi perikanan pertama kali ditulis oleh Gordon (1954) dalam
artikelnya menyatakan bahwa sumberdaya perikanan pada umumnya bersifat
terbuka (open acces) sehingga setiap orang dapat memanfaatkannya atau tidak
seorangpun memiliki hak khusus untuk memanfaatkan sumberdaya alam ataupun
melarang orang lain untuk ikut memanfaatkan (common property). Pendekatan
bioekonomi diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya karena selama ini
permasalahan perikanan terfokus pada maksimalisasi penangkapan dengan
mengabaikan faktor produksi dan biaya yang dipergunakan dalam usaha perikanan.
Selain itu menurut Clark (1985) dalam Purwanto (2006) bahwa pendekatan
bioekonomi adalah pendekatan yang memadukan kekuatan ekonomi yang
mempengaruhi industri penangkapan dan faktor biologis yang menentukan
produksi dan suplai.
Gordon melakukan analisis berdasarkan konsep produksi biologi berdasarkan
permasalahan tersebut, kemudian dikembangkan oleh Schaefer (1957), kemudian
konsep dasar bioekonomi ini dikenal dengan teori Gordon-Schaefer. Konsep dasar
9
Dimisalkan bahwa pada suatu daerah tertentu tidak ada penangkapan ikan, maka
laju netto biomasa ikan (dx/dt) adalah :
...(1) F (x) adalah laju biomassa yang merupakan fungsi dari ukuran biomassa. Jika
diasumsikan bahwa daerah tersebut terbatas, secara rasional dapat kita asumsikan
bahwa populasi tersebut tumbuh secara proporsional terhadap populasi awal, secara
matematis dapat ditulis :
...(2) r dalam istilah biologi perikanan sering disebut intristic growt rate yaitu
pertumbuhan alamiah (natalitas dikurangi mortalitas) atau yang sering disebut laju
pertumbuhan tercepat yang dimiliki oleh suatu jenis ikan. Dalam kondisi yang
ideal, laju pertumbuahan ikan dapat terjadi secara eksponensial, namun karena
keterbatasan daya dukung lingkungan maka ada titik maksimum dimana laju
pertumbuhan akan mengalami penurunan atau berhenti. Pada titik maksimum ini
disebut carrying capacity. Dalam model kuadratik (logistik), maka fungsi logistik
tersebut secara matematis ditulis sebagai berikut :
- ...(3) r adalah laju pertumbuhan intristik (intistik growth rate) dan K adalah carrying
capacity. Dari persamaan (3) di atas terlihat bahwa dalam kondisi kesimbangan
(ekuilibrium) laju pertumbuhan sama dengan nol (dt/dx=0) maka populasi sama
dengan carrying capacity sedangkan pertumbuhan masimum akan terjadi pada
setengah dari carrying capacity. Pada kondisi ini disebut juga sebagai Maximum
10
Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Logistik (Nabunome 2007)
Bila pada suatu daerah tertentu dilakukan penangkapan ikan maka laju perubahan
netto biomassa ikan (dx/dt) ditentukan oleh kemampuan reproduksi alamiah dan
jumlah ikan yang ditangkap dari stok ikan tersebut. Secara matematis, laju
perubahan netto biomassa dapat dirumuskan sebagai berikut :
...(4) F (x) adalah laju pertumbuhan alami dari stok ikan, x dan C adalah jumlah ikan
yang ditangkap pada waktu tertentu (C = c(t)) memiliki hubungan yang proposional
dengan upaya penangkapan (E). Bila E merupakan indeks dari sarana produksi
termasuk kapal dan alat tangkap, maka jumlah ikan yang ditangkap dalam kurun
waktu tertentu (C) dapat dihitung dengan persamaan :
...(5) Adanya aktivitas penangkapan ikan tersebut, maka persamaan (4) dapat dituliskan
sebagai berikut :
...(6) Persamaan (6) dapat diilustrasikan pada Gambar 3. Gambar 3, menunjukan bahwa
jika kegiatan penangkapan tetap bertambah, ternyata tidak menghasilkan produksi
yang lebih besar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat eksploitasi
seperti ini tidak efisien secara ekonomis, karena tingkat eksploitasi yang sama
dilakukan dengan upaya yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena biaya yang
dikeluarkan pada saat melakukan penangkapan ikan C3 lebih besar dibandingkan
dengan biaya C1. Berdasarkan hal tersebut perlu dijelaskan dengan aspek ekonomi
mengenai tingkat efisiensi dan optimasi penangkapan. Lambang C (catch) sama
11
Gambar 3. Hubungan Tangkapan (Catch) dengan Upaya (Effort) (Seijo et al. 1998)
Sebelum menjelaskan aspek ekonomi perikanan, sebelumnya perlu dijelaskan
penurunan kurva tangkap lestari pada Gambar 3. Dalam kondisi kesimbangan
jangka panjang (long run) maka persamaan (6) berubah menjadi :
- ...(7)
sehingga kalau kita pecahkan persamaan diatas untuk x, akan diperoleh persamaan
sebagai berikut
...(8)
kemudian dengan mensubsitusikan persamaam (8) ke dalam persamaan (5) maka
akan diperoleh fungsi tangkap lestari (sustainable yield) :
...(9)
...(10)
Persamaan di atas (9) merupakan persamaan kuadratik. C (catch) atau h (yield)
kuadratik terhadap effort dan jika digambarkan menunjukan sebuah parabola yang
menggambarkan fungsi prouksi perikanan dalam jangka panjang, dimana yield
tergantung dari tingkat fishing effort dalam sebuah kesimbangan populasi yang
disebut Sustainable Yield. Kurva produksi lestari dapt digambarkan pada gambar
12
Gambar 4. Kurva Statis Schaefer (Clark et al.1985)
Bila diasumsikan α = qK dan β = maka persamaan (10) dapat dituliskan : C = αE –βE2
...(11)
Titik MSY pada Gambar 4 dapat diperoleh dengan menurunkan persamaan hasil
tangkapan lestari (11) terhadap upaya tangkap, sehingga :
EMSY=α/2β, CMSY= α2/4β...(12)
Koefisien parameter lestari (α dan β) dapat diestimasi dengan regresi sederhana
model Shaefer berikut :
= αE –βE2
...(13)
Pada Gambar 4 terlihat bahwa jika tidak ada aktivitas perikanan (Upaya=0)
produksi juga nol. Ketika upaya terus dinaikan pada titik EMSY akan diperoleh
produksi maksimum. Produksi pada titik ini disebut Maximum Sustaianable Yield.
Karena sifat kurva Yield-Effort yang berbentuk kuadratik, maka peningkatan upaya
yang terus menerus melewati titik EMSY maka produksi akan turun kembali, bahkan mencapai nol (pada titik upaya maximum EMSY). Berdasarkan nilai MSY yang diperoleh dari model Schaefer maka Gordon menambahkan faktor ekonomi dengan
memasukan harga dan biaya.
Pada pengembangkan model Gordon-Schaefer menurut Fauzi (2010)
digunakan asumsi-asumsi untuk memudahkan pemahaman yaitu :
1. Harga per satuan upaya output diasumsikan konstan atau kurva permintaan
diasumsikan elastis sempurna.
2. Biaya per satuan upaya (c) dianggap konstan.
3. Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal (single species).
4. Struktur pasar bersifat kompetitif.
5. Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak termasuk faktor pasca
13
Dengan menggunakan asumsi-asumsi di atas dan kurva sustainable yield
effort maka dengan mengalikan harga tersebut dengan MSY (C) maka akan
diperoleh kurva penerimaan sebagai total revenue (TR) = p.C, sedangkan kurva
biaya kita asumsikan linear terhadap effort, sehingga fungsi biaya menjadi TC =
c.E. Bila diasumsikan harga ikan dan biaya dari upaya konstan, maka akan
diperoleh keuntungan (rente) bersih suatu industri perikanan, melalui persamaan
berikut (Clark 1980) :
π = pCt – cEt
= (pqxt – c)Et...(14)
Dalam kondisi akses terbuka, rente ekonomi sama dengan nol (π=0) atau
̅ ...(15)
jika digabungkan fungsi penerimaan dan biaya tersebut dalam suatu gambar, akan
diperoleh kurva seperti Gambar 5 yang akan menguraikan inti dari model Gordon -
Schaefer mengenai keseimbangan ekonomi.
Gambar 5. Hubungan antara maximum economic yield (MEY), maximum sustainable Yield (MSY) dan open acces (OA) (Nabunome 2007)
Gambar 5 merupakan inti dari teori Gordon mengenai keseimbangan
bioekonomi pada kondisi open acces suatu perikanan akan berada pada titik
14
sama dengan biaya total (TC). Pelaku perikanan hanya menerima rente ekonomi
sumberdaya sama dengan nol. Tingkat upaya pada pada posisi ini adalah tingkat
upaya dalam kondisi keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai
”Bioeconomic equilibrium of open acces fishery” atau keseimbangan bioekonomi dalam kondisi akses terbuka.
Pada setiap upaya lebih rendah dari EOA (sebelah kiri dari EOA) penerimaan
total lebih dari biaya total. Pada kondisi ini pelaku perikanan (nelayan) akan
tertarik untuk menangkap ikan karena akses yang tidak dibatasi dan bertambahnya
pelaku masuk (entry) ke industri perikanan. Bila dilihat dari pendapatan rata-rata
maka penerimaan marginal dan biaya marginal dari penurunan konsep penerimaan
total dan biaya total seperti pada Gambar 5.
Setiap titik disebelah kiri EOA, penerimaan rata-rata setiap unit effort lebih
besar dari biaya rata-rata per unit. Rente yang diperoleh dari pengelolaan
sumberdaya T1 untuk titik effort maximum economic yield (EMEY). Keadaan ini
akan memungkinkan terjadinya entry atau pelaku perikanan yang sudah ada untuk
memaksimalkan manfaat ekonomi yang diperoleh. Sebaliknya pada titik-titik
sebelah kanan EOA biaya rata-rata per satuan upaya lebih besar dibandingkan penerimaan rata-rata per unit. Pada kondisi ini akan menyebabkan nelayan keluar
atau entry tidak ada.
Pada Gambar 5 jelas bahwa tingkat EOA terjadi kesimbangan pada pengelolaan perikanan, maka pada kondisi ini entry dan exit tidak terjadi. Jika pada
Gambar 5 keuntungan lestari (Sustainable profit) akan diperoleh secara maksimum
pada tingkat effort MEY, dimana dapat dilihat pada jarak horisontal terbesar antara
penerimaan dan biaya yang diperoleh (T1), dalam literatur ekonomi sumberdaya
ikan, tingkat upaya ini sering disebut sebagai Maximum Economic Yield (MEY)
produksi yang maksimum secara ekonomi. Pada titik EOA tingkat upaya (effort)
yang dibutuhkan jauh lebih besar dari upaya MSY dan MEY untuk memperoleh
keuntungan yang optimal dan lestari. EOA memberikan tingkat upaya yang optimal
secara sosial (Social Optimum). Berdasarkan ilmu ekonomi, kesimbangan open
acces menimbulkan terjadi alokasi yang tidak tepat (missallocation) karena
kelebihan faktor produksi (tenaga kerja dan modal) dalam perikanan yang
15
Inilah sebenarnya inti prediksi Gordon bahwa perikanan open acces akan
menyebabkan terjadinya kondisi economic overfishing. Selain itu juga bahwa
keseimbangan open acces dicirikan dengan terlalu banyak input sehingga stok
sumberdaya akan diekstraksi sampai pada titik yang terendah sebaliknya pada
tingkat MEY input tidak terlalu banyak tetapi keseimbangan biomas pada tingkat
yang lebih tinggi (Nabunome 2007).
2.5. Pola Musim Penangkapan
Informasi yang tepat diperlukan untuk melakukan operasi penangkapan yang
efisien, seperti informasi mengenai musim penangkapan yang baik. Informasi
mengenai pola musim penangkapan digunakan untuk menentukan waktu yang tepat
dalam pelaksaan operasi penangkapan (Dajan 1984 in Bahdad 2006). Penggunaan
pendekatan metode rata-rata bergerak (moving average) dapat dilakukan untuk
perhitungan operasi penangkapan menggunakan data hasil penangkapan seperti
halnya data lainnya yang bersifat musiman. Pendekatan tersebut bertujuan untuk
menghilangkan variasi musiman, residu, dan adakalanya sebagian dari variasi
siklus agar diperoleh trend yang bercampur dengan siklus.
Variasi musim adalah fluktuasi-fluktuasi di sekitar trend yang berulang
secara teratur tiap tahun, residu merupakan jenis fluktuasi yang disebabkan oleh
faktor-faktor random. Trend (kecenderungan) menggambarkan gerakan deret
berkala secara rata-rata dan variasi siklus adalah variasi deret berkala yang meliputi
periode setahun lebih, dengan lama dan amplitudo siklus tidak pernah sama. Nilai
trend bercampur siklus ini akan digunakan sebagai pembagi deret berkala asal
untuk memperoleh data berkala yang bebas dari trend dan siklus. Variasi musim
murni diperoleh dengan cara merata-ratakan deret berkala yang bebas dari trend
dan siklus.
Metode rata-rata bergerak (moving average) memiliki keuntungan yaitu dapat
mengisolasi fluktuasi musiman sehingga dapat menetukan saat yang tepat untuk
melakukan operasi penangkapan dan kecenderungan yang biasa terdapat pada
metode deret waktu dapat dihilangkan. Kerugian dari metode rata-rata bergerak
(moving average) adalah tidak dapat menghitung pola musim penangkapan sampai
16
Menurut Zacharia et al. (1991), kelimpahan maksimum Priacanthidae di
pesisir Dakshina Kannada India yaitu selama musim peralihan pada bulan Februari,
hasil produksi tangkapan pada bulan Januari pun terlihat bagus. Vijayakumaran &
Naik (1988) melaporkan bahwa hasil tangkapan Priacanthus hamrur tertinggi
yang diadaratkan di Karnataka, India didapatkan pada bulan Maret dan berasal dari
kedalaman 51-100 m dan 151-200 m, sementara hasil tangkapan pada bulan
September-November tergolong rendah. Hasil tangkapan P. hamrur sangat
melimpah di Vishakhapatnam India terjadi selama bulan Maret-April dan Juli
(Sivakami 2001).
Kegiatan penangkapan ikan dapat bersifat musiman, dengan kata lain
kegiatan penangkapan ikan dapat berubah karena selain ada masa ketika ikan
melimpah di laut dan lokasinya dapat diakses nelayan dengan mudah juga ada
periode waktu lain ketika ikan jarang ada di laut dan lokasinya juga sulit dicapai
nelayan. Musim penangkapan di Indonesia sangat berkaitan dengan kondisi laut
yang dipengaruhi angin monsoon. Angin monsoon pertama berasal dari Australia
yag sedang mengalami musim dingin dan kering. Angin monsoon kedua berasal
dari arah barat lau membawa uap di Samudera Pasifik. Hal tersebut menyebabkan,
kondisi perairan di bagian barat dan timur tidak selalu sama di saat yang sama.
Ketika periode monsoon barat, perairan Indonesia di sebelah barat umumnya
bergelombang tinggi dan hujan lebat, sedangkan perairan di sebelah timur
umumnya tenang. Sebaliknya ketika periode mosoon tenggara perairan Indonesia
di sebelah barat dan di sebelah timur umumnya bergelombang tinggi (Sandita
2010).
2.6. Daerah Penangkapan
Daerah penangkapan atau dalam bidang perikanan lebih dikenal dengan
istilah fishing ground, yaitu tempat penangkapan. Secara umum fishing ground
dapat diartikan segala tempat dimana ikan ada dan alat tangkap dapat
dioperasikanMenurut Djatikusumo (1977), daerah penangkapan mempunyai syarat
sebagai berikut :
1. Jumlah besar daripada ikan-ikan yang ada yang akan ditangkap (populasi besar)
17
3. Ekonomis
Fishing ground tidak selalu pasti, tetapi tergantung macam alat tangkap,
bentuk-bentuk tertentu dari macam penangkapan dapat memungkinkan
beroperasinya di suatu daerah dimana jenis yang lain tidak dapat digunakan.
Misalnya, di perairan sekitar karang, alat tangkap sejenis trawl tidak dapat
digunakan meskipun terdapat banyak ikan. Namun penangkapan akan berjalan
dengan mudah dengan menggunakan pancing (long line) (Djatikusumo 1977).
2.7. Tangkapan per Satuan Upaya
Tangkapan per Satuan Upaya (TPSU) merupakan jumlah atau bobot hasil
tangkapan yang diperoleh adari satuan alat tangkap atau dalam waktu tertentu,
yang merupakan indeks kelimpahan suatu stok ikan (UU No. 45 tahun 2009).
TPSU dapat dipengaruhi oleh satuan waktu, besarnya stok, kegiatan penangkapan,
dan kondisi lingkungan di daerah penangkapan ikan. Apabila satuan waktu yang
digunakan adalah tahun, perubahan kondisi lingkungan perairan dalam satu tahun
tertentu memiliki kecenderungan pola yang sama pada tahun-tahun berikutnya
(DKP DKI Pandeglang 2005 in Damayanti 2007).
2.8. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Besarnya sumberdaya ikan laut di Indonesia dapat menimbulkan persaingan
dalam proses penangkapannya, karena sumberdaya ikan ini merupakan milik
bersama (common property) yang setiap orang berhak memanfaatkannya (open
access). Persaingan yang dilakukan pelaku perikanan terlihat dari usaha yang
dilakukan menggunakan tekhnologi yang terus berkembang dan dieksploitasi
secara terus-menerus hingga terjadi konflik antar pelaku perikanan saat
sumberdaya ikan yang ada semakin menipis.
Dalam Undang–undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dijelaskan
bahwa pengelolaan sumberdaya ikan adalah semua upaya yang dilakukan bertujuan
untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan secara
optimal dan terus menerus. Menurut Gulland (1982), tujuan pengelolaan
18
1. Tujuan yang bersifat fisik – biologik, yaitu dicapainya tingkat pemanfaatan
dalam level hasil maksimum yang lestari (maximum sustainable yield = MSY).
2. Tujuan yang bersifat ekonomik, yaitu tercapainya keuntungan maksimum dari
pemanfaatan sumberdaya ikan atau maksimalisasi profit (net income) dari
perikanan.
3. Tujuan yang bersifat sosial, yaitu tercapainya keuntungan sosial yang maksimal,
misalnya maksimalisasi penyediaan pekerjaan, menghilangkan adanya konflik
kepentingan diantara nelayan dan anggota masyarakat lainnya.
Dwiponggo (1983) in Pranggono (2003) mengatakan, tujuan pengelolaan
sumberdaya perikanan dapat dicapai dengan beberapa cara, antara lain:
1. Pemeliharaan proses sumberdaya perikanan, dengan memelihara ekosistem
penunjang bagi kehidupan sumberdaya ikan.
2. Menjamin pemanfaatan berbagai jenis ekosistem secara berlanjut.
3. Menjaga keanekaragaman hayati (plasma nuftah) yang mempengaruhi ciri–ciri,
sifat dan bentuk kehidupan.
4. Mengembangkan perikanan dan teknologi yang mampu menumbuhkan industri
yang mengamankan sumberdaya secara bertanggung jawab.
Badrudin (1986) in Lembaga Penelitian UNDIP (2000) menyatakan bahwa
prinsip pengelolaan sediaan ikan dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. Pengendalian jumlah upaya penangkapan : tujuannya adalah mengatur jumlah
alat tangkap sampai pada jumlah tertentu.
2. Pengendalian alat tangkap : tujuannya adalah agar usaha penangkapan ikan
hanya ditujukan untuk menangkap ikan yang telah mencapai umur dan ukuran
tertentu.
Berdasarkan prinsip tersebut, maka pengelolaan sumberdaya perikanan harus
memiliki strategi sebagai berikut :
1. Membina struktur komunitas ikan yang produktif dan efisien agar serasi dengan
proses perubahan komponen habitat dengan dinamika antar populasi.
2. Mengurangi laju intensitas penangkapan agar sesuai dengan kemampuan
produksi dan daya pulih kembali sumberdaya ikan, sehingga kapasitas yang
19
3. Mengendalikan dan mencegah setiap usaha penangkapan ikan yang dapat
menimbulkan kerusakan–kerusakan maupun pencemaran lingkungan perairan
secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam Sutono (2003) disebutkan beberapa pendekatan pengelolaan
sumberdaya perikanan, yaitu :
1. Pengaturan musim penangkapan
Pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pengaturan musim
penangkapan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada sumberdaya
ikan untuk berkembang biak. Secara biologi ikan mempunyai siklus untuk
memijah, bertelur, telur menjadi larva, ikan muda dan baru kemudian menjadi ikan
dewasa. Bila salah satu dari siklus tersebut terpotong, misalnya karena
penangkapan, maka sumberdaya ikan tidak dapat melangsungkan daur hidupnya.
Hal ini dapat menyebabkan ancaman kepunahan sumberdaya ikan tersebut. Oleh
karena itu diperlukan suatu pengaturan musim penangkapan ikan.
Pengaturan musim penangkapan ikan dapat efektif pada negara-negara yang
sistem hukumnya dilaksanakan dengan ketat. Bila penegakan hukum tidak dapat
dilaksanakan, maka pengaturan musim penangkapan ikan tidak dapat efektif,
karena tentu terjadi banyak pelanggaran.
Dalam pengaturan musim penangkapan ikan juga perlu diketahui terlebih
dahulu sifat biologi dari sumberdaya ikan tersebut. Sifat biologi dimaksud meliputi
siklus hidup, lokasi dan waktu terdapatnya, serta bagaimana reproduksinya.
Pengaturan musim penangkapan dapat dilaksanakan secara efektif bila telah
diketahui antara musim ikan dan bukan musim ikan dari jenis sumberdaya ikan
tersebut. Selain itu juga perlu diketahui musim ikan dari jenis ikan yang lain,
sehingga dapat menjadi alternatif bagi nelayan dalam menangkap ikan. Misalnya,
bila terhadap suatu jenis ikan dilarang untuk ditangkap pada waktu tertentu, maka
nelayan dapat menangkap jenis lain pada waktu yang sama.
Kendala yang mungkin timbul pada pelaksanaan kebijakan pengaturan
musim penangkapan ikan adalah (1) belum adanya kesadaran nelayan tentang
pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya ikan yang ada, (2) lemahnya
20
2. Penutupan daerah penangkapan
Kebijakan penutupan daerah penangkapan dilakukan bila sumberdaya ikan
yang ada telah mendekati kepunahan. Penutupan daerah penangkapan dimaksudkan
untuk memberi kesempatan pada sumberdaya ikan yang mendekati kepunahan
untuk berkembang kembali sehingga stoknya dapat bertambah. Guna menentukan
suatu daerah penangkapan ditetapkan untuk ditutup, maka perlu dilakukan
penelitian tentang stok sumberdaya ikan yang ada pada daerah tersebut, dimana
dan kapan terdapatnya, serta karakteristik lokasi yang akan dilakukan penutupan
daerah penangkapan.
Penutupan daerah penangkapan juga dapat dilakukan terhadap daerah–daerah
yang merupakan habitat vital, seperti daerah hutan bakau dan daerah terumbu
karang. Seperti diketahui bahwa daerah vital tersebut merupakan daerah berpijah
(spawning ground) dan daerah asuhan (nursery ground). Penutupan daerah
penangkapan untuk daerah vital dimaksudkan agar telur–telur ikan, larva dan ikan
yang masih kecil dapat tumbuh menjadi ikan dewasa.
Untuk mendukung kebijakan penutupan daerah penangkapan, diperlukan
pengawasan yang ketat oleh pihak aparat. Demikian pula halnya dengan peraturan
yang ada, perlu ditetapkan peraturan yang bersifat represif. Upaya ini dilakukan
demi menjaga kelestarian sumberdaya ikan jenis tertentu yang mengalami ancaman
kepunahan.
3. Selektifitas alat tangkap
Kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan selektifitas
alat tangkap bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur atau
struktur ukuran ikan dalam suatu stok pada suatu daerah. Selektifitas alat tangkap
dilakukan untuk menyeleksi ikan yang akan ditangkap. Dengan demikian hanya
ikan–ikan yang telah mencapai ukuran tertentu saja yang ditangkap. Sementara
ikan–ikan yang lebih kecil tidak tertangkap, sehingga dapat memberi kesempatan
bagi ikan–ikan kecil untuk tumbuh menjadi besar.
Contoh penerapan pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan
selektifitas alat tangkap, ialah :
1) Penentuan ukuran minimum mata jaring (mesh size) pada alat tangkap gill net,
21
2) Penentuan ukuran mata pancing pada longline.
3) Penentuan lebar bukaan pada alat tangkap perangkap
Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan selektifitas
alat tangkap ini, peran nelayan sangat penting. Pengetahuan dan kesadaran nelayan
akan pentingnya pelestarian sumberdaya ikan merupakan faktor utama
keberhasilan kebijakan pengelolaan ini. Hal ini disebabkan aparat sulit untuk
melakukan pengendalian dan pengawasan karena banyaknya jenis alat tangkap
(multi gears) yang beroperasi di Indonesia.
Kendala pelaksanaan kebijakan dengan selektifitas alat tangkap yaitu
diperlukan biaya yang tinggi untuk memodifikasi alat tangkap yang sudah ada.
Sehingga peran nelayan untuk memodifikasi alat tangkapnya sangat diharapkan
sesuai dengan keadaan lokasi penangkapannya.
4. Pelarangan alat tangkap
Pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap
didasarkan pada adanya penggunaan bahan atau alat berbahaya dalam menangkap
ikan baik bagi ekosistem perairan maupun berbahaya bagi yang menggunakan,
misalnya penggunaan racun ikan dan bahan peledak (bom ikan). Tujuan dari
pelarangan penggunaan alat atau bahan berbahaya ini adalah melindungi
sumberdaya ikan dan ekosistem yang ada yang bermanfaat bagi kehidupan biota
air. Sebagai contoh penggunaan racun ikan, selain menyebabkan kematian ikan
sasaran, juga menyebabkan kematian pada ikan–ikan yang masih kecil dan telur
ikan. Penggunaan bahan peledak dapat menyebabkan kerusakan habitat ikan dan
kematian biota air lainnya yang bukan merupakan sasaran penangkapan.
Seringkali pelanggaran terhadap peraturan pelarangan penggunaan alat atau
bahan berbahaya ini tidak ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal ini
menyebabkan pelaksanaan peraturan pelanggaran penggunaan alat atau bahan
berbahaya ini tidak efektif. Oleh karena itu efektifitas pengelolaan sumberdaya
perikanan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap ini sangat tergantung pada
penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat.
Dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan dengan pendekatan pelarangan
alat tangkap ini, kepedulian nelayan dan masyarakat pesisir menjadi faktor yang
22
pelaksanaannya sangat membantu aparat untuk menindak secara tegas pelanggaran
yang terjadi.
5. Kuota penangkapan
Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan kuota penangkapan
adalah upaya pembatasan jumlah ikan yang boleh ditangkap (Total Allowable
Catch = TAC). Kuota penangkapan diberikan oleh Pemerintah kepada industri atau
perusahaan penangkapan ikan yang melakukan penangkapan pada suatu perairan di
wilayah negara Indonesia. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya suatu jenis ikan,
maka nilai TAC harus di bawah Maximum Sustainable Yield (MSY)–nya, sehingga
sebelum nilai TAC ditentukan, perlu diketahui terlebih dahulu nilai MSY – nya.
Implementasi dari kuota penangkapan dengan TAC ialah, (1) penentuan TAC
secara keseluruhan pada skala nasional atas suatu jenis ikan di perairan tertentu,
kemudian diumumkan kepada semua nelayan sampai secara total mencapai TAC
yang ditentukan, bila telah tercapai TAC, maka aktifitas penangkapan terhadap
jenis ikan tersebut dihentikan dengan kesepakatan bersama; (2) membagi TAC
kepada semua nelayan dengan keberpihakan kepada nelayan atas dasar keadilan,
sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial akibat perbedaan pendapatan
nelayan; (3) dengan membatasi atau mengurangi efisiensi penangkapan ikan
sehingga TAC tidak terlampaui.
6. Pengendalian upaya penangkapan
Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan pengendalian upaya
penangkapan didasarkan pada hasil tangkapan maksimum agar dapat menjamin
kelestarian sumberdaya ikan tersebut. Pengendalian upaya penangkapan dapat
dilakukan dengan membatasi jumlah alat tangkap, jumlah armada, maupun jumlah
trip penangkapan.
Untuk menentukan batas upaya penangkapan diperlukan data time series
yang akurat tentang jumlah hasil tangkapan suatu jenis ikan dan jumlah upaya
penangkapannya di suatu daerah penangkapan. Mekanisme pengendalian upaya
penangkapan yang paling efektif adalah dengan membatasi izin usaha penangkapan
ikan pada suatu daerah penangkapan.
Pengelolaan perikanan harus dilakukan dengan baik, dengan salah satu upaya
23
terus terpantau dengan baik. Tujuan pengelolaan sumberdaya perikanana adalah
tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku
industri, penghasil devisa, dan mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh
armada penangkapan ikan serta menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan
24
3. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengikuti penelitian bagian Manajemen Sumberdaya
Perikanan (MSPi) dan dilaksanakan selama periode bulan Maret 2011 hingga
Oktober 2011 dengan interval waktu pengambilan contoh 1 bulan. Penelitian
dilakukan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Kabupaten Pandeglang,
Provinsi Banten (Gambar 6).
Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004)
3.2. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, peta Labuan,
daftar pertanyaan (kuesioner), dan alat dokumentasi (recorder, kamera). Jenis data
yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer meliputi
25
daerah penangkapan. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi produksi hasil
tangkapan dan data upaya penangkapan ikan (trip) selama 8 tahun.
3.3. Pengumpulan Data 3.3.1. Data primer
Dalam pengumpulan data primer, teknik yang digunakan adalah sebagai
berikut :
1. Wawancara.
Wawancara dilakukan terhadap 30 responden nelayan yang menangkap ikan
swanggi dengan menggunakan media kuisioner (daftar pertanyaan). Wawancara
terhadap nelayan bertujuan untuk mengetahui :
1) Rata-rata produksi hasil tangkapan per trip
2) Biaya aktual yang didapatkan dari rata-rata biaya operasi penangkapan per trip
3) Rata-rata pendapatan per trip
4) Jumlah trip selama 1 tahun
5) Musim dan daerah penangkapan
6) Strategi kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Labuan
Peta ditunjukkan kepada responden ketika mengajukan pertanyaan musim
dan daerah penangkapan. Lama perjalanan menuju lokasi penangkapan juga perlu
diketahui untuk mendapatkan informasi daerah penangkapan yang tepat.
2. Dokumentasi.
Metode ini memudahkan dalam pelaksanaan artinya apabila ada kekeliruan
dalam pencatatan maka sumber datanya masih tetap atau tidak berubah. Metode ini
juga digunakan untuk mendokumentasikan keadaan lokasi penelitian, deskripsi
profil dan latar belakang studi.
3.3.2. Data sekunder
Data sekunder yang digunakan berupa data produksi hasil tangkapan dan data
upaya penangkapan (trip) selama 8 tahun, data selang kelas panjang, dan Tingkat
Kematangan Gonad (TKG). Data produksi hasil tangkapan dan data upaya
26
sedangkan data selang kelas panjang dan TKG diperoleh dari penelitian reproduksi
ikan swanggi yang dilakukan oleh Ballerena (2012).
3.4. Analisis Data
3.4.1. Tangkapan per satuan upaya
Data tangkapan dan upaya ikan swanggi dapat dikaji dengan menghitung
nilai hasil tangkapan per upaya penangkapan, yang dapat dirumuskan sebagai
berikut :
TPSU adalah jumlah tangkapan per satuan upaya, T adalah jumlah tangkapan
tahunan ikan swanggi (ton) dan U adalah jumlah upaya tahunan ikan swanggi.
Selanjutnya TPSU ini disajikan dalam satuan ton, sedangkan data upaya
penangkapan (effort) yaitu alat tangkap jaring cantrang dan jaring rampus yang
disajikan dalam satuan trip.
3.4.2. Analisis pola musim penangkapan ikan
Pola musim penangkapan dianalisis dengan menggunakan metode rata-rata
bergerak (moving average) seperti yang dekemukakan oleh Dajan (1986) in Taeran
(2007) dengan langkah sebagai berikut :
a) Menyusun deret TPSUi bulan Januari 2001 hingga Desember 2011
Keterangan :
i : 1, 2, 3, ... , 96 ni : TPSU urutan ke-i
b) Menyusun rata-rata bergerak TPSU selama 12 bulan (RG)
∑
Keterangan :
Rgi : Rata-rata bergerak 12 bulan urutan ke-i TPSUi : CPUE urutan ke-i
27
c) Menyusun rata-rata bergerak TPSU terpusat (RGP)
∑
Keterangan :
Rgi : Rata-rata bergerak 12 bulan urutan ke-i RGPi : Rata-rata bergerak terpusat urutan ke-i TPSUi : CPUE urutan ke-i
RGPi : Rata-rata bergerak terpusat urutan ke-i TPSUi : TPSU urutan ke-i
i : 1, 2, 3, ... , 96
e) Menyusun nilai rata-rata dalam suatu matriks berukuran i x j yang disusun
untuk setiap bulannya, dimulai dari bulan Juli. Kemudian menghitung nilai
total rasio rata-rata tiap bulan, menghitung total rasio rata-rata secara
keseluruhan, dan menghitung indeks musim penangkapan.
1) Rasio rata-rata untuk bulan ke-i (RRBi)
∑
Keterangan :
RRBi : Rata-rata RBij untuk bulan ke-i
RBij : Rasio rata-rata bulanan dalam matriks ukuran i x j i : 1, 2, 3, ... , 12
j : 1, 2, 3, ... , n
2) Jumlah rasio rata-rata bulanan (JRRB)
∑
Keterangan :
28
3) Menghitung faktor koreksi :
Keterangan :
FK : Nilai faktor koreksi
JRRB : Jumlah rasio rata-rata bulanan 4) Indeks musim penangkapan
Keterangan :
IMPi : Indeks musim penangkapan bulan ke-i RBBi : Rasio rata-rata untuk bulanan ke-i i : 1, 2, 3, ... , 12
Kriteria Indeks Musim Penangkapan (IMP) : IMP < 50 % : Musim paceklik
IMP 50%<IMP<100% : Bukan musim penangkapan
IMP>100% : Musim penangkapan
3.4.3. Model bioekonomi perikanan
Model bioekonomi merupakan salah satu cara pendekatan yang paling mudah
dan sederhana untuk mengetahui MSY, EMSY , EMEY ,MEY dan EOA. Ikan swanggi yang tertangkap diasumsikan bersifat tunggal (single species), sesuai dengan
pernyataan Fauzi (2010) bahwa untuk mengembangkan model Gordon-Schaefer
spesies sumberdaya ikan diasumsikan bersifat tunggal (single species). Secara
umum langkah-langkah yang dilakukan untuk mengimplementasikan model
Gordon-Schaefer pada penelitian ini yaitu :
1. Melakukan estimasi parameter biologi K, q, dan r dari data time series
produksi, upaya, dan TPSU menggunakan Algoritma Fox dengan rumus
sebagai berikut :
2. Melakukan pendugaan parameter ekonomi, yaitu harga per satuan output
(Rp/kg) dan biaya per satuan input (Rp/trip) dari data primer atau data hasil
29
3. Melakukan analisis bioekonomi dengan menggunakan model
Gordon-Schaefer. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan program Microsoft
Excel.
Berikut adalah rumus yang digunakan untuk melakukan analisis bioekonomi model
Gordon-Schaefer :
Tabel 1. Rumus bioekonomi model Gordon-Schaefer
OA MEY MSY
r = laju populasi intrinsik
Sesuai dengan asumsi bahwa harga ikan per kilogram (p) dikonversikan
dalam rupiah dan biaya penangkapan per unit upaya (c) adalah konstan, maka total
pendapatan (TR) dan total biaya (TC) dapat dihitung menggunakan rumus berikut
TR = p.C
TC = c.E
Untuk menghitung keuntungan usaha penangkapan ikan (profit) dengan persamaan
berikut :
π = TR – TC
3.4.4. Pola pengelolaan
Menurut Sutono (2003) dapat ditempuh dengan beberapa cara antara lain :
1) Pengaturan musim tangkap
2) Pentutupan daerah penangkapan
3) Selektifitas alat tangkap
4) Pelarangan alat tangkap
30
6) Pengendalian upaya penangkapan
Widodo dan Suadi (2006) juga menyatakan bahwa pengelolaan perikanan
dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya :
1) Pengaturan ukuran mata jaring
2) Pengaturan batas ukuran ikan yang boleh ditangkap, didaratkan atau
dipasarkan
3) Kontrol terhadap musim penangkapan ikan
4) Kontrol terhadap daerah penangkapan ikan
5) Pengaturan terhadap alat tangkap serta kelengkapannya
6) Perbaikan dan peningkatan sumberdaya hayati
7) Pengaturan hasil tangkapan total per jenis, kelompok jenis, atau bila
memungkinkan per lokasi atau wilayah
8) Setiap tindakan langsung yang berhubungan dengan konservasi semua jenis
31
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan
PPP Labuan secara administratif terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan,
Kabupaten Pandeglang. PPP Labuan memiliki batas administratif, di sebelah barat
berbatasan dengan Selat Sunda, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Labuan
dan Desa Cigondang, sebelah utara berbatasan dengan Desa Caringin dan sebelah
timur berbatasan dengan Desa Banyumekar (Kartika 2007). Posisi PPP Labuan
berada pada wilayah perairan Selat Sunda yang merupakan Alur Laut Kepulauan
Indonesia 1 (ALKI-1). Lokasi PPP Labuan berada pada titik koordinat
06°24’30’’LS dan 105°49’15’’BT (Irhamni 2009).
PPP Labuan terdiri dari PPP 1 dan PPI 3 yang berada di muara sungai
Cipunteun, serta PPP 2 berada di tepi pantai terbuka. Jenis kapal motor yang
dioperasikan di PPP 1 dan PPP 3 berukuran 0-5 GT dan 5-10 GT yang merupakan
pelabuhan bagi armada kapal obor, rampus, dan cantrang, sementara kapal motor
yang dioperasikan di PPP 2 berukuran lebih dari 10 GT karena merupakan
pelabuhan bagi armada kapal purse seine.
Jenis alat tangkap yang beroperasi di Labuan yaitu payang, purse seine,
jaring rampus, gillnet, pancing, jaring arad, dan jaring cantrang (Tabel 2). Alat
tangkap yang terbanyak yaitu jaring arad, pancing, dan gillnet masing-masing
berjumlah 119 unit, 68 unit, dan 65 unit.
Nelayan Labuan biasa melakukan operasi penangkapan sepanjang tahun baik
musim barat maupun musim peralihan. Kondisi daerah penangkapan yang
terhalang oleh pulau-pulau kecil (contohnya Pulau Rakata) membantu nelayan
melakukan operasi penangkapan karena terlindung dari pengaruh gelombang
(Kartika 2007). Pada tahun 2008, jumlah nelayan terbanyak di PPP Labuan adalah
2284 atau sekitar 42.68% dari total keseluruhan jumlah nelayan di Kabupaten
32
Berikut adalah perkembangan armada penangkapan ikan di Labuan :
Tabel 2. Jumlah alat penangkapan ikan di PPP Labuan periode 2001-2008
No Alat
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang, 2008
Kondisi curah hujan rata-rata tahunan di PPP Labuan adalah sebesar 1.814
mm, sedangkan hari hujan rata-rata tahunan sebesar 101 hari. Musim hujan pada
umumnya jatuh pada bulan Januari, Februari, Maret, November, Desember dengan
curah hujan rata-rata 374 mm/bulan. Musim kemarau jatuh pada bulan April, Mei,
Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober dengan curah hujan 209 mm/bulan
(Kartika 2007). Menurut BMKG (2011), musim kemarau di wilayah Provinsi
Banten maju 4-8 dasarian (2-3 bulan).
4.1.2. Kondisi perikanan swanggi di PPP Labuan
PPP Labuan sebagai pelabuhan perikanan pantai terbesar di Kabupaten
Pandeglang, disediakan pemerintah kepada masyarakat nelayan di sekitar
Pandeglang untuk melakukan transaksi kegiatan perikanan. Ikan swanggi
merupakan hasil tangkapan dominan kelima di Labuan (8.25%) setelah ikan kue
(24.70%), kurisi (23.43%), kuniran (23.04%), dan kapasan (13.70%) (Gambar 7).
Gambar 7. Komposisi hasil tangkap ikan demersal kecil di Labuan Sumber: Data harian PPP Labuan tahun 2011 (diolah)
33
Jenis ikan swanggi yang tertangkap adalah Priacanthus tayenus. Daerah
penangkapan ikan swanggi meliputi pulau-pulau kecil (P. Liwungan, P. Sebesi, P.
Panaitan, P. Papole), Carita, Sumur, Tanjung Alang-alang, Tanjung Lesung, dan
15-35 km arah Barat Laut dari Labuan dengan waktu tempuh 2-3 jam.
Penangkapan ikan swanggi menggunakan alat tangkap jaring cantrang yang
dioperasikan dengan menggunakan kapal motor berukuran 6-24 GT dan alat
tangkap jaring rampus yang dioperasikan dengan menggunakan kapal motor
berukuran 2-6 GT. Jaring cantrang memiliki ukuran mata jaring bagian kantong
adalah 1.5 inchi-3 inchi dan ukuran mata jaring bagian selambar adalah 8 inchi,
sedangkan ukuran mata jaring rampus 2 inchi. Jenis tangkapan yang dihasilkan alat
tangkap tersebut diantaranya ikan swanggi, pepetek, kurisi, kuniran, kapasan.
Aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap cantrang
biasanya dapat melakukan operasi penangkapan selama 3-4 hari termasuk
perjalanan menuju fishing ground dan kembali ke PPP. Armada kapal yang
menggunakan alat tangkap jaring rampus melakukan perjalanan menuju fishing
ground selama 1-2 jams.
4.1.3. Hasil tangkapan (catch) dan harga ikan swanggi
Berdasarkan data statistik yang ada (tahun 2001-2002, 2004-2007, dan
2010-2011), maka hasil tangkapan ikan swanggi yang didaratkan di PPP Labuan
berfluktuasi dalam kurun waktu tersebut. Pada tahun 2001 hasil tangkapan
cenderung stabil hingga tahun 2002. Peningkatan hasil tangkapan terjadi pada
tahun 2002 hingga 2005 serta 2007 hingga 2011, sedangkan pada tahun 2005
hingga 2007 mengalami penurunan (Gambar 8a). Berdasarkan Gambar 8a, hasil
tangkapan tertinggi terdapat pada tahun 2005 yaitu 29602 kg, sedangkan hasil
34
Gambar 8a. Hasil tangkapan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) yang didaratkan di PPP Labuan Tahun 2001-2002, 2004-2007, dan 2010-2011
Sumber : Data harian dan bulanan PPP Labuan (diolah)
Gambar 8b menunjukkan hasil tangkapan ikan swanggi dari bulan Januari
2011 hingga Desember 2011. Hasil tangkapan tertinggi pada tahun 2011 terdapat
pada bulan Februari, sedangkan hasil tangkapan terendah terdapat pada bulan
Desember. Berikut ini adalah grafik hasil tangkapan pada setiap operasi
penangkapan di tahun 2011.
Gambar 8b. Hasil tangkapan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) yang didaratkan di PPP Labuan Tahun 2011
Sumber : Data harian PPP Labuan (diolah)
Berdasarkan Gambar 9, hasil tangkapan ikan swanggi tertinggi pada tahun
2011 terdapat pada operasi penangkapan ke-4 pada tanggal 14 Februari 2011 yaitu
sebesar 237.5 kg, sementara hasil tangkapan ikan swanggi terendah terdapat pada
operasi penangkapan ke-63 pada tanggal 17 Agustus 2011 yaitu sebesar 10 kg.
Selain hasil tangkapan, harga ikan swanggi juga mengalami fluktuasi seperti pada
Gambar 10.
2001 2002 2004 2005 2006 2007 2010 2011
35
Gambar 9. Hasil tangkapan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di PPP Labuan Tahun 2011 berdasarkan jumlah trip
Sumber : Data harian PPP 1 Labuan (diolah)
Harga ikan ketika hasil tangkapan tertinggi pada operasi penangkapan ke-4
merupakan harga terendah yaitu Rp 4000,- (Gambar 10). Sementara harga ikan
tergolong tinggi ketika hasil tangkapan terendah yaitu senilai Rp 10000,-. Fluktuasi
harga dan hasil tangkapan disebabkan oleh faktor alam yang bersifat tidak
menentu, sehingga harga dan produksi ikan swanggi berada dalam situasi
ketidakpastian.
Gambar 10. Harga ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di PPP Labuan Tahun 2011
Sumber : Data harian PPP 1 Labuan (diolah)
4.1.4. Upaya penangkapan (effort)
Upaya penangkapan ikan swanggi didapatkan dari data sekunder PPP Labuan
yang berupa data harian dan data bulanan tahun 2001-2002, 2004-2007, dan
2010-2011 (Gambar 11). Upaya penangkapan tertinggi terdapat pada tahun 2006 yaitu
1007 trip, sementara upaya penangkapan terendah terdapat pada tahun 2007 yaitu
36
44 trip. Upaya penangkapan yang rendah terjadi pada kurun waktu terakhir, yaitu
tahun 2007, 2010, dan 2011.
Gambar 11. Upaya penangkapan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di PPP Labuan Tahun 2001-2004, 2005-2007, dan 2010-2011
Sumber : Data harian dan bulanan PPP Labuan (diolah)
4.1.5. Tangkapan per satuan upaya
Tangkapan per satuan upaya (TPSU) didapatkan dengan membagi hasil
tangkapan ikan swanggi dengan upaya penangkapannya. Gambar 12
memperlihatkan tangkapan per satuan upaya pada tahun 2001-2002, 2004-2007,
2010-2011.
Gambar 12. Tangkapan per satuan upaya ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di PPP Labuan Tahun 2001-2004, 2005-2007, dan 2010-2011
0
2001 2002 2004 2005 2006 2007 2010 2011
Up
2001 2002 2004 2005 2006 2007 2010 2011
37
Berdasarkan Gambar 12 dapat dilihat bahwa nilai TPSU tertinggi terdapat
pada tahun 2011 dengan nilai 84.13 kg/trip, sedangkan TPSU terendah yaitu senilai
15.25 kg/trip pada tahun 2001. TPSU ikan swanggi mengalami fluktuasi pada
kurun waktu tahun 2001-2006, kemudian mengalami peningkatan hingga tahun
2011.
4.1.6. Pola musim penangkapan
Indeks Musim Penangkapan (IMP) diperlukan dalam menganalisis pola
musim penangkapan ikan swanggi di PPP Labuan. IMP merupakan salah satu dari
metode rata-rata bergerak (moving average), dengan menghitung IMP setiap bulan
pola musim penangkapan ikan swanggi dapat dilihat pada gambar. Perhitungan
IMP dapat dilihat pada lampiran.
Gambar 13 menunjukkan bahwa musim penangkapan pada periode tahun
2001-2007, yaitu pada bulan Januari-Maret, Juni, Agustus, dan September.
Bulan-bulan tersebut memiliki nilai indeks musim di atas nilai rata-rata. Dari hasil
perhitungan tersebut dapat dikatakan bahwa puncak musim penangkapan periode
2001-2007 terjadi pada bulan Maret karena memiliki nilai IMP tertinggi yakni
sebesar 200.05%. Nilai IMP terendah terdapat pada bulan April yaitu 35.25%.
Gambar 13. Nilai rata-rata indeks musim penangkapan ikan swanggi periode 2001-2007
Sumber : Data harian dan bulanan PPP Labuan (diolah)
38
Terdapat perbedaan musim penangkapan antara periode tahun 2001-2007 dan
tahun 2010-2011. Gambar 14 menunjukkan bahwa musim penangkapan pada
periode tahun 2010-2011 terdapat pada bulan Desember-Februari, Juli, dan
Agustus. Puncak musim penangkapan terdapat pada bulan Januari dengan nilai
IMP 201.84% dan nilai IMP terendah pada bulan Juni dengan nilai 42.43%.
Gambar 14. Nilai rata-rata indeks musim penangkapan ikan swanggi periode 2010-2011
Sumber : Data harian dan bulanan PPP Labuan (diolah)
4.1.7. Daerah penangkapan
Daerah penangkapan ikan swanggi berada pada perairan Selat Sunda bagian
Timur, Barat Daya, dan Barat Laut. Gambar 15 menunjukkan lokasi persebaran
daerah penangkapan ikan swanggi di Selat Sunda berdasarkan bulan dan jenis alat
tangkap yang beroperasi. Pada musim penghujan alat tangkap jaring rampus
cenderung beroperasi tidak jauh dari daratan.
Daerah penangkapan ikan swanggi berdasarkan Gambar 15 dibagi menjadi 5
kelompok berdasarkan kedekatan daerah penangkapan. Operasi penangkapan
paling sedikit terjadi pada bulan April dan Juni hingga September dan lebih banyak
dilakukan oleh kapal motor yang memiliki alat tangkap jaring rampus. Tabel 3
menampilkan ukuran panjang ikan swanggi yang diplotkan berdasarkan bulan dan
39
Berikut adalah matriks penyebaran selang kelas ukuran panjang ikan swanggi :
Tabel 3. Matriks sebaran spasial, temporal, dan ukuran panjang ikan swanggi di Selat Sunda periode penangkapan bulan Maret-Oktober 2011
Kriteria Bulan
Sumber : diolah dari Ballerena (2012)
Ket :
pada bulan Mei dan September, dengan lokasi penangkapan pada bulan Mei yaitu
15-35 km ke arah Barat Laut Labuan, Panimbang, P. Liwungan, Tg. Sumur, Tg.
Alang-alang, dan P. Panaitan, dan lokasi penangkapan bulan September yaitu
40
Gambar 15. Peta daerah penangkapan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di Selat
41
Tabel berikut adalah matriks yang akan memberikan informasi mengenai
ukuran TKG pada bulan Maret hingga Oktober dan persebaran penangkapannya.
Tabel 4. Matriks sebaran spasial, temporal, dan TKG ikan swanggi di Selat Sunda periode penangkapan bulan Maret-Oktober 2011
Sumber : diolah dari Ballerena (2012)
Ket :
√ : ada
TKG V, dan VI merupakan TKG ikan swanggi yang dapat melakukan
pemijahan. Berdasarkan Tabel 4, persentase TKG tersebut merupakan nilai
tertinggi pada bulan Maret dan September. Pada bulan September terdapat
42
Tanjung Lesung, dan 15-35 km ke arah Barat Laut Labuan, sedangkan pada bulan
Maret terdapat persentase TKG V tertinggi kedua dengan lokasi penangkapan Tg.
Lesung, P. Panaitan, dan 15-35 km ke arah Barat Laut Labuan.
TKG I, II, III, dan IV merupakan TKG ikan swanggi yang belum siap untuk
melakukan pemijahan. TKG I dan II memiliki persentase yang tinggi setiap
bulannya, sementara TKG III dan IV hampir selalu terdapat setiap bulannya.
4.1.8. Bioekonomi
Aspek ekonomi dari eksploitasi stok ikan sangat tergantung pada karakteristik
biologi dari stok ikan itu sendiri. Produksi lestari maksimum (MSY) hanya
menggunakan parameter biologi saja, sedangkan produksi lestari secara ekonomi
(MEY) menggunakan parameter biologi dan ekonomi. Analisis bioekonomi
menggunakan parameter biologi r, q, K dan parameter ekonomi p dan c.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dengan model Schaefer didapatkan
parameter biologi dan ekonomi pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil estimasi parameter biologi dan ekonomi
Parameter Nilai
Koefisien kemampuan alat tangkap (q) (kg/trip) 0.02 Daya dukung perairan (K) (kg/tahun) 177311 Laju pertumbuhan populasi intrinsik (r) (kg/tahun) 2.16
Harga (p) (Rp/kg) 10,724
Biaya (c) (Rp/trip) 134,012
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa koefisien kemampuan alat
tangkap ikan swanggi yaitu jaring cantrang dan jaring rampus senilai 0.02 kg per
trip, daya dukung ikan swanggi di perairan (K) sebesar 177311 kg per tahun, dan
laju populasi intrinsik ikan swanggi senilai 2.16 kg per tahun. Harga dan biaya
ikan swanggi didapatkan dari rata-rata hasil wawancara terhadap nelayan, yaitu
43
Setelah mengetahui parameter biologi dan ekonomi, perhitungan produksi
dapat dilakukan. Tabel 6 memperlihatkan produksi lestari dari berbagai rezim atau
kondisi.
Tabel 6. Hasil perhitungan bioekonomi dalam berbagai rezim
Variabel Kondisi
MEY MSY Aktual OA
Yield (h) 95,520.68 95,522.56 6,806.30 1,689.40
Effort (E) 67 67 80 135 TR (Rp) 1,024,376,943 1,024,397,148 72,991,700 18,117,351 TC (Rp) 9,058,676 9,099,086 10,842,370 18,117,351
Rente ekonomi (π) 1,015,318,267 1,015,298,062 62,149,330 0.00
Tabel 6 menunjukkan jumlah biomassa (yield), upaya (effort), total
penerimaan (TR), total biaya (TC), dan rente ekonomi dalam kondisi MEY, MSY,
Open Access (OA), dan kondisi sebenarnya atau aktual. Kondisi aktual
memperlihatkan nilai variabel effort yang paling tinggi, namun memiliki rente
ekonomi yang lebih kecil dari rente ekonomi pada kondisi MEY dan MSY.
Kondisi MEY dan MSY memiliki rente yang lebih besar dibandingkan
kondisi aktual dan open access, dengan upaya yang lebih sedikit. Rente ekonomi
pada rezim open access bernilai nol, dengan upaya paling besar. Rente ekonomi
optimal diperoleh pada kondisi MEY dan MSY, hal ini ditunjukkan oleh jarak
vertikal antara penerimaan dan biaya yang merupakan jarak terbesar. Tingkat
upaya (effort) pada kondisi aktual sudah melebihi kedua rezim tersebut yaitu
sebesar 80 trip dengan biomassa sebesar 6806.30 kg per tahun.
4.2. Pembahasan 4.2.1. Hasil tangkapan
Pelabuhan perikanan pantai Labuan terdiri dari tiga PPP, yaitu PPP 1, PPP 2,
dan PPP 3. Pendaratan ikan swanggi dilakukan di PPP 1 Labuan, dimana armada
penangkapan ikan swanggi adalah kapal berukuran 2-6 GT dengan alat tangkap
jaring rampus dan kapal berukuran 6-24 GT dengan alat tangkap jaring cantrang.
Hasil tangkapan dominan di PPP 1 Labuan adalah ikan-ikan demersal seperti ikan