• Tidak ada hasil yang ditemukan

. Kajian Biologi Reproduksi Ikan Swanggi (Priacanthus Tayenus Richardson, 1846) Di Perairan Selat Sunda Yang Didaratkan Di Ppp Labuan, Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan ". Kajian Biologi Reproduksi Ikan Swanggi (Priacanthus Tayenus Richardson, 1846) Di Perairan Selat Sunda Yang Didaratkan Di Ppp Labuan, Banten"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN SWANGGI

(

Priacanthus tayenus

Richardson, 1846) DI PERAIRAN SELAT

SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, BANTEN

IRZA CANDRA PRAMADIKA

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Biologi Reproduksi Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) di Perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

(4)

ABSTRAK

IRZA CANDRA PRAMADIKA. Kajian Biologi Reproduksi Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) di Perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, Banten. Dibimbing oleh RAHMAT KURNIA dan YUNIZAR ERNAWATI.

Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) merupakan salah satu ikan demersal yang memiliki nilai ekonomis dan ekologis penting. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan pengelolaan yang tepat terhadap ikan swanggi berdasarkan aspek biologi reproduksi. Data yang digunakan adalah panjang dan bobot ikan, jenis kelamin ikan, tingkat kematangan gonad (TKG), bobot dan volume gonad, jumlah telur, dan diameter telur. Data tersebut diambil secara primer mulai bulan Juli sampai bulan Oktober 2013 di PPP Labuan Banten dengan waktu pengambilan contoh sebanyak enam kali dan dilakukan setiap 20 hari. Ukuran pertama kali matang gonad ikan swanggi berkisar antara 182-219 mm untuk betina dan 170-204 mm untuk jantan. Puncak musim pemijahan terjadi pada bulan Juli dan Oktober dengan pola pemijahan partial spawner. Potensi reproduksi ikan swanggi berdasarkan analisis fekunditas adalah rendah.

Kata kunci:

ABSTRACT

IRZA CANDRA PRAMADIKA. Reproductive Biology Assessment of Purple-spotted Bigeye (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) in Sunda Strait which Landed in PPP Labuan, Banten. Supervised by RAHMAT KURNIA and YUNIZAR ERNAWATI.

Purple-spotted bigeye (Priacanthus tayenus) is a one of demersal fish which has an important economical and ecological value. The purpose of this research is to determine the appropriate management of purple-spotted bigeye based on reproductive biological aspects. The data used are length and weight of fish, fish sex, gonad maturity level, weight and volume of gonad, number of eggs, and egg diameter. These data are taken primarily from July to October 2013 in coastal fisheries harbor Labuan Banten with six time sampling and performed every 20 days. The size of first time mature gonad is between 182-219 mm for female and 170-204 mm for male. Peak spawning season of purple-spotted bigeye occurred on July and October. Spawning pattern of purple-spotted bigeye is partial spawner. Reproduction potential of purple-spotted bigeye based on fecundity analysis is low.

Keywords:

Biologi reproduksi, ikan swanggi, pola pemijahan, potensi reproduksi, Priacanthus tayenus.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada

Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan

KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN SWANGGI

(Priacanthus tayenus

Richardson, 1846) DI PERAIRAN SELAT

SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, BANTEN

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 ini ialah biologi reproduksi ikan, dengan judul Kajian Biologi Reproduksi Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) di Perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, Banten.

Terima kasih Penulis sampaikan kepada:

1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk studi.

2. Beasiswa BBM-IPB yang telah memberikan bantuan dana pendidikan perkuliahan.

3. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan atas biaya penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), DIPA IPB Tahun Ajaran 2013, kode Mak : 2013. 089. 521219, Penelitian Dasar untuk Bagian, Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitan dan Pengabdian kepada Masyarakat, IPB dengan judul “Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Sumberdaya Ikan Ekologis dan Ekonomis Penting di Perairan Selat Sunda, Provinsi Banten” yang dilaksanakan oleh Prof Dr Ir Mennofatria Boer DEA (sebagai ketua peneliti) dan Dr Ir Rahmat Kurnia MSi (sebagai anggota peneliti).

4. Dr Ir Achmad Fahrudin MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, bimbingan, motivasi, solusi, dan seluruh bantuannya dalam penyelesaian skripsi.

5. Dr Ir Rahmat Kurnia MSi dan Dr Ir Yunizar Ernawati MS sebagai dosen pembimbing skripsi atas bimbingannya dalam penyusunan dan perbaikan skripsi.

6. Dr Ir Mennofatria Boer DEA dan Dr Ir Achmad Fahrudin MSi sebagai penguji sidang skripsi.

7. Bapak, ibu, kakak, dan adik serta keluarga tercinta yang selalu memberikan do’a dan dukungan secara moral maupun spiritual dalam penyusunan skripsi.

8. Teman satu angkatan di Manajemen Sumber Daya Perairan angkatan 47, serta sahabat Penulis Rivany, Rifqi, dan Hilmi atas bantuan, semangat, dan keceriaan yang diberikan dalam penyusunan skripsi.

9. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE PENELITIAN 2

Waktu dan Tempat Penelitian 2

Alat dan Bahan 2

Metode Kerja 3

Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Hasil 8

Pembahasan 16

KESIMPULAN DAN SARAN 19

Kesimpulan 19

Saran 19

DAFTAR PUSTAKA 20

LAMPIRAN 22

(10)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan TKG berdasarkan Cassie (1956) in Effendie (1979) 4

2 Rasio kelamin ikan swanggi 10

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penangkapan ikan swanggi 3

2 Hubungan panjang dan bobot ikan swanggi betina 9

3 Hubungan panjang dan bobot ikan swanggi jantan 9

4 Nilai tengah faktor kondisi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) betina

dan jantan berdasarkan waktu pengamatan 10

5 Frekuensi tingkat kematangan gonad ikan swanggi betina berdasarkan

waktu pengamatan 11

6 Frekuensi tingkat kematangan gonad ikan swanggi jantan berdasarkan

waktu pengamatan 11

7 Struktur morfologi gonad ikan swanggi (Priacanthus tayenus) betina 12 8 Struktur morfologi gonad ikan swanggi (Priacanthus tayenus) jantan 13 9 Indeks kematangan gonad ikan swanggi (Priacanthus tayenus) betina

pada setiap pengamatan 14

10 Indeks kematangan gonad ikan swanggi (Priacanthus tayenus) betina

pada setiap pengamatan 14

11 Hubungan fekunditas dengan panjang total ikan swanggi betina 15 12 Hubungan fekunditas dengan bobot total ikan swanggi betina 15 13 Sebaran diameter telur ikan swanggi (Priacanthus tayenus) betina TKG

III dan TKG IV 16

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hubungan panjang dan bobot ikan swanggi betina dan jantan 22 2 Data faktor kondisi (FK) rata-rata ikan swanggi betina dan jantan 22

3 Data frekuensi relatif TKG ikan swanggi betina 22

4 Data frekuensi relatif TKG ikan swanggi jantan 23

5 Contoh perhitungan ukuran pertama kali matang gonad ikan swanggi

betina dan jantan 23

6 Data IKG ikan swanggi betina dan jantan 23

7 Data fekunditas ikan swanggi betina 24

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) Labuan, Banten merupakan salah satu pelabuhan perikanan di Indonesia yang cukup berkembang dan memiliki potensi perikanan yang cukup besar. Pelabuhan perikanan ini terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Ikan-ikan yang didaratkan di PPP Labuan terdiri dari ikan pelagis dan ikan demersal yang berasal dari Selat Sunda. Salah satu hasil tangkapan ikan demersal yang cukup dominan di PPP Labuan adalah ikan swanggi.

Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) atau biasa disebut dengan nama ikan raja gantang merupakan ikan karang demersal dengan karakteristik khusus berwarna merah muda, memiliki mata besar, dan pada sirip perut terdapat bintik berwarna ungu kehitam-hitaman (FAO 1999). Menurut Adilaviana (2012), ikan swanggi termasuk ikan hasil tangkapan dominan urutan kelima dengan persentase sebesar 8.25% dari total tangkapan ikan demersal di PPP Labuan. Laju penangkapan ikan swanggi mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Ikan swanggi merupakan ikan yang memiliki nilai ekonomis dan ekologis penting. Ikan ini memiliki nilai ekonomis penting karena banyak diperjualbelikan di pelelangan ikan dengan harga jual mulai dari Rp 11.000,- sampai Rp 18.000,- per kilogram. Ikan swanggi juga dikatakan memiliki nilai ekologis penting karena termasuk salah satu ikan karang yang berperan dalam struktur trofik (Powell 2000). Ikan Priacanthidae merupakan ikan predator pemakan zooplankton, dan beberapa makanan utamanya berupa udang-udangan. Keberadaan ikan ini sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem di perairan.

Penelitian mengenai pola reproduksi ikan swanggi yang ditangkap di perairan Indonesia khususnya di perairan Selat Sunda sudah pernah dilakukan. Namun, penelitian kali ini dilakukan untuk membandingkan kondisi sekarang dengan kondisi pada penelitian sebelumnya, karena dengan berbedanya waktu pengambilan contoh, tentu kondisi biologi reproduksi ikan tersebut akan berbeda pula. Penelitian ini dilakukan untuk melengkapi data yang dibutuhkan agar pengelolaan sumber daya ikan khususnya ikan swanggi dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan tetap lestari di perairan.

Perumusan Masalah

(12)

2

Aspek reproduksi yang dimaksud dalam penelitian ini mencakup penentuan ukuran pertama kali matang gonad, musim pemijahan, pola pemijahan, dan potensi reproduksi ikan swanggi yang dilakukan berdasarkan analisis data pendukung. Data pendukung tersebut adalah faktor kondisi, rasio kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad (IKG), fekunditas, dan diameter telur.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kondisi sumber daya ikan swanggi (Priacanthus tayenus) sekarang dengan kondisi pada penelitian sebelumnya, ditinjau dari aspek biologi reproduksi. Aspek biologi reproduksi tersebut adalah ukuran pertama kali matang gonad, musim pemijahan, pola pemijahan, dan potensi reproduksi.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai pola reproduksi ikan swanggi sehingga dapat melengkapi data yang dibutuhkan dalam sistem pengelolaan. Pengelolaan terhadap ikan swanggi dilakukan agar pemanfaatannya berkelanjutan dan keberadaan ikan swanggi tetap lestari di perairan.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juli sampai bulan Oktober 2013 di PPP Labuan, Banten. Waktu pengambilan contoh dilakukan setiap 20 hari, sehingga pengambilan contoh dilakukan sebanyak enam kali. Jenis ikan yang diambil untuk penelitian ini adalah ikan swanggi (Priacanthus tayenus). Analisis ikan contoh dilakukan di Laboratorium Biologi Perikanan, Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Gambar 1 merupakan peta lokasi penangkapan ikan swanggi.

Alat dan Bahan

(13)

3

Gambar 1 Peta lokasi penangkapan ikan swanggi

Metode Kerja

Pengumpulan ikan contoh

Pengambilan contoh ikan swanggi dilakukan dengan menggunakan metode penarikan contoh acak sederhana (PCAS), yaitu dengan mengambil ikan secara acak dari keranjang nelayan yang berisi berbagai ukuran ikan di TPI (tempat pelelangan ikan) Labuan, Banten. Ikan-ikan tersebut merupakan hasil tangkapan yang berasal dari perairan Selat Sunda. Terhadap setiap ikan contoh dilakukan pengukuran panjang total dan penimbangan bobot total, kemudian dimasukkan dalam plastik klip dan diberi nomor, lalu dimasukkan ke dalam coolbox dan diberi es batu. Ikan tersebut dibawa ke laboratorium untuk keperluan analisis gonad.

Kegiatan di laboratorium Pengukuran panjang dan bobot

Pengukuran panjang total ikan dimulai dari mulut ikan sampai ujung ekor (sirip kaudal) dilakukan menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm (Affandi et al. 1992). Pengukuran bobot ikan dilakukan dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 1 g di laboratorium.

Pengambilan gonad

(14)

4

betina yang telah masuk dalam kategori TKG III dan IV diawetkan menggunakan formalin 4% dan dimasukkan ke dalam plastik klip untuk pengamatan fekunditas dan diameter telur.

Penentuan tingkat kematangan gonad (TKG)

Tingkat kematangan dan perkembangan gonad ikan dapat ditentukan secara morfologis seperti yang tercantum pada Tabel 1. Setelah dilakukan pengamatan morfologis, gonad betina dengan TKG III dan TKG IV diawetkan dengan menggunakan formalin 4% untuk analisis fekunditas dan diameter telur. Tabel 1 Perkembangan TKG berdasarkan Cassie (1956) in Effendie (1979)

TKG Jantan Betina

I Gonad sangat kecil seperti benang dan transparan. Penampang gonad pipih dengan warna kelabu.

Gonad sangat kecil seperti benang. Penampang tampak bulat dengan warna kemerah-merahan.

II Gonad mengisi seperempat rongga tubuh. Warna kelabu atau putih dan berbentuk pipih.

Permulaan masak. Ukuran lebih besar dari TKG I. Gonad berwarna kemerahan atau kuning dan berbentuk bulat. Telur tidak tampak.

III Gonad mengisi setengah rongga tubuh. Ukuran gonad lebih besar. Warna putih.

Hampir masak. Ukuran gonad lebih besar. Warna kuning. Bentuk telur tampak melalui dinding ovari.

IV Gonad mengisi tiga perempat rongga tubuh. Gonad berwarna putih susu berisi cairan berwarna putih.

Masak. Gonad berwarna kuning, hampir bening atau bening. Telur terlihat jelas. Dengan tekanan halus pada perutnya, akan ada yang menonjol pada lubang

pelepasannya. V Gonad kempis. Warna putih,

kadang-kadang dengan bintik cokelat.

Gonad kempis. Warna merah. Lembek dan telur tidak tampak. Jumlah telur diambil dari telur yang ada pada cawan petri tersebut sebanyak 1 ml menggunakan pipet tetes. Jumlah telur dihitung satu per satu dengan menggunakan hand counter. Metode yang digunakan untuk penentuan fekunditas adalah metode gabungan.

Penentuan diameter telur

(15)

5

Analisis Data

Hubungan panjang bobot

Gambaran pola pertumbuhan ikan dapat dilihat melalui hubungan panjang dan bobot dalam suatu bentuk persamaan eksponensial. Menurut Effendie (2002), hubungan panjang dan bobot dapat ditentukan menggunakan rumus berikut.

W = aLb (1)

Keterangan:

W : bobot total (gram) L : panjang total (mm) a : intersep

b : slope

Pola pertumbuhan ditentukan dari nilai konstanta b (slope) yang diperoleh dari perhitungan panjang dan bobot melalui hipotesis. Hipotesis yang digunakan untuk menentukan pola pertumbuhan adalah sebagai berikut.

1. H0  Bila nilai b=3, pola pertumbuhan bersifat isometrik (pertumbuhan panjang sama dengan pertumbuhan bobot)

2. H1  Bila nilai b≠3, pola pertumbuhan bersifat alometrik, yaitu:

a) Bila nilai b>3, alometrik positif (pertumbuhan bobot lebih dominan) b) Bila nilai b<3, alometrik negatif (pertumbuhan panjang lebih dominan) Hipotesis tersebut kemudian diuji menggunakan uji statistik sebagai berikut.

thitung = | b

-| (2)

Sb1 adalah galat baku dugaan b1 atau b yang dihitung dengan rumus berikut. s

∑ni i - n(∑ni i) (3)

Menurut Walpole (1993), nilai thitung kemudian dibandingkan dengan nilai ttabel pada selang kepercayaan 95% dan keputusannya adalah sebagai berikut.

a) Jika thitung > ttabel, maka tolak hipotesis nol (H0)

b) Jika thitung < ttabel, maka gagal menolak hipotesis nol (H0)

Faktor kondisi

Menurut Effendie (2002), faktor kondisi (K) adalah suatu keadaan yang menyatakan kemontokan ikan dan dihitung dengan menggunakan rumus berikut.

(16)

6

Keterangan:

K : faktor kondisi

W : bobot tubuh ikan contoh (gram) L : panjang total ikan contoh (gram) a : intersep

b : slope

Effendie (1979) menyatakan bahwa apabila nilai K berkisar antara 2-4 menunjukkan badan ikan tersebut berbentuk agak pipih, nilai K yang berkisar antara 1-3 menunjukkan bahwa badan ikan tersebut berbentuk kurang pipih.

Rasio kelamin

Rasio kelamin dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah ikan betina dan ikan jantan dari ikan contoh, sehingga dapat diketahui rasio antara ikan betina dan ikan jantan. Menurut Effendie (2002), analisis untuk mengetahui rasio kelamin ikan betina dan ikan jantan dirumuskan sebagai berikut.

p (%) = AB (5)

Keterangan:

p : rasio kelamin (jantan/betina)

A : jumlah jenis ikan tertentu (jantan/betina) B : jumlah total individu ikan yang ada (ekor)

Rasio antara ikan jantan dan ikan betina dari suatu populasi ikan tersebut kemudian diuji kembali dengan menggunakan uji Chi-square (χ2). Analisis ini dilakukan dengan bantuan software Microsoft Excel, sehingga dapat diketahui keseimbangan populasi (Steel dan Torrie 1993). Hipotesis yang digunakan untuk menentukan keseimbangan populasi adalah sebagai berikut.

1. H0  Jika p=0.5, maka proporsi ikan jantan dan ikan betina seimbang di perairan

2. H1 Jika p≠0.5, dilakukan uji Chi-square, yaitu:

a) Jika nilai χ2hitung > χ2tabel, maka proporsi ikan betina dan ikan jantan tidak seimbang di perairan.

b) Jika nilai χ2hitung < χ2tabel, maka proporsi ikan betina dan ikan jantan seimbang di perairan.

Menurut Steel dan Torrie (1993), rumus uji Chi-square adalah sebagai berikut. χ2

nilai bagi peubah acak yang sebaran penarikan contohnya mengikuti sebaran khi-kuadrat

(17)

7

Tingkat kematangan gonad (TKG)

Tingkat kematangan gonad ikan dilakukan dengan cara pengamatan morfologis. Hasil pengamatan dibandingkan dengan tabel perkembangan TKG menurut Cassie (1956) in Effendie (1979).

Penentuan ukuran ikan pertama kali matang gonad

Pendugaan ukuran pertama kali ikan matang gonad dilakukan untuk mengetahui umur ikan swanggi di Selat Sunda pertama kali matang gonad. Pendugaan ini dilakukan dengan memisahkan kelompok yang belum matang gonad (TKG I, II, dan III) dan kelompok yang sudah matang gonad (TKG IV), kemudian dibuat grafik berdasarkan selang kelas.

Metode Spearman-Karber adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk menduga ukuran rata-rata ikan swanggi pertama kali matang gonad (Udupa 1986).

Menurut Effendie (2002), indeks kematangan gonad dapat diukur dengan membandingkan bobot gonad dengan bobot tubuh ikan. Rumus IKG adalah sebagai berikut.

IKG (%) = B

B (9)

Keterangan:

IKG : indeks kematangan gonad (%) BG : bobot gonat total (gram) BT : bobot tubuh (gram)

log panjang ikan pada kematangan gonad pertama

log nilai tengah kelas panjang yang terakhir ikan telah matang gonad log pertambahan panjang pada nilai tengah

proporsi ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i

jumlah ikan pada kelas panjang ke-i 1 – pi

(18)

8

Fekunditas

Menurut Effendie (2002), fekunditas ikan atau jumlah telur masak sebelum dikeluarkan saat ikan memijah dapat dihitung dengan metode gabungan menggunakan rumus berikut.

F =

(10)

Keterangan:

F : fekunditas gabungan (butir) G : berat gonad total (gram) V : volume pengenceran (ml) X : jumlah telur tiap ml (butir) Q : berat telur contoh (gram)

Menurut Effendie (2002), fekunditas dapat dihubungkan dengan panjang tubuh maupun bobot tubuh. Hubungan antara fekunditas dengan panjang dirumuskan sebagai berikut.

F = aLb (11)

Hubungan antara fekunditas dengan bobot dirumuskan sebagai berikut.

F = aWb (12)

Keterangan:

F : fekunditas total (butir) L : panjang total ikan (mm) W : bobot total ikan (gram) a : intersep

b : slope

Diameter telur

Diameter telur diamati di bawah mikroskop binokuler majemuk dengan bantuan mikrometer okuler yang telah ditera sebelumnya dengan perbesaran 4x10. Pengukuran ini dilakukan pada telur-telur yang berada pada tingkat kematangan gonad (TKG) III dan IV. Selanjutnya diameter telur dianalisis dalam bentuk histogram.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hubungan panjang dan bobot

(19)

9 bahwa pola pertumbuhan ikan swanggi betina maupun jantan adalah allometrik negatif (pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan bobot). Gambar 2 dan 3 menunjukkan hubungan panjang dan bobot ikan swanggi betina dan jantan (Lampiran 1).

Gambar 2 Hubungan panjang dan bobot ikan swanggi betina

Gambar 3 Hubungan panjang dan bobot ikan swanggi jantan

Faktor kondisi (FK)

Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan secara fisik untuk bereproduksi dan bertahan hidup. Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa terjadi perubahan faktor kondisi dari masing-masing waktu pengamatan baik ikan swanggi betina

(20)

10

maupun jantan. Nilai faktor kondisi (FK) rata-rata tertinggi ikan swanggi betina terdapat pada waktu pengamatan tanggal 27 Juli 2013 (waktu pengamatan ke-2) adalah sebesar 1.07, sedangkan nilai FK rata-rata tertinggi ikan swanggi jantan terdapat pada waktu pengamatan tanggal 7 Juli 2013 (waktu pengamatan ke-1) adalah sebesar 1.06. Gambar 4 menunjukkan faktor kondisi ikan swanggi betina dan jantan berdasarkan waktu pengamatan (Lampiran 2).

Gambar 4 Nilai tengah faktor kondisi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) betina dan jantan berdasarkan waktu pengamatan

Rasio kelamin

Rasio kelamin merupakan perbandingan jenis kelamin betina dan jantan. Rasio jenis kelamin ikan swanggi betina dan jantan dari hasil penelitian ini diperoleh sebesar 1.3:1 (57%:43%). Setelah dilakukan uji Chi-square dengan selang kepercayaan 95% diperoleh hasil bahwa perbandingan ikan swanggi dalam keadaan tidak seimbang. Menurut Bal dan Rao (1984), rasio kelamin antara ikan betina dan jantan yang ideal dalam suatu populasi adalah 1:1 (50% betina dan 50% jantan). Namun dapat pula terjadi perbedaan proporsi yang disebabkan oleh tingkah laku bergerombol dari ikan betina dan ikan jantan, perbedaan laju mortalitas, serta pertumbuhannya. Tabel 2 menunjukkan rasio kelamin ikan swanggi setiap waktu pengamatan.

(21)

11

Tingkat kematangan gonad (TKG)

Tingkat kematangan gonad adalah tahapan-tahapan perkembangan gonad pada ikan sebelum dan setelah memijah. Ikan swanggi yang diamati selama penelitian terdiri dari ikan TKG I, TKG II, TKG III, dan TKG IV. Berdasarkan gambar 3 dan 4 dapat dilihat bahwa ikan swanggi betina yang diamati dominan TKG III dan IV pada pengamatan 7 Juli, 27 Juli, dan 13 Oktober 2013, sedangkan jantan dominan TKG III dan IV pada pengamatan 27 Juli dan 13 Oktober 2013. Gambar 5 dan 6 menunjukkan frekuensi tingkat kematangan gonad ikan swanggi betina dan jantan berdasarkan waktu pengamatan (Lampiran 3 dan 4).

Gambar 5 Frekuensi tingkat kematangan gonad ikan swanggi betina berdasarkan waktu pengamatan

(22)

12

Jenis kelamin ikan swanggi ditentukan berdasarkan pengamatan morfologis gonad. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan ditentukan dari bentuk, ukuran, warna, dan perkembangan isi gonad berdasarkan tabel modifikasi dari Cassie (Tabel 1). Berdasarkan Gambar 7 terlihat bahwa struktur morfologi gonad ikan swanggi betina TKG I memiliki ukuran yang masih kecil dengan warna putih kemerahan. Gonad ikan swanggi betina TKG II memiliki warna putih dengan kuning kemerahan dan ukuran yang lebih besar dari gonad betina TKG II. Isi gonad betina yang berupa butir-butir telur belum terlihat pada gonad betina TKG I dan TKG II. Gonad betina TKG III memiliki warna putih kekuning-kuningan serta ukuran yang lebih besar dari gonad betina TKG II. Butir-butir telur mulai terlihat pada gonad betina TKG III. Gonad betina TKG IV memiliki warna kuning dan ukuran yang lebih besar dari gonad betina TKG III. Butir-butir telur terlihat sangat jelas pada gonad betina TKG IV. Gambar 7 menunjukkan struktur morfologi gonad ikan swanggi betina.

TKG I TKG II

TKG III TKG IV

(23)

13

TKG I TKG II

TKG III TKG IV

Gambar 8 Struktur morfologi gonad ikan swanggi (Priacanthus tayenus) jantan

Ukuran pertama kali matang gonad

Berdasarkan perhitungan dengan metode Spearman-Karber, ukuran pertama kali ikan swanggi betina matang gonad berkisar antara 182-219 mm, sedangkan ukuran pertama kali ikan swanggi jantan matang gonad berkisar antara 170-204 mm. Hal ini menunjukkan bahwa ikan swanggi jantan lebih cepat mengalami matang matang gonad dibandingkan dengan ikan betina (Lampiran 5).

Indeks kematangan gonad (IKG)

(24)

14

Gambar 9 Indeks kematangan gonad ikan swanggi (Priacanthus tayenus) betina pada setiap pengamatan

Gambar 10 Indeks kematangan gonad ikan swanggi (Priacanthus tayenus) betina pada setiap pengamatan

Fekunditas

Fekunditas merupakan jumlah telur yang terdapat pada ovari ikan betina matang gonad dan siap untuk dikeluarkan pada waktu memijah. Fekunditas dapat dihubungkan dengan panjang maupun bobot. Berdasarkan Gambar 11 dan 12 dapat dilihat bahwa fekunditas ikan swanggi semakin bertambah seiring bertambahnya panjang total dan bobot tubuh. Nilai fekunditas pada ikan swanggi betina TKG III dan IV berdasarkan perhitungan dengan metode gabungan berada pada kisaran 23434–62814 butir telur. Hubungan antara fekunditas dengan panjang total ikan swanggi (Gambar 11) ditunjukkan melalui persamaan F = 31.25L1.337 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 38.90%. Hubungan antara fekunditas dengan bobot total ikan swanggi (Gambar 12) ditunjukkan melalui persamaan F = 2957W0.550 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 48.80%. Gambar 11 dan 12 menunjukkan hubungan fekunditas dengan panjang total dan hubungan fekunditas dengan bobot total ikan (Lampiran 7).

(25)

15

Gambar 11 Hubungan fekunditas dengan panjang total ikan swanggi betina

Gambar 12 Hubungan fekunditas dengan bobot total ikan swanggi betina

Diameter telur

Pengukuran diameter telur dapat dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler yang sudah ditera dengan mikrometer objektif terlebih dahulu. Berdasarkan Gambar 13 dapat diketahui bahwa sebaran frekuensi diameter telur ikan swanggi memiliki dua modus, yaitu pada selang kelas diameter 0.108-0.140 mm dan 0.273-0.305 mm. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pola pemijahan ikan swanggi adalah pemijahan secara bertahap (partial spawner), artinya ikan swanggi mengerluarkan telur masak secara bertahap setiap melakukan pemijahan. Ikan swanggi memiliki kisaran diameter telur antara 0.075–0.503 mm. Gambar 13 menunjukkan sebaran diameter telur ikan swanggi betina TKG III dan TKG IV (Lampiran 8).

(26)

16

Gambar 13 Sebaran diameter telur ikan swanggi (Priacanthus tayenus) betina TKG III dan TKG IV

Pembahasan

Ikan swanggi di selat sunda memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif, artinya pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan bobot. Hal yang sama ditemukan pada penelitian Adilaviana (2012) terhadap ikan swanggi di perairan Selat Sunda bahwa pola pertumbuhan ikan swanggi bersifat allometrik negatif.

Ikan swanggi betina yang diamati pada penelitian ini berjumlah 193 ekor dan ikan swanggi jantan berjumlah 148 ekor. Rasio kelamin antara ikan swanggi betina dan ikan swanggi jantan berada dalam keadaan tidak seimbang (1.3:1). Hal ini sesuai dengan pernyataan Rahardjo (2006) yang menyatakan bahwa rasio kelamin ikan di daerah tropis seperti Indonesia bersifat variatif dan menyimpang dari rasio 1:1 antara betina dan jantan. Hal ini juga ditemukan pada penelitian Ballerena (2012) terhadap ikan swanggi (Priacanthus tayenus) yang didaratkan di PPP Labuan, Banten, rasio kelamin ikan swanggi betina dan jantan dalam keadaan tidak seimbang. Ikan swanggi betina lebih dominan dibandingkan dengan ikan swanggi jantan. Effendie (2002) menyatakan bahwa perbedaan jumlah ikan betina dan jantan yang tertangkap berkaitan dengan pola tingkah laku ruaya ikan (baik untuk memijah maupun mencari makan), perbedaan pola pertumbuhan, perbedaan laju mortalitas, dan perbedaan umur pertama kali matang gonad.

Ikan-ikan biasanya akan bermigrasi untuk tujuan pemijahan dan akan kembali ke daerah penangkapan setelah memijah. Banyaknya ikan betina yang ditemukan di daerah penangkapan pada waktu pengamatan dapat diduga karena ikan jantan sedang beruaya menuju feeding ground untuk mencari makan. Ikan swanggi betina yang lebih dominan tertangkap mengindikasikan bahwa kelestarian populasi ikan swanggi di perairan Selat Sunda masih dapat

(27)

17 dipertahankan. Menurut Saputra et al. (2009), dengan rasio ikan betina lebih dominan mengakibatkan peluang pembuahan sel telur oleh spermatozoa sampai menjadi individu baru akan semakin besar.

Penentuan faktor kondisi dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi secara signifikan pada suatu perairan, bahwa perubahan tersebut dapat mempengaruhi kondisi ikan. Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan bereproduksi (Effendie 1979). Nilai faktor kondisi ikan swanggi betina dan jantan pada penelitian ini mengalami fluktuasi setiap waktu pengamatan. Nilai faktor kondisi ikan swanggi betina berada pada kisaran antara 0.93–1.07, sedangkan nilai faktor kondisi ikan swanggi jantan berada pada kisaran antara 0.96–1.06.

Nilai faktor kondisi ikan swanggi betina pada penelitian ini hampir selalu lebih besar dibandingkan dengan ikan swanggi jantan. Effendie (1979) menyatakan bahwa faktor kondisi ikan betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan karena ikan betina memiliki kondisi yang lebih baik untuk proses reproduksi. Nilai faktor kondisi yang diperoleh pada penelitian ini antara ikan swanggi betina dan jantan berbeda. Hal ini diduga karena faktor kondisi dipengaruhi oleh jenis kelamin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendie (1979) yang menyatakan bahwa hal-hal yang mempengaruhi faktor kondisi, antara lain jenis kelamin, ketersediaan makanan, morfologi ikan tersebut, dan musim. Nilai faktor kondisi lebih dari 1 mengindikasikan bahwa perairan Selat Sunda memiliki ketersediaan makanan yang cukup atau kepadatan predator yang rendah (Mulfizar et al. 2012).

Menurut Manik (2009) menyatakan bahwa faktor kondisi ikan bergantung pada dua faktor, yaitu faktor biologis dan faktor eksternal lingkungan. Menurut Effendie (1979) nilai faktor kondisi yang tinggi dapat disebabkan oleh kondisi ikan itu sendiri, misalnya ketika ikan betina sedang dalam fase akan memijah dan rongga tubuh ikan terisi oleh gonad TKG IV.

Tingkat kematangan gonad (TKG) dapat digunakan untuk menduga waktu pemijahan pada ikan. Menurut Effendie (1979) tujuan menganalisis TKG salah satunya adalah untuk menentukan ikan yang matang gonad dengan yang belum matang gonad dari stok yang ada di suatu perairan. Banyaknya ikan-ikan TKG III dan IV baik betina maupun jantan pada waktu pengamatan 27 Juli dan 13 Oktober 2013 mengindikasikan bahwa pada bulan Juli dan Oktober merupakan puncak musim pemijahan ikan swanggi di perairan Selat Sunda.

Puncak musim pemijahan yang diperoleh pada penelitian ini berbeda dengan peneltian Ballerena (2012). Peneltian Ballerena (2012) menyebutkan bahwa puncak musim pemijahan ikan swanggi di perairan Selat Sunda terjadi pada Bulan Maret dan September. Hal ini mengindikasikan bahwa musim pemijahan ikan swanggi di perairan Selat Sunda terjadi sepanjang tahun.

(28)

18

swanggi jantan lebih cepat mengalami matang gonad karena proses pematangan gonad jantan (spermatogenesis) membutuhkan waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan proses pematangan gonad betina (oogenesis).

Sulistiono et al. (2001) menyatakan bahwa perbedaan ukuran pertama kali matang gonad pada ikan betina dan jantan dapat disebabkan oleh parameter pertumbuhan yang berbeda-beda. Ukuran pertama kali matang gonad ikan swanggi pada penelitian ini berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian Ballerena (2012), yaitu mengalami perubahan ukuran panjang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Udupa (1986) yang menyatakan bahwa individu dari satu kelas panjang yang sama tidak selalu mencapai panjang pertama kali matang gonad pada ukuran sama karena ukuran pertama kali matang gonad sangat bervariasi di antara maupun dalam jenis ikan itu sendiri.

Indeks kematangan gonad (IKG) merupakan perubahan kondisi perkembangan gonad yang dilihat secara kuantitatif. Semakin tinggi TKG ikan, tentu bobot gonad ikan akan semakin besar, sehingga nilai IKG pun akan meningkat. Nilai IKG ikan swanggi betina lebih besar dibandingkan nilai IKG ikan swanggi jantan. Hal ini dikarenakan gonad ikan betina memiliki ukuran lebih besar dibandingkan gonad ikan jantan. Gonad ikan betina berukuran lebih besar karena berisi sel telur. Sel telur tersebut banyak memiliki berbagai material penting yang dibutuhkan oleh individu baru dibandingkan dengan sel sperma. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendie (1979) yang menyatakan bahwa biasanya ovarium pada ikan betina akan lebih berat dibandingkan testes pada ikan jantan. Nilai IKG pada pengamatan tanggal 27 Juli dan 13 Oktober 2013 cukup tinggi baik ikan betina maupun ikan jantan, sehingga dapat diduga bahwa pada Bulan Juli dan Oktober terjadi puncak musim pemijahan. Ozvarol et al. (2010) menyatakan bahwa musim atau waktu pemijahan terjadi ketika nilai IKG untuk kedua jenis kelamin mencapai tingkat tertinggi.

Fekunditas adalah jumlah telur masak yang dapat dikeluarkan oleh ikan. Ikan swanggi pada penelitian ini memiliki kisaran fekunditas sebesar 23434– 62814 butir telur. Namun pada penelitian Ballerena (2012) terhadap ikan swanggi di perairan Selat Sunda, fekunditas ikan swanggi berkisar antara 10676–835805 butir telur. Menurut Yustina dan Arnentis (2002) dalam penelitian ikan kapiek di Sungai Rangau, fekunditas berkisar 100000–300000 termasuk dalam fekunditas besar, sehingga dapat diduga ikan swanggi pada penelitian ini memiliki potensi reproduksi rendah. Menurut Ballerena (2012) nilai fekunditas yang berbeda dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti perbedaan spesies, perbedaan lingkungan perairan, serta kondisi fisiologi ikan.

Nilai koefisien determinasi antara fekunditas dan bobot tubuh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai koefisien determinasi antara fekunditas dan panjang total. Nilai ini menunjukkan bahwa hubungan antara fekunditas dan bobot lebih kuat dibandingkan dengan hubungan antara fekunditas dan panjang total. Hal ini mengindikasikan bahwa pendugaan fekunditas dan bobot tubuh relatif lebih akurat dibandingkan dengan panjang total. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendie (2002) yang menyatakan bahwa fekunditas mutlak sering dihubungkan dengan bobot, karena bobot lebih mendekati kondisi ikan tersebut dibandingkan panjang.

(29)

19 masaknya secara bertahap setiap melakukan pemijahan. Menurut Effendie (2002), pola pemijahan seperti ini adalah pola pemijahan partial spawner. Hasil yang sama ditemukan pada penelitian Ballerena (2012) terhadap ikan swanggi di perairan Selat Sunda, bahwa pola pemijahan yang dihasilkan adalah partial spawner.

Alternatif Pengelolaan

Berdasarkan hasil kajian biologi reproduksi ikan swanggi yang didaratkan di PPP Labuan, Banten, pengelolaan yang dapat dilakukan adalah pengaturan selektivitas alat tangkap berdasarkan analisis ukuran pertama kali matang gonad. Tujuannya adalah agar ukuran ikan yang tertangkap melebihi ukuran pertama kali matang gonad dengan cara mengatur ukuran mata jaring menjadi lebih besar dibandingkan dengan ukuran yang digunakan sebelumnya.

Puncak musim pemijahan ikan swanggi di Selat Sunda adalah pada bulan Juli dan Oktober. Berdasarkan pola dan musim pemijahan, pengaturan waktu penangkapan ikan swanggi di Selat Sunda dapat dilakukan dengan cara tidak ada aktivitas penangkapan ikan swanggi selama musim pemijahan. Tujuannya adalah agar tidak mengganggu proses pemijahan ikan swanggi, sehingga hubungan dari generasi ke generasi berikutnya tidak terputus.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Jumlah ikan betina lebih dominan dibandingkan ikan jantan dengan rasio 1.3:1. Ukuran pertama kali ikan swanggi betina matang gonad berkisar antara 182-219 mm dan ikan swanggi jantan berkisar antara 170-204 mm. Musim pemijahan ikan swanggi terjadi pada bulan Juli dan Oktober. Potensi reproduksi ikan swanggi rendah dengan pola pemijahan partial spawner. Alternatif pengelolaan yang dapat dilakukan adalah pengaturan ukuran mata jaring alat tangkap yang digunakan dan tidak boleh ada aktivitas penangkapan ikan swanggi selama musim pemijahan.

Saran

(30)

20

DAFTAR PUSTAKA

Adilaviana T. 2012. Kajian stok ikan swanggi (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, Pandeglang, Banten [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Affandi R, Sjafei DS, Rahardjo MF, Sulistiono. 1992. Iktiologi: Suatu Pedoman Kerja Laboratorium. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Bal DV, Rao KV. 1984. Marine Fisheries. New Delhi (IN): McGraw-Hill Publishing Company Limited.

Ballerena CP. 2012. Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus, Richardson, 1846) yang didaratkan di PPP Labuan Banten [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Effendie MI. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Bogor (ID): Yayasan Dewi Sri. Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID): Yayasan Pustaka

Nusatama.

[FAO] Food Agricultural Organization. 1999. The living marine resources of Western Central Pasific. Virginia (US): FAO.

Manik N. 2009. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi ikan layang (Decapterus russelli) dari perairan sekitar Teluk Likupang Sulawesi Utara. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 35(1):65-74.

Mulfizar, Muchlisin ZA, Dewiyanti I. 2012. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi tiga jenis ikan yang tertangkap di perairan Kuala Gigieng, Aceh Besar, Provinsi Aceh. Depik Jurnal. 1(1):1-9.

Ozvarol ZAB, Balci BA, Tasli MGA, Kaya Y, Pehlivan M. 2010. Age, growth, and reproduction of goldband goatfish (Upeneus moluccensis, Bleeker (1855)) from the Gulf of the Antalya (Turkey). Journal of Animal and Sciaenidae di perairan pantai Mayangan, Jawa Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia. 5(2):63-68.

Saputra SW, Soedarsono P, Sulistyawati GA. 2009. Beberapa aspek biologi reproduksi ikan kuniran (Upeneus spp) di perairan Demak. Jurnal Saintek Perikanan. 5(1):1-6.

Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika (Pendekatan Biometrik), penerjemah: Sumantri B. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.

Sulistiono, Jannah MR, Ernawati Y. 2001. Reproduksi ikan belanak (Mugil dussumieri) di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Jurnal Iktiologi Indonesia. 1(2):39-47.

Udupa KS. 1986. Statistical method of estimating the size at first matury in fishes. Fishbyte. 4(2):8-10.

(31)
(32)

22

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hubungan panjang dan bobot ikan swanggi betina dan jantan a. Ikan swanggi betina

Koefisien Standar Deviasi Perpotongan 0.0025 0.1666 Kemiringan 1.9692 0.0742 thit 13.8996

ttab 2.2592

thit> ttab maka tolak Ho, dan b<3 maka allometrik negatif b. Ikan swanggi jantan

Koefisien Standar Deviasi Perpotongan 0.0013 0.0933 Kemiringan 2.0821 0.0414 thit 22.1878

ttab 2.2648

thit> ttab maka tolak Ho, dan b<3 maka allometrik negatif

Lampiran 2 Data faktor kondisi (FK) rata-rata ikan swanggi betina dan jantan

Sampling Betina Jantan

FK rata-rata STDEV FK rata-rata STDEV

7 Juli 2013 0.9978 0.1709 1.0639 0.1141

27 Juli 2013 1.0695 0.3451 1.0332 0.1175

16 Agu 2013 0.9725 0.1023 0.9966 0.1944

6 Sep 2013 0.9322 0.0984 0.9631 0.1115

28 Sep 2013 1.0351 0.3432 1.0090 0.1201

13 Okt 2013 1.0295 0.1499 1.0188 0.1270

Lampiran 3 Data frekuensi relatif TKG ikan swanggi betina Sampling

Frekuensi relatif (%) TKG

1 2 3 4

7 Juli 2013 36.36 27.27 9.09 27.27 27 Juli 2013 21.05 34.21 18.42 26.32 16 Agu 2013 57.69 38.46 0.00 3.85

6 Sep 2013 23.81 61.90 4.76 9.52

(33)

23

Lampiran 4 Data frekuensi relatif TKG ikan swanggi jantan Sampling

Frekuensi relatif (%) TKG

1 2 3 4

7 Juli 2013 71.43 14.29 14.29 0.00 27 Juli 2013 6.25 25.00 37.50 31.25 16 Agu 2013 68.57 17.14 2.86 11.43 6 Sep 2013 53.33 13.33 6.67 26.67 28 Sep 2013 42.31 26.92 17.31 13.46 13 Okt 2013 17.39 26.09 13.04 43.48

Lampiran 5 Contoh perhitungan ukuran pertama kali matang gonad ikan swanggi betina dan jantan

a. Ikan swanggi betina

m = ∑ = - = 2.30

M = antilog ( √ ∑

) = antilog ( √ ) M = antilog  181.97 mm < M < 218.78 mm

b. Ikan swanggi betina

m = ∑ = - = 2.27

M = antilog ( √ ∑

) = antilog ( √ ) M = antilog  169.82 mm < M < 204.17 mm

Lampiran 6 Data IKG ikan swanggi betina dan jantan

(34)

24

Lampiran 7 Data fekunditas ikan swanggi betina Ikan ke- L

(mm)

W

(gram) TKG

Bobot gonad total (gram)

Volume gonad

total (ml) Fekunditas

1 212 107 4 3.5970 3 6221

2 195 88 3 0.7801 1 1184

3 186 80 4 2.8265 3 5352

4 225 152 4 4.7863 5 14720

5 205 98 4 3.6547 4 18304

6 210 148 4 6.0583 5 41216

7 200 96 4 5.4271 4 12314

8 173 62 3 1.5280 2 3885

9 154 63 3 1.9026 2 3136

10 207 121 4 5.0816 4 14495

11 175 63 3 1.6103 1.5 2852

12 180 71 4 1.7411 1.6 2996

13 178 74 4 2.9472 3 10317

14 170 63 3 1.8835 3 3690

15 247 176 4 5.0466 5 22247

16 261 190 4 5.7222 5.4 42956

17 210 111 4 7.0288 4 14405

18 190 106 3 3.0841 2.8 20520

19 181 79 4 2.9713 2.8 9629

20 200 101 4 4.2450 4.2 17035

21 169 63 3 2.1924 2.2 7336

22 164 60 3 2.4804 1.8 6190

(35)

25

Lampiran 8 Data diameter telur ikan swanggi betina

Selang Kelas Xi Fi Frekuensi Relatif (%)

0.075-0.107 0.091 107 2.30

0.108-0.140 0.124 174 3.74

0.141-0.173 0.157 116 2.49

0.174-0.206 0.190 145 3.12

0.207-0.239 0.223 146 3.14

0.240-0.272 0.256 360 7.74

0.273-0.305 0.289 1569 33.74

0.306-0.338 0.322 694 14.92

0.339-0.371 0.355 537 11.55

0.372-0.404 0.388 529 11.38

0.405-0.437 0.421 119 2.56

0.438-0.470 0.454 93 2.00

(36)

26

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 16 Juni 1992 dari ayah Dajat Hidajat MI dan ibu Neneng Suhermawati. Penulis adalah putra kedua dari empat bersaudara. Penulis telah menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Akbar tahun 1998, Sekolah Dasar (SD) Negeri Polisi 5 Bogor tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Bogor tahun 2007. Tahun 2010 Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bogor dan pada tahun yang sama Penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama menjadi mahasiswa, Penulis memperoleh beasiswa POM-IPB tahun 2010-2012 dan beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) IPB tahun 2013-2014. Kegiatan Penulis di luar akademik, yaitu Penulis pernah menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumber Daya Perairan (HIMASPER) tahun ajaran 2012/2013 sebagai ketua Divisi Informasi dan Komunikasi. Penulis juga pernah aktif menjadi panitia sebagai anggota divisi Logistik dan Transportasi WATER FESTIVAL 2013, anggota divisi Publikasi Dekorasi dan Dokumentasi GREEN BELT CONSERVATION 2013, dan ketua divisi Publikasi Dekorasi dan Dokumentasi MSP CUP 2013.

Gambar

Gambar 1  Peta lokasi penangkapan ikan swanggi
Tabel 1  Perkembangan TKG berdasarkan Cassie (1956) in Effendie (1979)
Gambar 2  Hubungan panjang dan bobot ikan swanggi betina
Tabel 2  Rasio kelamin ikan swanggi
+7

Referensi

Dokumen terkait

3 Komposisi hasil tangkapan ikan di PPP Labuan 9 4 Tingkat kematangan gonad ikan selar kuning betina contoh 10 5 Tingkat kematangan gonad ikan selar kuning jantan contoh 10 6

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji beberapa aspek biologi reproduksi (rasio kelamin, TKG dan ukuran pertama kali matang gonad) serta dinamika populasi

Rekomendasi pengelolaan yang disarankan untuk biologi reproduksi ikan tongkol di perairan Selat Sunda sebagai bahan masukan dalam penetapan kebijakan bagi dinas

pada ikan betina sedangkan dari penjelasan modus panjang ikan swanggi jantan dan betina dapat diindikasikan bahwa ikan betina terjadi penurunan ukuran pada hasil

Berdasarkan nilai tumpang tindih relung makanan menunjukkan bahwa ikan swanggi memiliki jenis makanan yang relatif sama antara ikan jantan dengan ikan betina

Kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan selektifitas alat tangkap bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur atau struktur ukuran

Kisaran ukuran pertama kali matang gonad ikan pari blentik betina 550–799, sedangkan untuk ikan pari jantan adalah dengan kisaran panjang total tubuh 550–760 mm.. Tingkat kematangan

Kisaran ukuran pertama kali matang gonad ikan pari totol betina dengan kisaran panjang total tubuh 700- 771 cm, sedangkan untuk ikan pari jantan dengan kisaran panjang total