• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Populasi Dan Biologi Reproduksi Ikan Swanggi (Priacanthus Tayenus Richardson, 1846) Studi Kasus Perairan Selat Sunda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika Populasi Dan Biologi Reproduksi Ikan Swanggi (Priacanthus Tayenus Richardson, 1846) Studi Kasus Perairan Selat Sunda"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA POPULASI DAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN

SWANGGI (Priacanthus tayenus RICHARDSON, 1846)

(Studi Kasus Perairan Selat Sunda) PROVINSI BANTEN

M. CHARIS KAMARULLAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA KELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul dinamika populasi dan biologi reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus richardson, 1846) dengan studi kasus Perairan Selat Sunda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor , september 2016

M.Charis Kamarullah

(4)

RINGKASAN

M. CHARIS KAMARULLAH. Dinamika Populasi Dan Biologi Reproduksi Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus richardson, 1846) Studi Kasus Perairan Selat Sunda. Dibimbing oleh RAHMAT KURNIA dan ISDRADJAD SETYOBUDIANDI

Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) memiliki nilai ekonomis penting dan permintaannya yang tinggi sehingga dilakukan penangkapan secara intensif, diantaranya yang terjadi di Perairan Selat Sunda. Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan sehingga berkelanjutan populasi ikan swanggi di perairan ini terjaga, namun data terkait dinamika populasi dan biologi reproduksi ikan swanggi masih minim. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) dinamika populasi dan tingkat eksploitasi ikan swanggi, (2) parameter biologi reproduksi ikan swanggi (3) merumuskan konsep pengelolaan ikan swanggi di Perairan Selat Sunda. Penelitian dilakukan pada bulan April – September tahun 2015 dengan interval waktu satu minggu dalam satu bulan, ikan yang diambil merupakan ikan yang sudah didaratkan di tempat pelelangan ikan (TPI).

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ikan swanggi yang didapatkan memiliki jumlah kelompok umur terdiri atas satu sampai dua kelompok, dan sebagian besar tergolong ikan-ikan yang sudah dewasa atau matang kelamin. Pertumbuhan populasi ikan swanggi betina lebih cepat dibandingkan jantan. Rekrutmen populasi ikan swanggi di Perairan Selat Sunda terjadi setiap bulan dan tertinggi pada bulan Mei dan Juli, dan tingkat eksploitasi ikan swanggi jantan dan betina di perairan ini telah tergolong tangkap lebih (over exploitasi). Rasio kelamin, TKG, IKG, dan faktor kondisi ikan swanggi jantan dan betina yang ditemukan di Perairan Selat Sunda bervariasi baik spasial atau temporal.

Ikan swanggi di Perairan Selat Sunda yang tertangkap di setiap waktu pengambilan contoh didominasi ikan-ikan yang sudah matang gonad tingkat matang gonad paling tinggi di bulan Juli dengan proporsi 84% dan terendah di bulan Juni dengan proporsi 28%. Indeks kematangan gonad ikan swanggi yang di dapatkan tertinggi pada bulan April 0.57 dan Juli 0.70 sehingga diduga puncak pemijahan pada bulan Juli. Nilai faktor kondisi menggambarkan tingkat kemontokan ikan swanggi antara jantan dan betina cenderung sama didapatkan 1.00-1.06 dan 0.94-1.05, dengan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan ikan dalam bentuk kurang pipih. Potensi keberlanjutan populasi ikan swanggi di Perairan Selat Sunda tergolong tinggi dilihat dari aspek habitat, biologi reproduksi dan parameter dinamika populasi, namun karena tingkat eksploitasi tinggi sehingga status ikan swanggi di perairan ini tergolong kritis. Ikan swanggi di Perairan Selat Sunda memiliki ukuran yang relatif kecil-kecil baik jantan maupun betina. Konsep pengelolaan yang segera dilakukan untuk menjamin keberlanjutan populasi ikan swanggi dan penangkapan yang berkelanjutan adalah pengaturan waktu penangkapan, pengendalian alat tangkap dan daerah penangkapan, perlindungan dan rehabilitasi habitat pemantauan dan evaluasi.

(5)

SUMMARY

M. CHARIS KAMARULLAH. Population Dynamic and Reproductive Biology of Purple-spotted bigeye (Priacanthus tayenus richardson, 1846) Study Case: Waters of the Sunda Strait. Supervised by RAHMAT KURNIA and ISDRADJAD SETYOBUDIANDI.

Purple-spotted bigeye (Priacanthus tayenus) has high economic value and mostly captured by fisherman. Objective of this study is to examine (1) population dynamics and level exploitation of purple-spotted bigeye, (2) reproductive biology of purple-spotted bigeye (3) formulate the concept of management purple-spotted bigeye in the water of the Sunda Strait. Fishes were collected using by stratified random sampling method conducted in TPI Labuan Banten from April to August 2015.

These results showed that the purple-spotted bigeye have a number age group consists of one to two groups, and most are classified as fish that are grown or matured genitals. Purple-spotted bigeye female fish population growth faster than the male fish. Recruitment of fish populations occur every month and the highest in May and July, and the rate of exploitation purple-spotted bigeye male and female fish in these waters has over exploitation. Sex ratio, gonado maturity stage, gonado somatic index, and condition factor of purple-spotted bigeye male and female are found in the waters of the Sunda Strait vary both spatially or temporally.

Purple-spotted bigeye in the waters of the Sunda Strait caught in each sampling time in the dominance of the fish that are ripe gonads mature gonads highest level in July with a proportion of 84% and the lowest in July with a proportion of 28%. According to the value of gonado somatic index, the purple-spotted bigeye thought to be large spawn in July. Condition factor describes the plumpness levels of purple-spotted bigeye between males and females tend to be equally available 1:00 to 1:06 and 0.94-1.05, the results obtained can be summarized in the form of less flat fish. Potential of sustainability of purple-spotted bigeye in the waters of the Sunda Strait is high seen from the aspect of habitat, reproductive biology and population dynamics, but due to the high level of exploitation that status purple-spotted bigeye in these waters classified as critical. Purple-spotted bigeye in the waters of the Sunda Strait has a size relatively small both male and female. The concept of management is to be done to ensure the sustainability of fish populations and the arrest of sustainable purple-spotted bigeye is the timing of the arrest, control gear and fishing areas, protection and rehabilitation of habitat monitoring and evaluation.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

DINAMIKA POPULASI DAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN

SWANGGI (Priacanthus tayenus RICHARDSON, 1846)

(Studi Kasus Perairan Selat Sunda) PROVINSI BANTEN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)

Judul Tesis : DINAMIKA POPULASI DAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN SWANGGI (Priacanthus tayenus RICHARDSON, 1846) (Studi Kasus Perairan Selat Sunda) PROVINSI BANTEN

Nama : M. Charis Kamarullah NPM : C251150091

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rahmat Kurnia, M.Si Ketua

Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April hingga September 2015 ini ialah konservasi ikan, dengan judul Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Ikan Swanggi Pricanthus tayenus dengan studi kasus Perairan Selat Sunda.

Terima kasih penulis ucapkan kepada

1. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan atas biaya penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), DIPA IPB Tahun Ajaran 2015 No. 544/IT3.11/PL/2015 Penelitian Dasar untuk Bagian, Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitan dan

Pengabdian kepada Masyarakat, IPB dengan judul “Dinamika Populasi dan

Biologi Reproduksi Sumberdaya Ikan Ekologis dan Ekonomis Penting di

Perairan Selat Sunda, Provinsi Banten” yang dilaksanakan oleh Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA (sebagai ketua peneliti) dan Dr. Ir. Rahmat Kurnia, MSi (sebagai anggota peneliti).

2. Dr. Ir. Rahmat Kurnia, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Isrdadjad Setyobudiandi, MSc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini. 3. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA sebagai penguji luar komisi

4. Dr. Ir. Sigid Hariyadi M.Sc selaku Ketua Program Studi Pengelolaan sumberdaya perairan (SDP)

5. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang atas bantuan memperoleh data penelitian

6. Tim BOPTN 2015 : Nana, Tira, Mas Genta, Herman, Lukman, Putri serta tim lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu atas kerja samanya selama penelitian berlangsung.

7. Bapak dan ibu dosen pengasuh mata kuliah pascasarjana di Program Studi SDP yang memberikan ilmunya dengan tulus.

8. Bapak ibu dosen di Universitas Khairun Ternate pada Fakultas FPIK

9. Teman – teman seangkatan SDP 2014 Dudi, Herman, Lukman, Deo, Reza, Pak Nurdin, Nisa, Rini, Wulan, Arin, Mba Ve, Mba Oja, Mba Kiki, Putri serta teman-teman PERMAMA Bogor, PKPL, PTD, dan HIMPAS MALUT Jabodetabek.

10. Kedua orang tua saya Papa Iskandar Kamarullah dan Mama Juraeda A Latif, kakak Dede Kamarullah bersama Dewi serta Adik Sribaskara Kamarullah bersama Sabirin, Ponakan Apik dan Adil atas bantuan doa dan dorongan semangat selama studi.

11. Wander, Kaka Rini, Rofidah Ummulharbi dan Alda yang telah banyak membantu selama penelitian.

Akhirnya semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang membutuhkan. Bogor, september 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 3

2 METODOLOGI PENELITIAN 3

Waktu dan Lokasi Penelitian 3

Alat dan Bahan Penelitian 3

Pengumupulan Data 4

Analisis Data 5

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Hasil 10

Pembahasan 22

4 KESIMPULAN DAN SARAN 28

Simpulan 28

Saran 29

DAFTAR PUSTAKA 30

LAMPIRAN 34

(12)

DAFTAR TABEL

1 Perhitungan nilai komposit per domain 10

2 Nisbah kelamin berdasarkan waktu pengambilan contoh 11

3 Pertumbuhan ikan swanggi 13

4 Mortalitas dan laju eksploitasi ikan swanggi 21

5 Hubungan panjang ikan tertangkap dengan pertama kali matang gonad 21

6 Perbandingan pertumbuhan ikan. 24

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikiran penelitian 2

2 Peta Lokasi Penangkapan 3

3 Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) 11

4 Distribusi panjang ikan swanggi (Priacanthus tayenus) 12 5 Pertumbuhan Von Bertalanffy ikan swanggi jantan dan betina 13

6 Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan 15

7 Histologi 15

8 Indeks kematangan gonad (IKG) ikan 16

9 Hubungan panjang dengan fekunditas ikan swanggi 17

10 Pola pertumbuhan ikan swanggi 17

11 Pola pertumbuhan ikan swanggi antara jantan dan betina 18

12 Faktor kondisi 19

13 Pola rekruitmen ikan swanggi 20

14 Strategi pengelolaan menggunakan Plot Kobe 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pendugaan kelompok umur ikan swanggi jantan dan betina 35

2 ikan swanggi 37

3 Faktor kondisi ikan swanggi 38

4 Pendugaan nilai panjang ikan matang gonad (Lm) 38

5 Mortalitas total ikan swanggi 38

6 Mortalitas dan laju eksploitasi 41

7 Pola pertumbuhan ikan swanggi 43

8 Proporsi tingkat kematangan gonad (TKG) 43

9 Proporsi rekrutmen selama waktu penagmbilan contoh 43

10 Proporsi indeks kematangan gonad (IKG) 44

11 Rasio kelamin 44

12 Uji histologi gonad betina ikan swanggi 45

13 Kuisioner 46

(13)

DAFTAR ISTILAH

E : Tingkat eksploitasi ikan swanggi

Eopt : Tingkat eksploitasi optimum ikan swanggi F : Kematian ikan swanggi akibat penangkapan

Fekunditas : Jumlah telur yang dihasilkan oleh ikan swanggi sesaat sebelum memijah

Habitat : Tempat hidup ikan swanggi

IKG : Indeks kematangan gonad ikan swanggi JTB : Jumlah tangkapan diperbolehkan

K : Koefisien pertumbuhan von bertalanffy ikan swanggi L∞ : Panjang infiniti ikan swanggi

Lc 50% : Ukuran pertama kali ikan tertangkap 50% pertama

Lm 50% : Ukuran pertma kali ikan matang gonad ukuran yang mana 50% dari semua individu ikan swanggi telah matang M : Kematian alami. Kematian yang disebabkan oleh faktor

alam (penyakit, pemangsaan, faktor lingkungan dan usia) Musim pemijahan : Periode waktu melepaskan telur

MSY : Maximum sustainable yield, yaitu hasil tangkapan

maksimum tanpa mengganggu keberlanjutan ikan swanggi Pertumbuhan

allometrik

: Pola Pertumbuhan antar karakter morfometrik ikan swanggi tidak seimbang

Pertumbuhan isometrik

: Pola pertumbuhan antar karakter morfometrik ikan swanggi seimbang

Produksi (Kg) : Hasil tangkapan

Over fishing

Over eksploitasi

: Jumlah ikan swanggi yang ditangkap melebihi potensi biologi tumbuh.

: Tingkat eksploitasi melebihi E optimum (E > 0.5) t0 : Umur teoritis, umur ketika panjang ikan swanggi nol

T : Suhu perairan

Effort (Trip) : Upaya tangkapan (waktu dan jumlah alat tangkap) TKG : Tingkat kematangan gonad ikan swanggi

(14)
(15)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) memiliki potensi besar dalam mendukung pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Menurut Sivakami et al. (2001) ikan swanggi pada awalnya bukan merupakan ikan hasil tangkapan utama, namun belakangan banyak didaratkan di pelabuhan perikanan sebagai salah satu hasil tangkapan yang bersifat komersial dan menjadikan ikan ini sebagai ikan komoditas ekspor.

Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Banten merupakan salah satu pelabuhan perikanan pantai di Indonesia yang cukup berkembang dan memiliki potensi perikanan yang besar. Salah satu jenis ikan demersal yang didaratkan di PPP Labuan, Banten adalah ikan swanggi (Priacanthus tayenus). Ikan swanggi merupakan ikan karang demersal dengan karakteristik khusus berwarna merah muda, memiliki mata besar, dan pada sirip perut terdapat bintik berwarna ungu kehitam-hitaman FAO (1999). Menurut data statistik perikanan PPP Labuan, produksi tangkapan ikan swanggi dari awal tahun 2011 sampai saat ini menduduki posisi kelima dari total produksi tangkapan ikan demersal di PPP Labuan Banten, yaitu sebesar 4376.70 kg atau sekitar 4.90% Wulandari (2012). Hal tersebut dikarenakan musim penangkapan yang terjadi setiap hari sepanjang tahun Sukamto (2010) sehingga keberadaan ikan swanggi hampir selalu ada setiap harinya di PPP Labuan, Banten.

Berdasarkan IUCN (2001) in fishbase (2011) status ikan swanggi di perairan adalah belum terevaluasi. Ikan swanggi merupakan ikan ekonomis dan ekologis penting. Bernilai ekonomis karena banyak diperjual belikan dipelelangan dengan harga jual rata-rata Rp 13.000.00 /kg ikan swanggi juga dikatakan bernilai ekologis karena merupakan salah satu ikan karang yang berperan dalam struktur trofik Powell (2000). Berdasarkan CMFRI (2001) ikan Priacanthidae merupakan ikan predator pemakan zooplankton dan dominasi makanannya berupa udang-udangan yang berasal dari kelas krustasea sehingga keberadaannya sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem di perairan.

Pemanfaatan akan potensi sumberdaya perairan tersebut harus didasari pada prinsip pengelolaan sumberdaya alam yaitu bagaimana memanfaatkan sumberdaya tersebut dengan memperhatikan kelestariannya agar tetap terjaga sehingga dapat dimanfaatkan secara terus menerus dan dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Pengelolaan perikanan membutuhkan suatu analisis dan informasi mendasar, terencana dengan benar dan terstruktur agar pengambilan keputusan dalam pengelolaan tersebut lebih efektif dan efisien.

Dalam perumusan program pengelolaan perikanan dibutuhkan suatu informasi salah satunya yaitu informasi mengenai aspek biologi dari setiap perikanan. Aspek biologi perikanan dalam hal ini berkisar tentang ilmu pengkajian stok dari spesies tertentu yang sedang dikaji (Widodo & Suadi 2006).

(16)

umur dan mortalitas ikan swanggi serta rekruitmen dan laju eksploitasi (P tayenus) dan menganalisis strategi pengelolaan sumberdaya ikan swanggi di perairan Selat Sunda dan sekitarnya yang merupakan bagian dari WPP 572 Laut Jawa.

Rumusan Masalah

Ketersediaan informasi mengenai ikan swanggi Priacanthus tayenus masih terbatas, khususnya mengenai dinamika populasi dan biologi reproduksi. Tanpa informasi tentang dinamika populasi dan aspek reproduksi kegiatan penangkapan dapat dilakukan secara terus menerus. Misalnya penggunaan alat tangkap yang dapat menangkap berbagai jenis ukuran ikan, maupun musim penangkapan yang dapat dilakukan kapan saja. Sehingga dikhawatirkan dapat berdampak terhadap kelestariannya dimasa yang akan datang.

Gambar 1 Kerangka pikiran penelitian

Tujuan

1. Menganalisis aspek dinamika populasi dan aspek reproduksi ikan swanggi

Priacanthus tayenus.

2. Menganalisis potensi sumberdaya ikan swanggi Priacanthus tayenus.

Manfaat

(17)

2

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama bulan April hingga September 2015 dengan interval waktu pengambilan contoh 1 minggu dalam 1 bulan. Penelitian dilakukan di beberapa Tempat pelelangan ikan (TPI) di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Kemudian ikan contoh dibedah dan diamati organ reproduksinya. Pengukuran dilakukan di Laboratorium biologi perikanan Departemen MSP IPB.

Gambar 2 Peta Lokasi Penangkapan

Alat dan bahan penelitian

(18)

Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah tangkapan ikan swanggi yang berasal dari Perairan Selat Sunda. Pengambilan contoh dilakukan satu minggu dalam satu bulan dengan menggunakan teknik stratified random sampling yaitu ikan contoh yang di ambil dari ukuran paling pendek, sedang dan paling panjang di tempat pelelangan ikan (TPI). Jumlah contoh ikan swanggi diambil 200 ekor, bila tidak mencukupi 200 ekor diambil total tertangkap guna melakukan pengamatan di laboratorium.

Metode Pengukuran dan Pengamatan

Pengukuran panjang dan berat ikan contoh

Pengukuran panjang total dilakukan dengan menggunakan penggaris dengan ketilitian 0,5 mm dengan cara mengukur dari ujung kepala sampai keujung sirip ekor yang paling terluar. Penimbangan bobot ikan contoh dilakukan dengan cara menimbang seluruh tubuh ikan dengan menggunakan timbangan digital dengan ketilitian 0,01 gram, setelah dilakukan pengukuran panjang dan penimbangan bobot total.

Pembedahan ikan contoh

Ikan contoh dibedah dengan menggunakan gunting bedah, dimulai dari anus menuju ke bagian atas perut sampai ke bagian belakang operculum kemudian menurun ke arah ventral hingga kedasar perut, dagingnya dibuka sehingga organ-organ dalamnya dapat dilihat dengan jelas.

Penentuan jenis kelamin

Jenis kelamin di tentukan dengan melihat secara morfologis gonad masing-masing ikan contoh yang sudah dibedah. Setelah diketahui jenis kelamin masing-masing ikan perbandingan ikan jantan dan betina dapat diketahui.

Pengamatan nisbah kelamin

Nisbah kelamin diketahui berdasarkan jumlah ikan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap sampling yang dilakukan. Jenis kelamin ditentukan setelah dilakukan pembedahan ikan tersebut.

Pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG)

Tingkat kematangan gonad dideterminasikan secara mikroskopik (visual) di laboratorium dengan melihat karateristik gonad yang mengacu pada tingkat kematangan gonad ikan belanak (Mugil dussumieri) yang dikemukakan oleh (Effendie dan Subardja 1977) in Effendi (1997). Pengamatan tingkat kematangan gonad dilakukan secara terpisah terhadap ikan contoh jantan dan betina.

Pengamatan dan perhitungan fekunditas

(19)

yang telah diawetkan. Telur contoh tersebut ditimbang kemudian diencerkan dengan air 10 cc dan diaduk secara merata kemudian diambil 1 cc untuk jumlah telurnya.

Analisis Data

Penentuan nisbah kelamin ikan

Nisbah kelamin dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah jantan dan betina dari ikan contoh, sehingga dapat diketahui rasio keduanya. Analisis untuk mengetahui keseimbangan nisbah kelamin ikan jantan dan betina dirumuskan sebagai berikut (Effendie 2002) :

(1)

NK adalah Nisbah kelamin, nJ adalah Jumlah ikan jantan (individu), nB adalah Jumlah ikan betina (individu)

Rasio antara ikan jantan dan betina dari suatu populasi ikan tersebut kemudian diuji kembali dengan menggunakan uji Chi-square (χ2) (Steel dan Torrie 1993), analisis ini dapat diketahui keseimbangan populasi. Berikut adalah rumus dari uji Chi-square :

∑ (2)

χ2

adalah nilai bagi peubah acak yang sebaran penarikan contohnya menghampiri sebaran Khi-Kuadrat, oi adalah jumlah frekuensi ikan jantan dan betina yang

teramati, ei adalah jumlah frekuensi harapan dari ikan jantan dan betina Pendugaan kelompok umur

Untuk mengetahui frekuensi panjang di gunakan metode NORMSEP (Normal separation), (FISAT II, FAO-ICLARM stock assesment tools) untuk menentukan sebaran normalnya. Menurut (Boer 1996 ), jika fi adalah frekuensi ikan dalam kelas panjang ke-i (i = 1, 2, …, N), μj adalah rata-rata panjang kelompok umur ke-j, σj adalah simpangan baku panjang kelompok umur ke-j, dan pj adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j (j = 1, 2, …, G), maka fungsi objektif yang digunakan untuk menduga μ j, σ j, p j adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum likelihood function):

L= ∑ ∑ (3)

qij dihitung dengan persamaan:

2

(4) qij adalah fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah μj dan

simpangan baku σj, dan i adalah titik tengah kelas panjang ke-i Fungsi objektif

L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap μj,

σj, pj sehingga diperoleh dugaan μ j, σ j, dan p j yang akan digunakan untuk

(20)

Parameter pertumbuhan ikan

Koefisien pertumbuhan yang digunakan mengikuti model Von Bertalanffy (Sparre dan Venema 1999) yang dirumuskan sebagai berikut:

(5)

dimana Lt adalah ukuran ikan pada kelompok umur t (mm), L∞ adalah panjang

maksimum atau panjang asimtotik (mm), K adalah koefisien pertumbuhan (bu-lan-1), dan t0 adalah umur hipotesis ikan pada panjang nol (bulan). Koefisien K,

L, dan t0 diduga dengn menggunakan metode Ford Walford yang diturunkan

berdasarkan pertumbuhan Von Bertalanffy untuk Lt pada saat t +∆t dan t

sedemikian rupa sehingga:

( ) (6)

Persaamaan tersebut diduga melalui persamaan regresi linear , dengan Lt sebagai sumbu absis (x), sebagai ordinat (y), dan

.

Nilai K dan diduga menggunakan rumus:

(7)

(8)

3

(9) Nilai t0 (umur teoritis) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly(1980):

(10)

Pola rekruitmen

Penentuan pola rekrutmen berdasarkan waktu dikerjakan dengan alat bantu aplikasi FISAT II dengan menggunakan data sebaran frekuensi panjang yang telah ditetapkan. Penghitungan ini meliputi pendugaan seluruh data sebaran frekuensi panjang ke dalam skala waktu satu tahun berdasarkan model pertumbuhan Von Bertalanffy (Pauly 1982) menggunakan prosedur NORMSEP (Normal Separation). Adapun data yang diperlukan untuk memperoleh plot pola rekrutmen berdasarkan waktu tersebut adalah parameter-parameter pertumbuhan (L, K, dan t0) yang sebelumnya telah diperoleh melalui model von Bertalanffy.

Penghitungan gonado somatic index (GSI)

Bobot gonad yang diperoleh digunakan untuk menghitung Gonado Somatic Index (Kagawa et al., 2005). dengan rumus :

x 100 % (11)

Keterangan :

(21)

Hubungan fekunditas dengan panjang total

Hubungan fekunditas dengan panjang total menggunakan persamaan dengan rumus (Effendi 2002) berikut :

(12)

Keteragan :

F : fekunditas (Butir) L : panjang total ikan (mm) a & b : constanta

Hubungan panjang berat

Hubungan panjang berat dilakukan secara terpisah antar ikan contoh jantan dan betina. Perhitungan hubungan panjang berat mengacu pada rumus umum (Hile 1936 in Effendie 1997) dengan rumus :

(13)

Keterangan :

W : berat tubuh L : panjang total (cm) a & b : konstanta

Nilai b yang diperoleh digunakan untuk menduga kedua parameter yang dianalisis, dengan hipotesis :

H0 : β = 3 ( menunjukkan bahwa pola pertumbuhan panjang sama dengan pola

pertumbuhan berat atau isometrik )

H0 : β≠ 3 ( pola pertumbuhan panjang tidak sama dengan pola pertumbuhan berat alometrik)

Bila H0 di tolak maka :

β > 3 pertambahan berat lebih cepat (allometrik posistif)

β < 3 : pertambahan panjang lebih cepat(allometriknegatif)

Kesimpulan dari nilai b yang diperoleh diuji dengan uji–t pada selang

kepercayaan 95% (α = 0 05) dengan hipotesis :

 Apabila t-hitung < t-tabel maka terima H0  Apabila t-hitung > t-tabel maka tolak H0

Keeratan hubungan antara panjang dan berat ikan ditunjukan oleh koefesien korelasi (r) yang diperoleh. Nilai r mendekati 1 menunjukan hubungan antara dua peubah tersebut kuat dan terdapat korelasi yang tinggi, akan tetapi apabila r mendekati 0 maka hubungan keduanya sangat lemah atau hampir tidak ada Walpole (1995).

Faktor kondisi (FK)

Untuk mengethui tingkat kemontokan ikan diperlukan analisis faktor kondisi, sehingga kita dapat menduga ikan contoh masih memperoleh suplai makanan yang cukup dari lingkungannya. Faktor kondisi ikan dapat dihitung untuk mengetahui kemontokan ikan, produktivitas, dan kondisi fisiologi dari populasi ikan. Faktor kondisi dapat dihitung melalui persamaan (Effendie 1997):

(14)

(22)

Pendugaan mortalitas dan laju eksploitasi

Menurut (Sparre dan Venema 1999) parameter mortalitas meliputi mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F), dan mortalitas total (Z). Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data panjang sedemikian sehingga diperoleh hubungan:

Persamaan tersebut adalah sebagai berikut :

(15)

Persamaan diatas melalui persamaan regresi linear sederhana y = b0 + b1x,

dengan y =

dan x =

sebagai absi, dan Z = -b. (Lampiran 8) Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in (Sparre dan Venema 1999) sebagai berikut:

dimana laju kematian alami (M) dengan parameter pertumbuhan VBGF dan suhu lingkungan rata-rata (T) dimana stok ikan tersebut berbeda, disajikan sebagai berikut :

M= exp (-0,0152 -0,279 Ln L + 0, 6543 Ln K + 0, 4634 Ln T)

M adalah mortalitas alami (per tahun), dan T adalah suhu rata-rata perairan (0C). Setelah laju mortalitas total (Z) dan laju mortalitas alami (M) diketahui maka laju mortalitas penangkapan dapat ditentukan melalui hubungan:

F = Z – M (16)

Berdasarkan nilai Z dan F maka laju eksploitasi ikan swanggi (E) dapat di-duga dengan menggunakan persamaan Pauly (1984) menyatakan laju eksploitasi dapat ditentukan dengan membandingkan F dengan Z sebagai berikut:

E = (17)

Panjang pertama kali tertangkap

Panjang ikan pertama kali tertangkap (Lc) dihitung menggunakan metode

kantung berlapis (covered conden method) yang hasil perhitungannya akan membentuk kurva ogif berbentuk sigmoid. Panjang ikan pertama kali tertangkap diduga melalui metode Beverton dan Holt (1957) in (Sparre dan Venema 1999) :

(18)

SL adalah nilai estimasi, L nilai tengah panjang kelas (mm), a dan b merupakan konstanta, sehingga nilai a dan b dapat dihitung melalui dugaan regresi linear :

(19)

SLc adalah frekuensi komulatif relatif, L nilai tengah panjang kelas (mm). Adapun Lc dapat dihitung melalui :

Lc= (20)

Lc adalah panjang ikan pertama kali tertangkap (mm), a dan b konstanta.

Panjang pertama kali matang gonad

(23)

Ukuran panjang ikan saat pertama kali mencapai matang gonad (Lm) dihitung mengikuti metode Spearman-Karber menurut (Udupa 1986) dengan persamaan:

(21)

dengan asumsi, ikan swanggi dengan tingkat kematangan gonad (TKG III) juga dianggap sebagai ikan yang mature. Kisaran panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) diperoleh dari nilai anti log m dengan selang kepercayaan 95% :

[ √

] (22)

Lm adalah panjang ikan pertama kali matang gonad (mm), m log panjang ikan

pada kematangan gonad pertama, xk log nilai tengah kelas panjang yang terakhir

ikan matang gonad 100%, x log pertambahan panjang pada nilai tengah, pi

proporsi ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i, dimana pi=ri/ni, ri adalah jumlah ikan matang gonad pada

kelas panjang ke-i dan ni jumlah ikan pada kelas panjang ke-i. Model Plot Kobe dengan Pendekatan EAFM

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan ekosistem yang disebut Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM). FAO (2003) sendiri mendefinisikan EAFM sebagai pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan yang berusaha menyeimbangkan tujuan sosial yang beragam dengan mempertimbangkan pengetahuan dan ketidakpastian faktor biotik, abiotik dan manusia sebagai komponen ekosistem dan interaksi semua bagiannya serta menerapkan pendekatan terpadu.

Analisis komposit

Analisis komposit ini bertujuan membuat sistem multikriteria yang terkait dengan pencapaian sebuah pengelolaan perikanan sesuai dengan prinsip EAFM. Dimana pengelolaan perikanan dengan prinsip EAFM sendiri adalah dengan menyatukan dua konsepsi yaitu pedekatan ekosistem dan pengelolaan perikanan yang mencakup berbagai aspek yang menunjang keberlanjutan pengelolaan perikanan tersebut. Meskipun terlihat berlawanan, analisis dengan pendekatan multi atribut/kriteria (EAFM) melalui pengembangan indeks komposit ini (Adrianto et al. 2005), akan merefleksikan keterkaitan antara pengelolaan ekosistem dan pengelolaan perikanan dengan beberapa tahapan sebagai berikut: 1) Melakukan skoring (nij) untuk setiap indikator ke-i domain ke-j dengan

menggunakan skor Likert (berbasis ordinal 1.2.3) sesuai dengan keragaan pada unit perikanan dan kriteria yang telah ditetapkan untuk masing-masing domain (Dj). Semakin baik status indikator, maka semakin besar nilainya, sehingga berkontribusi besar terhadap capaian EAFM.

2) Menentukan bobot untuk setiap indikator berdasarkan rangking (brij) untuk

setiap indikator ke-i, domain ke-j.

3) Melakukan penilaian komposit pada masing-masing domain ke-j (Dj) dengan

formula:

C-Dj = nsij x brij x sdij (23)

4) Kembangkan indeks komposit agregat untuk seluruh domain ke-j (Dj) pada

(24)

C-UPR = f (Dj, nsij, brij, sdij) (24)

Basis formula untuk analisis komposit agregat adalah:

C-UPR = AVE dij: nsij x brij x sdij; (25)

Dimana:

AVE = rata-rata aritmetik dari domain ke-j,

Dj = total perkalian antara nsij (nilai skor indikator ke-i dari domain ke-j)

brij = bobot ranking indikator ke-i domain ke-j

sdi = skor densitas dari indikator ke-i.

Nilai sdi dapat diidentifikasi dari berapa jumlah garis linkages yang masuk ke

dalam indikator tersebut. Perkalian bobot dan nilai akan menghasilkan nilai indeks untuk indikator yang bersangkutan atau dengan rumusan:

Nilai Indeks = Nilai Skor * 100 * Nilai Bobot.

Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai indeks dari indikator lainnya dalam setiap domain menjadi suatu nilai indeks komposit. Kemudian nilai indeks komposit ini akan dikategorikan menjadi 3 penggolongan kriteria dan ditampilkan dengan menggunakan bentuk model bendera (flag model) seperti terlihat pada Tabel berikut ini:

Tabel 1 Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model Bendera Nilai Skor Nilai Komposit Model Bendera Deskripsi

1.00 – 1.50 33.33-55.55 Buruk/Kurang

1.51 – 2.50 55.56-77.77 Sedang

2.51 – 3,00 77.78-100 Baik

Sumber: Modifikasi Adrianto et al. (2014)

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Identifikasi ikan swanggi Priacanthus tayenus

(25)

Gambar 3 ikan swanggi Priacanthus tayenus

Tulang belakang pada sudut preoperkulum berkembang dengan baik. Jumlah tulang saring insang pada lengkung insang pertama 21 sampai 24. Duri sirip punggung dengan X dan 11 sampai 13 jari lemah. Duri sirip dengan III dan 12-14 jari lemah. Sirip ekor truncate biasanya terdapat pada spesimen yang lebih kecil, tetapi menjadi lunate pada ikan jantan tapi tidak semua terdapat pada spesimen lebih besar. Jari sirip dada 17-19. Sisik-sisik menutupi terutama bagian badan, kepala, dan dasar sirip kaudal (FAO 1999).

Sisik-sisik termodifikasi, sisik-sisik pada bagian tengah lateral dengan bagian posterior atas hilang dan sedikit duri kecil pada spesimen yang lebih besar. Sisik-sisik pada seri lateral 56 sampai 73, sisik-sisik linear lateralis berpori 51 sampai 67. Sisik pada baris vertikal (dari awal sirip dorsal sampai anus) 40 sampai 50. Gelembung renang dengan penampang anterior dan posterior, bentuk menyerupai lubang yang termodifikasi dalam tengkorak. Warna tubuh, kepala, dan iris mata adalah merah muda kemerah-merahan atau putih keperak-perakan dengan merah muda kebiruan, sirip berwarna kemerah mudaan, sirip perut mempunyai karakteristik bintik kecil ungu kehitam-hitaman dalam membran dengan 1 atau 2 titik lebih besar di dekat perut (FAO 1999).

Nisbah kelamin

Nisbah kelamin suatu organisme perairan sangat penting untuk dikaji terkait dengan kemampuan dan potensi reproduksi organisme tersebut kedepan. Apabila keseimbangan alamia nisbah kelamin terganggu, maka kesenimbungan stok juga dapat terganggu (Kusdi 2012). Gambaran nisbah kelamin dan sex rasio ikan swanggi (Priacanthus tayenus) dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Nisbah kelamin berdasarkan waktu pengambilan contoh

Waktu Pengambilan Nisbah Proporsi (%)

Total

Contoh Kelamin jantan betina

April 93 : 122 43 57 215

Mei 62 : 129 32 68 191

Juni 83 : 87 49 51 170

Juli 46 : 109 30 70 155

Agustus 75 : 125 38 62 200

(26)

contoh yaitu berbeda, dapat dilihat bahwa ikan betina lebih dominan 64.44% atau sekitar 572 ekor, sedangkan ikan contoh jantan yang tertangkap 38.56% atau 359 ekor dengan total N contoh sebanyak 931 ekor. Nisbah kelamin ikan swanggi berdasarkan uji chisquere secara total antara jantan dengan betina adalah 0.63 : 1 dari hasil ini maka diasumsikan tidak terjadi keseimbangan populasi antara jantan dan betina terhadap ikan swanggi (Lampiran 11 ). Untuk mempertahankan kelestarian populasi diharapkan perbandingan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang atau ikan betina jumlahnya lebih banyak (Sulistiono et al. 2001).

Distribusi panjang ikan swanggi Priacanthus tayenus di Selat Sunda

Kisaran ukuran panjang ikan swanggi antara jantan dan betina yang tertangkap selama penelitian adalah antara 105-329 mm dari total pengambilan contoh. Kisaran panjang ikan jantan yaitu 109-329 mm dan ikan betina berkisar antara 105-305 mm berdasarkan waktu pengambilan contoh distribusi panjang tersebut dapat dilihat pada grafik 4 berikut.

Grafik 4 Distribusi panjang ikan swanggi Priacanthus tayenus Pergeseran modus panjang ikan swanggi

Struktur ukuran merupakan salah satu informasi penting dalam pengkajian suatu populasi ikan. Pengukuran panjang organisme dalam seri waktu yang cukup, dapat dijadikan dasar untuk mengkaji pola pertumbuhan, mortalitas dan pola penambahan individu baru dari organisme tersebut. Pada kajian ini yang di jadikan ukuran dalam kajian stok adalah panjang total dari ikan swanggi.

(27)

pada ikan betina sedangkan dari penjelasan modus panjang ikan swanggi jantan dan betina dapat diindikasikan bahwa ikan betina terjadi penurunan ukuran pada hasil tangkapan tiap bulannya sedangkan pada jantan diindikasikan pertumbuhan Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus) diperairan selat sunda tiap bulannya diduga pertumbuhan rata-rata 10-20 mm tiap bulan.

Parameter Pertumbuhan

Pertumbuhan populasi ikan swanggi Priacanthus tayenus di Perairan Selat Sunda diasumsikan mengikuti pertumbuhan Von Bertalanffy. Pengkajian parameter pertumbuhan populasi dianalisis berdasarkan data frekuensi panjang total, yang dikumpulkan selama waktu pengambilan contoh yaitu 5 bulan dimulai dari bulan April hingga Agustus tahun 2015. Analisis parameter pertumbuhan menggunakan bantuan metode Ford Walford yang diduga dari kelompok umur dengan metode (NORMSEP) Normal separation (lampiran2). Dari hasil analisis pertumbuhan ikan jantan dan betina untuk mencari nilai L dan K, kemudian setelah diperoleh nilai L dan K, selanjutnya dicari umur teoritis pada panjang ikan nol (t0) yang diduga dengan memasukan nilai L∞ dan K masing-masing jenis dengan menggunakan rumus empiris (Pauly 1984) dapat disajikan pada tabel dibawah.

Tabel 3 Parameter pertumbuhan ikan swanggi Priacanthus tayenus

Parameter Jantan Betina

361 376

K 0.46 0.36

t0 -0.77 -0.66

Berdasarkan nilai pada tabel diatas, maka persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy ikan swanggi sebagai berikut :

Jantan : Lt = 361(1-e[-0.46(t+0.77)) Betina : Lt = 376(1-e[-0.36(t+0.66))

Berdasarkan persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy tersebut, dimana nilai dugaan parameter pertumbuhan yang diperoleh dapat mengekspresikan pola pertumbuhan dan umur maksimum dari populasi ikan swanggi. Grafik pertumbuhan jantan dan betina di Perairan Selat Sunda disajikan pada Gambar 5.

(28)

Gambar 5 Pendugaan parameter pertumbuhan Von Bertalanffy ikan swanggi jantan (atas) betina (bawah)

Tingkat kematangan gonad (TKG)

Jumlah total ikan swanggi jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan gonad dengan proporsi masing-masing kategori baik yang belum matang atau yang sudah matang dapat dilihat pada (Gambar 9 ). Ikan swanggi yang tertangkap di Perairan Selat Sunda didominasi ikan-ikan yang sudah matang gonad untuk jantan di bulan Juli 35% dan Agustus 27% dan betina proporsi tertinggi yaitu di bulan Mei 62% dan Juli 84% sedangkan proporsi matang gonad terendah ikan jantan April dan Mei 10%, sedangkan pada ikan betina terendah pada bulan Juni 27% dan tertinggi pada bulan Juli 84% (Lampiran 8).

Distribusi tingkat kematangan gonad (TKG 1 sampai 4) ikan swanggi jantan dan betina berdasarkan periode waktu (bulan) di sajikan pada (Gambar 6). Di setiap pengambilan contoh terdapat semua tingkatan kematangan gonad. Hal ini mengambarkan bahwa setiap bulan terjadi penambahan ikan baru, baik dari hasil pemijahan yang terjadi pada setiap waktu maupun masuknya ikan-ikan ke daerah penangkapan. Kondisi ini juga mengindikasikan potensi regenerasi dari ikan swanggi cukup tinggi untuk mempertahankan populasi di alam.

Tingkat kematangan gonad ikan menunjukkan perkembangan gonad ikan swanggi Priacanthus tayenus selama penelitian di Perairan Selat Sunda dapat disajikan pada gambar 6 berikut.

204,98 254,31

295,21

0,0 50,0 100,0 150,0 200,0 250,0 300,0 350,0 400,0

-2 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

Pa

n

ja

n

g

(m

m

)

Waktu (bulan)

Lt observasi L inf Lt estimasi

(29)

Gambar 6 Tingkat kematangan gonad jantan dan betina

Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan swanggi terjadi di setiap pengambilan contoh dengan proporsi yang berbeda-beda setiap waktunya yang didapatkan tertnggi pada bulan Juli dengan proporsi 35% untuk ikan jantan sedangkan pada betina proporsi tertinggi 84%. Pada tingkat kematangan gonad ikan swanggi di Perairan Selat Sunda terdapat proporsi TKG III dan IV ikan betina yang relative tinggi di setiap waktu pengambilan contoh.

Uji histologi untuk mengetahui pola pemijahan ikan swanggi dan pada umumnya dilakukan pada gonad betina (Lampiran 12) kemudian perkembangan gonad ikan swanggi betina pada TKG III dan IV dapat dilihat pada gambar 7 berikut.

TKG IV TKG III

Gambar 7 Histologi ikan swanggi betina

(30)

Pola pemijahan ikan swanggi di Perairan Selat Sunda terindikasi partial spawner hal ini dilihat berdasarkan uji histologi (Gambar 7) bahwa perkembangan oosit terus terjadi pada setiap perkembangan folikel baik di TKG III atau pun di TKG IV yang artinya bahwa perkembangan setiap gonad TKG III atau IV masih terdapat perkembangan oosit primer dan sekunder atau TKG I dan II di TKG III dan IV.

Indeks kematangan gonad (IKG)

Hasil perhitungan IKG disajikan pada (Lampiran 10) nilai indeks kematangan gonad (IKG) tertinggi terjadi pada bulan Mei dan Juli yaitu sebesar 2.99% disusul bulan Juli 2.27% pada jantan dan pada bulan Juli 1.6%. Apabila dilihat berdasarkan nilai IKG, maupun induk matang gonad TKG III dan IV maka diasumsikan waktu puncak pemijahan tertinggi terjadi pada bulan Juli hal tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 8 Indeks kematangan gonad (IKG) ikan antara jantan dan betina

Fekunditas

Fekunditas adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada saat memijah. Fekunditas lebih sering dihubungkan dengan panjang dari pada berat, karena panjang penyusutannya relatif kecil dan panjang akan cepat mengalami perubahan pada waktu musim pemijahan (Effendie 1997). Ikan swanggi

Priancanthus tayenus di Perairan Selat Sunda pada TKG IV memiliki kisaran 8499 -218.491 butir telur setiap induk betina. Nilai fekunditas tertinggi pada ikan swanggi berarti ikan tersebut memiliki potensi reproduksi yang paling besar, sehingga bisa saja berpengaruh pada tingginya kesediaan stok dan rekruitmen..

0,0 0,5 1,0 1,5

April Mei Juni Juli Agustus

IK

G

Pengambilan contoh Jantan

0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0

April Mei Juni Juli Agustus

IK

G

(31)

Gambar 9 Hubungan panjang dengan fekunditas ikan swanggi

Hubungan fekunditas dengan panjang total menghasilkan nilai koefisien detreminasi (R2) sebesar 13,81% Kondisi ini menunjukkan bahwa fekunditas ikan swanggi Priacanthus tayenus lebih cepat perkemabangan telur dari pada pertambahan ukuran panjang. Hal ini menunjukan tidak adanya korelasi antara panjang dan fekunditas.

Hubungan panjang bobot ikan swanggi Priacanthus tayenus

Pola pertumbuhan ikan dapat diketahui dengan melihat hubungan panjang total 329 (mm) dan berat total 275 (g), selanjutnya hubungan panjang-berat ikan tersebut diperoleh nilai b 2.3501 ini adalah indikator pertumbuhan yang menggambarkan kecenderungan pertambahan panjang dan bobot ikan. Nilai yang diperoleh dari perhitungan panjang dan bobot adalah informasi mengenai dugaan berat dari panjang ikan atau sebaliknya, keterangan tentang ikan mengenai pertumbuhan, kemontokan serta perubahan dari lingkungan (Effendie 1997). (Kleanthidis et al. 1999) dalam ilmu perikanan hubungan panjang bobot penting untuk menduga berat dengan data panjang yang tersedia dan sebagai indeks kondisi ikan hal tersebut digambarkan sebagai berikut.

(32)

Hubungan panjang berat ikan swanggi berdasarkan jenis kelamin

Pola pertumbuhan panjang dan berat ikan swanggi yang dianalisis perdasarkan perbedaan jenis kelamin, dengan tujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan pola pertumbuhan antara jantan dan betina. Hasil analisis menghasilkan ikan jantan memiliki nilai b= 2.3076 dan betina memiliki nilai b= 2.4837. Pola pertumbuhan baik jantan maupun betina adalah allometrik negatif, kondisi ini menunjukan tipe pola pertumbuhan jantan dan betina adalah sama, namun dilihat dari nilai b, terlihat bahwa ada kecenderungan ikan betina relatif lebih gemuk dari ikan jantan dilihat pada gambar 11 berikut.

Gambar 11 Pola pertumbuhan ikan swanggi jantan dan betina

Dari hasil analisis panjang berat ikan swanggi di setiap sampling berdasarkan jenis kelamin antara jantan dan betina yang dilihat berdasarkan nilai b berbeda akan tetapi tidak signifikan sehingga membentuk pola yang sama (Lampiran 7). Adanya perbedaan nilai b ikan swanggi antara jantan dan betina disebabkan oleh adanya pengaruh antogenik terutama pada jenis kelamin yang mempengaruhi nilai sehingga dapat mempengaruhi pola tumbuh dari ikan tersebut, dan juga pengaruh perbedaan tingkat kematangan gonad dan perbedaan umur. Kondisi ini dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, umur atau ukuran ikan dan kondisi reproduksi ikan tersebut (Jenning et al.in Mulfizal et al. (2012) menyatakan secara umum nilai b bergantung pada kondisi fisiologis dan lingkungan seperti suhu, salinitas, letak geografis dan teknik sampling dan juga

(33)

kondisi biologis seperti perkermbangan gonad dan ketersediaan makanan (Froese

in Mulfizar et al., 2012). (Kharat et al. 2008) juga menyatakan bahwa perbedaan nilai b dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah dan variasi ukuran ikan yang diamati.

Faktor kondisi

Hasil perhitungan faktor kondisi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) jantan betina berdasarkan waktu pengambilan contoh di sajikan pada gambar 12 dibawah. Faktor kondisi (FK) selama bulan penelitian relatif berbeda, walaupun perbedaanya relatif kecil, dimana selisih nilai FK < dari 3, yaitu ikan jantan kisaran berada pada 0.91-1.00 sedangkan pada ikan betina 0.95-1.04. Kondisi perbedaan faktor kondisi selama waktu pengambilan contoh dapat dilihat pada (Lampiran 3).

Gambar 12 Faktor kondisi ikan swanggi jantan dan betina

Pada gambar diatas terlihat bahwa faktor kondisi menggambarkan tingkat kemontokan ikan swanggi yang cenderung sama akan tetapi berdasarkan hasil analisis contoh ikan jantan dan betina didapatkan nilai FK < dari 3 yaitu pada bulan April hingga Agustus nilai faktor kondisi ikan jantan berkisar antara 1.00 – 1.06 dan pada contoh ikan betina berkisar antara 0.94 – 1.05, Dari seluruh nilai K yang didapatkan nilai yang berkisar antara 0-1 maka dari data hasil yang diperoleh dapat diambil kesimpulan bahwa ikan dalam keadaan baik dan memiliki bentuk yang kurang pipih. Hal ini menyebabkan kemontokan ikan kurang diduga karena

(34)

pengaruh makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad. Menurut (Effendie 1997), bila faktor kondisi berkisar antara 3-4 menunjukkan tubuh ikan agak pipih dan bila berkisar 1-2 menunjukkan tubuh ikan kurang pipih. Secara umum nilai faktor kondisi yang diperoleh cenderung meningkat dengan semakin tingginya kamatangan gonad ikan pada tingkat kematangan gonad I, gonad belum mengalami perkembangan gonad akan semakin berkembang seiring dengan meningkatnya kematangan gonad meningkatnya kematangan gonad akan meningkatkan bobot tubuh secara keseluruhan dan hal ini menyebabkan nilai faktor kondisi semakin bertambah pula (Omar 2009).

Pola Rekruitmen

Pola penambahan baru ikan swanggi Priacanthus tayenus di perairan Selat Sunda berdasarkan data frekuensi panjang diperoleh melalui model NORMSEP menggunakan program FISAT II. Disajikan pada gambar 13 berikut.

Gambar 13 Pola rekruitmen ikan swanggi

Berdasarkan Gambar 13 dapat diketahui bahwa pola rekrutmen ikan swanggi di perairan Selat Sunda terjadi sepanjang tahun (Lampiran 9 ) dari dengan proporsi yang berbeda-beda, puncak rekrutmen terjadi pada bulan Mei 18% dan juni 14%.

Rekrutmen merupakan masuknya individu baru yang sudah dapat dieksploitasi ke dalam area penangkapan. Individu baru tersebut merupakan hasil reproduksi yang telah tersedia pada tahapan tertentu dari suatu siklus daur hidup. Setelah diperoleh nilai parameter pertumbuhan (L, K, dan t0) maka dapat diduga

pola rekrutmen ikan swanggi selama satu tahun.

Mortalitas dan Laju Eksploitasi (E)

(35)

Tabel 5 Mortalitas dan laju eksploitasi ikan swanggi di Perairan Selat Sunda.

Parameter Nilai pertahun

Jantan Betina Gabungan

Mortalitas Tangkapan (F) 2,88 3,38 3,13

Mortalitas Alami (M) 0,50 0,38 0,44

Mortalitas total (Z) 3,37 3,76 3,56

Laju eksploitasi (E) 0,85 0,90 0,88

Pendugaan laju mortalitas alami ikan swanggi digunakan rumus empiris Pauly (Sparre & Venema 1999). Amri (2008) menyatakan bahwa suhu rata-rata permukaan perairan Selat Sunda pada musim timur sebesar 29oC (29,0 – 30oC). Pendugaan mortalitas ikan swanggi jantan dan betina dapat dilihat pada (Lampiran 5,6).

Laju eksploitasi penting untuk diketahui sehingga dapat menduga kondisi dari perikanan dalam pengkajian stok ikan King (1997). Hasil nilai dugaan status eksploitasi (E) yaitu sebesar 0.88 /tahun diperoleh dengan cara membagi nilai dugaan koofisien kematian akibat penangkapan (F =3.13) dengan nilai kematian total (Z = 3.56). Kondisi ini menggambarkan bahwa eksploitasi ikan swanggi di Perairan Selat Sunda telah terjadi lebih tangkap. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya menurut (Gulland 1971) seharusnya eksploitasi optimum (E opt) = 0.5/tahun, pada kondisi ini dapat tercapai hasil tangkapan yang berkelanjutan (maksimum sustainable yield - MSY).

Hubungan ukuran pertama kali tertangkap dengan ukuran rata-rata pertama kali matang gonad

Hasil analisis panjang ikan swanggi pertama kali tertangkap (Lc) dan ukuran pertama kali matang gonad (Lm). Hal ini bertujuan agar ikan yang tertangkap sedikitnya telah mengalami satu kali pemijahan (Mosse dan Hutubessy 1996). disajikan pada tabel berikut.

Tabel 6 Hubungan panjang ikan tertangkap dengan pertama kali matang gonad

spesies jenis kelamin Lc

(mm)

Lm (mm)

Lmax (mm)

P tayenus Jantan 203 251 329

Betina 192 195 305

(36)

Strategi pengelolaan sumberdaya perikanan menggunakan dengan pendekatan ekosistem (EAFM)

Hasil analisis strategi pengelolaan yang mengunakan Plot Kobe dengan pendekatan EAFM (Lampiran 13) dimana analisis yang menggambarkan kondisi sumberdaya berdasarkan warna/bendera. Hasil analisis didapatkan kondisi sumberdaya ikan swanggi Priacanthus tayenus di Perairan Selat Sunda berada pada kondisi sedang (kuning) dengan nilai total skor 1.91 (Lampiran 14) yang artinya kondisi ikan berada pada posisi sedang (kuning) kondisi ini tidak terlalu baik dan tidak buruk pula. Akan tetapi jika hal ini di biarkan maka di duga sampai pada kondisi buruk (merah) karena hal ini saling berkaitan dengan domain lain misalnya : kondisi sosial masyarakat, kelembagan dan lain-lain. Maka, perlu manajemen kelembagaan yang terkait dengan pengawasan sumberdaya sehingga potensi yang diperoleh dapat berkelanjutan. Kondisi tersebut dapat dilihat pada gambar 14 berikut.

Gambar 14 Strategi pengelolaan menggunakan EAFM

Pembahasan

Distribusi panjang ikan swanggi Priacanthus tayenus

Ukuran panjang ikan swanggi antara jantan dan betina yang didaptkan selama penilitian beriksar antara 109-329 mm pada jantan dan 105-329 mm pada betina. Hal ini menggambarkan bahwa ikan-ikan jouvenil atau ikan kecil tidak tertrangkap atau ikan-ikan tersebut masih pada daerah pembesaran. Diduga ikan ini pada proses pembesaran didaerah karang yang menjadi asosiasinya. Hasil wawancara perikanan tangkap yang dilakukan terhadap nelayan dengan menggunakan alat tangkap cantrang, rampus dan dogol ini merupakan alat tangkap yang sering didapatkan ikan swanggi dengan ukuran mata jaring (meshize) 1 cm cantrang 1,5 cm rampus dan dogol 1,5 cm.

(37)

Kondisi ini diduga disebabkan tingginya intensitas tangkapan yang atau kondisi perairan yang tidak mendukung pertumbuhan ikan swanggi.

Dinamika populasi ikan swanggi Priacanthus tayenus

Hasil analisis beberapa parameter yang mendukung reproduksi ikan swanggi Priacanthus tayenus yang ditampilkan pada hasil maka dijelaskan sebagai berikut : Nisbah kelamin suatu organisme perairan sangat penting untuk dikaji, karena terkait dengan kemampuan dan potensi reproduksi organisme tersebut kedepan. Adapun nisbah kelamin dipisahkan berdasarkan waktu pengambilan contoh pada bulan April terdapat rasio kelamin 93 : 122 yang artinya jumlah 93 ekor ikan jantan dan ikan betina sebanyak 122 ekor, pada bulan Mei didapat nisbah kelamin 62 : 128 selanjutnya pada Juni didapat nisbah kelamin ikan swanggi sebesar 83 : 87 kemudian sampling pada bulan Juli didapat nisbah kelamin sebesar 46 : 109 sedangkan pada bulan agustus didapatkan nisbah kelamin sebesar 75 : 125. Perbedaan rasio nisbah kelamin setiap bulan, mengindikasikan bahwa dinamika tiap jenis kelamin ikan relatif berbeda dari karakter tingkah laku, baik pertumbuhan dan reproduski, lingkungan dan aktivitas penangkapan. Hal ini sesuai dengan pendapat (Bal dan Rao 1984), yang mengatakan bahwa perbedaan nisbah kelamin disebabkan oleh faktor tingkah laku ikan itu sendiri, perbedaan laju mortalitas dan pertumbuhannya. Selain itu perbedaan jumlah ini juga dapat disebabkan oleh adanya aktifitas selama pemijahan (Nikolsky 1963 in Effendie 1997). Perbedaan nisbah kelamin yang dibedakan selama waktu penelitian yaitu tidak terlalu berbeda signifikan dikarnekan peluang ikan yang tertangkap pada waktu pengambilan contoh adalah sama kecuali pada bulan juli yang diasumsikan bahwa peluang ikan betina lebih besar dari pada jantan. Selain itu ikan perbedaan relatif tumbuh pada ikan swanggi antara jantan dan betina ditandai dengan nilai koefisien jantan 0.46 dan betina 0.38. Kemudian ditemukan panjang maksmal ikan betina 329 mm hal sesuai dengan L 376 mm lebih kecil dari jantan L 361 mm.

Persamaan model Von Bertalanffy dimana nilai dugaan parameter pertumbuhan dapat diekpresikan sebagai pola pertumbuahan populasi sebuah individu, kecepatan pertumbuhan dan pertumbuhan maksimum dari populasi ikan swanggi Priacanthus tayenus secara umum baik jantan maupun betina. Kecepatan pertumbuhan relatif sama hanya saja kecepatan tumbuh ikan swanggi lebih cepat terjadi pada ikan jantan sehingga panjang maksimum juga lebih cepat dibandingkan ikan betina sedikit lebih lambat. Umur maksimum ikan swanggi jantan sedikit lebih cepat dari ikan betina, ikan betina panjang maksimum 305 mm dengan umur 13 bulan (1 tahun) hal ini sedikit berbeda yang terjadi pada ikan jantan yang memiliki panjang maksimum 329 tetapi umur ikan sedikit lebih cepat untuk mencapai panjang asimtotiknya 8-10 bulan.

Hasil estimasi parameter pertumbuhan ikan swanggi Priacanthus tayenus

jika di bandingkan dengan spesies yang sama maupun genus yang sama yaitu

(38)

karena sebelum ikan tersebut tertangkap maka terlebih dulu sudah melangsungkan proses rekruitmen. Hal ini akan dapat menjamin sumberdaya ikan swanggi berada dalam keadaan berkelanjutan dan lestari (Prihatiningsih, et al. 2013). Nilai parameter pertumbuhan ikan swanggi di daerah penangkapan yang berbeda diantaranya pantai Utara Jawa (Nugroho dan Rustam 1983), perairan Bombai (Chakraborthy 2009) dan perairan Tanggerang Banten (Prihatiningsih, et al.

2013). Keadaan perbedaan setiap parameter pertumbuhan diduga karena pengukuran panjang setiap ikan juga berbeda misalnya di beberapa tempat menggunakan (fork length) panjang cagak sedangkan penelitian ini menggunakan (total length) panjang total sehingga nilai estimasi juga berbeda hal tersebut dapat dilihat pada. (Tabel 8)

Tabel 7 Perbandiangan pertumbuhan ikan swanggi

Spesies L∞ K/ lokasi sumber

(mm) tahun

P macracanthus 267 (FL) 1.36 Utara jawa Nugroho & rustam (1983)

P macracanthus 237 (FL) 1.30 jawa tengah Dwiponggo.,et a1 (986)

P hamrur 360 (FL) 0.73 Perairan India Chakaborthy (2009)

P tayenus 290 (FL) 1.25 Laut samar Ingles & Pauli (1984)

P tayenus 300 (FL) 0.80 Selatan hongkong Letser & Watson (1985)

P tayenus 323 (FL) 0.91 Perairan Banten Prihatiningsih, et al. 2013.

P tayenus 367 (TL) 0.17 Selat sunda Penelitian ini (FL) Fork length

(TL) Total length

Perbedaan kecepatan mencapai ukuran maksimum atau perbedaan kecepatan pertumbuhan yang diperlihatkan pada ikan swanggi jantan dan betina di atas diduga dipengaruhi oleh kondisi genetika dan dipengaruhi oleh ketersedian makanan dan kondisi lingkungan fisik dan kimia, walaupun penelitian tidak melihat kondisi perairan secara keseluruhan yang sebagai indikator pertumbuhan. Menurut (Raharjo et al. 2011) Pertumbuhan ikan di suatu perairan banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain jumlah makanan yang di makan, jumlah ikan di suatu perairan tersebut, jenis makanan yang dimakan, kondisi oseanografi perairan (suhu, oksigen dan lain-lain) dan kondisi ikan umur, keterunan dan genetik).

Secara umum pada ikan swanggi Priacanthus tayenus baik jantan maupun betina memperlihatkan kecepatan tumbuh diawal perumbuhan panjang setelah pada ukuran remaja sampai pada dewasa pertumbuhan mulai lambat sampai pada panjang ukuran maksimum.

Reproduksi ikan swanggi Priacanthus tayenus

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan jumlah total ikan swanggi

(39)

tertinggi didapatkan pada bulan Juli total 92 ekor ikan dengan proporsi 84.40% sedangkan terendah pada bulan Agustus jumlah 37 ekor ikan dengan proporsi 33.04%, hal ini diasumsikan bahwa telah terjadi pemijahan setelah proporsi tingkat matang gonad menurun pada waktu berikutnya, Sehingga bisa ditetapkan bahwa ikan swanggi di Perairan Selat Sunda pada proses pemijahan terjadi pada bulan Juli-Agustus. Berdasarkan jumlah indeks kematangan gonad (IKG) yang ditemukan maka puncak pemijahan terjadi lebih dari satu kali setahun, puncak tertinggi terjadi pada bulan Juli walaupun ada beberapa indeks matang gonad yang tinggi juga terjadi yaitu pada bulan April. Dengan demikian ikan swanggi dengan pola pemijahan parsial spawner yaitu tipe pemijahan lebih dari satu kali dengan cara mengeluarkan telur sedikit demi sedikit.

Fekunditas atau jumlah telur ikan swanggi Priacanthus tayenus betina untuk TKG IV di Perairan Selat Sunda yang didapatkan berkisar antara 8.944-218.491 butir telur untuk setiap induk betina. Nilai fekunditas tertinggi pada ikan swanggi yang ditemukan merupakan ikan yang memiliki potensi terbesar dalam bereproduksi, sehingga hal tersebut dapat berpengaruh pada kesediaan stok dan rekruitmen. Hubungan panjang total ikan dengan fekunditas menunjukan nilai koefisien yang rendah, sehingga diasumsikan bahwa semakin panjang ikan tidak seiring dengan pertmabahan perkembangan telur.

Pola pertumbuhan ikan swanggi Priacanthus tayenus di Perairan Selat Sunda umumnya sama baik jantan maupun betina yaitu dengan pola allometrik negative yaitu perubahan pertambahan panjang seiring dengan pertambahan berat tubuh ikan hal ini berdasarkan nilai b yang diperoleh. Pola pertumbuhan ini juga sama terjadi pada setiap sampling pengamatan baik ikan jantan maupun ikan betina, sehingga disimpulkan pola pertumbuhan ikan swanggi adalah allometrik negative. Kondisi ini dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, umur atau ukuran ikan dan kondisi reproduksi ikan tersebut (Dulcic et al. 2003) in Purnomo dan (Kartamihardja 2005), mengatakan bahwa adanya perbedaan nilai b disebabkan oleh pengaruh ontogenik terutama pada jenis kelamin yang mempengaruhi nilai b sehingga dapat mempengaruhi pola tumbuh dari ikan tersebut, dan juga pengaruh perbedaan tingkat kematangan gonad dan perbedaan umur.

Faktor kondisi ikan swanggi Priacanthus tayenus jantan dan betina berdasarkan hasil analisis pada bulan pengamatan yang ditemukan nilai faktor kondisi (FK) ialah < 3 hal ini diduga ikan swanggi yang ditemukan di perairan Selat Sunda secara umum berada pada kondisi yang kurang pipih baik jantan maupun betina. Nilai faktor kondisi selama penelitian memiliki perbedaan walaupun kecil. Dengan demikian diduga bahwa kecenderungan ikan swanggi di perairan Selat Sunda dalam kondisi yang baik. Menurut (Effendie 1997) bahwa bila faktor kondisi berkisar antara 3-4 menunjukkan tubuh ikan agak pipih dan bila berkisar 1-2 menunjukkan tubuh ikan kurang pipih. Secara umum, nilai faktor kondisi yang diperoleh cenderung meningkat dengan semakin tingginya kamatangan gonad ikan.

Ukuran rata-rata ikan swanggi Priacanthus tayenus matang gonad yaitu dengan kisaran (Lm 50%) pada panjang total (195 mm) untuk betina sedangkan

pada jantan (Lm 50%) panjang matang (251 mm) kedua ukuran panjang ikan betina

maupun jantan relatif lebih kecil dari ukuran tertangkap (Lc50%). Kondisi ini

(40)

Perairan Selat Sunda selama waktu pengambilan contoh 50% sudah matang gonad, dengan demikian dapat mempengaruhi keberlanjutan stok di alam.

Musim pemijahan

Pengamatan secara morfometrik menunjukan bahwa musim pemijahan terjadi setiap bulan selama pengamatan hal ini menunjukkan bahwa telur-telur dikeluarkan sebagian dan mengakibatkan pemijahan dapat terjadi setiap bulan, selain itu perkembangan gonad secara folikel dari perkembangan primer (O1) sampai dengan be graff (pemijahan) terjadi pada TKG III dan IV (Lampiran 10). Sehingga bisa di tetapkan bahwa ikan swanggi memijah dengan pola pemijan

partial spawner. Menurut (Sivakami et al. 2001) memperlihatkan bahwa ikan Priacanthidae yaitu Priacanthus hamrur merupakan ikan yang memiliki pola pemijahan terputus-putus.

Faktor kondisi, indeks kematangan gonad (IKG), dan tingkat kematangan gonad (TKG) sangat berkaitan. Rata – rata IKG ikan betina 2.24% lebih tinggi dari pada IKG ikan jantan 1.70% , menurut (Yustina dan Arnentis 2002) bahwa ikan betina pada umumnya memiliki IKG yang lebih besar dari pada ikan jantan. Hal ini dikarenakan pada ovari butir-butir telur akan mengalami perkembangan, sehingga semakin besar diameter telur IKG akan semakin meningkat, kemudian IKG tertinggi terjadi pada bulan Juli hal ini diduga bahwa puncak pemijahan ikan swanggi terjadi pada bulan Mei-Juli.

Ikan swanggi di perairan Selat Sunda memiliki musim pemijahan pada bulan April, Mei, Juni, Juli dan Agustus dengan puncak pemijahan pada bulan Mei-Juli. Menurut (Effendie 2002) bahwa ikan yang mempunyai musim pemijahan sepanjang tahun akan memiliki komposisi tingkat kematangan gonad dengan persentase yang tidak sama setiap pengambilan contoh.

Pola rekrutmen (Rekruitmen)

Pola penambahan baru atau rekruitmen ikan swanggi Priacanthus tayenus

di Perairan Selat Sunda yang ditemukan pada penelitian ini yaitu terjadi sepanjang bulan pengambilan contoh hal ini juga terjadi pada spesies Priacanthus macracanthus (Liu, K 2001). Sesuai dengan hasil analisis menggunakan model NORMSEP program FISAT II (Gambar 13). Diduga pemijahan tertinggi terjadi pada bulan Mei dan Juli karena berdasarkan tingkat matang gonad yang lebih tinggi pada bulan Juli. Kemudian dipastikan pada pergeseran modus panjang yang meningkat pada bulan Juli kemudian menurun pada bulan Agustus dengan ukuran panjang yang berbeda pada bulan Juni kisaran panjang 191-200 mm sedangkan pada bulan Agustus menurun dengan kisaran panjang 171-180 mm dengan frekuensi atau modus populasi lebih besar dari bulan Juli. Sehingga kita dapat menetapkan bahwa rekruitmen terjadi pada bulan mei dengan proporsi 18% dan Agustus 13%.

Mortalitas dan laju eksploitasi ikan swanggi Priacanthus tayenus

Gambar

Gambar 1 Kerangka pikiran penelitian
Gambar 2  Peta Lokasi Penangkapan
Tabel 1 Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model Bendera
Gambar 3 ikan swanggi Priacanthus tayenus
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan ukuran ikan layur yang tertangkap pada masing-masing alat tangkap menunjukkan bahwa alat tangkap yang ramah terhadap ikan layur jantan dan betina yang artinya

Kelompok umur didapatkan sebanyak 3 kelompok, sementara penelitian yang dilakukan di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, ikan swanggi memiliki sebaran frekuensi

Aspek reproduksi yang dimaksud pada penelitian ini terbatas pada pola reproduksi yang mencakup penentuan ukuran pertama kali matang gonad, musim pemijahan, pola

Pengukuran data primer tersebut digunakan untuk menentukan hubungan panjang bobot ikan, rasio kelamin, frekuensi tingkat kematangan gonad, ukuran pertama kali

Berdasarkan persamaan pertumbuhan ikan swanggi di perairan Tangerang-Banten diperoleh panjang maksimal ikan swanggi (L” = 32,34 cm) diduga berumur 3,5 tahun; rata-rata panjang ikan

Kondisi perikanan layur telah mengalami tangkap lebih secara biologi (laju eksploitasi ikan layur betina 72% dan jantan 83%) pada fase pertumbuhan (growth

pada struktur ukuran ikan terjadi perbedaan yang signifikan pada nisbah kelamin ikan lemuru jantan dan betina terutama pada ikan yang berukuran besar, dimana ikan lemuru betina

Ikan kuniran betina mencapai matang gonad pertama kali pada ukuran 124 mm dan jantan pada ukuran 120 mm, maka sangat baik jika penangkapan dilakukan terhadap ikan-ikan