• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Ikan Selar Kuning (Selaroides leptolepis) di Perairan Selat Sunda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Ikan Selar Kuning (Selaroides leptolepis) di Perairan Selat Sunda"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA POPULASI DAN BIOLOGI REPRODUKSI

IKAN SELAR KUNING (

Selaroides leptolepis

)

DI PERAIRAN SELAT SUNDA

MAIZAN SHARFINA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Ikan Selar Kuning (Selaroides leptolepis) di Perairan Selat Sunda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Maizan Sharfina

(3)

RINGKASAN

MAIZAN SHARFINA. Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Ikan Selar Kuning (Selaroides leptolepis) di Perairan Selat Sunda. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER dan YUNIZAR ERNAWATI.

Ikan selar kuning merupakan salah satu jenis ikan ekonomis penting. Ikan ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku produk olahan perikanan seperti ikan asin, ikan bakar, pindang, tepung ikan dan surimi. Selain itu ikan ini juga diperdagangkan dalam keadaan segar. Berdasarkan statistik perikanan tangkap Pelabuhan Perikanan Pantai Labuan tahun 2003-2013 terjadi penurunan produksi dan peningkatan upaya penangkapan ikan yang mengakibatkan catch per unit effort (CPUE) ikan selar kuning menurun. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan mengganggu kelestarian sumberdaya ikan selar kuning, sehingga diperlukan adanya dasar pengelolaan ikan selar kuning agar tetap optimal, lestari dan berkelanjutan antara lain melalui pendekatan dinamika populasi dan biologi reproduksi. Penelitian mengenai dinamika populasi dan aspek biologi reproduksi ikan selar kuning masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa aspek dinamika populasi dan biologi reproduksi ikan selar kuning. Aspek biologi reproduksi meliputi sebaran frekuensi panjang, hubungan panjang berat, faktor kondisi, ukuran pertama kali matang gonad, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad (IKG), diameter telur dan fekunditas. Sedangkan dinamika populasi meliputi pengkajian stok ikan dengan menggunakan data CPUE, Maximum Sustainable Yield (MSY), Maximum Economic Yield (MEY), mortalitas serta laju eksploitasi.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey lapang. Data primer yang digunakan yaitu panjang dan berat tubuh, berat gonad dan fekunditas yang didapatkan dari hasil sampling di lapangan. Pengambilan data dilakukan dari bulan Juni-Oktober 2013 dengan interval waktu 20 hari. Pengambilan ikan menggunakan metode pengambilan contoh acak berlapis (PCAB) yaitu tiap gundukan ikan dipilih acak pada tiap lapis yang mewakili seluruh kelas ukuran panjang. Ikan yang diperoleh sebanyak 760 ekor. Data sekunder dikumpulkan dari Laporan Statistik Perikanan Tangkap PPP Labuan berupa jumlah produksi, dan upaya penangkapan dari tahun 2003-2013.

Hasil penelitian menunjukkan frekuensi panjang ikan 75mm – 174mm. Sifat pertumbuhan allometrik negatif dengan koefisien b 2,5345 serta faktor kondisi total berkisar 0,3702-2,1991. Persamaan pertumbuhan ikan betina �� = 180,6(1− �−0.41(�+0.24473 )dan jantan

(4)

Hilborn, Clarke Yoshimoto Pooley dan Schnute dan berdasarkan R2 tertinggi model yang digunakan adalah model Schaeffer. Analisis bioekonomi menghasilkan MEY sebesar 252,6113 ton per tahun, 7.221 trip dengan keuntungan Rp 1.889.845.960,-. Sedangkan MSY sebesar 304,5003 ton per tahun, 12.478 trip dengan keuntungan Rp 955.843.279,-. Sebagian besar hasil tangkapan telah melebihi batas MSY maupun MEY sehingga dapat disimpulkan ikan selar kuning telah mengalami tangkap lebih di perairan Selat Sunda.

(5)

SUMMARY

MAIZAN SHARFINA. Population Dynamics and Biological Reproduction Yellowstripe Scad (Selaroides leptolepis) in Snda Strait. Counselled by MENNOFATRIA BOER dan YUNIZAR ERNAWATI

Yellowstripe scad is one of economically important fish species. This raw fish is used as fisheries products such as salted fish, grilled fish, fishmeal and surimi. Besides also traded in a fresh. Based on the statistical at fishing port beach (PPP) Labuan in 2003 until 2013, the descent of production and rising of fishing effort were resulted the declined of catch per unit effort (CPUE). This condition is feared causing the disruption of resource conservation. Management of yellowstripe scad is necessary in order to make the resources remain optimal and sustainable through population dynamics and biological reproduction approach. Research on the population dynamics and biological reproduction aspects of yellowstripe scad is still rare. Therefore, this study aims to determine some aspects of biological reproduction and population dynamics of yellowstripe scad. Biological reproduction aspects include length frequency distribution, length weight relationship, condition factor index, size of the first ripe gonads, sex ratio, maturity level of gonad (TKG), maturity index of gonad (IKG), egg diametres and fecundities. Whereas population dynamic of fish stock assessment include catch, fishing effort, CPUE, Maximum Sustainable Yield (MSY), Maximum Economics Yield (MEY), mortality and exploitation level.

Survey method was used fot this research. Primary data include body length and weight, gonad weight and fecundity were obtained from field sampling result. Data was conducted from June to October 2013 with 20 days interval. Fish was collected by random stratified method (PCAB). Every mount of fish was chose randomly from each layer which represented all length classes and got 760 fishes. Secondary data was collected from statistics of fisheries at PPP Labuan such as production, effort, prices of fish and the cost of the trip in 2003 - 2013.

The result showed the length frequency of fish was 75mm - 174mm. Growth index was allometric negative (b=2.5345) and condition factor range

(6)

of fishes catch has been exceeded MSY or MEY so it can be concluded that the yellowstripe scad fish has been overfished at Sunda Strait.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

DINAMIKA POPULASI DAN BIOLOGI REPRODUKSI

IKAN SELAR KUNING (

Selaroides leptolepis

)

DI PERAIRAN SELAT SUNDA

MAIZAN SHARFINA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tesis : Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Ikan Selar Kuning (Selaroides leptolepis) di Perairan Selat Sunda

Nama : Maizan Sharfina NIM : C251120051

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer. DEA Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 ini ialah pengkajian stok ikan, dengan judul Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Ikan Selar Kuning (Selaroides leptolepis) di Perairan Selat Sunda. Tulisan ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada Ayahanda Mahmud dan Ibunda Beny Windarsih yang telah banyak memberi bantuan dan dorongan, baik moril maupun materil dan terutama atas segala doa yang tulus untuk segala keberhasilan hidup penulis, semoga ini memberikan kebanggaan bagi bapak dan mamah.

Dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, penulis banyak memperoleh bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberikan arahan serta bimbingan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis ini.

2. Bagus Dwi Kurniawan Nugroho, S.Pi; Bapak Mulyono serta Ibu Susi Dwi Haryanti yang senantiasa tak mengenal lelah mendampingi, menyayangi sepenuh hati, memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.

3. Dr. Ir. Suradi Wijaya Saputra MS; Dr. Ir. Abdul Ghofar, MSc; Sri Rejeki M.Si; Prof. Norma Afiati, MSc, PhD; Eris Mulyadi, A.Pi, M.Si; Dr.Ir. Suryanti, M.Pi; Prof. Sutrisno Anggoro MS; Anhar Solichin M.Si yang telah membantu dan memberi semangat kepada penulis dalam menyelesaikan kuliah S2 serta tesis ini.

4. Salma A, S.Pi; Mardiyana S.Pi; Yunita MA,S.Pi; Dwi YW, S.Pi; Siti A, S.Pi; Nuralim P, S.Pi; Novita MZ,S.Pi; Zeni Nur Fajriyah (teman sebelah kamar kos di wisma ungu gang masjid); Kemot (boneka setiaku) serta seluruh teman-teman Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP) angkatan 2012 (ganjil dan genap) dan SDP 2011 (genap) yang telah berpartisipasi mengisi warna selama kuliah dan kebersamaannya baik senang, sedih, susah maupun gembira karna dua tahun ini yang akan kita rindukan dan banggakan di kemudian hari, sebuah kisah klasik untuk masa depan.

5. Segenap Dosen Pengasuh Mata Kuliah dan Staf Tata Usaha pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, IPB.

6. Staf Pelabuhan Perikanan Pantai Labuan dan Kementrian Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang dan Provinsi Banten, yang telah membantu selama pengumpulan data.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

2 METODE PENELITIAN 4

Lokasi dan Waktu Penelitian 4

Bahan dan Alat Penelitian 4

Pengumpulan Data 5

Analisis Laboratorium 6

Analisis Data 7

Hubungan Panjang Berat 7

Faktor Kondisi 8

Sebaran Frekuensi Panjang 8

Parameter Pertumbuhan (L∞, K) dan t0 9

Ukuran Pertama Kali Matang Gonad (Lm) 10

Nisbah Kelamin 10

Tingkat Kematangan Gonad 11

Indeks Kematangan Gonad 12

Fekunditas 12

Sebaran Diameter Telur 12

Mortalitas dan Laju Eksploitasi 12

Model Surplus Produksi 13

Model Schaeffer (1954) 14

Model Fox (1970) 16

Model Walter Hilborn (1967) 17

Model Clarke Yoshimoto Pooley (1992) 17

Model Schnute (1977) 18

Analisis Bioekonomi 19

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 20

Hubungan Panjang Berat 20

Faktor Kondisi 21

Sebaran Frekuensi Panjang 22

Pertumbuhan 25

Ukuran Pertama Kali Matang Gonad 29

Nisbah Kelamin 30

Tingkat Kematangan Gonad 32

Indeks Kematangan Gonad 33

Fekunditas 34

(13)

Mortalitas dan Laju Ekploitasi 37

Model Produksi Surplus Ikan Selar Kuning 39

Model Schaeffer (1954) 43

Analisis Bioekonomi 46

Implikasi bagi Pengelolaan Sumberdaya Ikan Selar Kuning

Di Perairan Selat Sunda 48

4 KESIMPULAN DAN SARAN 50

Kesimpulan 50

Saran 50

DAFTAR PUSTAKA 51

LAMPIRAN 58

(14)

DAFTAR TABEL

1. Tingkat kematangan gonad ikan selar kuning 11

2. Rumus perhitungan MSY dan MEY 20

3. Faktor kondisi ikan selar kuning betina selama penelitian 21 4. Faktor kondisi ikan selar kuning jantan selama penelitian 22 5. Sebaran kelompok ukuran ikan selar kuning betina 26 6. Sebaran kelompok ukuran ikan selar kuning jantan 26 7. Parameter pertumbuhan ikan selar kuning di Perairan Selat

Sunda 27

8. Jumlah ikan selar kuning yang telah mencapai ukuran pertama

kali matang gonad selama penelitian 29

9. Proporsi kelamin ikan selar kuning betina dan jantan 30 10. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan selar kuning selama

penelitian 38

11. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan selar kuning dari

perairan yang berbeda 39

12. Hasil tangkapan ikan selar kuning (ton) per jenis alat tangkap 39 13. Upaya tangkapan ikan selar kuning (trip) per jenis alat tangkap

tahun 2003 – 2013 40

14. Standarisasi alat penangkapan ikan selar kuning 41 15. Hasil standarisasi jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya

penangkapan (F) ikan selar kuning di perairan Selat Sunda tahun

2003 – 2013 41

16. Perbandingan koefisien pada model Schaeffer, Walter Hilborn,

Clarke Yoshimoto Pooley dan Schnute 43

17. Hasil tangkapan (ton), upaya penangkapan (trip), dan CPUE

model Schaeffer 44

18. Nilai parameter biologi dan ekonomi dalam penentuan MEY dan

MSY 47

(15)

DAFTAR GAMBAR

1. Skema pendekatan masalah 3

2. Peta lokasi penangkapan ikan selar kuning di perairan Selat Sunda dan pendaratan ikan selar kuning di PPP Labuan Banten 4 3. Bahan penelitian ikan selar kuning (Selaroides leptolepis) 5 4. Bagan alir pengumpulan data dari ikan contoh 7 5. Grafik hubungan panjang dan bobot ikan selar kuning 20 6. Grafik frekuensi panjang ikan selar kuning total sampling 1 – 7 23 7. Grafik sebaran panjang ikan selar kuning betina (A) dan jantan

(B) 24

8. Pergeseran modus frekuensi panjang ikan selar kuning betina 25 9. Pergeseran modus frekuensi panjang ikan selar kuning jantan 25 10. Kurva pertumbuhan ikan selar kuning betina (A) dan jantan (B)

di Perairan Selat Sunda 27

11. Rasio kelamin ikan selar kuning tiap sampling selama penelitian 30 12. Rasio total ikan selar kuning selama penelitian 31 13. Tingkat kematangan gonad ikan selar kuning betina (A) dan

jantan (B) pada tiap waktu pengambilan ikan contoh 32 14. Tingkat kematangan gonad ikan selar kuning betina (A) dan

jantan (B) tiap selang kelas 32

15. Indeks kematangan gonad ikan selar kuning betina (A) dan

jantan (B) pada setiap TKG 33

16. Indeks kematangan gonad ikan selar kuning betina dan jantan

berdasarkan waktu pengambilan data 34

17. Hubungan panjang total dan fekunditas ikan selar kuning 35 18. Hubungan bobot tubuh dan fekunditas ikan selar kuning 35

19. Sebaran diameter telur ikan selar kuning 36

20. Grafik mortalitas ikan selar kuning total 37

21. Grafik mortalitas ikan selar kuning betina (A) dan jantan (B) 37 22. Grafik produksi ikan selar kuning di perairan Selat Sunda tahun

2003 – 2013 42

23. Grafik upaya penangkapan di perairan Selat Sunda tahun 2003 –

2013 42

24. Grafik hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan model

Schaeffer 44

25. Kurva hubungan hasil tangkapan (C) dan upaya penangkapan (F) ikan selar kuning di perairan Selat Sunda berdasarkan model

Schaeffer 45

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Sebaran frekuensi panjang ikan selar kuning (Selaroides

leptolepis) total tiap waktu pengambilan sampel 59

2. Sebaran frekuensi panjang ikan selar kuning (Selaroides leptolepis) betina dan jantan bulan Juni-Oktober 2013 60 3. Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad ikan selar kuning

betina 61

4. Perhitungan fekunditas ikan selar kuning 62

5. Proses penentuan laju mortalitas total (Z) melalui kurva yang

dilinearkan berdasarkan data panjang 65

6. Perhitungan model Schaeffer (1954) 67

7. Perhitungan model Fox (1970) 68

8. Perhitungan model Walter Hilborn (1967) 69

9. Perhitungan model Clarke Yoshimoto Pooley (1992) 71

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Total luas wilayah laut Indonesia seluas 5,9 juta km2, terdiri atas 3,2 juta km2 perairan teritorial dan 2,7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif (Lasabuda 2013). Perairan yang luas tersebut memiliki kekayaan sumberdaya ikan yang salah satunya ikan selar kuning (Selaroides leptolepis). Penyebaran ikan selar kuning di daerah pantai seluruh Indonesia meliputi: Teluk Benggala, Teluk Siam, sepanjang pantai Laut Cina Selatan dan perairan tropis Australia (Genisa 1999). Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan Banten memiliki prospek cukup baik sebagai tempat pendaratan ikan, hal ini karena jumlah produksi ikan yang didaratkan lebih besar daripada PPP lain di Kabupaten Pandeglang yaitu sebesar 1.285,62 ton/tahun ikan pada tahun 2008. Tahun berikutnya jumlah tangkapan ikan yang didaratkan mencapai 774,17 ton/tahun (TPI Labuan I) dan 511,46 ton/tahun (TPI Labuan II) yang berupa ikan pelagis dan demersal (DKP 2008).

Ikan selar kuning (Selaroides leptolepis) merupakan ikan pelagis kecil yang bernilai ekonomis penting. Ikan ini yang banyak dimanfaatkan sebagai ikan pindang, ikan bakar maupun ikan asin karena rasanya yang enak. Selain itu, ikan selar kuning banyak diperdagangkan dalam keadaan segar (basah), dibekukan (Abdullah dan Yean 1985), atau setelah diolah dengan berbagai perlakuan seperti diasinkan, dikeringkan. Daging ikan ini juga diolah menjadi tepung ikan dan surimi juga sebagai bahan baku nugget ikan (Huda et al. 1998). Di Thailand Selatan, ikan selar kuning banyak digunakan dalam produksi surimi (Arfat dan Benjakul 2012). Ikan selar kuning juga telah digunakan dalam produksi protein hidrolisat dengan aktivitas antioksidan (Klompong et al. 2007). Karakteristik khusus pada ikan selar kuning yaitu punggung biru metalik, dengan suatu pita kuning terang yang lebar berjalan dari sisi atas mata ke belakang tubuh hingga ke batang ekor. Sebuah noktah hitam besar menonjol di bagian atas tutup insang, dekat bahu. Sisi tubuh dan perut berwarna perak. Sirip-sirip punggung, sirip dubur, dan sirip ekor kuning pucat atau kuning kelabu; sirip perut putih (Carpenter dan Niem 1999).

(18)

perairan Natuna (Febrianti et al. 2013). Tingginya pemanfaatan dan kondisi stok yang cenderung menurun serta minimnya informasi mengenai dinamika populasi dan biologi reproduksi dikhawatirkan akan mengganggu kelestarian sumberdaya ikan selar kuning. Selain itu, penelitian mengenai dinamika populasi dan aspek biologi reproduksi pada ikan selar kuning masih jarang dilakukan sehingga diperlukan adanya kajian lebih lanjut dalam upaya pengelolaan sumberdaya ikan agar dapat dimanfaatkan optimal, lestari dan berkelanjutan.

Perumusan Masalah

Sumberdaya ikan selar kuning bersifat milik bersama (common property) dengan pemanfaatan yang bersifat bebas dilakukan oleh semua orang. Akan tetapi, sumberdaya ikan selar kuning juga bersifat terbatas dan dapat rusak akibat tingkat pemanfaatan yang tidak terkendali, yaitu penangkapan secara terus menerus tanpa adanya suatu kontrol. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dalam upaya memberikan masukan bagi pengelolaan sumberdaya ikan selar kuning melalui dua pendekatan aspek dinamika populasi dan biologi reproduksi agar sumberdaya ikan selar kuning dapat dimanfaatkan secara optimum, lestari dan berkelanjutan yakni dengan mengetahui terlebih dahulu karakteristik biologi reproduksi ikan selar kuning juga aspek pengkajian stok. Data-data yang dibutuhkan meliputi data primer dan sekunder yang kemudian dilakukan analisis pada masing-masing parameter. Analisis biologi reproduksi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi: hubungan panjang berat, faktor kondisi, sebaran frekuensi panjang, pertumbuhan, ukuran pertama kali matang gonad, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad (IKG), diameter telur dan fekunditas. Sedangkan aspek dinamika populasi meliputi pengkajian stok ikan dengan menggunakan data hasil tangkapan, upaya penangkapan serta hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE), MSY, MEY, mortalitas serta laju eksploitasi ikan selar kuning (Gambar 1).

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk memberikan masukan bagi pengelolaan sumberdaya ikan selar kuning melalui dua pendekatan yaitu pendekatan aspek biologi reproduksi dan dinamika populasi agar perikanan selar kuning dapat dimanfaatkan secara maksimal, lestari dan berkelanjutan.

Manfaat Penelitian

Sebagai langkah awal pengelolaan ikan selar kuning, secara keseluruhan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai batas potensi lestari maksimum yang dapat dimanfaatkan serta waktu pemijahan ikan selar kuning sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan perikanan selar kuning dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat nelayan khususnya di sekitar PPP Labuan Banten.

(19)

Alur pendekatan masalah yang dilakukan selama penelitian (Gambar 1):

(20)

2 Metode Penelitian

Lokasi dan Waktu Penelitian

Ikan selar kuning yang dikumpulkan selama penelitian berasal dari hasil tangkapan nelayan di perairan Selat Sunda yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan Pandeglang, Banten dari bulan Juni-Oktober 2013 dengan interval 20 hari sekali. Daerah penangkapan ikan selar kuning di sekitar Perairan Selat Sunda meliputi Pulau Sebesi, Pulau Sebaku, Pulau Sertung, Pulau Anak Rakata, dan Pulau Rakata (Gambar 2). Alat tangkap yang digunakan antara lain payang, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, bagan tancap, bagan perahu, serta sero. Alat tangkap standart yang digunakan ialah pukat cincin.

(21)

Bahan dan Alat Penelitian

Gambar 3. Bahan penelitian ikan selar kuning (Selaroides leptolepis)

Bahan penelitian meliputi ikan selar kuning, es batu untuk mengawetkan ikan dan formalin 5% untuk mengawetkan gonad ikan. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian meliputi coolbox, alat bedah, mikroskop, timbangan digital ketelitian 0,1 gram untuk pengukuran bobot tubuh dan 0,0001 gram untuk pengukuran gonad ikan, penggaris ketelitian 1mm, kamera,dan alat tulis.

Pengumpulan Data

(22)

Analisis Laboratorium

Analisis dilakukan di laboratorium Biologi Perikanan FPIK IPB meliputi:

1. Pengukuran panjang total dan berat ikan contoh

Pengukuran panjang total dilakukan dengan menggunakan penggaris dengan ketelitian 1mm dengan cara mengukur dari ujung kepala sampai ujung sirip ekor yang paling belakang. Penimbangan berat ikan contoh dilakukan dengan cara menimbang seluruh tubuh ikan dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,1 gram. Setelah dilakukan pengukuran panjang dan penimbangan berat, kemudian ikan dibedah untuk diamati organ reproduksinya (Gambar 3).

2. Pembedahan ikan contoh

Ikan contoh dibedah dengan menggunakan gunting bedah, dimulai dari anus menuju bagian atas perut sampai ke bagian belakang operculum kemudian menurun ke arah vertikal hingga ke dasar perut. Dagingnya dibuka sehingga gonad di dalamnya dapat terlihat dengan jelas.

3. Penentuan jenis kelamin

Jenis kelamin ditentukan dengan melihat secara morfologis gonad masing-masing ikan contoh yang sudah dibedah. Setelah diketahui jenis kelamin masing-masing ikan, maka nisbah kelamin ikan betina dan jantan dapat diketahui.

4. Penentuan tingkat kematangan gonad

Penentuan TKG dapat dilakukan melalui pengamatan morfologi gonad secara langsung dengan menggunakan modifikasi Cassie in Effendie dan Sjafei (1976) yang tertera dalam Tabel 1.

5. Fekunditas

Gonad diambil dari ikan yang telah dibedah kemudian ditimbang beratnya (timbangan ketelitian 0,0001gr) kemudian diawetkan dengan formalin 5%. Gonad yang telah diawetkan kemudian dibagi menjadi 3 bagian anterior, tengah dan posterior masing-masing bagian ditimbang; kemudian diambil gonad contoh dari sebagian kecil bagian gonad anterior, tengah dan posterior tersebut lalu ditimbang (timbangan ketelitian 0,0001gr) dan diencerkan dengan aquadest 10 ml; kemudian diambil 1ml gonad yang sudah diencerkan untuk dihitung fekunditasnya.

6. Diameter telur ikan

(23)

Gambar 4. Bagan alir pengumpulan data dari ikan contoh

Analisis Data Hubungan Panjang Berat

Model pertumbuhan mengikuti pola hukum kubik dari 2 parameter yang dijadikan analisis. Asumsi hukum kubik artinya setiap pertambahan panjang akan menyebabkan pertambahan berat 3 kali lipatnya. Namun pada kenyataannya tidak demikian, karena panjang dan bobot ikan berbeda pada setiap spesies ikan. Analisis panjang berat dilakukan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan selar kuning yang didaratkan di PPP Labuan Banten mengikuti persamaan (Effendie 2002):

W = a.Lb ... (1)

W adalah berat ikan (gram), L adalah panjang total ikan (mm), a adalah konstanta atau intersep dan b adalah eksponen atau sudut tangensial.

Menurut Nurdin et al. (2012), pengujian nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji -t (uji parsial) dengan hipo-tesis:

�0 ∶ � = 3, hubungan panjang dengan bobot adalah isometrik

(24)

Hipotesis digunakan untuk menduga pola pertumbuhan dari nilai b. Jika didapatkan b = 3 maka pertambahan berat seimbang dengan pertambahan panjang (isometrik). Bila didapatkan b < 3 maka pertambahan panjang lebih cepat dibanding pertambahan beratnya (alometrik negatif). Jika b > 3 maka pertambahan berat lebih cepat dibanding pertambahan panjangnya (alometrik positif).

Perbandingan nilai thitung dengan ttabel dilakukan pada selang kepercayaan

95%. Selanjutnya untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan selar kuning, maka kaidah keputusan yang diambil adalah:

Jika nilai thitung > ttabel maka keputusannya menolak hipotesis nol (�0)

jika nilai thitung < ttabel maka keputusannya menerima hipotesis nol (�0)

Faktor Kondisi

Faktor kondisi menunjukan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi. Faktor kondisi dihitung dengan menggunakan sistem metrik berdasarkan hubungan panjang berat ikan sampel. Jika pertumbuhan ikan isometrik (Effendie 2002):

�= 1053� ... (3)

K adalah faktor kondisi, W adalah bobot ikan (gram), L adalah panjang total ikan (cm). Jika pertumbuhan bersifat allometrik:

�� = ���� ... (4)

Kn adalah faktor kondisi relatif, W adalah bobot ikan (gram), L adalah panjang

total ikan (mm), a dan b adalah konstanta yang didapat dari hubungan panjang berat.

Sebaran Frekuensi Panjang

(25)

dalam program FiSAT II (FAO-ICLARM Stock Assessment Tool). Sebaran frekuensi panjang dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok umur yang diasumsikan menyebar normal, masing-masing dicirikan oleh rata-rata panjang dan simpangan baku. Menurut Boer (1996), jika fi adalah frekuensi ikan dalam

kelas panjang ke-i (i = 1,2, ... ,N), µj adalah rata-rata panjang kelompok umur ke-j,

σj adalah simpangan baku panjang kelompok umur ke-j dan pj adalah proporsi

ikan dalam kelompok umur ke-j (j=1,2, ... ,G), maka fungsi objektif yang digunakan untuk menduga ��̂�,��,�̂�� adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum likelihood function):

�=∑=1log∑�=1�� ... (5)

sedangkan ��� = 1 ��√2��

−12���−� �

�� �

2

yang merupakan fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah µj dan simpangan baku σj. xi adalah titik tengah kelas

panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap µj, σj dan pj sehingga diperoleh dugaan �̂,��,�̂ yang

akan digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan.

Parameter Pertumbuhan (L∞, K) dan t0

Pertumbuhan ikan merupakan perubahan dimensi (panjang, berat, volume, dan ukuran) per satuan waktu baik individu maupun komunitas, sehingga pertumbuhan ini banyak dipengaruhi faktor lingkungan seperti jumlah ikan, jenis makanan, dan kondisi ikan. Tujuannya untuk mengetahui kecepatan pertumbuhan ikan dimana pertumbuhan yang cepat dapat mengindikasikan kelimpahan makanan dan kondisi lingkungan yang sesuai (Malafeyev dan Grib 1994). Plot

Ford-Walford merupakan salah satu metode paling sederhana dalam menduga persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (King 1995):

�� =�∞(1− �−�(�−�0))... (6)

Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), L∞ adalah panjang

maksimal secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan, t0

adalah umur teoritis.

Penurunan persamaan Ford-Walford didasarkan pada persamaan Von Bertalanffy (6) dengan t0 = 0, maka persamaan:

�� =�∞(1− �−�.�) ... (7)

(26)

setelah Lt + 1 disubtitusikan ke persamaan (7) maka diperoleh delta persamaan baru

tersebut adalah:

��+1− �� = �∞�1− �−�(�+1)� − �∞(1− �−��)

��+1− �� = �∞.�−��(1− �−�) ... (9)

persamaan (8) disubtitusikan ke persamaan (9) maka diperoleh: ��+1− �� = (�∞− ��)(1− �−�)

��+1 =�∞(1− �−�) + (�� .�−�)... (10)

Lt dan Lt+1 merupakan panjang ikan pada saat t dan panjang ikan yang dipisahkan

interval waktu yang konstan (1 = tahun, bulan atau minggu) (Pauly 1984). Persamaan (10) merupakan persamaan linier dan jika Lt (sumbu X) diplotkan

dengan Lt+1 (sumbu Y) maka garis lurus yang dibentuk akan memiliki kemiringan

(slope)b = e-K dan titik potong dengan sumbu X(a) = L∞ (1 – e-K).

Umur teoritis ikan pada saat panjang = 0 dapat diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly 1984) yaitu:

��� (−�0) = 0,3922−0,2572(log�∞)−1,038(log�) ... (11)

Ukuran Pertama Kali Matang Gonad (Lm)

Penentuan panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) dapat

menggunakan sebaran frekuensi proporsi gonad yang telah matang gonad (King 1995). Ukuran pertama kali matang gonad dihitung menggunkaan persamaan Spearman-Karber telah dikembangkan oleh Finney (1971) in Saputra et al.

(2009):

�=� +�

2−(� .∑ ��) ... (12)

m adalah logaritma dari kelas panjang pada kematangan pertama, d adalah selisih logaritma dari pertambahan nilai tengah panjang, k adalah jumlah kelas panjang, xk adalah logaritma nilai tengah panjang dimana ikan matang gonad (atau dimana

pi = 1). Mengantilogkan persamaan di atas, maka Lm dapat diduga. Jika α = 0,05 maka batas-batas kepercayaan 95% dari (m) =������� (�± 1,96��2(��−��

��−1))

Nisbah Kelamin

Persamaan untuk menghitung nisbah kelamin (Steel dan Torrie 1993):

(27)

NKi adalah nisbah kelamin, nBi adalah jumlah ikan betina pada kelompok ukuran

ke-i, nJi adalah jumlah ikan jantan pada kelompok ukuran ke-i.

Hubungan antara jantan dan betina dalam suatu populasi dapat diketahui dengan melakukan analisis nisbah kelamin ikan menggunakan uji Chi square (X2) (Steel dan Torrie 1993):

�2 =∑(��−��)2

�� ... (14)

� 2

adalah nilai bagi peubah acak yang sebaran penarikan contohnya mendekati sebaran khi kuadrat (chi square), Oi adalah jumlah frekuensi ikan jantan dan betina yang diamati (individu) dan ei adalah jumlah frekuensi harapan dari ikan

jantan dan betina (individu). Nilai-nilai � 2 yang diperoleh diperbandingkan dengan � 2 tabel dengan taraf nyata 5% dan derajat bebas (n-1).

Tingkat Kematangan Gonad

Tingkat kematangan gonad adalah tahap perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah (Effendie 2002). Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari reproduksi ikan sebelum terjadi pemijahan. Selama itu sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad (Effendie 1997). Penentuan TKG bertujuan untuk mengetahui kondisi ikan yang diperoleh selama penelitian dalam keadaan tingkat kematangan gonad sehingga dapat diduga musim pemijahan ikan tersebut. TKG ditentukan secara morfologi menggunakan modifikasi Cassie in Effendie dan Sjafei (1976) (Tabel 1) yang didasarkan pada bentuk, warna, ukuran, dan bobot gonad.

Tabel 1. Tingkat kematangan gonad ikan selar kuning

TKG BETINA JANTAN

I Ovari seperti benang, panjang

sampai ke depan rongga tubuh. Warna jernih. Permukaan licin.

Testis seperti benang, lebih pendek, terihat ujungnya di rongga tubuh. Warna jernih. Permukaan licin.

II Ukuran ovari lebih besar.

Pewarnaan lebih gelap kekuning-kuningan, telur belum jelas dilihat dengan mata.

Ukuran testis lebih besar. Pewarnaan lebih putih seperti susu. Bentuk lebih jelas daripada tingkat I.

III Ovari berwarna kuning. Secara

morfologis telur mulai kelihatan butirannya dengan mata.

Permukaan testis tampak lebih bergerigi. Warna makin putih, testis makin besar. Dalam keadaan diawetkan mudah putus. IV

V

Ovari makin besar. Telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak. Mengisi ½ - 2/3 rongga perut, usus terdesak. Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat di dekat pelepasan, banyak telur seperti pada tingkat II

Seperti pada tingkat III, tampak lebih jelas dan testis makin pejal.

(28)

Indeks Kematangan Gonad

Indeks kematangan gonad yaitu suatu nilai dalam persen sebagai hasil dari perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonad dikalikan dengan 100. Sejalan dengan perkembangan gonad, maka bobot gonad semakin bertambah dan semakin besar sampai mencapai maksimum ketika ikan mencapai memijah. Tujuannya untuk mengetahui perbandingan ukuran gonad dan tubuh ikan, perhitungan yang dilakukan (Effendie 1997):

IKG =BG

BT x 100% ... (15)

IKG adalah indeks kematangan gonad, BG adalah berat gonad ikan (gram), BT adalah berat tubuh ikan (gram).

Fekunditas

Fekunditas adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada saat ikan memijah. Tujuannya untuk mengetahui banyaknya butir telur yang terdapat pada gonad ikan yang berada dalam keadaan matang gonad. Fekunditas dihitung pada kondisi tingkat kematangan gonad III dan IV dengan menggunakan metode gabungan sebagai berikut (Effendie 2002):

F =G x V x X

Q ... (16)

F adalah fekunditas, G adalah berat gonad total (gram), V adalah volume pengenceran (ml), X adalah jumlah telur dalam 1 cc, Q adalah berat telur sampel (gram).

Sebaran Diameter Telur

Diameter telur adalah garis tengah atau ukuran panjang sebuah telur. Pengukuran bertujuan untuk menentukan kualitas yang berhubungan dengan kandungan kuning telur dimana telur yang berukuran besar menghasilkan larva berukuran besar dan sebaliknya (Effendie 2002). Diameter telur diukur di bawah mikroskop dengan bantuan mikrometer okuler yang sudah ditera. Pengukuran dilakukan pada telur-telur yang berada pada tingkat kematangan gonad III dan IV dengan jumlah 50 telur ikan pada setiap gonad ikan. Data yang telah diperoleh dikonversi terlebih dahulu, dengan cara mengalikan data dengan nilai konversi 0,025. Kemudian dicari jumlah kelas dan dibuat selang kelas dari data dan dihitung frekuensi ikan pada tiap selang kelas.

Mortalitas dan Laju Eksploitasi

(29)

Nilai M berkaitan dengan nilai L∞ karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre dan Venema 1999). Mortalitas alami dipengaruhi oleh predator, penyakit dan usia. Selain itu menurut Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi laju mortalitas alami yaitu suhu rata-rata perairan, panjang maksimum (L∞)dan laju pertumbuhan (K). Laju eksploitasi (E) merupakan bagian suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Selain itu, laju eksploitasi juga dapat diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alam maupun faktor penangkapan (Pauly 1984). Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinierkan berdasarkan data komposisi panjang (Lampiran 5). Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999):

���=−0,0152−(0,279 .���) + (0,6543 .���) + (0,463 .����)... (17)

Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) menyarankan untuk ikan yang bergerombol, persamaan hubungan linier untuk mortalitas alami dikalikan 0,8 sehingga untuk ikan selar kuning yang bergerombol nilai dugaan menjadi 20% lebih rendah:

�= 0.8 �−0.0152−0.279 ���∞+ 0.6543 ���+0.463 ���� ... (18)

M adalah mortalitas alami, L∞ adalah panjang asimtotik, K adalah koefisien pertumbuhan, T adalah rata-rata suhu permukaan air (oC).

Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan persamaan:

� =� − � ... (19)

Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) terhadap mortalitas total (Z) Pauly (1983):

�=

+�=

� ... (20) Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) akan sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5 (Fopt = M atau Eopt = 0,5).

Model Produksi Surplus

(30)

sumberdaya perikanan. Tujuan utama penggunaan model produksi surplus adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang (Tinungki 2005). Model produksi surplus yang dibandingkan pada penelitian ini yaitu model Schaeffer, Fox, Walter Hilborn, CYP, dan Schnute. Kemudian model yang paling sesuai dan cocok untuk diterapkan adalah model yang memiliki koefisien determinasi (R2) paling besar, hal ini didukung oleh pendapat Pindyck dan Rubnfield (1998) bahwa nilai determinasi lazim digunakan untuk mengukur goodness of fit dari variabel tidak bebas dalam model, dimana semakin besar nilai R2 menunjukkan bahwa model tersebut semakin baik (Tabel 16).

Konsep produksi surplus berawal dari beberapa karya, antara lain dalam karya-karya Russell dan Schaefer. Schaefer (1954) in Tserpes (2008) menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menduga stok didasarkan pada model produksi surplus logistik. Dasar pemikirannya adalah bahwa peningkatan (increment) populasi ikan akan diperoleh dari sejumlah ikan-ikan muda yang dihasilkan setiap tahun, sedang penurunan dari populasi tersebut (decrement) merupakan akibat dari mortalitas baik karena faktor alam maupun eksploitasi oleh manusia. Oleh karena itu, populasi akan berada dalam keadaan ekuilibrium bila

increment sama dengan decrement. Kelimpahan ikan selar kuning dapat diduga dengan CPUE (Catch per Unit Effort). Nilai ini merupakan produksi per satuan usaha penangkapan ikan selar kuning di perairan Selat Sunda yang dirumuskan sebagai berikut :

CPUE =���������� ℎ (�)

(�) ... (21)

Jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC) ditentukan dengan analisis produksi surplus dan berdasarkan prinsip kehati-hatian:

TAC = 80% x MSY ... (22)

jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) adalah 80 % dari potensi maksimum lestari (MSY) (FAO 1998). Oleh karena itu, agar kegiatan perikanan dapat dilakukan secara berkelanjutan maka jumlah hasil tangkapan sebaiknya tidak melebihi nilai TAC.

A. Model Schaeffer (1954)

Algoritma untuk menduga parameter r,q, dan K model Schaeffer (Tinungki 2005):

���

�� = �(�) =���(1− ��

�) ... (23) Bt adalah biomassa dari stok. Persamaan di atas belum memperhitungkan

(31)

���

�� = ����1− ��

�� − �� ... (24)

Berdasarkan persamaan (24) tangkapan optimum dapat dihitung pada saat ��� �� = 0 atau pada titik keseimbangan dimana Ct adalah hasil tangkapan dan Et adalah

upaya penangkapan:

�� = ����1−��� = ����� ... (25)

�� = � �1−���

� � ... (26) dengan mensubtitusikan persamaan (26) ke persamaan (25) diperoleh:

�� = ���� �1−���� ... (27)

persamaan (27) disederhanakan menjadi:

��

�� =����� = �� −

�2

� �� ... (28) �� = �+���+�� ... (29)

keterangan:

�� = �����, �� =��, �= ��= ��, �= �̂= �

2

� ,

q adalah koefisien penangkapan, K adalah daya dukung lingkungan, r adalah laju pertumbuhan alami.

Boer dan Aziz (1995) menyatakan bahwa persamaan matematika untuk model Schaeffer adalah: ��

�� = � − ��� atau �� = ��� − ��� 2

Hubungan linier ini yang digunakan secara luas untuk menghitung dugaan EMSY melalui penentuan turunan pertama dari:

���

��� =� −2��� = 0 ... (30)

�� =2 = 2 ... (31)

sehingga diperoleh persamaan produksi maksimum lestari (MSY) yang diperoleh dengan mensubtitusikan nilai effort optimum:

�� = ��� − ���2 ... (32)

(32)

�� = ���=�

2

4� =

��

4 ... (33)

B. Model Fox (1970)

Fox menyatakan bahwa hubungan antara effort (Et) dan catch (Ct) adalah

bentuk eksponensial dengan kurva yang tidak simetris, hubungan antara Et dan

CPUEt (Tinungki 2005):

����� =� = ��+��� ... (34)

hubungan antara effort (Et) dengan catch (Ct):

�� = ���(�+���) ... (35)

��

�� =������� = ��+

�2

� �� ... (36) �� = �+���+�� ... (37)

keterangan:

�� = �������, �� = ��, � =��= ��, �=�̂ =�

2

� ,

q adalah koefisien penangkapan, K adalah daya dukung lingkungan, r adalah laju pertumbuhan alami.

Upaya optimum (Eopt) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama

sama dengan nol:

���

��� = �

(+��)+

��(�+���)(�) = 0 ... (38)

sehingga:

���� = −1 =− 1

(�2�)

... (39)

Produksi maksimum lestari diperoleh dengan mensubtitusikan upaya optimum ke dalam persamaan (35), sehingga:

���=−1 ���−

1 =

(33)

C. Model Walter Hilborn (1967)

Model Walter Hilborn ini dapat memberikan dugaan masing-masing parameter fungsi produksi surplus r, q, dan K (Tinungki 2005):

��+1 =�� +����1−��� − �� ... (41)

Penyusunan kembali persamaan diatas dengan memindahkan �����

� ke sisi kiri dan mengalikan persamaan dengan �

����� , sehingga:

�����+1

����� −1 = � −

������� − ��� ... (43)

Persamaan di atas diregresikan dengan laju perubahan biomassa sebagai peubah tidak bebas dan upaya penangkapan sebagai peubah bebas, sehingga:

�� = �+��1�+��2� +�� ... (44)

D. Model Clarke Yoshimoto Pooley (1992)

Parameter r (laju pertumbuhan alami), q (koefisien kemampuan penangkapan) dan K (daya dukung lingkungan) yang digunakan:

��(�����+1) =�2�

persamaan diatas dapat ditulis dalam persamaan linier berganda:

(34)

sehingga:

Perhitungan parameter r, q, dan K akan didapatkan kesulitan sehingga dibuat algoritma (Fauzi 2002 in Tinungki 2005). Koefisien regresi a, b, c diperlukan dalam menentukan:

Schnute mengetengahkan versi lain dari model surplus produksi yang bersifat dinamik, discrete in time, serta deterministik dari cara Graham-Schaefer. Di sisi lain, memberikan model waktu dinamis, stokastik, dan khusus untuk model produksi surplus yang bertentangan dengan model statis, deterministik, dan kontinyu dari model Graham-Schaefer yang lain. Model Schnute dipandang sebagai modifikasi model Schaefer dalam bentuk diskrit (Roff 1983 in Tinungki 2005). Dasar dari model Schnute adalah:

��� jika persamaan (2.16.2) diintegrasikan dan dilakukan satu langkah setahun ke depan diperoleh:

��(�+1)− ��(��) =� −�

����− ����... (49)

dimana: �� = ∫�+1��� ,����� =∫�+1���

Persamaan (2.16.3) selanjutnya disederhanakan dimana ������������ dan �̅

masing-masing adalah rata-rata catch per unit effort dan rata-rata upaya penangkapan per

(35)

Beberapa manipulasi aljabar dimodifikasi, sehingga Schnute (1977) in Masters

(2007) menunjukkan bahwa persamaan produksi surplus Schaefer dapat

ditransformasi ke dalam bentuk linear berganda:

�� = �+��1�+��2� +��... (52)

Persamaan ini dapat menduga parameter-parameter q, K dan r:

�=� ; � =− �

�� ; �= −�

Analisis Bioekonomi

Analisis bioekonomi menggunakan nilai parameter biologis, teknis dan ekonomi pada kondisi keseimbangan antara tingkat pemanfaatan dan laju pertumbuhan populasi yang dimulai dengan mestimasi koefisien r, q, dan K

(Clarke et al. 1992). Pendekatan bioekonomi menggunakan model Gordon-Schaefer dengan pendekatan melalui model CYP (Clark 1985 in Ernaningsih 2013).

Asumsi dasar yang digunakan adalah permintaan ikan hasil tangkapan dan penawaran upaya penangkapan adalah elastis sempurna. Konsep MEY (Maximum Economic Yield) menekankan pada keuntungan maksimun namun tetap terjaga kelestarian sumberdaya ikan tersebut. Pendekatan ini dikenal dengan sebutan pendekatan bioekonomi. Bioekonomi diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karena selama ini permasalahan perikanan hanya terfokus pada maksimalisasi penangkapan dengan mengabaikan faktor produksi seperti biaya yang dipergunakan dalam melakukan penangkapan ikan. Harga ikan dan biaya marginal upaya penangkapan masing-masing mencerminkan manfaat marginal dari ikan hasil tangkapan bagi masyarakat dan biaya sosial marginal upaya penangkapan. Menurut Hiariey (2010), rente ekonomi lestari diperoleh melalui persamaan:

�=�� − �� ... (52)

�=�� − �� ... (53)

(36)

Formula untuk estimasi koefisien variabel pada kondisi rezim pengelolaan sumberdaya ikan selar kuning (tabel 2):

Tabel 2. Rumus perhitungan MSY dan MEY

Variabel Rezim pengelolaan

MSY MEY

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hubungan Panjang Berat

Analisis hubungan panjang dan bobot dengan menggunakan data panjang dan bobot ikan sebanyak 760 ekor terdiri dari 223 ekor ikan betina dan 277 ekor ikan jantan.

Gambar 5. Grafik hubungan panjang dan bobot ikan selar kuning

Berdasarkan hubungan panjang bobot ikan selar kuning (Gambar 5) diperoleh nilai b sebesar 2,5345, sehingga persamaan hubungan panjang dan bobot ikan selar kuning:

W = 0,0188 L2,5345

(37)

Koefisien determinasi yang diperoleh sebesar 83,9% dan pada selang kepercayaan 95% nilai b ikan selar kuning di Perairan Selat Sunda berkisar antara 1,3905 – 3,6785. Berdasarkan uji t pada selang kepercayaan 95% diperoleh pola pertumbuhan ikan selar kuning adalah allometrik negatif yakni laju pertumbuhan panjang lebih cepat dengan laju pertumbuhan berat. Hasil analisis hubungan panjang bobot ikan selar kuning yang menunjukan laju pertumbuhan allometrik negatif juga diperoleh dari penelitian Kasim dan Hamsa (1994) dengan hubungan panjang berat log W = -3,5058 + 2,3732 log L, Damayanti (2010) di Teluk Jakartaa dengan hubungan panjang berat W = 0,00002 L2,858, Sharfina (2011) di perairan Rembang dengan persamaan W = 0,0000403 L2,7436 serta pada penelitian Febrianti et al. (2013) di Laut Natuna dengan persamaan W = 0,1180 L2,19 sedangkan pada penelitian Reuben et al. (1992) di perairan India dengan hubungan W = 0,000017119 L2,8932 diperoleh pola pertumbuhan isometrik. Menurut Bagenal in Febrianti et al. (2013), faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan nilai b selain perbedaan spesies adalah perbedaan jumlah dan variasi ukuran ikan yang diamati, faktor lingkungan, berbedanya stok ikan dalam spesies yang sama, tahap perkembangan ikan, jenis kelamin, tingkat kematangan gonad, bahkan perbedaan waktu dalam hari karena perubahan isi perut. Secara umum, nilai b tergantung pada kondisi fisiologi dan lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, letak geografis dan teknik sampling (Jennings et al. 1998 in Mulfizar et al. 2012). Selain itu perbedaan umur, kematangan gonad, jenis kelamin, letak geografis, dan kondisi lingkungan (aktifitas penangkapan); kepenuhan lambung, dan penyakit dapat mempengaruhi keragaman nilai b (Le Cren 1951; Neff dan Cargnelli 2004; Ecoutin et al. 2005 in Rahardjo dan Simanjuntak 2008).

Faktor Kondisi

Faktor kondisi menunjukkan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi. Faktor kondisi dapat naik dan turun karena merupakan indikasi dari musim pemijahan bagi ikan, khususnya ikan-ikan betina (Effendie 2002).

Tabel 3. Faktor kondisi ikan selar kuning betina selama penelitian

TKG Jumlah Hubungan

Panjang Berat Kisaran Faktor Kondisi

Rata-rata

Faktor

Kondisi

Simpangan

Baku

I 51 W=0,0130 L 2,7023 0,0000091-0,0000166 0,0000128 0,0000013

II 71 W=0,0083 L 2,9231 0,0000077-0,0000160 0,0000118 0,0000014

III 60 W=0,0048 L 3,1773 0,0000072-0,0000149 0,0000110 0,0000011

IV 41 W=0,0225 L 2,4736 0,0000092-0,0000178 0,0000135 0,0000012

(38)

Tabel 4. Faktor kondisi ikan selar kuning jantan selama penelitian

TKG Jumlah Hubungan

Panjang Berat Kisaran Faktor Kondisi

Rata-rata

Faktor

Kondisi

Simpangan

Baku

I 162 W=0,0209 L 2,4788 0,0000069-0,0000165 0,0000117 0,0000018

II 70 W=0,0182 L 2,5589 0,0000083-0,0000143 0,0000113 0,0000017

III 32 W=0,0078 L 2,9596 0,0000085-0,0000129 0,0000107 0,0000013

IV 13 W=0,0037 L 3,3051 0,0000098-0,0000169 0,0000133 0,0000011

277 0,0000069-0,0000169

Nilai faktor kondisi total yang diperoleh tiap waktu sampling berkisar 0,3702-2,1991 yang menunjukkan bahwa kondisi ikan baik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Effendie (1997) yaitu harga K yang berkisar antara 1 – 3 mempunyai keadaan yang baik. Tabel 3 dan 4 memperlihatkan hubungan faktor kondisi rata-rata dengan tingkat kematangan gonad. Ikan jantan mempunyai faktor kondisi relatif rata-rata lebih kecil daripada ikan betina pada tiap TKG yang sama yang menunjukkan bahwa kondisi ikan jantan lebih baik dibandingkan betina. Faktor kondisi menurun seiring dengan meningkatnya kematangan gonad sampai pada TKG III, kemudian faktor kondisi meningkat pada TKG IV.

Fenomena menurunnya faktor kondisi ikan pada saat tingkat kematangan gonad meningkat juga ditemukan pada beberapa spesies lain seperti Siganus rivulatus (Yeldan dan Avsar 2000), Synodontis schall dan Synodontis nigrita

(Laleye 2006), Ompok hypophthalmus (Simanjuntak 2007), Johnius belangerii

(Rahardjo dan Simanjuntak 2008). Penurunan nilai faktor kondisi ini disebabkan bagian terbesar dari makanan yang dikonsumsi digunakan untuk perkembangan sel-sel reproduksi. Proses pembentukan sel reproduksi mencapai puncaknya pada TKG V atau dengan kata lain ukuran gonad yang terbesar sudah dicapai sehingga meningkatkan bobot tubuh secara keseluruhan (Rahardjo dan Simanjuntak 2008).

Berdasarkan perhitungan faktor kondisi yang dilakukan oleh Sharfina (2011) di perairan Rembang diperoleh faktor kondisi sebesar 1,0176. Penelitian Widyastuti et al. (2010) di perairan Kendal berkisar 0,98 – 1,38. Faktor kondisi di Laut Natuna oleh Febrianti et al. (2013) berkisar 0,961-1,045. Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab terjadinya fluktuasi dan variasi nilai faktor kondisi ikan adalah perbedaan ukuran ikan (Enchina dan Lorencio 1997); selama musim pemijahan ikan tidak melakukan aktifitas makan, tetapi menggunakan cadangan lemak dalam tubuhnya untuk suplai energi (Tzikas et al. 2007); dan tekanan parasit (Neff dan Cargnelli 2004).

Sebaran Frekuensi Panjang

(39)

Gambar 6. Grafik frekuensi panjang ikan selar kuning total sampling 1 – 7

Jumlah ikan selar kuning total pada pengambilan contoh pertama tanggal 18 juni 2013 sampai pengambilan contoh ke tujuh tanggal 13 Oktober 2013 masing-masing sebanyak 89, 54, 52, 55, 78, 226 dan 120 ekor yang terdiri dari jantan dan betina. Gambar 6 menunjukan bahwa pada pengambilan contoh pertama dan kedua mengalami penurunan ukuran modus sebesar 1,26 mm, begitu pula pada pengambilan contoh kedua dan ketiga terjadi penurunan sebesar 40,15 mm serta pengambilan contoh kelima dan keenam sebesar 3,24 mm. Pada pengambilan contoh ketiga sampai kelima terjadi peningkatan modus sebesar 51 mm dan juga pada pengambilan contoh keenam sampai ketujuh mengalami peningkatan modus sebesar 3,19 mm yang mengindikasikan adanya laju pertumbuhan karena pada pengambilan contoh tersebut terjadi pergeseran modus dari ikan-ikan yang berada dalam satu kohort.

18 Juni 2013 n = 111 ekor

7 Juli 2013 n = 56 ekor

28 Juli 2013 n = 83 ekor

16 Agustus 2013 n = 86 ekor

5 September 2013 n = 78 ekor

28 September 2013 n = 226 ekor

(40)

(A) (B)

Gambar 7. Grafik sebaran panjang ikan selar kuning betina (A) dan jantan (B)

Ikan selar kuning jantan yang diperoleh dari pengambilan contoh terdiri dari 44, 24, 50, 36, 24, 74, dan 25 ekor. Sedangkan ikan selar kuning betina terdiri dari 45, 30, 2, 19, 29, 62 dan 36 ekor. Berdasar metode Normsep dalam Fisat II, maka didapat kurva normal yang menggambarkan jumlah kohort dari sebaran frekuensi panjang yang ada. Gambar 7 menunjukan pergeseran modus kelompok umur yang sama pada ikan selar kuning betina dan jantan terjadi pada sampling ketiga sampai sampling kelima. Pada sampling ketiga sampai kelima ikan selar kuning mengalami pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sajina et al. (2011) bahwa pergeseran kurva ke kanan menunjukkan adanya pertumbuhan sedangkan pergeseran ke kiri menunjukkan adanya rekruitmen.

(41)

(1992) menemukan ikan dengan ukuran 88-101mm Namun Sudrajat dan Nugraha

in Sumadhiharga dan Hukom (1991) menemukan ikan di perairan Paparan Sunda berukuran 45–170mm. Damayanti (2010) memperoleh panjang maksimum ikan selar kuning yang tertangkap di Teluk Jakarta sebesar 270mm. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sharfina (2011) di perairan Rembang kisaran ukuran 110 – 180mm. Putri (2013) menemukan ikan dengan kisaran panjang 86 – 180mm yang didaratkan di PPP Karangantu Banten. Yuda et al. (2012) menemukan ikan selar kuning dengan sebaran frekuensi panjang total terbanyak tersebar pada kelas ukuran 130–160mm sebanyak 82,64%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Febrianti et al. (2013) diperoleh panjang minimum dan maksimum ikan selar adalah 145mm dan 310mm. Perbedaan ukuran ikan selar kuning yang diperoleh dari beberapa perairan tersebut diduga karena struktur data panjang sangat bervariasi tergantung letaknya baik secara geografis, habitat maupun tingkah laku (Boer 1996). Selain itu, perbedaan ukuran panjang ini dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan seperti perbedaan lokasi pengambilan contoh ikan. Spesies yang sama tetapi hidup di lokasi yang berbeda akan mengalami pertumbuhan yang berbeda karena pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor luar yaitu suhu dan makanan (Effendie 2002).

Pertumbuhan

Berdasarkan analisis NORMSEP, pergeseran modus frekuensi panjang seperti disajikan pada Gambar 8 dan 9.

Gambar 8. Pergeseran modus frekuensi panjang ikan selar kuning betina

(42)

Tabel 5. Sebaran kelompok ukuran ikan selar kuning betina

Pengambilan contoh Kelompok ukuran Nilai tengah SD Indeks separasi

18 Juni 2013 1 147,89 6,610 3,180

Tabel 6. Sebaran kelompok ukuran ikan selar kuning jantan

Pengambilan contoh Kelompok ukuran Nilai tengah SD Indeks separasi

18 Juni 2013 1 122,86 2,500 n.a.

(43)

koefisien pertumbuhan (K), panjang asimtotik (L) dan umur teoritis ikan (t0)

(Tabel 7).

Tabel 7. Parameter pertumbuhan ikan selar kuning di perairan Selat Sunda

Parameter Betina Jantan

L (mm) 180,6 185,85

K (tahun) 0,41 0,68

T0 (tahun) -0,24473 -0,000026

Berdasarkan hasil analisis parameter pertumbuhan (L∞ dan K) dengan menggunakan metode ELEFAN 1 dalam program FISAT II serta perhitungan secara langsung terhadap nilai t0, maka dapat diketahui persamaan Von

Bertalanffy untuk ikan selar kuning betina:

�� = 180,6(1− �−0,41(�+0,24473 )... (53)

persamaan Von Bertalanffy untuk ikan selar kuning jantan:

�� = 185,85(1− �−0,68(�+0,000026 )... (54)

Berdasarkan persamaan (53) dan (54) menunjukkan koefisien pertumbuhan ikan selar kuning jantan lebih besar dibandingkan ikan selar kuning betina. Hal ini dapat disebabkan ikan selar kuning jantan memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dibanding ikan selar kuning betina dalam mendekati nilai L∞. Ikan jantan biasanya mempunyai nilai K yang lebih besar daripada ikan betina. Kurva di bawah ini menunjukan pertumbuhan ikan selar kuning betina dan jantan (Gambar 10).

(A) (B)

Gambar 10. Kurva pertumbuhan ikan selar kuning betina (A) dan jantan (B) di Perairan Selat Sunda

(44)

betina lebih cepat daripada ikan jantan, dan dapat mengindikasikan bahwa perairan Selat Sunda merupakan habitat yang cocok bagi ikan selar kuning betina untuk mencari makan, memijah serta membesarkan anak-anaknya dimana energi yang diperoleh digunakan untuk pertumbuhan.

Beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan di beberapa perairan yang berbeda. Berdasarkan penelitian pertumbuhan ikan selar kuning yang dilakukan oleh Damayanti tahun 2010 di Teluk Jakarta diperoleh nilai K sebesar 0,31 per bulan dan L 283 mm, sedangkan di Perairan Laut Natuna yang dilakukan oleh Febrianti tahun 2013 memperoleh nilai K sebesar 2,2 per bulan dan L 330 mm. Penelitian lain mengenai parameter pertumbuhan ikan selar kuning di Perairan Laut Jawa oleh Dwiponggo et al. (1986) memperoleh nilai K sebesar 1,2 per bulan dengan L 220 mm. Begitupun juga yang dikemukakan oleh Sudrajat (1999), ikan selar kuning yang tertangkap di Perairan Pulau Bintan Riau, mempunyai koefisien pertumbuhan 1,2 per bulan dengan nilai L∞ 180 mm serta penelitian yang dilakukan oleh Kasim dan Hamsa (1994) di Perairan Tuticorin India yang memperoleh koefisien pertumbuhan ikan selar kuning sebesar 1,4283 per bulan dengan L∞ sebesar 213 mm. Penelitian yang dilakukan oleh Boer et al.

(1998) memperoleh hasil koefisien pertumbuhan ikan selar (K) sebesar 0,68 per tahun dan L sebesar 269 mm. Koefisien pertumbuhan ikan di perairan India yang dilakukan oleh Reuben et al. (1992) menghasilkan L∞ 202 mm dan K sebesar 0,8 per tahun. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, koefisien pertumbuhan ikan selar kuning di Perairan Selat Sunda memiliki nilai yang lebih kecil yakni sebesar 0,42 per bulan dibandingkan koefisien pertumbuhan di Perairan Laut Jawa, Perairan Laut Natuna, Perairan Pulau Bintan Riau, Bengkulu, Perairan India dan Perairan Tuticorin India yang menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut pertumbuhan ikan selar kuning lebih cepat mendekati L. Berbeda dengan koefisien pertumbuhan ikan selar kuning di Teluk Jakarta yang lebih kecil dibandingkan dengan Perairan Selat Sunda yakni sebesar 0,31 per bulan. Hal tersebut menunjukkan pertumbuhan ikan selar kuning di Teluk Jakarta akan lebih lambat mencapai nilai L∞

dibandingkan laju pertumbuhan ikan selar kuning di Perairan Selat Sunda. Sesuai dengan pernyataan Sparre dan Venema (1999) bahwa ikan-ikan yang berumur panjang mempunyai nilai K cukup kecil sehingga membutuhkan waktu relatif lama untuk mencapai panjang maksimumnya. Semakin cepat laju pertumbuhannya, maka akan semakin cepat pula ikan tersebut mencapai panjang asimtotiknya (L).

Panjang asimtotik ikan selar kuning yang diperoleh di Perairan Selat Sunda memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan ikan selar kuning yang diperoleh di Perairan Laut Jawa, Teluk Jakarta, Bengkulu, Perairan Laut Natuna, Perairan Tuticorin India yakni sebesar 185,85 mm. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan ikan selar kuning yang diperoleh di Perairan Pulau Bintan Riau, panjang asimtotik ikan selar kuning di Perairan Selat Sunda memiliki nilai yang lebih besar. Perbedaan nilai yang diperoleh disebabkan faktor internal yatu faktor genetik, parasit dan penyakit sedangkan faktor eksternal yaitu kualitas perairan dan ketersediaan makanan (Effendie 1997). Menurut Moyle dan Cech (2004) in

(45)

tidak akan bertambah panjang lagi. Pertumbuhan cepat bagi ikan yang berumur muda terjadi karena energi yang didapatkan dari makanan sebagian besar digunakan untuk pertumbuhan. Pada ikan tua energi yang didapatkan dari makanan tidak lagi digunakan untuk pertumbuhannya, tetapi hanya digunakan untuk mempertahankan dirinya dan mengganti sel-sel yang rusak (Jalil et al.

2001).

Terjadinya perbedaan kecepatan pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh ketersediaan makanan di lingkungan hidup ikan, karena kecepatan pertumbuhan terseut akan berbeda pada tahun yang berbeda juga, terutama pada ikan yang masih muda ketika kecepatan tersebut relatif lebih cepat dibandingkan dengan ikan yang sudah besar. Cepatnya pertumbuhan dan pendeknya umur ikan mengindikasikan laju kematian yang cukup tinggi. Hal tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya ikan.

Ukuran Pertama Kali Matang Gonad

Hasil penelitian mengenai ukuran pertama kali matang gonad ikan selar kuning di Perairan Selat Sunda dengan menggunakan metode Spearman-Karber untuk ikan selar kuning betina berkisar 131,3933–134,6406 mm dan ikan selar kuning jantan berkisar 156,1046–159,7549 mm yang menunjukkan ikan selar kuning betina lebih cepat matang gonad dibandingkan dengan ikan selar kuning jantan. Selama penelitian ikan betina lebih banyak ditemukan telah mencapai ukuran pertama kali matang gonad dibandingkan ikan jantan (Tabel 8).

Tabel 8. Jumlah ikan selar kuning yang telah mencapai ukuran pertama kali matang gonad selama penelitian

Waktu

Adanya perbedaan kecepatan tumbuh serta adanya perbedaan kondisi perairan menyebabkan ikan-ikan muda yang berasal dari telur yang menetas pada waktu yang bersamaan akan mencapai tingkat kematangan gonad pada ukuran yang berlainan. Dengan demikian, dapat diduga bahwa ikan selar kuning betina di Perairan Selat Sunda lebih cepat mengalami matang gonad dibandingkan ikan selar kuning jantan untuk mempertahankan kelestariannya dalam suatu populasi. Perbedaan ukuran pertama kali matang gonad pada setiap jenis ikan disebabkan oleh adanya perbedaan jumlah contoh yang diambil, panjang maksimum dan minimum serta frekuensi ikan yang matang gonad (Sivakami et al. 2001).

(46)

gonad ikan selar betina sebesar 161 mm dengan kisaran 153 – 169 mm dan untuk ikan selar kuning jantan sebesar 191 mm dengan kisaran 183 – 200 mm. Selain itu, Widodo dan Suarso (1993) melakukan penelitian di perairan Laut Jawa dengan sampel berasal dari perairan lepas pantai Laut Jawa memperoleh ukuran pertama kali matang gonad untuk ikan betina sepanjang 180 mm dan ikan jantan 200 mm. Penelitian Krissunari (1994) serta Widodo dan Suarso (1993) menunjukan ikan betina mulai matang gonad pada ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan ikan jantan. Ikan selar kuning yang terdapat di perairan Selat Sunda tahun 2013 memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan yang tertangkap di perarian utara Rembang tahun 1992 dan perairan lepas pantai Laut Jawa tahun 1993. Perbedaan ukuran juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, kelimpahan dan ketersediaan makanan, suhu, cahaya pada tiap perairan yang berbeda-beda (Nikolsky 1963).

Nisbah Kelamin

Jenis kelamin betina dan jantan ditentukan secara morfologi dengan mengamati bentuk dan warna gonad ikan tersebut. Proporsi kelamin ikan selar kuning betina dan jantan selama pengamatan (Tabel 9).

Tabel 9. Proporsi kelamin ikan selar kuning betina dan jantan

Sampling ∑ ikan

Hasil pengamatan rasio kelamin ikan selar kuning yaitu (gambar 11 dan 12):

(47)

Gambar 12. Rasio total ikan selar kuning selama penelitian

Rasio ikan contoh pada PPP Labuan Banten selama bulan Juni sampai Oktober 2013 (500 ekor) yang terdiri dari 223 ekor ikan selar kuning betina (45%) dan 277 ekor ikan selar kuning jantan (55%) (gambar 11). Berdasarkan Gambar 11 dan Tabel 10 diketahui rasio ikan selar kuning betina dan jantan pada setiap sampling berbeda-beda. Pada pengambilan ikan contoh pertama, kedua, kelima dan ketujuh proporsi jenis kelamin betina lebih mendominasi daripada jantan. Sedangkan pada pengambilan ikan contoh ketiga, keempat dan keenam proporsi jenis kelamin jantan lebih mendominasi daripada betina. Melalui uji chi-square

diperoleh hasil bahwa proporsi betina dan jantan pada pengambilan ikan contoh tersebut tidak seimbang atau tidak pada perbandingan 1:1 karena Xhitung > Xtabel.

Kecuali pada pengambilan contoh kedua diperoleh hasil uji chi-square seimbang antara proporsi betina dan jantan sebesar 1:1 karena Xhitung < Xtabel.

Proporsi kelamin secara keseluruhan ikan selar kuning betina lebih kecil dibandingkan ikan jantan dengan perbandingan 1:1,242 (Gambar 12). Setelah dilakukan uji chi-square diperoleh hasil proporsi ikan selar kuning betina dan jantan di perairan Selat Sunda dalam keadaan tidak seimbang, kecuali pada pengambilan contoh kedua tanggal 7 Juli 2013 dimana proporsi dalam keadaan yang seimbang. Namun secara keseluruhan berada dalam keadaan tidak seimbang. Keadaan tidak seimbangnya rasio kelamin ini dapat diduga karena ikan selar kuning jantan dan betina yang tidak berada dalam satu area pemijahan, sehingga peluang tertangkapnya berbeda.melihat rasio kelamin pada pengambilan sampel bulan Juni-Juli terlihat perbandingan mendekati 1:1 yang diduga musim pemijahan terjadi pada selang waktu ini atau sebelumnya. Keseimbangan rasio kelamin dapat berubah menjelang pemijahan. Pada waktu melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina berada dalam kondisi seimbang, lalu didominasi ikan betina. Secara keseluruhan dapat disebutkan bahwa populasi ikan selar kuning bukan dalam musim pemijahan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sumadiharga dan Hukom tahun 1991 di perairan Maluku diperoleh hasil ikan betina lebih tinggi hanya pada bulan Februari sedangkan pada bulan lainnya didominasi oleh ikan jantan. Perbandingan betina dan jantan adalah 57,3% : 42,7%. Menurut Thanh (2011) umumnya perbedaan jumlah ikan betina dan jantan yang tertangkap oleh nelayan berkaitan dengan pola tingkah laku ruaya ikan, baik untuk memijah maupun mencari makan. Hal ini diduga karena terkait dengan proses alamiah dari strategi reproduksi ikan, yaitu jumlah ikan jantan lebih banyak dibutuhkan untuk memenuhi kuantitas sperma dalam menunjang keberhasilan reproduksi, meskipun belum diketahui secara pasti komposisi jantan dan betina dalam pemijahan. Hal itu berhubungan dengan fertilisasi eksternal ikan yang memiliki faktor penghambat fertilisasi yang sangat besar, seperti faktor

45 %

(48)

lingkungan dan predator, maka kuantitas sperma yang dibutuhkan untuk membuahi sel telur harus berada dalam jumlah besar.

Tingkat Kematangan Gonad

Tingkat kematangan gonad ikan menunjukkan perkembangan gonad ikan selar kuning betina dan jantan selama penelitian di perairan Selat Sunda (Gambar 13).

(A) (B)

Gambar 13. Tingkat kematangan gonad ikan selar kuning betina (A) dan jantan (B) pada tiap waktu pengambilan sampel

Sebagian besar ikan yang diperoleh selama penelitian dalam keadaan belum matang gonad karena berada pada TKG I dan II (Gambar 13). Ikan yang telah matang gonad yakni berada pada TKG IV untuk ikan selar kuning betina banyak ditemukan pada bulan Juni dan Juli 2013, sedangkan ikan selar kuning jantan matang gonad ditemukan pada bulan Juli 2013.

(A)

(B)

Gambar 14. Tingkat kematangan gonad ikan selar kuning betina (A) dan jantan (B) tiap selang kelas

Gambar

Gambar 5. Grafik hubungan panjang dan bobot ikan selar kuning
Gambar 6. Grafik frekuensi panjang ikan selar kuning total sampling 1 – 7
Gambar 7. Grafik sebaran panjang ikan selar kuning betina (A) dan jantan (B)
Tabel 5. Sebaran kelompok ukuran ikan selar kuning betina
+7

Referensi

Dokumen terkait

Markam, Roekmono, 1981, Masalah Pengupahan di dalam Hubungan Perburuhan, Edisi pertama, Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Murlis,

Jadi, hasil temuan penelitian ini antara hasil observasi yang peneliti lakukan dengan teori yang ada sudah sesuai yaitu di TPQ Nurul Iman Garum dalam

Selain itu dapat dilihat dengan adanya kelompok tani yang berkembang dan CV yang bergerak dalam berternak kambing peranakan etawa.Bentuk pengusahaan ternak kambing di

Dari hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa aplikasi ini layak untuk digunakan dalam membantu pembelajaran berhitung di mata pelajaran Matematika khususnya di

Saran yang penulis dapat berikan untuk Pengembangan Media Pembelajaran Mata Pelajaran Matematika Bab Bangun Datar Segi Empat dan Segi Tiga Bagi Kelas 7 Berbasis Web yang

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui perhitungan harga pokok produksi Roti Donat dan Roti Belah Meses yang tepat dan mengetahui besarnya harga jual yang

2) Seksi Pengelolaan Sarana Transportasi. Bidang Angkutan, terdiri dari :.. 1) Seksi Angkutan Orang

Blok V : Keterangan Anggota Rumah Tangga yang Berumur 10 Tahun ke Atas Tujuan dari blok ini adalah untuk mendapatkan keterangan mengenai keadaan ketenagakerjaan yang meliputi