STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN SWANGGI
(
Priacanthus tayenus
, Richardson 1846) DI PERAIRAN
LAMONGAN, JAWA TIMUR
MINDIA MARDININGTYAS
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Parameter Status Stok Sumberdaya Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus, Richardson 1846) di Perairan Lamongan, Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
ABSTRAK
MINDIA MARDININGTYAS. Status Stok Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus, Richardson 1864) di Lamongan, Jawa Timur. Dibimbing oleh YONVITNER dan ACHMAD FAHRUDIN.
Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) merupakan ikan demersal yang memiliki nilai ekonomis penting. Tujuan penelitian ini adalah menentukan status stok ikan swanggi dan pengelolaan yang lestari dan berekelanjutan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari hingga April 2015. Analisis data terdiri atas: sebaran frekuensi panjang, rasio kelamin, hubungan panjang bobot, tingkat kematangan gonad, ukuran pertama kali matang gonad, identifikasi kelompok umur, pendugaan parameter pertumbuhan, mortalitas dan laju eksploitasi, model produksi surplus, dan indeks musim penangkapan ikan. Hasil penelitian menunjukkan ikan swanggi memiliki pola pertumbuhan alometrik negatif. Laju eksploitasi telah melebihi laju eksploitasi optimum sehingga ikan swanggi di Laut Utara Jawa diduga telah mengalami tangkap lebih. Kajian stok ikan swanggi di Laut Utara Jawa diperoleh upaya optimum 9 759 unit per tahun dan hasil tangkapan maksimum lestari 11 110 ton per tahun. Puncak musim penangkapan terjadi pada bulan Mei.
Kata kunci: ikan swanggi, kajian stok, pertumbuhan, PPN Brondong
ABSTRACT
MINDIA MARDININGTYAS. Fish Stock Status of Purple spotted bigeye (Priacanthus tayenus, Richardson 1864) in Lamongan, East Java. Guided by YONVITNER and ACHMAD FAHRUDIN.
Purple spotted bigeye (Priacanhtus tayenus) is a demersal fish it have important economic value. The purpose of this research is to determine the status of Purple spotted bigeye (Priacanthus tayenus) stocks and its sustainable management. This research was carried out from January to April 2015. Data analysis consisted of: length frequency distribution, sex ratio, length weight relationship, gonad maturity level, the size of the first ripe gonads, age group identification, parameter estimation of growth, mortality and the rate of exploitation, surplus production models, and index fishing season. The results showed that purple spotted bigeye has negative alometric growth. The exploitation rate has exceeded the optimum exploitation rate in the East Java Sea alleged to have been overexploited. Purple spotted bigeye stock assessment in the East Java Sea with optimum efforts amount 9 759 units per year and MSY 11 110 tonnes per year. The peak fishing season of purple spotted bigeye occurs on Mei.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN SWANGGI
(
Priacanthus tayenus
, Richardson 1846) DI PERAIRAN
LAMONGAN, JAWA TIMUR
MINDIA MARDININGTYAS
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Status Stok Sumberdaya Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus) di Lamongan, Jawa Timur. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh studi di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.
2. Beasiswa BBM yang telah memberikan bantuan dana selama perkuliahan. 3. Dr Yonvitner, SPi MSi yang telah memberikan bantuan dana penelitian 4. Dr Ir Majariana Krisanti, MSi selaku pembimbing akademik.
5. Dr Yonvitner, SPi MSi dan Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penulisan karya ilmiah ini.
6. Zulhamsyah Imran, SPi MSi PhD selaku Komisi Pendidikan Program S1 dan Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan arahan dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Staf Tata Usaha Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (Mas Alya dan Mba Widar)
8. Mama, Papa, Fio Alfiandi, kakek dan seluruh keluarga yang telah memberikan doa, kasih sayang dan dukungannya selama ini.
9. Pak Dedy, Pak Suyitno, Bu Ririn, Pak Harijanto, Mas Fani, Mas Gilang, Mas Jefry, serta staf KKP PPN Brondong dan staf Syah Bandar PPN Brondong
10.Sahabat Penulis (Nesia, Santi, Ira, Ika, Salis, Irma, Oky, dan Angga), serta teman-teman MSP 48 atas doa, semangat, dukungan, motivasi, doa dan bantuannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 2
METODE 2
Lokasi dan Waktu Penelitian 2
Pengumpulan Data 3
Analisis Data 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Hasil 12
Pembahasan 23
KESIMPULAN DAN SARAN 27
Kesimpulan 27
Saran 27
DAFTAR PUSTAKA 27
LAMPIRAN 30
RIWAYAT HIDUP 36
DAFTAR TABEL
1 Klasifikasi tingkat kematangan gonad (TKG) 4
2 Pengumpulan data PPN Brondong 4
3 Rasio kelamin ikan swanggi pada setiap pengambilan contoh 13 4 Rasio kelamin ikan swanggi matang gonad setiap pengambilan contoh 13 5 Sebaran kelompok umur ikan swanggi jantan dan betina 17 6 Parameter pertumbuhan ikan swanggi berdasarkan model von
Bertalanffy 20
7 Mortalitas dan laju eksploitasi ikan swanggi 21
8 Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (trip) 21 9 Parameter pertumbuhan ikan swanggi dari berbagai penelitian 25
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran penelitian 2
2 Peta lokasi penelitian 3
3 Penentuan panjang total (A-B) ikan swanggi (Priacanthus tayenus) 12 4 Komposisi tangkapan per jenis ikan di PPN Brondong 13
5 Tingkat kematangan gonad ikan swanggi jantan 14
6 Tingkat kematangan gonad ikan swanggi betina 14
7 Faktor kondisi ikan swanggi 15
8 Hubungan panjang bobot ikan swanggi betina (A) dan jantan (B) 16
9 Sebaran frekuensi panjang total ikan swanggi 17
10 Pergeseran modus frekuensi ikan swanggi betina 18 11 Pergeseran modus frekuensi ikan swanggi jantan 19 12 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan swanggi jantan 20 13 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan swanggi betina 20
14 Model produksi surplus (Fox) 22
15 Indeks musim penangkapan ikan swanggi 22
DAFTAR LAMPIRAN
1 Tingkat kematangan gonad ikan swanggi 30
2 Ukuran pertama kali matang gonad 30
3 Faktor kondisi ikan swanggi 32
4 Hubungan panjang dan bobot ikan swanggi (Priacanthus tayenus) 32
5 Sebaran frekuensi ikan swanggi 32
6 Pendugaan pertumbuhan ikan swanggi 33
7 Pendugaan mortalitas ikan swanggi 33
8 Model produksi surplus 35
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumberdaya ikan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong sangatlah melimpah, karena merupakan PPN terbesar di Jawa Timur. Hasil tangkapan nelayan selama satu tahun dapat mencapai rata-rata 78 876 ton dengan nilai sebesar Rp 990 milyar (lamongankab.go.id 2009). Hasil tangkapan ikan yang terdapat di PPN ini sangatlah beraneka ragam diantaranya adalah ikan kembung, alu-alu, kakap merah, layur, kurisi, dan swanggi.
Salah satu sumberdaya ikan ekonomis penting yang terdapat di Laut Jawa adalah ikan swanggi (Priacanthus tayenus). Ikan swanggi menjadi ikan ekonomis penting karena harganya yang murah serta mudah untuk didapatkan (Peristiwady 2006). Data statistik KKP Tahun 2013 menunjukkan jumlah produksi penangkapan ikan swanggi terus meningkat dikarenakan banyaknya permintaan dari masyarakat akan ikan ini. Ikan swanggi banyak ditangkap di perairan Masalembu dan Bawean, yang memiliki daya tampung yang sangat tinggi terhadap struktur biodiversitas habitat, seperti mangrove, terumbu karang, dan daerah upwelling yang menjadi penopang sumberdaya ikan dengan nilai ekonomis tinggi. PPN Brondong merupakan basis utama perikanan laut di wilayah utara Jawa Timur karena daerah tangkapnya menjangkau perairan laut lepas pantai yang sangat potensial (Aswanah et al. 2013). Alat tangkap yang banyak digunakan untuk menangkap ikan swanggi adalah dogol dan cara collecting (bisnisukm.com 2015)
Sumberdaya ikan swanggi diambil secara terus menerus tanpa ada upaya pengelolaan yang berkelanjutan akan mempengaruhi keberadaan dan kondisi stok ikan tersebut di perairan Laut Jawa. Stok merupakan Stok menggambarkan kelimpahan suatu ikan yang terdapat di perairan tertentu. Hal inilah yang menjadi dasar perlunya pengkajian stok terhadap ikan swanggi di Perairan Laut Jawa yang didaratkan di PPN Brondong agar diperoleh informasi mengenai kondisi stok yang berguna untuk menunjang pengelolaan sumberdaya ikan swanggi demi mewujudkan pemanfaatan sumberdaya ikan swanggi yang lebih tepat dan berkelanjutan.
Perumusan Masalah
Ikan swanggi merupakan ikan demersal yang memiliki nilai ekonomis penting dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Kegiatan penangkapan ikan swanggi di Laut Jawa dilakukan secara terus-menerus dan dalam jumlah yang banyak. Penurunan kelimpahan jenis ikan ini juga disebabkan oleh faktor ekologi, sosial, ekonomi, dan teknologi penangkapan akibat dari pengelolaan sumberdaya perikanan yang diterapkan.
acuan dalam upaya perencanaan pengelolaan yang baik untuk menjaga keberlangsungan stok ikan swanggi di perairan ini. Skema diagram alir dalam penyelesaian masalah penelitian disajikan pada gambar 1.
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji parameter dinamika populasi ikan swanggi (Priacanthus tayenus)) berdasarkan data tangkapan yang didaratkan di PPN Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur.
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan contoh ikan swanggi dilakukan di PPN Brondong terletak di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Lamongan, Kecamatan Brondong, Kelurahan Brondong. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Pengamatan dilakukan setiap kali pengambilan contoh, yaitu selama satu minggu, dimulai pada Bulan Januari 2015 hingga April 2015 dengan interval
Kurangnya informasi penangkapan ikan
swanggi Penangkapan terus-menerus
Stok populasi ikan swanggi
Pengkajian stok ikan Upaya yang
makin tinggi
Tingginya tingkat konsumsi masyarakat
Tingkat pemanfaatan Belum ada upaya
pengelolaannya
3 waktu pengambilan contoh lebih kurang 30 hari. Gambar 2 menunjukkan lokasi penelitian dan daerah penangkapan dari ikan yang didaratkan.
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer ikan swanggi diperoleh dari metode penarikan contoh acak berlapis (PCAB), yaitu ikan swanggi diambil secara acak pada keranjang ikan yang telah dipisahkan ukurannya, yaitu kecil, sedang dan besar. Ikan yang akan diamati hanya ikan yang didaratkan di PPN Brondong. Ikan contoh yang diambil berjumlah >100 ekor tergantung kelimpahan ikan pada setiap waktu pengambilan dengan selang waktu pengambilan contoh 1 bulan. Ikan contoh yang telah diambil kemudian diukur panjang total dan ditimbang bobot basahnya di lokasi pelelangan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi penyusutan atau penambahan bobot ikan akibat diawetkan didalam cool box. Pengukuran panjang total ikan dimulai dari mulut terdepan ikan hingga ujung ekor terakhir dengan menggunakan penggaris yang memiliki tingkat ketelitian 1 mm.
Penimbangan bobot basah total tubuh ikan meliputi bobot tubuh serta air yang terkandung didalamnya dengan menggunakan timbangan yang memiliki ketelitian 10 gram. Ikan-ikan yang telah diukur panjang total dan ditimbang bobot basahnya kemudian dibawa ke laboratorium yang terdapat di KKP PPN Brondong untuk dibedah kemudian dianalisis jenis kelamin dan Tingkat Kematangan Gonad. Jenis kelamin ikan swanggi dapat diketahui dengan penentuan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) yang dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap ciri-ciri morfologi kematangan gonad berdasarkan Cassie (Tabel 1).
Tabel 1 Klasifikasi tingkat kematangan gonad (TKG)
TKG Betina Jantan
I
Ovari seperti benang, berwarna putih gelap dan butiran telur belum dapat dibedakan. Panjang gonad bervariasi antara 1/3-1/2 dari panjang rongga tubuh.
Testes seperti benang dan berwarna putih susu
II
Ukuran lebih besar, telur masih menyatu belum dapat dibedakan, berwarna lebih gelap (abu-abu), panjang gonad bervariasi antara 1/2-1/3 dari panjang rongga tubuh
Ukuran testes lebih besar, warna putih susu, dan bentuk lebih jelas dari TKG I
III
Pada bagian anterior melebar dan posterior meruncing, telur dapat terlihat, masih terdapat butiran minyak telur berwarna putih kekuningan. Panjang gonad bervariasi antara 1/3-2/3 dari panjang rongga tubuh.
Permukaan testes tampak bergerigi, warna makin putih, dan permukaan gonad tidak merata (berlekuk-lekuk)
IV
Diameter telur semakin membesar , telur berwarna kuning, sangat jelas terlihat butiran telurnya, butiran minyak hilang, bagian anterior lebih lebar dan posterior meruncing, panjang gonad bervariasi antara 2/3-3/4 dari panjang rongga tubuh
Ukuran testis paling besar yang mengisi sebagian besar rongga perut, pejal, bentuk gerigi semakin besar dan berwarna putih susu.
V
Ovarium berkerut, bagian telur sisa mengumpul di bagian posterior, ovarium berwarna kemerah-merahan.
Permukaan testesberkerut, isi mengempis dan kurang pejal dari sebelumya
Pengumpulan data sekunder dilakukan sejalan dengan berjalannya selama kegiatan penelitian. Data yang diperoleh berupa data produksi hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan swanggi yang didaratkan di PPN Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Informasi lainnya dilakukan dengan cara wawancara terhadap nelayan yang kesehariannya menangkap ikan swanggi di perairan Utara Jawa. Data yang diambil disajikan pada tabel 2.
Tabel 2 Pengumpulan data PPN Brondong
No Data Satuan Pengumpul Lokasi
1 Panjang mm Pengaruh panjang terhadap panjang
total (PT) In-situ
2 Bobot gram Perhitungan bobot total basah In-situ
3 TKG - Identifikasi bentuk dari gonad In-situ
4 Jenis
Kelamin Jantan/Betina
Identifikasi dari klasifikasi Tingkat
Kematangan Gonad (TKG) In-situ
5 Hasil
Tangkapan ton Data sekunder (KKP PPN Brondong) In-situ
6 Upaya
5 Analisis Data
Rasio kelamin
Rasio kelamin merupakan perbandingan jumlah frekuensi ikan jantan dan betina dalam suatu populasi. Rasio jantan betina ini dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie 2002).
(1) p adalah rasio kelamin (jantan atau betina), A adalah jumlah jenis ikan tertentu jantan atau betina (ekor), dan B adalah jumalah total individu ikan yang ada (ekor). Hubungan antara jantan dan betina dalam suatu populasi dapat diketahui dengan menggunakan uji Chi-square (χ2):
∑ (2)
χ2 adalah nilai peubah acak yang sebaran penarikan contohnya mengikuti sebaran khi kuadrat (Chi-square), oi adalah frekuensi ikan jantan dan betina yang teramati, dan ei adalah frekuensi harapan dari ikan jantan dan betina.
Ukuran pertama kali matang gonad
Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata ikan swanggi yang pertama kali matang gonad adalah metode Spearman-Karber (Udupa 1986):
∑ (3)
√ ∑ (4)
m adalah log panjang ikan pada kematangan gonad pertama, adalah log nilai tengah kelas panjang yang terakhir ikan telah matang gonad, x adalah log pertambahan panjang pada nilai tengah, pi adalah proporsi ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i, ni adalah jumlah ikan pada kelas panjang ke-i, qi adalah 1 – pi, dan M adalah panjang ikan pertama kali matang gonad.
Faktor kondisi
Faktor kondisi adalah keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan pada data dan berat. Pengamatan kondisi ikan dapat dilihat dari tiga model pengamatan yaitu:
Kt = kondisi yang diamati berdasarkan panjang total
Ks = kondisi yang diamati berdasarkan data panjang standar (baku) Kf = kondisi yang diamati berdasarkan data panjang cagak
Jika pertumbuhan yang ditemukan isometrik (b=3) atau setelah dilakukan uji t didapat bahwa hipotesis nol adalah 3, maka model yang dipakai adalah (Bal dan Rao, 1984):
Sedangkan jika pola pertumbuhan yang ditemukan allometrik setelah dilakukan uji t, maka model yang dipakai adalah:
̂ (6)
Hubungan panjang bobot
Analisis hubungan panjang-bobot ikan swanggi dihitung menggunakan rumus yang umum sebagai berikut (Effendie 2002).
W= ɑ Lb (7)
W adalah bobot (gram), L adalah panjang (mm), ɑ adalah konstanta dan b adalah penduga pola hubungan panjang-bobot. Rumus umum tersebut bila ditransformasikan ke dalam logaritme, akan diperoleh persamaan:
(8)
Interpretasi dari hubungan panjang dan bobot dapat dilihat dari nilai konstanta b, yaitu dengan hipotesis:
1. H0 : b = 3, dikatakan hubungan isometrik (pola pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan bobot)
2. H1 : b ≠ 3, dikatakan memiliki hubungan allometrik
Pola pertumbuhan allometrik ada dua macam, yaitu allometrik positif (b>3) yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan panjang dan allometrik negatif (b<3) yang berarti bahwa pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan bobotnya. Selanjutnya untuk menguji hipotesis tersebut digunakan statistik uji sebagai berikut:
t hitung = |
| (9) Sb1 adalah simpangan baku dugaan b1 atau b yang dihitung dengan:
∑
(∑ )
(10)
Selanjutnya nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabel pada selang kepercayaan 95%. Pengambilan keputusannya adalah jika thitung > ttabel maka tolak hipotesis nol (H0) dan jika thitung < ttabel berarti terima hipotesis nol (Walpole 1995). Sebaran frekuensi panjang dan identifikasi kelompok umur
7 menganalisis frekuensi panjang melalui metode NORMSEP (Normal Separation) (FISAT II, FAO-ICLARM Stock Assesment Tool). Sebaran frekuensi panjang dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok umur yang menyebar dengan nilai rata-rata panjang dan simpangan baku pada masing-masing kelompok umur (Oktaviyani 2013). Menurut Boer (1996), jika fi adalah frekuensi ikan dalam kelas panjang ke-i (i = 1, 2, ..., N), μj adalah rata-rata panjang kelompok umur ke-j dan pj adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j (j= 1, 2, ..., G), maka fungsi objektif yang digunakan untuk menduga {μj, σj, pj} adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum likelihood function):
∑ ∑ (11)
√
(12)
yang merupakan fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah μj dan simpangan baku σj, xi adalah titik tengah kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap μj, σj dan pj, sehingga diperoleh dugaan μj, σj, dan pj yang akan digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan.
Parameter pertumbuhan
Pertumbuhan dapat diduga dengan menggunakan model pertumbuhan von Bertalanffy (Sparre dan Venema 1999).
Lt= L∞ (1-e[-K(t-t0)]) (13) Pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (�) dan L∞ dilakukan dengan menggunakan metode Ford Wallford yang diturunkan dari model von Bertalanffy untuk t sama dengan t+1, sehingga persamaannya menjadi:
Lt+1 = L∞ [1- e-K] + Lt e-K (14) Berdasarkan persamaan di atas dapat diduga dengan persamaan regresi linier y = b0 + b1x, jika Lt sebagai absis (x) diplotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat (y) sehingga terbentuk kemiringan (slope) sama dengan e-K dan titik potong dengan absis sama dengan L∞[1 – e-K]. Dengan demikian, nilai K dan L∞ diperoleh dengan cara:
(15)
(16)
Pendugaan terhadap nilai t0 (umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol) diperoleh melalui persamaan Pauly (1984) in Sparre dan Venema (1999):
Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (mm), adalah panjang asimtotik ikan (mm), K adalah koefisien laju pertumbuhan (mm/satuan waktu), t adalah umur ikan, dan t0 adalah umur ikan pada saat panjang ikan 0.
Mortalitas dan laju eksploitasi
Menurut Sparre dan Venema (1999) parameter mortalitas meliputi mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F), dan mortalitas total (Z). Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data panjang sedemikian sehingga diperoleh hubungan:
(18)
Persamaan (16) diduga melalui persamaan regresi linear sederhana y = b0+b1x, dengan
sebagai ordinat,
sebagai absis, dan Z = -b1. Persamaan di atas adalah bentuk persamaan linier dengan kemiringan (b) = -Z. Laju mortalitas alami (M) dapat diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut.
(19)
(20) L∞ adalah panjang asimtotik (mm), K adalah koefisien pertumbuhan dari persamaan pertumbuhan von Bertalanffy, dan T adalah rata-rata suhu permukaan air (⁰ C). Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan:
(21)
Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) dengan mortalitas total (Z) Pauly (1984):
(22)
Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut Gulland (1971):
(23) Model produksi surplus
9 Venema 1999). Tingkat upaya penangkapan optimun ( �) dan tangkapan maksimum lestari (MSY) dapat diduga melalui persamaan:
(24)
(25)
masing-masing untuk model Schaefer dan model Fox, sehingga diperoleh dugaan FMSY untuk Schaefer dan Fox adalah:
(26)
(27)
MSY masing-masing untuk Schaefer dan Fox:
� (28)
� (29)
Keterangan :
a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen
ct : Jumlah tangkapan ft : Upaya tangkap
Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi dan determinasi yang paling tinggi. Potensi lestari (PL) dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC) dan tingkat pemanfaatan Sumberdaya ikan dapat ditentukan dengan analisis produksi surplus dan berdasarkan prinsip kehati-hatian (FAO 1995 dalam Oktaviyani 2013), sehingga:
� (30)
(31)
Indeks musim penangkapan
Pola musim penangkapan dapat dihitung dengan menggunakan analisis deret waktu terhadap data hasil tangkapan. Langkah-langkah telah disusun sebagai berikut (Dajan 1986):
1. Menyusun deret CPUE dalam periode kurun waktu 5 tahun:
CPUEi = ni (32)
ni = CPUE urutan ke-i i = 1, 2, 3, ...., 60
2. Menyusun rata-rata bergerak (moving average) CPUE selama 12 bulan (RG):
RGi = ∑ ) (33)
Keterangan:
RGi = rata-rata bergerak 12 bulan ke-i CPUEi = CPUE urutan ke-i
i = 7, 8, ..., n-5
3. Menyusun rata-rata bergerak CPUE terpusat (RGP):
RGPi = ∑ (34)
Keterangan:
RGPi = rata-rata bergerak CPUE terpusat ke-i RGi = CPUE urutan ke-i
i = 7, 8, ..., n-5
4. Rasio rata-rata tiap bulan (Rb): Rbi =
(35)
Keterangan:
Rbi = rasio rata-rata bulan urutan ke-i CPUEi = CPUE urutan ke-i
RGPi = rata-rata bergerak CPUE terpusat urutan ke-i i = 7, 8, ..., n-5
5. Menyusun nilai rata-rata dalam suatu matrik berukuran i x j yang disusun untuk setiap bulan, yang dimulai dari bulan Januari – April 2015. Selanjutnya menghitung nilai total rasio rata-rata tiap bulan, kemudian menghitung total rasio secara keseluruhan dan pola musim penangkapan.
(i) Rasio rata-rata untuk bulan ke-i (RBBi):
RBBi = ∑ ) (36)
Keterangan:
RBBi = rata-rata dari Rbij untuk bulan ke-i
Rbij = rasio rata-rata bulanan dalam matriks ukuran i x j i = 1, 2, ..., 12
j = 1, 2, 3, ..., n
11
JRBB = ∑ (37)
Keterangan:
JRBB = jumlah rasio rata-rata bulanan RBB = rata-rata RBij untuk bulan ke-i i = 1, 2, 3, ..., 12
(iii) Indeks Musim Penangkapan (IMP)
Idealnya jumlah rasio rata-rata bulanan (JRBB) sama dengan 1200. Namun banyak faktor yang menyebabkan JRBB tidak selalu sama dengan 1200, oleh karena itu nilai rasio rata-rata bulanan harus dikoreksi dengan suatu nilai koreksi yang disebut dengan Faktor Koreksi (FK). Rumus untuk memperoleh FK, yaitu:
FK =
(38)
Keterangan:
FK = nilai faktor koreksi
JRBB = jumlah rasio rata-rata bulanan
Indeks Musim Penangkapan (IMP) dihitung dengan menggunakan rumus:
IMPi = RBBi x FK (39)
Keterangan:
IMPI = indeks musim penangkapan bulan ke-i RBB = rasio rata-rata untuk bulan ke-i
FK = nilai faktor koreksi i = 1, 2, 3, ..., 12
Asumsi yang digunakan dalam perhitungan pola musim penangkapan adalah:
1. Jenis ikan swanggi yang didaratkan di PPN Brondong merupakan hasil tangkapan yang berasal dari perairan Lamongan
2. Unit penangkapan yang menangkap ikan swanggi di wilayah perairan utara Jawa berasal dari Kabupaten Lamongan
3. Alat tangkap yang beroperasi memiliki daerah penangkapan yang sama 4. Ikan swanggi yang tertangkap mempunyai kesempatan yang sama untuk
tertangkap. Pengelolaan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Klasifikasi ikan swanggi (Priacanthus tayenus)
Menurut Richardson (1846) in www.fishbase.org (2009), taksonomi ikan swanggi (Gambar 3) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces
Subkelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Subordo : Percoidei Famili : Priacanthidae Genus : Priacanthus
Spesies : P. tayenus Richardson 1846 Nama FAO : Purple-spotted bigeye
Nama Lokal : Ikan raja gantang (Banten). swangi/semerah padi (PPN Pemangkat), swanggi (Pelabuhan Perikanan Banjarmasin), swangi (PPP Tegalsari), mata bulan (PPN Ambon), camaul (PPN Palabuhanratu), belong (PPN Pekalongan), capa (PPN Sibolga), swanggi (PPS Jakarta), golok sabrang (PPN Brondong), swanggi (PPN Prigi)
Gambar 3 Penentuan panjang total (A-B) ikan swanggi (Priacanthus tayenus) Ikan swanggi memiliki badan tinggi, memanjang, dan tipis secara lateral. Profil anterior sedikit asimetrik, ujung rahang bawah biasanya sedikit di atas tingkat garis tengah yang menonjol tubuh. Gigi kecil terdapat pada dentaries, vomer, palatines, dan premaxillaries. Spesies memiliki panjang maksimum 290 mm (FAO 1999).
Komposisi hasil tangkapan
Hasil tangkapan yang didaratkan di PPN Brondong terdapat berbagai macam jenis ikan. Ikan-ikan tersebut di antaranya adalah ikan kurisi, kuniran, swanggi, kakap, ayam-ayam, dan lain-lain. Ikan swanggi merupakan salah satu ikan dominan yang paling banyak didaratkan di pelabuhan perikanan tersebut.
13 Persentasi ikan swanggi dari keseluruhannya mencapai 15%. Ikan swanggi paling banyak ditangkap dengan menggunakan alat tangkapan dogol.
Gambar 4 Komposisi tangkapan per jenis ikan di PPN Brondong Rasio kelamin
Rasio kelamin merupakan perbandingan antara ikan jantan dan betina dalam populasi ikan. Dalam statistika, konsep rasio adalah proporsi populasi tertentu terhadap total populasi (Walpole 1993). Rasio kelamin ikan swanggi ditampilkan pada tabel 3 dan tabel 4 untuk ikan swanggi yang telah matang gonad:
Tabel 3 Rasio kelamin ikan swanggi pada setiap pengambilan contoh
Tanggal N Jumlah (ekor) Rasio (%)
Jantan Betina Jantan Betina
28 Januari 15 118 48 70 41 59
25 Februari 15 110 90 20 82 18
24 Maret 15 120 66 54 55 45
22 April 15 204 98 106 48 52
Jumlah 552 302 250 56 44
Tabel 4 Rasio kelamin ikan swanggi matang gonad setiap pengambilan contoh
Tanggal
ekor, sedangkan jumlah ikan swanggi betina sebanyak 250 ekor dengan jumlah total sebanyak 552 ekor ikan. Secara keseluruhan rasio ikan swanggi jantan dan betina sebesar 56% dan 44%. Uji Chi square yang dilakukan dengan selang kepercayaan 95 % diperoleh hasil bahwa perbandingan ikan swanggi betina dan jantan dalam suatu populasi adalah 1:1,2. Rasio ikan swanggi betina dan jantan yang telah mengalami matang gonad pada tabel 4 adalah sebesar 1:4.
Tingkat kematangan gonad dan ukuran pertama kali matang gonad
Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah (Effendie 2002). Grafik tingkat kematangan gonad ikan swanggi jantan dan ikan swanggi betina pada setiap pengambilan contoh disajikan pada Gambar 5, Gambar 6, dan Lampiran 1.
Gambar 5 Tingkat kematangan gonad ikan swanggi jantan
Gambar 6 Tingkat kematangan gonad ikan swanggi betina
Pada ikan swanggi jantan maupun betina banyak ditemukan TKG 1 dan 2. Pada pengambilan contoh pertama ikan swanggi jantan maupun betina tidak ditemukannya TKG 3 dan 4. Pengambilan contoh kedua, ketiga dan keempat ditemukan TKG 3 dan 4 pada ikan swanggi jantan. TKG 3 dan 4 juga ditemukan
15 pada ikan swanggi betina pada pengambilan contoh kedua dan ketiga, namun pada pengambilan contoh keempat tidak terdapat TKG 4. Dapat diduga bahwa ikan swanggi jantan maupun betina mengalami pemijahan pada bulan Februari, Maret, dan April. Berdasarkan perhitungan dengan metode Spearman-Karber (Udupa 1986) panjang ikan swanggi pertama kali matang gonad (Lm) untuk ikan jantan adalah sebesar 247.82 mm. Ukuran pertama kali matang gonad ikan swanggi betina adalah 250.19 mm.
Faktor kondisi
Faktor kondisi merupakan keadaan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan data panjang dan berat. Faktor kondisi dihitung untuk mengetahui kemontokkan ikan dalam bentuk angka. Faktor kondisi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Faktor kondisi ikan swanggi
Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa kemontokan ikan swanggi betina semakin meningkat. Ikan jantan mengalami hal yang sama namun mulai mengalami penurunan pada bulan April. Dapat diduga bahwa ikan swanggi jantan dan betina sedang mengalami matang gonad.
Hubungan panjang bobot
Analisis hubungan panjang bobot ikan swanggi jantan dan betina menghasilkan pola pertumbuhan dan hubungan panjang dan bobot. Pola pertumbuhan ikan dapat dibedakan menjadi isometrik, allometrik negatif, dan allometrik positif. Hubungan antara panjang dengan bobot dapat diketahui dengan menggunakan analisis regresi seperti yang ditampilkan pada Gambar 8.
Gambar 8 Hubungan panjang bobot ikan swanggi betina (A) dan jantan (B) Analisis diatas diperoleh persamaan W = 0,0008L2,2465 dengan koefisien determinasi sebesar 82,7% pada ikan swanggi jantan. Hubungan panjang bobot pada ikan swanggi betina diperoleh persamaan W = 0,0005L2,3295 dengan koefisien determinasi sebesar 71,88%. Secara umum nilai koefisien b betina lebih besar dibandingkan dengan jantan.
Sebaran frekuensi panjang dan kelompok umur
Ikan swanggi yang diamati selama penelitian sebanyak 552 ekor dengan 302 ekor ikan jantan dan 250 ekor ikan betina. Jumlah ikan swanggi yang diambil setiap pengambilan contoh di PPN Brondong berkisar antara 100-150 ekor.
17
Gambar 9 Sebaran frekuensi panjang total ikan swanggi
Frekuensi panjang ikan swanggi jantan tertinggi terdapat pada selang kelas 220-227 mm dan frekuensi panjang ikan swanggi betina tertinggi terdapat pada selang kelas 188-195 mm (Lampiran 4). Berdasarkan nilai Lm swanggi jantan maupun betina diketahui jumlah ikan yang tertangkap banyak yang belum mencapai matang gonad.
Analisis kelompok umur perlu dilakukan untuk mengetahui posisi dan perubahan rata-rata ukuran kelompok panjang. Proses pemisahan kelompok umur ikan swanggi dilakukan dengan menggunakan metode NORMSEP yang terdapat dalam software FISAT II. Tabel 5 telah disajikan pemisahan kelompok umur ikan swanggi betina dan jantan pada setiap pengambilan contoh.
Tabel 5 Sebaran kelompok umur ikan swanggi jantan dan betina
Berdasarkan sebaran kelompok ukuran ( Tabel 5) menunjukkan bahwa ikan swanggi betina dan jantan dominan memiliki 3 kelompok ukuran. Ikan swanggi betina diketahui terdapat 3 kelompok umur setiap bulannya, sedangkan pada ikan swanggi jantan hanya pada bulan Maret terdapat 2 kelompok umur selebihnya 28-Jan-15 1 178±13,49 177,57±5,55 N.A N.A
2 212,27±11,36 205,48±9,827 2,76 3,63 3 267,99±4 236,83±12,485 7,26 2,81 25-Feb-15 1 170,88±14,30 181,64±4 N.A N.A 2 211,56±24,08 226,95±12,19 2,12 5,59 3 283,98±4 277,67±4 5,16 6,27 24-Mar-15 1 188,70±15,21 221,62±19,81 N.A N.A 2 244±15,78 261,29±14,72 3,57 2,29
3 303,24±4 4,48
21-Apr-15 1 197,89±7,34 179,01±4 N.A N.A 2 226,06±13,28 208,15±8,34 2,73 4,73 3 265,09±14,67 238,57±17,18 2,79 2,38
adalah 3 kelompok umur. Hal ini menunjukkan bahwa pemisahan kelompok umur telah berhasil dan dapat digunakan untuk analisis Ford Walford.
Gambar 1 dan 11 menyajikan hasil analisis pemisahan kelompok umur ikan swanggi berdasarkan sebaran kelas frekuensi panjang. Analisis sebaran frekuensi panjang dapat digunakan untuk menduga umur ikan dan kelompok umur ikan. Hal ini dikarenakan frekuensi panjang ikan tertentu menggambarkan umur yang sama dan cenderung membentuk sebaran normal.
Gambar 10 Pergeseran modus frekuensi ikan swanggi betina
19
Gambar 11 Pergeseran modus frekuensi ikan swanggi jantan
Berdasarkan Gambar 10 dan 11 terjadi pergeseran modus ke arah kanan bulan Januari hingga Maret pada ikan swanggi betina. Pergeseran ke arah kanan juga terjadi bulan Februari hingga April pada ikan swanggi jantan. Pergeseran ke arah kanan menandakan adanya pertumbuhan populasi yang terjadi di Perairan Lamongan tersebut. Nilai presentase ikan swanggi jantan yang sudah mengalami matang gonad adalah sebesar 10% dan 5% pada ikan betina.
Parameter pertumbuhan
Metode Ford Walford digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan. Parameter pertumbuhan ikan swanggi adalah koefisien pertumbuhan (K), panjang asimtotik ( L∞) dan umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol (t0). Hasil perhitungan Ford Walford disajikan pada tabel 6.
Tabel 6 Parameter pertumbuhan ikan swanggi berdasarkan model von Bertalanffy
Parameter Pertumbuhan Jantan Betina
L max (mm) 305 294
L∞ (mm) 365,56 542,48
k 0,21 0,06
t0 -0,41 -1,33
Persamaan pertumbuhan model von Bertalanffy untuk ikan swanggi jantan adalah Lt = 365,565 (1-e -0,2083(t+0,4071) dan untuk ikan swanggi betina adalah Lt = 542,4754 (1-e -0,0601(t+1,3280)). Gambar 12 dan Gambar 13 menyajikan kurva pertumbuhan model von Bertalanffy.
Gambar 12 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan swanggi jantan
Gambar 13 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan swanggi betina
21 Mortalitas dan laju eksploitasi
Suatu stok yang telah dieksploitasi perlu dibedakan mortalistas akibat penangkapan dan mortalitas alami. Laju mortalitas terdiri dari 2 jenis yakni mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Hasil mortalitas yang didapatkan disajikan pada tabel 7.
Tabel 7 Mortalitas dan laju eksploitasi ikan swanggi
Parameter Nilai
Jantan Betina
Mortalitas total (Z, %) 1,5512 1,8837
Mortalitas Alami (M, %) 0,2628 0,1043
Mortalitas Tangkapan (F, %) 1.2884 1,7794
Laju Eksploitasi (E, %) 0,8306 0,9446
Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa nilai mortalitas penangkapan ikan swanggi lebih besar dari nilai mortalitas alami. Mortalitas penangkapan pada ikan swanggi jantan sebesar 1,29, sedangkan pada ikan swanggi betina sebesar 1,77 lebih besar dibandingkan ikan ikan jantan. Laju eksploitasi ikan swanggi jantan dan betina masing-masing sebesar 0,83 dan 0,94.
Model produksi surplus
Model produksi surplus dapat diterapkan bila diperkirakan dengan baik mengenai hasil tangkapan total berdasarkan spesies per unit upaya (Sparred and Venema 1999). Hasil tangkapan atau produksi serta upaya penangkapan ikan swanggi berdasarkan data tahunan PPN Brondong didapatkan selama 6 tahun sejak tahun 2008 hingga 2013 ditampilkan pada Tabel 7.
Tabel 8 Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (trip)
Tahun
Tabel 8 menunjukkan hasil tangkapan mengalami peningkatan tiap tahunnya., namun pada tahun 2010 mengalami penurunan. Berbeda dari hasil penangkapan, upaya penangkapan semakin menurun tiap tahunnya. Hasil tangkapan tertinggi didapatkan pada tahun 2013 dengan poduksi mencapai 12 709,82 ton dengan upaya sebesar 8 309 trip.
ikan swanggi berdasarkan analisis Fox sebesar 11 112,10 ton sedangkan upaya penangkapannya sebesar 9 589 trip. Nilai jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) sebesar 8 889,68 ton. Analisis model produksi surplus berdasarkan Fox ini dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Model produksi surplus (Fox) Indeks musim penangkapan
Indeks musim penangkapan merupakan suatu indeks untuk mengetahui di waktu tertentu kapan saja ikan swanggi banyak ditangkap. Penangkapan ikan swanggi dipengaruhi oleh beberapa musim, yaitu musim paceklik, musim peralihan dan musim penangkapan. Hasil IMP ditampilkan pada gambar 15 di bawah ini.
Gambar 15 Indeks musim penangkapan ikan swanggi 2010 2009
0 10000 20000 30000 40000 50000 60000
23 Gambar 15 menunjukkan nilai IMP yang digabugkan dengan nilai produksi penangkapan tiap bulannya selama 6 tahun. Puncak penangkapan ikan swanggi terjadi pada bulan Mei, namun produksi tertinggi yang didapatkan terjadi pada bulan November. Musim paceklik penangkapan ikan terjadi pada bulan Januari, hal ini sesuai dengan nilai produksi terendah yang didapatkan.
Pembahasan
Rasio kelamin ikan swanggi jantan dan betina yang didapatkan pada penelitian ini adalah sebesar 1,2:1, sedangkan untuk perbandingan ikan yang teah matang gonad sebesar 4:1. Pada penelitian Pramadika (2014) rasio kelamin ikan swanggi betina dan jantan yang didapatkan adalah sebesar 1,3:1, berbeda dengan hasil yang didapatkan pada penelitian ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rahardjo (2006) yang menyatakan bahwa rasio kelamin ikan di daerah tropis seperti Indonesia bersifat variatif dan menyimpang dari rasio 1:1 antara betina dan jantan. Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi rasio kelamin ikan, yaitu perbedaan pola tingkah laku, perbedaan laju mortalitas, dan laju pertumbuhan antara ikan jantan dan betina (Effendie 2002).
Tingkat kematangan gonad pada ikan menunjukkan tahapan perkembangan gonad sebelum ikan memijah, baru memijah, dan setelah memijah. Pada ikan swanggi jantan banyak terdapat TKG 1 dan 2, sedangkan TKG 3 dan 4 paling banyak ditemukan pada bulan April. Sama halnya dengan ikan swanggi jantan, pada ikan swanggi betina juga terdapat TKG 1 dan 2 yang lebih banyak. Pada bulan Februari ikan swanggi betina lebih banyak matang gonad, dibandingkan pada bulan Maret. Hasil tersebut mengindikasikan ikan swanggi melakukan pemijahan pada bulan Maret, karena pada bulan itulah ikan swanggi jantan dan betina matang gonad. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Ballerena (2012) yang menyatakan bahwa pucak pemijahan ikan swanggi pada bulan Maret dan September.
Ukuran pertama kali matang gonad ikan swanggi jantan dan betina berdasarkan perhitungan dengan metode Sperman Karber (Udupa 1986) adalah 247,82 mm dan 254,06 mm. Penelitian Siagian (2014) ukuran pertama kali matang gonad ikan swanggi jantan dan betina berturut-turut adalah 186 mm dan 201 mm. Penelitian yang dilakukan oleh Ballerena (2012) ukuran pertama kali matang gonad ikan swanggi jantan dan betina di PPP Labuan Banten adalah sebesar 156 mm dan 173 mm. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ikan swanggi banyak tertangkap sebelum mengalami matang gonad. Menurut Effendie (2002) ada beberapa faktor yang mempengaruhi waktu ikan pertama kali matang gonad, yaitu perbedaan spesies, umur, ukuran, sifat biologis dari kemampuan adaptasi terhadap lingkungannya, makanan, suhu, dan arus.
Uji t lanjut yang dilakukan menunjukkan hal yang sama, yaitu ikan swanggi jantan dan betina memiliki pola pertumbuhan alometrik negatif dengan nilai thit ikan betina sebesar 7,24 dan jantan sebesar 12,70. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang lebih mendominasi dibandingkan pertumbuhan bobot. Pola pertumbuhan tersebut sama dengan hasil penelitian Sukamto (2010) di PPN Brondong pola pertumbuhan ikan swanggi yang didapatkan adalah alometrik negatif. Namun penelitian yang dilakukan oleh Awong H, et al. (2011) terhadap ikan swanggi di perairan Sabah, Malaysia, yaitu pola pertumbuhan yang didapatkan adalah alometrik positif. Nilai konstanta b yang berbeda-beda dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain letak geografis, kondisi lingkungan, musim, penyakit, parasit, dan tingkat kepenuhan lambung (Effendie 2002).
Nilai faktor kondisi ikan swanggi betina lebih besar dibandingkan ikan jantan (Lampiran 3). Menurut Novitriana (2004) hal ini dikarenakan energi yang dimiliki oleh ikan betina digunakan untuk pertumbuhan gonad lebih besar dari pada pertumbuan sperma ikan jantan sehingga ikan betina cenderung lebih besar. Berdasarkan hasil yang didapatkan melalui analisis TKG, hubugan panjang bobot, dan faktor kondisi dapat diduga bahwa ikan swanggi memijah pada bulan Februari, Maret, dan April dengan rasio perbandingan ikan jantan sebanyak 4 ekor dan ikan betina sebanyak 1 ekor.
Analisis sebaran frekuensi panjang digunakan untuk menduga kelompok umur ikan, karena frekuensi panjang ikan tertentu umumnya berasal dari kelompok umur yang sama dan cenderung bervariasi mengikuti sebaran normal (Siagian 2014). Penentuan umur ikan diperlukan untuk mempelajari pertumbuhan, kelimpahan, dan fluktuasi spesies ikan (El-Haweet et al. 2005). Ikan swanggi yang tertangkap masih berada dibawah nilai Lm atau belum mengalami matang gonad. Proporsi ikan swanggi jantan yang tertangkap dibawah nilai Lm sebesar 89% dan pada ikan betina sebesar 94%. Presentasi tersebut menunjukkan adanya gejala bahwa ikan swanggi telah mengalami recruitment overfishing.
Ukuran panjang ikan swanggi terpanjang yang didapatkan adalah 305 mm, sedangkan ukuran terkecilnya adalah 140 mm. Panjang ukuran ikan swanggi yang didapatkan oleh Sukamto (2010) di PPN Brondong adalah 115 mm untuk ukuran terkecil dan 315 mm untuk ukuran terbesar. Penelitian yang dilakukan oleh Siagian (2014) terhadap ikan swanggi di Selat Sunda didapakan ukuran terkecilnya adalah 64 mm dan ukuran terbesarnya adalah 281mm. Hasil penelitian tersebut menunjukan sebaran frekuensi ikan swanggi yang berbeda-beda. Perbedaan struktur data panjang disebabkan adanya faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain keturunan, umur, penyakit, dan parasite dan faktor ekstrinsik antara lain suhu, salinitas, kandungan oksigen terlarut, dan amonia (Effendie 2002).
25
Parameter pertumbuhan dengan menggunakan model von Bertalanffy (K dan L∞) diduga dengan metode Ford-Walford. Nilai L∞ dank ikan swanggi jantan adalah sebesar 365,57 dan 0,21 dengan persamaan Lt = 365,57 (1-e -0,2083(t+0,4071), sedangkan untuk ikan swanggi betina nilai L∞ dan k sebesar 542,48 dan 0,06 dengan persamaan Lt = 542,4754 (1-e -0,0601(t+1,3280)). Nilai L∞ dank ikan swanggi jantan dan betina memiliki nilai yang berbanding terbalik. Nilai L∞ ikan swanggi ikan betina lebih besar dibandingkan ikan swanggi jantan, namun nilai dari koefisien pertumbuhan ikan swanggi jantan lebih besar dibandingkan koefien pertumbuhan ikan swanggi betina.
Hal tersebut menunjukkan bahwa ikan swanggi jantan akan mencapai nilai panjang asimtotik lebih cepat. Ikan muda yang lebih banyak tertangkap maka koefisien pertumbuhan akan tinggi dan sebaliknya ikan berumur tua yang banyak tertangkap, maka koefisien pertumbuhan akan rendah (Prihatiningsih, 2013). Nilai L∞ ikan swanggi penelitian ini cukup besar bila dibandingkan dengan penelitian lain yang telah dilakukan sebelumnya (Tabel 9).
Tabel 9 Parameter pertumbuhan ikan swanggi dari berbagai penelitian
Penelitian Perairan Jenis
Kelamin
Laju mortalitas ikan dapat dilihat dari mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Ikan swanggi mengalami kematian lebih banyak diakibatkan oleh penangkapan dibandingkan kematian secara alami, dengan mengetahui hal tersebut kita dapat mengetahui tingkat laju eksploitasi ikan swanggi yang teradi. Nilai laju eksploitasi didapatkan dari hasil pembagian antara mortalitas tangkapan dengan mortalitas total.
Model surplus produksi merupakan suatu model yang menjelaskan mengenai pemanfaatan Sumberdaya ikan yang lestari dan berkelanjutan. Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa upaya penangkapan ikan swanggi sejak tahun 2009 hingga tahun 2013 mengalami penurunan dan mengalami puncak pada tahun 2009 sebesar 24 279 trip. Namun hal ini berbanding terbalik dengan hasil tangkapan yang didapatkan. Hasil tangkapan ikan swanggi mulai tahun 2011 hingga tahun 2013 mengalami peningkatan yang cukup besar. Puncak penangkapan ikan swanggi terjadi pada tahun 2013 sebesar 12 709,82 ton.
Gambar 14 analisis model produksi surplus (fox) menunjukkan bahwa telah terjadi overfishing di perairan Laut Jawa. Hal ini dikarenakan batas hasil tangkapan yang sudah melebihi nilai MSY, walaupun usaha yang dilakukan masih dibawah dari nilai fMSY. Tahun 2008 C aktual masih berada dibawah nilai MSY namun nilai F actual melebihi nilai fMSY. Nilai F aktual semakin menurun tiap tahunnya namun C yang didapatkan semakin meningkat hingga melebihi nilai MSY. Nilai C yang semakin meningkat diduga karena perubahan fishing ground yang dilakukan oleh nelayan.
IMP merupakan salah satu dari metode rata-rata bergerak (moving average), dengan menghitung IMP setiap bulan pola musim penangkapan ikan swanggi dapat dilihat (Wulandari 2012). Berdasarkan gambar 15 diketahui bahwa puncak musim penangkapan ikan swanggi terjadi pada bulan Mei dengan nilai IMP sebesar 100%, sedangkan pada bulan Januari penangkapan ikan swanggi sangat rendah dengan nilai IMP sebesar 81%. Produksi penangkapan terendah sesuai dengan nilai IMP yang didapatkan pada bulan Januari. Produksi tertinggi penangkapan ikan swanggi terjadi pada bulan November berbeda dengan puncak penangkapan. Hal ini dikarenakan nelayan yang lebih produktif melakukan penangkapan sebelum musim barat datang sehingga produksi penangkapannya tinggi. Berdasarkan hasil wawancara nelayan, pada bulan Desember dan Januari banyak nelayan yang tidak berani melaut diakibatkan musim barat yang berlangsung pada bulan Desember hingga Maret Pada Sivakami (2001) penangkapan ikan swanggi spesies lainnya, yaitu Priacanthus hamrur banyak terjadi pada bulan Oktober hingga Maret.
Rencana pengelolaan yang dapat diterapkan di PPN Brondong adalah dengan melihat berbagai parameter yang telah diteliti. Menurut FAO (1997) in Widodo dan Suadi (2006), pengelolaan perikanan adalah suatu proses terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi Sumberdaya serta menjamin kelangsungan produktivitas sumber dan pencapain tujuan perikanan. Pengelolaan yang dapat dilakukan pada aspek reproduksi ikan adalah tidak menangkap pada musim pemijahan ikan swanggi yang terjadi pada bulan Maret dan September (Utariningsih 2012) serta penggunaan alat tangkap gill net yang sangat selektif dalam penangkapan ikan. Tujuannya adalah agar ukuran ikan yang tertangkap melebihi ukuran pertama kali matang gonad. Berdasarkan data panjang ikan swanggi terkecil yang didaratkan dan panjang rata-rata sebaiknya ikan yang ditangkap berukuran lebih besar dengan menambah ukuran mata jaring sehingga ikan yang tertangkap tidak begitu kecil.
27
sesuai dengan nilai potensi lestari sebesar 11 112,83 ton dan hanya menangkap ikan swanggi berdasarkan jumlah tangkap yang diperbolehkan sebesar 8 889,68 ton. Nilai IMP juga dapat dijadikan acuan untuk pengelolaan ikan swanggi yang berkelanjutan dengan pengaturan penangkapan ikan swanggi berdasarkan musim penangkapan. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada ikan untuk berkembangbiak, secara biologi dengan siklus ikan dari memijah, telur, larva juvenile, kemudian menjadi dewasa (Wulandari 2012).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pola pertumbuhan ikan swanggi di Laut Utara Jawa adalah alometrik negatif. Rasio kelamin ikan swanggi antara betina dan jantan 1:1,2. Hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) 11 112,10 ton per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC) sebesar 8 889,68 ton per tahun. Puncak dari musim penangkapan ikan swanggi terjadi pada bulan Mei. Rencana pengelolaan ikan swanggi sebaiknya berdasarkan kuota jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan dengan menggunakan alat tangkap yang lebih selektif.
Saran
Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai musim pemijahan dan daerah pemijahan. Upaya dari alat collecting harus dipisahkan karena bukan menjadi alat tangkap utama yang termasuk ke dalam proses penangkapan. Hal ini dapat mengurangi kesalahan terhadap data poduksi penangkapan.
DAFTAR PUSTAKA
Adilaviana T. 2012. Kajian Stok Ikan Swanggi Priacanthus tayenus (Richardson, 1846) di Perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, Pandeglang Banten. [skripsi]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor.
Aswanah YK, Efani A, Tjahjono A. 2013. Evaluasi Terhadap Implementsai Program Pengembangan Kawasan Minapolitan Perikanan Tangkap di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Jurnal ECSOFiM. Vol 1(1): 97-108
Badriah DL. 2006. Studi Kepustakaan, Menyusun Kerangka Teoritis, Hipotesis
Penelitian dan Jenis Penelitian.
http://www.kopertis4.or.id/Pages/data%202006/kelembagaan/studi_kepusta kaan_DR%5B1%5D._Dewi.Doc (21 Februari 2015)
Ballerena CP. 2012. Pola Reproduksi Ikan Swanggi (Priachantus tayenus, Richardson 1846) yang didaratkan di PPP Labuan Banten. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Boer M. 1996. Pendugaan Koefisien Pertumbuhan (L∞, K, t0) Berdasarkan Data Frekuensi Panjang. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 4(1): 75-84.
Dajan, A. 1986. Pengantar Metode Statistik Jilid II. Jakarta : LP3ES
Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID). Yayasan Pustaka Nusatama. 163 hal.
El-Haweet A, Hegazy M, AbuHatab A, Sarby E. 2005. Validation of Length Frequency Analysis for Boops Boops (Bogue) Growth Estimation. Egyptian Journal of Aquatic Research. Vol 31.,1.
Joung SJ, Chen CT. 1992. Age and Growth of the Big Eye Priacanthus macracanthus
From the Surrounding Water of Guei-Shan Island, Taiwan. Nippon Suisan Gakkaishi. 58(3): 481-488.
Kementrian Kelautan Perikanan. 2009. PPN Brondong [terhubung berkala].
http://www.kkp.go.id/pelabuhan/index.php/welcome/profil_pelabuhan/pv15 /222/ (27 November 2014)
King M. 1995. Fishery Biology, Asessment, and Management. Fishing News Books. London, USA. 341p
Instansi Kabupaten Lamongan. 2013. Kecamatan Brondong [terhubung berkala].
http://lamongankab.go.id/instansi/brondong/ (27 November 2014)
Novitriana R. 2004. Aspek Biologi Reproduksi Ikan Pepetek (Leiognathus equulus, Forskall 1775) di Perairan Pantai Mayangan , Subang, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Oktaviyani.S. 2013. Kajian Stok Ikan Kurisi Nemipterus japonicas (Bloch, 1791) di Perairan Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu, Banten. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rahardjo MF. 2006. Biologi Reproduksi Ikan Blama (Nibea soldado, Lac) Sciaenidae di Perairan Pantai Mayangan, Jawa Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia. 5(2):63-68.
Pauly D. 1984. Fish Population Dynamics In Tropical Waters : A Manual For Use with Programmable Calculators. ICLARM. Manila. Filipina. 325 p.
Peristiwady T. 2006. Ikan-ikan Laut Ekonomis Penting di Indonesia. LIPI Press. Jakarta.
Pramadika I C. 2014. Kajian Biologi Reproduksi Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus
Richadson, 1846) di Perairan Selat Sunda yang didaratkan Di PPP Labuan, Banten. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Prihatiningsih, Sadhotomo B, Taufik M. 2013. Dinamika Populasi Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus) di Perairan Tangerang-Banten. Bawal. Vol 5 (2):81-87 Saker Y, Chakraborty SK, Jaiswar AK, Panda D. 2009. Age, growth, Mortality, and
29 Siagian RKP. 2014. Kajian Stok Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) di Perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, Banten. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sivakami S, Raje SG, Ferozkhan M, Shobha JK, Vivekanandan E, Rajkumar U. 2001. Fishery and Biology of Priacanthus hamrur (Forrskal) Along the Indian Coast . Indian Journal Fish. 48(3): 277-289
Sivakami S, Raje SG, Nair KVS, Kumar PPM, Ramani K. 2005. Fishery Potential of Bullseyes Along the West Coast of India. Journal of Marine Biology Association of India. 47(2): 185-192.
Sukamto O. 2010. Kajian Dinamika Stok Ikan Mata Besar (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) di Perairan Utara Jawa Timur yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Spare P dan Venema S C. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis Buku I-Manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Pusat penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 hal.
Udupa KS. 1986. Statistical Method of Estimating the Size At First Maturity of Fishes. Fishbyte. 4(2): 8-10.
Utariningsih N. 2012. Sistem Informasi Sumberdaya Perikanan Berbasis Mobile Web (Kasus: Ikan Swanggi Priacanthus tayenus yang didaratkan di PPP Labuan, Banten). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Walpole RS. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta (ID). PT Gramedia Pustaka Umum. 515 hal.
Widodo J dan Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 252 hal.
Wulandari SA. 2012. Pola Musiman dan Kajian Stok Ikan Swanggi (Praichantus tayenus Richardson, 1846) di Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
www.fishbase.org Priacanthus tayenus. [Terhubung Berkala].
LAMPIRAN
Lampiran 1 Tingkat kematangan gonad ikan swanggi 1. Jantan
M = 2,3941 Anti Log = 247,8085
Lm = 247,8252 mm
Lampiran 3 Faktor kondisi ikan swanggi
Pengambilan contoh Betina Jantan
fk rata" stdev fk rata" stdev 28-01-2015 0,9490 0,1402 0,9079 0,1276 25-02-2105 1,0435 0,1927 1,0378 0,1511 24-03-2015 1,1464 0,2220 1,0773 0,1210 21-04-2015 1,1709 0,1279 1,0270 0,1558
Lampiran 4 Hubungan panjang dan bobot ikan swanggi (Priacanthus tayenus)
Betina jantan
b 2,3295 2,2465
sb 1,5263 1,4988
t hit 7,2462 12,7026 t tab 1,6510 1,6499
Pada taraf nyata 5% hipotesis yang menyatakan koefisien b sama dengan 3 (tiga) tidak dapat diterima, dengan demikian pertumbuhan ikan swanggi mengikuti pola allometrik negatif.
Lampiran 5 Sebaran frekuensi ikan swanggi
SK BK Xi Frekuensi
Betina Jantan
140-147 139,5-147,5 143,5 0 1
148-155 147,5-155,5 151,5 1 5
156-163 155,5-163,5 159,5 0 9
164-171 163,5-171,5 167,5 14 21
172-179 171,5-179,5 175,5 2 17
180-187 179,5-187,5 183,5 21 30
188-195 187,5-1955 191,5 42 39
196-203 195,5-203,5 199,5 31 20
204-211 203,5-211,5 207,5 37 27
212-219 211,5-219,5 215,5 18 23
220-227 219,5-227,5 223,5 23 27
228-235 227,5-235,5 231,5 24 16
236-243 235,5-243,5 239,5 10 18
244-251 243,5-251,5 247,5 13 18
252-259 251,5-259,5 255,5 2 9
260-267 259,5-267,5 263,5 6 7
268-275 267,5-275,5 271,5 3 9
276-283 275,5-283,5 279,5 1 2
284-291 283,5-291,5 287,5 1 3
292-299 291,5-299,5 295,5 1 0
33 Lampiran 6 Pendugaan pertumbuhan ikan swanggi
1. Jantan
t Lt L(t+dt)
1 178 211,56 2 211,56 244 3 244 265,09 4 265,09 0
a 68,7425
b 0,8120
L∞ 365,5650
k 0,2083
Log (-t0) -0,3903 t0 -0,4071
2. Betina
t Lt L(t+dt)
1 177,57 181,64 2 181,64 221,62 3 221,62 238,57
4 238,57 0
a 31,6177
b 0,9417
Linf 542,4754
k 0,0601
log (-t0) 0,1232 t0 -1,3280
Lampiran 7 Pendugaan mortalitas ikan swanggi 1. Betina
SKB SKA Xi Fi t (L1) ∆t t(L1/L2)/2 Ln((C(L1,L2)/∆t)
x y
140 147 143,5 0 3,6429 0,2922 3,7883
148 155 151,5 1 3,9772 0,2981 4,1256 1,2102 156 163 159,5 0 4,3184 0,3044 4,4699
Lampiran 7 (lanjutan)
212 219 215,5 18 69251 0,3565 7,1024 3,9218
220 227 223,5 23 7,3332 0,3655 7,5149 4,1421
228 235 231,5 24 7,7515 0,3749 7,9379 4,1593
236 243 239,5 10 8,1806 0,3848 8,3719 3,2577
244 251 247,5 13 8,6210 0,3952 8,8175 3,4933
252 259 255,5 2 9,0735 0,4062 9,2753 1,5940
260 267 263,5 6 9,5385 0,4179 9,7461 2,6644
268 275 271,5 3 10,0169 0,4302 1,2306 1,9421
276 283 279,5 1 10,5095 0,4433 1,7297 0,8135
284 291 287,5 1 11,0171 0,4572 11,2441 0,7826
292 299 295,5 1 11,5406 0,4720 11,7750 0,7508
300 307 303,5 0 12,0812 0,4878 12,3233
2. Jantan
SKB SKA Xi Fi t (L1) ∆t t(L1/L2)/2 Ln((C(L1,L2)/∆t)
x y
140 147 143,5 1 1,9108 0,0199 1,9859 3,9190
148 155 151,5 5 2,0842 0,0188 2,1620 5,5827
156 163 159,5 9 2,2640 0,0179 2,3449 6,2220
164 171 167,5 21 2,4509 0,0170 2,5350 7,1183
172 179 175,5 17 2,6453 0,0162 2,7329 6,9536
180 187 183,5 30 2.8479 0,0155 2,9393 7,5662
188 195 191,5 39 3,0595 0,0149 3,1550 7,8712
196 203 199,5 20 3,2808 0,0143 3,3809 7,2443
204 211 207,5 27 3,5128 0,0137 3,6179 7,5838
212 219 215,5 23 3,7566 0,0132 3,8672 7,4613
220 227 223,5 27 4,0134 0,0127 4,1302 7,6581
228 235 231,5 16 4,2847 0,0123 4,4085 7,1700
236 243 239,5 18 4,5724 0,0119 4,7038 7,3218
244 251 247,5 18 4,8783 0,0115 5,0186 7,3546
252 259 255,5 9 5,2051 0,0112 5,3554 6,6933
260 267 263,5 7 5,5558 0,0108 5,7176 6,4728
268 275 271,5 9 5,9341 0,0105 6,1095 6,7540
276 283 279,5 2 6,3448 0,0102 6,5362 5,2790
284 291 287,5 3 6,7940 0,0099 7,0045 5,7127
292 299 295,5 0 7,2895 0,0096 7,5235
35 Lampiran 8 Model produksi surplus
Tahun
Lampiran 9 Pendugaan indeks musim penangkapan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjung pada 17 Juni 1993 dari pasangan bapak Murdi dan ibu Dra Marfuah sebagai anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan formal pernah dijalani penulis berawal dari SDN 4 Tuban (1999-2005), SMPN 1 Kuta (2005-2006), SMPN 2 Mataram (2006-2008), SMAN 2 Mataram (2008-2011). Pada tahun 2011 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur undangan. Kemudian diterima di departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.