• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Populasi Sumberdaya Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus, Richardson 1846) di Perairan Selat Sunda.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika Populasi Sumberdaya Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus, Richardson 1846) di Perairan Selat Sunda."

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA POPULASI SUMBERDAYA IKAN SWANGGI

(Priacanthus tayenus

, Richardson 1846)

DI PERAIRAN SELAT SUNDA

OKY WIDYA GIANTIKA

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Dinamika Populasi Sumberdaya Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus, Richardson 1846) di Perairan Selat Sunda” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.

(4)

ABSTRAK

OKY WIDYA GIANTIKA. Dinamika Populasi Sumberdaya Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus, Richardson 1846) di Perairan Selat Sunda. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER dan NURLISA A.BUTET.

Ikan swanggi (Priacanthus tayenus, Richardson 1846) merupakan ikan demersal yang memiliki nilai ekonomis penting, yang tersebar di perairan Selat Sunda. Penelitian mengenai ikan swanggi di perairan Selat Sunda masih kurang, sehingga perlu diteliti untuk mencegah eksploitasi yang berlebihan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji beberapa aspek biologi reproduksi dan dinamika populasi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di perairan Selat Sunda. Aspek yang dikaji meliputi: reproduksi, dinamika stok, dan tingkat eksploitasi. Periode pemijahan ikan swanggi terjadi pada bulan Juni hingga Oktober. Ukuran pertama kali matang gonad ikan swanggi betina dan jantan masing-masing adalah 127,67 mm dan 268,78 mm. Laju eksploitasi ikan swanggi betina dan jantan masing-masing 71 % dan 64 %, yang menunjukkan bahwa ikan swanggi di perairan Selat Sunda telah mengalami eksploitasi yang berlebihan.

Kata kunci: Ikan swanggi, kajian stok, laju eksploitasi, pertumbuhan, PPP Labuan

ABSTRACT

OKY WIDYA GIANTIKA. Population Dynamic of Purple-spotted bigeye Priacanthus tayenus (Richardson 1846) in the Sunda Strait PPP landed in Labuan, Banten. Supervised by MENNOFATRIA BOER and NURLISA A.BUTET.

Priacanthus tayenus (Richardson 1846) is one of economic important demersal fish originally distributed in Sunda Strait. The fish has long been exploited; however, present stock status has not yet been assess. Therefore, in order to prevent overexploitation, its stock should be well studied. This study was aim at assessing reproduction biology and population dynamic of Purple-spotted bigeye (Priacanthus tayenus) in the Sunda Strait landed in Labuan Beach Fishing Port, Banten province. This study covered some aspects of reproduction, growth, and the rate of exploitation. Spawning time Purple-spotted bigeye was commenced in June to October. Size at first maturity in respect to female and male was 127,67 mm and 268,78 mm. Exploitation rates of female and male individuals were 71% and 64%, respectively. It is concluded that purple-spotted bigeye in Sunda Strait is overexploited.

(5)

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Skripsi

DINAMIKA POPULASI SUMBERDAYA IKAN SWANGGI

(

Priacanthus tayenus

, Richardson 1846)

DI PERAIRAN SELAT SUNDA

OKY WIDYA GIANTIKA

MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dinamika Populasi Sumberdaya Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus Richardson 1846) di Perairan Selat Sunda”. Skripsi ini disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh studi di Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan. 2. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan atas biaya penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), DIPA IPB Tahun Anggaran 2013, kode Mak: 2013. 089. 521219, Penelitian Dasar untuk Bagian, Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitan dan Pengabdian kepada Masyarakat, IPB dengan judul “Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Beberapa Ikan Ekologis dan Ekonomis Penting di Perairan Selat Sunda, Provinsi Banten” yang dilaksanakan oleh Prof Dr Ir Mennofatria Boer DEA (sebagai ketua peneliti) dan Dr Ir Rahmat Kurnia MSi (sebagai anggota peneliti).

3. Dr Ir Isdradjat Setyobudiandi MSc selaku dosen pembimbing akademik dan dosen penguji yang telah memberikan arahan serta masukan selama proses perkuliahan berlangsung hingga menyelesaikan skripsi ini.

4. Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA dan Dr Ir Nurlisa A.Butet, MSc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

5. Dr Ir Niken Tunjung Murti Pratiwi, MSi selaku Komisi Pendidikan Program S1 yang telah memberikan arahan dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Staf Tata Usaha Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan Mbak Widar, Mas Aulia, Bapak Suminta, Staf DKP Kabupaten Pandeglang. 7. Bapak (Misgiono, SPd), Ibu (Harimah, SPd ), Kakak (Erika Andriana)

dan seluruh keluarga yang telah memberikan doa, kasih sayang dan dukungannya selama ini.

8. Rebri Atnam ST atas perhatian, motivasi, serta kesabarannya.

9. Rosita Fadillah, Irma Fadilla, Anes, Uly, tim penelitian Labuan MSP 48, teman-teman MSP 48 atas doa, semangat, dukungan, dan bantuannya. Demikian skripsi ini disampaikan, semoga dapat bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Lokasi Penelitian 2

Metode Pengumpulan Data 3

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

SIMPULAN DAN SARAN 21

Simpulan 21

Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 24

RIWAYAT HIDUP 31

(10)

DAFTAR TABEL

1 Kriteria kematangan gonad modifikasi Cassie (1956) in

Effendie (2002). 3

2 Rasio kelamin ikan swanggi (Priacanthus tayenus) 10 3 Sebaran kelompok umur ikan swanggi betina dan jantan 14

4 Parameter pertumbuhan ikan swanggi 15

5 Laju Mortalitas dan eksploitasi ikan swanggi 17 6 Perbandingan parameter pertumbuhan ikan swanggi 19 7 Penelitian mortalitas dan laju eksploitasi 20

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian 2

2 Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) 9

3 Peta distribusi ikan swanggi di seluruh dunia 9 4 Hubungan panjang dan bobot ikan swanggi betina 10 5 Hubungan panjang dan bobot ikan swanggi jantan 11 6 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan swanggi betina 12 7 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan swanggi jantan 13 8 Frekuensi tingkat kematangan gonad (TKG) ikan swanggi

betina 14

9 Frekuensi tingkat kematangan gonad (TKG) ikan swanggi

jantan 15

10 Kurva pertumbuhan ikan swanggi betina 16

11 Kurva pertumbuhan ikan swanggi jantan 16

DAFTAR LAMPIRAN

1 Proses penentuan laju mortalitas total (Z) melalui kurva yang

dilinierkan berdasarkan data panjang 24

2 Hubungan panjang dan bobot ikan swanggi betina 26 3 Hubungan panjang dan bobot ikan swanggi jantan 26 4 Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan swanggi betina 26 5 Tingkat kematangan gonad ikan swanggi jantan 27 6 Ukuran pertama kali matang gonad ikan swanggi (Priacanthus

tayenus) betina 27

7 Ukuran pertama kali matang gonad ikan swanggi (Priacanthus

tayenus) jantan 28

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perairan Selat Sunda merupakan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia dan Laut Jawa. Sumber daya ikan hasil tangkapan di Perairan Selat Sunda setiap harinya didaratkan salah satunya di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Banten. PPP Labuan, Banten adalah salah satu pelabuhan perikanan di Indonesia yang cukup berkembang. Lokasi PPP Labuan terletak di Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Sumber daya ikan yang didaratkan di PPP Labuan, Banten cukup beragam seperti ikan – ikan pelagis dan demersal. Ikan pelagis yang didaratkan di PPP Labuan antara lain ikan kembung, tongkol, tenggiri, selar kuning, dan tembang. Ikan swanggi, kuniran, kurisi, dan pari merupakan beberapa contoh ikan demersal yang didaratkan di PPP Labuan, Banten.

Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) merupakan salah satu ikan demersal yang memiliki nilai ekonomis dan ekologis penting yang didaratkan di PPP Labuan, Banten. Ikan swanggi dikatakan memiliki nilai ekonomis penting karena hasil tangkapan ikan swanggi dijual dengan kisaran harga antara Rp 11.000 sampai Rp 18.000/kg. Selain itu, ikan yang memiliki nama lain Raja Gantang ini disebut memiliki nilai ekologis penting karena salah satu ikan karang yang berperan dalam struktur trofik (Powell 2000).

Alat tangkap yang dapat dipergunakan untuk menangkap ikan swanggi (Priacanthus tayenus) adalah jaring arad, cantrang, jaring dogol, lampara dasar, jaring insang, dan pukat pantai. Hasil tangkapan ikan swanggi di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, Banten ditangkap dengan menggunakan cantrang. Penangkapan ikan swanggi dilakukan setiap hari sepanjang tahun. Hal ini dapat mempengaruhi keberadaan dan kondisi stok sumberdaya ikan swanggi di perairan Selat Sunda. Pertimbangan ini menjadi dasar perlunya pengkajian stok yang berguna untuk menunjang pengelolaan sumberdaya ikan swanggi demi mewujudkan pemanfaatan sumberdaya ikan swanggi yang lebih tepat dan berkelanjutan.

Perumusan Masalah

(12)

2

Penurunan stok sumberdaya secara terus menerus tanpa adanya pengelolaan, akan mempengaruhi fungsi ekonomis dan ekologis sumber daya ikan swanggi. Salah satu informasi yang diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan swanggi adalah dinamika stok. Sehingga sumberdaya ikan swanggi dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji beberapa aspek biologi reproduksi (rasio kelamin, TKG dan ukuran pertama kali matang gonad) serta dinamika populasi (kelompok umur, parameter pertumbuhan, mortalitas, dan laju eksploitasi) ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di perairan Selat Sunda.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan beberapa informasi terkait biologi reproduksi dan dinamika populasi sumberdaya ikan swanggi di perairan Selat Sunda, sehingga dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pengelolaan ikan swanggi di Selat Sunda yang tepat, berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat.

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di PPP Labuan, Kecamatan Pandeglang, Provinsi Banten. Ikan swanggi merupakan hasil tangkapan para nelayan di sekitar perairan Selat Sunda. Peta lokasi penelitan disajikan pada Gambar 1.

(13)

3 Pengambilan ikan contoh dilakukan pada bulan Mei 2014 hingga Oktober 2014. Secara keseluruhan pengambilan contoh dilakukan sebanyak 6 kali dengan selang waktu pengambilan contoh 30 hari. Analisis ikan contoh dilakukan di Laboratorium Biologi Perikanan, Divisi Manajemen Sumberdaya Perikanan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dihitung berdasarkan nilai panjang total (mm), bobot bersih (gram), jenis kelamin, dan tingkat kematangan gonad (TKG). Pengukuran panjang total ikan dimulai dari mulut terdepan ikan hingga ujung ekor terakhir dengan menggunakan penggaris. Penimbangan bobot basah total tubuh meliputi bobot tubuh serta air yang terkandung didalamnya dengan menggunakan timbangan dengan skala sebesar 10 gram. Jenis kelamin diketahui dengan cara membedah dan mengamati isi gonad ikan swanggi. Penentuan tingkat kematangan gonad ikan swanggi dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap ciri-ciri morfologi kematangan gonad berdasarkan Cassie (1956) in Effendie (2002).

Tabel 1 Kriteria kematangan gonad modifikasi Cassie (1956) in Effendie dan ujungnya terlihat di rongga tubuh

II

Ukuran ovari lebih besar. Warna ovari kekuning-kuningan, dan telur belum terlihat jelas

Ukuran testes lebih besar pewarnaan seperti susu warna makin putih dan ukuran makin besar

Dalam keadaan diawet mudah putus, testes semakin pejal

V Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat didekat pelepasan

Testes bagian belakang kempis dan dibagian dekat pelepasan masih berisi

(14)

4

didaratkan di PPP Labuan, Banten dengan menggunakan metode penarikan contoh acak sederhana (PCAS). Banyaknya ikan contoh yang diambil tergantung dari hasil tangkapan nelayan pada setiap bulannya. Jenis kelamin ikan swanggi betina yang diamati sebanyak 320 ekor dan ikan swanggi jantan sebanyak 257 ekor.

Analisis Data

Rasio kelamin

Rasio kelamin digunakan untuk melihat perbandingan antara jenis kelamin ikan yang ada di perairan. Rasio kemudian dibutuhkan sebagai bahan pertimbangan dalam reproduksi, peremajaan, dan konservasi sumber daya ikan tersebut. Konsep rasio adalah proporsi populasi tertentu terhadap total populasi (Walpole 1993).

p = n (1) p adalah proporsi kelamin (jantan atau betina), n adalah jumlah individu ikan jantan atau betina, dan N adalah jumlah total individu ikan jantan dan betina contoh (ekor).

Hubungan panjang dan bobot

Pola pertumbuhan suatu organisme dapat dilihat dengan menghubungkan antara pertumbuhan panjang dengan pertumbuhan bobotnya. Berikut ini merupakan rumus hubungan panjang dan bobot (Effendie 2002) :

W = aLb (2) W merupakan bobot (gram), L merupakan panjang (mm), nilai a dan b

merupakan koefisien perubahan bobot. Nilai a dan b yang telah dihasilkan digunakan untuk menduga pola pertumbuhan kedua parameter yang dianalisa, yakni panjang dan bobot. Nilai a dan b diduga dari bentuk linier pada persamaan (2), yaitu :

Log W = Log a + b Log L (3) Untuk mendapatkan nilai parameter a dan b, digunakan analisis regresi dengan log W sebagai ordinat (y) dan log L sebagai absis (x), sehingga akan didapatkan persamaan regresi sebagai berikut:

yi=β+β1Xi+εi (4)

sebagai model observasi, dan

(15)

5 sebagai model dugaan. Konstanta b1 dapat diduga dengan menggunakan :

b =∑n= −n∑n= ∑n=

dan konstanta b0 diduga dengan :

b = y̅ − b x̅ (7) Nilai a dan b diperoleh melalui hubungan b = b1 dan a = 10b0.

Nilai konstanta b dapat digunakan sebagai parameter korelasi hubungan panjang dan bobot. Nilai ini nantinya akan dijadikan sebagai penduga tingkat kedekatan hubungan dari kedua parameter. Uji hipotesis yang dilakukan adalah:

1. Bila b = 3, dikatakan hubungan isometrik (pola pertumbuhan panjang sebanding dengan pola pertumbuhan bobot)

2. Bila b = 3, dikatakan memiliki hubungan allometrik yaitu:

Pola pertumbuhan allometrik ada dua macam yaitu allometrik positif (b>3) dapat diindikasikan bahwa pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan panjang serta allometrik negatif (b<3) yang diartikan bahwa pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan pertumbuhan bobotnya. Pengujian hipotesis tersebut menggunakan statistik uji sebagai berikut.

thitung=|b- 3

Sb| (8)

Sb adalah simpangan baku dugaan b1 atau b yang dihitung dengan: Sb= s2

∑ni=1x12-1n(∑ni=1xi)2 (9)

Perhitungan selanjutnya ialah nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabel pada selang kepercayaan 95%. Pengambilan keputusannya adalah jika thitung > ttabel maka tolak hipotesis nol (H0) dan jika thitung < ttabel : gagal tolak atau terima hipotesis nol (H0) (Walpole 1993).

Ukuran pertama kali matang gonad

Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata ikan swanggi pertama kali matang gonad adalah metode Spearman-Karber yang menyatakan bahwa logaritma ukuran rata-rata mencapai matang gonad adalah (Udupa 1986) :

m = [xk + � ] – (x Σpi ) (10)

dengan

(16)

6

dan selang kepercayaan 95% bagi log m dibatasi sebagai: antilog (m ±1.96 √ Σ �� × ��

�� − ) (12)

nilai m merupakan log panjang ikan padakematangan gonad pertama, xk merupakan log nilai tengah kelas panjang yang terakhir ikan telah matang gonad, x menunjukkan log pertambahan panjang pada nilai tengah, pi merupakan proporsi ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i, ni adalah jumlah ikan pada kelas panjang ke-i, qi adalah 1 – pi, dan nilai M sebagai panjang ikan pertama kali matang gonad.

Identifikasi kelompok umur

Identifikasi kelompok umur ditentukan dengan menganalisis frekuensi panjang ikan melalui metode NORMSEP (Normal Separation) dengan menggunakan program FISAT II (FAO-ICLARM Fish Stock Assessment Tool). Sebaran frekuensi panjang ikan dapat dikelompokkan melalui beberapa kelompok umur yang menyebar dengan nilai rata-rata panjang dan simpangan baku pada masing-masing kelompok umur (Gayanilo et al. 1994 in Fandri 2012). Menurut Boer (1996), jika fi adalah frekuensi ikan dalam

kelas panjang ke-i (i = 1, 2, …, N), µj adalah rata-rata panjang kelompok

umur ke-j, σj adalah simpangan baku panjang kelompok umur ke-j dan pi

adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j (j = 1, 2, …, G), maka fungsi objektif yang digunakan untuk menduga {�̂ , �̂ , ̂} adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum likelihood function):

L = ∑ f log ∑ p qn =

= (13)

dihitung dengan persamaan:

q =σ √ πe−

x −μ

σ (14)

merupakan fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah µj dan

simpangan baku σj dan xi adalah titik tengah kelas panjang ke-i. Fungsi

objektif L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap µj, σj, pj sehingga diperoleh dugaan �̂ , �̂ , dan ̂ yang akan

digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan.

Parameter pertumbuhan

(17)

7 Lt = L∞[ − e− t−t ] (15)

Pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (K) dan panjang asimtotik (L∞) dilakukan dengan menggunakan metode Ford Wallford yang diturunkan dari model Von Bertalanffy. Apabila t sama dengan t+1, persamaannya menjadi :

Lt = L∞[ − e− t+ −t ] (16) Lt+1 merupakan panjang ikan pada saat umur t+1 (satuan waktu), L∞

merupakan panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K merupakan koefisien pertumbuhan (per satuan waktu), serta t0 merupakan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol. Apabila kedua rumus diatas disubstitusikan hasil persamaannya sebagai berikut :

Lt+ − Lt = [L∞− Lt][ − e− ] (17) atau :

Lt+ = L∞[ − e− ] + Lte− (18) Berdasarkan persamaan (18) dapat diduga dengan persamaan regresi linier sederhana = � + � . Apabila Lt sebagai absis (x) diplotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat (y), maka terbentuk kemiringan (slope) b1 = e-K dan titik potong dengan absis b0 = L∞[1 – e-K]. Dengan demikian, nilai K dan L∞ dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut:

K=-ln b (19)

L= b0

1-b1 (20)

Sedangkan dalam menduga nilai t0 (umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol) diperoleh melalui persamaan Pauly (1983 in Sparre dan Venema 1999):

log −� = , − , 5 � � ∞ − , log (21) L∞ merupakan panjang asimtotik ikan (mm), K merupakan koefisien laju pertumbuhan (mm/satuan waktu), dan t0 merupakan umur ikan pada saat panjang ikan 0.

Mortalitas dan laju eksploitasi

(18)

8

kebiasaan menggerombol ikan dikalikan dengan nilai 0,8 sehingga untuk spesies yang menggerombol seperti ikan swanggi nilai dugaan menjadi 20% lebih rendah:

M = , ∗ e− , − , ∗ln ∞+ , ∗ln + , ∗ln T (22) Setelah laju mortalitas total (Z) dan laju mortalitas alami (M), maka selanjutnya dilakukan perhitungan terhadap laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan:

F = Z − M (23)

Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984):

E =

+

=

Z (24)

E merupakan laju eksploitasi, M merupakan laju mortalitas alami, F merupakan laju mortalitas penangkapan, dan Z merupakan mortalitas total.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Klasifikasi ikan swanggi

Menurut Richardson (1846) in FAO (1999), taksonomi ikan swanggi (Gambar 2) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces

Subkelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Subordo : Percoidei Famili : Priacanthidae Genus : Priacanthus

Spesies : Priacanthus tayenus (Richardson 1846) Nama FAO : Purple-spotted bigeye

(19)

9

Gambar 2 Ikan swanggi (Priacanthus tayenus)

Habitat dan distribusi

Ikan swanggi merupakan ikan demersal yang tinggal di daerah sekitar pantai dengan kedalaman 20–200 meter. Daerah penyebaran di perairan tropis dengan gerombolan yang cukup besar (Kuiter 1992 in Sukamto 2010). Distribusi ikan ini meliputi wilayah pesisir utara Samudera Hindia dari Teluk Persia bagian Timur hingga wilayah Pasifik Barat, Australia bagian Utara, Pulau Solomon bagian utara, serta Taiwan (FAO 1999). Berikut ini merupakan peta penyebaran ikan swanggi di seluruh dunia (Gambar 3).

Gambar 3 Peta distribusi ikan swanggi di seluruh dunia Sumber : www.fishbase.org

Rasio kelamin

(20)

10

swanggi betina dan jantan dalam suatu populasi dalam keadaan tidak seimbang.

Tabel 2Rasio kelamin ikan swanggi (Priacanthus tayenus)

Waktu n Jumlah Nisbah jenis kelamin (%)

Analisis mengenai hubungan panjang dan bobot dapat dipergunakan untuk mengetahui pola pertumbuhan dari suatu organisme (Effendie 2002). Pola pertumbuhan ikan dapat dibedakan menjadi isometrik, allometrik negatif, dan allometrik positif. Hubungan antara panjang dengan bobot dapat diketahui dengan menggunakan analisis regresi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 dan 5. Berdasarkan analisis hubungan panjang dan bobot yang telah dilakukan, diketahui persamaan ikan swanggi betina ialah W= 0,0058L1,8063 , serta ikan swanggi jantan diketahui persamaan ialah W= 0,0009L2,1668. Selanjutnya dilakukan analisis uji t untuk menentukan pola pertumbuhan dari ikan swanggi (Priacanthus tayenus).

(21)

11

Gambar 5Hubungan panjang dan bobot ikan swanggi jantan

Berdasarkan hasil uji t (Lampiran 2 dan 3) diketahui pola pertumbuhan ikan swanggi adalah allometrik negatif. Hal ini berarti pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan bobot. Menurut Effendie (2002) perbedaan pola pertumbuhan dipengaruhi berbagai hal, diantaranya ketersediaan makanan dan kondisi lingkungan perairan.

Sebaran frekuensi panjang dan kelompok umur

Pengelompokan dalam kelas panjang ikan swanggi diperoleh 11 kelas panjang dengan frekuensi yang berbeda-beda (Lampiran 8). Sebaran frekuensi panjang ikan betina yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 45-295 mm, sedangkan ikan jantan berkisar antara 100-322 mm. Frekuensi ikan swanggi betina tertinggi terdapat pada selang kelas 161-189 mm dengan jumlah frekuensi sebanyak 109 ekor. Ikan swanggi jantan terpanjang terletak pada selang kelas 132-160 mm dengan frekuensi sebayak 94 ekor.

Analisis kelompok umur perlu dilakukan untuk mengetahui posisi dan perubahan rata-rata ukuran kelompok panjang. Proses pemisahan kelompok umur ikan swanggi dilakukan dengan menggunakan metode NORMSEP yang terdapat dalam software FISAT II. Tabel 3 telah disajikan pemisahan kelompok umur ikan swanggi betina dan jantan pada setiap pengambilan contoh.

(22)

12

(23)

13

(24)

14

Tabel 3 Sebaran kelompok umur ikan swanggi betina dan jantan Waktu Kelompok Umur

Panjang rata-rata Index Separasi Betina Jantan Betina Jantan 30 Mei 2014 1 141,63 ± 27,33 75,57 ± 14,21 n.a. n.a.

Tingkat kematangan gonad merupakan tahap penentuan perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan melakukan pemijahan (Lampiran 4 dan 5). Gambar 8 dan 9 menyajikan grafik tingkat kematangan gonad (TKG) ikan swanggi betina dan jantan pada setiap pengambilan contoh. Ikan swanggi betina contoh lebih banyak memiliki TKG III dan IV. Ikan swanggi betina yang matang gonad didapatkan pada setiap pengambilan contoh, sedangkan untuk ikan swanggi jantan yang matang gonad didapatkan pada pengambilan contoh ke-2, 4, dan 5. Ikan yang matang gonad merupakan ikan yang sudah memiliki TKG III dan IV.

(25)

15

Gambar 9 Frekuensi tingkat kematangan gonad (TKG) ikan swanggi jantan

Ukuran pertama kali matang gonad

Penentuan ukuran ikan pertama kali matang gonad perlu dilakukan perhitungan secara berkala, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu indikator tekanan dalam suatu populasi. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh dugaan ukuran pertama kali matang gonad ikan swanggi betina senilai 127,67 mm (Lampiran 6) serta ikan swanggi jantan senilai 268,78 mm (Lampiran 7). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Siagian (2014) di Selat Sunda mencapai 201 mm untuk ikan swanggi betina dan mencapai 186 mm ikan swanggi jantan.

Parameter pertumbuhan

Metode Ford Walford merupakan salah satu metode yang dapat dipergunakan untuk menduga parameter pertumbuhan Von Bertalanffy pada ikan swanggi (Lampiran 9 dan 10). Hasil analisis mengenai parameter pertumbuhan adalah koefisien pertumbuhan (K), panjang asimtotik atau panjang yang tidak dapat dicapai oleh ikan (L∞), dan umur teoritik ikan pada saat panjang ikan nol (t0). Hasil analisis parameter pertumbuhan ikan swanggi di perairan Selat Sunda ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Parameter pertumbuhan ikan swanggi

Contoh Ikan Parameter pertumbuhan

(26)

16

Gambar 10 dan 11 telah disajikan kurva pertumbuhan Von Bertallanfy ikan swanggi. Persamaan pertumbuhan pada ikan swanggi betina didapatkan nilai Lt = 345,07 (1-e[-0,19(t+0,01)] ) dan persamaan ikan swanggi jantan ialah Lt = 325,53 (1-e[-0,62(t+0,05)). Koefisien pertumbuhan merupakan kecepatan pertumbuhan ikan dalam mencapai panjang asimtotiknya (L∞) dari pola pertumbuhannya (Sparre dan Venema 1999). Semakin tinggi nilai koefisien pertumbuhan ikan, semakin cepat pula ikan mencapai panjang asimtotiknya, sehingga ikan akan lebih cepat mengalami kematian. Menurut analisis yang telah dilakukan, ikan swanggi jantan yang memiliki nilai koefisien pertumbuhan yang tinggi, sehingga akan lebih cepat mengalami kematian.

Gambar 10 Kurva pertumbuhan ikan swanggi betina

Gambar 11 Kurva pertumbuhan ikan swanggi jantan

-50 50 150 250 350

-10 0 10 20 30

P

anjang

(mm)

Waktu (bulan)

Lt = 345,07 (1-e[-0,19(t+0,01) )

-50 50 150 250 350

-10 0 10 20 30

P

anjang

(mm)

Waktu (bulan)

(27)

17

Mortalitas dan laju eksploitasi

Suatu stok sumber daya ikan dalam sebuah populasi dapat mengalami penurunan stok akibat tingkat mortalitas yang tinggi. Pendugaan konstanta laju mortalitas total (Z) ikan swanggi dilakukan dengan kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang (Lampiran 11 dan 12). Informasi mengenai laju mortalitas dan eksploitasi disajikan pada Tabel 5.

Berdasarkan Tabel 5, dapat diketahui bahwa ikan swanggi betina dan jantan memiliki nilai mortalitas penangkapan lebih besar dibandingkan dengan nilai mortalitas alami. Hal ini menunjukkan bahwa ikan swanggi betina dan jantan lebih banyak mati diakibatkan oleh adanya kegiatan penangkapan. Laju eksploitasi ikan swanggi betina dan jantan masing-masing sebesar 71% dan sebesar 64%.

Tabel 5 Laju Mortalitas dan eksploitasi ikan swanggi

Parameter Nilai (% per tahun)

Jantan Betina

Mortalitas alami (M, %) 0,55 0,25

Mortalitas penangkapan (F, %) 0,99 0,61

Mortalitas total (Z, %) 1,54 0,86

Laju Eksploitasi (E, %) 0,64 0,71

Pembahasan

Rasio kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan betina dan jantan di dalam suatu populasi. Menurut Purwanto et al. (1986) in Susilawati (2000) menyatakan bahwa perbandingan jumlah ikan betina dan ikan jantan dalam sebuah populasi dalam kondisi yang seimbang yaitu 1:1. Analisis mengenai rasio kelamin ikan swanggi di Perairan Selat Sunda dilakukan menggunakan Uji Chi-Square yang didapatkan hasil bahwa proporsi ikan swanggi jantan dan betina di suatu populasi tersebut tidak seimbang dengan proporsi 1: 1,2. Variasi dalam rasio kelamin sering terjadi akibat dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu perbedaan tingkah laku seks, kondisi lingkungan perairan dan kegiatan penangkapan (Bal dan Rao 1984). Jumlah ikan swanggi betina di perairan Selat Sunda lebih banyak jika dibandingkan dengan jantan, hal ini cukup baik untuk kelestarian sumberdaya ikan swanggi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Purwanto et al. (1986) in Sulistiono et al. (2001) bahwa populasi yang baik setidaknya memiliki jumlah ikan betina yang lebih banyak dibandingkan ikan jantan, hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan kelestarian suatu populasi .

(28)

18

Nilai konstata b dipengaruhi oleh adanya tingkat perkembangan ontogenetik seperti perbedaan umur, tingkat kematangan gonad, dan jenis kelamin (Dulcic et al. in Kunto 2005). Selain itu, Bagenal dan Tesch in Kunto 2005 menambahkan bahwa nilai konstanta b juga dipengaruhi oleh letak geografis dan kondisi lingkungan perairan.

Pola pertumbuhan ikan swanggi betina dan jantan pada penelitian ini bersifat allometrik negatif. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Adilaviana (2012) dan Siagian (2014) bahwa ikan swanggi betina dan ikan swanggi jantan yang terdapat di perairan Selat Sunda memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif. Sehingga pertumbuhan ikan swanggi di perairan Selat Sunda lebih dominan pertumbuhan panjangnya dibandingkan dengan pertumbuhan bobotnya.

Tahap-tahap kematangan gonad perlu dilakukan pencatatan sebaik mungkin, agar dapat diketahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dengan ikan yang tidak melakukan reproduksi (Affandi et al. 2007). Ikan swanggi betina yang telah matang gonad banyak terdapat pada Juni dan Oktober. Hasil penelitian Siagian (2014) menyatakan bahwa ikan swanggi di perairan Selat Sunda melakukan pemijahan pada bulan Juni dan Oktober. Berdasarkan informasi tersebut dapat diduga pada saat dilakukan pengambilan contoh ikan swanggi sedang mengalami pemijahan

Ukuran gonad ikan swanggi jantan lebih kecil dibandingkan dengan ikan swanggi betina. Hal ini yang mendasari bahwa ikan swanggi jantan akan lebih cepat mencapai ukuran pertama kali matang gonad dibandingkan ikan swanggi betina. Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode Sperman Karber menurut Udupa (1986) diperoleh ukuran pertama kali matang gonad (Lm) ikan swanggi betina senilai 127,67 mm (Lampiran 6) dan ikan swanggi jantan senilai 268,78 mm (Lampiran 7). Menurut Sulistiono et al. (2001), ukuran setiap ikan pertama kali matang gonad berbeda dan bisa terjadi pada spesies yang sama. Ukuran pertama kali matang gonad memiliki hubungan dengan pertumbuhan serta strategi reproduksinya. Ukuran pertama kali matang gonad ikan bervariasi di antara dan di dalam spesies (Udupa 1986), hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kecepatan tumbuh (Nikolsky 1969 in Susilawati 2000), perbedaan strategis hidup atau pola adaptasi ikan (Busing 1987 in Susilawati 2000), serta adanya perbedaan kondisi perairan. Menurut Brojo dan Sari (2002) dalam suatu bidang perikanan hendaknya membiarkan sebagian ikan-ikan hidup dengan panjang yang sama atau lebih besar dari nilai Lm untuk bereproduksi, agar tidak mengganggu proses perkembangbiakan yang dapat membahayakan kelesatarian sumberdaya ikan di masa yang akan datang.

(29)

19 sebaran frekuensi panjang umumnya berasal dari sebuah kelompok umur yang sama dengan mengikuti sebaran normal.

Panjang ikan swanggi yang diamati berkisar dari 45 mm hingga 322 mm. Selama penelitian berlangsung, didominasi oleh ikan swanggi betina yang panjangnya berkisar antara 161-189 mm. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Siagian (2014) yang telah melakukan penelitian di perairan Selat Sunda, menyatakan bahwa ikan swanggi betina didominasi pada selang kelas panjang 164-183 mm. Menurut Premalatha (1997), ikan swanggi di India memiliki sebaran frekuensi berkisar 120-450 mm. Perbedaan nilai selang kelas panjang di dua lokasi berbeda disebabkan oleh adanya faktor internal (dalam) dan faktor eksternal (luar). Faktor dalam yang mempengaruhi pertumbuhan ialah faktor keturunan, umur, penyakit, dan parasit. Faktor luar antara lain suhu, salinitas, kandungan oksigen terlarut, dan ammonia (Effendie 2002).

Menurut Nikolsky (1963) in Suwarni (2009) apabila pada suatu perairan terdapat perbedaan ukuran dan jumlah dari salah satu jenis kelamin, kemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan pola pertumbuhan, perbedaan ukuran pertama kali matang gonad, perbedaan masa hidup, dan masuknya jenis ikan baru pada suatu populasi. Parameter pertumbuhan dapat diuji menggunakan metode Ford Walford. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa ikan swanggi jantan memiliki nilai koefisien pertumbuhan lebih besar jika dibandingkan ikan swanggi betina.

Hal ini diartikan bahwa ikan swanggi jantan memiliki umur yang lebih pendek dibandingkan ikan swanggi betina. Semakin besar nilai koefisien pertumbuhan, semakin cepat waktu yang dibutuhkan oleh ikan tersebut untuk mencapai panjang asimtotik, dan memiliki umur yang lebih pendek (Sparre dan Venema 1999). Parameter pertumbuhan tergantung pada kondisi perairan. Perairan yang berbeda tentunya juga memiliki pola pertumbuhan yang berbeda pula. Adanya perubahan faktor lingkungan secara berkala juga akan mempengaruhi kondisi dari ikan tersebut (Handayani 2006). Hasil analisis beberapa penelitian mengenai parameter pertumbuhan ikan swanggi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6Perbandingan parameter pertumbuhan ikan swanggi

Peneliti Lokasi Adilaviana (2012) Perairan Selat Sunda 0,3 234 P. tayenus Siagian (2014) Perairan Selat Sunda 0,2 337 P. tayenus Penelitian ini Perairan Selat Sunda 0,2 345 P. tayenus

(30)

20

tangkapan yang dilinearkan berbasis panjang. Laju mortalitas penangkapan (F) ikan swanggi betina dan jantan lebih besar dibandingkan dengan laju mortalitas alami (M). Hal ini menandakan bahwa ikan swanggi di Perairan Selat Sunda lebih banyak mengalami kematian diakibatkan oleh kegiatan penangkapan daripada kematian alami.

Parameter pertumbuhan dan mortalitas dari beberapa spesies ikan digunakan untuk memperkirakan tingkat eksploitasi (Khan et al. 2003). Penentuan laju eksploitasi (E) didapatkan dari hasil bagi antara laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z). Semakin besar aktivitas penangkapan di suatu perairan maka akan dapat membuat sumber daya ikan terancam. Laju eksploitasi ikan swanggi betina sebesar 71% dan ikan swanggi jantan sebesar 64% (Tabel 5). Menurut Gulland (1971) in Pauly (1984) angka eksploitasi optimal hanya mencapai 50%, sehingga angka tersebut menunjukkan bahwa ikan swanggi betina dan jantan berdasarkan laju mortalitas dan laju eksploitasi telah mengalami tangkap lebih. Penangkapan berpengaruh terhadap perubahan populasi ikan di suatu perairan (Masrikat 2012). Hasil analisis beberapa penelitian mengenai mortalitas dan laju eksploitasi ikan swanggi dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Mortalitas dan laju eksploitasi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di beberapa lokasi penelitian yang berbeda

(31)

21

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Ikan swanggi di perairan Selat Sunda diduga melakukan pemijahan pada bulan Juni hingga Oktober. Hal ini seiring dengan banyaknya ikan swanggi pada bulan tersebut yang memiliki TKG III dan IV. Pola pertumbuhan ikan swanggi betina maupun jantan mengikuti pola allometrik negatif. Laju eksploitasi ikan swanggi betina mencapai 0,71 dan ikan swanggi jantan mencapai 0,64. Hal ini menunjukkan bahwa laju eksploitasi ikan swanggi telah melebihi laju eksploitasi optimum, sehingga diduga ikan swanggi di perairan Selat Sunda telah mengalami eksploitasi berlebihan.

Saran

Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk alternatif pengelolaan sumber daya ikan swanggi di perairan Selat Sunda. Seperti penutupan daerah penangkapan pada periode waktu pemijahan, sehingga kelestarian sumberdaya ikan swanggi di perairan Selat Sunda tetap terjaga dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Adilaviana T. 2012. Kajian stok ikan swanggi (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, Pandeglang, Banten [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Affandi R, Sulistiono, Firmansyah A, Sofiah S, Brojo M, Mamengke J. 2007. Aspek biologi ikan butini (Glossogobius Matanensis) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 14(1): 13-22.

Bal DV, Rao KV. 1984. Marine Fisheries. New Delhi (IN): McGraw-Hill Publishing Company Limited.

Boer M. 1996. Pendugaan koefisien pertumbuhan (L∞, K, t0) berdasarkan data frekuensi panjang. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 4(1): 75-84.

Brojo M dan Sari RP. 2002. Biologi reproduksi ikan kurisi (Nemipterus Tambuloides Blkr.) Yang didaratkan di tempat pelelangan ikan Labuan, Pandeglang. Jurnal iktiologi Indonesia. 1(2).

(32)

22

Fandri D. 2012. Pertumbuhan dan Reproduksi ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta, Cuvier 1817) di Selat Sunda [skripsi]. Bogor (ID). Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Fujaya Y. 2004. Fisiologi Ikan. PT Rineka Cipta. Jakarta

Handayani T. 2006. Aspek biologi ikan lais di Danau Lais. Journal of Tropical Fisheries. 1(1): 12-23.

Joung SJ, Chen CT. 1992. Age and growth of the big eye Priacanthus hamrur from the surrounding water of Guei-Shan Island, Taiwan. Nippon Suisan Gakkaishi. 58(3):481-488.

Khan, M. A. A., N.U. Sada and Z.A. Chowdhury. 2003. Status of the demersal fishery resources of Bangladesh, p. 63 - 82 In G. Silvestre, L. Garces, I. Stobutzki, M. Ahmed, R.A. Valmonte- Santos, C. Luna, L. Lachica-Aliño, P. Munro, V. Christensen and D. Pauly (eds.) Assessment, Management and Future Directions of Coastal Fisheries in Asian Countries. WorldFish Center Conference Proceedings 67, 1 120 p.

Kunto. 2005. Pertumbuhan, mortalitas, dan kebiasaan makan ikan tawes (Barbodes gonionotus) di Waduk Wonogiri. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11(2):1-7

Masrikat JAN. 2012. Standing stock of demersal fish assessment in southern part of South China Sea. Journal of Coastal Development. 3(15):276-281

Pauly D. 1984. Fish population dynamics in tropical waters : a manual for use with programmable calculator. ICLARM. Manila. Filipina. 325 hal.

Pawar HB, Shirdhankar MM, Barve SK dan Patengen SB. 2010. Discrimination of Nemipterus japonicus (Bloch, 1791) Stock From Maharashtra and Goa States of India. Indian Journal of Geo-Marine Sciences. 40(3):471-475.

Powell AB. 2000. Preliminary identification of the early life history stage of Priacanthid fishes of the Western Central Atlantic. New York (US): NOAA Fisheries.

Premalatha P. 1997. On the fishery and biology Of Priacanthus Hamrur Forsskal along the southwest coast Of India. Indian Journal Fish. 44(3):265-270.

Siagian R. 2014. Kajian stok ikan swanggi (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, Pandeglang, Banten [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sivakami S, Raje SG, Nair KVS, Kumar PPM, Ramani K. 2005. Fishery

potential of bullseyes along the west coast of India. Journal of Marine Biology Association of India. 47(2):185-192.

(33)

23 Subani W dan Barus HR. 1989. Alat penangkapan ikan dan udang laut di

indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 50

Sukamto O. 2010. Kajian dinamika stok ikan mata besar (P. tayenus Richardson 1846) di perairan Utara Jawa Timur yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sulistiono, Kurniati TH, Riani E, dan Watanabe S. 2001. Kematangan

gonad beberapa jenis ikan buntal (Tetraodon lunaris, T. fluviatilis, T. reticularis) di Perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur 1(2): 25-30. Susilawati R. 2000. Aspek biologi reproduksi, makanan, dan pola

pertumbuhan ikan biji nangka (Upeneus moluccensis Blkr.) di Perairan Teluk Labuan, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID). Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Suwarni. 2009. Hubungan panjang-bobot dan faktor kondisi ikan butana (acanthurus mata, cuvier 1829) yang tertangkap di sekitar Perairan Pantai Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan. 19 (3) : 160-165.

Udupa KS. 1896. Statistical method of estimating the size at first maturity of fishes. Fishbyte. 4(2):8-10

Walpole RE. 1993. Pengantar Statistika. PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. 515 hlm.

(34)

24

LAMPIRAN

Lampiran 1 Proses penentuan laju mortalitas total (Z) melalui kurva yang dilinierkan berdasarkan data panjang

Berdasarkan persamaan tangkap atau persamaan Baranov (Baranov 1918 in Sparre dan Venema 1999), tangkapan antara waktu t1 dan t2 sama dengan:

C(t1,t2) =

Z (N(t1) - N(t2)) (1.1)

N (t1) adalah banyaknya ikan pada saat t1, N(t2) adalah banyaknya ikan pada saat t2, F adalah mortalitas penangkapan, dan Z adalah mortalitas total. Fraksi ikan yang mati akibat penangkapan, F/Z disebut laju eksploitasi. Oleh karena itu,

N(t2) = N(t1) e-Z(t2 - t1) (1.2) persamaan Baranov di atas dapat ditulis menjadi:

C((t1,t2)) = N (t1)

Z (1 - e -Z(t

1 - t2) ) (1.3) N (t1) = N(Tr) e-Z(t

1 - Tr) (1.4)

sehingga

C((t1,t2)) = N(Tr) e-Z(t1 - Tr)

Z (1 - e -Z(t

1 - t2) ) (1.5) N (Tr) adalah rekrutmen. Selanjutnya dengan menggunakan logaritma di kiri dan kanan persamaan (1.5) diperoleh:

lnC(t1,t2) = d - Zt1 + ln(1 - e-Z(t2 - t1) ) (1.6) d = lnN (Tr) + ZTr + ln

Z (1.7)

Jika t2 - t1 = t3 - t2 = ... = suatu konstanta dengan satuan waktu diperoleh konstanta baru

g = d + ln(1 - e-Z(t2 - t1) ) (1.8) sehingga persamaan (1.8) dapat ditulis menjadi:

lnC(t1,t2) = g - Zt1 (1.9)

atau

(35)

25

Lampiran 1 (lanjutan)

Menurut Van Sickle (1977) in Sparre dan Venema (1999) cara lain dapat ditempuh untuk menyelesaikan (1.6) melalui

ln(1 - e-x) ≈ ln(X) - � (1.11)

untuk X yang bernilai kecil (X<1.0), sehingga

ln(1 - e-Z(t2 - t1))= ln Z(t2 - t1) - Z t − t (1.12)

dan persamaan (1.6) dapat ditulis

lnC(t1,t2)t2 - t1 = h - Zt1- Z(t2 - t1) (1.13) atau

ln C t,t+Δt

Δt = h - Z(t + Δt) (1.14)

selanjutnya, bentuk konversi data panjang menjadi data umur dengan menggunakan persamaan Von Bertalanffy

t(L) = t0-( ln

(1-∞)) (1.15)

Notasi tangkapan C(t1,t2) dapat diubah menjadi C(L1,L2) atau

C(t,t+Δt) = C (L1,L2) (1.16)

dan

Δt = t(L2) - t(L1) = ( ln ( ∞−

∞− )) (1.17)

Bagian (t + Δ�) pada persamaan (1.14) dapat dikonversi kedalam notasi L1 dan L2 sehingga

t(L1) + Δt) ≈ ( + ) = t0-( ln (1- +

∞ )) (1.18)

sehingga ln C ,

Δt , = h - Z t ( +

) (1.19)

(36)

26

Lampiran 2 Hubungan panjang dan bobot ikan swanggi betina

Berdasarkan data dan bobot ikan swanggi betina selama pengambilan contoh diperoleh statistik sebagai berikut:

Statistik Nilai

b 1,81

sb 0,05

thit 22,56

ttab 2,25

Pada taraf nyata 5% hipotesis yang menyatakan koefisien b sama dengan 3 (tiga) dapat ditolak, sehingga pertumbuhan ikan swanggi betina mengikuti pola pertumbuhan allometrik negatif.

Lampiran 3 Hubungan panjang dan bobot ikan swanggi jantan

Berdasarkan data dan bobot ikan swanggi jantan selama pengambilan contoh diperoleh statistik sebagai berikut:

Statistik Nilai

b 2,17

sb 0,07

thit 10,99

ttab 2,25

Pada taraf nyata 5% hipotesis yang menyatakan koefisien b sama dengan 3 (tiga) dapat ditolak, sehingga pertumbuhan ikan swanggi betina mengikuti pola pertumbuhan allometrik negatif.

Lampiran 4 Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan swanggi betina

Pengambilan contoh TKG Jumlah FR (%)

I II III IV I II III IV

30/05/14 24 29 2 3 58 41 50 3 5

27/06/14 6 1 58 26 91 7 1 64 29

23/07/14 13 6 20 7 46 28 13 43 15

23/08/14 7 2 11 4 24 29 8 46 17

23/09/14 6 10 9 22 47 13 21 19 47

(37)

27 Lampiran 5 Tingkat kematangan gonad ikan swanggi jantan

Pengambilan contoh TKG Jumlah FR (%)

I II III IV I II III IV

30/05/14 31 5 1 0 37 84 14 3 0

27/06/14 31 3 1 4 39 79 8 3 10

23/07/14 19 10 4 0 33 58 30 12 0

23/08/14 30 7 10 4 51 59 14 20 8

23/09/14 20 7 6 3 36 56 19 17 8

24/10/14 16 6 2 0 24 67 25 8 0

Lampiran 6 Ukuran pertama kali matang gonad ikan swanggi (Priacanthus tayenus) betina

SKB SKA Nt Xi Ni Nb Pi 1-(PiQi) x(i+1)-xi Pi*Qi Ni-1

45 73 59 1,7709 1 1 1,0000 0,0000 0,1736 0,0000 0

74 102 88 1,9445 2 2 1,0000 0,0000 0,1237 0,0000 1

103 131 117 2,0682 10 6 0,6000 0,4000 0,0962 0,2400 9

132 160 146 2,1644 91 26 0 1,0000 0,0787 0,0000 90

161 189 175 2,2430 109 77 0,7064 0,2936 0,0666 0,2074 108

190 218 204 2,3096 80 36 0,4500 0,5500 0,0577 0,2475 79

219 247 233 2,3674 15 7 0,4667 0,5333 0,0509 0,2489 14

248 276 262 2,4183 10 0 0 1,0000 0,0456 0,0000 9

277 305 291 2,4639 2 0 0 1,0000 0,0413 0,0000 1

306 334 320 2,5051 0 0 0 1,0000 0,0377 0,0000 -1

335 363 349 2,5428 0 0 0 1,0000 0,0000 0,0000 -1

Jumlah 4,2231 6,7769 0,7720 0,9437 309

Rata- rata 0,3839 0,6161 0,0702 0,0858 28,0909

(38)

28

Lampiran 7 Ukuran pertama kali matang gonad ikan swanggi (Priacanthus tayenus) jantan

SKB SKA Nt Xi Ni Nb Pi 1-(PiQi) x(i+1)-xi Pi*Qi Ni-1

45 73 59 1,7709 0 0 0 1,0000 0,1736 0,0000 -1

74 102 88 1,9445 1 0 0 1,0000 0,1237 0,0000 0

103 131 117 2,0682 14 0 0 1,0000 0,0962 0,0000 13

132 160 146 2,1644 94 3 0 1,0000 0,0787 0,0000 93

161 189 175 2,2430 49 5 0,1020 0,8980 0,0666 0,0916 48

190 218 204 2,3096 42 2 0,0476 0,9524 0,0577 0,0454 41

219 247 233 2,3674 23 2 0,0869 0,9130 0,0509 0,0794 22

248 276 262 2,4183 19 2 0,1053 0,8947 0,0456 0,0942 18

277 305 291 2,4639 14 0 0 1,0000 0,0413 0,0000 13

306 334 320 2,5051 1 0 0 1,0000 0,0377 0,0000 0

335 363 349 2,5428 0 0 0 1,0000 0,0000 0,0000 -1

Jumlah 0,3419 10,6581 0,7720 0,3105 246

Rata-rata 0,0311 0,9689 0,0702 0,0282 22,3636

Log Lm = (2,4183+(0,0702/2))-(0,0702 x0,3419) Lm = 268,78 mm

Lampiran 8 Sebaran Frekuensi ikan swanggi (Priacanthus tayenus)

SK BK Xi Frekuensi

Betina Jantan

45-73 44,5-73,5 59 1 0

74-102 73,5-102,5 88 2 1

103-131 102,5-131,5 117 10 14

132-160 131,5-160,5 146 91 94

161-189 160,5-189,5 175 109 49

190-218 189,5-218,5 204 80 42

219-247 218,5-247,5 233 15 23

248-276 247,5-276,5 262 10 19

277-305 276,5-305,5 291 2 14

306-334 305,5-334,5 320 0 1

(39)

29 Lampiran 9 Pendugaan pertumbuhan ikan swanggi betina

Lt Lt+1 Perpotongan (a) 59,46

Lampiran 10 Pendugaan pertumbuhan ikan swanggi jantan

Lt Lt+1 Perpotongan (a) 151,14

Lampiran 11 Pendugaan mortalitas ikan swanggi betina

(40)

30

Lampiran 12 Pendugaan mortalitas ikan swanggi jantan

SB (mm)

SA (mm)

Xi C (L1,L2) t(L1) ∆t t(L1/L2)/2

(x)

Ln((C(L1,L2)/∆t)

(y)

45 73 59 0 0,1899 0,1697 0,2725 0,0000

74 102 88 1 0,3660 0,1905 0,4584 1,6583

103 131 117 14 0,5637 0,2170 0,6686 4,1668

132 160 146 94 0,7891 0,2522 0,9103 5,9208

161 189 175 49 1,0511 0,3011 1,1946 5,0922

190 218 204 42 1,3640 0,3735 1,5400 4,7225

219 247 233 23 1,7526 0,4921 1,9799 3,8445

248 276 262 19 2,2654 0,7231 2,5868 3,2686

277 305 291 14 3,0214 1,3882 3,5706 2,3110

306 334 320 1 4,4902 0,0000 6,5254 0,0000

335 363 349 0 0 -2,2206 0 0,0000

(41)

31

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Trenggalek pada tanggal 24 Oktober 1993 dari pasangan Misgiono, SPd dan Harimah, SPd sebagai anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan formal pernah dijalani penulis berawal dari TK Dharma wanita Tawing III (1998-1999), SDN Tawing III (1999-2005), SMPN 1 Trenggalek (2005-2008), SMAN II Trenggalek (2008-2011). Pada tahun 2011 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN Undangan. Kemudian diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar

Gambar 1  Peta lokasi penelitian
Tabel 1 Kriteria kematangan gonad modifikasi Cassie (1956) in Effendie (2002).
Gambar 3 Peta distribusi ikan swanggi di seluruh dunia
Tabel 2 Rasio kelamin ikan swanggi (Priacanthus tayenus)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini juga ditemukan pada penelitian Ballerena (2012) yang dihasilkan bahwa ikan swanggi jantan lebih cepat mengalami matang gonad dibandingkan ikan swanggi

Sementara alat tangkap jaring rampus melakukan penangkapan pada lokasi tersebut hanya pada musim peralihan I, musim timur, dan akhir dari musim barat. Ukuran ikan swanggi

Gulland (1982) in Sparre &amp; Venema (1989), menyatakan bahwa untuk keperluan pengelolaan perikanan, suatu sub kelompok dari satu spesies dapat dikatakan sebagai suatu stok

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap beberapa aspek biologi khusus reproduksi (nisbah kelamin, kematangan gonad dan ukuran pertama kali matang gonad) ikan tembang hasil

Penelitian ini bertujuan menganalisis karakter biologi reproduksi ikan selar bentong di perairan Natuna, meliputi nisbah kelamin, ukuran rata-rata pertama kali matang gonad,

hubungan panjang berat, faktor kondisi, ukuran pertama kali matang gonad, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad (IKG),

Rata-rata ukuran pertama kali tertangkap lebih kecil dibandingkan dengan ukuran pertama kali matang gonad sehingga sebelum ikan tersebut tertangkap ikan belum melaku- kan

Studi mengenai biologi reproduksi ikan pelagis kecil yang meliputi rasio jenis kelamin, perkembangan kematangan gonad, dan panjang ikan pertama kali matang gonad, telah