• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebiasaan Makanan Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) yang didaratkan di PPP Labuan, Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebiasaan Makanan Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) yang didaratkan di PPP Labuan, Banten"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

PPP LABUAN, BANTEN

RIZAL RIFAI C24080040

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

i

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

Kebiasaan Makanan Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) yang Didaratkan di PPP Labuan, Banten

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 2 Agustus 2012

(3)

ii

RINGKASAN

Rizal Rifai. C24080040. Kebiasaan Makanan Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) yang didaratkan di PPP Labuan, Banten. Dibawah bimbingan Yonvitner dan Isdradjad Setyobudiandi.

Ikan swanggi (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) termasuk salah satu jenis dari ikan demersal yang umumnya mencari makan secara nokturnal dan diurnal dengan sama baiknya (Starnes 1984). Ikan ini juga bernilai ekonomis dan ekologis tetapi masih belum dikaji. Informasi tentang kebiasaan makanan ini diperlukan dalam perencanaan pengelolaan habitat sumberdaya ikan swanggi dan makanannya sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan swanggi dapat dilakukan secara optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek kebiasaan makanan ikan swanggi dalam kaitannya dengan pengelolaan makanan dan pola pemanfaatan habitat (relung) ikan swanggi (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) di PPP Labuan menurut jenis kelamin, waktu, dan beberapa tingkat ukuran.

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai Oktober 2011 di PPP Labuan, Banten dengan interval pengambilan sampel satu bulan. Pengambilan data dengan metode penarikan contoh acak sederhana (PCAS). Jumlah ikan sampel sebanyak 481 ekor yang terdiri atas 248 ekor ikan jantan dan 233 ekor ikan betina. Ikan yang dianalisis 316 ekor ikan yang terdiri atas 148 ekor ikan jantan dan 168 ekor ikan betina. Analisis yang dilakukan meliputi data panjang total, bobot total, tinggi badan, keliling badan, diameter mata, lebar bukaan mulut, panjang usus.

Ikan swanggi merupakan ikan karnivor dengan rasio (PU/PT) < 1. Makanan utamanya adalah udang-udangan sebesar 71,20% (total), 66,76% (jantan), dan 74,51% (betina). Udang-udangan menjadi makanan utama pada bulan Maret, April, Juli-Oktober (jantan) serta bulan Maret, April, Agustus, dan Oktober (betina). Berdasarkan ukurannya, makanan utama ikan kecil yaitu udang-udangan sedangkan ikan besar yaitu ikan. Luas relung makanan terbesar pada bulan September sebesar 3,9348 sedangkan terendah pada bulan Agustus sebesar 1,8239. Berdasarkan ukurannya, ikan besar memiliki luas relung yang lebih besar dari ikan kecil yaitu sebesar 3,6113 (jantan) dan 2,5948 (betina) sedangkan ikan kecil sebesar 2,7928 (jantan) dan 2,5155 (betina). Nilai tumpang tindih relung makanan terbesar antara Maret dan Oktober sebesar 0,9871 (jantan), Juli dan Oktober sebesar 0,9893 (betina), sedangkan terendah antara bulan Mei dan Agustus sebesar 0,5343 (jantan), April dan September sebesar 0,5776 (betina). Berdasarkan ukurannya, tumpang tindih relung makanan ikan kecil dan ikan sedang sebesar 0,8659 (jantan) dan 0,7873 (betina) Volume makanan ikan swanggi memiliki hubungan secara linier mengikuti persamaan regresi linier Vm = 0,036 PT-3,426 dengan nilai determinasi (R2) sebesar 70,6 %.

(4)

iii

KEBIASAAN MAKANAN IKAN SWANGGI

(

Priacanthus tayenus

Richardson, 1846) YANG DIDARATKAN

DI PPP LABUAN, BANTEN

RIZAL RIFAI C24080040

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(5)

iv

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul Penelitian : Kebiasaan Makanan Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) yang didaratkan di PPP Labuan, Banten Nama Mahasiswa : Rizal Rifai

Nomor Pokok : C24080040

Departemen : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Yonvitner, S.Pi, M.Si. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc. NIP. 19750825 200501 1 003 NIP. 19580705 198504 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002

(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, serta inayah yang diberikan sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Kebiasaan Makanan Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) yang didaratkan di PPP Labuan, Banten. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilaksanakan dari bulan Maret 2011 sampai dengan Oktober 2011 di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Banten. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak atas waktu, masukan, arahan, serta dukungan dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari adanya kekurangan dalam penulisan skripsi ini dan mengharapkan saran dan kritik untuk penyempurnaan tulisan selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan, bagi upaya pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, 17 Juni 2012

(7)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Yonvitner, S.Pi, M.Si. dan Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc., masing-masing selaku pembimbing I dan pembimbing II skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M. Sc selaku dosen penguji tamu dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil serta Dr. Ir. Niken Tunjung Murti Pratiwi, M.Si, masing-masing selaku ketua dan anggota program studi yang telah memberikan saran, nasehat, dan perbaikan yang diberikan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Ir. Gatot Yulianto M.Si., selaku pembimbing akademik atas dukungannya kepada Penulis selama menuntut ilmu di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.

4. Keluarga tercinta, Ibu, Bapak, Mbak Ani, dan Mas Aris serta seluruh keluarga besar atas doa, kasih sayang, semangat, perhatian, kesabaran, dan dukungan baik moril maupun materil yang telah diberikan kepada Penulis.

5. Seluruh staf Tata Usaha dan sivitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor atas bantuan, dukungan dan kesabarannya yang telah diberikan kepada Penulis. 6. Para staf PPP Labuan, Banten atas segala bantuan dan kerja sama.

7. Ayu Siti Wulandari atas saran, masukan, bantuan, semangat, dukungan, dan kasih sayang.

(8)

vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pemalang pada tanggal 27 November 1989 dari pasangan Prayitno dan Endang Wahyuti sebagai putra ketiga dari tiga bersaudara. Pendidikan formal yang pernah dijalani Penulis berawal dari TK Pertiwi Iser (1994-1996), SD Negeri Iser 01 (1996-2002), SLTP Negeri 1 Petarukan (2002-2005), SMA Negeri 1 Pemalang (2005-2008). Pada tahun 2008 Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI, kemudian diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

(9)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

1. PENDAHULUAN ... xi

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Ikan Swanggi ... 3

2.1.1. Klasifikasi dan tata nama... 3

2.1.2. Morfologi ... 4

2.2. Habitat dan Penyebaran ... 4

2.3. Alat Tangkap ... 5

2.4. Makanan dan Kebiasaan Makanan ... 6

2.5. Luas Relung dan Tumpang Tindih Relung Makanan ... 8

2.6. Anatomi Alat Pencernaan Makanan dan Kebiasaan Makanan ... 9

2.7. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ... 10

3. BAHAN DAN METODE ... 12

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 12

3.2. Alat dan Bahan ... 13

3.3. Pengumpulan Data ... 13

3.4. Analisis Data ... 14

3.4.1. Komposisi makanan ... 14

3.4.2. Luas relung makanan ... 14

3.4.3. Penentuan tumpang tindih ... 15

3.4.4. Hubungan volume makanan dengan panjang tubuh ... 16

3.4.5. Struktur morfologis dan anatomis alat pencernaan ... 16

4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 19

4.1. Karakteristik Lokasi Penelitian ... 19

4.2. Komposisi Hasil Tangkapan di PPP Labuan ... 20

4.3. Struktur Morfologis dan Anatomis Alat Pencernaan ... 22

4.4. Komposisi Jenis Makanan ... 23

4.4.1. Komposisi jenis makanan berdasarkan jenis kelamin ... 24

4.4.2. Komposisi makanan berdasarkan waktu pengamatan ... 26

(10)

ix

4.5. Luas Relung Makanan ... 32

4.5.1. Luas relung makanan berdasarkan jenis kelamin ... 32

4.5.2. Luas relung makanan berdasarkan waktu pengamatan ... 33

4.5.3. Luas relung makanan berdasarkan ukuran selang kelas panjang ... 34

4.6. Tumpang Tindih Relung Makanan Ikan Swanggi ... 34

4.6.1. Tumpang tindih relung makanan ikan swanggi berdasarkan jenis kelamin ... 35

4.6.2. Tumpang tindih relung makanan ikan swanggi berdasarkan waktu pengambilan contoh ... 35

4.6.3. Tumpang tindih relung makanan ikan swanggi berdasarkan selang kelas ukuran panjang ... 38

4.7. Hubungan Volume Makanan dengan Panjang Tubuh ... 39

4.8. Alternatif Pengelolaan Sumberdaya Ikan Swanggi ... 40

5. KESIMPULAN DAN SARAN... 42

5.1. Kesimpulan ... 42

5.2. Saran ... 42

(11)

x

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Sampel (data pengamatan) ... 17

2. Frekuensi yang diharapkan ... 17

3. Data panjang dan bobot berdasarkan waktu pengamatan ... 21

4. Jumlah ikan contoh yang diambil ... 22

5. Nilai perbandingan parameter-parameter morfologis dan anatomis ... 22

6. Komposisi makanan ikan swanggi ... 24

7. Luas relung makanan berdasarkan jenis kelamin selama penelitian... 33

8. Luas relung makanan berdasarkan waktu pengamatan ... 33

9. Luas relung makanan berdasarkan ukuran selang kelas panjang ... 34

10. Tumpang tindih relung makanan berdasarkan waktu pengamatan. ... 35

11. Tumpang tindih relung makanan berdasarkan waktu pengamatan. ... 36

12. Tumpang tindih relung makanan ikan jantan berdasarkan waktu pengamatan ... 37

13. Tumpang tindih relung makanan ikan betina berdasarkan waktu pengamatan ... 38

14. Tumpang tindih relung makanan berdasarkan selang kelas ukuran panjang ... 38

15. Tumpang tindih relung makanan ikan jantan berdasarkanselang kelas ukuran panjang ... 39

(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) ... 3

2. Peta distribusi ikan swanggi di indonesia ... 5

3. Peta lokasi penelitian ... 11

4. Komposisi hasil tangkap ikan demersal kecil di ppp labuan ... 20

5. Komposisi makanan berdasarkan jenis kelamin. ... 25

6. Komposisi makanan berdasarkan waktu pengamatan. ... 27

7. Komposisi makanan ikan jantan berdasarkan waktu pengamatan. ... 28

8. Komposisi makanan ikan betina berdasarkan waktu pengamatan ... 29

9. Komposisi makanan berdasarkan selang kelas panjang. ... 30

10.Komposisi makanan ikan jantan berdasarkan selang kelas panjang. ... 31

11.Komposisi makanan ikan betina berdasarkan selang kelas panjang. ... 31

(13)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Indeks of preponderance dan luas relung makanan ikan total ... 47

2. Indeks of preponderance dan luas relung makanan ikan jantan ... .. 47

3. Indeks of preponderance dan luas relung makanan ikan betina ... .. 48

4. Indeks of preponderance ikan swanggi berdasarkan waktu pengamatan . 48 5. Indeks of preponderance ikan jantan berdasarkan waktu pengamatan .. .. 49

6. Indeks of preponderance ikan betina berdasarkan waktu pengamatan .. .. 49

7. Indeks of preponderance ikan swanggi berdasarkan selang kelas ukuran panjang ... .. 50

8. Contoh perhitungan tumpang tindih jantan dan betina ... .. 50

9. Hubungan panjang tubuh dan volume makanan ... .. 51

10.Contoh perhitungan rasio panjang usus terhadap panjang tubuh ... .. 52

11.Alat dan bahan yang digunakan ... .. 54

12.Insang ikan swanggi ... .. 55

13.Makanan ikan swanggi ... .. 55

(14)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan swanggi (Priacanthus tayenus Ricahrdson, 1846) merupakan salah satu jenis ikan demersal yang umumnya mendiami suatu perairan dasar atau daerah berbatu. Ikan swanggi termasuk ke dalam salah satu dari enam ikan demersal ekonomis penting di Laut Cina Selatan (Ibrahim et al. 2003). Secara umum ikan ini mencari makan secara nokturnal tetapi dapat juga mencari makan secara diurnal dengan sama baiknya. Makanan utamanya adalah dari jenis crustacea (dominan udang), cephalopoda kecil, polychaeta, dan ikan kecil (Starnes 1984).

Kebiasaan makanan ikan swanggi meliputi kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan oleh ikan swanggi. Kebiasaan makanan ikan ini dapat diketahui melalui analisis makanan yang terdapat di dalam saluran pencernaan dan membandingkan dengan makanan yang terdapat di perairan. Perbandingan tersebut akan menunjukkan apakah suatu hewan cenderung memilih jenis makanan tertentu sebagai pakannya atau tidak (Effendie 2002).

Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan merupakan salah satu pelabuhan perikanan yang digunakan sebagai tempat pendaratan ikan swanggi dari hasil tangkapan nelayan di perairan Selat Sunda. Berdasarkan hasil pengamatan sebelumnya di PPP Labuan, ikan ini selalu tertangkap setiap bulan dan merupakan ikan dominan kelima untuk jenis ikan demersal kecil di PPP Labuan. Ikan ini ditangkap oleh nelayan di perairan Selat Sunda dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus serta salah satunya di daratkan di PPP Labuan.

(15)

2

Penelitian tentang aspek kebiasaan makanan ikan swanggi sangat terbatas. Penelitian yang dilakukan umumnya berada di luar perairan Indonesia. Penelitian yang dilakukan diantaranya penelitian dari Ibrahim et al. (2003) di Zona Ekonomi Eksklusif pesisir utara Peninsular Malaysia di Laut Cina Selatan dari bulan September 1999 sampai November 1999, penelitian yang dilakukan oleh Rao (1967) di teluk Bengal, dan penelitian yang dilakukan oleh Hajisamae (2009) yang dilakukan di perairan pesisir dari Pattani dan Narathiwas, Thailand dari Maret 2006 sampai November 2006.

1.2. Perumusan Masalah

Ikan swangi merupakan ikan yang bernilai ekonomis dan selalu tertangkap setiap bulannya di PPP Labuan, Banten. Namun, pengkajian tentang informasi biologi dari ikan ini belum dilakukan termasuk aspek kebiasaan makanannya. Oleh karena itu, diperlukan informasi mengenai aspek kebiasaan makanan dan pola pemanfaatan habitat dari ikan swanggi agar dapat dijadikan sumber informasi penunjang pengelolaan sehingga potensinya dapat dimanfaatkan secara optimal.

1.3. Tujuan Penelitian

(16)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Swanggi

2.1.1. Klasifikasi dan Tata Nama

Menurut Richardson (1846) in Starnes (1984) taksonomi ikan swanggi (Gambar 1) adalah sebagai berikut.

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces

Subkelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Subordo : Percoidei Famili : Priacanthidae Genus : Priacanthus

Spesies : Priacanthus tayenus (Richardson 1846)

Nama FAO : Purple-spotted bigeye, Beauclaire tache pourpre (perancis), Catalufa mota purpúreo (Spanyol).

Nama Indonesia : Ikan Swanggi.

Nama Lokal : Ikan raja gantang (Banten). swangi/semerah padi (PPN Pemangkat), swanggi (Pelabuhan Perikanan Banjarmasin), swangi (PPP Tegalsari), mata bulan (PPN Ambon), camaul (PPN Palabuhanratu), belong (PPN Pekalongan), capa (PPN Sibolga), swanggi (PPS Jakarta), golok sabrang (PPN Brondong), swanggi (PPN Prigi) (www.pipp.dkp.go .id. 2009 in Wangsadinata 2009).

(17)

4

2.1.2. Morfologi

Ikan swanggi secara morfologi memiliki badan agak tinggi, agak memanjang, dan pipih secara lateral. Tubuh, kepala, iris mata, dan sirip berwarna merah muda atau kemerah-merahan. Pada sirip perut memiliki bintik-bintik kecil berwarna ungu kehitam-hitaman dengan 1 atau 2 titik lebih besar di dekat perut. Bintik-bintik pada sirip perut ini yang membedakan ikan swanggi dengan ikan famili Priacanthidae yang lain (FAO 1999). Panjang maksimum ikan swanggi yaitu 29,5 cm di Brunei Darussalam (Fishbase in Awong et al. 2011).

Tulang belakang pada preoperkulum berkembang dengan baik. Jumlah tulang tapis insang pada lengkung insang pertama 21 sampai 24. Jari-jari sirip punggung berjumlah X jari-jari keras dan 11 sampai 13 jari-jari lemah. Jari-jari pada sirip dada 17-19. Sisik-sisik pada bagian tengah lateral dengan bagian posterior atas hilang dan memiliki sedikit duri kecil pada ikan yang lebih besar. Sisik-sisik lateral berjumlah 56 sampai 73 dan sisik-sisik linear lateralis berjumlah 51 sampai 67. Sisik pada baris vertikal (dari awal sirip dorsal sampai anus) 40 sampai 50 (FAO 1999).

2.2. Habitat dan Penyebaran

(18)

5

Gambar 2. Daerah Penyebaran Ikan Swanggi Sumber : www.aquamaps.org (diakses 1 Agustus 2012)

2.3. Alat Tangkap

Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan swanggi salah satunya yaitu dengan cantrang. Cantrang, dogol, dan payang diklasifikasikan ke dalam alat

tangkap “Danish Seine” berbentuk panjang dan penggunaannya untuk menangkap ikan demersal (Subani W dan Barus HR 1989). Alat tangkap cantrang dioperasikan dengan kapal berukuran panjang 8,5-11 m, lebar 1,5-2,5 m, dan tinggi 1-1,5 m (Budiman 2006). Operasi penagkapan ikan swanggi berlangsung selama 6-12 jam . Kapal nelayan berangkat pada dinihari dan perjalanan menuju fishing ground selama 3-6 jam. Setting dilakukan terhadap kondisi perairan yang tenang dengan warna air biru kehijauan. Pengoperasian cantrang dilakukan selama 6 jam. Setelah hasil tangkapan telah didapatkan, kapal menuju ke darat selama 3-6 jam.

Subani W dan Barus HR (1989) menyatakan daerah penangkapan (fishing ground) cantrang tidak jauh dari pantai, pada bentuk dasar perairan berlumpur atau lumpur berpasir dengan permukaan dasar rata. Daerah tangkapan yang baik untuk

(19)

6

Selain dengan alat tangkap cantrang, ikan swanggi dapat juga ditangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring insang dasar (bottom gillnet). Jaring insang merupakan jaring besar berbentuk dinding vertikal yang menggantung di air. Tertangkapnya cara menjerat operkulum insang pada mata jaring (Sainsbury 1986 in Emmanuel et al. 2008). Proses penangkapan ikan swanggi dengan jaring insang dasar berlangsung selama 9-15 jam. Kapal nelayan berangkat pada pagi hari dan perjalanan menuju fishing ground selama 3-5 jam. Pengoperasian cantrang dilakukan selama 3 jam. Setelah hasil tangkapan telah didapatkan, kapal menuju ke darat selama 3-5 jam. Alat bantu pada jaring insang dasar berupa net hauler atau net drum, berfungsi untuk menarik jaring pada saat hauling.

Berdasarkan data harian PPP Labuan selama tahun 2010, ikan swanggi merupakan hasil tangkapan dominan kelima sebesar (8,25 %) dari seluruh hasil tangkapan ikan demersal kecil yang didaratkan di PPP Labuan, Banten. Hasil tangkapan ikan swanggi merupakan hasil tangkapan terbesar setelah ikan kuwe (24,70%), kurisi (23,43%), kuniran (23,04%) dan kapasan (13,70%).

2.4. Makanan dan Kebiasaan Makanan

Makanan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pertumbuhan ikan. Untuk merangsang pertumbuhan ikan yang optimal, diperlukan jumlah dan mutu makanan dalam keadaan cukup serta sesuai dengan kondisi perairan. Makanan tersebut, dimanfaatkan dan digunakan untuk memelihara tubuh ikan dan mengganti sel-sel tubuh yang rusak (Effendie 2002).

(20)

7

Nikolsky (1963) menyatakan bahwa makanan ikan dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan hubungan antara ikan dengan makanannya, yaitu (1) makanan utama, yaitu makanan yang biasanya dimakan dalam jumlah yang banyak; (2) makanan sekunder atau pelengkap, yaitu makanan yang biasa dimakan dan ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit; (3) makanan insidental atau tambahan, yaitu makanan yang terdapat di saluran pencernaan dengan jumlah yang sangat sedikit.

Berdasarkan kepada bermacam-macam spesialisasi dari kebiasaan makanan, ikan dapat dibagi menjadi kategori ikan monophagus, yaitu ikan yang hanya mengkonsumsi satu macam makanan. Ikan stenophagus mengkonsumsi macam makanan yang terbatas. Kategori berikutnya adalah ikan euryphagus dietnya bermacam-macam atau campuran. Dilihat dari segi spesialisasi makanannya, maka ikan swanggi termasuk ikan karnivor dan stenophagus. Hal ini disebabkan ikan swanggi memiliki gigi untuk menyergap, menahan, dan merobek mangsa. Ikan swanggi juga memiliki lambung benar, palsu, usus pendek, tebal, dan elastic serta memiliki jenis makanan yang terbatas (Effendie 2002).

Ikan famili Priacanthidae hidup secara soliter atau kelompok kecil tetapi beberapa spesies membentuk kelompok besar. Pada fase telur, larva, dan awal juvenil, ikan swanggi hidup secara pelagis dan berubah sesuai dengan lingkungan yang cocok. Dalam hal makanan, famili Priacanthidae umumnya mencari makan secara nokturnal tetapi dapat juga mencari makan secara diurnal dengan sama baiknya. Makanan utamanya yaitu dari jenis crustacea, cephalopods kecil, polychaetes, dan ikan kecil (Starnes 1984).

(21)

8

Menurut Hajisamae (2009), makanan ikan swanggi berupa udang 36,6 %, Amphipoda 18,6 %, Polychaeta 16,3%, Calanoid Copepoda 16,0 %, ikan 5,7 %, Cryptid 2,9 %, Rajungan 1,9 %, lain-lain 1,5 %, dan sudah tercerna 0,5 %. Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir di Pattani and Narathiwas, Thailand dari bulan Maret 2006 sampai November 2006. Ikan contoh yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 45 ikan .

Menurut Ibrahim S et al. (2003), makanan ikan swanggi di laut cina Selatan berupa Penaeus sp. 75,3 %, Polychaeta 23,7%, Loligo sp. 20,0 %, Stolephorus sp. 2,6%, Upeneus sp. 1,6%, Squilla sp 1,6%, Apogon sp. 0,7%, Sepia 0,7%, dan tidak teridentifikasi 27 %. Penelitian ini dilakukan di Zona Ekonomi Eksklusif di pesisir utara Peninsular Malaysia dari September 1999 sampai November 1999. Ikan contoh yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 329 ikan dengan 304 ikan yang dianalis isi perutnya.

2.5. Luas Relung dan Tumpang Tindih Relung Makanan

Luas relung merupakan daerah pemanfaatan sumberdaya makanan oleh suatu jenis organisme. Luas relung habitat atau makanan mencerminkan adanya selektivitas kelompok ukuran ikan antar individu dalam satu spesies yang sama terhadap sumberdaya habitat atau makanan tertentu (Krebs 1989). Ikan yang memiliki luas relung makanan kecil atau sempit menggambarkan bahwa ikan tersebut melakukan seleksi terhadap sumberdaya yang tersedia di perairan sedangkan ikan yang memakan beragam sumberdaya diduga luas relungnya meningkat walaupun sumberdaya yang tersedia menurun. Luas relung akan tinggi jika suatu organisme memakan jenis makanan yang beragam dan masing-masing jenis yang dimakan dalam jumlah yang sama. Sebaliknya luas relung akan rendah jika suatu organisme hanya memanfaatkan satu jenis makanan (Levins 1968 in Krebs 1989).

(22)

9

juga dipengaruhi oleh seberapa besar ikan tersebut dapat memanfaatkan sumberdaya yang tersedia.

Tumpang tindih relung makanan adalah penggunaan bersama atas seluruh sumberdaya makanan oleh dua spesies atau lebih (Colwell & Futuyama 1971). Dengan kata lain, tumpang tindih makanan adalah daerah luas relung yang dihuni oleh dua penghuni relung atau lebih. Penyeleksian makanan yang dikonsumsi dapat terjadi jika beberapa tipe mangsa hadir secara bersamaan dan adanya satu individu yang diperebutkan oleh banyak pemangsa.

Tumpang tindih relung makanan dapat terjadi bila ada kesamaan jenis makanan yang dimanfaatkan oleh dua atau lebih kelompok ikan. Kesamaan pemanfaatan makanan atau habitat mencerminkan adanya penggunaan bersama sumberdaya habitat atau makanan yang ada oleh dua kelompok ukuran ikan atau lebih, interspesifik, atau intraspesifik (Krebs 1989).

Besarnya nilai tumpang tindih relung makanan berindikasi terjadinya kompetisi. Jika nilai tumpang tindih yang diperoleh berkisar satu maka kedua kelompok yang dibandingkan mempunyai jenis makanan yang sama. Sebaliknya, jika nilai tumpang tindih yang diperoleh sama dengan nol maka tidak diperoleh jenis makanan yang sama antara kedua kelompok yang dibandingkan. Nilai tumpang tindih yang tinggi dapat diakibatkan oleh kelimpahan jenis organisme yang dominan diperairan (Colwell & Futuyama 1971).

2.6. Anatomi Alat Pencernaan Makanan dan Kebiasaan Makanan

(23)

10

Ikan swanggi termasuk ke dalam jenis ikan karnivor. Untuk mengetahui kebiasaan makanannya, maka perlu dilakukan pengamatan organ-organ pencernaannya. Organ yang diamati salah satunya yaitu lambung. Lambung merupakan organ pencernaan yang diameternya lebih besar dibandingkan dengan organ pencernaan yang lainnya. Lambung berfungsi sebagai penampung dan pencerna makanan secara kimiawi. Organ lain yang juga berperan dalam pencernaan makanan yaitu pyloric caeca. Organ ini berupa usus-usus pendek dan buntu yang terletak diantara lambung dan usus berfungsi untuk membantu proses pencernaan makanan dan penyerapan makanan (Affandi et al. 2004).

Menurut Huet (1971), struktur anatomis organ pencernaan ikan karnivor yaitu tapis insang berjumlah sedikit, berukuran pendek, dan kaku. Rongga mulutnya secara umum bergerigi tajam dan kuat. Lambung ikan karnivor memiliki bentuk yang bervariasi dan ususnya lebih pendek dari panjang tubuhnya.

2.7. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Dalam Undang–undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dijelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan adalah semua upaya yang dilakukan bertujuan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan secara optimal dan terus menerus. Menurut Gulland (1982), tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi :

1. Tujuan yang bersifat fisik – biologi, yaitu dicapainya tingkat pemanfaatan dalam level hasil maksimum yang lestari (maximum sustainable yield = MSY).

2. Tujuan yang bersifat ekonomi, yaitu tercapainya keuntungan maksimum dari pemanfaatan sumberdaya ikan atau maksimalisasi profit (net income) dari perikanan.

3. Tujuan yang bersifat sosial, yaitu tercapainya keuntungan sosial yang maksimal, misalnya maksimalisasi penyediaan pekerjaan, menghilangkan adanya konflik kepentingan diantara nelayan dan anggota masyarakat lainnya.

Dwiponggo (1983) in Pranggono (2003) mengatakan, tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dicapai dengan beberapa cara, antara lain:

(24)

11

2. Menjamin pemanfaatan berbagai jenis ekosistem secara berlanjut.

3. Menjaga keanekaragaman hayati (plasma nuftah) yang mempengaruhi ciri–ciri, sifat dan bentuk kehidupan.

4. Mengembangkan perikanan dan teknologi yang mampu menumbuhkan industri yang mengamankan sumberdaya secara bertanggung jawab.

Badrudin (1986) in Lembaga Penelitian UNDIP (2000) menyatakan bahwa prinsip pengelolaan sediaan ikan dapat dikategorikan sebagai berikut :

1. Pengendalian jumlah upaya penangkapan : tujuannya adalah mengatur jumlah alat tangkap sampai pada jumlah tertentu.

2. Pengendalian alat tangkap : tujuannya adalah agar usaha penangkapan ikan hanya ditujukan untuk menangkap ikan yang telah mencapai umur dan ukuran tertentu.

Berdasarkan prinsip tersebut, maka pengelolaan sumberdaya perikanan harus memiliki strategi sebagai berikut :

1. Membina struktur komunitas ikan yang produktif dan efisien agar serasi dengan proses perubahan komponen habitat dengan dinamika antar populasi.

2. Mengurangi laju intensitas penangkapan agar sesuai dengan kemampuan produksi dan daya pulih kembali sumberdaya ikan, sehingga kapasitas yang optimal dan lestari dapat terjamin.

(25)

12

3. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini merupakan program penelitian terpadu bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan yang dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Oktober 2011 di PPP Labuan, Kec. Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten (Gambar 3) dengan interval pengambilan contoh satu bulan. Ikan contoh diperoleh dari hasil tangkapan nelayan yang menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring insang dasar dan didaratkan di PPP Labuan, Banten. Pengukuran dan penimbangan ikan contoh dilakukan di laboratorium Biologi Perikanan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

(26)

13

3.2. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan antara lain penggaris dengan ketelitian 1 mm ± 0,5 mm, timbangan digital dengan ketelitian 0,0001 gram, alat bedah, botol film, pipet tetes, gelas ukur 10 ml dan 50 ml, cawan petri, mikroskop, baki, dan alat dokumentasi. Bahan yang digunakan adalah ikan swanggi, yang merupakan hasil tangkapan nelayan di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, akuades, dan formalin 4% untuk pengawetan organ pencernaan ikan swanggi.

3.3. Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode penarikan contoh acak sederhana (PCAS) pada ikan swanggi yang memiliki fishing ground dan tertangkap di sekitar perairan Labuan serta didaratkan di PPP Labuan, Banten. Ikan contoh yang diambil sebanyak 50-74 ekor ikan tiap bulanya dan diidentifikasi melalui pengamatan morfolgi ikan. Ikan contoh berasal dari hasil tangkapan nelayan yang didaratkan pada saat pengambilan contoh.

(27)

14

Analisis isi lambung ikan contoh dilakukan di laboratorium. Ikan contoh dibedah, kemudian usus dan lambungnya diambil serta dimasukkan ke dalam botol contoh dengan formalin 4% untuk pengawetan. Pada saat analisis isi perut, lambung dikeluarkan isinya dan dikeringkan. Kemudian dilakukan identifikasi organisme dan diukur volumenya masing-masing untuk setiap jenis organisme yang ditemukan.

3.4. Analisis Data

3.4.1. Komposisi Makanan

Analisis kebiasaan makanan menggunakan indeks bagian terbesar menurut Natarajan & Jhingran 1963 in Sjafei & Robiyani 2001.

IPi

=

Keterangan :

IPi = indeks bagian terbesar

Vi = persentase volume makanan ke i

Oi = frekuensi kejadian makanan ke i

3.4.2. Luas Relung Makanan

Luas relung makanan mengindikasikan bahwa jenis makanan yang dikonsumsi oleh ikan lebih beragam. Luas relung dievaluasi berdasarkan makanan yang dikonsumsi oleh ikan dan dihitung dengan menggunakan indeks Levin in Umar et al. 2007:

 1 2

Pij Bi

Keterangan :

Bi = Lebar relung/luas relung ikan ke-i

(28)

15 1 1    n Bi Ba Keterangan :

Ba = Standarisasi Relung

Pij2 = kuadrat proporsi spesies ke-i kelompok ikan ke-j

n = jumlah organisme pada selang yang akan dicari

3.4.3. Penentuan Tumpang Tindih

Tumpang tindih relung adalah penggunaan bersama suatu sumber daya atau lebih oleh dua spesies ikan atau lebih atau tingkat kesamaan jenis makanan antara kelompok ikan pertama dan kedua.

Penentuan nilai tumpang tindih dengan menggunakan rumus dari morishita in Kaeriyama et al. 2002

 2 2 * 2

Pik Pij Pij Pik CH Keterangan:

CH = Tingkat kesamaan jenis makanan Pij = proporsi spesies ke-i kelompok ikan ke-j

Pik = proporsi spesies ke-i kelompok ikan ke-k

Pij2 = kuadrat proporsi spesies ke-i kelompok ikan ke-j

Pik2 = kuadrat proporsi spesies ke-i kelompok ikan ke-k

Pij (proporsi spesies ke-i kelompok ikan ke-j) didapat dengan rumus

sebagai berikut.

Volume nismeKe VolumeOrga

Pij i

Pik (proporsi spesies ke-i kelompok ikan ke-j) didapat dengan rumus

sebagai berikut.

Volume nismeKe VolumeOrga
(29)

16

3.4.4. Hubungan Volume Makanan dengan Panjang Tubuh

Volume makanan memiliki hubungan secara linier mengikuti persamaan regresi linier dengan nilai persentase makanan sebagai variabel dependent (y) dan panjang tubuh ikan sebagai variabel independent (x) (Walpole 1992). Ikan swanggi yang digunakan dalam hubungan volume makanan dengan panjang tubuh ini merupakan ikan swanggi dengan isi lambung penuh yang mengikuti persamaan.

V m

= α + β

*PT

Keterangan

Vm = Volume makanan (ml)

α dan β = konstanta

PT = Panjang tubuh total (mm)

Pengujian hipotesis dilakukan untuk mengetahui apakah semakin panjang ikan maka volume makanan ikan akan semakin besar. Hipotesis yang digunakan adalah, hipotesis nol yaitu semakin panjang tubuh ikan maka volume makanan tetap dan hipotesis satu yaitu semakin panjang tubuh ikan semakin besar volume makanannya.

3.4.5. Struktur Morfologis dan Anatomis Alat Pencernaan

Struktur morfologis dan anatomis alat pencernaan ikan swanggi yang dianalisis berupa panjang tubuh, panjang usus, tinggi badan, keliling badan, diameter mata, dan lebar bukaan mulut. Nilai perbandingan parameter-parameter tersebut dikelompokkan menjadi dua kelompok ukuran yaitu kelompok ukuran ikan kecil dan ikan besar. Perbedaan dua kelompok ukuran tersebut diuji dengan menggunakan uji khi kuadrat (X2) menurut Yusnandar ME & Sejati S. 2006 berdasarkan hipotesis:

H0 : p1 = p2

H1 : p1≠ p2

Dengan kriteria pengujian :

(30)

17

Formula dari pengamatan data dan frekuensi yang diharapkan (Yamane in Yusnandar & Sejati 2006) digambarkan sebagai berikut.

Tabel 1. Sampel (Data Pengamatan)

Peubah

bebas

Peubah tidak

bebas Total

B1 B2

A1 a B a+b

A2 c D c+d

Total a+c b+d N

Tabel 2. Frekuensi yang diharapkan

Peubah bebas Peubah tidak bebas Total

B1 B2

A1 np1.p1 np1.np2 np1.

A2 np2.p1 np2.np2 np2.

Total np.1 np.2 N

Sedangkan formula dari Khi Kuadrat (X2) sebagaimana yang dikemukakan Steel & Torie in Yusnandar & Sejati 2006 yaitu :

X2hit =∑ ∑

dengan nilai Eij = (ni. x n.j ) / n dan derajat bebas (df) yang dipenuhi adalah (r-1) (c-1) pada α=5%.

Keterangan :

X2 = Khi kuadrat

(31)

18

Kemudian nilai perbandingan tersebut diuji dengan menggunakan pengujian proporsi sebagaimana yang dikemukaan oleh Walpole 1992 berdasarkan hipotesis

H0 : p1 = p2

H1 : p1 < p2 atau p1 > p2

Taraf nyata α = 5%, dengan wilayah kritis z ≤ -zαbila hipotesis alternatifnya p < p0,

danwilayah kritis z ≥ zαbila hipotesis alternatifnya p > p0. Keputusan tolak H0 bila z

jatuh dalam wilayah kritis sedangkan gagal tolak h0 bila berada di luar wilayah

kritis.

z =

Keterangan

z = nilai uji z hitung x = rata-rata contoh n = jumlah contoh

po = proporsi contoh yang berhasil

(32)

19

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Lokasi Penelitian

PPP Labuan secara administratif terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. PPP Labuan memilik batas administrative yaitu di sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Labuan dan Desa Cigondang, sebelah utara berbatasan dengan Desa Caringin dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Banyumekar (Kartika 2007). Posisi PPP Labuan berada pada wilayah perairan Selat Sunda yang merupakan Alur Kepulauan Indonesia 1 (ALKI-1). Lokasi PPP Labuan berada pada titik koordinat 06°24’30’’LS

dan 105°49’15’’BT (Irhamni 2009).

PPP Labuan terdiri atas TPI 1 dan TPI 3 yang berada di muara sungai Cipunteun, serta TPI 2 berada di tepi pantai terbuka. TPI 1 dan TPI 3 digunakan sebagai pelabuhan bagi armada kapal obor, jaring rampus, dan dogol dengan jenis kapal motor yang dioperasikan di berukuran 0-5 GT dan 5-10 GT, sementara kapal motor yang dioperasikan di TPI 2 berukuran lebih dari 10 GT karena merupakan pelabuhan bagi armada kapal purse seine.

Jenis alat tangkap yang beroperasi di PPP Labuan yaitu payang, purse seine, jaring rampus, gillnet, pancing, jaring arad, dan dogol. Alat tangkap yang terbanyak adalah jaring arad, pancing, dan gillnet masing-masing berjumlah 119 unit, 68 unit, dan 65 unit (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang, 2008).

(33)

20

4.2. Komposisi Hasil Tangkapan di PPP Labuan

PPP Labuan merupakan pelabuhan perikanan pantai terbesar di Kabupaten Pandeglang. Pelabuhan ini digunakan sebagai fasilitas yang disediakan pemerintah kepada masyarakat nelayan di sekitar Pandeglang untuk melakukan transaksi kegiatan perikanan. Kegiatan perikanan yang dilakukan di PPP Labuan salah satunya yaitu pendaratan hasil tangkapan nelayan. Berdasarkan hasil tangkapan nelayan tersebut, ikan swanggi menempati urutan kelima dari seluruh hasil tangkapan ikan demersal kecil di PPP Labuan yaitu sebesar (8,25%) setelah ikan kue (24,70%), kurisi (23,43%), kuniran (23,04%), dan kapasan (13,70%) di PPP Labuan seperti yang disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Komposisi hasil tangkapan ikan demersal kecil di Labuan Sumber: modifikasi data sekunder PPP 1 Labuan tahun 2011

Jenis ikan swanggi yang tertangkap adalah Priacanthus tayenus dengan daerah penangkapan kurang lebih tiga jam perjalanan menuju Pulau Rakata, Pulau Liwungan, Sumur, Carita, Panaitan, Tanjung Lesung, Tanjung Alang-alang, dan sekitar Pulau Sebesi. Ikan swanggi yang tertangkap berasal dari hasil tangkapan nelayan dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Selain ikan swanggi, jenis tangkapan yang dihasilkan alat tangkap tersebut diantaranya ikan pepetek, kurisi, kuniran, kapasan.

24,70%

23,43% 23,04%

13,70% 8,25%

6,89%

Kue

Kurisi

Kuniran

Kapasan

Swanggi

(34)

21

[image:34.595.105.511.332.497.2]

Ikan swanggi yang dijadikan contoh diambil di PPP Labuan dari bulan Maret sampai bulan Oktober. Seperti terlihat pada Tabel 3, panjang rata-rata ikan swanggi tertinggi terdapat pada pengambilan contoh bulan September yaitu sebesar 226,76 mm dan panjang rata-rata ikan swanggi terendah terdapat pada pengambilan contoh bulan Juli yaitu sebesar 132,23 mm. Bobot rata-rata ikan swanggi tertinggi juga terdapat pada bulan September yaitu sebesar 146,97 gram dan bobot rata-rata ikan swanggi terendah juga terdapat pada bulan Juli yaitu sebesar 33,86 gram. Hal ini dikarenakan pada bulan Juli terjadi rekruitmen stok baru sehingga ukuran yang ditangkap rata-rata berukuran kecil sedangkan pada bulan September merupakan puncak pemijahan sehingga ukuran rata-rata ikan yang tertangkap berukuran besar.

Tabel 3. Data panjang dan bobot berdasarkan waktu pengamatan

Bulan

Panjang Bobot

Selang Kelas (mm)

Rata-rata (mm)

+ STDEV Selang Kelas (gr)

Rata-rata (gr) + STDEV Maret 153-235 184 ± 18 54,0029 - 119,0031 84,6923 ± 13,0479

April 128-203 152 ± 18 29,1236 - 98,0993 46,9628 ± 17,5935 Mei 135-288 192 ± 41 30,3643 - 160,5854 74,8739 ± 34,6854 Juni 105-230 196 ± 18 16,6332 - 135,6983 97,3981 ± 19,9712 Juli 112-146 132 ± 8 24,1442 – 46,9576 33,8619 ± 5,2319 Agustus 120-199 152 ± 18 35,9765 – 87,7712 57,7249 ± 12,4491 September 180-281 227 ± 20 94,3702 – 146,9712 115,7770 ± 12,0995

Oktober 136-195 164 ± 12 35,5487 – 83,5632 60,0138 ± 12,1405

(35)
[image:35.595.45.551.31.817.2]

22 Tabel 4. Jumlah ikan contoh yang diambil

SK (mm)

Jumlah ikan contoh (ekor)

Jumlah ikan yang dianalisis (ekor)

Total Jantan Betina Total Jantan Betina

Ikan kecil 366 214 152 248 96 152

Ikan besar 115 34 81 68 52 16

Jumlah 481 248 233 316 148 168

4.3. Struktur Morfologis dan Anatomis Alat Pencernaan

Struktur morfologis dan anatomis alat pencernaan ikan swanggi yang dianalisis berupa panjang tubuh, panjang usus, tinggi badan, keliling badan, diameter mata, dan lebar bukaan mulut. Nilai perbandingan parameter-parameter tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai perbandingan parameter-parameter morfologis dan anatomis

Selang Kelas Parameter PU/PT H/PT K/PT dm/PT lbm/PT Vm

Ikan Kecil Min-Max 0,43 – 0,88 0,23 – 0,64 0,38 – 0,88 0,10 – 0,17 0,08 – 0,25 0,2 - 7,0 (105 - 196)

Rata-rata 0,62 0,37 0,65 0,12 0,18 1,47

Uji proporsi 0,58<p<0,67 0,32<p<0,42 0,6<p<0,69 0,11<p<0,18 0,15<p<0,23 1,7<p<2,1

Ikan Besar Min-Max 0,47 – 0,80 0,30 – 0,61 0,43 – 0,87 0,08 – 0,22 0,12 – 0,28 0,2 - 8,2 (197 - 288)

Rata-rata 0,63 0,47 0,57 0,16 0,19 2,13

Uji proporsi 0,58<p<0,67 0,39<p<0,5 0,49<p<0,65 0,12<p<0,25 0,17<p<0,32 2,6<p<3,4

Keterangan :

(36)

23

Nilai rasio panjang usus terhadap panjang tubuh (PU/PT) dapat menggambarkan jenis ikan berdasarkan tipe makanannya. Seperti yang terlihat pada Tabel 5, ikan swanggi memiliki nilai rasio panjang usus terhadap panjang tubuh (PU/PT) < 1 baik untuk ikan kecil maupun ikan besar. Hal ini menunjukkan bahwa ikan swanggi merupakan ikan karnivor. Pernyataan ini sesuai dengan Huet (1971) yang menyatakan bahwa panjang usus ikan karnivor lebih pendek daripada panjang tubuhnya.

Kebiasaan makanan ikan juga dapat dikaitkan dengan beberapa hal seperti perbandingan morfologi dari ukuran tubuh ikan (Sari 2008). Perbandingan morfologi yang dikaitkan seperti nilai rasio tinggi badan terhadap panjang tubuh (H/PT), rasio keliling tubuh terhadap panjang tubuh (K/PT), rasio diameter mata terhadap panjang tubuh (dm/PT) dan rasio lebar bukaan mulut terhadap panjang tubuh (lbm/PT) serta volume makanan ikan swanggi.

Nilai (H/PT), (dm/PT), dan (lbm/PT) serta volume makanan ikan swanggi cenderung semakin besar seiring dengan bertambahnya panjang tubuhnya. Berdasarkan nilai (H/PT), diduga bahwa ikan swanggi memiliki laju pertambahan tingginya lebih besar daripada laju pertambahan panjangnya. Berdasarkan nilai rasio (dm/PT), rasio (lbm/PT), dan volume makannya, semakin besar ukuran panjang ikan swanggi maka akan memiliki ukuran mata lebih besar dan bukaan mulut lebih lebar yang digunakan untuk mempermudah dalam mencari makanan sehingga dapat memperoleh makanan yang lebih banyak. Namun, berbeda dengan nilai rasio (K/PT) ikan swanggi, berdasarkan nilai rasio (K/PT), ikan kecil memiliki perbandingan keliling lebih besar daripada ikan besar. Hal ini diduga bahwa pada ukuran ikan besar terdapat ikan yang telah mengalami pemijahan rongga perut semakin berkurang yang diakibatkan oleh proses pengeluaran telur ke luar tubuh.

4.4. Komposisi Jenis Makanan

(37)

24

[image:37.595.107.530.207.384.2]

genus seperti Leiognathuss spp. sementara sebagian lain hanya sampai tingkat famili misalnya Trichiuridae. Hal ini terjadi karena proses pencernaan sudah berjalan sehingga yang ditemukan adalah organisme yang tidak utuh lagi dan terdapat juga organism yang sudah berupa hancuran makanan.

Tabel 6. Komposisi makanan ikan swanggi

No Jenis Makanan Keterangan

1 Udang-udangan Nematocarcinidae, Penaeidae (Penaeus), mysyd

2 Rajungan Portunus spp.

3 Sisa Crustacea Potongan kaki, kepala dan lain-lain

4 Ikan Leiognathuss spp., Carangidae, Trichiuridae, dan bagian ikan

yang tak teridentifikasi

5 Gastropoda Tutitella

6 Cephalopoda Cumi-cumi

7 Bivalvia Bagian tubuh bivalvia

8 Tidak teridentifikasi Bagian tubuh organisme yang tidak diketahui

9 Tercerna Sisa makanan yang telah hancur

4.4.1. Komposisi Jenis Makanan berdasarkan Jenis Kelamin

Pada Gambar 5 dapat dilihat komposisi jenis makanan ikan swanggi berdasarkan jenis kelaminnya. Berdasarkan Gambar 5, udang-udangan memiliki nilai IP yang terbesar yaitu sebesar 71,20% untuk ikan swanggi total, 66,76% untuk ikan swanggi jantan, dan 74,51% untuk ikan swanggi betina. Setelah udang-udangan, ikan memiliki nilai IP terbesar kedua yaitu sebesar 24,70% untuk ikan swanggi total, 27,44% untuk ikan swanggi jantan, dan 22,52% untuk ikan swanggi betina. Organisme lain yang ditemukan antara lain rajungan, sisa crustacea, gastropoda, chepaloda, dan bivalvia. Selain itu terdapat juga organisme makanan yang tidak teridentifikasi yaitu organisme yang tidak dapat diidentifikasi dengan jelas ke dalam kelompok makanan dan juga terdapat makanan yang sudah tercerna yaitu makanan yang telah berupa hancuran halus.

(38)

25

banyak; (2) makanan sekunder, yaitu makanan yang biasa dimakan dan ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit; (3) makanan insidental, yaitu makanan yang terdapat di saluran pencernaan dengan jumlah yang sangat sedikit.

[image:38.595.80.513.61.770.2]

Hasil analisis isi perut swanggi ini juga sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa udang-udangan merupakan makanan utama ikan swanggi. Menurut Hajisamae yang melakukan penelitian di perairan pesisir Pattani dan Narathiwas, Thailand dari Maret 2006 sampai November 2006, makanan utama ikan swanggi yaitu Udang sebesar 36,6%. Menurut Ibrahim S et al. 2003 yang melakukan penelitian isi perut enam ikan demersal ekonomis penting di Zona Ekonomi Eksklusif pesisir utara Peninsular Malaysia, laut cina Selatan dari September 1999 sampai November 1999dengan hasilmakanan utama ikan swanggi yaitu Penaeus sp. sebesar75,3%.

Gambar 5. Komposisi makanan berdasarkan jenis kelamin. 66,76%

0,32% 1,57%

27,44% 0,31%

0,13% 1,70% 1,76%

Jantan

74,52% 0,86%

22,52% 0,09%

0,05% 0,08%

1,18%

0,71%

Betina

71,20% 0,08%

1,16%

24,70% 0,04% 0,14%

0,10%

1,41%

(39)

26

Makanan dari ikan swanggi seperti udang-udangan, ikan kecil, rajungan, sisa crustacea, gastropoda, chepalopoda, dan bivalvia merupakan organisme yang hidup di daerah dasar perairan. Hal ini menjadikan daerah dasar perairan harus dijaga kelestariannya karena perubahan yang terjadi di daerah dasar periaran akan menggangu keberadaan organisme tersebut. Keberadaan organisme tersebut dapat mempengaruhi juga keberadaan ikan swanggi di perairan. Oleh karena itu, pengelolaan ikan swanggi juga harus memperhatikan aspek ekologi habitat dari organisme yang dimakan agar keberadaannya tetap berlanjut.

4.4.2. Komposisi Jenis Makanan berdasarkan Waktu Pengamatan

Pada Gambar 6 dapat dilihat nilai IP (Indeks of Preponderance) dari ikan swanggi menurut waktu pengamatannya. Pada gambar tersebut, terlihat bahwa udang-udanganmenjadi makanan utama ikan swanggi pada bulan Maret, April, Juli, Agustus, September, dan Oktober dengan nilai IP secara berurutan sebesar 67,85%, 82,49%, 65,47%, 90,79%, 46,45%, dan 82,60%. Namun, hanya pada bulan Mei udang-udangan menjadi makanan pelengkap di yaitu sebesar 22,90% dan menjadi organisme terbanyak kedua setelah ikan sebesar 67,25%. Pada bulan Maret, April, Juli, Agustus, September, dan Oktober, ikan menjadi makanan pelengkap dengan nilai IP secara berurutan sebesar 27,62%, 12,45%, 29,32%, 7,99%, 38,64%, dan 16,95%. Organisme lain yang juga ditemukan di dalam isi perut ikan swanggi antara lain rajungan, sisa crustacea, gastropoda, cephalopod, bivalvia, dan beberapa organisme tidak teridentifikasi, serta beberapa telah berupa hancuran makanan.

(40)

27

menentukan bahwa ikan swanggi memanfaatkan organisme sebagai makanannya. Hal ini diduga bahwa ikan swanggi memiliki selera terhadap udang-udangan sehingga organisme tersebut banyak dimanfaatkannya.

[image:40.595.92.492.244.768.2]

Secara umum crustacea menjadi organisme yang paling banyak ditemukan pada ikan swanggi. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Rao (1967) di Teluk Bengal, yang melakukan penelitian tentang makanan ikan swanggi dengan ukuran ikan 8,9-14,5 cm yang diamati pada bulan Januari, Februari dan Maret dengan hasil berupa Crustacea 55,0%, Ikan 45,0%.

Gambar 6. Diagram lingkarankomposisi makanan berdasarkan waktu pengamatan. 67,8 4% 1,80 % 27,6 2% 1,60 %

Maret

82,4 9% 3,45 % 12,4

6% 0,46

%

April

22,9 0% 0,49 % 67,2 5% 1,75 % 1,02

% 5,83

%

Mei

65,47 % 2,28% 29,32 %

1,63%

Juli

1,30%

90,7 9% 7,99 %

Agustus

46,45 % 4,57% 38,64 %

7,55% 2,29%

(41)
[image:41.595.113.498.87.548.2]

28

Gambar 7. Komposisi makanan ikan jantan berdasarkan waktu pengamatan.

Gambar 7 dan 8 memperlihatkan komposisi makanan ikan jantan dan betina berdasarkan waktu pengamatannya. Udang-udangan menjadi makanan utama ikan jantan pada bulan Maret, April, Juli, Agustus, September, dan Oktober sedangkan untuk ikan betina pada bulan Maret, April, Juli, Agustus, dan Oktober. Setelah udang-udangan, ikan menjadi makanan pelengkap pada bulan Maret, April, Juli, Agustus, September, dan Oktober. Namun, ikan menjadi makanan utama ikan jantan pada bulan Mei dan pada ikan betina pada bulan Mei, dan September. Hal ini disebabkan pada bulan Mei, kondisi perairan Selat Sunda memiliki kandungan zat hara tinggi seperti di daerah upwelling, produksi plankton hampir selalu melimpah

56,5 9% 7,14 % 36,2 6%

Maret

63,8 8% 0,90 % 5,18 % 27,1 9% 0,32 % 1,15

% 0,43

% 0,94%

April

16,1 3% 74,0 3% 1,69 % 1,09 % 6,40 % 0,66 %

Mei

46, 79 % 0,9 2% 44, 04 % 4,5 9% 3,6 7%

Juli

92,4 5% 0,11 % 5,99

% 0,22

% 0,06

(42)

29

[image:42.595.71.520.119.721.2]

dan diikuti dengan produksi ikan yang cukup tinggi (Nybaken 1992 in Amri 2008) sedangkan pada bulan September merupakan ukuran ikan swanggi terbesar yang dapat memanfaatkan ikan lebih banyak sehingga persentase ikan dalam makanan ikan swanggi tinggi. Hal ini disebabkan oleh ikan yang berukuran besar memiliki kemampuan bergerak yang lebih tinggi daripada ikan yang dimangsa sehingga dapat memanfaatkan lebih banyak.

Gambar 8. Komposisi makanan ikan betina berdasarkan waktu pengamatan 69,0 6% 1,16 % 25,9 0% 0,05 % 0,25 % 2,27 % 1,31 %

Maret

92,6 7% 1,76 % 2,42 % 2,20 % 0,33 % 0,51 % 0,11 %

April

26,39 % 1,07% 63,28 % 1,15% 1,75% 0,74%

5,49% 0,11%

Mei

84,6 2% 4,27 % 11,1 1%

Juli

88,1 7% 0,10 % 0,10 % 9,85

% 0,07

% 1,73%

(43)

30

4.4.3. Komposisi Jenis Makanan berdasarkan Ukuran Selang Kelas Panjang

Dalam analisis kebiasaan makanan, ikan swanggi dikelompokkan menjadi 2(dua) kelompok ukuran selang kelas panjang. Pengelompokkan ini sesuai dengan pengelompokkan terhadap hasil tangkapan ikan swanggi. Kelompok ikan kecil yaitu kelompok ikan dengan ukuran kurang dari rata-rata panjang hasil tangkapan ikan swanggi yaitu ukuran 105-196 mm sedangkan kelompok ikan besar memiliki ukuran lebih besar dari rata-rata panjang hasil tangkapan ikan swanggi yaitu ukuran 197-288 mm.

Ikan kecil dengan selang kelas panjang 105-196 mm memiliki makanan utama yaitu udang-udangan dan sangat dominan di dalam isi perut ikan swanggi yang diikuti dengan ikan. Namun, berbeda dengan organisme yang ditemukan di dalam perut ikan besar, makanan utama ikan swanggi ukuran besar dengan selang kelas panjang 197-288 mm yaitu ikan. Hal ini diduga bahwa ikan besar memiliki kemampuan bergerak yang lebih tinggi daripada ikan kecil sehingga dapat memangsa ikan yang memiliki kemampuan bergerak lebih tinggi dibandingkan udang. Ikan besar juga akan lebih memilih ukuran mangsa yang lebih besar sehingga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan oleh tubuhnya. Hasil ini juga menunjukkan adanya pergeseran makanan ikan swanggi terhadap ukuran panjang tubuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa ikan swanggi mengalami pergeseran makanan dari udang-udangan menjadi ikan kecil seiring dengan pertambahan ukuran panjang tubuhnya.

Gambar 9. Komposisi makanan ikan berdasarkan selang kelas panjang. 79,24 % 0,06% 0,79% 18,07 % 0,06% 0,16% 0,10%

0,34% 1,18%

(44)

31

Pada Gambar 10. dan Gambar 11, diperlihatkan nilai IP (Indeks of Preponderance) dari ikan jantan dan betina berdasarkan ukuran selang kelas panjang. Pada ikan jantan maupun betina pada selang kelas panjang 105-196 mm terlihat bahwa udang-udangan menjadi makanan utama dan sangat dominan. Dominansi udang-udangan yang terdapat pada isi perut ikan swanggi baik jantan maupun betina ini dikarenakan pada ikan kecil memiliki kemampuan bergerak dan lebar bukaan mulut yang tidak memungkinkan untuk memakan jenis makanan yang lain. Sebaliknya, pada selang kelas panjang 197-242 mm, organisme yang ditemukan sudah mulai beragam, udang dan ikan banyak ditemukan pada selang kelas tersebut. Pada selang kelas panjang tersebut sudah terlihat adanya pergeseran makanan ikan swanggi dari udang-udangan menjadi ikan..

[image:44.595.96.522.74.788.2]

Gambar 10. Komposisi makanan ikan jantan berdasarka selang kelas panjang.

Gambar 11. Komposisi makanan ikan swanggi betina berdasarkan selang kelas panjang. 79,84 % 0,29% 0,59% 16,24 % 0,80% 0,17% 0,14% 1,92%

Ikan Kecil

42,52% 0,31% 3,64% 45,07% 0,06%

7,11% 1,29%

Ikan Besar

Udang-udangan Rajungan Sisa Crustacea Ikan Kecil Gastropoda Cephalopoda Bivalvia Tidak teridentifikasi Tercerna 78,66 % 0,91% 19,00 % 0,11%

0,07% 0,48% 0,75%

(45)

32

4.5. Luas Relung Makanan

Luas relung makanan menggambarkan pemanfaatan sumberdaya makanan yang berbeda oleh suatu jenis organisme. Luas relung habitat atau makanan mencerminkan adanya selektivitas kelompok ukuran ikan antar individu dalam satu spesies yang sama terhadap sumberdaya habitat atau makanan tertentu (Krebs 1989).

4.5.1. Luas Relung Makanan berdasarkan Jenis Kelamin

Luas relung makanan ikan swanggi jantan dan betina masing-masing sebesar 3,3310 dan 2,7273 seperti terlihat pada Tabel 7. Berdasarkan nilai luas relung makanan tersebut, ikan jantan memiliki luas relung makanan yang lebih luas daripada ikan betina. Hal ini dapat disebabkan oleh jenis organisme yang dimakan ikan jantan lebih beragam sedangkan ikan betina selektif terhadap sumberdaya makanan yang tersedia di perairan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Levins in Krebs (1989) yang menyatakan bahwa ikan yang memiliki luas relung makanan kecil atau sempit menandakan ikan tersebut melakukan seleksi terhadap sumberdaya yang tersedia di perairan dan luas relung makanan akan tinggi jika suatu organisme memakan jenis makanan yang beragam dan masing-masing jenis yang dimakan dalam jumlah yang sama.

(46)

33

Tabel 7. Luas relung makanan berdasarkan jenis kelamin selama penelitian.

Jenis Kelamin

Luas relung (Bi)

Standarisasi (Ba)

Jantan 3,3310 0,2914

Betina 2,7273 0,2159

Total 3,0106 0,2513

4.5.2. Luas Relung Makanan berdasarkan Waktu Pengamatan

Luas relung makanan ikan swanggi terbesar terjadi pada bulan September yaitu sebesar 2,9348 dan terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 1,8239 dilihat pada Tabel 8. Hal ini disebabkan rata-rata ikan swanggi yang dijadikan contoh pada bulan September termasuk ikan besar yang memakan jenis makanan yang beragam sedangkan ikan yang dijadikan contoh pada bulan Agustus termasuk ikan yang berukuran kecil dengan makanan yang relatif tidak beragam. Ukuran tubuh ikan swanggi yang besar pada bulan September disertai dengan berkembangnya bukaan mulutnya yang memungkinkan untuk memakan berbagai jenis organisme yang lebih banyak sehingga luas relungnya menjadi lebih besar. Sebaliknya, ukuran tubuh ikan swanggi yang kecil pada bulan Agustus dengan ukuran bukaan mulut yang kecil, tidak memungkinkan untuk memakan berbagai jenis organisme yang lebih banyak sehingga luas relungnya menjadi lebih kecil.

Tabel 8. Luas relung makanan berdasarkan waktu pengamatannya

Bulan Total Jantan Betina

Bi Ba Bi Ba Bi Ba

Maret 2,8332 0,3055 2,4746 0,7373 2,9029 0,3172

April 3,4084 0,3011 4,2475 0,4639 2,4844 0,2474

Mei 3,5298 0,3614 3,5884 0,5177 4,0409 0,4344

Juli 2,7901 0,4475 3,1499 0,5375 2,0273 0,5136

Agustus 1,8239 0,1177 1,7526 0,1254 1,8709 0,1742

September 3,9348 0,4891 3,9685 0,4948 3,3447 0,5862

Oktober 1,8998 0,2999 2,2652 0,4217 1,7585 0,2528

Keterangan: Bi = luas relung

(47)

34

4.5.3. Luas Relung Makanan berdasarkan Ukuran Selang Kelas Panjang

Luas relung makanan ikan swanggi berukuran 197–288 mm lebih luas daripada luas relung makanan ikan swanggi berukuran 105–196 mm. Ikan berukuran 197-288 mm memiliki luas relung makanan sebear 3,6505 untuk ikan total, 3,6113 untuk ikan jantan, dan 2,5948 untuk ikan betina sedangkan untuk Ikan berukuran 105-196 mm memiliki luas relung makanan sebear 2,6338 untuk ikan total, 2,7928 untuk ikan jantan, dan 2,5155 untuk ikan betina. Nilai luas relung makanan ini menunjukkan bahwa semakin besar ukuran ikan swanggi maka luas relung makanannya akan semakin meningkat. Hal ini dikarenakan semakin besar ukuran ikan tersebut akan disertai dengan berkembangnya bukaan mulutnya dan memungkinkan untuk memakan berbagai jenis organisme yang lebih banyak sehingga luas relungnya menjadi lebih besar. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Effendie (2002) yang menyatakan bahwa ikan yang berukuran kecil memiliki luas relung yang lebih sempit dan ikan yang berukuran lebih besar cenderung merubah pola makanannya dan menggunakan luas relung yang lebih besar.

Tabel 9. Luas relung makanan ikan berdasarkan ukuran selang kelas panjang

SK (mm) Total Jantan Betina

Bi Ba Bi Ba Bi Ba

105 - 196 2,6338 0,2042 2,7928 0,2241 2,5155 0,1894

197 - 288 3,6505 0,3313 3,6113 0,4352 2,5948 0,2658

Keterangan : Ba = luas relung

Bi = standarisasi luas relung

4.6. Tumpang Tindih Relung Makanan Ikan Swanggi

(48)

35

4.6.1. Tumpang Tindih Relung Makanan Ikan Swanggi berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan Tabel 10, nilai tumpang tindih relung makanan antara ikan swanggi jantan dan betina sebesar 0,9923. Nilai tumpang tindih yang tinggi dan berkisar satu ini menggambarkan bahwa antara ikan swanggi jantan dan betina mempunyai persaingan yang besar dalam mendapatkan makanan. Hal ini diduga antara ikan swanggi jantan dan betina memiliki kesukaan terhadap makanan yang sama pula, ketersediaan makanan yang sama, dapat juga terjadi akibat daerah penyebaran yang berdekatan sehingga dapat terjadi pemangsaan organisme yang sama.

Tabel 10. Tumpang tindih relung makanan ikan berdasarkan waktu pengamatan.

Jenis

Kelamin Jantan Betina

Jantan 1 0,9906

Betina 1

4.6.2. Tumpang Tindih Relung Makanan Ikan Swanggi berdasarkan Waktu Pengamatan

(49)

36

Besarnya nilai tumpang tindih relung makanan berindikasi terjadinya kompetisi. Nilai tumpang tinggi yang tinggi bisa diakibatkan oleh kelimpahan jenis organisme yang dominan diperairan (Colwell dan Futuyama 1971). Sebaliknya, bila nilai tumpang tindih yang diperoleh kecil maka jenis makanan yang dimakan cenderung berbeda antara kedua waktu yang dibandingkan. Hal ini terjadi antara bulan Mei dengan Agustus yang memiliki nilai tumpang tindih terendah yaitu sebesar 0,5799 dan bulan Mei dengan Oktober yaitu sebesar 0,6995. Nilai tersebut menunjukkan bahwa jenis makanan yang dikonsumsi pada kedua waktu yang dibandingkan tersebut cenderung berbeda sehingga kemungkinan pada karakteristik dan ketersediaan makanan pada waktu tersebut cenderung berbeda. Hal ini disebabkan pada bulan Mei memliki panjang rata-rata ikan swanggi yang besar dan memiliki TKG yang lebih tinggi yaitu TKG III sedangkan pada bulan Agustus dan Oktober memiliki panjang rata-rata yang kecil dan TKG I yang dominan sehingga memiliki makanan yang relatif berbeda (Ballerena 2012).

Tabel 11. Tumpang tindih relung makanan berdasarkan waktu pengamatan.

Bulan Maret April Mei Juli Agustus September Oktober Maret 1 0,9518 0,8849 0,9803 0,8625 0,9602 0,9343

April 1 0,7713 0,9722 0,9073 0,9175 0,9328

Mei 1 0,8360 0,5799 0,9067 0,6995

Juli 1 0,9028 0,9166 0,9565

Agustus 1 0,7627 0,9780

September 1 0,8301

Oktober 1

(50)

37

makanan yang relatif sama. Sebaliknya, nilai tumpang tindih yang diperoleh kecil maka jenis makanan yang dimakan cenderung berbeda antara kedua waktu yang dibandingkan. Hal ini terjadi antara bulan Mei dengan Agustus yaitu sebesar 0,5343. Hal ini disebabkan pada bulan Mei memliki panjang rata-rata ikan swanggi yang besar dan memiliki TKG sedangkan pada bulan Agustus memiliki panjang rata-rata yang lebih kecil.

Pada Tabel 13 dapat dilihat nilai tumpang tindih relung makanan ikan swanggi betina berdasarkan waktu pengamatannya. Nilai tumpang tindih relung makanan ikan betina tertinggi terjadi antara bulan Agustus dengan Oktober yaitu sebesar 0,9942. Nilai tumpang tindih relung makanan yang tinggi dan berkisar satu juga terjadi antara bulan Juli dengan Oktober yaitu sebesar 0,9893, Juli dengan Agustus yaitu sebesar 0,9827, dan bulan April dengan Agustus yaitu sebesar 0,9853. Hal ini disebabkan ikan jantan pada bulan Juli, Agustus, dan Oktober memiliki TKG I yang dominan sedangkan ikan jantan pada bulan memiliki TKG I dan II yang tinggi sehingga memiliki makanan yang relatif sama. Sebaliknya, bila nilai tumpang tindih yang diperoleh kecil maka jenis makanan yang dimakan cenderung berbeda antara kedua waktu yang dibandingkan yaitu yang terjadi antara bulan April dengan September dengan nilai 0,5776. Hal ini disebabkan ikan betina pada bulan April memiliki panjang rata-rata yang lebih rendah dan memiliki TKG yang lebih rendah dari bulan September yang merupakan puncak pemijahan ikan swanggi (Ballerena 2012).

Tabel 12. Tumpang tindih relung makanan ikan jantan berdasarkan waktu pengamatan.

Bulan Maret April Mei Juli Agustus September Oktober Maret 1 0,9271 0,8208 0,9461 0,8308 0,9304 0,9871

April 1 0,8654 0,9558 0,7136 0,9408 0,9017

Mei 1 0,8842 0,5343 0,8713 0,8152

Juli 1 0,7765 0,9190 0,9558

Agustus 1 0,7636 0,8628

September 1 0,9119

(51)

38

Tabel 13. Tumpang tindih relung makanan ikan betina berdasarkan waktu pengamatan.

Bulan Maret April Mei Juli Agustus September Oktober Maret 1 0,8341 0,9132 0,9245 0,8803 0,9012 0,9015

April 1 0,6481 0,9463 0,9519 0,5776 0,9342

Mei 1 0,7312 0,6622 0,9488 0,6961

Juli 1 0,9827 0,6964 0,9893

Agustus 1 0,6237 0,9942

September 1 0,6593

Oktober 1

4.6.3. Tumpang Tindih Relung Makanan berdasarkan Selang Kelas Ukuran Panjang

Tabel 14 menunjukkan nilai tumpang tindih relung makanan ikan swanggi berdasarkan selang kelas ukuran panjang. Nilai tumpang tindih relung makanan antara ikan kelompok ukuran 105-196 mm dengan ikan kelompok ukuran 197-288 mm yaitu sebesar 0,8748. Hal ini diduga bahwa ikan swanggi hidup secara berkelompok sehingga pada kelompok ukuran tersebut, memiliki jenis makanan yang dikonsumsi relatif sama sehingga memungkinkan terjadi persaingan yang besar antara kedua kelompok ukuran tersebut. Hal ini juga sesuai dengan penyataan Starnes (1984) yang menyatakan bahwa ikan famili Priacanthidae hidup secara soliter atau kelompok kecil tetapi beberapa spesies membentuk kelompok besar.

Tabel 14. Tumpang tindih relung makanan berdasarkan selang kelas ukuran panjang.

SK (mm) 105-196 197-288

105-196 1 0,8748

197-288 1

(52)

39

yang dikonsumsi relatif sama sehingga memungkinkan terjadi persaingan yang besar antara kedua kelompok ukuran tersebut. Hal ini juga sesuai dengan penyataan Starnes (1984) yang menyatakan bahwa ikan famili Priacanthidae hidup secara soliter atau kelompok kecil tetapi beberapa spesies membentuk kelompok besar.

Tabel 16 menunjukkan nilai tumpang tindih relung makanan ikan swanggi jantan berdasarkan selang kelas ukuran panjang. Nilai tumpang tindih relung makanan ikan betina yaitu antara ikan kelompok ukuran 105-196 mm dengan ikan kelompok ukuran 197-288 mm yaitu sebesar 0,7873. Sama halnya dengan ikan jantan, nilai ini menunjukkan bahwa ikan betina hidup secara berkelompok sehingga pada kelompok ukuran tersebut, memiliki jenis makanan yang dikonsumsi relatif sama.

Tabel 15. Tumpang tindih relung makanan ikan jantan berdasarkan selang kelas ukuran panjang.

SK (mm) 105-196 197-288

105-196 1 0,8659

197-288 1

Tabel 16. Tumpang tindih relung makanan ikan betina berdasarkan selang kelas ukuran panjang.

SK (mm) 105-196 197-288

105-196 1 0,7873

197-288 1

4.7. Hubungan Volume Makanan dengan Panjang Tubuh

(53)
[image:53.595.128.469.94.306.2]

40

Gambar 11. Regresi linier antara volume makanan dengan panjang tubuh

4.8. Alternatif Pengelolaan Sumberdaya Ikan Swanggi

Ikan swanggi (Priacanthus tayenus Ricahrdson, 1846) merupakan salah satu jenis ikan demersal yang umumnya mendiami suatu perairan dasar atau daerah berbatu. Ikan ini hidup di perairan pantai di antara bebatuan karang di perairan Selat Sunda. Dilihat dari segi spesialisasi makanannya, maka ikan swanggi termasuk ikan karnivor dan stenophagus. Oleh karena itu, untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan secara optimal dan terus menerus maka perlu dilakukan pengelolaan aspek ekologi habitat dan juga makanannya yang dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.

1. Perlindungan habitat karang berbatu

Berdasarkan hasil analisis makanan dari ikan swanggi, dapat diketahu bahwa makanan utamanya adalah udang-udangan yang diikuti oleh ikan yang merupakan organisme yang hidup di daerah kolom dasar perairan. Hal ini menjadikan daerah dasar perairan harus dijaga kelestariannya karena perubahan yang terjadi di daerah dasar periaran akan menggangu keberadaan makanan utama ikan swanggi. Keberadaan organisme tersebut dapat mempengaruhi juga keberadaan ikan swanggi di perairan karena kelestarian daerah di dasar perairan ini akan menjaga ketersediaan makanan bagi ikan swanggi. Perlindungan habitat karang ini juga dapat dilakukan dengan pelarangan alat tangkap yang merusak dari ekosistem terumbu karang. Oleh

Vm = 0,036. PT - 3,426 R² = 0,706

0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0 7,0 8,0

0 50 100 150 200 250 300

Vo

lu

m

e

M

akan

an

(m

l)

(54)

41

karena itu, perlu adanya pengelolaan habita

Gambar

Gambar 1. Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus)
Gambar 2. Daerah Penyebaran Ikan Swanggi
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
Tabel 3. Data panjang dan bobot berdasarkan waktu pengamatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengukuran data primer tersebut digunakan untuk menentukan hubungan panjang bobot ikan, rasio kelamin, frekuensi tingkat kematangan gonad, ukuran pertama kali

Berdasarkan hasil yang didapatkan melalui analisis TKG, hubugan panjang bobot, dan faktor kondisi dapat diduga bahwa ikan swanggi memijah pada bulan Februari, Maret,

Tingkat tumpang tindih relung makanan tertinggi pada ikan sapu-sapu terjadi dengan ikan mujair, beunteuriwader dan seribu, namun demikian tingkat tumpang tindih relung

Penelitian ini bertujuan untuk rnengetahui jenis rnakanan, luas relung dan turnpang tindih relung rnakanan, pola perturnbuhan, dan faktor kondisi ikan kurisi

Berdasarkan grafik di atas diperoleh nilai dari ukuran pertama kali tertangkap untuk ikan Swanggi selama penelitian adalah sebesar 182 mm.. Untuk menduga ukuran ikan tersebut

Nilai tumpang tindih relung makanan jika diolah menjadi dendrogram maka dapat terlihat bahwa antar kelompok ukuran baik pada ikan jantan maupun betina mengalami

Berdasarkan persamaan pertumbuhan ikan swanggi di perairan Tangerang-Banten diperoleh panjang maksimal ikan swanggi (L” = 32,34 cm) diduga berumur 3,5 tahun; rata-rata panjang ikan

Pada selang kelas 65 – 76 luas relung ikan betina (3,59) lebih besar dari ikan jantan (3,09), menunjukkan bahwa ikan betina memanfaatkan jenis organisme makanan yang lebih