• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan swanggi (Priacanthus tayenus Ricahrdson, 1846) merupakan salah satu jenis ikan demersal yang umumnya mendiami suatu perairan dasar atau daerah berbatu. Ikan swanggi termasuk ke dalam salah satu dari enam ikan demersal ekonomis penting di Laut Cina Selatan (Ibrahim et al. 2003). Secara umum ikan ini mencari makan secara nokturnal tetapi dapat juga mencari makan secara diurnal dengan sama baiknya. Makanan utamanya adalah dari jenis crustacea (dominan udang), cephalopoda kecil, polychaeta, dan ikan kecil (Starnes 1984).

Kebiasaan makanan ikan swanggi meliputi kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan oleh ikan swanggi. Kebiasaan makanan ikan ini dapat diketahui melalui analisis makanan yang terdapat di dalam saluran pencernaan dan membandingkan dengan makanan yang terdapat di perairan. Perbandingan tersebut akan menunjukkan apakah suatu hewan cenderung memilih jenis makanan tertentu sebagai pakannya atau tidak (Effendie 2002).

Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan merupakan salah satu pelabuhan perikanan yang digunakan sebagai tempat pendaratan ikan swanggi dari hasil tangkapan nelayan di perairan Selat Sunda. Berdasarkan hasil pengamatan sebelumnya di PPP Labuan, ikan ini selalu tertangkap setiap bulan dan merupakan ikan dominan kelima untuk jenis ikan demersal kecil di PPP Labuan. Ikan ini ditangkap oleh nelayan di perairan Selat Sunda dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus serta salah satunya di daratkan di PPP Labuan.

Potensi ikan swanggi yang besar di PPP Labuan seharusnya dapat dikelola dengan baik. Pengelolaan ikan swanggi ini sangat penting untuk dilakukan agar pemanfaatannya menjadi optimal. Namun, pengkajian tentang ikan ini belum banyak dilakukan salah satunya yaitu dari aspek kebiasaan makanannya. Dalam hal ini, data-data dan informasi tentang aspek kebiasaan makanan ini diperlukan dalam perencanaan pengelolaan ikan swanggi sehingga potensi dari ikan ini dapat dimanfaatkan secara optimal.

2

Penelitian tentang aspek kebiasaan makanan ikan swanggi sangat terbatas. Penelitian yang dilakukan umumnya berada di luar perairan Indonesia. Penelitian yang dilakukan diantaranya penelitian dari Ibrahim et al. (2003) di Zona Ekonomi Eksklusif pesisir utara Peninsular Malaysia di Laut Cina Selatan dari bulan September 1999 sampai November 1999, penelitian yang dilakukan oleh Rao (1967) di teluk Bengal, dan penelitian yang dilakukan oleh Hajisamae (2009) yang dilakukan di perairan pesisir dari Pattani dan Narathiwas, Thailand dari Maret 2006 sampai November 2006.

1.2. Perumusan Masalah

Ikan swangi merupakan ikan yang bernilai ekonomis dan selalu tertangkap setiap bulannya di PPP Labuan, Banten. Namun, pengkajian tentang informasi biologi dari ikan ini belum dilakukan termasuk aspek kebiasaan makanannya. Oleh karena itu, diperlukan informasi mengenai aspek kebiasaan makanan dan pola pemanfaatan habitat dari ikan swanggi agar dapat dijadikan sumber informasi penunjang pengelolaan sehingga potensinya dapat dimanfaatkan secara optimal.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek kebiasaan makanan ikan swanggi dalam kaitannya dengan pengelolaan makanan dan pola pemanfaatan habitat (relung) dari ikan swanggi (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) di Selat Sunda berdasarkan jenis kelamin, waktu, dan tingkat ukuran.

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Swanggi

2.1.1. Klasifikasi dan Tata Nama

Menurut Richardson (1846) in Starnes (1984) taksonomi ikan swanggi (Gambar 1) adalah sebagai berikut.

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Subordo : Percoidei Famili : Priacanthidae Genus : Priacanthus

Spesies : Priacanthus tayenus (Richardson 1846)

Nama FAO : Purple-spotted bigeye, Beauclaire tache pourpre (perancis), Catalufa mota purpúreo (Spanyol).

Nama Indonesia : Ikan Swanggi.

Nama Lokal : Ikan raja gantang (Banten). swangi/semerah padi (PPN Pemangkat), swanggi (Pelabuhan Perikanan Banjarmasin), swangi (PPP Tegalsari), mata bulan (PPN Ambon), camaul (PPN Palabuhanratu), belong (PPN Pekalongan), capa (PPN Sibolga), swanggi (PPS Jakarta), golok sabrang (PPN Brondong), swanggi (PPN Prigi) (www.pipp.dkp.go .id. 2009 in Wangsadinata 2009).

4

2.1.2. Morfologi

Ikan swanggi secara morfologi memiliki badan agak tinggi, agak memanjang, dan pipih secara lateral. Tubuh, kepala, iris mata, dan sirip berwarna merah muda atau kemerah-merahan. Pada sirip perut memiliki bintik-bintik kecil berwarna ungu kehitam-hitaman dengan 1 atau 2 titik lebih besar di dekat perut. Bintik-bintik pada sirip perut ini yang membedakan ikan swanggi dengan ikan famili Priacanthidae yang lain (FAO 1999). Panjang maksimum ikan swanggi yaitu 29,5 cm di Brunei Darussalam (Fishbase in Awong et al. 2011).

Tulang belakang pada preoperkulum berkembang dengan baik. Jumlah tulang tapis insang pada lengkung insang pertama 21 sampai 24. Jari-jari sirip punggung berjumlah X jari-jari keras dan 11 sampai 13 jari-jari lemah. Jari-jari pada sirip dada 17-19. Sisik-sisik pada bagian tengah lateral dengan bagian posterior atas hilang dan memiliki sedikit duri kecil pada ikan yang lebih besar. Sisik-sisik lateral berjumlah 56 sampai 73 dan sisik-sisik linear lateralis berjumlah 51 sampai 67. Sisik pada baris vertikal (dari awal sirip dorsal sampai anus) 40 sampai 50 (FAO 1999).

2.2. Habitat dan Penyebaran

Ikan swanggi umumnya hidup di perairan pantai di antara bebatuan karang dan terkadang di area yang lebih terbuka pada kedalaman 20-200 m atau lebih dalam. Distribusi ikan ini meliputi wilayah pesisir utara Samudera Hindia dari Teluk Persia bagian Timur dan wilayah Pasifik Barat dari Australia bagian Utara dan Pulau Solomon bagian utara sampai Provinsi Taiwan di China (Gambar 2.) Hasil tangkapan ikan swanggi pada tahun 1990 sampai 1995 dalam buku statistik perikanan tahunan FAO melaporkan jumlah tangkapan per tahun sekitar 23.100 sampai 52.000 ton di samudera Pasifik tengah bagian barat (Starnes 1984).

5

Gambar 2. Daerah Penyebaran Ikan Swanggi Sumber : www.aquamaps.org (diakses 1 Agustus 2012)

2.3. Alat Tangkap

Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan swanggi salah satunya yaitu dengan cantrang. Cantrang, dogol, dan payang diklasifikasikan ke dalam alat

tangkap “Danish Seine” berbentuk panjang dan penggunaannya untuk menangkap ikan demersal (Subani W dan Barus HR 1989). Alat tangkap cantrang dioperasikan dengan kapal berukuran panjang 8,5-11 m, lebar 1,5-2,5 m, dan tinggi 1-1,5 m (Budiman 2006). Operasi penagkapan ikan swanggi berlangsung selama 6-12 jam . Kapal nelayan berangkat pada dinihari dan perjalanan menuju fishing ground selama 3-6 jam. Setting dilakukan terhadap kondisi perairan yang tenang dengan warna air biru kehijauan. Pengoperasian cantrang dilakukan selama 6 jam. Setelah hasil tangkapan telah didapatkan, kapal menuju ke darat selama 3-6 jam.

Subani W dan Barus HR (1989) menyatakan daerah penangkapan (fishing ground) cantrang tidak jauh dari pantai, pada bentuk dasar perairan berlumpur atau lumpur berpasir dengan permukaan dasar rata. Daerah tangkapan yang baik untuk

kelompok alat tangkap “Danish Seine” harus memenuhi syarat yaitu dasar perairan rata dengan substrat pasir, lumpur atau tanah liat berpasir, arus laut cukup kecil (< 3 knot) serta cuaca terang tidak ada angin kencang.

6

Selain dengan alat tangkap cantrang, ikan swanggi dapat juga ditangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring insang dasar (bottom gillnet). Jaring insang merupakan jaring besar berbentuk dinding vertikal yang menggantung di air. Tertangkapnya cara menjerat operkulum insang pada mata jaring (Sainsbury 1986 in Emmanuel et al. 2008). Proses penangkapan ikan swanggi dengan jaring insang dasar berlangsung selama 9-15 jam. Kapal nelayan berangkat pada pagi hari dan perjalanan menuju fishing ground selama 3-5 jam. Pengoperasian cantrang dilakukan selama 3 jam. Setelah hasil tangkapan telah didapatkan, kapal menuju ke darat selama 3-5 jam. Alat bantu pada jaring insang dasar berupa net hauler atau net drum, berfungsi untuk menarik jaring pada saat hauling.

Berdasarkan data harian PPP Labuan selama tahun 2010, ikan swanggi merupakan hasil tangkapan dominan kelima sebesar (8,25 %) dari seluruh hasil tangkapan ikan demersal kecil yang didaratkan di PPP Labuan, Banten. Hasil tangkapan ikan swanggi merupakan hasil tangkapan terbesar setelah ikan kuwe (24,70%), kurisi (23,43%), kuniran (23,04%) dan kapasan (13,70%).

2.4. Makanan dan Kebiasaan Makanan

Makanan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pertumbuhan ikan. Untuk merangsang pertumbuhan ikan yang optimal, diperlukan jumlah dan mutu makanan dalam keadaan cukup serta sesuai dengan kondisi perairan. Makanan tersebut, dimanfaatkan dan digunakan untuk memelihara tubuh ikan dan mengganti sel-sel tubuh yang rusak (Effendie 2002).

Kebiasaan makanan meliputi jenis, kualitas, dan kuantitas makanan yang dimakan oleh ikan sedangkan cara makan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu, tempat, dan cara mendapatkan makanan tersebut. Kebiasaan makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain habitat, kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, musim, ukuran, dan umur ikan (Effendie 2002).

7

Nikolsky (1963) menyatakan bahwa makanan ikan dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan hubungan antara ikan dengan makanannya, yaitu (1) makanan utama, yaitu makanan yang biasanya dimakan dalam jumlah yang banyak; (2) makanan sekunder atau pelengkap, yaitu makanan yang biasa dimakan dan ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit; (3) makanan insidental atau tambahan, yaitu makanan yang terdapat di saluran pencernaan dengan jumlah yang sangat sedikit.

Berdasarkan kepada bermacam-macam spesialisasi dari kebiasaan makanan, ikan dapat dibagi menjadi kategori ikan monophagus, yaitu ikan yang hanya mengkonsumsi satu macam makanan. Ikan stenophagus mengkonsumsi macam makanan yang terbatas. Kategori berikutnya adalah ikan euryphagus dietnya bermacam-macam atau campuran. Dilihat dari segi spesialisasi makanannya, maka ikan swanggi termasuk ikan karnivor dan stenophagus. Hal ini disebabkan ikan swanggi memiliki gigi untuk menyergap, menahan, dan merobek mangsa. Ikan swanggi juga memiliki lambung benar, palsu, usus pendek, tebal, dan elastic serta memiliki jenis makanan yang terbatas (Effendie 2002).

Ikan famili Priacanthidae hidup secara soliter atau kelompok kecil tetapi beberapa spesies membentuk kelompok besar. Pada fase telur, larva, dan awal juvenil, ikan swanggi hidup secara pelagis dan berubah sesuai dengan lingkungan yang cocok. Dalam hal makanan, famili Priacanthidae umumnya mencari makan secara nokturnal tetapi dapat juga mencari makan secara diurnal dengan sama baiknya. Makanan utamanya yaitu dari jenis crustacea, cephalopods kecil, polychaetes, dan ikan kecil (Starnes 1984).

Makanan ikan swanggi dengan ukuran ikan 8,9-14,5 cm yang diamati pada bulan Januari, Februari dan Maret oleh Rao (1967) di teluk Bengal, ditemukan bahwa pada saat sebelum siang yaitu berupa Metazoaea 8,0%, Megalopa 16,0%, Udang Karibia 20,0%, sisa Stomatopoda 8,0%, sisa ikan 48,0%. Pada sore hari ditemukan makanan ikan swanggi berupa Amphipoda 2,2%, sisa Decapoda13,1%, sisa Stomatopoda 60,8 %, sisa ikan 23,9 % dan pada malam hari isi perut ikan swanggi kosong. Total untuk makanan ikan swanggi yaitu berupa Crustacea 55,0%, Ikan 45,0%.

8

Menurut Hajisamae (2009), makanan ikan swanggi berupa udang 36,6 %, Amphipoda 18,6 %, Polychaeta 16,3%, Calanoid Copepoda 16,0 %, ikan 5,7 %, Cryptid 2,9 %, Rajungan 1,9 %, lain-lain 1,5 %, dan sudah tercerna 0,5 %. Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir di Pattani and Narathiwas, Thailand dari bulan Maret 2006 sampai November 2006. Ikan contoh yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 45 ikan .

Menurut Ibrahim S et al. (2003), makanan ikan swanggi di laut cina Selatan berupa Penaeus sp. 75,3 %, Polychaeta 23,7%, Loligo sp. 20,0 %, Stolephorus sp. 2,6%, Upeneus sp. 1,6%, Squilla sp 1,6%, Apogon sp. 0,7%, Sepia 0,7%, dan tidak teridentifikasi 27 %. Penelitian ini dilakukan di Zona Ekonomi Eksklusif di pesisir utara Peninsular Malaysia dari September 1999 sampai November 1999. Ikan contoh yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 329 ikan dengan 304 ikan yang dianalis isi perutnya.

2.5. Luas Relung dan Tumpang Tindih Relung Makanan

Luas relung merupakan daerah pemanfaatan sumberdaya makanan oleh suatu jenis organisme. Luas relung habitat atau makanan mencerminkan adanya selektivitas kelompok ukuran ikan antar individu dalam satu spesies yang sama terhadap sumberdaya habitat atau makanan tertentu (Krebs 1989). Ikan yang memiliki luas relung makanan kecil atau sempit menggambarkan bahwa ikan tersebut melakukan seleksi terhadap sumberdaya yang tersedia di perairan sedangkan ikan yang memakan beragam sumberdaya diduga luas relungnya meningkat walaupun sumberdaya yang tersedia menurun. Luas relung akan tinggi jika suatu organisme memakan jenis makanan yang beragam dan masing-masing jenis yang dimakan dalam jumlah yang sama. Sebaliknya luas relung akan rendah jika suatu organisme hanya memanfaatkan satu jenis makanan (Levins 1968 in Krebs 1989).

Menurut Effendie (2002), ikan yang kecil menggunakan luas relung yang kecil, semakin besar ukurannya maka pola makannya juga akan berubah dan akan menggunakan luas relung yang besar. Namun, variasi makanan yang besar tidak menjamin akan memberikan kisaran luas relung yang besar karena nilai luas relung

9

juga dipengaruhi oleh seberapa besar ikan tersebut dapat memanfaatkan sumberdaya yang tersedia.

Tumpang tindih relung makanan adalah penggunaan bersama atas seluruh sumberdaya makanan oleh dua spesies atau lebih (Colwell & Futuyama 1971). Dengan kata lain, tumpang tindih makanan adalah daerah luas relung yang dihuni oleh dua penghuni relung atau lebih. Penyeleksian makanan yang dikonsumsi dapat terjadi jika beberapa tipe mangsa hadir secara bersamaan dan adanya satu individu yang diperebutkan oleh banyak pemangsa.

Tumpang tindih relung makanan dapat terjadi bila ada kesamaan jenis makanan yang dimanfaatkan oleh dua atau lebih kelompok ikan. Kesamaan pemanfaatan makanan atau habitat mencerminkan adanya penggunaan bersama sumberdaya habitat atau makanan yang ada oleh dua kelompok ukuran ikan atau lebih, interspesifik, atau intraspesifik (Krebs 1989).

Besarnya nilai tumpang tindih relung makanan berindikasi terjadinya kompetisi. Jika nilai tumpang tindih yang diperoleh berkisar satu maka kedua kelompok yang dibandingkan mempunyai jenis makanan yang sama. Sebaliknya, jika nilai tumpang tindih yang diperoleh sama dengan nol maka tidak diperoleh jenis makanan yang sama antara kedua kelompok yang dibandingkan. Nilai tumpang tindih yang tinggi dapat diakibatkan oleh kelimpahan jenis organisme yang dominan diperairan (Colwell & Futuyama 1971).

2.6. Anatomi Alat Pencernaan Makanan dan Kebiasaan Makanan

Proses pencernaan makanan pada ikan swanggi melibatkan organ-organ atau alat-alat pencernaan serta kelenjar pencernaan. Proses pencernaan makanan tersebut akan melewati mulut, rongga mulut, faring, esofagus, lambung, pyloric caeca, usus, rektum, dan anus. Mulut berfungsi untuk menangkap atau mengambil makanan. Perbedaan posisi dan bentuk mulut pada ikan dapat menunjukkan perbedaan jenis makanan dan cara mengambil makanan (Affandi et al. 2004). Posisi mulut ikan swanggi yaitu mulut terletak diujung hidung (terminal). Bentuk mulut dapat disembulkan karena bibir atas dan bawah dapat ditarik ke arah anterior dan akan menyebabkan tertariknya lipatan kulit tipis antara bibir dengan hidung dan rahang bawah (FAO 1999).

10

Ikan swanggi termasuk ke dalam jenis ikan karnivor. Untuk mengetahui kebiasaan makanannya, maka perlu dilakukan pengamatan organ-organ pencernaannya. Organ yang diamati salah satunya yaitu lambung. Lambung merupakan organ pencernaan yang diameternya lebih besar dibandingkan dengan organ pencernaan yang lainnya. Lambung berfungsi sebagai penampung dan pencerna makanan secara kimiawi. Organ lain yang juga berperan dalam pencernaan makanan yaitu pyloric caeca. Organ ini berupa usus-usus pendek dan buntu yang terletak diantara lambung dan usus berfungsi untuk membantu proses pencernaan makanan dan penyerapan makanan (Affandi et al. 2004).

Menurut Huet (1971), struktur anatomis organ pencernaan ikan karnivor yaitu tapis insang berjumlah sedikit, berukuran pendek, dan kaku. Rongga mulutnya secara umum bergerigi tajam dan kuat. Lambung ikan karnivor memiliki bentuk yang bervariasi dan ususnya lebih pendek dari panjang tubuhnya.

2.7. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Dalam Undang–undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dijelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan adalah semua upaya yang dilakukan bertujuan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan secara optimal dan terus menerus. Menurut Gulland (1982), tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi :

1. Tujuan yang bersifat fisik – biologi, yaitu dicapainya tingkat pemanfaatan dalam level hasil maksimum yang lestari (maximum sustainable yield = MSY).

2. Tujuan yang bersifat ekonomi, yaitu tercapainya keuntungan maksimum dari pemanfaatan sumberdaya ikan atau maksimalisasi profit (net income) dari perikanan.

3. Tujuan yang bersifat sosial, yaitu tercapainya keuntungan sosial yang maksimal, misalnya maksimalisasi penyediaan pekerjaan, menghilangkan adanya konflik kepentingan diantara nelayan dan anggota masyarakat lainnya.

Dwiponggo (1983) in Pranggono (2003) mengatakan, tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dicapai dengan beberapa cara, antara lain:

1. Pemeliharaan proses sumberdaya perikanan, dengan memelihara ekosistem penunjang bagi kehidupan sumberdaya ikan.

11

2. Menjamin pemanfaatan berbagai jenis ekosistem secara berlanjut.

3. Menjaga keanekaragaman hayati (plasma nuftah) yang mempengaruhi ciri–ciri, sifat dan bentuk kehidupan.

4. Mengembangkan perikanan dan teknologi yang mampu menumbuhkan industri yang mengamankan sumberdaya secara bertanggung jawab.

Badrudin (1986) in Lembaga Penelitian UNDIP (2000) menyatakan bahwa prinsip pengelolaan sediaan ikan dapat dikategorikan sebagai berikut :

1. Pengendalian jumlah upaya penangkapan : tujuannya adalah mengatur jumlah alat tangkap sampai pada jumlah tertentu.

2. Pengendalian alat tangkap : tujuannya adalah agar usaha penangkapan ikan hanya ditujukan untuk menangkap ikan yang telah mencapai umur dan ukuran tertentu.

Berdasarkan prinsip tersebut, maka pengelolaan sumberdaya perikanan harus memiliki strategi sebagai berikut :

1. Membina struktur komunitas ikan yang produktif dan efisien agar serasi dengan proses perubahan komponen habitat dengan dinamika antar populasi.

2. Mengurangi laju intensitas penangkapan agar sesuai dengan kemampuan produksi dan daya pulih kembali sumberdaya ikan, sehingga kapasitas yang optimal dan lestari dapat terjamin.

3. Mengendalikan dan mencegah setiap usaha penangkapan ikan yang dapat menimbulkan kerusakan–kerusakan maupun pencemaran lingkungan perairan secara langsung maupun tidak langsung.

12

3. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini merupakan program penelitian terpadu bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan yang dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Oktober 2011 di PPP Labuan, Kec. Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten (Gambar 3) dengan interval pengambilan contoh satu bulan. Ikan contoh diperoleh dari hasil tangkapan nelayan yang menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring insang dasar dan didaratkan di PPP Labuan, Banten. Pengukuran dan penimbangan ikan contoh dilakukan di laboratorium Biologi Perikanan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian Sumber Dinas Hidro-Oseanografi (2004)

13

3.2. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan antara lain penggaris dengan ketelitian 1 mm ± 0,5 mm, timbangan digital dengan ketelitian 0,0001 gram, alat bedah, botol film, pipet tetes, gelas ukur 10 ml dan 50 ml, cawan petri, mikroskop, baki, dan alat dokumentasi. Bahan yang digunakan adalah ikan swanggi, yang merupakan hasil tangkapan nelayan di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, akuades, dan formalin 4% untuk pengawetan organ pencernaan ikan swanggi.

3.3. Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode penarikan contoh acak sederhana (PCAS) pada ikan swanggi yang memiliki fishing ground dan tertangkap di sekitar perairan Labuan serta didaratkan di PPP Labuan, Banten. Ikan contoh yang diambil sebanyak 50-74 ekor ikan tiap bulanya dan diidentifikasi melalui pengamatan morfolgi ikan. Ikan contoh berasal dari hasil tangkapan nelayan yang didaratkan pada saat pengambilan contoh.

Analisis yang dilakukan berupa pengukuran panjang total, bobot total, tinggi badan, keliling badan, diameter mata, lebar bukaan mulut, dan panjang usus. Panjang ikan yang diukur adalah panjang total yang meliputi panjang mulai dari ujung mulut terdepan hingga ujung ekor terakhir menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm ± 0,5 mm, sedangkan bobot yang ditimbang adalah bobot basah total yang meliputi bobot total jaringan ikan serta air yang terkandung dalam tubuh ikan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0.0001 gram. Tinggi badan diukur dengan penggaris secara vertikal dari predorsal kearah bawah. Keliling badan diukur menggunakan meteran berskala 1 mm ± 0,5 mm dengan cara melingkari badan ikan di predorsal. Diameter mata diukur dengan penggaris berskala 1 mm yang diukur dari garis tengah mata ikan. Lebar bukaan mulut ikan diukur menggunakan penggaris berskala 1 mm ± 0,5 mm dengan cara ikan disembulkan dan diukur lebar maksimal secara horizontal. Panjang usus diukur dengan penggaris berskala 1 mm ± 0,5 mm dari perpotongan usus dengan piloric caeca sampai rektum.

14

Analisis isi lambung ikan contoh dilakukan di laboratorium. Ikan contoh dibedah, kemudian usus dan lambungnya diambil serta dimasukkan ke dalam botol contoh dengan formalin 4% untuk pengawetan. Pada saat analisis isi perut, lambung dikeluarkan isinya dan dikeringkan. Kemudian dilakukan identifikasi organisme dan diukur volumenya masing-masing untuk setiap jenis organisme yang ditemukan.

3.4. Analisis Data

3.4.1. Komposisi Makanan

Analisis kebiasaan makanan menggunakan indeks bagian terbesar menurut Natarajan & Jhingran 1963 in Sjafei & Robiyani 2001.

IPi

=

Keterangan :

IPi = indeks bagian terbesar

Vi = persentase volume makanan ke i

Oi = frekuensi kejadian makanan ke i

3.4.2. Luas Relung Makanan

Luas relung makanan mengindikasikan bahwa jenis makanan yang dikonsumsi oleh ikan lebih beragam. Luas relung dievaluasi berdasarkan makanan yang dikonsumsi oleh ikan dan dihitung dengan menggunakan indeks Levin in Umar et al. 2007:

 1 2 Pij Bi Keterangan :

Bi = Lebar relung/luas relung ikan ke-i

15 1 1    n Bi Ba Keterangan : Ba = Standarisasi Relung

Pij2 = kuadrat proporsi spesies ke-i kelompok ikan ke-j

n = jumlah organisme pada selang yang akan dicari

3.4.3. Penentuan Tumpang Tindih

Tumpang tindih relung adalah penggunaan bersama suatu sumber daya atau lebih oleh dua spesies ikan atau lebih atau tingkat kesamaan jenis makanan antara kelompok ikan pertama dan kedua.

Penentuan nilai tumpang tindih dengan menggunakan rumus dari morishita in Kaeriyama et al. 2002

 2 2 * 2 Pik Pij Pij Pik CH Keterangan:

CH = Tingkat kesamaan jenis makanan Pij = proporsi spesies ke-i kelompok ikan ke-j

Pik = proporsi spesies ke-i kelompok ikan ke-k

Pij2 = kuadrat proporsi spesies ke-i kelompok ikan ke-j

Pik2 = kuadrat proporsi spesies ke-i kelompok ikan ke-k

Pij (proporsi spesies ke-i kelompok ikan ke-j) didapat dengan rumus

sebagai berikut.

Volume nismeKe VolumeOrga Pij i

Pik (proporsi spesies ke-i kelompok ikan ke-j) didapat dengan rumus

sebagai berikut.

Volume nismeKe VolumeOrga Pik i

16

3.4.4. Hubungan Volume Makanan dengan Panjang Tubuh

Volume makanan memiliki hubungan secara linier mengikuti persamaan regresi linier dengan nilai persentase makanan sebagai variabel dependent (y) dan

Dokumen terkait